Anda di halaman 1dari 5

ORIENTALISME

DAN GERAKAN KRISTENISASI

A. Studi Bahasa Arab

Jika orientalisme menganggap bahwa pengetahuan bahasa-bahasa Timur adalah


merupakan perangkat penting yang dapat digunakan untuk mengenal agama dan
peradaban Timur, maka sesungguhnya dalam hal ini Orientalisme sama dengan
Kristenisasi. Hal ini (menguasai bahasa-bahasa Timur terutama bahasa Arab) sangat
ditekankan bagi para Juru dakwah Kristen yang akan melakukan kristenisasi di daerah-
daerah kaum muslimin yang akan menjadi sasaran misi Kristen.Gerakan studi bahasa yang
dilakukan oleh misionaris-misionaris Kristen ini merupakan faktor penting bagi
perkembangan orientalisme, sehingga pada waktu itu sulit dibedakan antara gerakan
kristenisasi dan orientalisme. Karena gerakan kristenisasi (motivasi agama) inilah yang
merupakan sebab utama tumbuhnya gerakan orientalisme.

Roger Bacon (1214-1294 M) adalah salah seorang penyebar Kristen yang sangat
agressif meminta teman-temannya agar mempelajari bahasa kaum muslimin untuk
kepentingan kristenisasi. Bacon beranggapan bahwa kristenisasi adalah satu-satunya cara
yang mungkin dilakukan untuk perluasan dan penyebaran agama kristen. Untuk
mewujudkan tujuan itu maka diperlukan tiga syarat, yaitu:

1. Harus mempelajari bahasa;


2. Mempelajari semua macam kekufuran, kemudian membedakan antara yangsatu dengan
yang lain;

3. Mempelajari semua dalil atau argumentasi agar dapat mematahkalawalaw

Gagasan Bacon ini kemudian didukung oleh Reymond Lull (1235-1316 M). Reymond Lull
lahir di Spanyol.[3] Ia mempelajari bahasa Arab dari Abdun Arabi. Ia mempunyai andil yang
besar sekali dalam membina pengajaran bahasa Arab di beberapa tempat, hanya saja
tujuannya tidak lain adalah untuk kegiatan kristenisasi. Mereka berusaha meyakinkan
kaum muslimin dengan menggunakan bahasa Arab mengenai kelemahan-kelemahan Islam
serta menarik kaum muslimin agar menjadi penganut Kristen.[4]
Pertemuan gereja di Wina pada tahun 1312 M juga mendukung gagasan Bacon dan Lull
tentang penggalakan pengajaran bahasa-bahasa Islam (Arab). Sebagai tindak lanjutnya, di
beberapa Universitas Eropa seperti Paris, Oxford, Polonia, Salmanka dan Universitas Kurie
juga telah diajarkan bahasa Arab. Dalam hal ini Reymond Lull sempat menyaksikan
impiannya tersebut, ia beranggapan bahwa sudah waktunya untuk menundukkan kaum
muslimin dengan cara kristenisasi, dengan demikian tantangan berat yang menghambat
perubahan manusia ke keyakinan Katolik dapat dihilangkan.[5]
Pada tahun 1539 M di Colleage de France Perancis telah dilengkapi dengan jurusan bahasa
Arab yang dibina oleh Guillaume Postel[6] (Wafat 1581 M) yang terhitung sebagai
orientalis tulen. Ia telah banyak memberikan jasanya dalam membina pelajaran bahasa
Timur di Eropa. Ketika ia berada di negara Timur, ia menemukan manuskrip-manuskrip
penting yang baru dijabarkan oleh muridnya Joseph Scaliger[7] (wafat 1609 M).
Postel tidak memisahkan diri dari kegiatan-kegiatan kristenisasi sama sekali, walaupun
dari segi lain ia memuji-muji ketinggian kesusasteraan Arab, dan dalam bentuk khusus
tentang tulisan-tulisan yang berkenaan dengan ilmu kedokteran dan falak. Ia berkata:
“Tak ada seorang pun yang dapat menolak hasil pengobatan yang digali dari ilmu
kedokteran Arab; apa yang diuraikan Ibnu Sina dalam satu atau dua halaman, lebih
berbobot dari apa yang dikatakan oleh Galinius dalam 5 atau 6 jilid yang tebal”.[8]

Walupun demikian, Postel tetap mengingatkan tentang keputusan pertemuan Wina


yang disebutkan terdahulu, ia mengungkapkan betapa besar manfaatnya menguasai bahasa
Arab, seperti yang dikatakan: “...bahasa Arab sangat besar manfaatnya karena
merupakan bahasa internasional, sebagai alat berkomunikasi dengan orang Maroko, Mesir,
Syria, Persia, Turki, bangsa Tartar dan India. Sasteranya sangat kaya. Ia mangatakan
bahwa barangsiapa menguasai bahasa Arab maka ia dengan mudah dapat mematahkan
musuh-musuh aqidah Kristen dengan kitab suci, dan dapat membantah aqidah mereka
yang dianutnya. Dengan jalan memahami bahasa Arab seseorang dapat berkomunikasi
dengan orang sedunia”. Mereka bangga dengan menguasai bahasa Arab, karena dengan
penguasaan bahasa Arab, mereka sanggup menyeberangi Asia sampai ke daratan Cina
tanpa memerlukan penterjemah.[9]
Pada tahun 1586 M pencetakan dan penerbitan buku-buku bahasa Arab di Eropa
semakin terbuka jalannya, dan ketika itu buku-buku tersebut dicetak pada percetakan
yang didirikan oleh Kardinal Ferdinand de Medici Tuscany. Telah banyak buku-buku
berbahasa Arab yang dicetak, di antaranya adalah karangan-karangan Ibnu Sina mengenai
kedokteran dan filsafat.[10]
Di antara orang yang berperan aktif dalam menunjang pengajaran bahasa Arab di
Eropa adalah seorang orientalis Thomas Erpenius[11] (1584-1613 M). Ia adalah orang
pertama yang memberikan pengajaran bahasa Arab di Universitas Leiden pada tahun 1613
M. Melalui jerih payahnya dan ditunjang dengan tulisan-tulisan tentang bahasa Arab ia
telah menempatkan Belanda sebagai tempat/ sumber pengajaran bahasa Arab di Eropa
selama kurang lebih dua abad.
Sungguhpun ia mengakui bahwa al-Qur’an memiliki nilai yang tinggi dalam segi
bahasanya, namun ia tidak mempunyai keyakinan bahwa sebenarnya al-Qur’an
mengandung banyak hal yang menyangkut kehidupan dunia dan akhirat, ia bahkan
berpendapat bahwa mereka yang mengamalkan ajaran-ajaran al-Qur’an tidak lebih
daripada taqlid yang menggelikan kepada kitab suci. Sedangkan sikap dan pandangannya
terhadap Nabi Muhammad Saw dan ajaran yang dibawanya tidak ubahnya seperti pendapat
kebanyakan orang orientalis yang lain di Eropa yaitu memusuhi dan antipati.[12]
B. Studi Islam
Walaupun kita mengetahui tujuan kristenisasi yang jelas-jelas bersikap memusuhi
Islam, tetapi di akhir abad ke-17 sampai abad ke-18 dari pihak lain kita melihat
kecenderungan yang berbeda mengenai apa yang dilakukan oleh kaum orientalis pada
umumnya. Kelompok ini memandang Islam dengan pandangan yang obyektif dan ada
kecenderungan untuk condong kepada Islam. Kondisi demikian telah memberikan dorongan
bagi timbulnya suatu pergolakan pemikiran yang baru di Eropa pada waktu itu, di mana
pada umunya mereka tidak sejalan dengan kebijaksanaan gereja.
Orang orientalis yang termasuk dalam kelompok ini adalah Richard Simon, dalam
bukunya “Sejarah kritik terhadap keyakinan dan adat istiadat bangsa-bangsa
Timur”(tahun 1684); ia menulis dalam buku itu mengenai tradisi dan agama kaum
muslimin secara jujur dan berimbang. Selanjutnya ia memberikan respek dan
menunjukkan kekagumannya terhadap tradisi-tradisi Islam. Terhadap sikap Simon ini,
Arnould menuduhnya sebagai berlebih-lebihan dalam keobyektivitasannya terhadap Islam.
Selanjutnya Simon menganjurkan Arnould agar mau mencermati ajaran akhlaq mulia kaum
muslimin.
Demikian juga Filosuf Pierre Bayle, ia adalah seorang yang mengagumi toleransi
yang dimiliki Islam. Sikap ini nampak pada tulisannya tentang kehidupan Muhammad Saw
dalam kamus tarikh dan kritik yang terbit untuk pertama kalinya di Rotterdam pada tahun
1697 M. Sedangkan Simon Ockley (1678-1720 M) dalam bukunya “Sejarah Arab Muslim”, ia
menulis dengan jujur dan tidak berat sebelah. Ia memuji Timur dan Islam serta
mengangkatnya/ memujinya melebihi Barat.[13]
Contoh-contoh tadi merupakan peralihan perlahan-perlahan ke arah pandangan
baru yang benar mengenai Islam. Adapun usaha sungguh-sungguh yang pertama dilakukan
untuk memperkenalkan Islam adalah oleh Andrianus Relandus[14] (wafat 1718 M),
seorang guru besar bahasa-bahasa Timur di Universitas Utrech Belanda. Ia telah
menerbitkan sebuah buku dalam bahasa Latin tentang Islam yang berjudul “Agama
Muhammad” dalam dua jilid. Pada jilid pertama ia mengemukakan tentang aqidah
Islamiah yang referensinya dari sumber buku Latin dan Arab. Sedangkan pada jilid yang
kedua ia berupaya meluruskan pandangan-pamdangan Barat tentang Islam.
Buku tersebut kemudian mendapatkan tanggapan yang negatif dari pihak gereja,
dan menuduhnya sebagai ikut berperan dalam kegiatan dakwah Islam. Akhirnya gereja
mengelompokkan buku tersebut sebagai buku-buku terlarang, tetapi anehnya buku
tersebut kemudian masih diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris, Perancis, Jerman,
Belanda dan Spanyol[15].
Pada abad ke-18 M, dunia orientalisme Jerman juga menyaksikan contoh-contoh
lain yang serupa di antaranya adalah J.J. Reiske (1716-1773 M). Ia adalah seorang
cendekiawan ahli bahasa Arab pada masanya, ia juga dikenal sebagai orientalis Jerman
yang pertama; ia mendapat tempat terhormat dan menonjol dalam bidang pengajaran
bahasa Arab di Jerman.
Tetapi zaman dan teman-teman sejawatnya bersikap apatis kepadanya. Sejumlah
cendekiawan Kristen menyerang dan menuduhnya sebagai munafiq; mungkin karena
sikapnya yang positif terhadap Islam. Ia memuji Islam dalam bukunya yang ditulis dalam
bahasa Latin. Ia menolak mengidentikkan Nabi Saw dengan kebohongan dan kesesatan,
atau menolak pemberian sifat agama khurafat dan menggelikan kepada Islam,
sebagaimana yang banyak dilakukan orang pada waktu itu. Ia juga dengan tegas menolak
pembagian sejarah dunia menjadi sejarah suci dan sejarah yang bukan suci, yang
meletakkan sejarah Islam pada jantung sejarah dunia. Lebih dari itu ia telah
mengungkapkan pendapatnya dengan jelas dan terang-terangan tanpa memikirkan akibat
yang akan dihadapinya. Ia menghadapi cobaan-cobaan itu, sepanjang hidupnya dilalui
dengan kondisi ekonominya yang memprihatinkan. Ia wafat setelah sengsara menghadapi
penyakit paru-paru pada usia 58 tahun. Fueck berkomentar tentang dia:
“Reiske telah menjadi syahid sastra Arab; hidupnya menjadi sejarah dari
kepedihan yang diabadikan dalam buku hariannya.......sungguh suatu hal memalukan
bahwa seorang yang sangat menonjol pada masanya tidak dikenali potensi luar biasa yang
dimiliki Reiske yang menjadi salah seorang ahli dalam bahasa Arab”.[16]

Apa yang dilakukan oleh sebagian orientalis yang cenderung obyektif dan
terkadang malah memuji Islam tersebut memang dapat meringankan beban dan tuduhan
yang dilontarkan oleh cendekiawan Kristen kepada Islam, tetapi usaha-usaha yang positif
tersebut masih belum bisa mempengaruhi pikiran-pikiran kebanyakan orang Eropa yang
sudah terlanjur membenci Islam. Begitulah gambaran negatif yang telah melekat di hati
orang-orang Eropa sebagai warisan dari abad pertengahan, yang terkadang masih
bermunculan hingga hari ini. Ada ungkapan Maxim Rodinson yang cukup menggembirakan
terhadap Islam, sebagai berikut:
“......Sesungguhnya di abad kedelapan belas kaum Kristen memandang Timur Islam
dengan pandangan persaudaraan yang penuh pengertian. Pemikiran yang mengatakan
bahwa pemberian akal yang sama kepada segenap manusialah yang telah membantu
penyebarannya semakin kuat dan kokoh; itulah dia agama yang hakiki pada masa itu.
Semakin terbuka kesempatan bagi masyarakat untuk mengadakan kritik terhadap tuduhan
yang dilemparkan kepada dunia Islam pada abad-abad yang lalu.....dan pada abad
kejayaan kaum muslimin baru dianggap seperti manusia yang lain, malahan ada di antara
mereka yang mengungguli bangsa Eropa”.[17]

Kalau kita menerima apa yang dikatakan Rodinson tentang ini, maka sebenarnya
dia sendiri tidak memungkiri bahwa pandangan yang diungkapkannya itu selanjutnya
beralih menjadi pandangan/sikap yang lebih buruk dari sebelumnya; Ia berkata:
“Pada abad kesembilan belas ini, Timur Islam tetap merupakan musuh bahkan ia
adalah musuh yang sudah dinyatakan kalah. Dunia Timur menyerupai panorama indah yang
sudah binasa. Waktu itu seseorang dapat menikmati kemegahan yang mereka puji di saat
kaum politikus dan usahawan berbuat segala sesuatu yang dalam wewenangnya untuk
mempercepat proses kehancurannya. Di masa datang mereka tidak mungkin menunjukkan
semangat, malahan dalam operasionalnya (pembaharuannya itu), mereka kehilangan bau
aneh yang dulu mereka dambakan”.[18]

Demikianlah pandangan bangsa Eropa sebelumnya, yang dikumandangkan lewat


ideologi internasional pada zamannya, yaitu menghormati bangsa selain Eropa dan
menghargai peradaban mereka. Namun setelah itu yaitu pada abad ke-19 keadaan sudah
berubah, pandangannya menjadi sombong dan congkak, disusul kemudian dengan
munculnya teori-teori yang membagi manusia kepada dua jenis, yaitu yang maju dan yang
terbelakang; Yang pertama yakni yang maju adalah bangsa Ariyah, sedangkan yang kedua
yang terbelakang adalah bangsa Samiyah (Smit). Para orientalis dan pemikir-pemikir Eropa
yang berjalan menurut metodanya (dengan keterangan yang mereka katakan) bahwa ciri-
ciri khas bangsa Ariyah adalah mereka itu orang-orang yang menciptakan peradaban dan
datang dengan segala yang baru, sedangkan bangsa Samiyah adalah mereka yang dangkal
pemikiran dan falsafahnya.[19]
Demikian sekilas mengenai bagaimana sejarah orang Barat terutama dari
kalangan juru dakwah Kristen dan para orientalis menekuni kajian bahasa Arab dan
agama Islam. Dari telaah tersebut dapat difahami betapa tidak mudahnya
membedakan antara gerakan orientalisme dengan Kristenisasi. Di sini motivasi agama
(termasuk kristenisasi) sangat dominan dalam menggerakkan orientalisme.
Sungguhpun ada beberapa kelompok orientalis yang secara jujur mengagumi bahasa
dan sastra Arab serta ajaran Islam, tetapi arus besar masih menunjukkan yang
kebalikannya. Paling tidak hal ini dapat dibaca perjalanan sejarahnya hingga abad ke-
19.

Anda mungkin juga menyukai