Anda di halaman 1dari 9

ALIRAN AL MATURIDIYAH

Oleh : kelompok II
1. Abid zuhudi syarif
2. Khotimatul lailiah
3. Muh. Syukur
BAB I

PEMBAHASAN

A. LATAR BELAKANG

Latar belakang aliran ma’turidiyah, aliran ma’turidiyah lahir di Samarkhan di pertengahan tahun
kedua dari abad IX M. Pendirinya adalah Abu Mansur Muhammad Ibnu Muhammad Ibnu
Muhammad Al-Ma’turidi. Ia sebagai penganut Abu Hanifah sehingga teologinya memiliki banyak
persamaan dengan paham-paham yang dipegang oleh Abu Hanifah. Ada suatu pendapat yang
mengatakan bahwa ada karangan–karangan yang disusun oleh al-Ma’turidi, yaitu Risalah Fi Al-Aqaid
dan Syarh Al-Fiqh Al-Akbar. Menurut para ulama Hanafiah dalam bidang akidah sama benar dengan
pendapat-pendapat Imam Abu Hanifah. Sebelum Imam Abu Hanifah terjun dibidang fikih dan
menjadi tokohnya, beliau telah lama berkecimpung dalam bidang akidah serta banyak pula
mengadakan tukar pendapat dan perdebatan-perdebatan yang dikehendaki pada masa zamannya.

B. RUMUSAN MASALAH

1. Bagaimana sejarah munculnya faham Ma’turidiyah?

2. Siapakah tokoh-tokoh Ma’turidiyah dan pengaruhnya terhadap umat islam?

3. Bagaimana pengaruh pemikiran Ma’turidiyah terhadap umat islam?

C. TUJUAN

Agar kita dapat mengetahui sejarah munculnya Ma’turidiyah dan ajarannya. Sehingga kita dapat
mengerti dan paham perkembangan peradaban pada zaman dahulu.

BAB II

PEMBAHASAN
A. Sejarah Munculnya Paham Ma’turidiyah

Abu Manshur Muhammad Ibn Muhammad Ibn Mahmud Al-Maturidi. Ian dilahirkan disebuah kota
kecil didaerah Samarkhan yang bernama Maturid, di wilayah Temsoxiana di Asia Tengah di daerah
yang sekarang disebut Uzbekistan. Tahun kelahirannya tidak diketahui pasti, hanya diperkirakan
sekitar pertengahan abad ke-3 H. Ia wafat pada tahun 333 H / 944 M. Gurunya dalam bidang fiqh
dan teologi yang bernama Nasyir bin Yahya Al-Balakhi, ia wafat pada tahun 268 H. Al-Maturidi hidup
pada masa khalifah Al-Mutwakil yang memerintah pada tahun 232-274 H / 847-861 M. Karir
pendidikan Al-Maturidi lebih dikonsentrasikan untuk menekuni bidang teologi daripada fiqh.
Pemikiran-pemikirannya banyak dituangkan dalam bentuk karya tulis, diantaranya adalah kitab
Tauhid, Ta’wil Al-Qur’an Makhas Asy-syara’I, Al-Jald, dll. Selain itu ada pula karangan-karangan yang
diduga ditulis oleh Al-Maturidi yaitu Al-Aqaid dan Syarah Fiqh.

Al-Maturidiyah merupakan salah satu sekte Ahl-al-sunnah Al-jamaah, yang tampil dengan
Asy’ariyah. Maturidiyah dan Asy’ariyah dilahirkan oleh kondisi sosial dan pemikiran yang sama.
Kedua aliran ini datang untuk memenuhi kebutuhan mendesak yang menyerukan untuk
menyelamatkan diri dari ekstriminasi kaum rasionalis, dimana yang berada paling depan.

Menurut ulama-ulama Hanafiah, hasil pemikiran Al-Maturidi dalam bidang aqidah sama besar
dengan pendapat-pendapat Imam Abu Hanifah. Imam Abu Hanifah sebelum terjun dalam fiqh dan
menjadi tokohnya, telah lama berkecimpung dalam bidang aqidah serta bamyak pula mengadakan
tukar pendapat dan perdebatan-perdebatan seperti yang dikehendaki oleh suasana zamannya, dan
salah satu buah karyanya dalam bidang aqidah ialah bukunya yang berjudul “Al-Fiqhul Akbar”.

Al-maturidi dinilai sebagai ilmu kalam sunni yang menghidupkan aqidah ahlu assunnah dengan
metode akal. Meskipun al-maturidi hidup semasa dengan al-asy’ari tetapi antara keduanya tidak ada
komunikasi dan saling mengenal pendapatnya. Jadi, meskipun keduanya terdapat banyak kesamaan
dalam tujuan dan cara menuju tujuan, tetapi al-maturidi mempunyai cara yang berbeda dengan
asy’ari. Latar belakang fiqih ikut berpengaruh. Al-asy’ari bermadzhab syafi’I yang dikenal moderat,
tetapi dekat dengan tradisionalis, banyak terikat kepada nash nash naqli, sedang al-maturidi
bermadzhab fiqih Imam Abu Hanifah yang dikenal ahl ra’yi lebih cenderung rasionalis.

Dalam pemikiran itu ternyata, bahwa pikiran-pikiran al-maturidi sebenarnya berintikan pikiran-
pikiran Abu Hanifah dan merupakan penguraiannya yang lebih luas. Kebanyakan ulama-ulama
maturidiyah terdiri dari orang-orang pengikut aliran fiqih hanafiah, seperti Fahrudin Al-Bazdawi, At-
Taftazani, An-Nasafi, Ibnul Hammam, dll.

Memang aliran asy’ariyah lebih dulu menentang paham-paham dari aliran mu’tazilah. Seperti yang
kita ketahui, al-maturidi lahir dan hidup di tengah-tengah iklim keagamaan yang penuh dengan
pertentangan pendapat antara Mu’tazilah dan asy’ariyah sekitar masalah kemampuan akal manusia.
Maka dari itu, al-maturidi melibatkan diri dalam pertentangan itu dengan mengajukan pemikiran
sendiri. Pemikirannya itu merupakan jalan tengah antara aliran Mu’tazilah dan Asy’ariyah.

Pemikiran- pemikiran AL-Mathuridi bertujuan untuk membendung paham Mu’tazilah seperti jga
aliran Asy-‘Ariyah. Namun demikian tidak seluruh pemikirannya bertentangan dengan Mu’tazilah.
Bahkan dalam beberapa hal pemikirannnya hampir sama dengan pendapat Mu’tazialh. Oleh karena
itu, sering kali Al-Maturidi disebut “Berada diantara teologi dan mu’tazilah dan Asy’ariyah. Dalam
perkembangan sejalanjutnya aliran Maturidi menjadi terbagi dua sekte yakni Sekte Al-Maturidiyah
Samarkhan (Abu Mansur Al-Maturidiyah) dan Al-Maturidiyah Al-Bukhoro (Abu Al-Alyusr Muhammad
Bazdawi).

B. Tokoh – tokoh Al – Ma’turidiyah

1. Tokoh al Maturidiyah Samarkhan

Nama aslinya Muhammad ibn Muhammad ibn Muhammad Abu Mansur al Maturidi. Asalanya dari
Maturidi yaitu sesuatu daerah yang di Samarkhan. Sehingga terkadang namanya disandarkan pada
samarkhan dan biasa dipanggil Abu Mansyur Muhammad ibn Muhammad ibn Muhammad ibn
Mahmud al-Maturidi as-Samarkhan. Beliau dilahirkan tepatnya di Maturid, Uzbekistan para paruh
kedua abad ke 9 M. Sebenarnya tahun kelahirannya tidak diketahui secara pasti, namun
Muhammad Ab Zahrah menuliskan, diperkiirakan pada pertengahan abad ke 3 H. Karena beliau
mereguk ilmu fikih madzhab Hanafi dan ilmu kalam dari Nasr Ibn Yahya al-Baikhi yang wafat pada
tahun 268 H.

Abu Mansur al-Maturidi merupakan seorang teologian (mutakallimin) pembentuk ilmu kalam dari
Nasr Ibn Yahya al-Balkhi yang wafat pada tahun 268 H. Pandangan lain mengatakan bahwa Abu
Mansur al-Maturidi merupakan seorang teologian (mutakillimin) pembentuk ilmu kalam (teologi
Islam) yang wafat pada tahun 333 H./944 M. Beliau hidup pada sekitar abad ketiga dan keempat
Hijriyah atau pada pertengahan abad kesembilan sampai dengan pertengahan abad kesepuluh
Masehi.

Semasa hidupnya al-Maturidi menerima ilmu dari banyak guru, di antaranya dari Abu Nashr Ahmad
ibn al-Abbas al-Bayadi, Ahmad ibn Ishak al-Jurjani dan Nashr ibn Yahya al-Balkhi yang merupakan
ulama terkemuka dalam mazhab Hanafiah.

Al-Maturidi dalam bidang yang dikajinya menyusun sejumlah kitab yang cukup banyak. Di antaranya
adalah : “Kitab Ta‘wil al-Qur’an, Kitab al-Ma‘khuz al-Syara‘i, Kitab al-Jadal, Kitab al-Usul fi Usul al-Din,
Kitab al- Maqalat fi al-Kalam, Kitab Radd Tahdzib al-Jadal li al-Ka’bi, Kitab Radd al-Usul al-khamsah li
Abi Muhammad al-Babili, Radd Kitab al-Imamah li Ba’dhi al-Rawafid dan al-Radd ‘ala al-Qaramitah”

Al-Maturidi merupakan pengikut setia dari Abu Hanifah yang terkenal ketat dengan keabsahan
pendapat akal. Sehingga al-Maturidi banyak memakai komparasi akal dalam penyelesaikan problem
keagamaan (teologi). Pengikut dari al-Maturidi, salah satunya adalah Abu al-Yusr Muhammad al-
Bazdawi (421-493 H). Nenek al-Bazdawi merupakan murid dari al-Maturidi, dan ajaran al-Maturidi
dari orang tuanya. Al-Bazdawi tidak selamanya sepaham dengan al-Maturidi. Perbedaan pendapat di
antara mereka menyebabkan aliran al-Maturidi terbagi menjadi dua golongan, golongan Samarkhan
dan golongan Bukhara.

2. Tokoh al-Maturidiyah Bukhara

Al-Bazdawi lahir di Hudud sebuah negeri di Bazdah akhir 400 H/1010 M. Nama lengkapnya Ali ibn Abi
Muhammad ibn al-Husaein ibn Abd al- Karim ibn Musa ibn Isa ibn Mujahis al-Bazdawi. Al-Bazdawi
adalah seorang tokoh besar yang berpengaruh pada zaman itu. Hal ini terlihat dengan
keberhasilannya menjadi sub aliran Maturidiyah yang kemudian di kenal dengan nama Maturidiyah
Bukhara. Di samping itu, al-Bazdawi memiliki beberapa gelar yaitu al-Mujtahid fi al-Masail (mujtahid
yang tidak berjtihad sepanjang masih ada pendapat imamnya, tetapi apabila ada masalah hukum
yang belum dibahas oleh imamnya, maka mereka berjitihad untuk memecahkannya), huffadz al-
mazhab al-Hanafi (pelestari mazhab Hanafi), kebanggan Islam, dan Abu al-Usr’ (bapak kesulitan).
Keberhasilan-keberhasilan itu dicapainya dengan menorehkan beberapa hasil pemikirannya sesuai
dengan bidang ilmu yang diketahuinya, di antaranya sebagai berikut:

a. Menurutnya ilmu terbagi atas 2 yakni pertama, ilmu tauhid dan sifat, ilmu ini pada prinsipnya
berpegang teguh pada al-Qur’an dan hadis serta menghindari dari hawa nafsu dan bid’ah. Umat
Islam harus mengikuti terikat (cara-cara yang ditempuh) sunnah atau jamaah yang ditempuh oleh
sahabat, tabi’in dan orang-orang saleh, sebagaimana diajarkan oleh ulama sebelumnya. Kedua, ilmu
syariat dan hukum.

b. Bidang usul fikih, al-Bazdawi mengajukan pemikiran di sekitar ijma’. Baginya ada beberapa
tingkatan ijma’, yakni 1). Ijma’ sahabat, kedudukannya sama dengan ayat dan khabar mutawatir , 2).
Ijma’ orang-orang sesudah sahabat, kedudukannya sama dengan hadis masyhur, dan 3). Ijma’
mujtahid, yakni pada masa salaf, kedudukannya sama dengan hadis ahad. Menurutnya ijmak dapat
dinasakh oleh ijma’ yang setaraf. Inilah yang membuat perbedaan dengan ulama-ulama usul fikih
lainnya yang menyatakan bahwa ijma’ tidak dapat dibatalkan dengan ijma’.

c. Dalam bidang fikih, bahwa fikih dari tiga sumber yaitu kitab, sunnah dan ijma’, sedangkan qiyas
di istinbat-kan dari asal yang tiga tersebut. Hukum-hukum syara’ hanya diketahui dengan
mengetahui peraturan dan pengertian (nazham wa al-ma’na) yang terdiri dari empat bagian.
Pertama, dalam bentuk peraturan adalah sighat dan bahasa. Kedua, penjelasan peraturan, ketiga
mempergunakan peraturan dalam bab bayan (penjelasan), dan keempat, mengetahui batas maksud
dan makna karena keluasannya dan banyak kemungkinannya. Dalam bidang ilmu fikih, al-Bazdawi
termasuk pengikut mazhab Hanafi yang ditempatkan pada posisi paling tinggi. Karena Imam Hanafi
menurutnya berani menasakh al-Qur’an dengan hadis dan mengamalkan hadis mursal dan
beranggapan beramal dengan hadis mursal lebih baik dari pada beramal dengan ra’yi (pemikiran
hasil ijtihad).

d. Pemikirannya yang sulit dipahami oleh Abdul Azis Bukhari ketika menulis Kasyf al-Asrar adalah
ungkapan wa lamma haza al-kitab kasyifan ‘an sammaituhu ghawamid muhtajibah ‘an alabsar, nasib
‘an sammaituhu kasyif al-asrar. (berhubung karena kitab ini berfungsi sebagai usaha untuk menyikap
masalah yang tidak terjangkau oleh pengertian [sulit sekali], maka tepatlah apabila aku memberinya
judul Menyingkap Rahasia.

Selain dari itu, al-Bazdawi semasa hidupnya memiliki karya-karya yang terbilang tidak sedikit
jumlahnya antara lain :1). Al-Mabsut (yang terbentang), 2). Syar Jami’ al-Kabir (komentar terhadap
al-Jami’ al-Kabir karangan al-Syaibani), 3). Syarh al-Jami’ al-Sagir (komentar terhadap al-Jami’ al-Sagir
karangan al-Syaibani). 4). Syarh al-Ziyadah al-Ziyadat (komentar terhadap buku Ziyadah al-Ziyadat
karangan al-Syaibani, 5). Usul al-Bazdawi (pokok-pokok pikiran al-Bazdawi). 6). Usul al-Din
(pokokpokok agama), 7). Kasyf al-Asrar fi Tafsir al-Qur’an (menyikap tabir dalam tafsir al-Qur’an), 8).
Amali Tafsir al-Qur’an (beberapa ide tentang tafsir al-Qur’an), 9). Sirah al-Mazhab fi Sifah al-Adab,
(tentang sejarah, tokoh, dan aliran sastra), 10). Syarh Taqwim al-Adillah (komentar terhadap buku
Taqwim al-Adillah), 11). Syarh al-Jami’ al-Sahih li al-Fuqaha (senandung ahli fikih) dan 13). Al-Waqiat
(buku yang berisi mengenai keputusan pengadilan).

Al-Bazdawi semasa hidupnya pernah menjabat sebagai hakim dan mengajarkan ilmunya kepada para
murid-muridnya, salah satu muridnya ialah Najm al-Din Muhammad al-Nasafi (460-573 H.) serta
mengajarkan ajarannya terutama mengenai teologi Maturidiyah Bukhara sampai menjelang tutup
usia pada tahun 493 H.
C. Pengaruh Pemikiran Ma’turidiyah

a. Akal dan wahyu

Dalam pemikiran teologinya, Al-Maturidi mendasarkan pada Al-Qur’an dan akal. Dalam hal ini, ia
sama denggan Al-Asy’ari. Akan tetapi, porsi yang diberikan pada akal lebih besar daripada yang
diberikan oleh Al-Asy’ari.

Menurut Al-Maturidi, mengetahui Tuhan dan kewajiban mengetahui Tuhan dapat diketahui dengan
akal. Kemampuan akal mengetahui dua hal tersebut sesuai dengan ayat-ayat Al-Qur’an yang
mengandung perintah agar manusia menggunakan akal dalam usaha memperoleh pengetahuan dan
iman terhadap Allah melalui pengamatan dan pemikiran yang mendalam tentang makhluk ciptaan-
Nya. Apabila akal tidak mempunyai kemampuan memperoleh pengetahuan tersebut, Allah tidak
akan memerintahkan manusia untuk melakukannya. Orang yang tidak mau menggunakan akal untuk
memperoleh iman dan pengetahuan mengenai Allah berarrti meninggalkan kewajiban yang
diperintahkan ayat-ayat tersebut. Menurut Al-Maturidi, akal tidak mampu mengetahui kewajiban-
kewajiban lainnya, kecuali dengan bimbingan dari wahyu. Al-Maturidi membagi sesuatu yang
berkitan dengan akal pada tiga macam, yaitu:

1) Akal hanya mengetahui kebaikan sesuatu itu;

2) Akal hanya mengetahui keburukan sesuatu itu;

3) Akal tidak mengetahui kebaikan dan keburuksn sesuatu, kecuali dengan petunjuk ajaran wahyu.

Mengetahu kebaikan atau keburukan sesuatu dengan akal, Al-Maturidi sependapat dengan
Mu’Tazilah. Perbedaannya, Mu’tazilah mengatakan bahwa perintah kewajiban melakukan yang baik
dan meninggalkan yang buruk didasarkan pada pengetahuan akal. Al-Maturidi mengatakan bahwa
kewajiban tersebut harus diterima dari ketentuan ajaran wahyu. Dalam persoalan ini, Al-Maturidi
berbeda pendapat dengan Al-Asy’ari. Menurut Al-Asy’ari, baik atau buruk tidak terdapat pada
sesuatu itu sendiri. Sesuatu itu dipandang baik atau buruk karena perintah syara’ dan dipandang
buruk karena larangan syara’. Jadi, yang baik itu baik karena perintah Allah dan yang buruk karena
larangan Allah. Pada

Konteks ini, ternyata Al-Maturidi berada pada posisi tengah dari Mu’tazilah dan Al- Asy’ari.

b. Perbuatan Manusia

Menurut Al-Maturidi, perbuatan manusia adalah ciptaan Tuhan karena segala sesuatu dalam wujud
ini adalah ciptaan-Nya. Khusus mengenai perbuatan manusia, kebijaksanaan dan keadilan kehendak
Tuhan mengharuskan manusia memiliki kemampuan berbuat (ikhtiar) agar kewajiban-kewajiban
yang dibebankan kepadanya dappat dilaksanakan.

Dalam hal ini, Al-Maturidi mempertemukan antara ikhtiar sebagai perbuatan manusia dengan qudrat
Tuhan sebagai pencipta perbuatan manusia. Tuhan menciptakan daya (kasb) dalam diri manusia dan
manusia bebas menggunakannya. Daya-daya tersebut diciptakan dengan

Perbuatan manusia. Dengan demikian, tidak ada pertentangan antara qudrat Tuhan yang
menciptakan perbuatan manusia dengan ikhtiar yang ada pada manusia. Kemudian,

Karena daya diciptakan dalam diri manusia dan perbuatan yang dilakukan adalah perbuatan manusia
dalam arti yang sebenarnya sehingga daya itu daya manusia. Berbeda dengan Al-Maturidi, Al-Asy’ari
mengatakan bahwa daya tersebut adalah daya Tuhan karena ia memandang perbuatan manuisa
adalah perbuatan Tuhan. Berbeda pula dengan Mu’tazilah yang memandang daya sebagai daya
manusia yang telah ada sebelum perbuatan itu sendiri.

Dalam hal pemakain daya, Al-Maturidi membawa paham Abu Hanifah, yaitu adanya masyi’ah
(kehendak) dan rida (kerelaan), kebebasab manusia dalam melakukan baik ataun buruk tetap dalam
kehendak Tuhan. Tetapi memilih yang diridai-Nya atau yang tidak diridai-Nya. Manuisa berbuat baik
atas kerelaan Tuhan, dan berbuat buruk juga atas kehendak Tuhan, tetapi tidak ada kerelaan-Nya.
Dengan demikian, manusia dalam paham Al-Maturidi tidak sebebas manusia dalam pahara
Mu’tazilah.

c. Kekuasaan dan Kehendak mutlak Tuhan

Telah diuraikan di atas bahwa perbuatan manusia dan segala sesuatu dalam wujud ini, yang baik
atau buruk adalah ciptaan Tuhan. Akan tetapi, pernyataan ini menurut Al-Maturidi bukan berate
Tuhan berkehendak dan berbuat dengan sewenang-wenang serta sekehendak-Nya, karena qudrat
Tuhan tidak sewenang-wenang (absolut),tetapi perbuatan dan kehendak-Nya itu berlangsung sesuai
dengan hikmah dan keadilan yang sudah ditetapkan-Nya.

d. Sifat Tuhan

Berkaitan dengan masalah sifat Tuhan, dapat ditemukan persamaan antara pemikiran Al-Maturidi
dengan Al-Asy’ari. Seperti halnya Al-Asy’ari, ia berpendapat bahwa Tuhan mempunyai sifat-sifat,
seperti sama’bashar, dan sebagainya. Walaupun begitu, pengertian Al-Maturidi tentang sifat Tuhan
berbeda dengan Al-Asy’ari. Al- Asy’ari mengartikan sifat Tuhan sebagai sesuatu yang bukan dzat.
Menurut Al-Maturidi, sifat tidak dikatakan sebagai esensi-Nya. Sifat-sifat Tuhan Tuhan itu
mulazamah (ad bersama, baca inherent) dzat tanpa terpisah (innaha lam takun ‘ain adz-dzat wa la
hiya ghairuhu). Menetapkan sifat bagi Allah tidak harus membawa pada pengertian
antropomorfisme karena sifat tidak berwujud yang terdiri dari dzat, sehingga berbilang sifat tidak
akan membawa pada berbilangnya yang qadim(taaddud al-qudama).i

Tampaknya, paham Al-Maturidi tentang makna sifat Tuhan cenderung mendekati paham Mu’tazilah.
Perbedan keduanya terletak pada pengakuan Al-Maturidi tentang adanya sifat-sifat Tuhan,
sedangkan Mu’tazilah menolak adanya sifat-sifat Tuhan.

e. Tuhan

Melihat Al-Maturidi mengatakan bahwa manusia dapat melihat Tuhan. Tentang melihat Tuhan ini
dibeeritakan oleh Al-Qur’an, diantara lain firman Allah dalam surat Al-Qiyamah ayat 22 dan 23.

Al-Maturidi lebih lanjut mengatakan bajwa Tuhan kelak di akhirat dapat ditangkap dengan
penglihatan karena Tuhan mempunyai wujud, walaupun ia immaterial. Melihat Tuhan kelak di
akhirat tidak meperkenalkan bentuknya (bila kaifa) karena keadaan diakhirat tidak sama dengan
keadaan di dunia.

f. Kalam Tuhan

Al-Maturidi membedakan antara kalam yang tersusun dengan huruf dan bersuara dengan kalam
nafsi (sabda yang sebenarnya atau makna abstrak). Kalam nafsi adalah sifat qadim bagi Allah,
sedangkan kalam yang tersusun dari huruf dan suara adalah baharu(hadis). Al-Qur’an dalam arti
kalam yang tersusun dari huruf dan kata-kata adalah baharu (hadis). Kalam nafsi dan manusia tidak
dapat mendengar atau membacanya, kecuali dengan perantara.
Menurut Al-Maturidi, Mu’tazilah memandang Al-Quran sebagai yang tersusun dari huruf-huruf dan
kata-kata, sedangkan Al-Asy’ari memandang nya dari segi makna abstrak. Berdasarkan setiap
pandangan tersebut, kalam Allah menurut Mu’tazilah bukan sifat-Nya dan bukan pula lain dari dzat-
Nya.

Al-Qur’an sebagai sabda Tuhan bukan sifat, melainkan perbuatan yang diciptakan Tuhan dan tidak
bersifat kekal. Pendapat Mu’tazilah ini diterima Al-Maturidi, tetapi Al-Maturidi lebih suka
menggunakan istilah hadis sebagai ganti Makhluk untuk sebutan Al-Quran. Dalam konteks ini,
pendapat Al-Asy’ari juga ada kesamaan dengan pendapat Al-Maturidi karena yang dimaksud Al-
Asy’ari dengan sabda adalah makna abstrak, tidak lain dari kalam nafsi menurut Al-Maturidi dan itu
sifat kekal Tuhan.

g. Perbuatan Manusia

Menurut Al-Maturidi tidak ada sesuatu yang terdapat dalam wujud ini, kecuali semua adalah dalam
kehendak Tuhan. Kehendak Tuhan tidak ada yang memaksa atau membatasinya, kecuali ada hikmah
dan keadiln yang ditentukan oleh kehendak-Nya. Oleh karena itu, Tuhan idak wajib bagi-Nya berbuat
ash-ashlah (yang baik dan terbaik bagi manusia). Setiap perbuatan Tuhan yang bersifat mencipta
atau kewajiban-kewajiban yang dibebankan kepada manusia tidak terlepas dari hikmah dan keadilan
yang dikehendakinya. Kewajiban-kewajiban tersebut antara lain.

(1) Tuhan tidak akan membebankan kewajiban-kewajiban kepada manusia diluar kemampuannya
karena hal tersebut tidak sesuai dengan keadilan, dan manusia juga diberi Tuhan kemerdekaan
dalam kemampuan dan perbuatannya.

(2) Hukuman atau ancaman dan janji pasti terjadi karena yang demikian merupakan tuntutan
keadilan yang sudah ditetapkan-Nya.

h. Pengutusan Rasul

Akal tidak selamanya mampu mengetahui kewajiban-kewajiban yang dibebankan kepada manusia,
seperti kewajiban mengetahui hal baik dan buruk serta kewajiban lainnya dari syariat yang
dibebankan kepada manusia. Al-Maturidi berpendapat bahwa akal memerlukan bimbingan ajaran
wahyu untuk dapat mengetahui kewajiban-kewajiban tersebut. Jadi, pengutusan Rasul adalah hal
niscaya yang berfungsi sebagai sumber informasi. Tanpa mengikuti ajaran wahyu yang disampaikan
Rasul, berarti manusia membebankan akalnya pada sesuatu yang berada diluar kemampuannya.

Pandangan Al-Maturidi ini tidak jauh berbeda dengan pandangan Mu’tazilah yang berpendapat
bahwa pengutusan Rasul ke tengah-tengah umatnya adalah Kewajiban Tuhan, agar manuisa dapat
berbuat baik dan terbaik dalam kehidupannya dengan ajaran para Rasul.

i. Pelaku dosa besar

Al-Maturidi berpendapat bahwa orang yang berdosa tidak kafir dan tidak kekal didalama neraka,
walaupun ia meninggal sebelum bertobat. Hal ini karena Tuhan telah menjanjikan akan balasan
kepada manusia sesuai dengan perbuatannya. Kekal di dalam neraka adalah balasan untuk orang
yang berbuat dosa syirik. Berbuat dosa besar selain syirik tidak akan kekal di dalam neraka. Oleh
karena itu, perbuatan dosa besar (selain syirik) tidak menjadikan seseorang kafir atau murtad.
Menurut Al-Maturidi, iman itu cukup dengan tashdiq dan iqrar. Adapun amal adalah
penyempurnaan iman. Oleh karena itu, amal tidak akan menambah atau mengurangi esesnsi iman,
kecuali menambah atau mengurangi pada sifatnya.
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Al-Maturidiyah merupakan salah satu sekte Ahl-al-sunnah Al-jamaah, yang tampil dengan Asy’ariyah.
Maturidiyah dan Asy’ariyah dilahirkan oleh kondisi sosial dan pemikiran yang sama. Kedua aliran ini
datang untuk memenuhi kebutuhan mendesak yang menyerukan untuk menyelamatkan diri dari
ekstriminasi kaum rasionalis, dimana yang berada paling depan.

Para tokoh-tokoh dalam aliran Ma’turidiyah yaitu:

a. Al-Maturidiyah Samarkhan

b. Al-Maturidiyah Bukhara

Adapun pengaruh-pengaruh pemikiran Ma’turidiyah:

a. Akal dan wahyu

b. Perbuatan Manusia

c. Kekuasaan dan Kehendak mutlak Tuhan

d. Sifat Tuhan

e. Tuhan

f. Kalam Tuhan

g. Perbuatan Manusia

h. Pengutusan Rasul

i. Pelaku dosa besar

B. Kritik dan Saran

DAFTAR PUSTAKA

Ahmad Hanafi, Pengantar Theologi Islam, Jakarta : Radar Jaya Offset.2001.hal.121

Sahilun Nasir, Pemikiran Kalam (Theology Islam), Jakarta : Raja Grafindo Persada.2010

Dewan Redaksi Ensiklopedia Islam, Ensiklopedia Islam, jilid 3, cet 3; (Jakarta:PT.Ictiar Baru Van
Hoefe, 1994), hlm 206

Imam Ali Abd Fattah al-Mafzully, op.cit., hlm. 11.


Dewan Redaksi Ensiklopedia Islam loc.cit..,

Muhammad Abu Zahrah, op.cit., hlm207

Ghufron A. Mas’adi, Ensiklopedi Islam, Cet. II; (Jakrta: PT. Raja Grafindo Persada, 1999), hlm. 265.

Muhammad Abu Zahrah, op.cit., hlm. 209

Ibid.

Harun Nasution, Teologi Islam: Aliran-Aliran, Sejarah Analisa dan Perbandingan, (Cet. 5; Jakarta:
Universitas Indonesia Press, 1986), hlm. 48

Abdul Azis Dahlan, et.al, Ensiklopedi Hukum Islam I Cet I; (Jakarta : PT.Ikhtiar Baru Van Hoeve, 1996),
hlm. 209.

Ibid., hlm. 211. Lihat juga Syahrir Harahap, op. Cit., hlm.73

Abdul Azis Dahlan, Ibid

Syahrir Harahap, Ensiklopedi Akidah Islam. Loc.cit

Azis Dahlan, Ensiklopedi Hukum Islam. Loc. Cit

Azis Dahlan, Ensiklopedi Hukum Islam. Loc. Cit

Anda mungkin juga menyukai