Anda di halaman 1dari 14

MAKALAH ILMU KALAM

ALIRAH MATURIDIYAH

Dosen Pembimbing:
Susapto, S.Fil.I,MPI.
Penyusun makalah:
Achtur dwi purnomo

STIDA DAARUL MUSHLIHIN KENDAL


FAKULTAS DAKWAH
JURUSAN KOMUNIKASI PENYIARAN ISLAM
2021/2022

i
KATA PENGANTAR

Alhamdulillahi rabbil ‘alamin puji syukur kita panjatkan ke hadirat allah subhanalahu wa
ta'ala atas rahmat serta hidayahnya sehingga kami bisa menyelesaikan makalah ini,Tak lupa
sholawat serta salam kepada junjungan kita baginda rosulillah muhammad shalallaahu alaihi
wassalaam.
Selanjutnya penulis mengucapkan banyak terima kasih kepada dosen pembibing mata
kuliah Ilmu kalam, Ustadz susapto S.Fil.I,MPI. yang telah memberikan kesempatan kepada saya
untuk dapat mempresentasikan makalah ini.
Penulis sadar bahwa makalah ini masih jauh dari kata sempurna. Oleh karena itu saya
sangat menerima kritik dan saran dari Dosen atau pihak-pihaklain yang terkait.

Penulis

Sukorejo,25 Februari 2022

1
2
BAB I
A. LATAR BELAKANG

Latar belakang aliran ma’turidiyah, aliran ma’turidiyah lahir di Samarkhan di pertengahan tahun
kedua dari abad IX M. Pendirinya adalah Abu Mansur Muhammad Ibnu Muhammad Ibnu
Muhammad Al-Ma’turidi. Ia sebagai penganut Abu Hanifah sehingga teologinya memiliki
banyak persamaan dengan paham-paham yang dipegang oleh Abu Hanifah. Ada suatu pendapat
yang mengatakan bahwa ada karangan–karangan yang disusun oleh al-Ma’turidi, yaitu Risalah
Fi Al-Aqaid dan Syarh Al-Fiqh Al-Akbar. Menurut para ulama Hanafiah dalam bidang akidah
sama benar dengan pendapat-pendapat Imam Abu Hanifah. Sebelum Imam Abu Hanifah terjun
dibidang fikih dan menjadi tokohnya, beliau telah lama berkecimpung dalam bidang akidah serta
banyak pula mengadakan tukar pendapat dan perdebatan-perdebatan yang dikehendaki pada
masa zamannya.
Maturidiyah semasa hidupnya dengan Asy’ary, hanya dia hidup di Samarkand sedangkan
Asy’ary hidup di Basrah. Asy’ary adalah pengikut Syafii dan Maturidy pengikut Mazhab
Hanafy. Karena itu kebanyakan pengikut Asy’ary adalah orang-orang Sufiyyah, sedang pengikut
pengikut Maturidy adalah orang-orang Hanafiah
Maturidiyah muncul sebagai reaksi terhadap pemikiran Mu’tazilah. Reaksi ini timbul karena
adanya perbedaan pendapat antara aliran Mu’tazilah dan aliran Maturidiyah diantaranya[3], yaitu
: Maturidiyah berpendapat bahwa kewajiban megenai Allah mungkin dapat diketahui oleh akal.
Dalam hal ini, Maturidiyah tidak menggunakan tern wajib seperti yang digunakan oleh
Mu’tazilah. Sementara asy’ariyah berpendapat kewajiban mengetahui ‘tidak mungkin’ melalui
akal.

B.    RUMUSAN MASALAH


1.    Bagaimana sejarah munculnya faham Ma’turidiyah?
2.    Siapakah tokoh-tokoh Ma’turidiyah dan pengaruhnya terhadap umat islam?
3.    Bagaimana pengaruh pemikiran Ma’turidiyah terhadap umat islam?

C.    TUJUAN
Agar kita dapat mengetahui sejarah munculnya Ma’turidiyah dan ajarannya. Sehingga kita dapat
mengerti dan paham perkembangan peradaban pada zaman dahulu.

3
BAB II
PEMBAHASAN

A. Sejarah Munculnya Paham Ma’turidiyah

Abu Manshur Muhammad Ibn Muhammad Ibn Mahmud Al-Maturidi. Ian dilahirkan disebuah
kota kecil didaerah Samarkhan yang bernama Maturid, di wilayah Temsoxiana di Asia Tengah di
daerah yang sekarang disebut Uzbekistan. Tahun kelahirannya tidak diketahui pasti, hanya
diperkirakan sekitar pertengahan abad ke-3 H. Ia wafat pada tahun 333 H / 944 M. Gurunya
dalam bidang fiqh dan teologi yang bernama Nasyir bin Yahya Al-Balakhi, ia wafat pada tahun
268 H. Al-Maturidi hidup pada masa khalifah Al-Mutwakil yang memerintah pada tahun 232-
274 H / 847-861 M. Karir pendidikan Al-Maturidi lebih dikonsentrasikan untuk menekuni
bidang teologi daripada fiqh. Pemikiran-pemikirannya banyak dituangkan dalam bentuk karya
tulis, diantaranya adalah kitab Tauhid, Ta’wil Al-Qur’an Makhas Asy-syara’I, Al-Jald, dll.
Selain itu ada pula karangan-karangan yang diduga ditulis oleh Al-Maturidi yaitu Al-Aqaid dan
Syarah Fiqh.
    Al-Maturidiyah merupakan salah satu sekte Ahl-al-sunnah Al-jamaah, yang tampil dengan
Asy’ariyah. Maturidiyah dan Asy’ariyah dilahirkan oleh kondisi sosial dan pemikiran yang
sama. Kedua aliran ini datang untuk memenuhi kebutuhan mendesak yang menyerukan untuk
menyelamatkan diri dari ekstriminasi kaum rasionalis, dimana yang berada paling depan.
    Menurut ulama-ulama Hanafiah, hasil pemikiran Al-Maturidi dalam bidang aqidah sama besar
dengan pendapat-pendapat Imam Abu Hanifah. Imam Abu Hanifah sebelum terjun dalam fiqh
dan menjadi tokohnya, telah lama berkecimpung dalam bidang aqidah serta bamyak pula
mengadakan tukar pendapat dan perdebatan-perdebatan seperti yang dikehendaki oleh suasana
zamannya, dan salah satu buah karyanya dalam bidang aqidah ialah bukunya yang berjudul “Al-
Fiqhul Akbar”. 
    Al-maturidi dinilai sebagai ilmu kalam sunni yang menghidupkan aqidah ahlu assunnah
dengan metode akal. Meskipun al-maturidi hidup semasa dengan al-asy’ari tetapi antara
keduanya tidak ada komunikasi dan saling mengenal pendapatnya. Jadi, meskipun keduanya
terdapat banyak kesamaan dalam tujuan dan cara menuju tujuan, tetapi al-maturidi mempunyai
cara yang berbeda dengan asy’ari. Latar belakang fiqih ikut berpengaruh. Al-asy’ari bermadzhab
syafi’I yang dikenal moderat, tetapi dekat dengan tradisionalis, banyak terikat kepada nash nash
naqli, sedang al-maturidi bermadzhab fiqih Imam Abu Hanifah yang dikenal ahl ra’yi lebih
cenderung rasionalis. 
    Dalam pemikiran itu ternyata, bahwa pikiran-pikiran al-maturidi sebenarnya berintikan
pikiran-pikiran Abu Hanifah dan merupakan penguraiannya yang lebih luas. Kebanyakan ulama-
ulama maturidiyah terdiri dari orang-orang pengikut aliran fiqih hanafiah, seperti Fahrudin Al-
Bazdawi, At-Taftazani, An-Nasafi, Ibnul Hammam, dll.
    Memang aliran asy’ariyah lebih dulu menentang paham-paham dari aliran mu’tazilah. Seperti
yang kita ketahui, al-maturidi lahir dan hidup di tengah-tengah iklim keagamaan yang penuh
dengan pertentangan pendapat antara Mu’tazilah dan asy’ariyah sekitar masalah kemampuan
akal manusia. Maka dari itu, al-maturidi melibatkan diri dalam pertentangan itu dengan
mengajukan pemikiran sendiri. Pemikirannya itu merupakan jalan tengah antara aliran
Mu’tazilah dan Asy’ariyah.

4
    Pemikiran- pemikiran AL-Mathuridi bertujuan untuk membendung paham Mu’tazilah seperti
jga aliran Asy-‘Ariyah. Namun demikian tidak seluruh pemikirannya bertentangan dengan
Mu’tazilah. Bahkan dalam beberapa hal pemikirannnya hampir sama dengan pendapat
Mu’tazialh. Oleh karena itu, sering kali Al-Maturidi disebut “Berada diantara teologi dan
mu’tazilah dan Asy’ariyah.   Dalam perkembangan sejalanjutnya aliran Maturidi menjadi terbagi
dua sekte yakni Sekte Al-Maturidiyah Samarkhan (Abu Mansur Al-Maturidiyah) dan Al-
Maturidiyah Al-Bukhoro (Abu Al-Alyusr Muhammad Bazdawi).

GOLONGAN-GOLONGAN ALIRAN MATURIDIYAH


Aliran Maturidiyah terbagi dalam 2 golongan, yaitu:

1. Golongan Samarkand

Yang menjadi golongan ini adalah pengikut-pengikut Maturidiyah sendiri. Golongan ini
cenderung kearah paham Mu’tazilah, mengenai sifat-sifat Tuhan. Menurut Maturidi, Tuhan
mempunyai sifat-sifat. Tuhan mengetahui bukan dengan zat-Nya, melainkan dengan
pengetahuanNya. Begitu juga Tuhan berkuasa bukan dengan zatNya.

Maturidi menolak paham-paham Mu’tazilah, antara lain dalam soal:

1)      Tidak sepaham mengenai pendapat Mu’tazilah yang mengatakan bahwa Al-Qur’an itu
makhluk.

2)      Al salah wa al Aslah.

3)      Paham posisi menengah kaum Mu’tazilah.

Bagi Maturidiyah Samarkand, iman tidaklah cukup dengan tashdiq, tetapi harus dengan ma’rifah
pula. Tidak akan ada tashdiq kecuali setelah ada ma’rifah. Jadi, ma’rifah menimbulkan tashdiq.

Iman versi Maturidiyah Samarkand adalah mengetahui Tuhan dalam ketuhananNya. Ma’rifah
adalah mengetahui Tuhan dengan segala sifatNya dan Tauhid adalah mengetahui Tuhan dalam
KeesaanNya. Qadir adalah mengetahui Tuhan dalam kekuasanNya
Golongan ini tidak mendapat kesulitan dalam memecahkan persoalan keadilan. Baginya,
perbuatan manusia itu dikendaki oleh manusia sendiri dan dia dihukum atas perbuatan yang
dilakukannya atas dasar kebebasan yang diberikan Tuhan kepadanya. Tuhan hanya membalas
perbuatan baik dengan pahala dan membalas perbuatan jahat dengan siksa.

2. Golongan Bukhara

Golongan Bukhara di pimpin oleh Abu al-Yusr Muhammad Al-bazdawi. Yang di maksud
golongan Bukhara adalah pengikut-pengikut Al-Bazdawi di dalam aliran Maturidiyah, yang
mempunyai pendapat lebih dekat kepada pendapat-pendapat Asy’ari.

5
Namun, walaupun sebagai aliran Maturidiyah, Al-Bazdawi tidak selamanya sepaham dengan
Maturidiyah. Ajaran-ajaran teologinya banyak di anut oleh sebagian umat Islam yang bermazhab
hanafi.

Golongan bukhara berkeyakinan bahwa akal tidak dapat mengetahui kewajiban-kewajiban


karena akal hanya mampu mengetahui sebab kewajiban Tuhan.

B. Tokoh – tokoh Al – Ma’turidiyah


1. Tokoh al Maturidiyah Samarkhan

Nama aslinya Muhammad ibn Muhammad ibn Muhammad Abu Mansur al Maturidi. Asalanya
dari Maturidi yaitu sesuatu daerah yang di Samarkhan. Sehingga terkadang namanya disandarkan
pada samarkhan dan biasa dipanggil Abu Mansyur Muhammad ibn Muhammad ibn Muhammad
ibn Mahmud al-Maturidi as-Samarkhan.  Beliau dilahirkan tepatnya di Maturid, Uzbekistan para
paruh kedua abad ke 9 M.  Sebenarnya tahun kelahirannya tidak diketahui secara pasti, namun
Muhammad Ab Zahrah menuliskan, diperkiirakan pada pertengahan abad ke 3 H. karena beliau
mereguk ilmu fikih madzhab Hanafi dan ilmu kalam dari Nasr Ibn Yahya al-Baikhi yang wafat
pada tahun 268 H.
Abu Mansur al-Maturidi merupakan seorang teologian (mutakallimin) pembentuk ilmu kalam
dari Nasr Ibn Yahya al-Balkhi yang wafat pada tahun 268 H. Pandangan lain mengatakan bahwa
Abu Mansur al-Maturidi merupakan seorang teologian (mutakillimin) pembentuk ilmu kalam
(teologi Islam) yang wafat pada tahun 333 H./944 M.  Beliau hidup pada sekitar abad ketiga dan
keempat Hijriyah atau pada pertengahan abad kesembilan sampai dengan pertengahan abad
kesepuluh Masehi.
Semasa hidupnya al-Maturidi menerima ilmu dari banyak guru, di antaranya dari Abu Nashr
Ahmad ibn al-Abbas al-Bayadi, Ahmad ibn Ishak al-Jurjani dan Nashr ibn Yahya al-Balkhi yang
merupakan ulama terkemuka dalam mazhab Hanafiah.
Al-Maturidi dalam bidang yang dikajinya menyusun sejumlah kitab yang cukup banyak. Di
antaranya adalah : “Kitab Ta‘wil al-Qur’an, Kitab al-Ma‘khuz al-Syara‘i, Kitab al-Jadal, Kitab
al-Usul fi Usul al-Din, Kitab al- Maqalat fi al-Kalam, Kitab Radd Tahdzib al-Jadal li al-Ka’bi,
Kitab Radd al-Usul al-khamsah li Abi Muhammad al-Babili, Radd Kitab al-Imamah li Ba’dhi al-
Rawafid dan al-Radd ‘ala al-Qaramitah”
Al-Maturidi merupakan pengikut setia dari Abu Hanifah yang terkenal ketat dengan keabsahan
pendapat akal. Sehingga al-Maturidi banyak memakai komparasi akal dalam penyelesaikan
problem keagamaan (teologi). Pengikut dari al-Maturidi, salah satunya adalah Abu al-Yusr
Muhammad al-Bazdawi (421-493 H). Nenek al-Bazdawi merupakan murid dari al-Maturidi, dan
ajaran al-Maturidi dari orang tuanya. Al-Bazdawi tidak selamanya sepaham dengan al-Maturidi.
Perbedaan pendapat di antara mereka menyebabkan aliran al-Maturidi terbagi menjadi dua
golongan, golongan Samarkhan dan golongan Bukhara.

2. Tokoh al-Maturidiyah Bukhara

Al-Bazdawi lahir di Hudud sebuah negeri di Bazdah akhir 400 H/1010 M. Nama lengkapnya Ali
ibn Abi Muhammad ibn al-Husaein ibn Abd al- Karim ibn Musa ibn Isa ibn Mujahis al-Bazdawi.

6
Al-Bazdawi adalah seorang tokoh besar yang berpengaruh pada zaman itu. Hal ini terlihat
dengan keberhasilannya menjadi sub aliran Maturidiyah yang kemudian di kenal dengan nama
Maturidiyah Bukhara. Di samping itu, al-Bazdawi memiliki beberapa gelar yaitu al-Mujtahid fi
al-Masail (mujtahid yang tidak berjtihad sepanjang masih ada pendapat imamnya, tetapi apabila
ada masalah hukum yang belum dibahas oleh imamnya, maka mereka berjitihad untuk
memecahkannya), huffadz al-mazhab al-Hanafi (pelestari mazhab Hanafi), kebanggan Islam, dan
Abu al-Usr’ (bapak kesulitan).
Keberhasilan-keberhasilan itu dicapainya dengan menorehkan beberapa hasil pemikirannya
sesuai dengan bidang ilmu yang diketahuinya, di antaranya sebagai berikut:
a. Menurutnya ilmu terbagi atas 2 yakni pertama, ilmu tauhid dan sifat, ilmu ini pada
prinsipnya berpegang teguh pada al-Qur’an dan hadis serta menghindari dari hawa nafsu
dan bid’ah. Umat Islam harus mengikuti terikat (cara-cara yang ditempuh) sunnah atau
jamaah yang ditempuh oleh sahabat, tabi’in dan orang-orang saleh, sebagaimana diajarkan
oleh ulama sebelumnya. Kedua, ilmu syariat dan hukum.

b.    Bidang usul fikih, al-Bazdawi mengajukan pemikiran di sekitar ijma’. Baginya ada beberapa
tingkatan ijma’, yakni 1). Ijma’ sahabat, kedudukannya sama dengan ayat dan khabar mutawatir ,
2). Ijma’ orang-orang sesudah sahabat, kedudukannya sama dengan hadis masyhur, dan 3). Ijma’
mujtahid, yakni pada masa salaf, kedudukannya sama dengan hadis ahad. Menurutnya ijmak
dapat dinasakh oleh ijma’ yang setaraf. Inilah yang membuat perbedaan dengan ulama-ulama
usul fikih lainnya yang menyatakan bahwa ijma’ tidak dapat dibatalkan dengan ijma’.

c.    Dalam bidang fikih, bahwa fikih dari tiga sumber yaitu kitab, sunnah dan ijma’, sedangkan
qiyas di istinbat-kan dari asal yang tiga tersebut. Hukum-hukum syara’ hanya diketahui dengan
mengetahui peraturan dan pengertian (nazham wa al-ma’na) yang terdiri dari empat bagian.
Pertama, dalam bentuk peraturan adalah sighat dan bahasa. Kedua, penjelasan peraturan, ketiga
mempergunakan peraturan dalam bab bayan (penjelasan), dan keempat, mengetahui batas
maksud dan makna karena keluasannya dan banyak kemungkinannya.  Dalam bidang ilmu fikih,
al-Bazdawi termasuk pengikut mazhab Hanafi yang ditempatkan pada posisi paling tinggi.
Karena Imam Hanafi menurutnya berani menasakh al-Qur’an dengan hadis dan mengamalkan
hadis mursal dan beranggapan beramal dengan hadis mursal lebih baik dari pada beramal dengan
ra’yi (pemikiran hasil ijtihad).

d.    Pemikirannya yang sulit dipahami oleh Abdul Azis Bukhari ketika menulis Kasyf al-Asrar
adalah ungkapan wa lamma haza al-kitab kasyifan ‘an sammaituhu ghawamid muhtajibah ‘an
alabsar, nasib ‘an sammaituhu kasyif al-asrar. (berhubung karena kitab ini berfungsi sebagai
usaha untuk menyikap masalah yang tidak terjangkau oleh pengertian [sulit sekali], maka
tepatlah apabila aku memberinya judul Menyingkap Rahasia.

Selain dari itu, al-Bazdawi semasa hidupnya memiliki karya-karya yang terbilang tidak sedikit
jumlahnya antara lain :1). Al-Mabsut (yang terbentang), 2). Syar Jami’ al-Kabir (komentar
terhadap al-Jami’ al-Kabir karangan al-Syaibani), 3). Syarh al-Jami’ al-Sagir (komentar terhadap
al-Jami’ al-Sagir karangan al-Syaibani). 4). Syarh al-Ziyadah al-Ziyadat (komentar terhadap
buku Ziyadah al-Ziyadat karangan al-Syaibani, 5). Usul al-Bazdawi (pokok-pokok pikiran al-
Bazdawi). 6). Usul al-Din (pokokpokok agama), 7). Kasyf al-Asrar fi Tafsir al-Qur’an
(menyikap tabir dalam tafsir al-Qur’an), 8). Amali Tafsir al-Qur’an (beberapa ide tentang tafsir

7
al-Qur’an), 9). Sirah al-Mazhab fi Sifah al-Adab, (tentang sejarah, tokoh, dan aliran sastra), 10).
Syarh Taqwim al-Adillah (komentar terhadap buku Taqwim al-Adillah), 11). Syarh al-Jami’ al-
Sahih li al-Fuqaha (senandung ahli fikih) dan 13). Al-Waqiat (buku yang berisi mengenai
keputusan pengadilan).
Al-Bazdawi semasa hidupnya pernah menjabat sebagai hakim dan mengajarkan ilmunya kepada
para murid-muridnya, salah satu muridnya ialah Najm al-Din Muhammad al-Nasafi (460-573 H.)
serta mengajarkan ajarannya terutama mengenai teologi Maturidiyah Bukhara sampai menjelang
tutup usia pada tahun 493 H

C. Pengaruh Pemikiran Ma’turidiyah

a. Akal dan wahyu

Dalam pemikiran teologinya, Al-Maturidi mendasarkan pada Al-Qur’an dan akal. Dalam hal ini,
ia sama denggan Al-Asy’ari. Akan tetapi, porsi yang diberikan pada akal lebih besar daripada
yang diberikan oleh Al-Asy’ari.
Menurut Al-Maturidi, mengetahui Tuhan dan kewajiban mengetahui Tuhan dapat diketahui
dengan akal. Kemampuan akal mengetahui dua hal tersebut sesuai dengan ayat-ayat Al-Qur’an
yang mengandung perintah agar manusia menggunakan akal dalam usaha memperoleh
pengetahuan dan iman terhadap Allah melalui pengamatan dan pemikiran yang mendalam
tentang makhluk ciptaan-Nya. Apabila akal tidak mempunyai kemampuan memperoleh
pengetahuan tersebut, Allah tidak akan memerintahkan manusia untuk melakukannya. Orang
yang tidak mau menggunakan akal untuk memperoleh iman dan pengetahuan mengenai Allah
berarrti meninggalkan kewajiban yang diperintahkan ayat-ayat tersebut. Menurut Al-Maturidi,
akal tidak mampu mengetahui kewajiban-kewajiban lainnya, kecuali dengan bimbingan dari
wahyu. Al-Maturidi membagi sesuatu yang berkitan dengan akal pada tiga macam, yaitu:
1) Akal hanya mengetahui kebaikan sesuatu itu;
2) Akal hanya mengetahui keburukan sesuatu itu;
3) Akal tidak mengetahui kebaikan dan keburuksn sesuatu, kecuali dengan petunjuk ajaran
wahyu.
Mengetahu kebaikan atau keburukan sesuatu dengan akal, Al-Maturidi sependapat dengan
Mu’Tazilah. Perbedaannya, Mu’tazilah mengatakan bahwa perintah kewajiban melakukan yang
baik dan meninggalkan yang buruk didasarkan pada pengetahuan akal. Al-Maturidi mengatakan
bahwa kewajiban tersebut harus diterima dari ketentuan ajaran wahyu. Dalam persoalan ini, Al-
Maturidi berbeda pendapat dengan Al-Asy’ari. Menurut Al-Asy’ari, baik atau buruk tidak
terdapat pada sesuatu itu sendiri. Sesuatu itu dipandang baik atau buruk karena perintah syara’
dan dipandang buruk karena larangan syara’. Jadi, yang baik itu baik karena perintah Allah dan
yang buruk karena larangan Allah. Pada
konteks ini, ternyata Al-Maturidi berada pada posisi tengah dari Mu’tazilah dan Al- Asy’ari.

b. Perbuatan Manusia

Menurut Al-Maturidi, perbuatan manusia adalah ciptaan Tuhan karena segala sesuatu dalam
wujud ini adalah ciptaan-Nya. Khusus mengenai perbuatan manusia, kebijaksanaan dan keadilan
kehendak Tuhan mengharuskan manusia memiliki kemampuan berbuat (ikhtiar) agar kewajiban-
kewajiban yang dibebankan kepadanya dappat dilaksanakan.

8
Dalam hal ini, Al-Maturidi mempertemukan antara ikhtiar sebagai perbuatan manusia dengan
qudrat Tuhan sebagai pencipta perbuatan manusia. Tuhan menciptakan daya (kasb) dalam diri
manusia dan manusia bebas menggunakannya. Daya-daya tersebut diciptakan dengan
perbuatan manusia. Dengan demikian, tidak ada pertentangan antara qudrat Tuhan yang
menciptakan perbuatan manusia dengan ikhtiar yang ada pada manusia. Kemudian,
karena daya diciptakan dalam diri manusia dan perbuatan yang dilakukan adalah perbuatan
manusia dalam arti yang sebenarnya sehingga daya itu daya manusia. Berbeda dengan Al-
Maturidi, Al-Asy’ari mengatakan bahwa daya tersebut adalah daya Tuhan karena ia memandang
perbuatan manuisa adalah perbuatan Tuhan. Berbeda pula dengan Mu’tazilah yang memandang
daya sebagai daya manusia yang telah ada sebelum perbuatan itu sendiri.
Dalam hal pemakain daya, Al-Maturidi membawa paham Abu Hanifah, yaitu adanya masyi’ah
(kehendak) dan rida (kerelaan), kebebasab manusia dalam melakukan baik ataun buruk tetap
dalam kehendak Tuhan. Tetapi memilih yang diridai-Nya atau yang tidak diridai-Nya. Manuisa
berbuat baik atas kerelaan Tuhan, dan berbuat buruk juga atas kehendak Tuhan, tetapi tidak ada
kerelaan-Nya. Dengan demikian, manusia dalam paham Al-Maturidi tidak sebebas manusia
dalam pahara Mu’tazilah.

c. Kekuasaan dan Kehendak mutlak Tuhan

Telah diuraikan di atas bahwa perbuatan manusia dan segala sesuatu dalam wujud ini, yang baik
atau buruk adalah ciptaan Tuhan. Akan tetapi, pernyataan ini menurut Al-Maturidi bukan berate
Tuhan berkehendak dan berbuat dengan sewenang-wenang serta sekehendak-Nya, karena qudrat
Tuhan tidak sewenang-wenang (absolut),tetapi perbuatan dan kehendak-Nya itu berlangsung
sesuai dengan hikmah dan keadilan yang sudah ditetapkan-Nya.

d. Sifat Tuhan

Berkaitan dengan masalah sifat Tuhan, dapat ditemukan persamaan antara pemikiran Al-
Maturidi dengan Al-Asy’ari. Seperti halnya Al-Asy’ari, ia berpendapat bahwa Tuhan
mempunyai sifat-sifat, seperti sama’bashar, dan sebagainya. Walaupun begitu, pengertian Al-
Maturidi tentang sifat Tuhan berbeda dengan Al-Asy’ari. Al- Asy’ari mengartikan sifat Tuhan
sebagai sesuatu yang bukan dzat. Menurut Al-Maturidi, sifat tidak dikatakan sebagai esensi-Nya.
Sifat-sifat Tuhan Tuhan itu mulazamah (ad bersama, baca inherent) dzat tanpa terpisah (innaha
lam takun ‘ain adz-dzat wa la hiya ghairuhu). Menetapkan sifat bagi Allah tidak harus membawa
pada pengertian antropomorfisme karena sifat tidak berwujud yang terdiri dari dzat, sehingga
berbilang sifat tidak akan membawa pada berbilangnya yang qadim(taaddud al-qudama).i
Tampaknya, paham Al-Maturidi tentang makna sifat Tuhan cenderung mendekati paham
Mu’tazilah. Perbedan keduanya terletak pada pengakuan Al-Maturidi tentang adanya sifat-sifat
Tuhan, sedangkan Mu’tazilah menolak adanya sifat-sifat Tuhan.

e. Tuhan

Melihat Al-Maturidi mengatakan bahwa manusia dapat melihat Tuhan. Tentang melihat Tuhan
ini dibeeritakan oleh Al-Qur’an, diantara lain firman Allah dalam surat Al-Qiyamah ayat 22 dan
23.

9
Al-Maturidi lebih lanjut mengatakan bajwa Tuhan kelak di akhirat dapat ditangkap dengan
penglihatan karena Tuhan mempunyai wujud, walaupun ia immaterial. Melihat Tuhan kelak di
akhirat tidak meperkenalkan bentuknya (bila kaifa) karena keadaan diakhirat tidak sama dengan
keadaan di dunia.

f. Kalam Tuhan

Al-Maturidi membedakan antara kalam yang tersusun dengan huruf dan bersuara dengan kalam
nafsi (sabda yang sebenarnya atau makna abstrak). Kalam nafsi adalah sifat qadim bagi Allah,
sedangkan kalam yang tersusun dari huruf dan suara adalah baharu(hadis). Al-Qur’an dalam arti
kalam yang tersusun dari huruf dan kata-kata adalah baharu (hadis). Kalam nafsi dan manusia
tidak dapat mendengar atau membacanya, kecuali dengan perantara.
Menurut Al-Maturidi, Mu’tazilah memandang Al-Quran sebagai yang tersusun dari huruf-huruf
dan kata-kata, sedangkan Al-Asy’ari memandang nya dari segi makna abstrak. Berdasarkan
setiap pandangan tersebut, kalam Allah menurut Mu’tazilah bukan sifat-Nya dan bukan pula lain
dari dzat-Nya.
Al-Qur’an sebagai sabda Tuhan bukan sifat, melainkan perbuatan yang diciptakan Tuhan dan
tidak bersifat kekal. Pendapat Mu’tazilah ini diterima Al-Maturidi, tetapi Al-Maturidi lebih suka
menggunakan istilah hadis sebagai ganti Makhluk untuk sebutan Al-Quran. Dalam konteks ini,
pendapat Al-Asy’ari juga ada kesamaan dengan pendapat Al-Maturidi karena yang dimaksud Al-
Asy’ari dengan sabda adalah makna abstrak, tidak lain dari kalam nafsi menurut Al-Maturidi dan
itu sifat kekal Tuhan.

g. Perbuatan Manusia

Menurut Al-Maturidi tidak ada sesuatu yang terdapat dalam wujud ini, kecuali semua adalah
dalam kehendak Tuhan. Kehendak Tuhan tidak ada yang memaksa atau membatasinya, kecuali
ada hikmah dan keadiln yang ditentukan oleh kehendak-Nya. Oleh karena itu, Tuhan idak wajib
bagi-Nya berbuat ash-ashlah (yang baik dan terbaik bagi manusia). Setiap perbuatan Tuhan yang
bersifat mencipta atau kewajiban-kewajiban yang dibebankan kepada manusia tidak terlepas dari
hikmah dan keadilan yang dikehendakinya. Kewajiban-kewajiban tersebut antara lain.
(1) Tuhan tidak akan membebankan kewajiban-kewajiban kepada manusia diluar
kemampuannya karena hal tersebut tidak sesuai dengan keadilan, dan manusia juga diberi Tuhan
kemerdekaan dalam kemampuan dan perbuatannya.
(2) Hukuman atau ancaman dan janji pasti terjadi karena yang demikian merupakan tuntutan
keadilan yang sudah ditetapkan-Nya.

h. Pengutusan Rasul

Akal tidak selamanya mampu mengetahui kewajiban-kewajiban yang dibebankan kepada


manusia, seperti kewajiban mengetahui hal baik dan buruk serta kewajiban lainnya dari syariat
yang dibebankan kepada manusia. Al-Maturidi berpendapat bahwa akal memerlukan bimbingan
ajaran wahyu untuk dapat mengetahui kewajiban-kewajiban tersebut. Jadi, pengutusan Rasul
adalah hal niscaya yang berfungsi sebagai sumber informasi. Tanpa mengikuti ajaran wahyu
yang disampaikan Rasul, berarti manusia membebankan akalnya pada sesuatu yang berada diluar
kemampuannya.

10
Pandangan Al-Maturidi ini tidak jauh berbeda dengan pandangan Mu’tazilah yang berpendapat
bahwa pengutusan Rasul ke tengah-tengah umatnya adalah Kewajiban Tuhan, agar manuisa
dapat berbuat baik dan terbaik dalam kehidupannya dengan ajaran para Rasul.

i. Pelaku dosa besar

Al-Maturidi berpendapat bahwa orang yang berdosa tidak kafir dan tidak kekal didalama neraka,
walaupun ia meninggal sebelum bertobat. Hal ini karena Tuhan telah menjanjikan akan balasan
kepada manusia sesuai dengan perbuatannya. Kekal di dalam neraka adalah balasan untuk orang
yang berbuat dosa syirik. Berbuat dosa besar selain syirik tidak akan kekal di dalam neraka. Oleh
karena itu, perbuatan dosa besar (selain syirik) tidak menjadikan seseorang kafir atau murtad.
Menurut Al-Maturidi, iman itu cukup dengan tashdiq dan iqrar. Adapun amal adalah
penyempurnaan iman. Oleh karena itu, amal tidak akan menambah atau mengurangi esesnsi
iman, kecuali menambah atau mengurangi pada sifatnya.

11
BAB III
PENUTUP

Kesimpulan

Al-Maturidiyah merupakan salah satu sekte Ahl-al-sunnah Al-jamaah, yang tampil dengan
Asy’ariyah. Maturidiyah dan Asy’ariyah dilahirkan oleh kondisi sosial dan pemikiran yang
sama. Kedua aliran ini datang untuk memenuhi kebutuhan mendesak yang menyerukan untuk
menyelamatkan diri dari ekstriminasi kaum rasionalis, dimana yang berada paling depan.
Para tokoh-tokoh dalam aliran Ma’turidiyah yaitu:
a.    Al-Maturidiyah Samarkhan
b.    Al-Maturidiyah Bukhara
Adapun pengaruh-pengaruh pemikiran Ma’turidiyah:
a.    Akal dan wahyu
b.    Perbuatan Manusia
c.    Kekuasaan dan Kehendak mutlak Tuhan
d.    Sifat Tuhan
e.    Tuhan
f.    Kalam Tuhan
g.    Perbuatan Manusia
h.    Pengutusan Rasul
i.    Pelaku dosa besar

12
DAFTAR PUSTAKA

https://makalahsekolah96.blogspot.com/2018/11/makalah-tentang-aliran-al-maturidiyah.html

https://rinaahwayida.wordpress.com/2013/02/15/aliran-maturidiyah-makalah-ini-dibuat-untuk-
memenuhi-tugas-mata-kuliah-akidah-2-di-presentasikan-jumat-4-mei-2012-oleh-ela-meiteti-nela-rani-
pasla-rina-ahwayida-yuyun-anshari-lokal/

13

Anda mungkin juga menyukai