Anda di halaman 1dari 76

LAPORAN BUKU

A WORLD HISTORY OF CHRISTIANITY


by
ADRIAN HASTINGS
Cassel: The Bath Press, 1999 Bab 5-6 dan 9-10

OLEH : RAMLI SN HARAHAP


NIM : 242106
DOSEN : Pdt.Dr.JAN SIHAR ARITONANG,Ph.D

TUGAS KETIGA PADA AREA KONSENTRASI STUDI I

PROGRAM STUDI PASCASARJANA

MAGISTER THEOLOGIAE

SEKOLAH TINGGI TEOLOGI JAKARTA

(STT JAKARTA)

JL.PROKLAMASI No.27 JAKARTA, 10320

Jakarta, 12 Desember 2007

0
PENDAHULUAN
Buku yang berjudul A World History of Christianity ini merupakan kumpulan
beberapa tulisan dari para penulis yang disunting oleh Adrian Hastings. Sebenarnya
buku ini berasal dari bahan kursus tahun 1994 secara koresponden di antara Judith
Longman dengan Peter Hinchliff. Menurut mereka Kekristenan itu dilihat
hubungannya dengan perbedaan budaya dunia dan daerah yang terjadi di Asia, Afrika,
Amerika, Australia dan Pasifik.
Namun dalam bahasan ini Kekristenan itu akan dibahas di beberapa negara dan
daerah yaitu: India, Afrika, Amerika Latin, serta Cina dan tetangganya.

1. INDIA1
Oleh: R.E.Frykenberg

“Kedatangan” atau “timbulnya” Kekristenan di India bukanlah tiba-tiba dan juga


bukan sederhana. Penyebaran orang Kristen dan jemaat di India masih terus
berlangsung dan berproses. Proses ini diyakini dimulai dua ribu tahun yang lalu atau
kira-kira tahun 52M hingga saat ini. Injil berkembang pelan, orang-orang yang
percaya juga satu persatu dan kadang-kadang secara massal. Secara sederhana,
identifikasi gelombang orang Kristen tiba di India adalah: masa dulu, pertengahan dan
modern yang dihubungkan dengan rasul Thomas (termasuk
Babilonia/Chaldean/Orthodoks Siria), Katolik (Roma) dan Evangelis (Protestan).
Secara umum orang Kristen dikenal sebagai: “Orang Kristen Thomas“, (orang Kristen
yang tertua dan hampir diutamakan); kemudian “Kristen Katolik” dan “Kristen
Protestan” yang masing-masing memiliki atribut yang berbeda dalam istilah normatif
yang diterapkan pada orang Kristen. Misalnya orang Kristen di Malabar dan Mylapur
mengatakan berasal dari pertobatan Rasul Thomas dan berbaur dalam pertumbuhan
yang kompleks. Setiap yang datang kemudian membangkitkan ‘reformasi’ internal,
‘kebangkitan’, atau ‘kebangkitan kembali’.

GELOMBANG PERTAMA TIBA: KRISTEN THOMAS2


Zaman Purbakala orang Kristen di India tidak mudah untuk diidentifikasi dan
dipahami. Kekristenan di India memiliki tendensi memamerkan sejarah pemahaman

1
Adrian Hastings (ed.), A World History of Christianity, Cassel: The Bath Press, 1999, hlm. 147-191
2
Ibid., hlm. 148-156

1
mereka dalam perbandingan dengan penduduk lain India. Mereka memelihara
itihasa-puranas dan vamshavalis mereka. Anggota keluarga harus menceritakan dan
menceritakan ulang sejarah mereka sendiri. Tradisi mereka mengindikasikan bahwa
Rasul Thomas datang dari laut Arab dan mendarat di pantai Malabar.
Sumber ini mengindikasikan bahwa Rasul, setelah tinggal di Malabar, berlayar
mengelilingi Cape Kanya-Kumari hingga Pantai Coromandel dan berhenti di Mylapur
(dulu kota Madras dan sekarang Chennai); dan setelah itu diteruskan ke Cina dan
kembali lagi kira-kira tahun 52M ke Malabar dan tinggal di Tiruvanchikkulam (dekat
Cranganore) dan mendirikan jemaat di Malankara, Chayal, Kokamangalam, Niraman,
Paravur (Kottakkayal), Palayur, dan Quilon. Akhirnya, mereka mengindikasikan
bahwa mereka mendapatkan pelatihan kepemimpinan (acharyas dan gurus) dari
keluarga kasta tertinggi setiap jemaat.
Frykenberg memberikan data Kekristenan di India sebagai berikut: 6.850
(Brahma), 2.800 (Ksatria), 3.750 (Waisia), dan 4.250 (Sudra). Namun tidak
disebutkan dari golongan yang “lain” (misalnya: Adivasis atau Dalit) yang mungkin
sudah menjadi orang Kristen.3
Menurut Frykenberg, tradisi lisan masih membekas di hati para keluarga di
Kerala bahwa pertobatan mereka waktu itu dihubungkan dengan Rasul Thomas.
Bahkan Vamshavalis (sejarah silsilah) otoritas kependetaan turun-temurun sebagai
kattanars (pendeta) atau sebagai metrans lokal (uskup atau penatua) – atas dasar
suksesi apostolik kembali ke Thomas. Seluruh tradisi ini lebih lanjut mengindikasikan
sejarah bahwa Thomas kembali ke Mylapur, barangkali tahun 69M. Mereka
menceritakan bagaimana raja setempat memenjarakan Thomas, ketika uang yang
dipercayakan padanya untuk mendirikan sebuah istana dibagi-bagi kepada orang
miskin; dan akhirnya bagaimana saudara raja bersaksi dan tujuh ratus narapidana
menerima Injil dan dibaptis.
Literatur tertua yang melaporkan pekerjaan misionaris Rasul di India ditemukan
dalam Kisah Thomas (Act of Thomas). Dokumen ini tidak diketahui aslinya, bahasa
atau asal mulanya. Penelitian paling awal tentang dokumen ini adalah dalam bahasa
Syria. Cerita itu sendiri diulangi dalam bentuk yang beraneka ragam dengan respon
pada Amanat Agung. Dalam cerita ini dikatakan bahwa Abban orang Gundaphorus
sedang mencari ahli bangunan untuk membangun istana baginya. Thomas adalah

3
Agama Hindu di India ada sebanyak 88%, agama Islam 8%, agama Kristen 2,5% serta agama lainnya
1,5% dari jumlah penduduk sekitar 1 miliyar

2
seorang ahli bangunan. Lebih lanjut diceritakan bahwa seorang gadis peniup seruling
Yahudi menjadi petobat rasul yang pertama. Kemudian Putri Raja menyaksikan
imannya kepada Kristus ketika hari pernikahan putri raja dan menolak untuk
mengikuti ritual pernikahan. Raja marah hingga memasukkan Thomas dan Abban ke
penjara. Suatu malam, abang raja (Gad) meninggal dan masuk sorga, memasuki istana
megah yang Thomas bangun bagi saudaranya, dia memohon kesempatan untuk
mengatakan pesan saudaranya dan tiba-tiba ia menjadi percaya bersama yang lainnya.
Semuanya menerima tiga tanda anugerah dari Rasul: mengurapi dengan minyak
(‘segel’), baptisan (‘tambahan segel’), dan perjamuan (‘roti dan anggur’ Perjamuan
Kudus) (Kis.Thomas 2:22-27). Setelah hal ini, Rasul kembali memulai perjalanan dan
membangun jemaat di tempat lain di India sebelum meninggal dalam kerajaan Raja
Mazdai di pantai sebelah timur.
Isyarat kehadiran Kekristenan mula-mula di India ditemukan dalam tulisan yang
tanggalnya hanya seabad atau dua abad kemudian dari tahun 73M hari kematian
Thomas yang dipelihara dalam tradisi setempat. Dari Aleksandria, seorang sarjana
Yahudi dan petobat Kristen yang bernama Pantaenus diutus ‘untuk memberitakan
Kristus pada orang Brahma dan para filsuf’. Menurut Eusebius, dia pergi ke India dan
‘menemukan bahwa Injil Matius telah ada sebelum dia dan sudah ada di tangan orang
di sana yang telah menerima Kristus’. Apakah hal ini benar, bahwa India adalah
tempat di mana Pantaenus pergi, tidak dapat ditentukan.
Bukti hubungan antara orang Kristen di Parthian Persia dan di Edessa (sekarang
dikenal sebagai Urfa yang modern di Turki) adalah kuat. Mengacu pada pluralisme
keagamaan, pemerintah Parthia mengijinkan orang Kristen mengatur komunitas
keagamaan dan menjadi kelompok minoritas yang penting di dalam Kekaisaran
Persia. Mereka umumnya keluarga menengah yang agak kaya, dikenal dari obat-
obatan mereka, pengetahuan dan posisi yang terpercaya di dalam pemerintahan.
Edessa adalah ibu kota dari sebuah negara kecil yang diperintah seorang pangeran
yang dikenal sebagai Osrhoene yang berada di antara kekaisaran Roma dan Parthia.
Setelah pengumuman resmi Edik Toleransi Yezderd (kira-kira tahun 401),
Gereja Persia menikmati masa restorasi. Hal ini bisa tercapai pada masa
pemerintahan Catholicos Isaac, ‘Metropolitan Agung dan Kepada Seluruh Uskup’.
Tetapi terjadilah perpecahan yang mendasar antara orang Kristen Barat dan Timur.
Para teolog di Edessa hingga Kekaisaran Sassania, melewati batas Byzantium,
menolak Konsili Efesus dan berpandangan Maria sebagai ‘Theotokos’ atau ‘Ibu

3
Allah’. Setelah tahun 431, hubungan dengan Barat menjadi melemah dan patriarkha
Babilonia atau ‘Gereja Timur’ mempengaruhi orang Kristen di Persia dan India.
Menurut Frykenberg mengapa Kekristenan menghilang dari Persia (dan juga
dari sebagian Arab) tidak bisa terjawab dengan tuntas. Namun menurutnya paling
sedikit ada dua faktor yang menyebabkan Kekristenan itu menghilang dari Persia.
Pertama, bentuk bahasa Kekristenan baik Syria maupun Persia hanya dipakai di
antara pemimpin gereja dan orang percaya yang sudah dibaptis. Bahasa Gereja, yaitu
bahasa Syria (sebuah bentuk Aram), menjadi bahasa eksklusif yang terus dipelihara
dan dipelajari. Di Persia dan di daerah lain ke timur, bahasa Syriac bukanlah bahasa
umum masyarakat. Dengan demikian banyak orang akhirnya tidak mengerti dan buta
huruf. Kedua, Kekristenan di Timur menjadi meningkat, bukan karena dipengaruhi
karakter biarawan dan selibat dalam ajaran-ajaran normatif sosial. Konsekuensinya
sangat sedikit diketahui tentang kehidupan sehari-hari orang percaya Kristen di Persia
atau di daerah timur lainnya. Orang bijak Persia, Aphrates, menulis pada permulaan
abad keempat bahwa orang Kristen di sana di bagi dalam dua kelompok : ‘Keturunan
Perjanjian’ (Bar Qiyama) dan ‘Orang-orang Petobat’ yang menekankan hanya orang
yang memiliki asketik dan hidup selibat yang dapat dibaptiskan. Namun sangat ironis
menurut Frykenberg bahwa setelah Islam masuk ke Persia, baik Kristen dan Zoroaster
menjadi terpinggirkan. Hanya orang Kristen Armenia yang bertahan di daerah utara
dan barat.
Dari perspektif orang India, proses yang orang Kristen lakukan, baik sebagai
pengungsi atau pendatang yang menetap dan pedagang yang telah tiba di pantai-pantai
sebelah barat India dari beragam waktu dan abad baik sebelum maupun setelah
kebangkitan Islam, dapat didokumentasikan. Misalnya dapat dilihat dari pengabulan
tanah dan hak istimewa yang diterima oleh orang Kristen. Sebuah tradisi
mengindikasikan bahwa pada permulaan tahun 293 penganiayaan besar terjadi di
dalam Kerajaan Chola di mana 76 keluarga lolos ke Malabar dan diam di antara orang
Kristen Quilon. Tahun 345 tidak lama setelah penganiayaan besar orang Kristen di
Kekaisaran Persia dimulai, komunitas orang Kristen Siria mendarat di pantai Malabar
di bawah pimpinan pedagang bankir Armenia yang bernama Thomas dari Kana.
Proses pemisahan di antara Timur dan Barat yang meningkat setelah
kebangkitan dan ekspansi Islam membawa banyak pengungsi Kristen menyeberang ke
Pantai Arab, yang terbebas dari penganiayaan. Pada abad kedelapan belas di
Kottayam diindikasikan bahwa dana bantuan diberikan oleh seorang raja yang

4
bernama Veera Raghavan Chakravarthi kepada pemimpin Kristen yang bernama
Eravi Korthan. Yang lain menyatakan empat tempat (dikenal sebagai Tarisa Palli
tempat [Kristen Persia], dua di Thiruvalla dan tiga di Kottayam) menunjukkan bahwa
hak istimewa itu diberikan oleh Aryan Aigal dari Venad kepada Marwan Savriso dari
Tyre pada permulaan abad selanjutnya (kira-kira 825) dan kemudian bahwa raja
Ayyan dari Vencat memberikan hak istimewa kepada Tarisa (Orang Kristen Persia),
Anjunannam (Yahudi), dan Manigrammam (anggota serikat pekerja buruh yang
menjadi Kristen).
Dengan demikian, menurut Frykenberg jelaslah bahwa perbedaan komunitas
orang Kristen yang berkembang dengan perlahan di Malabar menjadi banyak karena
daerah tersebut termasuk elit bangsawan. Dalam abad berikutnya menurut
Frykenberg, ekpresi Kekristenan mula-mula ini ditemukan di mana saja di
subkontinen (provinsi), baik bentuk idiologi maupun institusional. Paling sedikit ada
enam komunitas (masyarakat) yang masih mengklaim tradisi apostolik St.Thomas
sebagai dasar sejarah baik dalam sejarah asli maupun bagi ajaran mereka dan juga
otoritas kegerejaan. Keenam komunitas yang ditemukan saat ini adalah Gereja
Orthodoks Syria (dalam dua cabang), Gereja Independen Syria Malabar
(Kunnamkulam), Gereja Mar Thoma, Gereja Katolik Malankara (Ritus Syrian),
Gereja (Chaldea) Timur dan Gereja Evangelis St.Thomas.

RESPONS PADA MASA PADROADO DAN PROPAGANDA FIDE4


Sejarah umat Kristen di Timur dan di India, sejak masa penaklukan Mongol
hingga abad-abad selanjutnya adalah sungguh cerita respons asli dari ekspansi Eropa
(Farangi/Parangi) terhadap dunia Indo-Islam – militer, perdagangan dan misionaris.
Sementara itu masih banyak orang Kristen ‘Nestorian’ di antara orang Turki nomaden
di Asia Tengah berdasarkan laporan Marco Polo. Di bawah kekuasaan Indo-Islamik,
orang Kristen Armenia pindah bersama jalur perdagangan dan tinggal di pusat-pusat
pasar. Hanya setelah kejatuhan Konstantinopel tahun 1453 dan kedatangan orang
Portugis di Calicut tahun 1498, informasi tentang orang Kristen dan institusi Kristen
di Timur meningkat.
Estado da India Oriental Portugis belum pernah terjadi. Tahun demi tahun
armada-armada membawa ribuan tentara Farangi. Kekaisaran maritim Portugal
mempertahankan stasiun-stasiun – direntangkan di sepanjang pantai Lautan India dari
4
Adrian Hastings (ed.), A World History of …, hlm. 157-172

5
Mozambique dan Mombasa ke Muscat, Mumbai (Bombay), Kolombo, Maluku dan
Macau. Para tentara yang tinggal di sana menikah dengan gadis-gadis setempat.
Bentuk masyarakat keturunan Indo-Portugis masih ada saat ini. Setelah penggabungan
Portugis oleh Paduka Spanyol sebagai kekuatan militer di Timur menyusut, akibatnya
‘kekaisaran bayangan’ tinggal di dalam spiritualitas dan juridiksi kegerejaan atau
padroado (pendukung/majikan raja). Kekuatan institusi Padroado aslinya diberikan
paus selama abad kelima belas. Banyaklah orang Kristen Eropa (Farangi) di India
memanifestasikan derajat luar biasa dengan adaptasi transkultural – secara individu,
ideologi dan institusional. Dari misionaris biarawan dan imam-imam pergi ke seluruh
kota memenangkan jiwa dan menyebarkan Injil. Proses penginjilan dan ekspansi ini
sering terjadi.
Pemimpin Kristen India dari Cochin dipanggil Vasco da Gama tahun 1502, pada
perjalanan kedua ke India, meminta perlindungan dari Islam dan predator ‘kafir’ agar
orang Kristen tidak musnah. Dengan demikian hubungan orang Kristen Eropa dan
Kristen India menjadi baik dan bahagia.
Ternyata harmoni Eropa dan India ini tidak bertahan lama. Baik orang Eropa
dan orang Kristen Thomas saling membutuhkan, karena keduanya golongan minoritas
di dalam wilayah yang luas dan lingkungan yang tak bersahabat, begitu banyak
komplikasi, persaingan dan motif-motif yang bercampur di dalamnya. Salah satu ialah
Islam diusir dari pantai-pantai Lautan India, sehingga orang Eropa menjadi makin
tegas dan memaksa tinggal di sana. Tanda pertama dalam masalah ini adalah
kesalahpahaman dalam bidang bisnis dan praktik ritual.
Orang Eropa digoncang oleh orang Kristen India, sebab banyak dari antara
mereka menghubungkan ide-ide ’Orang Nestorian Sesat’ yang dipelihara Gereja di
Timur dengan belajar kekudusan dan ibadah dalam bahasa Syria. Orang Kristen
Thomas menolak Bunda Maria sebagai ’Ibu Allah’ tetapi hanya sebagai ’ibu Kristus’.
Orang Kristen India juga menolak untuk menyembah patung-patung.
Setidaknya hingga kematian Mar Jacob (Metran 1504-1549/52), persetujuan
penampilan perilaku sopan dan protokol ibadah diamati. Setelah itu, kesalahpahaman
kegerejaan, perdebatan dan skisma mulai terbuka. Menurut Frykenberg, begitu
komplek persoalan mereka sehingga sulit untuk diklarifikasi dan dimasuki. Orang
Kristen Thomas yang merupakan bagian Gereja Timur menderita dari perjuangan dan
skisma mereka sendiri.

6
Mar Joseph mengangkat dirinya sendiri sebagai Metran yang tertinggi.
Dipengaruhi kekesalan orang Kristen India, dia tidak mengakui ritus Latin,
menegaskan kembali kesetiaannya kepada Gereja Chalsedon dan membaharui dirinya
kembali ke jalan lama, melepaskan mandat konfesi, menghukum gambaran ibadah
yang berisikan bahwa Maria dikenal sebagai Ibu Kristus dan bukan sebagai Ibu Allah.
Akibatnya, dia dikejar dan ditangkap, dikirim ke Cochin, Goa dan Lisbon untuk
diindoktrinasi dan kemudian mengijinkannya kembali ke India pada tahun 1565.
Gereja India juga menghadapi skisma, Mar Joseph kembali ke Portugis.
Sementara Portugis telah menangkap Mar Abraham dan mengirimnya ke Eropa, gagal
untuk mencegah pelariannya ke Antiokia. Di sana ia ditolong oleh Patriarkh, Mar
Ebed Jesu (Abdiso), Mar Abraham sendiri dikirim ke Roma. Kedua Patriarkh dan
Paus yang bergabung bersama dalam mengirim Mar Abraham ke India, memberi Mar
Abraham otoritas untuk membagi kesatuan orang Kristen Thomas (Serra) di antara
dua metran, Mar Abraham dan Mar Joseph. Tetapi pengaturan baru ini tidak pernah
dilakukan. Mar Joseph sudah ditangkap lagi untuk ketiga kalinya, mengirimkannya ke
Roma (di mana dia mati tahun 1569). Mar Abraham, telah mencapai Goa tahun 1568
dengan surat dari Paus dan Patriarkh di tangan.
Dengan demikian Mar Abraham semakin berkuasa di India dengan Padroado
yang diputuskan tahun 1575 bahwa Serra tidak akan pernah lagi dipegang oleh orang
yang diangkat Patriarkh Chalsedon dan bahwa tidak ada Metran Ankamali (Uskup
seluruh orang Kristen Thomas). Mar Abraham pada waktu itu mengirimkan konfesi
iman khusus kepada Paus Gregorius XII dan mengirimkan peringatan kepada Patriakh
Mar Abdiso.
Akhir krisis orang Kristen Thomas India dimulai tahun 1590 dan diakhiri
dengan perlawanan, penaklukan dan penyerahan bagian orang Kristen pada Sinode
Diamper, 20-26 Juni 1599. Persoalan memuncak ketika Mar Abraham menolak untuk
menahbiskan 50 murid praktek di Seminari Yesus di Vaipikkottai. Sekolah seminari
ini didirikan tahun 1587 yang dipimpin oleh Francis Roz menggabungkan pelajaran
Malayalam dan bahasa Syria dengan Latin dan Portugis, membandingkan teologi dan
liturgi Chaldea dengan teologi Roma. Mar Abraham menolak panggilan untuk
menghadiri Konsili di Goa. Paus Klement VIII kemudian mengukuhkan Alexis de
Menezes menjadi Uskup kepala Goa, untuk menanyakan persoalan dan menjaga
orang Metran.

7
Lebih lanjut, paparan Frykenberg ini menyatakan bahwa orang Kristen Thomas
tidak menginginkan orang Farangi untuk memerintah mereka. Tahun 1653, mereka
membuat usaha baru untuk membawa uskup dari Babilonia, Diabekr atau
Aleksandria. Ketika hal ini digagalkan, sehingga membangkitkan rasa marah
kattanars dan mereka berkumpul dalam sidang hikmat di Koonen Cross Mattanceri
tanggal 30 Januari 1653. Kemudian di Vaipikkottai dan Manat setelah itu berkumpul
untuk mendeklarasikan bahwa mereka tidak akan menerima setiap uskup Frangi atau
metran dari luar Gereja Timur. Akhirnya di tengah dukungan yang banyak, Parambil
Tumi (Deakon kepala Thomas) mengambil jabatan Mar Thoma I dan menjadi orang
India pertama pribumi menjadi uskup kepala.
Propaganda Fide di Roma memutuskan untuk mengirimkan empat misionaris
Carmelit untuk memperbaiki situasi tersebut. Tetapi ketika mereka tiba dan melihat
bahwa mereka tidak dapat melakukan apa-apa tanpa memiliki otoritas resmi dari paus,
akhirnya mereka kembali ke Roma melaporkan hasil pengalaman mereka. Setelah itu,
baik Padroado maupun misionaris Roma tak pernah lagi memakai kekuasaan mereka
atas orang Kristen India. Uskup Joseph diberikan waktu 10 hari meninggalkan India,
dan menguduskan uskup orang India, Parampil Chandi Kattanar (Aleksander de
Campos) sebagai Metran tertinggi bagi orang Kristen Thomas.
Selanjutnya Frykenberg memberikan bahasan lain tentang pengaruh orang
Kristen Farangi di India selama ’masa jaya’ (high moon) Indo-Islam di sub-benua
yang diduga sukses. Frykenberg juga membahas kekristenan di daerah Parava di
sepanjang Teluk Mannar dari Vembar (dekat Rameswaram) ke Kanya Kumari (Cape
Comorin). Mereka adalah pemancing, penyelam mutiara dan pedagang burung laut.
Mereka hanya orang Kristen nama saja (Kristen KTP). Bentuk ibadah mereka masih
seperti agama Hindu. Mereka kemudian mengetahui iman baru ketika Fransiskus
Xaverius mendarat di ”Pantai Pemancing”.
Ketika Francis Xavier meninggalkan Maluku bulan Agustus 1545, para
misionaris dan imam meneruskan apa yang telah dilakukannya. Salah seorang di
antaranya adalah Antony Criminali terbunuh ketika dia mencoba berkhotbah kepada
peziarah dekat Rameswaram. Secara perlahan budaya orang Kristen berkembang
namun masih memelihara jat atau budaya ’kelahiran’ bagi Paravas.
Berbeda dengan Francis Xavier, Roberto de Nobili melakukan bentuk kesucian
dan Sanskrit klasik dan bahasa, literatur dan adat serta pengetahuan Tamil. Roberto de

8
Nobili menjadi ’Brahmana Roma’. Selama lima puluh tahun, paling tidak hingga
kematiannya di Mylapur tahun 1656, dia membangun tradisi yang luar biasa.

EVANGELIKAL (PROTESTANISME) DAN GERAKAN PENCERAHAN5


Setelah Portugis tiba tahun 1498 dan mendirikan Estado da India, pemerintah
Katolik di bawah Padroado Goa menikmati otonomi yang luas dari Roma dan juga
Lisbon. Dari biara para misionaris pergi ke daerah pedesaan, memenangkan jiwa dan
memperluas daerah pelayanan, merangkul seluruh masyarakat di sepanjang pantai
selatan dan mempelajari tradisi mereka. Misionaris Evangelis Jerman (Denmark –
Ziegenbalg) tiba di Tranquebar tahun 1706. Sambil mempelajari situasi, mereka juga
melakukan perubahan secara radikal. Kemudian setelah kedatangan William Carey ke
Bengal tahun 1793, interaksi transkultural dan perpindahan orang ke agama Kristen
meningkat. Hal ini menjadi tantangan bagi budaya Hindu dan Islam bahkan bagi
Kongres Nasional India yang dipimpin Gandhi dan Nehru dan seluruh Liga Islam
India yang dipimpin Jinnah.
Menurut Frykenberg yang menandai kehadiran pemikiran Pencerahan dan
Pietisme Protestan di India adalah dengan diutusnya dua pemuda Jerman sebagai
penginjil pertama (bukan Katolik atau Protestan). Keluar dari penderitaan Perang 30
Tahun muncullah Gerakan Pietis dan Kebangunan Evangelikal Inggris dan Amerika.
Para Pietis Moravian yang berhasil melarikan diri dari penganiayaan tersebut
misalnya; Count Zinzendorf berlindung di pengungsian Herrnhut; Profesor August
Hermann Franke yang menjadi pengajar di Universitas Halle, Ratu Anne Inggris dan
Raja Frederick IV Denmark. Mereka inilah yang dikenal sebagai tenaga sukarela
ekumenis yang membentuk lembaga misi internasional seperti Lembaga Promosi
Pengetahuan Kristen (Society for Promoting Christian Knowledge – SPCK) tahun
1698, Lembaga Penyebaran Injil ke Luar Negeri (Society for the Propagation of the
Gospel in Foreign Parts – SPG) tahun 1702, dan Misi Raja Denmark (Royal Danish
Mission) yang didukung oleh SPCK.6 Berdirinya lembaga-lembaga ini menandai
lahirnya gerakan misi modern yang bertumbuh dan berkembang di seluruh dunia.
Lembaga misi ini jugalah yang membawa pendidikan dan ilmu pengetahuan serta
teknologi yang dikembangkan di Halle sehingga membawa perubahan pada
masyarakat. Diktum Francke mengajarkan bahwa kepercayaan yang benar adalah
5
Adrian Hastings (ed.), A World History of …, hlm. 172-179
6
Dengan terbukanya India pada keberadaan lembaga-lembaga asing di India, maka Inggris pun mulai
memasuki India melalui badan-badan misinya.

9
kepercayaan yang alkitabiah artinya kepercayaan alkitabiah tanpa kemampuan
membaca dan menulis adalah sesuatu yang tidak mungkin. Sehingga kemampuan
baca-tulis dan pendidikan secara menyeluruh menjadi sesuatu yang mendasar sekali
dalam Amanat Agung. Bukan hanya setiap manusia, anak-anak atau dewasa, laki-laki
atau perempuan, harus dapat membaca Alkitab dalam bahasanya sendiri, tetapi
Francke juga percaya, setiap pribadi seharusnya memiliki beberapa keahlian.
Frykenberg mengatakan bahwa kaum Kristen Protestanlah yang pertama sekali
tiba di India pada bulan Juli 1706, dengan mendaratnya Bartholomaeus Ziegenbalg
dan Heinrich Plutschau di Tranquebar (atau Tarangambadi). Pelayanan Denmark ini
dekat dengan wilayah Kaveri Delta yang telah disewa dari Raghunat Nayaka di
Thanjavur tahun 1620.
Para misionaris yang telah dilatih di kampus mulai bekerja dengan mengajar
anak-anak orang Eropa di rumah mereka. Sementara melakukan pekerjaan ini, mereka
juga secara sistematis meningkatkan kemampuan mereka untuk tugas-tugas lain
misalnya: belajar bahasa setempat, mendirikan sekolah-sekolah (sebanyak-banyaknya
jika memungkinkan), termasuk seminari (sekolah pendeta) untuk pelatihan guru-guru
Tamil, menerjemahkan buku-buku sekolah (termasuk buku Alkitab dan ilmu
pengetahuan) ke dalam bahasa Tamil, mendirikan percetakan. Mulailah berdiri
jemaat kecil Tamil. Murid-murid Tamil dididik sebagai pengajar katekisasi, pendeta
dan guru bagi mereka yang telah menjadi Kristen dan menunjukkan kemampuan dan
kersediaan untuk membantu pelayanan.
Untuk menyempurnakan semua hal ini, Bartholomaeus Ziegenbalg telah
melakukan tugasnya hingga perlawanan gubernur Tranquebar pada Perusahaan
Denmark di India Timur. Ketika perjalanan pulang Plutschau ke Eropa tahun 1711
yang gagal, Ziegenbalg sendiri memutuskan untuk pergi dan meminta bantuan.
Perjalanannya berhasil dan dirinya dinamai dengan Provost Misi Tranquebar.
Ziegenbalg kembali ke Tranquebar dengan Maria Salzmann istrinya dan dia
menyelesaikan pembangunan Gereja Yerusalem yang luas dan cantik tahun 1707.
Namun secara tiba-tiba, datanglah surat yang menghancurkan para misionaris dari
pemimpin baru yang berpikiran sempit, Christopher Wendt. Akibatnya, Ziegenbalg
meninggal pada permulaan tahun 1719 pada usia 36 tahun. Empat bulan kemudian,
tibalah misionaris yang baru, Grundler, sahabat dekat Ziegenbalg yang memiliki
keahlian, namun hanya beberapa bulan saja, ia pun menyerah.

10
Frykenberg lebih lanjut mengatakan bahwa pekerjaan Ziegenbalg sungguh luar
biasa. Ziegenbalg menjadi guru bahasa Tamil, baik bahasa klasik maupun bahasa
setempat, menggunakan perbandingan di antara manuskrip-manuskrip daun palma
dalam koleksinya yang banyak dan tiga ratus buku-buku untuk memastikan macam-
macam tumbuhan dan kata-kata idiom-idiom. Ziegenbalg juga mengajar orang Tamil
untuk bisa mendapat tahbisan. Dialah sarjana pertama yang menyempurnakan
terjemahan PB ke dalam bahasa Tamil yang dicetak di Tranquebar tahun 1715.
Karyanya yang terkenal adalah Silsilah Ilah-ilah Malabarian (Genealogy of the
Malabarian Gods) yang diselesaikan tahun 1713.
Frykenberg juga menjelaskan masa di antara tahun 1728 dan 1731, di mana ada
model sekolah baru yang menarik perhatian Rajanayakam, yaitu servaikaran atau
kapten penjaga tempat di Thanjavur. Dia dan saudaranya, dengan para tentaranya
menjadi alat untuk membawa satu dari pendidikan sekolah ini agar mendirikan rumah
doa di dalam kerajaan dan mendapatkan dukungan. Aaron segera menjadi pelayan
Gereja Evangelikal Tamil pertama ditahbiskan yang memulai melayani di jemaat-
jemaat desa di dalam kerajaan; Rajanayakam juga menjadi seorang guru. Dengan
demikian, persekutuan Evangelikal di India terdiri dari enam orang Eropa (terutama:
Lutheran Jerman), dosen katekisasi pendeta-guru Tamil (Savarimuthu) dan lima belas
ribu orang percaya.
Frykenberg juga mencatat para pengganti Ziegenbalg yang datang ke India
seperti: Benjamin Schultze (1719; Madras/Chennai: 1727-1743) dan Philip Fabrcius
(Madras/Chennai: 1740-1790). Schultze bekerja di Telugus, membuat kamus dan
menciptakan tata bahasa, mengumpulkan naskah-naskah dan menerjemahkan Injil-
Injil. Fabrcius bekerja untuk menyempurnakan apa yang telah dimulai Ziegenbalg,
menyempurnakan tata bahasa Tamil (dalam bahasa Inggris), membuat kamus Inggris-
Tamil, menerjemahkan bagian-bagian PL, dan merevisi seluruh isi PB.
Bahkan Frykenberg berpendapat bahwa penginjil yang termashur dari seluruh
misionaris Eropa yang datang ke India pada abad kedelapan belas adalah Christian
Frederick Schwartz (1750-1798). Nama Christian berdiri sejajar dengan Xavierus,
Nobili, Beshi dan Ziegenbalg. Selama lima puluh tahun, orang Kristen India pindah
ke India Selatan – dari Tranquebar ke Tiruchirapalli, ke Thanjavur, ke Tirunelveli dan
bahkan ke Kanya Kumari dan Travancore. Christian fasih dalam bahasa Tamil,
Telugu, Marathi, Persia, Sanskrit, Portugis dan bahasa Eropa, baik dalam bahasa

11
modern dan klasik, termashur sebagai pengkhotbah, pendidik, berdiplomasi,
bernegosiasi dan seorang negarawan.
Frykenberg akhirnya menguraikan kisah perjalan dua orang murid Kristen India
yang meneruskan penginjilan tersebut seperti: Satyanathan Pillai dan Vedanayakam
Sastri. Satyanathan Pillai merupakan murid Schwartz yang sangat aktif dan enerjik.
Tugas pertamanya adalah sebagai pendeta pada kamp pasukan militer di Vallam,
tujuh kilomenter dari Thanjavur. Pelayanan Satyanathan Pillai di tempat ini sangat
menggembirakan karena jemaat di sana kembali hidup dan bahkan seorang janda kaya
dari suku Brahmin di Palayamkottai yang bernama Clorinda dibaptiskan. Kemudian
ditempatkanlah pendeta di sana yang bernama Rayappan yang membimbing jemaat
dan membina sekolah (baik sekolah berbahasa Inggris dan Tamil). Setelah itu,
Schwartz menempatkan Satyanathan Pillai sebagai pendeta dan guru. Setelah
ditahbiskan di Thanjavur Pada tahun 1790, Satyanathan Pillai menjadi misionaris
Tamil SPCK secara formal dan diutus kembali ke Tirunelveli.
Dari seluruh pembantu Schwartz yang terkenal adalah Vedanayakam Sastri yang
lahir di Palayamkottai, anak dari Devasahayam Pillai. Pada tahun kedua belas,
Schwartz meminta agar Devasahayam mengijinkan Vedanayakam Sastri dilatih di
Thanjavur. Segera setelah itu Vedanayakam menjadi guru, penulis dan kepala sekolah
salah satu di antara tiga sekolah modern yang didirikan Schwartz. Sekolah ini
didukung oleh Raja Thanjavur, Shivaganga dan Ramnad sehingga sekolah tersebut
dikenal sebagai contoh pendidikan yang terbaik.
Vedanayakam juga memiliki banyak kontribusi pada literatur-literatur Tamil
khususnya pada pemikiran Kristen Tamil. Jejak Vedanayakam diikuti juga oleh
H.A.Krishna Pillai.

TANTANGAN-TANTANGAN PADA MASA RAJ7


Kekristen India pada abad kesembilan belas dan kedua puluh menjadi lebih
penting dari pertumbuhan kegiatan misionaris Eropa dan oleh kehadiran sistem
kekuasaan militer, administrasi dan teknologi. Belum lagi di bawah pengaruh Raj,
masukan yang dibuat oleh orang Kristen India sendiri untuk mengembangkan institusi
mereka berlanjut menjadi gawat seperti yang sudah pernah terjadi. Sebagaimana
sebelumnya, setiap gelombang perluasan Kekristenan selalu membawa perubahan-
perubahan. Perubahan-perubahan tersebut sering sangat radikal, khususnya seperti
7
Adrian Hastings (ed.), A World History of …, hlm. 179-188

12
Injil diterjemahkan dalam cara baru dan dilanjutkan kepada orang baru, baik dari
masyarakat terendah, di hutan, atau bagi kaum perempuan dan anak-anak. Gagasan
kemanusiaan yang radikal dan pengharapan masyarakat bahwa seluruh manusia –
laki-laki, perempuan, dan anak-anak – harus dipandang sama terhadap yang lain,
paling tidak di hadapan Allah, dan mereka seharusnya diberikan hak yang sama dalam
pemeliharaan dan kebutuhan pokok – seperti obat-obatan, pendidikan dan
kesempatan.
Ketidak-ramahan terhadap orang Kristen di India, dan kepada misionaris asing,
telah menjadi tindakan yang menonjol, setidaknya kebijakan pada masa pemerintahan
Pemerintah India. Posisi ini, berdasarkan pandangan yang jelas dan dugaan yang
rasional dari kekuatan Perusahaan Raj India Timur. Segala struktur sistem kekuasaan
tergantung atas dukungan dari kaum elit Hindu secara khusus kasta Brahma yang
mendukung untuk mendirikan dan membentuk kelompok Hindu modern. Ketidak-
ramahan terhadap orang Kristen dan misionaris asing dapat dilihat meskipun warga
setempat, kadang-kadang memberikan pengecualian-pengecualian khsusus. Dan
bahkan orang Kristen dan misionaris asing (baik Katolik dan Protestan) dimanfaatkan
sebagai pendeta tentara, guru sekolah atau agen rahasia diplomatik (misalnya: dengan
mengirimkan Schwartz ke Tipu Sultan). Namun Frykenberg juga mencatat bahwa ada
juga orang Kristen yang mendapat perlakuan yang baik. Kecuali mati martir (seperti:
John de Britto SJ, di Ramnad), orang Kristen India dan misionaris asing ada juga yang
mendapatkan perjalanan yang baik, menerima kebaikan dan keberhasilan (seperti :
dalam pemerintahan Vellama Nayakas di Madurai, Marava Tevars dan Setupatis
Ramnad dan Sivaganga, Kallar Tondaimans di Pudukottai, Maratha Rajas di
Thanjavur, Nayar Raja Vermas di Travancore dan lain sebagainya).
Frykenberg berpendapat bahwa pengaruh William Carey sebagai “Bapa Gerakan
Misi Modern” sangat besar bagi perkembangan agama Kristen di India. Sebab
William Carey dan pengikut-pengikutnya Baptis di Inggris yang pertama
memprakarsai tumbuhnya tenaga sukarela di kalangan orang percaya kelas bawah
yang iman Kekristenannya dibangunkan selama Kebangunan Evangelikal (atau
Kebangunan Besar di Amerika). Banyak orang yang akhirnya mendukung dan
mengirimkan para misionaris ke seluruh penjuru dunia. Tulisannya yang berjudul, An
Enquiry into the Obligations of Christians to Use Means for the Conversion of
Heathens (1792), diambil dari bagian bacaan tentang tindakan-tindakan Pietis Jerman
di India. Sejak penjajah melarang bebas memasuki tapal batas Inggris, kelompok

13
Carey berusaha mencari cara agar mereka bisa memasuki India dengan berbagai cara,
misalnya bersedia dikontrak untuk mengajar bahasa orang timur di Fort William
College.
Tantangan lain yang dipaparkan Frykenberg, datang dari orang Kristen India.
Hubungan di antara orang Kristen India penuh dengan konflik dan ketegangan. Hal
ini terjadi di antara Katolik dan Protestan dan orang Kristen Thomas dan bahkan juga
di antara orang misionaris yang bekerja di India. Hal yang memicu perseteruan di
antara orang Kristen ini adalah akibat „mencuri domba“ di antara kelompok orang
Kristen itu sendiri. Namun persoalan yang paling besar menurut Frykenberg,
bukanlah persoalan „mencuri domba“, melainkan tentang pembagian dan penempatan
di antara seluruh kelompok orang Kristen di India, apakah mereka orang India atau
orang Barat, Katolik atau Protestan, Anglikan atau Dissenter, Mar Thoma atau Syria,
konservatif atau liberal, dilanjutkan dengan masalah kasta, budaya dan akulturasi.
Sehingga, sungguh sangat menyulitkan untuk menemukan sejarah Kekristenan di
India sepanjang persoalan ini belum diselesaikan. Menurut Frykenberg, hal ini sangat
sulit hilang dan masih akan terus perselisihan dan ketegangan ini berlangsung. Namun
di sisi lain, Frykenberg menganggap bahwa kehadiran misionaris adalah menjadi agen
pembaharuan dan penghancur status quo. Perubahan ini bukan hanya bagi orang
Kristen sendiri tetapi juga orang non-Kristen juga merasakan perubahan itu.
Dalam kaitannya dengan Raj, Raj menganggap kehadiran para misionaris di
India (baik Katolik maupun Protestan) seolah-olah mereka ingin menjadikan India
bagian dari Kristendom. Padahal sebenarnya, dalam kenyataannya para misionaris ini
sangat mendukung perjuangan anti penjajahan. Hal ini terbukti dengan bergaul
karibnya para misionaris dengan Gandhi (mulai dari Allen dan Varrier hingga Charles
F.Andrews, Edward Thompson dan Amy Carmichael).
Lebih jauh Frykenberg mengatakan bahwa ketika semakin banyak orang
menerima Kekristenan dari masyarakat Telugu pada akhir abad kesembilan belas,
sekali lagi kesadaran kasta terjaga dari percampuran Malas dan Madigas. Para
misionaris sebagai agen perubahan, memahami prosedur dan nilai-nilai penting bagi
kemajuan Raj atau membantu untuk menjaga orang Kristen ketika gangguan hukum
dan hubungan dengan Hindu atau Islam terjadi. Mereka tidak pernah dipecahkan oleh
permasalahan budaya kasta.
Sebagaimana abad kesembilan belas berakhir, beberapa misionaris liberal secara
teologis dibingungkan oleh perubahan dengan peradaban sebagai tujuan yang berguna

14
dan kemudian meninggikan dan menyanjung peradaban Brahmana. Di antara
misionaris terpelajar kelas atas, seperti William Miller 8 dari Perguruan Tinggi Kristen
Madras yang mengajarkan teori ‘penyaringan ke bawah’ digantikan oleh ‘pemenuhan
ke atas’ sebuah alasan untuk menjelaskan mengapa orang Eropa tidak efektif
membawa perubahan di antara kasta tertinggi India. Kinerja orang Kristen tidak
begitu banyak merubah masyarakat India dengan nilai-nilai Kekristenan. Perubahan
yang lebih nyata kelihatan adalah pada masa J.N.Farquhar. Sejak itu seluruh agama-
agama dan Hindu berusaha mengembangkan dialog dan pemahaman yang sama
dengan para misionaris. Pemikiran seperti ini dikenal dengan ‚teori pemenuhan’ di
Barat misalnya pada Parlemen Agama-agama Dunia di Chicago tahun 1892 dan
Konferensi Misionaris Dunia di Edinburgh tahun 1910.
Dengan demikian, mulailah terjadi kemajuan bagi kalangan orang Kristen India.
Di Bangladesh dan India Utara, di mana di sana orang Kristen sangat sedikit dan di
mana orang Kristen Brahma, Anglikan Krishna Mohan Banerjea, berargumentasi
tahun 1875, bahwa orang Hindu dapat menjadi Kristen tanpa melepaskan budaya atau
tradisi sosial mereka; Kali Charan Banerjea, dalam Calcutta Christo Samajnya
(dimulai tahun 1887), memerlukan baik liturgi maupun imam; dan Upadhyaya,
seorang Katolik Brahma, memakai jubah kuning. Di Maharashtra, Narayan Vaman
Tilak, seorang puitis Kristen Brahma, mendirikan sebuah ashram Kristen tahun 1917
dan seorang Anglikan Christa Seva Sangh (Pelayanan Masyarakat Kristen) dibangun.
Di Madras (Chennai), Gereja Nasional didirikan tahun 1886 yang hanya bertahan
hidup hingga tahun 1920-an. Tetapi ketika mereka katakan bahwa Kekristenan di
India seharusnya menjadi di dalam budaya India, beberapa pemikir kemudian berkata
lain, kadang-kadang kurang lebih ortodok dari apa yang dipikirkan Vedanayakam
Sastri atau Roberto de Nobili, walaupun mereka menggunakan kata yang sama.
Namun masih ada juga misionaris yang datang dengan gaya konservatif dan
pragmatis dari tingkatan terendah Amerika, Inggris dan masyarakat Eropa yang
bekerja dengan budaya yang berbeda. Akhirnya, orang yang tidak terikat adat yang
radikal ini, menerima kritikan yakni Methodis di Inggris tak begitu lama menjadi atau
menjangkau kelas pekerja tetapi menjadi kelas menengah. Bagi mereka dan bagi
orang-orang lain, liberalisme teologi adalah masalah yang serius daripada kasta dan
budaya. Banyak misionaris, dari negara mana pun, mengkritisi mereka yang gagal
8
William Miller bersama Alexander Duff (dari SCM) menjadi tokoh-tokoh pendidikan Kristen India,
membuat sangat banyak sekolah sampai sekarang (termasuk Perguruan Tinggi) Kristen di India,
walaupun jumlah orang Kristen hanya 2,5% dari jumlah penduduk India.

15
membawa Injil dan yang hanya melayani kelas kasta tertinggi Hindu bagi keuntungan
karir sementara, pada waktu yang sama, mengabaikan keadaan buruk dari orang-
orang Kristen kalangan kasta rendahan dan gagal menolong mereka untuk mengatasi
ketidakmampuan budaya, ekonomi, dan sosial. Berbeda dengan Bala Keselamatan
yang tiba tahun 1880-an yang melepaskan pakaian, makanan, peralatan, dan bahkan
musik Eropa, dan memakai nama-nama Kristen India dan mengadopsi banyak
elemen budaya India untuk identitas mereka. Maka Pdt.Ramabai, janda Brahma, telah
menjadi Kristen saat dia di Inggris.
Teologi liberalisme juga menghadapi tantangan dengan pemikir misionaris
Kristen konservatif, seperti Hendrik Kraemer, seorang teolog Belanda yang bekerja di
Indonesia. Menurut Hendrik, iman Kristen bukanlah buatan manusia tetapi pemberian
Allah. Seluruh agama, bahkan elemen yang ditemukan dalam Kekristenan, hanya
berasal dari manusia.

MANDIRI SEJAK 19479


Sejak Pemisahan tahun 1947 dan permasalahan India, Pakistan dan Bangladesh,
misionaris dari luar negeri hampir menghilang. Gerakan keagamaan dan sosial
radikal, diikuti oleh transformasi budaya silang dibangkitkan di dalam lingkungan
Hindu-Islam atau orang India, melanjutkan dengan segera bersama dengan sebuah
kompetisi fundamentalis dan kebangkitan entusiasme (Buddha, Kristen, Hindu, Islam
dan Sikh).
Kemerdekaan India tahun 1947 membawa banyak tuntutan bagi orang Kristen di
India dan Gereja-gereja. Sehingga Gereja-gereja Anglikan, Kongregasionalis dan
Methodis di India pun menyatu dalam bentuk Gereja India Selatan yang diprakarsai
oleh Bishop V Azariah yang meninggal tahun 1945. Namun Gereja India Utara dan
Gereja Protestan Pakistan pada tahun 1970 tidak begitu menyatu dan kuat. Baptis dan
Lutheran, bersama gereja Anabaptis dan Gereja Bebas, dilarang membentuk
organisasi mereka sendiri-sendiri. Hal yang sama juga terjadi bagi enam hingga
sepuluh gereja Syria dan persekutuan orang Kristen Thomas di Kerala.
GKR terus berjuang dengan menyimpang dari Padroado, dan perjuangan ini
pecah setelah masa pendudukan India di Goa tahun 1961. Portugis tidak mungkin lagi
melanjutkan otoritas kegerejaan di dalam kemerdekaan India. Ketika Bishop terakhir
di Cochin pensiun tahun 1952, kebencian di antara orang Kristen kasta tinggi dan
9
Adrian Hastings (ed.), A World History of …, hlm. 188-191

16
kasta rendah membuat gereja itu pecah menjadi dua keuskupan. Sehingga sejak itu,
Gereja Katolik India mejadi tiga bagian. Pertama, adalah bagaimana
mengimplementasikan dekrit Konsili Vatikan II (1962-1965), yang mendorong
adaptasi dan pluralisme, khususnya dalam hubungannya dengan liturgi. Kedua,
hubungan di antara Katolik Latin pada satu sisi dan Katolik di dalam Gereja Syro-
Malabar dan Syro-Malankara pada sisi lain. Ketiga, adalah perkembangan orang
Kristen seperti Jules Monchanin, Abhishiktananda dan Bede Griffith.
Gereja Katolik India unik di belahan selatan khususnya jumlah imamnya, baik
dalam keuskupan dan keagamaan. Berbeda sekali dengan Gereja di Filipina dan
Amerika Latin dan Afrika. Jika secara umum jumlah Yesuit menurun di dunia, maka
di India mereka bertumbuh dengan luar biasa. Bahkan India mampu mengutus para
misionaris ke Korea Utara.
Kekesalan dan kecurigaan tetap ada. Nasionalis Hindu masih beranggapan
bahwa orang Kristen India adalah milik kekuasaan orang luar. Bahkan pemerintahan
Madhya Pradesh melaporkan orang Kristen India adalah anti-nasionalisme – yang
berada pada pengaruh Amerika. Sehingga sejak permulaan Kekristenan di India,
Hindu menyerang gerakan ‚perpindahan agama’ (proselytizing activities). Ketidak-
ramahan kepada orang Kristen begitu kuat. Bangunan-bangunan Gereja dihancurkan
di berbagai tempat dengan dalih bahwa bangunan tersebut adalah bangunan penjajah.
Orang Kristen India di beberapa wilayah diserang dan dibunuh, dianiaya dan disiksa.
Respons orang Kristen terhadap situasi tersebut adalah bermaca-macam.
Gerakan Katolik Shoreline, lebih menonjol dan siap mempertahankan ‚daerah
kekuasaan’ mereka sendiri. Yang lain, seperti Mennonit, diam-diam, dan kadang-
kadang mereka bermuka dua. Di sisi lain, beberapa orang Kristen menikmati situasi
hak istimewa sosial. Banyak orang Kristen Thomas di Kerala, sebuah negara bagian
yang tetinggi pengetahuannya di seluruh India, menikmati posisi mereka di
pemerintahan, dunia bisnis dan dunia profesionalisme. Di Nagaland (dekat perbatasan
Cina, matanya sipit), di mana di atas 95% penduduknya Kristen, mereka menduduki
seluruh posisi tertinggi di daerahnya.
Berlawanan dengan hal tersebut di atas, orang Kristen yang berasal dari kelas
orang termiskin, masih banyak tinggal di daerah pedesaan dan ‘daerah yang tak
tersentuh’. Secara hukum mereka disebut dengan „Scheduled Caste“, „Backward
Castes“ dan „Other Backward Castes“. Namun secara politik mereka bukan disebut
seperti golongan tadi namun mereka disebut sebagai “orang Kristen” dan bukan

17
“Hindu”. Dengan demikian ada dua atau bahkan tiga gerakan kekuatan orang Kristen.
Pertama, Gerakan Dalit, dengan Gerakan Kristen Dalit. Dalit, artinya „hancur“ atau
„lumat“ atau „ditindas“. Hal yang sama adalah gerakan di antara Adivasis, orang asli
atau penduduk suku di sebelah timur laut, yang banyak di antara mereka adalah orang
Kristen. Kedua, Gerakan Pentakosta yang aktif dan terkenal di wilayah perkotaan.
Dan ketiga, gerakan perpindahan agama di antara bermacam-macam persekutuan.

2. AFRIKA10
Oleh: Kevin Ward

Menurut Kevin Ward, tradisi keagamaan yang cukup terkenal di Afrika adalah
Islam, Kekristenan dan Agama Tradisional orang Afrika. Berbeda dengan ciri asli
tradisi keagamaan dan inkulturasi alamiah Islam, orang Kristen Afrika sering
ditampilkan sebagai sesuatu yang asing, agama orang Barat, atau para misionaris
Eropa. Dan bahkan Kekristenan sangat kuat mengklaim sebagai tradisi tertua dari
ketiga tradisi tersebut. Di samping itu, Lamin Sanneh, seorang sejarawan dan teolog
Afrika Barat, melihat Kekristenan di dalam Afrika modern adalah sebagai gerakan
penegasan dan pemeliharaan kebudayaan setempat. Hal ini menjadi kejutan yang
diberikan secara luas dalam pandangan misionaris Kristen sebagai yang memandang
rendah dan perusak kebudayaan orang Afrika. Bahkan, penerjemahan Alkitab ke
dalam ‚bahasa Afika’ di dalam kenyataan menambah kebudayaan Afrika di dalam ciri
khas dan perbedaannya, apa pun motivasi dan perhatian para misionaris. Para
misionaris terlalu menekankan budaya Barat tanpa memperhitungkan pendapat orang
Afrika sebagai penerima.
Penekanan bahasa ibu dalam penginjilan dan ibadah khususnya di daerah
perkotaan, seperti bahasa – Swahili atau Lingala, Amharinya atau Hausa, bukanlah
bahasa orang Afrika.
MESIR, AFRIKA UTARA, NUBIA DAN ISLAM11
Untuk memahami Kekristenan di Afrika ini, menurut Kevin harus dimulai dari
pemahaman sejarah Kekristenan Afrika sejak periode pertama 600 tahun masa
Kekristenan. Kekristenan tersebar di sepanjang pantai Mediterania Afrika Utara.
Telah ditemukan bahasa Yunani dan Latin sebagai bahasa perdagangan dan militer,

10
Adrian Hastings (ed.), A World History of …, hlm. 192-237
11
Adrian Hastings (ed.), A World History of …, hlm. 193-196

18
administrasi dan pelajaran, dan berita Kekristenan itu sendiri di daerah Afrika adalah:
dalam bahasa Yunani asli, antara lain Athanasius dan Crylius di Mesir; Latin:
Tertullianus, Cyprianus dan Augustinus di Afrika Utara; dan juga tradisi Arius
(Yunani) dan Donatus (Latin). Dari permulaan sejarahnya, Kekristenan di Afrika
mulai diartikulasikan dalam bahasa ibu. Di Mesir, gerakan biara adalah penting dalam
memampukan kesalehan dan teologi Kristen yang diekspresikan dalam istilah budaya
Koptik. St.Antonius sendiri tidak tahu ada bahasa Yunani; salah satu dari karya
Athanasius yang berjudul Kehidupan Antonius yang menekankan perhatian pada
gereja Yunani dan Koptik dalam menopang orang Kristen Orthodoks.
Lebih lanjut Kevin paparkan bahwa pada abad berikutnya mulailah terjadi
masalah yang membahayakan. Dengan penaklukan Aleksandria oleh tentara Islam
tahun 641M, Islam menyebar ke seluruh Afrika Utara, lebih cepat daripada
penyebaran Kekristenan yang 500 tahun lebih duluan. Islam mengambil warisan
Kerajaan Roma, menggantikan bahasa Yunani dan Latin dengan bahasa Arab dan
menggantikan kekuasaan Kekristenan dengan kekuasaan Islam. Dengan demikian
Kekristenan di Afrika Utara lumpuh karena kehadiran Islam.
Namun menurut Kevin hal ini menarik tetapi mungkin juga salah, untuk mencari
penjelasan tentang dugaan wilayah Kekristenan Afrika tidak asli. Hubungan Islam
dengan Arab begitu intim daripada hubungan orang Kristen dengan Yunani dan Latin.
Hal ini bukanlah menandakan bahwa Kekristenan gagal berbaur dengan budaya
setempat, dan Islam berhasil, melainkan karena dunia keagamaan dilihat sebagai
keadaan yang tak bisa dihindari dengan peradaban umum. Ketika di Afrika Utara
peradaban Kekaisaran Romawi digantikan oleh Arab, hal ini ditandai sebuah
perubahan sesuatu yang baru tetapi seimbang dengan monoteistik keagamaan
universal.
Kekristenan di Afrika Utara bertahan hidup dalam perkembangan Islam namun
hanya dengan jumlah yang sedikit. Kekristenan bertahan hidup di Mesir tetapi tidak
sehebat di Barat. Di Mesir penaklukan Arab sangat cepat dan diterima dengan damai
oleh masyarakat. Hal ini berhubungan dengan ketaatan keagamaan dan penganiayaan
Koptik atas kepatuhan kepada teologi „satu tabiat“ (Monofisit) yang dijatuhi hukuman
pada Konsili Kalsedon tahun 451. Demikian juga Koptik Orthodoks, bangga dengan
teologi mia physis (satu hakikat) Cyrulius, yang menganggap kedatangan
pemerintahan Islam sebagai sesuatu yang melegakan dari penindasan Melkitis dari
Byzantium.

19
Kevin mengatakan bahwa satu aspek yang membuat Gereja bertahan hidup di
Mesir, karena gerakan biara pada permulaan abad keempat, Kekristenan
menghentikan urban dan Hellenis yang sangat besar dan bersatu dengan budaya asli
orang Mesir di lembah Nil. Alkitab dan liturgi telah diterjemahkan ke dalam bahasa-
bahasa Koptik. Mereka menjadi alat bagi bertahannya Kekristenan di dalam
pertumbuhan kebudayaan Arab dan Islam. Pemerintahan Islam Mesir melanjutkan
mempercayai persekutuan orang Kristen bagi profesi, kesusasteraan, dan keahlian
komersil mereka sebagai pegawai administrasi, pedagang, dan pembuat perabot
rumah. Pada abad kesepuluh, Koptik menjadi minoritas di dalam penduduk, dan
mereka diharuskan untuk hidup di dalam kelompok penduduk yang khusus (kampung
orang yang tidak disukai=ghetto), dan memakai seragam yang berbeda. Orang Kristen
laki-laki tidak diizinkan untuk menikah di luar kelompok mereka. Laki-laki Muslim
dapat menikahi perempuan Kristen – dan anak-anaknya wajib menjadi Muslim.
Penginjilan Kristen dilarang, dan bagi orang Kristen yang beralih agama menjadi
Islam diberikan keringanan membayar pajak. Akibatnya, orang Kristen Koptik
menjadi orang yang minoritas sepanjang abad.
Kevin juga melaporkan keadaan Kekristenan di Nubia (bagian selatan Sudan).
Kekristenan menyebar di Nubia dengan sebuah cara informal melalui perdagangan
dan mungkin juga melalui gerakan biara Koptik di sepanjang tepi sungai Nil. Pada
abad keenam, Nubia menjadi target misi penginjilan dari istana Byzantium. Hal ini
terbukti dari hasil ekskavasi UNESCO pada tahun 1950-an dan 1960-an di sepanjang
tepi sungai Nil ditemukan imam-imam kulit hitam (misalnya orang Nubia) dan
keagamaan seperti Koptik. Ketika kerajaan Nubia kuat, mereka bahkan mampu
melindungi orang Koptik minoritas. Namun kemudian pada abad-abad berikutnya,
meningkatlah penekanan pada Kekristenan. Invasi Arab dan berbalik agama ke Islam
dan orang Mesir membela perlawanan Muslim untuk merebut kekuasaan. Raja
Kristen Nobatia terakhir dikalahkan tahun 1323. Banyak Gereja dihancurkan pada
masa ini.

ETIOPIA12
Kekristenan datang ke Etiopia lebih dulu. Dan kesulitan menghadapi Islam
hampir sama dengan di Nubia. Tetapi di Etiopia, Kekristenan bertahan hidup. Etiopia
juga bergantung pada dukungan makanan dan minuman dari Koptik dan harus
12
Adrian Hastings (ed.), A World History of …, hlm. 197-200

20
ditekankan bahwa Gereja Orthodoks Etiopia bukanlah hasil misi Gereja Mesir. Ini
bukanlah Koptik dan mereka memiliki gaya dan tradisi hidup sehari-hari. Orang
Kristen asli pada kerajaan Aksum adalah akibat kunjungan dua orang pedagang
Kristen dari Siria, Frumentius dan Aedesius ke istana raja Negus. Mereka menjadi
figur yang sangat penting sejak kerajaan kecil Raja Ezana menggunakan kedudukan
mereka untuk menyebarkan Kekristenan ke istana. Tahun 346, Frumentius pergi ke
Mesir untuk mendiskusikan kebutuhan orang Kristen yang baru bertobat dengan
Bishop Athanasius. Dia mengangkat dirinya menjadi Bishop (Abuna) 13 pertama
Gereja Etiopia dan akhirnya dikenal sebagai Abba Salama.
Salah satu keunikan Kekristenan Etiopia adalah pewarisan identitas Yahudi
dalam Kekristenan. Etiopia adalah bagian dari dunia Semitik (Amharinya adalah
sebuah bahasa Semitik). Mungkin di Etiopia sudah ada orang Yahudi jauh sebelum
Kekristenan masuk. Sebab setiap kelompok penduduk Amharik, Falasa, menyatakan
diri mereka sebagai orang Yahudi: mereka mematuhi hukum Taurat dan menghargai
hari Sabat. Gereja Etiopia juga melihat diri mereka sendiri sebagai ahli waris Yehuda.
Raja terbesar Zagwe, Lalibela, kembali dari ziarah ke Yerusalem memutuskan untuk
membentuk kembali „Sion“ di Etiopia. Di Kebra Negast (Kemuliaan Raja-raja),
pewarisan kerajaan raja-raja dari Raja Salomo ditekankan, dengan legenda Sheba
kepada anak Salomo, Menelik I. Berdasarkan mitos ini, Menelik kembali ke istana
ayahnya untuk membawa kembali tabut Perjanjian ke Etiopia.
Kebra Negast diterjemahkan ke dalam Ge’ez dari bahasa Arab pada masa
pemerintahan Amda Siyon (1314-1344), yang ‘memerintah gilang-gemilang’ diingat
pada saat Kekristenan menyebar sebagaimana yang terjadi sebelumnya, melalui
penaklukan militer yang diikuti proses Kristenisasi dan akulturasi. Raja yang kuat
seperti Raja Amda dan Zara Ya’iqob (1434-1468), berhasil menempa perasaan
persaudaraan nasional. Namun pada masa Abuna (yang dipanggil dari Mesir) dan
kepala biara (Echage), mengalami kemunduran dari tradisi kuno Gereja. Ketegangan
pun terjadi. Misalnya permasalahan tentang hari Sabat. Kelompok biarawan sebelah
utara, Kepala Biara Ewostatewos, secara konservatif membela tradisi Yahudi dan
menekankan hari Sabat.
Ada juga ‘dasar mitos’ yang sangat penting di Etiopia yang digunakan untuk
menjelaskan perbandingan hubungan yang baik antara kerajaan Kristen dan Islam.

13
Bandingkan Tata Gereja (TG) Gereja Kemah Abraham (GKA) pimpinan Yusuf Roni yang menyebut
pendeta sebagai Abuna (TG GKA ps.6 ayat 1.3)

21
Hal ini dihubungkan dengan perlindungan Nabi Muhammad ketika lolos dari
penganiayaan di Mekah. Hubungan baik ini dibangun sepanjang abad. Namun
hubungan baik ini dirusak oleh serangan mendadak Gran pada abad keenam belas. Di
antara tahun 1529 dan 1543, Gran merusak dan menghancurkan seluruh wilayah
Kekristenan, menghancurkan gereja-gereja dan biara-biara. Etiopia mencari bantuan
dari Portugal dan orang Kristen Eropa. Seorang Yesuit Spanyol, Father Paez, tiba di
Etiopia tahun 1603. Dia berusaha meminta bantuan dari Roma untuk menjaga orang
Kristen Koptik dari perlawanan Islam. Kemudian dikirim lagi seorang Yesuit
Portugis, Alphonsus Mendez, sebagai seorang Abuna pertama yang bukan Mesir sejak
Frumentius. Mendez mencoba untuk membaharui Gereja Etiopia ke bentuk teologi
dan pelayanan Roma Katolik. Hal ini membuat orang Etiopia merasa tidak nyaman.
Mendez membaptis ulang orang awam, menahbiskan ulang para imam (pendeta),
menyucikan ulang Gereja-gereja. Akhirnya terjadilah perang sipil yang menurunkan
Susenyos dari tahtanya. Hal ini mengakibatkan permasalahan di gereja Etiopia
terutama mengenai ajaran Kristologi khususnya ajaran Duofisit.
Daya tarik Kekristenan Etiopia terletak pada pertumbuhan yang saling
berhubungan dan bentuk iman yang khas, dibangun di dalam tradisi mereka
(khususnya bagi orang Afrika pertama sekali). Budaya Kristen menyatupadukan
kehidupan orang Afrika dan ide-ide kerajaan, dipadukan dengan budaya setempat
dalam rasa kekeluargaan. Mereka juga memadukan musik debtara di dalam
Kekristenan. Sehingga Kekristenan di Afrika menyatupadukan pandangan-pandangan
roh tradisional tanpa menjadikannya menjadi sebuah konflik pada abad kesembilan
belas hingga abad kedua puluh misi Kekristenan. Di sisi lain masalah pernikahan
menjadi permasalah yang cukup serius bagi Gereja Etiopia, khususnya tentang
poligami. Gereja di Mesir, Nubia dan Etiopia, sering dengan sedih menahan tekanan-
tekanan dari perkembangan Islam.
KERAJAAN KONGO DAN MISIONARIS PERUSAHAAN PORTUGIS14
Kekristenan di Kongo bermula dari pekerjaan Raja Portugis yang membaptiskan
raja Kerajaan Manikongo (pemimpin), Nzinga Nkuwa tahun 1482. Kekristenan
menjadi budaya di istana. Kemudian setelah Afonso memimpin Kongo (1506-1543),
dia sangat aktif dan dengan tekun membangun kerajaan Kekristenan di Kongo melalui
pembangunan budaya Kristen yang kuat di istana. Perjanjian Regimento tahun 1512
diangan-angankan menjadi sebuah aliansi dengan Portugis, meliputi perdagangan dan
14
Adrian Hastings (ed.), A World History of …, hlm. 200-203

22
program akulturasi Portugis, yang dipromosikan oleh imam-imam dan misionaris.
Don Henrique, Anak Afonso, dikirim ke Portugis untuk belajar, dan kembali ke
Kongo untuk ditahbiskan menjadi ‘Bishop Utica dan Praktek Apostolik Kongo’.
Perkembangan Kekristenan selanjutnya di Kongo adalah pada tahun 1645,
biarawan Kapusin Italia dikirim dengan Propaganda. Mereka sangat antusias disambut
oleh Manikongo, Gracia II. Di bawah inspirasi Kapusin, Kekristenan semakin
mengembang ke luar. Para biarawati mengatur untuk menghancurkan nkisi
(penyembah berhala) dan dan merusak pekerjaan penyembuh tradisional (nganga).
Walaupun para biarawan menyebut diri mereka nganga dalam arti sebagai orang yang
dipilih memutuskan sesuatu perselisihan untuk menggantikan para ahli-ahli agama
tradisional. Kekristenan di istana sangat dekat dengan budaya Portugis,
diakulturasikan dengan irama dan keadaan kehidupan orang Kongo. Baptisan menjadi
terkenal dan bahkan setiap orang bangga dengan memakai nama Portugis seperti
‘Dom’ atau ‘Donna’. Kendatipun demikian, Kekristenan di Kongo, seperti Hasting
tuliskan, bahwa mentalitas orang Kongo tidak begitu jauh berubah dari pra-
Pencerahan Katolik di sebelah selatan Eropa.
Dampak yang kuat Kekristenan pada lingkungan Afrika di Kongo dapat dilihat
secara dramatis dalam munculnya gerakan Antonian Donna Beatice (dalam bahasa
Afrika namanya adalah Kimpa Vita) pada permulaan abad kedelapan belas. St.Antony
Padua, lahir di Lisbon, seorang yang kudus dari pedagang Portugis terkenal yang
pengabdiannya tersebar di Brazil dan Kongo. Di bawah bimbingan Antoni, Beatrice
meminta Manikongo mendorong menempati ulang pusat Sao Salvador, kota kudus
Kristus.

KEBANGKITAN MISI ABAD KESEMBILAN BELAS15


AFRIKA BARAT16
Tiga setengah abad, hubungan di antara Eropa dan Afrika adalah merupakan
perdagangan budak. Sistim Atlantik Utara menerima orang hanya sebatas kebutuhan
industri. Yang sangat antusias dalam penyebaran Kekristenan di Afrika Barat adalah
para pedagang Inggris dan Perancis pada abad kesembilan belas. Sementara itu,
hingga tahun 1860-an, perdagangan budak itu sendiri masih terus berlanjut pada kelas
atas. Lembaga Persaudaraan (The Society of Friends) adalah kelompok Kristen yang

15
Adrian Hastings (ed.), A World History of …, hlm. 203-216
16
Ibid., hlm. 203-209

23
pertama yang menunjukkan ketidakcocokan dengan perdagangan budak dengan
sebuah padangan kemanusiaan Kristen. Pada akhir abad kedelapan belas gereja Injili
di Inggris melawan perdagangan budak dan membangun perdagangan bebas dan
liberalisme ekonomi yang dipelopori oleh Adam Smith.
Menurut Kevin, dampak pertama yang cukup jelas dalam ketertarikan Inggris di
Afrika setidaknya mengandung makna: penciptaan sebuah ‘bebas penjajahan’ di
Sierra Leone. Cara ini adalah cara ‘menyelesaikan’ masalah hitam London dengan
membuang urban kulit hitam ke perkampungan yang padat dan kotor. Kebimbangan
ini diberikan demi kelangsungan hidup dengan penghapusan perdagangan budak pada
tahun 1807, dan mendirikan sebuah Skuadron Inggris di pantai Afrika Barat untuk
memaksa pengabulan kekuatan Eropa. Freetown (kota bebas) menjadi tempat di mana
budak Afrika, yang tidak pernah menyeberang Atlantik, yang dipulangkan ke Afrika.
Mereka disebut “orang yang tertangkap”. Secara umum mereka berasal dari Yoruba,
dengan nama kecil ‘Aku’ di Sierra Leone. Lembaga Gereja Misi Anglikan (The
Anglican Church Missionary Society – CMS) dan Lembaga Misi Methodis Wesley
juga membangun masyarakat Kristen di Freetown. Di gereja dan lembaga sosial selalu
didasarkan pada pengajaran Wilberforce dan Waterloo. Ada sebuah inspirasi yang
dibagikan para misionaris dan Creoles, dengan mengadakan pendidikan yang
bertujuan membangun kemampuan berhasa Inggris orang Afrika, contohnya Creole,
pengacara Sir Samuel Lewis (1843-1903). Karirnya sebagai contoh orang Afrika yang
sukses yang merespon budaya Barat Eropa.
Dan masih banyak lagi orang ‘Aku’ yang berhasil dan kembali ke kampung
mereka menjadi pelaku-pelaku bisnis, dan juga sebagai tenaga misionaris. Abeokuta,
sebuah kota Yoruba telah dibangun kembali setelah penghancuran pada abad
kesembilan belas.
Kevin juga mencatat salah seorang tokoh terkenal dalam perkembangan
kesadaran Creole dan kritik terhadap Kristen Creole adalah Edward Wilmot Blyden
(1832-1912). Dia menghabiskan banyak hidupnya di Afrika Barat (di Liberia dan
Sierra Leone). Dia seorang ahli bahasa yang brilian. Dia juga menulis buku yang
berjudul Christianity, Islam and the Negro Race (1887). Salah satu tema yang
terkenal darinya adalah potensi Kekristenan untuk berbicara dari dalam kondisi
Afrika. Tetapi dia mengkritisi cara palsu yang dibangun dalam Kekristenan Creole,
sebagai bandingan dengan proses alami dengan yang dia kenal dalam perkembangan
yang lamban sepanjang abad dari Islam Afrika Barat. Dia mendorong membentuk

24
Gereja Afrika – sebagai sebuah saran yang menarik pada orang yang terlibat dalam
perdebatan Jabatan Pendeta di dalam CMS dan lingkungan Anglikan di Sierra Leone
tahun 1870-an. Perdebatan ini muncul dari perasaan bahwa Gereja diseret dalam
mengimplementasikan kebijakan ‘three selves’ Henry Venn, sekretaris CMS. Venn
berpendapat bahwa tugas misionaris pada dasarnya adalah sebagai yang terdepan
(pion). Tujuannya untuk menjadikan pemerintahan sendiri (self-governing), swadana
sendiri (self-financing), dan pengembangan sendiri (self-propagating) gereja setempat.
Tokoh lain adalah James Johnson (1840-1917). Johnson seorang jurubicara
masyarakat Kristen Creole di Sierra Leone, khususnya selama pertikaian Jabatan
Kependetaan tahun 1871-1874. Dia melawan Bishop Cheetham dengan protesnya
melawan praktek diskriminasi ras di dalam struktur Anglikan Sierra Leone. Johnson
kemudian menjadi pelawan kuat Bishop Samuel Ajayi Crowther (1806-1891).
Crowther adalah orang Kristen Afrika Barat yang terkenal pada abad kesembian
belas. Dia seorang budak Yoruba yang dibebaskan, yang menjadi orang pertama
menamatkan pendidikan dari Perguruan Fourah Bay. Ditahbiskan sebagai pendeta
Anglikan, dan melakukan misionaris di daerahnya. Tahun 1862, ketika dia mau
pensiun, Henry Venn meninta padanya untuk menerima panggilan menjadi Bishop
Nigeria.

AFRIKA UTARA17
Perkembangan misi Kristen di Afrika Utara sangat berbeda dengan misi Kristen
di Afrika Barat pada abad kesembilan belas. Salah satu tema umum dalam
perkembangan Kekristenan di Gereja Afrika adalah aturan yang krusial yang
dimainkan dalam kedua wilayah baik di bidang pendidikan Afrika ala Barat.
Perbedaan yang menyolok adalah kekuatan orang Kristen kulit putih di Afrika Utara,
dan substansi kehadiran misi Kristen Eropa. Keluarga para misionaris, khususnya di
dalam generasi kedua dan ketiga, sering digabungkan ke dalam masyarakat kulit putih
dan menyerap nilai-nilainya. Petani-petani Boer, dari Belanda, Hugenot dan Jerman,
menyatakan diri mereka sebagai ‘orang Afrika’: ‘ik bin ein Afrikander’ merupakan
bualan yang cukup terkenal dari salah seorang trekboer. Pada abad kesembilan belas
penginjilan Scotlandia memberitahukan kehidupan Gereja Reformed Belanda melalui
perkenalan pelayan-pelayan (dominies) Scotlandia. Masyarakat kulit hitam juga
mengklaim untuk dikenal sebagai bagian dari budaya Afrika, dan banyak penduduk
17
Adrian Hastings (ed.), A World History of …, hlm. 209-213

25
kulit hitam milik Gereja Reformed. Bahkan DRC pada akhir abad kesembilan belas
telah mulai aktif dalam pekerjaan misi pada masyarakat kulit hitam Afrika –
khususnya pada daerah utara Limpopo dan di wilayah Nigeria. Agama kulit putih
Afrika sangat penting bagi diskusi Kekristenan Afrika, sebab di dalam keagamaan
inilah terkandung jati diri orang Afrika itu sendiri dan keagamaan ini menjadi dasar
dari seluruh kehidupan orang Afrika. Hal yang terpenting lagi adalah pertengkaran di
antara Bishop Robert Gray di Cape Town dan pengikutnya Bishop Natal, John
Colenso, yang Gray tuduh musuh, memiliki implikasi penting bagi perkembangan
persekutuan Anglikan, menjadi faktor besar dalam Konferensi Lambeth pertama
tahun 1867.
Misionaris Inggris pertama di Cape Town (dari 1799), khususnya London
Missinary Society, sangat keras mengkritisi akibat sosial dalam penduduk asli dan
budak import dari masyarakat Cape Belanda. Yohanes van der Kemp (seorang
Belanda yang dipekerjakan LMS) dan penggantinya Dr.John Philip (seorang
Scotlandia) mengkampanyekan martabat kemanusiaan dari Khoikhoi (penduduk asli
Cape sebelah barat).
Apa yang terjadi di Afrika Utara ini menurut Kevin bukan semata-mata
penggembalaan orang Afrika, melainkan merupakan penjajahan orang Inggris dan
hanya merupakan pencarian berlian, dan emas, mengacaukan kapitalisme dan
industrialisasi internasional. Disamping itu, para misionaris sering kelihatan
bertingkah laku negatif pada seluruh elemen penting di dalam kehidupan sosial orang
Afrika seperti: poligami, lobola (mahar), perkawinan levirat (campur), dan ibadah-
ibadah inisiasi. Misionaris LMS, John Mackenzie mengatakan kelemahan hubungan
komunistik dari anggota suku dari seorang ke orang lain dan membiarkan kompetisi
individualistik.
Di Xhosa, Kekristenan diganggu oleh perpecahan pada masyarakat melalui
sebuah perang dengan penduduk pendatang (Inggris sebagai orang Afrika di daerah
Port Elizabeth sejak tahun 1820). Dua orang Xhosa yang terkenal dari abad
kesembilan belas yang menyimbolkan dua cara respon kekuatan Kekristenan dan
Inggris yaitu: Nxele dan Ntsikana. Nxele adalah seorang peramal yang berhubungan
dengan petani-petani Boer dan mengetahui tentang Kekristenan. Kadang dia juga
dikenal di dalam masyarakat Xhosa dan penduduk kulit putih. Dia melihat pusat misi
sebagai ‘alat pengintai penjajah’ dan menyimpulkan bahwa agama misionaris
bertentangan dengan sipritualitas orang Afrika. Jalan yang benar menyembah Allah

26
bukanlah dengan menyanyikan “M’Dee, M’Dee,, M’Dee setiap hari dan berdoa
dengan berlutut di tanah dan kembali kepada Yang Mahakuasa – melainkan menari
dan menikmati hidup dan saling mengasihi, sehingga orang kulit hitam semakin
bertambah banyak dan memenuhi bumi.
Berbeda dengan Nxele, Ntsikana sosok yang dihormati dalam masyarakat
Xhosa, seorang penasihat pemimpin Ngqika. Dia mendukung perdamaian dengan
pemerintah kulit putih. Dia menciptakan lagu-lagu pujian dan hymne kepada yang
Maha kuasa. Dia tidak pernah dibaptis tetapi menginginkan dikubur ‘dalam cara
Kekristenan’. Dia memiliki pengaruh yang mendalam dalam seluruh generasi Kristen
yang berpendidikan di Xhosa.

SEBELAH TIMUR AFRIKA18


Berbeda dengan di Afrika Barat dan Afrika Utara, di Afrika sebelah timur tokoh
misionaris memainkan peranan sangat penting: mereka menjadi penjelajah, yang
memiliki visi transformasi sosial yang radikal, sebagai seorang ahli strategi lebih
daripada Gereja Kristen Afrika. David Livingstone (1813-1873) mengadakan perjalan
jauh melalui Afrika Timur, memberitakan pertumbuhan perdagangan budak yang
mengerikan di Afrika sebelah timur ini. Livingstone berbeda dengan Ludwig Krapf,
seorang Lutheran Wurttenberger yang bekerja bagi CMS di Etiopia sejak tahun 1844,
dan di Rabai dekat Mombasa. Livingstone sangat marah atas penderitaan dan
penindasan orang Afrika. Pietisme Krapf memimpinnya untuk melihat orang Afrika
dalam istilah kejatuhan yang mereka bagikan dengan seluruh manusia. Mereka berdua
gagal seandainya memenangkan jiwa menjadi ukuran kesuksesan. Tetapi mereka
berdua menjadi sumber inspirasi bagi banyak misionaris di dalam kesadaran mereka.
Livingstone yakin bahwa akhir penderitaan hanya akan datang dari perbaikan ulang
masyarakt secara radikal: “Aku kembali ke Afrika membuka jalan bagi perniagaan
dan Kekristenan”. Artinya penduduk kulit putih menjadi pioner sebuah agrikultur
yang baru.
Di Afrika Barat dan Afrika Utara, misi Gereja Katolik Roma (GKR) mengalami
kegagalan dibandingkan dengan Protestan pada abad kesembilan belas. Di Afrika
Timur, GKR menduduki jabatan di pemerintahan. Tahun 1838, pendeta Lazarist,
Justin de Jakobis membangun ulang Katolik di Etiopia, yang diikuti oleh Kapusin
Italia di bawah Guglielmo Massaja yang bekerja di Oromo sebelah selatan Etiopia.
18
Adrian Hastings (ed.), A World History of …, hlm. 213-216

27
Daniel Comboni mengilhami dukungan baru untuk membangun ulang Gereja Kristen
di Sudan. Dia membuka pekerjaan misi baru, Verona Fathers. Tokoh lain adalah
Charles Levigerie, Ukup Kepala Algiers. Dia mendirikan White Fathers, yang
memiliki dampak yang kuat di Afrika Timur.
Misi Perancis pertama yang bekerja di pantai Afrika Timur adalah The Holy
Ghost Fathers. Tahun 1863, mereka mendirikan pembebasan hutang budak di
Bagamoyo. Misionaris Eropa memang menjadi pemprakarsa pekerjaan misi bagi
orang Kristen Afrika. Pendirian misi ke daerah pedalaman adalah lebih diprakarsai
para misionaris Eropa daripada ininisiatif orang Kristen Afrika Timur. Walaupun ada
misi pribadi orang Afrika pada tahun 1880-an dan 1890-an seperti Pdt.William Jones
yang mengikuti Bishop Hannington pada perjalanannya ke Buganda dan James
Mbotela yang mendirikan Misi Dalam Negeri Afrika yang memulai pekerjaan mereka
di Ukambani.
Buganda adalah pusat masyarakat yang terkenal, yang terbuka dan menerima
setiap ide-ide baru. Islam memperoleh pengaruh kuat bagi para pemuda (bagalagala)
yang tinggal di istana dan yang dilatih kelak menjadi pemimpin bangsa. Tahun 1875,
Henry Morton Stanley mengunjungi Buganda. Dengan rasa ketakutan atas
konsekuensi politik, raja Kabaka mendiskusikan kemungkinan masuknya para
misionaris Kristen ke Buganda. Stanley menyambut usulan tersebut dan dia
mengirimkan surat permohonan kepada Paus agar mengirimkan misionaris ke
Buganda. Pada tahun 1877 CMS Anglikan tiba Buganda dan menyusul pula Chatolic
White Fathers tahun 1879. Dan segera lembaga misi ini tiba di Buganda maka
mulailah terjadi konflik dan fiksi dengan umat Islam. Kabaka segera menemukan
bahwa Kekristenan memiliki sifat subversif sama dengan Islam. Bishop pertama
Anglikan James Hannington dibunuh dalam perjalanannya ke Buganda kemudian 100
orang Kristen yang bertobat, banyak yang mati dibakar, juga banyak yang mati
diniaya di Namugongo sehingga di kemudian hari tempat ini dikenal sebagai makam
orang suci. Hal yang penting dicatat dalam keadaan ini adalah bahwa setiap agama
baik Islam, Katolik dan Protestan sama-sama menunjukkan kekuatan mereka sendiri.
Namun pada akhirnya kekuatan Protestanlah yang menjadi pemenangnya. Sebenarnya
masih banyak lagi contoh sejarah Kekristenan modern di dalam pemerintahan Afrika
sebagai patron misi Kristen. Tetapi Buganda memperlihatkan dalam seluruh elemen
pemerintahannya menjadi Kristenisasi bahkan dalam masyarakatnya pun terlihat pola

28
kehidupan Kristenisasi tersebut. Gereja di Buganda menjadi ‘Gereja bangsa’ yang
kuat.

PEREBUTAN DAN PENJAJAHAN MISIONARIS19


Pada abad kesembilan belas para misionaris hidup sebagai tamu dalam
pemerintahan Afrika. Dalam keadaan tertentu mereka memaksa apa yang disebut
dengan ‘kebijakan ke depan’ (forward policy) dalam artian keterlibatan mereka di
dalam pemerintahan Afrika. Pemerintah Afrika mencurigai keterlibatan dalam
pemerintahan ini. Tuan Palmerston menyindir keras tentang ekspedisi Zambezi tahun
1858: ‘Saya sangat tak menyukai skema baru pengambilalihan Inggris. Informasi
Dr.Livingstone sangat berharga namun dia seharusnya tidak dibolehkan membawa
kita pada bentuk penjajahan hanya untuk menjadi kaya’. Di antara Kongres Berlin
1885 dan permulaan abad kedua puluh, hampir seluruh orang Afrika dibagi melawan
hal ini. Sejak tahun 1880-an mulailah semangat misi nasional yang didorong negara-
negara Eropa. Sehingga jiwa nasionalis menjadi alat penangkal bagi penjajahan asing.
Misalnya, misi Scots bagi Inggris untuk menegaskan perhatiannya pada Nyasaland
sebelum Portugis datang. Memang sedikit banyaknya, masyarakat Kristen Afrika
memberi kecenderungan, paling sedikit menerima kontrol Eropa dan bekerjasama
dengan kekuatan mereka. Hal yang sama di daerah pengaruh Islam, kekuatan Eropa
bergantung kepada Islam untuk menetapkan para pegawai dan fungsi aparat
administrasi. Masyarakat tradisional bertahan pada misi orang Kristen, seperti Ijebu di
Lagos.
Hal yang sangat mendalam yang dialami oleh orang Afrika hingga pada akhir
abad kedua puluh adalah krisis ekologi, krisis dalam patologi, dalam masyarakat dan
pertumbuhan persatuan Afrika ke dalam ekonomi kapitalis global.

KEKRISTENAN DALAM MASA PENJAJAHAN: PENDIDIKAN DAN


”ADAPTASI“20
Bagi misioaris Kristen, menjadi seorang Kristen dan berpendidikan adalah dua
aspek dalam proses yang bersamaan. Katekumen disebut ‘pembaca’ sebab mereka
harus belajar dasar-dasar pendidikan untuk menguasai teks, apakah itu teks Alkitab
atau katekisasi sidi. Pada abad kesembilan belas, misionaris telah mendirikan sekolah

19
Adrian Hastings (ed.), A World History of …, hlm. 216-218
20
Adrian Hastings (ed.), A World History of …, hlm. 218-221

29
menengah atas, dengan kurikulum ‘sekolah grammar’ untuk kelas bahasa dengan
bahasa Eropa sebagai bahasa pengantar. Pada akhir abad kesembilan belas telah
dibuka kurikulum ‘modern’.
Isu yang umum menjelang akhir Perang Dunia I adalah kekawatiran atas
tindakan pemerintah yang tidak mencoba membangun sistim paralel sekular di mana
etos orang Kristen akan hilang. Pemerintah terlihat kuatir memenuhi pemerintahan
baru. Padahal banyak kesempatan untuk bekerja sama. Pada awal tahun 1920-an,
lembaga sosial Amerika, Phelps-Stokes Commission, mengadakan perjalanan melalui
daerah tropis Afrika, yang dipimpin langsung oleh seorang pendidik yang bernama,
Jesse Jones. Komisi ini ditandai dengan pembangunan pendidikan di negara-negara
bagian dari selatan Afrika yang diinpirasikan oleh Booker T.Washington dan Institut
Tuskegee yang diadaptasi dari ekonomi partikuler dan kondisi sosial dalam
masyarakat. Di dalam konteks Afrika, bagian positif dari pemberitaan mereka adalah
bahwa pendidikan dihubungkan dengan kenyataan kehidupan desa Afrika. Tetapi juga
sangat mudah menafsirkannya secara negatif, yaitu sebuah usaha memperkenalkan
pemisahan dan tipe superior pendidikan, menjauhkan orang Afrika dari kemajuan
modern. Namun apa pun kritikan yang terjadi, Phelps-Stokes memiliki dua tujuan
pokok mereka yaitu: pertama, menciptakan pendapat yang kuat bahwa ‘kenderaan
sekolah’ ditekankan lebih mendalam dan sifat orang Kristen dikuatkan. Kedua, komisi
ini sangat penting bagi orang Kristen Afrika, salah seorang anggotanya Dr.James
Aggrey, seorang pendidik orang Afrika Barat asli, yang membuat gerakan yang luar
biasa kemana pun dia pergi. Aggrey menegaskan pentingnya kerja sama di antara
kulit hitam dan putih.
Joe Oldham, dari Dewan Misi Internasional (The International Missionary
Council) – salah seorang pelopor pendiri Dewan Gereja Se-Dunia – sangat aktif di
antara tahun-tahun perang dalam membangun sistim kerja sama misi pemerintahan.
Beberapa dari misi iman injili (seperti contoh Misi Inland Afrika) sangat mencurigai
kelanjutan sistim ini sebab mereka takut bahwa pembebanan kurikulum pemerintah
dan campur tangan dari kuasa misi injili dan mendorong tendesi sekularisasi di antara
murid.
Ketegangan ini juga dirasakan di dalam hubungan kerja sama Katolik Roma
dengan pemerintah. Hal ini dapat terlihat jelas dalam perbedaan pandangan misi
Katolik Nigeria di Afrika Barat. Karlo Zappa, Misi Masyarakat Afrika di Lokoja,
dalam penolakan gaya misi lama yang tidak dipercayai atas pembebasan budak dalam

30
isolasi perkampungan orang ‘Kristen’, dan tidak ingin menghasilkan misi Kristen
yang ‘detribalisasi’ dan mempunyai persamaan dengan ‘pendidikan kebarat-baratan’
yang mencurigakan. Karlo menolak sekolah-sekolah sekuler di seluruh wilayah
misinya dan berkonsentrasi pada pembangunan kelas katekisasi dan sistim seminari.
Sehingga orang Igbo pertama yang ditahbiskan menjadi pendeta adalah Fr.Paul
Emecete pada tahun 1920. Berbeda sangat tajam dengan Bishop Joseph Shanahan dari
Holy Ghost Father. Dia sangat tertarik menjalin kerjasama dengan pemerintah. Dia
berkata, “Barang siapa yang memegang sekolah, memegang negara, memegang
agamanya, dan memegang masa depannya”. Artinya seluruh perhatian kerja sama
dicurahkan dengan departemen pendidikan kolonial dan menerima kurikulum sekuler.
Hasilnya, diperkirakan hampir 40% sekolah-sekolah di Igbo menjadi Katolik dan
Katolikisme menjadi yang terbesar di Igbo.
Seandainya Fr.Zappa dan AIM di Kenya dilihat sebagai sesuatu yang aneh
dalam melawan pendidikan sekular, perhatian Zappa tentang tidak menghasilkan
‘detribalisasi’ penduduk, digemakan kembali dan kembali dalam tahun-tahun dalam
perang. Dengan demikian ide ‘tribalisme’ sangat kurang dilakukan dalam kenyataan
Afrika daripada persepsi orang Eropa tentang kehidpan orang Afrika.
Di sisi lain, campur tangan misionaris dalam adat dapat memiliki pengaruh
yang cukup kuat, sebagaimana yang terjadi di dalam krisis adat-istiadat perempuan
yang meletus di Kenya tahun 1929. Usaha untuk mendorong orang Kristen Kikuyu
untuk berjanji pada waktu baptisan atau institusi sebagai pemimpin Gereja bukan
menyunat anak perempuan mereka. Para misionaris turut campur tangan dalam
banyak hal di dalam adat-istiadat orang Kikuyu.

KEBANGKITAN GEREJA-GERAJA INDEPENDEN21


Kolonialisme memiliki peran ganda dalam dampaknya bagi Kekristenan. Pada
satu sisi, kolonialisme membuat Gereja lebih bergantung dari pada sebelumnya pada
masa misioaris asing. Dalam masa pra-kolonial, para misionaris berhubungan intim
dengan masyarakat setempat, tinggal berdampingan dengan penduduk, sering berbagi
rasa dalam materi budaya yang sama. Tetapi sekarang, sudah ada ‘penarikan ke atas’
pada benteng institusional. Disamping itu juga, mentalitas kolonial membuat jarak
sosial di antara orang asing dan penduduk asli yang disebut dengan ‘serambi
Kekristenan’.
21
Adrian Hastings (ed.), A World History of …, hlm. 221-223

31
Di sisi lain, kolonialisme dengan cepat menyebarkan kegiatan misionaris ke
seluruh wilayah jajahannya. Misalnya dengan melakukan katekisasi, penginjilan dan
pengajaran oleh orang Afrika. Sehingga orang-orang yang percaya dibolehkan
mendirikan Gereja di daerah penjajahan tersebut.
Kevin berpendapat bahwa hari berdirinya Gereja Kristen di Afrika adalah pada
periode sebelum dan sesudah Perang Dunia Pertama. Pada tahun 1913, William Wade
Haris dari masyarakat Grebo di Liberia, melihat visi dari malaikat Gabriel di penjara.
Dia memulai penginjilan yang luar biasa di sepanjang pantai Afrika Barat dengan
menyampaikan kuasa Kristus dan kuasa Roh Kudus. Dia memakai gaun putih dan
selempang hitam, membawa guci, salib, Alkitab, dan cawan untuk membaptiskan. Dia
membaptiskan ribuan orang tanpa melihat aturan yang diperbuat oleh para misionaris.
Beberapa tahun sebelumnya, di Afrika Selatan, nabi Zulu yang diberi nama Yesaya
Shembe mendirikan “Nazaret”-nya di Ekuphakameni pegunungan Drakensberg.
Nabi lain dalam periode ini adalah Simon Kimbangu dari orang rendah Kongo,
Katolikisme Kongo dan nabi Kristen yang independen, Donna Beatrice. Kimbangu
besar dalam Gereja Baptis dan sudah dibaptiskan. Tahun 1921 memulai pelayanan
penyembuhan di desanya Nkamba. Gereja Kimbangu menjadi gereja independen
terbesar di Afrika.
Haris, Shembe, dan Kimbangu adalah yang lebih dulu dan tentu penuh dengan
semangat dan perhatian dalam gerakan ‘independensi’ yang menyebar luas di bagian
Afrika. Di Nigeria, fenomena ini dikenal sebagai Aladura: Gereja yang berdoa. Para
Kerubim dan Serapim, didirikan oleh seorang perempuan, Christiana ‘Kapten’
Abiodun. Masih banyak lagi contoh perempuan pendiri dan pemimpin gereja
independen seperti: Gaudencia Aoko pendiri Gereja Maria Legio di sebelah barat
Kenya, gereja independen terbesar yang keluar dari Gereja Katolik Roma.

GERAKAN PEMBAHARUAN SPIRITUAL LAINNYA22


Gerakan pembaharuan yang terkenal adalah gerakan Kebangkitan Balokole di
dalam Gereja-gereja Protestan di Afrika Utara (Balakole adalah Luganda bagi ‘Umat
yang Diselamatkan). Gerakan ini timbul dari hubungan kemitraan di antara tenaga
medis misionaris CMS, Gereja Dr.Joe dan Simeoni Nsibambi dari keluarga yang
berbeda di Buganda. Para anggota menyebut diri mereka sebagai Ab’oluganda. Dalam
istilah Inggris, ‘Saudara-saudara’ sering digunakan (yang menunjukkan kepada laki-
22
Adrian Hastings (ed.), A World History of …, hlm. 223-226

32
laki dan perempuan dalam Ab’oluganda di Luganda). Kebangkitan tumbuh untuk
menentukan misi pendirian Gereja-gereja. Pada satu sisi, misinya adalah tipe gerakan
Injili, yang menekankan pertobatan dosa dan hanya percaya pada penebusan darah
Kristus di kayu salib. Kebangkitan tidak takut bertentangan dengan dosa, dengan
praktek agama tradisional ‘penyembah berhala’ di dalam Gereja. Pada sisi lain,
gerakan yang lebih mendalam dari orang Afrika, melihat diri mereka sendiri sebagai
‘suku’ yang baru, yang menekankan semangat solidaritas kelompok, menentukan
pernikahan-pernikahan, dan mengurus para janda dan duda. Dimulai dalam Gereja
Anglikan di Uganda dan Rwanda, kemudian gerakan menyebar ke Gereja-gereja
Mennonit dan Lutheran di Tanzania dan Presbiterian dan Gereja-gereja Metodist di
Kenya.
Di dalam Katolikisme, kaum awam didorong, misalnya berpartisipasi dalam
Legion dan devosi Maria pada orang martir Uganda, tetapi para klerus sering menjadi
faktor penghambat. Gerakan Jamaa (keluarga) di Katolikisme Shaba dan Kasai di
Zaire contoh yang terkenal dari kekuasaan spritualitas kaum awam. Sama dengan di
Balokole, Jamaa melihat diri mereka sendiri sebagai gerakan di dalam Gereja.
Perempuan sering memainkan peran memimpin dalam kehidupan Gereja,
bahkan kaum perempuan selama beberapa tahun menjadi jemaat yang terbanyak.
Salah seorang tokoh yang terkenal dari mereka adalah Moder Lena (Magdalena)
Vehegtte Tikkuie. Ketika George Schmidt meninggalkan misi Moravia di Genadendal
di Afrika Utara tahun 1742, dia telah membaptiskan tiga orang anggota persekutuan
Kristen: dua orang laki-laki dan Lena. Dia menugaskan kedua laki-laki itu
meneruskan pekerjaan misi tersebut, namun tidak lama mereka pun berhenti. Hanya
Lena yang bertahan dalan iman, mengajar orang lain Alkitab dan doa-doa Kristen
selama 50 tahun, hingga tahun 1792, kelompok baru Moravian tiba.
Misi Protestan kemudian memakai misionaris perempuan yang bernama Maria
Slessor dari Kalabar. Slessor adalah seorang perempuan yang enerjik dan inisiatif.
Bagi perempuan Afrika, keuntungan Kekristenan adalah bermakna ganda. Kadang-
kadang misi Kekristenan begitu kuat ‘membangkitkan kalangan perempuan’, tetapi
pada saat yang sama memagari apa yang seharusnya dilakukan oleh perempuan.
Lembaga Gereja menjadi lebih terstruktur, menahbiskan pelayan hanya dari kalangan
laki-laki saja. Di Uganda, telah berhasil menerima perempuan dalam pegawai lokal
seperti contoh Bannabikira (Anak perempuan dari Perawan) dan Anak perempuan

33
dari St.Francis. Baik misi Protestan dan Katolik telah memberikan pendidikan dasar
dan pengetahuan domestik bagi perempuan untuk menyelesaikan sekolahnya.
Kebijakan pemerintah Afrika Utara sering memaksa agar perempuan tinggal di
rumah. Tetapi, di Afrika Utara sendiri, kaum perempuan menjadi sandaran utama
dalam kehidupan Gereja. Iris Berger menyarankan bahwa di dalam kondisi aparteit,
perempuan di dalam kota tidak dapat mempertahankan hubungan patriarkad. Gereja
harus memberikan komunitas alternatif.

PEMBERIAN KEBEBASAN POLITIK (DEKOLONIALISASI)23


Walaupun dalam periode kolonialisme yang tinggi, namun masih ada para
misionaris yang secara individu mengkritik kebijakan penjajah. Beberapa di antara
mereka adalah Archdeacon Owen di Kenya, dan Arthur Shearly Cripps di Sebelah
Selatan Rhedesia. Bahkan ada juga orang-orang Kristen Afrika khususnya dari
Gereja-gereja Protestan yang menyuarakan suara-suara kritikan kepada kolonialisme.
Misalnya Terence Ranger dalam bukunya yang berjudul Are We Not Also Men?
Mengungkapkan gambaran tentang keluarga Samkange di Sebelah Selatan Rhodesia.
Perbedaan di antara pendeta miskin, pendidikan kaum awam di dalam berbagai
tingkatan menjadi salah satu kritikan utama Gereja-gereja Protestan dalam memasuki
era kebebasan di Afrika, khususnya dalam gerakan Afrikanisasi jabatan Gereja yang
dimulai tahun 1950-an.
Bagi kalangan Gereja Katolik, kebebasan ini pun mulai diperjuangkan. Joseph
Kiwanuka menjadi Bishop pada diocese pertama Afrika pada tahun 1939 di Masaka,
Uganda. Demikian juga Aberi Balya menjadi Bsihop pertama di Gereja Anglikan
Uganda delapan tahun sebelumnya.

KEBEBASAN KEKRISTENAN DAN POLITIK DI AFRIKA24


Proses dekolonialisasi yang cepat adalah pada tahun 1950-an dan 1960-an yang
dilakukan oleh pemerintah di berbagai bagian di Afrika. Berbicara tentang kebebasan
ini tidak terlepas dari kritikan terhadap misi Kekristenan itu sendiri yang memberi
dukungan misi pendidikan kepada kolonialisme. Nkrumah adalah salah seorang tokoh
yang menyebarkan penafsiran kebebasan spiritual yang dikutipnya dari diktum misi
agama yang mengatakan, ‘Carilah dahulu kerajaan politik’. Pan-Afrikanisme tahun

23
Adrian Hastings (ed.), A World History of …, hlm. 226-228
24
Adrian Hastings (ed.), A World History of …, hlm. 228-231

34
1960-an adalah alternatif yang tepat bagi kolonialisme dan misi Kekristenan. Tetapi
ada juga kekuatan yang memperkuat Kekristenan di dalam negara baru. Hampir
seluruh politikus melanjutkan hubungan dengan Gereja-gereja mereka. Jika misi yang
didirikan Gereja-gereja ditopang pemerintahan penjajah, mentalitas mereka juga
sering menjadi pemimpin di negara merdeka tersebut.
Ada sebuah elemen kuat tentang idealisme keagamaan dalam banyak program
pemimpin-pemimpin generasi pertama: Katolikisme Nyerere merupakan elemen yang
penting dalam program Sosialisme Afrika bagi Tanzania; Presbiterian Kaunda
membawa humanisme Afrika di Zambia. Kebebasan membuat orang Afrika bebas
menerima baptisan.
Dekade setelah kemerdekaan, negara-negara Afrika melampaui berbagai krisis
sosial, politik dan ekonomi dan gereja mencoba meningkatkan moral, spritual dan
pengharapan. Pada tahun 1980-an, Gereja (misalnya di Malawi atau Benin) menjadi
pusat gerakan demokratisasi. Disamping itu juga di Afrika Selatan bermunculanlah
pejuang-pejuang individu seperti Michael Scott atau Trevor Huddleston atau Cosmos
Desmond. Pemerintahan Archbishop Desmon Tutu dan Alan Boesak sangat berarti
bagi pekerjaan UDF (United Democratic Front).
Dengan demikian, Gereja berperan aktif memampukan umat untuk terjun dalam
dunia politik, pendidikan, jurnalisme dan pelayanan sosial. Bahkan ada yang menjadi
mati martir seperti Archbishop Anglikan Janani Luwun yang mati secara brutal di
tangan Idi Amin di Uganda. Selain itu, sekitar 200 orang para imam Afrika mati
akibat kekerasan selama 40 tahun, seperti: Fr Clement Kiggundu editor Majalah
Ktolik Munno, Ananias Oriang dari Lango, Gabriel Banduga dari Arua, dan Charles
Oberu dari Tororo.
Jika etnis sering dilihat sebagai elemen yang paling mudah mengakibatkan
konflik pada akhir abad kedua puluh, agama juga sebuah faktor yang dinampakkan
dalam konflik Islam – Kristen.

TEOLOGI AFRIKA25
Kevin mencatat beberapa teolog Afrika yang memunculkan teologi Afrika,
misalnya Rwandan Tutsi Alexis Kagame dan Congolese Vincent Mulago. Mereka
adalah termasuk orang yang belajar di Roma tahun 1950-an yang menghasilkan
tulisan-tulisan yang terkenal Des pretres noirs s’interrogent. Ada juga teologi Katolik
25
Adrian Hastings (ed.), A World History of …, hlm. 231-233

35
yang diwarnai dengan ‘inkulturisasi’ Injil di Afrika dan memberikan makna yang
sangat mendalam dan resonansi pada transformasi ibadah melalui pengenalan liturgi
dan musik.
Teolog Protestan berasal dari kaum awam Prebiterian Ghana (seorang pengacara
dan politikus) yang bernama J.B.Danquah. Dalam The Akan Doctrine of God (1944),
Danquah berusaha secara rinci dan tegas untuk menunjukkan agama tradisional
sebagai dasar monoteistik, yang kemudian menjadi dasar pandangan Kristen tentang
Allah. Disamping Danquah, masih ada lagi teolog-teolog Protestan lainnya yakni:
Bolaji Idowu, Harry Sawyerr, C.G.Baeta, Kwesi Dickson. Teolog dari Afrika Timur
adalah John Mbiti, dengan karyanya African Religions and Philosophy. Mbiti
berpendapat bahwa tradisi orang Afrika melengkapi agama, dan melihat agama orang
Afrika sebagai dasar yang selaras dengan Kekristenan. Walaupun pendapat Mbiti ini
ditentang keras oleh Okot p’Bitek (seorang pujangga dan pemikir Uganda). Bagi Okot
pandangan orang Afrika lebih mengarah pada orientasi sekuler.
Teologi Kekristenan di Afrika Utara lebih mengarah kepada perjuangan
melawan aparteit. Teologi Afrika Utara mengadopsi teologi perlawanan yang hampir
sama dengan teologi hitam (black theolgy) di Amerika Utara. Tokoh perjuangan ini
adalah seorang mahasiswa kedokteran yang bernama Steve Biko. Biko dibunuh oleh
polisi tahun 1977. Tahun 1985 kelompok teolog kulit hitam dan putih Afrika Utara,
menghasilkan dokumen penting berkaitan dengan situasi politik. Dokumen ini
dinamakan dengan „Dokumen Kairos“

KESIMPULAN26
Akhirnya, Kevin menyimpulkan, Kekristenan di Afrika bervariasi sangat besar
dan memiliki fenomena yang serba komplek. Juga memiliki kekuatan yang luar biasa,
mengakar dalam masyarakat desa. Katolikisme pada awal abad kedua puluh sangat
tekun dalam mengelola kampung Kekristenan dan sebagai hasilnya banyak daerah
Gereja-Gereja Protestan yang diambil alih selama hampir 30 tahun. Pada masa
kemerdekaan, ada penekanan yang dapat dimengerti pada perkembangan sistem
pendidikan nasional, pengenduran misi dan kontrol Gereja. Gereja Katolik lebih
waspada dan penuh perhatian pada kebutuhan untuk menjaga kegiatan pendidikan dan
melanjutkan mendukung pendirian sekolah-sekolah. Pemerintah gelisah melibatkan
Gereja-Gereja kembali dalam sistem pendidikan.
26
Adrian Hastings (ed.), A World History of …, hlm. 233-235

36
Perbedaan di antara pendiri misi Gereja-gereja ‘arus utama’ dan Lembaga
Gereja-gereja Afrika adalah mengenai bentuk inkulturisasi dalam gereja. Namun di
sisi lain masih ada kecurigaan di antara dua tradisi. Bagi gereja-gereja misi, mereka
menerima kebebasan Gereja-gereja sebagai orang Kristen yang selayaknya.
Sementara Lembaga gereja-gereja Afrika berkecil hati dan menganggap gereja misi
sering bertingkah laku angkuh.
Dekade terakhir abad kedua puluh, terlihat dengan menjamurnya gerakan
Gereja-gereja Pentakosta baru. Di satu sisi, hal ini menunjukkan budaya
Amerikanisasi.

3. AMERIKA LATIN27
Oleh: Adrian Hastings

SPANYOL ABAD KEENAM BELAS28


Kekristenan Amerika Selatan, pada mulanya, persis sebuah pemboyongan
Katolikisme oleh orang Iberia Peninsula pada masa ‘Raja-raja Katolik’ – Isabella dan
Ferdinand, Charles V, Philip II. Penaklukan Amerika menjadi sebuah penambahan
Mahkota Castile dan di dalam Castile inilah sejarah Gereja Amerika Latin dimulai.
Ketika Kolumbus ‘menjelajah’ Amerika29 tahun 1496, Spanyol memasuki masa
kekuatan yang besar dan penentu konstruksi Katolikisme. Hubungan toleransi
‘convivencia’ Kekristenan, Yudaisme dan Islam yang menjadi ciri permulaan Abad
Pertengahan Spanyol, telah berakhir. Orang Yahudi sudah diusir dari Spanyol dan
Granada, kerajaan Iberia Muslim terakhir, telah ditaklukkan dan digabungkan kepada
Castile. Pemaksaan konversi ‘Mudejans’ pun dimulai. Identitas Castile, sama seperti
Portugis, ditempa oleh Perang ‘Salib’. Semangat Perang Salib, tidak toleran, agresif,
bersikeras pada kesatuan politik – ortodoksi keagamaan menang atas seluruhnya di
bawah Isabella.

27
Adrian Hastings (ed.), A World History of …, hlm. 328-368
28
Ibid., hlm. 328-329
29
Nama Amerika berasal dari penemu Amerika sehingga namanya diabadika menjadi nama benua
tersebut yakni Americo ves Pucci.

37
Spanyol pada abad keenambelas adalah sebuah masyarakat ‘Abad Pertengahan’,
yang dipengaruhi gerakan Renaisans. Medieval adalah istilah yang tidak cocok :
medieval Spanyol kurang toleran. Namun di bawah kepemimpinan Franciscan,
Kardinal Ximenez de Cisneros, peraturan keagamaan diperbaharui dan mendukung
kemajuan para sarjana di Universitas Alcala yang didirikannya.
Spanyol negara yang kuat dalam abad keenam belas di Eropa. Jika kekuatan itu
dipakai untuk perluasan kerajaan di dunia dan kemajuan Katolik, maka kekuatan itu
akan dihubungkan dengan kebangkitan teologi dan filosofi seperti Thomist (penganut
ajaran Thomas Aquinas) di Universitas Salamanca. Kemajuan yang dilakukan oleh
teolog Dominican, Francisco de Victoria tentang sebuah teori hukum internasional,
didasarkan pada konsep Thomist tentang hukum alam. Penulis spritual lainnya pada
abad itu adalah John the Cross, Teresa dari Avila dan Ignatius Loyola,
mendemonstrasikan kualitas kehidupan keagamaan itu. Pada abad keenambelas,
Spanyol juga memiliki tentara misionaris – Dominikan, Franciskan dan kemudian
Yesuit.

SERATUS LIMA PULUH TAHUN PERTAMA KATOLIKISME AMERIKA


LATIN30
Pada tahun 1493, baik raja-raja Katolik maupun Paus memiliki ide kebesaran
atau ciri kemasyarakatan barat di Atlantik. Ekspedisi mereka hanya dimulai untuk
meneliti dan menaklukkan. Mereka memasuki ‘Antilles’, pulau-pulau Karibia.
Hispaniola pusat konstitusi Santo Domingo inti kerajaan baru bagi dekade pertama
dan diocese Santo Domingo didirikan tahun 1504, kemudian 1515 menaklukkan Kuba
dan mendirikan pusat imperialis baru di Havana. Hanya tahun 1519 ada serangan
utama dengan penaklukan Cortes atas Meksiko yang akhirnya disebut dengan
‘Spanyol Baru’. Dari penaklukan ini menyebar ke semua arah hingga Pizarro
menyerang Peru tahun 1532. Hanya dalam tempo beberapa tahun upaya Kerajaan
Spanyol membentuk Dunia Baru telah lengkap. Satu ‘Amerika’ ditaklukkan, beban
baru diberlakukan.

30
Adrian Hastings (ed.), A World History of …, hlm. 329-343

38
Hastings menjelaskan bahwa penduduk asli Amerika ini adalah suku Indian 31
yang terdiri dari tiga kelompok yang berbeda yakni Mexias (Aztecs) di Meksiko,
Tenochtitlan dan Incas di Tawantinsuyu (Peru). Bahasa mereka adalah bahasa Nahuatl
bagi Aztecs dan bahasa Quechua untuk Incas. Mereka memiliki banyak agama.
Namun dewa yang sangat terkenal adalah Tonantzin, dan dewa yang disembah dalam
ibadah mereka (Aztecs dan Incas) adalah dewa matahari. Sehingga mereka dikenal
sebagai ‘Umat Matahari’. Mereka juga sangat tegas melakukan hukum moral
misalnya dilarang minum alkohol, harta milik bersama dan organisasi mereka secara
bersama.
Kehadiran Spanyol di Amerika ini membawa benturan dengan suku Indian.
Bahkan benturan ini sudah terlihat sejak tahun 1493 dengan membangun invasi
sebagai ciri penginjilan. Motivasi dan tingkah laku para penakluk Meksiko
(Conquistadores) sangat berbeda sekali. Ada yang menjadi geng petualangan.
Pedrarias Davila, seorang Conquistadores yang brutal, menemukan kota
Panama, saat Hernan Cortes menyerbu Meksiko dari Kuba. Sebenarnya, Montezuma
(raja Aztecs), menyambut Cortes sebagai figur legendaris Quetzalcoatl yang kembali
dari timur untuk meminta kembali tanah mereka. Namun Montezuma ditangkap,
orang Aztecs dibunuh secara massal dan beberapa bulan kemudian orang-orang
Spanyol memaksa melepaskan Tenochtitlan.
Kekuatan militer yang diikuti pemaksaan orang Indian dengan sistem borgol
encomienda, mengakibatkan dua keputusan yakni: pertama, menurunnya jumlah
penduduk asli. Dan kedua, timbulnya kota-kota Spanyol pada abad keenambelas.
Sehingga pertumbuhan orang Indian otomatis menjadi berkurang.
Sementara itu aspek institusional dan kegerejaan sudah dikontrol oleh dua raja
muda – Spanyol Baru dan Peru. Di bawahnya ada berbagai pengurus dan sembilan
audiencias di Santo Dominggo, Kota Meksiko, Panama, Quito, Lima dan lain-lain.
Gereja Amerika Latin secara ideologi berempati pada Tridentine. Walaupun
dalam istilah adiministratif masih ada pengecualian dengan Serikat Yesuit. Serikat
Yesuit menjadi kekuatan besar di Amerika Latin yang tunduk kepada Paus di Roma.
Di Spanyol Baru sama seperti di Spanyol Lama, Yesuit memelihara kebebasan
mereka dari kontrol raja, dari pengawasan episkopal, dan dari Penyelidikan jurisdiksi.

31
Sebutan “Indian” ini sebenarnya bukan berasal dari pendukduk asli Amerika ini, namun julukan ini
datang dari penjajah Spanyol yang menganggap bahwa daerah dan penduduk yang mereka jumpai itu
adalah daerah dan orang-orang India. Sebab dalam benak mereka daerah yang mereka tuju adalah
daerah India sebab di India ditemukan banyak rempah-rempah.

39
Perkembangan sejarah Kekristenan di Amerika Latin adalah samar-samar. Bukan
hanya usaha Katolikisme yang bergabung dengan Kontra-Reformasi, bukan juga
karena penjajahan, melainkan karena imperialisme khusus yang dilakukan Spanyol.
Ketika banyak biarawan Franciskan dan Dominikan melayani di Amerika, maka
banyak orang Indian menjadi Kristen. Di Meksiko, dua belas orang biarawan
Franciskan yang tiba tahun 1524 merasa bahwa mereka dengan mudah dapat
mengkristenkan orang Indian.
Menurut Hastings, yang menandakan entusiasme orang Meksiko atas iman baru
mereka terlihat dalam entusiasme mereka dalam ibadah, membangun gedung-gedung
gereja dan mendorong satu dengan yang lainnya untuk bertobat. Mereka juga mau
belajar bahasa Spanyol, seni dan banyak keahlian lainnya. Cortes mengumpulkan
seribu anak-anak kaum bangsawan Indian dan membawanya ke Perancis untuk
mendapatkan pendidikan khusus dengan harapan agar banyak dari mereka menjadi
imam-imam seperti Uskup Agung pertama Meksiko, Jua de Zumarraga. Namun orang
yang sangat terkenal dalam awal Kekristenan Meksiko adalah Toribio de Benavente
salah seorang dari dua belas biarawan Franciskan yang tiba di Meksiko yang dikenal
dengan nama Nahutatl-nya Motolinia yang artinya ‘seorang miskin’.
Sewaktu Motolinia mengenal betapa kejamnya orang Indian diperlakukan oleh
orang-orang Spanyol, maka pusat perhatiannya adalah sekitar tema pembebasan dari
gelap ke terang yang ditulisnya dalam Historia de los indios de la Nueva Espania
(1541). Bernardino de Sahagun adalah seorang sarjana Perancis yang terkenal
mengenai Nahuatl. Dia belajar dan meneliti kebudayaan Indian bersama dengan
murid-muridnya. Sahagun sedikit demi sedikit membangun sejarah dan kebudayaan
Indian yang mengagumkan yang mirip sebuah ensiklopedia. Tulisannya Historia
general de las cosas de Nueva Espana aslinya ditulis dalam bahasa Nahuatl kemudian
diterjemahkan ke dalam bahasa Spanyol. Tulisan ini selesai tahun 1570-an, namun
dipublikasikan pada abad kesembilan belas. Sahagun sangat pesimistik tentang
seluruh usaha misionaris dan penjajah. Pertumbuhan orang Indian sangat menurun
tajam sebagaimana pertumbuhan orang creole (percampuran orang Eropa dan kulit
hitam), sehingga mereka menjadi orang yang terpinggirkan (marjinal) di negeri
mereka sendiri.
Di Peru, gambarannya selalu suram. Tidak ada entusiasme orang Kristen yang
pernah dilaporkan. Orang Indian dijauhkan dari Kekristen yang murni bahkan mereka

40
dilarang untuk Perjamuan Kudus pada Konsili Lima tahun 1552. Pizarro dibunuh Inca
Atahualpa dan Cuzco ditangkap tahun 1533.
Hastings mencatat bahwa tokoh Katolikisme di Peru adalah Martin Garcia de
Loyola (kemenakan laki-laki St. Ignatius Loyola) dengan istrinya Ratu Beatriz Nusta
dan lima orang lainnya yang tidak kalah pentingnya seperti: pertama, Domingo de
Santo Tomas yang tiba di Peru tahun 1540, seorang teolog dan ahli bahasa yang
menerbitkan buku tata bahasa Quechua pertama (1560). Kedua, Toribio de
Mogrovejo, archbishop Lima yang dilantik Philip II tahun 1580. Dia seorang yang
sangat enerjik mereorganisasi Gereja Peruvia di antara tahun 1580 hingga
kematiannya tahun 1606. Catecismo Mayor-nya dipublikasikan di Lima tahun 1584
dalam bahasa Spanyol, Quechua dan Aymara. Ketiga, St.Rose dari Lima (1586-1617).
Dia anak seorang perempuan creole, yang bergabung dengan Third Order of
St.Dominic. Keempat, Martin de Porres (1579-1639), tinggal di Lima, keturunan
mullatos (peranakan Negro dan kulit putih). Pemerintah Provinsi Peruvia Dominic
tidak mengijinkan menerima orang kulit hitam atau mulattos, namun Martin diijinkan
sebagai pelayan, memakai pakaian keagamaan. Kelima, Guaman Poma de Ayala. Dia
seorang tua-tua Indian keturunan kaum bangsawan yang mengenal Spanyol secara
singkat. Testamennya yang sangat kejam ditulis sebagai protes kepada raja muda
yang berlaku tidak adil dalam pemerintahan Spanyol. Guaman Poma memuji Yesuit
dan Fransiskan tetapi menentang keras Dominikan, Augustinian dan Mercedarian
sebab mereka angkuh dan menyakiti orang Indian. Guaman Poma yang lahir di
Seville tahun 1484 lama sekali tinggal sebagai pendatang di Hispaniola dan Kuba
sehingga dia tahu benar apa dibicarakannya tentang perjuangannya melawan
kejahatan atas nama Spanyol dan Kekristenan. Dari tahun 1516 Guaman berjuang
hingga mencapai puncaknya tahun 1550 di Spanyol.
Tokoh perjuang lainnya adalah Bartolomes de Las Casas. Las Casas adalah
tokoh pejuang yang berjuang untuk membela hak-hak orang pribumi. Las Casas selalu
menghadapi sebuah dilema. Tantangan yang dihadapinya adalah hampir setiap orang
Spanyol telah melakukan segala sesuatunya di Dunia Baru dibandingkan dengan
memberitakan Kekristenan. Las Casas dengan sangat berani membenarkan
pengorbanan tubuh sebagai ekspresi alami tugas manusia menyembah Allah. Dia
meninggal tahun 1566.

41
1650 – 178032
Katolikisme Amerika Latin memiliki bentuk yang didominasi oleh orang-orang
creole yang walaupun mereka harus menerima uskup-uskup dari Spanyol sebagai
gubernur dan raja muda dan mereka masih terlihat menjaga dan mengawasi orang-
orang Indian. Akibatnya terjadilah penurunan kekuatan intelektual dan kekuatan
spiritual Gereja Spanyol. Di Spanyol tenaga semakin habis akibat perang-perang dan
kesalahan kebijakan dan ketidakmampuan raja-raja. Kehidupan Katolikisme yang
sangat menonjol pada abad keenambelas di Eropa ditemukan di Spanyol.
Konsili Trente menekankan bahwa jemaat-jemaat seharusnya memiliki imam-
imam terutama dari imam projo di bawah uskup. Pada mulanya di Amerika imam
projo diperuntukkan bagi orang-orang creole yang dibagi dalam doctrinas.
Ada dua orang petani Meksiko yang menjadi pemimpin mereka yang terkenal
pada tahun 1810-1815 yakni : Miguel Hidalgo dan Jose Maria Morels yang kedua-
duanya adalah pendeta. Hidalgo seorang creole, dan Morelos seorang mestizo
(percampuran orang Spanyol dan Amerika Latin).
Para biarawan yang ditangkap lebih menekankan perjuangan kepada creole dan
peninsular dibandingkan dengan creole dan Indian. Ada ratusan creole Fransiskan,
Dominikan dan Augustinian yang merasa bahwa pengawasan tugas mereka berada
pada orang Spanyol. Akhirnya, alternativa harus diadopsi, sebuah aturan di mana
setiap posisi penting diduduki secara bergantian di antara orang creole dan peninsular.
Katolikisme di Paraguay dimulai tahun 1603. Sedikit demi sedikit kelompok
Yesuit tak bersenjata datang ke daerah pegunungan, dan ke pedesaan dengan arak-
arakan membawa salib. Pada abad kedelapan belas misi di Paraguay menghasilkan
seratus ribu orang yang tinggal di desa. Di Paraguay, sama seperti di Meksiko atau
Peru, Gereja Indian sangat rentan dengan perpecahan jika mereka memiliki pelayan
dari orang Indian sendiri, padahal beberapa orang mestizos telah ditahbiskan menjadi
imam sebelum abad kedelapan belas.
Pada tahun 1627, Alonso de Sandoval menerbitkan bukunya yang berjudul De
instauranda Aethiopum salute yang menceritakan tentang rasul-rasul dari budak
Afrika. Sandoval bersama asistennya, Pedro Claver bekerja dengan tidak mengenal
lelah di dermaga Cartagena di mana ribuan orang kulit hitam diperjual-belikan setiap
tahun, dan bahkan banyak di antara mereka yang mati daripada yang hidup setelah
mereka menyeberangi Atlantik. Sandoval dalam bukunya mencela tindakan keji
32
Adrian Hastings (ed.), A World History of …, hlm. 343-349

42
kepada orang-orang budak. Sehingga Sandoval dan Claver dikenal sebagai pahlawan
dalam sejarah keagamaan bahkan dalam sejarah Yesuit.
Di Brazil, Yesuit tiba tahun 1549 yang kemudian disusul oleh Franciskan,
Carmelit dan Benediktin yang menghadirkan Gereja Eropa yang memiliki teologi dan
spiritual yang brilian. Di Brazil ini juga orang-orang kulit hitam yang datang dari
Afrika sebagai budak dalam perkebunan tebu mengalami penderitaan.

1780 – 1900: REVOLUSI DAN REAKSI33


Hastings berpendapat jika Amerika mampu melakukan sebuah Revolusi
Amerika tahun 1780-an, mengapa Amerika Latin tidak bisa melakukannya?
Jawabannya menurut Hastings adalah orang-orang creole sangat takut kehilangan
bantuan dari penjajah, padahal mereka mayoritas di negeri mereka sendiri. Barangkali
hanya 15% dari penduduk Spanyol Amerika kulit putih, bahkan di Spanyol Baru
(Meksiko) dari 6 juta penduduknya hanya satu juta kulit putih. Alasan lainnya
menurut Hastings adalah akibat terjadinya pemberontakan Tupac Amaru II di Peru
dan revolusi berdarah kulit hitam di Saint-Domingue (Haiti).
Pertanyaan lain yang diangkat Hastings adalah apakah pengaruh yang diterima
Gereja atas revolusi dan apakah akibat yang diterima oleh Gereja dari revolusi?
Menurut Hastings, setidaknya ada tiga klasifikasi imam untuk melihat pengaruh dan
akibat revolusi ini bagi Gereja. Pertama, kelompok uskup-uskup dan para kaum
agama dari peninsular dan yang setia. Mereka diangkat raja dengan demikian mereka
membayangkan keselamatan diri. Kedua, kalangan imam-imam creole kelas atas
melihat hal-hal yang agak berbeda. Mereka lebih terinspirasi untuk melakukan
gerakan-gerakan pembaharuan. Pada dasarnya mereka ingin sebuah Gereja creole
bagi negara creole – sebuah negara yang secara ideologi mengadopsi identitas
Amerika yang bebas dari non-kulit putih Amerika. Ketiga, kalangan imam-imam dari
creole dan mestizo yang tinggal dan bekerja bagi penduduk non-kulit putih. Mereka
melihat perlakuan buruk yang dilakukan kepada kulit hitam sehingga mereka
memberikan simpati yang mendalam dan membentuk lagi masyarakat creole dan
mestizo. Banyak imam yang dihukum mati di Meksiko karena mendukung
pemberontakan Hidalgo dan Morelos.
Perang 1810-1815 menunjukkan prisma bagi pengungkapan ambiguitas yang
terjadi di Meksiko. Perjuangan menuju kemerdekaan dimulai dengan Perang
33
Adrian Hastings (ed.), A World History of …, hlm. 349-357

43
Kemerdekaan yang dikenal dengan Grito de Dolores Hidalgo pada hari Minggu, 16
September 1810. Gerakan ini diikuti oleh orang Indian dan mestizos yang menolak
pemerintahan Spanyol dan memperjuangkan kebebasan Indian dari penderitaan
mereka. Penduduk asli Guadalupe memproklamasikan kelompok revolusi tetapi
hubungannya dengan orang-orang creole masih samar-samar. Sementara itu di
Guadalaraja uskup Kabanas telah mengatur resimen cruzado di mana dia sendiri
keluar dari katedral. Kabanas ditangkap dan dihukum gantung dan kepalanya
dipertontonkan di Guanajuato.
Ketika hari kemerdekaan tiba, seluruh orang Amerika Latin berkomitmen untuk
memodernisasi, memperbaiki Gereja dalam berbagai cara. Para pemimpin politik
dengan sadar menjadi anti-Katolik.
Pertanyaan yang sangat penting yang diajukan Hastings adalah bagaimanakah
hirarki Amerika Latin dilanjutkan dan bertahan secara keseluruhan. Raja-raja Spanyol
dan Portugis telah memberikan jaminan hak untuk membuat pengangkatan uskup.
Secara seimbang pemerintahan baru melakukannya bagi jaminan bahwa patronato
harus diberlakukan juga bagi mereka. Konsekuensinya tidak ada lagi uskup yang
diangkat untuk beberapa tahun. Diosis Meksiko kosong dari tahun 1824-1825, di
Buenos Aires dari tahun 1813-1833 dan Nikaragua dari tahun 1825-1849. Ketika
Uskup Kepala Guatemala dan Uskup Puebla mati tahun 1829, Amerika Tengah dan
Meksiko ditinggalkan tanpa seorang uskup.
Perubahan yang berarti dalam pengawasan hirarki Amerika tidak dapat ditaksir.
Perubahan ini menghasilkan sistem episkopal baru. Akibat kekosongan dari yang
lama ke yang baru adalah penurunan yang tajam dari para imam. Di beberapa tempat
tidak ada imam yang ditahbiskan selama dua puluh tahun. Banyak imam yang baik
telah ditarik ke Spanyol.
Hastings juga mencatat permasalahan yang terjadi dalam hubungan Gereja dan
negara. Negara sama seperti Gereja di berbagai kota-kota berantakan. Misalnya di
Peru memiliki enam konstitusi dan delapan presiden dalam rentang waktu sepuluh
tahun. Pemerintahan baru selalu kekurangan uang. Mereka juga membutuhkan sebuah
ideologi untuk mempertahankan kekuasaan mereka. Ideologi yang didukung oleh
pensadores adalah perjuangan liberalisme anti-klerus di Eropa bagian selatan dengan
monarkhi absolut dan Gereja yang reaksionis. Di Peru, figur yang terkenal dari tahun
1840-an hingga 1860-an adalah Presiden Ramon Castilla, seorang mestizo yang

44
menunjukkan pragmatisme yang luar biasa dalam mengejar sebuah agenda ‘liberal’
dan menghindari benturan dengan Gereja.
Di Meksiko yang terjadi adalah hal yang berlawanan. Konstitusi asli
dideklarasikan bahwa “Agama negara Meksiko adalah dan terus-menerus agama
Katolik, Apostolik, dan Roma. Negara dilindungi dengan bijaksana dan hukum dan
dilarang melakukan hal-hal lain”. Namun dalam kenyataan negara Meksiko jauh dari
perlindungan. Kebijakan pemerintah bergeser secara tidak teratur dan terjadilah
beragam perebutan kekuasaan (coup) menuju penghapusan perbudakan, juga
terjadilah fuero dan penyitaan harta milik gereja. Akhirnya terjadilah Perang Tiga
Tahun yang dimulai tahun 1857. Presiden Juarez lebih agresif memprogramkan:
penyitaan seluruh kekayaan Gereja, menindas seluruh biarawan, memisahkan Gereja
dan Negara, dan kebebasan beragama.
Hastings lebih dalam menemukan beberapa ciri Katolikisme Amerika Latin
yaitu: Pertama, kebangkitan Atusparia di Peru tahun 1885. Akibat kekalahan Peru
terhadap Chili, maka pemerintahan pun semakin lemah. Karenanya timbullah gerakan
yang memprotes melawan pajak yang tinggi dan tindakan yang kurang baik. Kedua,
gerakan yang dipimpin Antonio ‘Conseheiro’ yang ditindas oleh tentara Brazil di
Kanudos pada bulan Oktober 1897. Antonio Vicnete Mendes Maciel adalah penjaga
toko dan pengacara gereja di timur laut Brazil. Karena ditinggalkan isterinya, maka
dia menjadi beato (laki-laki kudus) sehingga dia dikenal sebagai ‘nosso conselheiro’.
Ketika pemerintah mengumumkan bahwa pajak akan dinaikkan, Conselheiro
membatalkannya. Dia memutuskan untuk memimpin umat yang sulit sekali dicapai
yakni Kanudos tahun 1893. Segera setelah itu, orang Kanudos bertumbuh dari 4.000
orang menjadi 25.000 orang. Daerah ini bebas dan makanan berlimpah ruah. Namun
pemerintah melihat mereka sebagai bahaya bagi negara sehingga pemerintah
menghancurkan Kanudos pada tanggal 5 Oktober 1897. Tubuh Conselheiro mati
tergelat bersama reruntuhan bangunan gerejanya. Victor Lanternari mengklaim bahwa
Antonio berpikir bahwa dirinya menjadi ‘seorang mesias, juru selamat manusia dan
reinkarnasi Kirstus’. Dan ketiga, Cristiada di Meksiko tahun 1920-an.

ABAD KE DUA PULUH34


Cristiada di Meksiko secara keseluruhan sangat besar, yang secara politik cukup
berbahaya. Gerakan lain tentang konfrontasi Gereja-negara telah dibangun sejak
34
Adrian Hastings (ed.), A World History of …, hlm. 357-367

45
Revolusi Meksiko tahun 1910 yang secara konsisten dan agresif anti-agama dibanding
pemerintahan sebelumnya dalam post-Kemerdekaan Amerika Latin. Pada
pertengahan 1920-an Presiden Calles mulai mengimplementasikan secara sistematik
pasal-pasal anti-agama pada Konstitusi 1917. Akhirnya terjadilah kerusuhan pertama
pada tanggal 31 Juli 1926 yang diikuti kemudian pada bulan Januari 1927 yang
bersifat umum. Tiga tahun kemudian pemerintah secara efektif kehilangan
kemampuan melawan tentara gerilya. Otoritas Gereja hampir seluruhnya memalukan.
Sehingga pada bulan Juni 1929, Gereja dan Negara dipaksa untuk membuat
persetujuan.
Viva Cristo Rey, tuntutan-perang kaum tani Indian menamakan perang tersebut
dengan Cristiada. Cristiada ini, gerakan kebangkitan tebesar di seluruh Amerika Latin
yang tidak memiliki tekanan khusus selain keagamaan yang membedakan gerakan
petani Kristen dari klerus Gereja dan juga dari negara anti-keagamaan. Dalam sebuah
surat pastoral tahun 1916, Uskup Kepala dan Kardinal kemudian Rio de Janeiro
D.Sebastiao Leme telah menggambarkan orang miskin sebagai ‘orang yang kurang
berpendidikan, orang yang percaya takhyul, orang yang kurang ajar dan fanatik’.
Dengan situasi demikian maka mulailah kebangkitan kegerejaan tahun 1872
ketika Uskup Receife di Brazil, Dom Vital Maria de Oliveira masuk penjara karena
melawan pengawasan negara atas gereja. Hal ini cukup berarti karena terjadi di Brazil
yang penduduknya bertumbuh pesat dengan imigrasi dari Eropa dan yang segera
menjadi memimpin Amerika Latin.
Tahun 1899, Leo XIII mengadakan pertemuan Dewan Lengkap uskup-uskup
Amerika Latin di Roma. Secara kegerejaan, inilah permulaan jaman baru di mana
Roma harus merealisasikan hal yang sangat penting di wilayahnya. Di sepanjang abad
kesembilan belas pengaruh Gereja telah menurun; dan baru pada abad kedua puluh
kembali lagi pengaruh gereja meningkat. Setelah tahun 1920 dalam pontifikatus Pius
XI setelah Perang Dunia II, pembaharuan semakin jelas. Diosis semakin diperbanyak;
imam-imam dari Eropa, pertama dari Spanyol kemudian dari negara lainnya
berdatangan ke Amerika Latin untuk mengurusi institusi keagamaan baru. Filsuf
muda Brazil, Jackson de Figueiredo (1891-1928) memulai gerakan dengan
penyerahan dirinya kepada gereja tahun 1917 dan mendirikan Dom Vital Center
sebagai pusat kehidupan intelektual Katolik dari masyarakat urban baru.
Pada akhir jabatan Pius XII tahun 1958 haluan penting Gereja Amerika Latin di
dalam dunia Katolikisme semakin jelas. Brazil sendiri memiliki tidak lebih dari tiga

46
kardinal. Tahun 1955 Konferensi Umum pertama uskup-uskup Amerika Latin
dilaksanakan di Rio de Janeiro yang menetapkan dewan yang tetap yang disebut
dengan CELAM.
Untuk mengakhiri badai sejarah Gereja di Amerika Latin ini maka diadakanlah
Kosili Vatikan II (1962-1965). Hampir setiap novelis menekankan resonansi
pengajaran Konsili di Amerika Latin. Respons terhadap Konsili Vatikan tentang
Gereja Amerika Latin dapat dilihat dengan baik dalam tiga bagian: Pertama,
Konferensi Umum Kedua uskup-uskup Amerika Latin dilaksanakan di Medellin,
Kolombia tahun 1968. Kedua, dalam perkembangan Teologi Pembebasan. Dan
ketiga, dalam pertumbuhan Dasar Komunitas orang Kristen, seluruhnya di Brazil.
Di Medellin, Gereja mendeklarasikan ‘keberpihakan bagi orang miskin’,
mengarahkan mereka untuk menggunakan liturgi yang sesuai dengan bahasa mereka,
dan mendorong kaum awam untuk lebih terlibat aktif di dalam kehidupan Gereja.
Dengan demikian maka terbukalah pintu bagi pertumbuhan Teologi Pembebasan.
Teologi Pembebasan, dipublikasikan dalam bahasa Spanyol oleh Gustavo Gutierrez,
seorang imam Purivia tahun 1971 dan dalam bahasa Inggris dua tahun kemudian.
Teologi Pembebasan adalah sebuah gabungan kegembiraan yang meluap-luap
melalui Gereja Katolik di seluruh dunia akibat buruk dari Konsili Vatikan II, kerelaan
menyebarluaskan di antara pemikir intelektual keagamaan untuk maju dalam
Marxisme dan keadaan khusus masyarakat dan Gereja di Amerika Latin. Teologi
Pembebasan ini muncul dalam berbagai bentuk, ada yang menggunakan terminologi
dan analisis Marxis.
Mata rantai dengan Teologi Pembebasan adalah strategi pastoral yang dikenal
sebagai Komunitas Basis (Base Community). Komunitas Basis adalah dalam hati,
memahami kesederhanaan sebagai cara pengembangan tipe persekutuan jemaat tanpa
imam yang menetap. Komunitas Basis didasarkan pada konteks yang benar bagi
Teologi Pembebasan dan menetapkan tempat bagi The Gospel in Solentiname dari
Ernesto Cardenal, pemain musik klasik terkenal. Teologi Pembebasan juga ditemukan
dalam agenda akademik bagi setiap negara Amerika Latin.
Sebagaimana Teologi Pembebasan, Komunitas Basis berkembang tahun 1970-
an dan permulaan tahun 1980-an menghadapi persoalan utama tentang sistem sosio-
politik Amerika Latin dan perlawanan terhadap Gereja dan negara. Dukungan
terhadap gerakan ini dilakukan Uskup Lopez Trujillo di Medellin. Kolombia adalah
salah satu negara yang kuat melakukan perlawanan itu tetapi di sana juga Gereja

47
Katolik sangat konservatif bahkan yang sangat ironi, pada tahun 1968 Konferensi
Umum CELAM dilaksanakan di Kolombia. Trujillo terpilih menjadi sekretaris
eksekutif CELAM dan berjuang mendukung Teologi Pembebasan. Peru merupakan
pusat Teologi Pembebasan, dan juga negara yang menjadi bagian terbesar dari uskup-
uskup Opus Dei dan merupakan penampakan dari Opus Dei (bandingkan dengan Dan
Brown: Da Vinci Code) di dunia.
Pada saat bersamaan polarisasi politik menjadi semakin buruk di antara sayap
kiri dan kanan. Bahkan intervensi US semakin agresif di dalam politik Amerika Latin
pada periode akhir Perang Dingin dan perubahan umum pada sayap kanan dalam
kebijakan Amerika dalam masa Ronald Reagan. Sementara itu kejatuhan Komunis di
Rusia dan berakhirnya Perang Dingin membuat banyak orang Amerika pulang dari
Amerika Latin.
Menurut Hastings, semua bagian sejarah Kekristenan Amerika Latin di antara
Katolikisme populer dan sistem klerus Gereja memiliki faktor yang menentukan.
Kedua-duanya bersatu dalam abad pertama dengan kepemimpinan orang-orang
Fransiskan dan Yesuit. Keadaan ini dirusak kemudian oleh Ultramontanisme Gereja
abad kesembilan belas. Pemahaman dasar seluruh gerakan gereja dibaharui,
disebarkan dari tahun 1950-an sampai pada pembunuhan Uskup Romero tahun 1980.
Dukungan pemimpin Gereja sebagaimana dilakukan Uskup Trujillo adalah mencegah
Katolikisme dan mendorong merangkul Protestanisme di wilayah itu.
Di Karibia, orang Protestan sudah ada sejak pertengahan abad ketujuh belas
ketika Inggris menaklukkan Barbados dan Belanda menaklukkan Kuracao. Kedua
negara ini lebih mementingkan perdagangan budak daripada penginjilan itu sendiri.
Moravia, Methodis dan Baptis aktif melayani di Jamaika dan di tempat lainnya. Pada
awal abad kesembilan belas, Protestanisme belum ada di mana pun di negeri itu,
walaupun Protestanisme dikagumi luas oleh elit politik liberal yang berkuasa setelah
Kemerdekaan. Protetanisme abad kesembilan belas memasuki daerah itu melalui
imigrasi penduduk. Orang-orang Prostestan bertumbuh dan berkembang baik melalui
kegiatan para misionaris dari Amerika, khususnya dari sebelah selatan Bible Belt.
Perkembangan selanjutnya menurut Hastings, Persekutuan Gereja-gereja
Nasional mulai didirikan : di Meksiko dan Puerto Riko tahun 1920-an, Brazil dan
Argentina tahun 1930-an, Peru, Chili, Equador tahun 1940-an, Kolombia dan
Guatemala tahun 1950-an. Tahun 1949 Konferensi Injili Amerika Latin pertama
dilaksanakan di Buenos Aires. Pada tahun 1950-an perubahan yang besar semakin

48
jelas baik di bidang sosial dan politik yang lebih terbuka kepada Protestanisme.
Teolog-teolog Protestan pun bermunculan seperti Jose Miguez Bonino dari Argentina
dan Emilio Castro dari Uruguay (pernah menjadi Sekretaris Jenderal Dewan Gereja-
gereja se-Dunia tahun 1985). Bagi mereka membaharui Katolikisme Vatikan II
bukanlah sebuah musuh, tetapi tidak lebih menjadi sebuah sekutu.
Pertumbuhan Protestan begitu cepat misalnya di Guatemala yang dulunya hanya
2% Protestan tahun 1960 menjadi 35% pada tahun 1990. Hal yang sama juga terjadi
di Brazil dan bahkan pelayanan Pentakosta pun semakin meningkat di sana. Protestan
mencapai 15% atau sekitar dua puluh juta jiwa dari seluruh penduduk. Sementara di
daerah lain Protestanisme sekitar 8% dan 20% seperti di Chili, Nikaragua, Puerto
Riko, El Salvador, Panama dan Venezuela. Hampir seluruhnya pertumbuhan ini
didominasi Pentakosta.
4. CINA DAN TETANGGANYA35
Oleh : R.G.Tiedemann

Menurut Tiedemann, pengantar Kekristenan di sebelah timur Asia membuktikan


kesulitan khusus sebab di Asia bertemu dengan sofistik tinggi dan masyarakat secara
budaya yang mapan didasarkan perbedaan prinsip ideologi dan organisasionalnya.
Asia Tenggara sudah lama menampakkan pengaruh-pengaruh budaya dan keagamaan
dari India. Theravada Buddhisme di dalam elit dan berbagai masyarakat begitu kuat
mengelilingi kelompok etnik Burma dan Siam (sekarang Thailand) dan memainkan
bagian sentral di dalam tradisi politik-keagamaan. Di dalam dunia orang Asia
Tenggara, tradisi animis sangat kuat. Dunia Asia Timur didominasi ‘budaya-budaya
Kong Hu Cu yang tinggi’ di Cina, Jepang, Korea dan Vietnam.

CINA SEBELUM TAHUN 1500: NESTORIAN DAN FRANCISCAN36


Banyak dari sejarah pra-modern Asia Timur dan Asia Tenggara dipengaruhi
Cina yang mendominasi budaya dan kekuatan politik di wilayah ini. 37 Tempat ini
dipadati penduduk tetapi kerajaan masa lampau menjadi objek utama bagi penginjilan

35
Adrian Hastings (ed.), A World History of …, hlm. 369-415
36
Ibid., hlm. 369-373
37
Pengaruh budaya Cina yang terkenal misalnya: kerajinan tangan, ilmu pengetahuan termasuk bahasa,
ilmu-ilmu pasti, filsafat dan adat-istiadat Cina. Lebih dalam uraian ini dituangkan dalam buku
R.Wahana Wegig, Pewartaan Iman Kontekstual: Menimba Pengalaman Misi di Cina, Yogyakarta:
Kanisius, 2001, hlm. 15-21

49
Barat. Meskipun demikian, di Cina terdapat macam iman Kristen yang diperoleh
pertama ke Cina.
Seperti Kristen Nestorian menyebar ke arah timur dari Persia di daerah Turki
nomaden di Asia Tengah pada abad ke enam. Bukti pertama kegiatan misionaris
Kristen di Cina ditemukan pada museum terkenal Nestorian – dibangun tahun 781 dan
ditemukan kembali tahun 1625 – yang panjang lebar dan informasi inskripsinya dalam
bahasa Cina dan Syria. Alopen tiba di pusat dinasti Tang, Chang’an (sekarang Xi’an)
tahun 635 pada masa pemerintahan Kaisar Taizong (627-649). Masa ini menandakan
terbukanya kebudayaan dan toleransi beragama yang diikuti Daoisme asli sama
seperti agama Buddhisme, Manichaeisme, Zoroastrianisme, Yahudiisme dan Islam
berada bersama Kong Hu Cuisme, tradisi budaya Cina orthodoks.
Dengan dukungan dan bantuan kaisar, Gereja Kristen pertama dan biara
dibangun di Chang’an tahun 638. Pada tahun yang sama Alopen, atas persetujuan
kaisar dan bantuan koloborasi bahasa Cina, menyelesaikan terjemahan The Sutra of
Jesus the Messiah, yang menjadi buku pertama orang Kristen dalam bahasa Cina.
Diperkirakan ada sekitar 21 orang biarawan Nestorian mungkin dari Persia aktif
bekerja di Cina.
Meskipun demikian setelah keadaan yang menguntungkan pada awalnya ini,
namun ada dua perkembangan yang berakibat bagi misi Nestorian di Cina yakni:
penganiayaan di bawah Kaisar Wanita Buddhis Wu (625-705) dan penaklukan Arab
di sebelah barat Asia yang memberhentikan misi Nestorian. Pada masa pemerintahan
Xuangzong (712-756) Gereja dibangun kembali dan membuat kemajuan yang
penting. Berdasarkan monumen tersebut, bangunan-bangunan gereja telah dirusak dan
misionaris baru tiba dari Persia tahun 744. Tapi iman Kristen telah menyebar di
Uighurs, yang dominan kekuatan Turko-Mongolia di Cina barat laut.
Bahkan dalam Kekaisaran Cina sendiri, Nestorian menurun segera setelah
pembangunan monumen itu. Penganiayaan terbesar di bawah Kaisar Wenzong tahun
845. Pada tahun 907 Gereja Kristen pertama di Cina dilenyapkan. Samuel Moffet
menyimpulkan bahwa faktor yang menyebabkan kejatuhan Gereja Cina bukanlah
akibat penganiayaan agama, juga bukan karena teologi yang kompromistis, dan juga
bukan karena orang asing, melainkan kejatuhan dari kaisar yang mendukung dan yang
melindungi Gereja.
Ekspansi Mongolia di Asia menciptakan hubungan yang stabil di sepanjang rute
perdagangan di antara Asia Timur dan Asia Barat menciptakan kondisi untuk

50
menampakkan kembali Kekristenan di Cina. Nestorian kembali pada Kerajaan
Tengah (Middle Kingdom) dalam kebangkitan penaklukan Mongolia atau Cina Utara
tahun 1260. Kaisar Mongolia juga memfasilitasi hubungan langsung di antara orang
Cina dan orang Eropa. Paus Innocentius IV dan pemerintah Eropa lainnya memahami
ide aliansi dengan Mongolia melawan Islam. Karena itu, Konsili Lyon tahun 1245
memutuskan mengirimkan misi ke Mongolia untuk mendirikan hubungan
persaudaraan dengan Mongolia. Salah satu badan misi itu dipimpin biarawan
Fransiskan Yohanes Plano Carpini (Giovanni del Pian di Carpini), yang tiba di ibu
kota Mongolia Qaraqorum pada saat penobatan Quyuk menjadi Khan Agung ketiga
(1246-1248) tanggal 24 Agustus 1246. Namun misi Yohanes ini tidak membawa hasil
yang baik. Tenaga misi berikutnya adalah William Rubruck seorang Fransiskan.
Tahun 1287 Arghun mengirimkan biarawan Nestorian Rabban Sauma sebagai
duta untuk memelihara aliansi dengan orang Eropa. Dia mengunjungi Roma, Paris
dan Bordeaux dan bertemu Paus dan raja-raja Perancis dan Inggris.
Catatan lain yang perlu diperhatikan menurut Tiedemann, seorang Nestorian
Kerait ratu Sorqoqtani yang meninggal tahun 1252 adalah ibu kandung Qubilai Khan
yang membangun dinasti Yuan di Cina Utara tahun1271 dan pada tahun 1279
menaklukkan seluruh Cina. Dalam pemerintahannya, Qubilai Khan mengadopsi
strategi dan administrasi dari orang asing termasuk orang Kristen. Sehingga dinasti
Yuan ini dapat menerima kehadiran Katolik Roma memasuki Kerajaan Tengah itu
sendiri. Biarawan Fransiskan lainnya yang datang ke Cina adalah Yohanes
Montecorvino yang datang ke Cina melalui pantai India dan tiba di Khanbaliq (atau
Dadu yang sekarang Beijing) tahun 1294 dan diterima oleh Kaisar Temur Oljeitu
(1294-1307) cucu Qubilai Khan. Yohanes diijinkan membangun Gereja di Beijing
tahun 1299 di atas tanah yang dibeli oleh tentara Italia, Peter Lucalongo. Dalam
suratnya tahun 1305, Yohanes melaporkan sudah ada 6000 orang yang menjadi
Kristen.
Setelah Yohanes, masih ada tujuh lagi biarawan yang dikirimkan ke Cina namun
hanya tiga yang tiba di Khanbaliq tahun 1308. Dengan kehadiran mereka maka
penyebaran Kekristenan semakin meluas ke daerah Quanzhou (Zaitun) di Provinsi
Fujian. Sehingga telah berdiri gereja Katolik di Yangzhou, Hangzhou (Quinsai) dan
tempat-tempat lainnya. Sekitar tahun 1322 seorang pengunjung Fransiskan, Ordoric
Pordenone (kira 1265-1331) yang tiba di Cina Utara dengan membawa tulang-tulang
empat orang Fransiskan yang dibunuh di India ketika mereka berusaha menemukan

51
Cina. Kemudian Yohanes meninggalkan Cina kembali ke Eropa. Pada saat itu dinasti
Yuan sudah semakin merosot dan digulingkan tahun 1368. Sehingga Uskup Zaitun,
James Florence dibunuh oleh pejuang Cina tahun 1362 dan tahun 1369 seluruh orang
Kristen diusir dari Beijing.

MENANAMKAN KEKRISTENAN, 1500 – 180038


Ekspansi kolonial Portugis dan kekuatan perdagangan di Asia pada masa
pertengahan pertama abad keenam belas diikuti oleh semangat misionaris Katolik
untuk menyebarkan Kekristenan kepada penduduk baru dari negara yang
ditemukannya. Berdasarkan bulla Paus Aleksander VI (1493) dan perjanjian
Tordesillas (1494) dan Saragosa (1529), dunia telah dibagi menjadi dua jurisdiksi
spiritual di bawah dukungan penguasa Spanyol dan Portugal yang bertanggung jawab
atas pertobatan ‘orang kafir’ dan bangunan gereja-gereja dan biara-biara.
Konsekuensinya, Portugis meneruskan mendirikan pusat perdagangan di Asia, dan
memperluasnya dari Goa (1510) di India ke Malaka (1511) di Malaysia, Ternate
(1522), Tidore dan Ambon di Maluku atau ‘pulau rempah-rempah’, Faifo (sekarang
Hoi An) dekat Da Nang di Vietnam, Makao di Cina dan Jepang, imam-imam ikut
bersama sebagai chaplain (pendeta yang memberikan khotbah pada golongan
tertentu) dan penginjil-penginjil di bawah pengaturan paus (padroado).
Kecuali di Malaka, Portugis tidak berhasil menanamkan Kekristenan di Asia
Tenggara. Di pulau-pulau Indonesia, Fransiskus Xavierus (1506-1552), seorang
Yesuit Spanyol tiba tahun 1546. Dia berada di wilayah Maluku selama dua tahun dan
‘mentobatkan’ ribuan suku-suku non-Muslim. Atas dukungan badan misionarisnya
banyak orang yang tertarik menjadi Kristen sehingga tahun 1555, 30 desa di pulau-
pulau Ambon menjadi Kristen. Karena Portugis gagal memberikan dukungan yang
efektif, maka misisionaris tidak dapat membantu pemimpin setempat yang telah
menerima Kekristenan melawan musuh mereka. Misi Katolik jauh lebih melemah
setelah tahun 1605 ketika Kompeni India Timur Belanda mengusir Portugis dari
Ambon dan Tidore.

FILIPINA39

38
Adrian Hastings (ed.), A World History of …, hlm. 373-386
39
Adrian Hastings (ed.), A World History of …, hlm. 374

52
Karena Kekristenan Portugis membuat sedikit penekanan di Asia Tenggara,
situasinya agak berbeda di bawah penjajahan Spanyol di Filipina. Setelah komunikasi
yang dilakukan Magellan gagal di Cebu tahun 1521, penginjilan dimulai dalam
kesungguhan oleh Raja Philip II tahun 1570 untuk mengirimkan Spanyol untuk
kolonialisasi dan Kristenisasi seluruh pulau Filipina. Dengan penaklukan Manila,
pemimpin setempat menyetujui perjanjian dan menerima pengawasan Spanyol dan
penyebaran Kekristenan. Tahun 1595 sudah ada 134 misionaris bekerja di Filipina
dan diperkirakan 288.000 telah dibaptiskan.
Proses Kekristenan di Filipina diikuti keputusan sebelumnya yang telah dibuat
di Spanyol Amerika, di mana para misionaris belajar bahwa adalah sangat penting
untuk mengkristenkan para pemimpin beserta pengikutnya dan bahkan lebih efektif
lagi jika mengkristenkan pemimpin lokal dan mengajar para anak-anaknya. Hal yang
sangat penting juga dalam keberhasilan Kekristenan di Filipina adalah aspek-aspek
ibadah mengakomodasi unsur budaya mereka. Di dalam masyarakat di mana
penyembahan dipraktekkan, figur kekudusan Katolik diterima sebagai sumber
kekuatan yang efektif dan atraktif. Di sisi lain, orang Filipina secara perlahan-lahan
menerima ide monogami Kristen dan ketidakberceraian pernikahan.

KEBANGKITAN DAN KEJATUHAN KEKRISTENAN SEBELUM ABAD


PERTENGAHAN JEPANG40
Usaha misionaris Katolik di Jepang diikuti sangat dekat di belakang
perdagangan Portugis yang pertama kali menjangkau negara ini tahun 1543. Pada
tanggal 15 Agustus 1549 Fransiskus Xavierus dan teman sekerjanya Torres dan
Fernandez mendarat di Kagoshima ibukota Satsuma, salah satu kekuatan ban
(penguasa feodal) di Jepang sebelah barat. Mereka ditemani oleh seorang Jepang yang
bernama Paul Yajiro (atau Anjiro) yang meninggalkan Jepang tahun 1544 dalam
kapal Portugis untuk menghindari penangkapan pembantaian manusia. Dia
dibaptiskan dan menerima pendidikan dasar di Perguruan St.Paulus di Goa. Dia
melayani para imam sebagai penerjemah. Misi dengan segera mampu membangun
hubungan yang ramah dengan beberapa orang Jepang. Yesuit sudah berhasil di di
sebelah utara pulau Kyushu dengan menobatkan daimyo (pemimpin feodal) yang
berpengaruh.

40
Adrian Hastings (ed.), A World History of …, hlm. 375-377

53
Tidak lama setelah keberangkatan Xavierus tahun 1551, misionaris mulai
melihat ke pusat budaya Jepang. Mereka membina hubungan persaudaraan dan
menambah dukungan bagi orang-orang yang berpengaruh. Sehingga Gaspar Vilela SJ
(1525-1572) dijamini sebagai peserta shogun (pemimpin militer) tahun 1559. Saat itu,
Yesuit berhasil mendapatkan hubungan dengan pemimpin hegemonik Oda Nobunaga
(1534-1582), seorang yang sangat tangguh dan berpengaruh di Jepang tahun 1568.
Pengganti Nobunaga sebagai pemimpin militer Jepang, Toyotomi Hideyoshi (1537-
1598) berprinsip sama dengan Nobunaga. Bahan tahun 1583, Hideyoshi memberikan
lahan bagi pembangunan sebuah Gereja di Osaka.
Misionaris membuat dukungan untuk mengadaptasi budaya setempat.
Alessandro Valignano (1539-1606), seorang Yesuit Italia yang tiba tahun 1579
memimpin pertama perjalanan tiga inspeksi. Valignano menekankan agar imam-imam
asing sejauh memungkinkan mengakomodasikan diri mereka pada sensibilitas dan
gaya melakukan sesuatu dari masyarakat setempat sepanjang hal tersebut tidak jauh
menyimpang dari pengakuan iman Kristen. Mereka mengadopsi gaya hidup orang
Jepang dalam hal berpakaian, kebersihan, makanan, dan perumahan.
Perkembangan selanjutnya mulailah terjadi perebutan lahan penginjilan dari
beberapa badan misi di Jepang seperti misi Fransiskan Spanyol. Yang sangat
menyedihkan badan misi ini saling menjelek-jelekkan dan berseteru satu sama
lainnya. Melihat situasi ini, shogun Ieyasu (1542-1616) yang pada mulanya telah
berteman baik dengan orang Kristen dengan segera melawan orang Kristen dan
menyatakan bahwa agama Kristen adalah agama yang tidak sah tahun 1606 dan pada
tanggal 27 Januari 1614 mempublikasikan edik terkenal yang melawan Kekristenan
itu.41
41
Pada tahun 1608, hubungan diplomatis antara Holland (Belanda) dengan Jepang dimulai. Kebijakan
Jepang ketika itu selain untuk membatasi pekerjaan misionaris Kristen juga untuk memajukan
perdagangan. Spanyol dan Portugis dipaksa untuk meninggalkan pelabuhan masuk mereka (Dejima) di
Nagasaki, karena mereka menyiarkan kekristenan di balik pelayanan kesehatan dan juga mereka
diisukan sedang berusaha untuk menguasai Jepang. Perlu dicatat bahwa Tokugawa Ieyasu yang
berkuasa pada tahun 1600 pada mulanya masih berniat untuk bersikap toleran terhadap kehadiran para
misionaris. Hal ini disebabkan dia mengharapkan sejumlah keuntungan melalui perdagangan yang
dijalin dengan Portugis. Akan tetapi kedatangan kaum protestan Belanda dan para pedagang Inggris
membuat dia bersikap lebih bebas untuk tidak bergantung pada pedagang Portugis. Akhirnya ia beralih
haluan mengikuti pendahulunya menentang kekristenan. Pada tahun 1614 kemudian Tokugawa
memerintahkan para misionaris untuk meninggalkan Jepang, kebanyakan dari mereka diusir akan tetapi
40 diantaranya, termasuk penginjil keturunan Jepang tetap tinggal untuk melanjutkan pekerjaan mereka
di bawah tanah. Pada tahun 1612, Tokugawa Ieyesu menunjukkan arah anti Kristen setelah insiden
yang terjadi di Madre de Deus. Alasan Keshogunan Tokugawa membuat kebijakan anti-kristen tampak
secara kompleks dalam ‘Pengusiran terhadap Bateren’ yang disusun oleh Biksu Zen yang bernama
Konchin Suden di Iegasu pada tanggal 1 Februari 1614. Kemudian Tokugawa Iemitsu mengeluarkan
Edik Sakoku pada tahun 1635, yang merupakan edik ketiga yang dikeluarkan sejak tahun 1623 sampai

54
Hal menyakitkan ini terus berlangsung pada masa pengganti Ieyasu dengan
mengusir para misionaris. Tragedi terbesar terjadi tahun 1637-1638, orang petani
Kristen di Shimabara-Amakusa wilayah sebelah barat Kyushu secara brutal disiksa
oleh pemerintah. Akibat tindakan biadab ini, jumlah orang Kristen (sekitar 300.000
orang dari 25 juta) semakin berkurang. Banyak orang Kristen melarikan diri ke luar
negeri dan mendirikan jemaat Kristen Jepang di Faifo di Vietnam dan di Ayutthaya di
Thailand (Siam).
Memasuki periode Tokugawa ditandai oleh keteguhan dan kekerasan anti-
Kekristenan hingga permulaan tahun 1600-an. Tahun 1640 Kantor Penyelidikan bagi
Urusan Kristen didirikan di dalam Tokyo modern mengawasi orang-orang Kristen.
Pengawasan ini ditambahkan dengan praktek anti-Kristen yang disebut dengan efumi.

KEKAISARAN TERAKHIR CINA42


Tidak ada bukti yang konkrit bahwa beberapa jemaat Kristen pada masa
Mongolia bertahan hingga akhir dinasti Ming dan pada permulaan dinasti Qing,
walaupun komunitas Kristen mengklaim ada sebuah mata rantainya. Permulaan misi
modern di Cina sangat dekat dengan Jepang. Fransiskus Xavierus yang memulai
bekerja di Jepang berharap juga memulai pekerjaannya bagi orang Cina. Tetapi dia
meninggal tahun 1552 di Pulau Shangchuan (Pulau St.Yohanes) pantai sebelah selatan
Cina sebelum dia mencapai tujuannya. Tiga orang Yesuit yang berusaha memasuki
Cina juga gagal sebelum Alessandro Valignano mendirikan sebuah pusat pelatihan
khusus di Makao yang memampukan para misionaris untuk belajar bahasa dan
kebudayaan Cina sebagai persiapan pekerjaan di Cina.
Pada tahun 1583 baru ada dua orang misionaris Italia yang berhasil memasuki
Kekaisaran Cina yaitu: Matteo Ricci (1552-1610) dan Michele Ruggieri (1542-1607).
Mereka mulai belajar tata bahasa dan bahasa klasik Cina. Pada tahun 1583, mereka
tiba di Zhaoqing dekat Guangzhou (Canton). Di antara tahun 1589 dan 1601, Ricci
tahun 1651. Dengan munculnya edik ini, ditutuplah Jepang atas hubungan dengan dunia luar. Ini adalah
salah satu dari banyak keputusan yang ditulis oleh Iemitsu untuk menghilangkan pengaruh Katolik, dan
memaksakan aturan pemerintah. Sebagai dampak dari keluarnya edik ini maka selama periode
penyiksaan Iemetsu di tahun 1622, 51 orang Kristen dibunuh di Nagasaki. Dua tahun kemudian 50
orang dibakar hidup-hidup di Edo (sekarang Tokyo). Totalnya sebenarnya ada 3000 orang yang telah
menjadi martir, jumlah ini belum termasuk pada orang-orang yang mati karena penderitaan yang
mereka alami di penjara. Dan pada tahun 1633 sebanyak 30 misionaris dibunuh dan pada tahun 1637
hanya 5 orang yang dapat hidup bebas. Diakses pada hari Senin, 12 November 2007 pukul 16:44 dari:
http://reinhardlumbantobing.wordpress.com/2007/07/26/catatan-pendek-mengenai-kekristenan-di
jepang/ ; bnd. A.A.Yewangoe, Theologia Crusis Di Asia, Jakarta: BPK GM, 2004, hlm, 211-220
42
Adrian Hastings (ed.), A World History of …, hlm. 377-384

55
mendirikan sejumlah badan misi di beberapa kota di ibu kota Cina. Akhirnya, tahun
1601, dia diijinkan ke Beijing pusat kekaisaran dan sejak tahun 1601 hingga
kematiannya tahun 1610 menandakan puncak keberhasilannya mengatur pelayanan
bagi misi Yesuit di kekaisaran Cina.
Ricci sangat cepat mempengaruhi para pemikir intelektual Cina dengan
memperkenalkan ilmu-ilmu anstronomi dan matematika serta jam tangan. Ricci juga
meyakinkan orang Cina bahwa orang Eropa bukanlah pemakan manusia (barbarian).
Dengan demikian maka beberapa orang dari intelek penting Cina menerima Yesus
seperti: Xu Guangqi (1562-1633), Li Zhizao (1543-1630), dan Yang Tingyun (1557-
1562). Kehadiran para misionaris di Cina membawa kemajuan besar. Misalnya saja
Johann Adam Schall von Bell (1592-1666) pengganti Ricci dijadikan sebagai ahli
astronomi bagi dinasti Qing. Kemudian misionaris Yesuit khususnya Ferdinand
Verbiest (1623-1688) memperoleh penghargaan Kaisar agung Kangxi (1662-1722).
Dan sebagai puncaknya maka kaisar mengeluarkan edik toleransi bagi agama Kristen
tahun 1692.
Namun harus juga dicatat bahwa bukan hanya misionaris Yesuit yang datang ke
Cina. Namun masih ada lagi badan misi lain seperti Missions Etrangeres de Paris
(MEP) yang melakukan penginjilannya bukan hanya bagi kalangan pemimpin kelas
atas, tetapi mereka juga bekerja dan tinggal sebagai masyarakat desa. Di desa mereka
bertemu satu per satu dengan pemimpin agama terkenal di Cina.
Dalam penginjilannya di Cina, Ricci banyak menerima praktek keagamaan
Konfutzu43 sebab menurutnya bahwa agama ini juga bertujuan untuk membawa damai
bagi umatnya dan agama ini bukanlah agama yang percaya pada takhyul. Walaupun
demikian, Ricci tetap menolak aliran ortodoks Neo-Konfusianisme sebagai agama
takhyul. Rici juga menolak beberapa ajaran yang tidak sesuai dengan iman Kristen
misalnya ; dilarang berdoa bagi orang meninggal.
Persoalan yang terpenting yang dihadapi Ricci adalah soal kata ‘Allah’.44 Ricci
mengadopsi ide dan ekspresi tradisi klasik Cina dengan dua ekspresi yaitu: pertama,
Allah itu disebut Shangdi (Penguasa tertinggi di Atas), dan kedua, Tian (‘Sorga’).
43
Kong Hu Cuisme sebenarnya lebih tepat dikategorikan sebagai suatu sistem pemikiran filsafat
daripada bentuk religius atau agama, karena di dalamnya diajarkan perintah-perintah moral dan
bukannya ibadat atau devosi kepada dewa-dewa tertentu. Kong Hu Cuisme yang hidup sekitar abad
keenam belas sebenarnya bukan lagi Kong Hu Cuisme klasik seperti yang diajarkan oleh pendirinya
Kung-Fu-Tzu, melainkan sudah diperbaharui (Neo-Kong Hu Cuisme). R.Wahana Wegig, Pewartaan
Iman …, hlm. 22-23
44
Perdebatan lain dalam perjumpaan iman Kristen di Cina adalah tentang sorga, penciptaan, dan
inkarnasi. R.Wahana Wegig, Pewartaan Iman …, hlm. 80-101

56
Pada tahun 1583, Ricci memilih istilah Tianzhu (‘Raja Sorga’) untuk menyebut
‘Allah’. Namun akibat nasihat dari para sarjana bahasa Cina kemudian, Ricci condong
menggunakan istilah Shangdi. Walaupun, tahun 1628 istilah Shangdi ditolah pada
kenferensi misionaris di Tianzhu, dan Kristen Katolik mengenal Tianzhujian, agama
Tuhan di Sorga.
Perdebatan tentang ‘Allah’ ini ternyata menjadi persoalan yang dalam. Bagi
beberapa kalangan intelektual Cina mencurigai bahwa Kekristenan telah mencuri
istilah Konfutzu untuk menamakan tuhan dan meminjam bahasa Buddhis tentang
pemindahan jiwa.
Perkembangan selanjutnya menurut Tiedemann, orang Kristen akhirnya secara
sosial-politik dinyatakan sebagai orang yang menyimpang secara ideologi. Sehingga
sejak tahun 1724 edik Kaisar Yongzheng semakin diintensifkan menganiaya orang
yang menjadi Kristen. Orang Kristen diperintahkan meninggalkan iman mereka.
Misionaris asing, kecuali yang bekerja di Kantor Astronomi di Beijing, diusir dari
Cina. Harta benda gereja disita dan digunakan untuk umum.
Walaupun bukan secara eksplisit keberhasilan penginjilan sejak awal bergantung
pada dukungan orang-orang Kristen Cina seperti Xu Guangqi (Paul Hsu), Li Zhizao
(Leo Li) dan Yang Tingyun (Michael Yang) yang bukan hanya mendukung imam-
imam dari Barat tetapi juga mereka mendirikan Gereja-gereja di dalam Jiangnan
mereka sendiri.
Misionaris Katolik melakukan pelatihan bagi imam penduduk setempat sehingga
mereka mengangkat Luo Wenzao [Gregorio Lopez] (1611-1691) orang Cina pertama
menjadi imam. Wenzao seorang penduduk asli provinsi Fujian yang memasuki serikat
Dominican dan ditahbiskan menjadi imam di Manila tahun 1654. Dia diangkat
menjadi uskup di Nanjing yang kemudian menjadi uskup pertama orang Cina yang
memimpin wilayah Cina sejak tanggal 1 Agustus 1688. Klerus lainnya dilatih dan
dibina di Makao oleh Yesuit, di Manila oleh Dominican, dan di Seminari Umum di
Thailand oleh Misionaris Paris.
Ada juga yang menarik dalam keterlibatan perempuan dalam penginjilan di Cina
ini. Para perempuan mengkonsentrasikan hidup mereka melayani Allah dan misi
sehingga mereka disebut perawan-perawan Cina.

ASAL MUASAL GEREJA DI VIETNAM45


45
Adrian Hastings (ed.), A World History of …, hlm. 384-386

57
Walaupun telah ada beberapa hubungan misionaris di Vietnam, namun
keberhasilan usaha Kristenisasi dimulai tahun 1624 dengan tibanya Aleksander de
Rhodes (1591-1660) di Faifo dari Yesuit Perancis. Dia seorang ahli bahasa dan
penulis katekismus pertama dalam bahasa Vietnam. Di antara tahun 1627 dan
pengusirannya tahun 1630, Rhodes aktif di Tongking, sebelah utara Vietnam yang
diawasi oleh Trinh. Di daerah ini banyak masukan yang diberikannya bagi Gereja
Vietnam dengan mendirikan Domus Dei, sebuah organisasi pelatihan-seminar katekis.
Dalam kenyataanya, organisasi ini isinya didasarkan pada lembaga Buddhis – terbukti
keinginan Rhodes mengikuti apa yang telah dilakukan Valignano dan Ricci – untuk
mengadopsi kebiasaan dan praktek agama suku. Dalam kunjungan singkat Rhodes
kali kedua ke Vietnam tahun 1640, Rhodes melakukan metode yang sama di wilayah
Nguyen di sebelah selatan Vietnam yang walaupun kurang berhasil. Tahun 1658,
orang Kristen di Vietnam sekitar 300.000 orang Katolik dan hanya dua orang imam.
Sekembalinya Rhodes ke Eropa tahun 1649, dia juga mendirikan sebuah
yayasan Lembaga Misi Asing Paris (Missions Etrangeres de Paris) tahun 1659 yang
didukung oleh Gereja Perancis, tentara Perancis dan istana Louis XIV. Lembaga ini
mengutus dua orang calon pelayan yaitu: Pierre Lambert de la Motte MEP (1624-
1679) dan Francois Pallu MEP (1626-1684) ke wilayah Asia Tenggara. Pada tahun
1666 MEP membuka pusat seminari di Ayutthaya di ibu kota Thailand untuk
mempersiapkan para pendeta bagi orang Cina, Vietnam dan tempat-tempat lainnya di
Asia Timur.

1800 – 194546
Pada abad kesembilan belas badan-badan misi – baik Katolik maupun Protestan
berkompetisi – semakin meningkat dengan perluasan kolonialisme dan imperialisme
Barat. Meskipun pada permulaan abad kesembilan belas banyak daerah Asia Timur
dan Asia Tenggara masih termasuk dalam kekuatan Eropa. Hanya Penang, Malaka,
Jawa, beberapa daerah di Maluku dan bagian utara Filipina yang dapat disebut di
bawah pengawasan asing. Pada awal abad kedua puluh hampir seluruh wilayah Asia
Tenggara berada dalam tangan penjajah, seperti Belanda menjajah seluruh kepulauan
Indonesia, sementara itu Ingggris menjajah Burma dan Malasya, Perancis menjajah
Indo-Cina (Vietnam, Kamboja, dan Laos).

46
Adrian Hastings (ed.), A World History of …, hlm. 386-405

58
GEREJA, PENJAJAHAN DAN NASIONALISME DI ASIA TENGGARA47
Menurut Tiedemann, hanya Filipinalah negara yang paling banyak menerima
Kekristenan pada tahun 1800. Di mana-mana para penginjil selalu berjuang
menghadapi Muslim di Malasya dan beberapa bagian wilayah Indonesia dan
menghadapi Theravada Buddhis di Myanmar dan Thailand. Tetapi perkembangan di
Vietnam, perluasan Kekristenan lebih agresif. Pengaruh Pigneau de Behaine dan
tentara Perancis membantu membangun dinasti Nguyen pada kekaisaran Gia Long
tahun 1790-an masih terbawa hingga dekade kedua tahun 1800-an. Kekaisaran sangat
menghargai iman Katolik. Sehingga para biarawan Spanyol sudah ada di utara
Vietnam (Tongking) dan imam-imam Perancis di selatan Vietnam (Annam dan
Cochin-Cina). Diperkirakan ada sekitar 300.000 orang Kristen di Tongking dan
60.000 orang di Cochin-Cina tahun 1820.
Setelah kematian Gia Long, maka pemimpin baru yang didominasi oleh
Konfutzu konservatif mengacaukan para misionaris dan orang yang telah menerima
Kristus. Penganiayaan kepada orang Kristen semakin meningkat di Vietnam setelah
tahun 1833 dan terjadilah perang di antara Raja Minh Mang dan pemimpin misionaris
Perancis. Minh Mang menangkap seluruh para misionaris dan memenjarakan mereka.
Beberapa dari para misionaris itu dapat melarikan diri namun tujuh misionaris
Perancis dan tiga misionaris Spanyol dibunuh di antara tahun 1833 dan 1840.
Berbeda dalam pengawasan Belanda pada abad ketujuh belas dan delapan belas
seperti di Indonesia, penginjilan itu tidak didorong oleh para penjajah. Sesungguhnya
usaha pengkristenan secara esensial dibatasi pada perpindahan agama Katolik menjadi
Protestanisme jika dibutuhkan bahkan dengan paksaan. Setelah tahun 1800 saat
penginjilan dihalangi oleh penguasa Belanda, pekerjaan misionaris Protestan aktif
dimulai di antara penduduk non-Muslim. Pekerjaan ini diprakarsai oleh Lembaga Misi
London (London Missionary Society) di Jawa Timur tahun 1814. Lembaga Misi
Rhenish (Rhenish Missionary Society) bekerja di Sulawesi Utara tahun 1836 dan dari
tahun 1862 bekerja di Batak Toba di Sumatera Utara dan di Nias tempat Gereja
Protestan Indonesia terbesar yaitu Huria Kristen Batak Protestan (HKBP). The
Indische Kerk (atau Protestantsche Kerk//Gereja Protestan di Hindia-
Belanda//Nederlandsch-Indie), dulunya adalah Gereja Dutch East India Company
(Gereja Kompeni Hindia-Belanda Timur) sejak tahun 1900 memulai kegiatan misinya

47
Ibid., hlm. 386-390

59
di kepulauan Sulawesi, Maluku dan Timor. Gereja ini adalah gereja negara di mana
para pendetanya diangkat dan digaji oleh pemerintah Hindia-Belanda.
Di Thailand dan kerajaan-kerajaan Burmese Ava dan Pegu penginjilan sangat
sedikit yang dilakukan. Misi Kristen Protestan hanya bisa dilakukan di antara
kelompok minoritas non-Buddhis seperti di Karens dan Kachins.
Berbeda dengan di Filipina, masukan yang sangat penting dari imam pribumi
bagi kembangkitan Nasionalisme Filipina menjadi bukti gerakan keagamaan yang
dipimpin oleh Gregorio Aglipay yang telah dikucilkan tahun 1890-an karena
menentang kekuasaan asing di Gereja Filipina. Emilio Aguinaldo, pemimpin
Katipunan menugaskan Gregorio menjadi tentara nasionalis. Setelah berpisah dari
Roma tahun 1902, Gregorio menjadi uskup Gereja Independen Filipina.
Sering sekali timbul anggapan bahwa perpindahan agama menjadi Kristen
sering diimplikasikan koloborasi dengan pemerintahan penjajah. Pada hal gerakan-
gerakan yang dilakukan mistikus Jawa Paulus Tosari dan Sadrach di Jawa adalah
contoh perlawanan orang Kristen pribumi kepada penjajah Belanda pada abad
kesembilan belas. Sejak tahun 1930-an, maka banyaklah gereja-gereja yang berdiri
sendiri seperti Gereja Batak tahun 1930, Gereja Kristen Jawa Timur tahun 1931,
Gereja Pasunda di Jawa Barat dan Gereja Minahasa tahun 1934, Gereja Maluku tahun
1935. Teolog Hendrik Kraemer, tenaga misionaris Belanda patut mendapatkan pujian
sebab dia mengakui dampak pertumbuhan nasionalisme Indonesia atas orang Kristen
pribumi. Kraemer diingatkan atas hasil Konferensi Tambaran tentang Dewan Misi
Internasional tahun 1938 bahwa Gereja-gereja ‘muda’ adalah buah pekerjaan
misionaris, dan bukan untuk milik lembaga-lembaga misi itu.

DARI MISI KE GEREJA DALAM CINA MODERN48


Cina menjadi perhatian utama gerakan misionaris Barat di Asia Timur dan
obyek pengharapan umum orang Kristen di seluruh dunia. Walaupun orang Cina
sendiri sangat mencurigai kehadiran orang Kristen dan bersikap tidak ramah terhadap
Kekristenan itu sendiri. Reintegrasi Katolik Cina pada pengembangan misi bukanlah
tanpa perlawanan. Ada beberapa indikasi bahwa masyarakat setempat dan pemimpin
kaum awam enggan memberikan otonomi. Di daerah Shanghai ada juga perlawanan
untuk pernyataan kembali bagi kekuatan misi asing.

48
Adrian Hastings (ed.), A World History of …, hlm. 390-399

60
Di kota Songjiang sebuah konfrontasi di antara misionaris dan orang Cina
terjadi akibat partisipasi perawan perempuan di dalam liturgi. Kemudian dibiasakan
untuk memimpin lagu-lagu penyembahan di Cina pada masa Mass. Ketika Uskup
Ludovico de Besi menyusun pendoa-pendoa baik laki-laki dan perempuan secara
bergilir, badai protes terjadi di antara laki-laki dan perempuan yang menyinggung
perasaan dan sensibilitas orang Cina.
Setelah Yesuit mengambil alih misi di Jiangnan tahun 1840-an, mereka
menentukan cara untuk mengatasi masalah dengan ‘meregularisasi’ kehidupan
‘perawan perempuan’. Maka tahun 1869 sekelompok orang Perancis mendirikan
jemaat Cina pribumi, Assosiasi Presentasi Perawan yang Diberkati.
Hal yang perlu dicatat adalah timbulnya peseteruan orang Kristen di Cina yang
bersamaan dengan Pemberontakan Taiping [Damai Besar] (1851-1864) yang
melawan dinasti Manchu, salah satu perang sipil terparah dalam sejarah kemanusiaan.
Negara Qing menganggap Pemberontakan Taiping perjuangan yang merusak ideologi.
Bahkan di mata pemerintah, pemberontakan ini identik dengan ‘Kekristenan’.
Akibatnya, para misionaris Barat sangat sulit memasuki Cina dan Gereja Cina
dilarang untuk berkembang.
Kehadiran penginjil Protestan menambah sebuah dimensi baru. Tenaga misi
Protestan yang tiba di Cina adalah: pertama, Robert Morrison dari London
Missionary Society (LMS) yang tiba tahun 1807 di Makao dan Guangzhou (Canton).
Di kedua tempat ini kegiatan mereka sangat dibatasi. Kedua, Karl Friedrich August
Gutzlaff (1803-1851). Dia berusaha untuk memperoleh langsung akses ke Middle
Kingdom. Tindakannya yang ceroboh dalam penyeludupan opium ke pantai Cina
sangat dikritisi. Memang seluruh badan misi, baik Katolik maupun Protestan harus
bergantung dengan hubungan opium: banyak pedagan keluar Cina selalu membawa
opium. Dana mereka juga diperoleh dari hasil penjualan opium. Pada tahun 1900
sudah ada sekitar dua ribuan misionaris Protestan asing di Cina.
Misi Protestan melakukan tugas penginjilan mereka biasanya dari kota-kota dan
dari sana mereka berjalan dari satu tempat ke tempat lain (itinerate) di sekitar desa-
desa dan bekerja serta tinggal di antara petani-petani pribumi. Banyak para imam-
imam Eropa yang melanjutkan untuk tinggal menetap di banyak pusat pertumbuhan
Kristen di desa. Sehingga dapat dikatakan bahwa petobat-petobat baru kekristenan
berada di daerah pedesaan.

61
Menurut Tiedemann, sangat sulit didapati sumber-sumber apa yang
menyebabkan pertikaian kekerasan bagi orang Kristen di Cina. Ada ratusan kasus
yang menjadi perdebatan orang Kristen setempat pada abad kesembilan belas seperti:
penolakan orang Kristen membayar pajak dan pemberian biaya perawatan candi-candi
"kekafiran”, perkara di antara orang Kristen dan non-Kristen, permasalahan atas hak
kepemilikan, perdebatan intra-lineage (garis keturunan) atau inter-lineage. Perasaan
Anti-Kristen diperoleh dari sumber-sumber yang lain.
Konflik juga terjadi di daerah urban. Di daerah urban ini para misionaris
memiliki pengaruh yang besar terhadap politik dan budaya. Mereka juga
menunjukkan diri sebagai pembawa peradaban manusia sebagai bagian dari ekspansi
umum dari penguasaan Barat. Misi Protestan mendirikan sekolah bagi anak-anak
laki-laki dan perempuan, rumah sakit dan percetakan, melatih tenaga kerja umum
maupun agama. Puncak dari ketegangan bagi orang Kristen ialah dengan timbulnya
Pemberontakan Boxer tahun 1900 yang membunuh banyak misionaris dan ribuan
orang Kristen dibunuh.
Badai ‘musim panas yang gila’ (summer madness) tahun 1900 membawa
perubahan yang berarti bagi hubungan Cina dengan Barat. Sentimen anti-Kristen
tradisional secara signifikan menurun dan para misionaris dan orang Kristen dapat
memainkan usaha pembangunan pembaharuan Cina. Bagi Protestan, Kekristenan
menjadi semakin bervariasi misalnya dengan masuknya Pentakostal dan Adventis.
Semakin banyak misi independent atau misi ‘iman’ yang datang ke Cina yang bukan
dari lembaga-lembaga misi. Pada tahun 1925, sudah ada sekitar 8.000 misi Protestan
asing di Cina.
Perkembangan lain yang sangat penting adalah pertumbuhan gereja Cina
Protestan independen dengan tiga prinsip kemandirian yaitu: mandiri organisasi,
mandiri dana, dan mandiri penginjilan. Orang Kristen di Cina juga akhirnya bisa
membentuk Dewan Kristen Nasional yang telah mengadakan Konferensinya tahun
1922. Gerakan kemandirian gereja di Cina ini dapat terlihat melalui:
(1) Federasi Gereja membuat jemaat mandiri penginjilan dan mandiri organisasi dan
memisahkan diri dari badan misi asing. Salah satu di antaranya, Gereja Kristen
Cina Independen yang didirikan di Shanghai tahun 1906 oleh Pendeta Yu
Guozhen (Presbiterian). Gerakan ini juga diikuti oleh Cina Utara di Shandong
tahun 1912, jemaat Tianjin oleh Zhang Boliang (1876-1951) pendiri Universitas
Nakai, Gereja Beijing independen oleh Cheng Jingyi (1881-1939).

62
(2) Berdirinya Gereja Yesus yang Benar (The True Jesus Church), gereja
Pentakosta tahun 1917.
(3) Dengan adanya The Assembly Hall (atau ‘Gereja Lokal’) yang diorganisasikan
oleh Ni Tuosheng (‘Watchman Nee’, 1903-1972) pada pertengahan tahun 1920-
an.
(4) Berdirinya Keluarga Yesus (The Jesus Family), Gereja Pentakosta yang unik
yang dipimpin oleh Jing Dianying (1890-1953?) di provinsi Shandong tahun
1920-an.
(5) Gerakan kemandirian lainnya yang diorganisasikan Spiritual Gifts Church di
Shandong tahun 1930-an dan penginjilan prbadi-pribadi seperti Wang Mingdao
(1900-1991) dan Song Shangjie [John Sung] (1901-1944).

Hal lain yang perlu dicatat juga adalah perkembangan para pemikir Katolik Cina
yang begitu banyak memainkan peranan dalam perkembangan Gereja di Cina seperti:
pertama, Ma Xiangbo (1840-1939) yang banyak memberikan masukan di bidang
agama, politik dan pendidikan. Dia mendirikan Universitas Aurora (sekarang
Universitas Zhendan) di Shanghai tahun 1903, Universitas Furen tahun 1925. Kedua,
Lu Bohong [Joseph Lo Pa Hong] (1874-1937). Dia mendirikan rumah sakit dan
sekolah-sekolah tahun 1928. Ketiga, Rene Lu Zhengxiang (1870-1949) seorang
diplomat pada masa akhit kekaisaran dan permulaan tahun-tahun republik.
Perkembangan selanjutnya, pada tahun 1930-an didirikanlah Pemerintahan
Guomindang (Nasionalis) yang dipimpin Chiang Kai-shek. Dengan pemerintahan ini
maka Kekristenan semakin leluasa bekerja di lapangan sosial dan bahkan di dunia
politik.

JEPANG: PERTEMUAN KEDUA49


Pada masa shogun Tokugawa Jepang masih terus melanjutkan kebijakan
pengisolasian diri dari kegiatan misionaris asing di Jepang. Periode pengisolasian diri
Jepang ini berakhir dengan tibanya ‘Kapal Hitam’ Amerika di bawah pimpinan
Komodor Matthew C.Perry tahun 1853. Dengan Perjanjian Damai dan Perniagaan
tahun 1859 dan perjanjian yang sama yang ditanda tangani dengan penguasa Barat,
maka orang Amerika dan Eropa diijinkan lagi bebas melakukan kegiatan Kekristenan
di Jepang. Tahun 1859 misionaris Protestan tiba yang melayani orang Kristen asing
49
Adrian Hastings (ed.), A World History of …, hlm. 399-402

63
yang ada di Jepang dan misi khusus lainnya untuk bekerja di antara orang-orang
Jepang itu sendiri.
Di Jepang ini juga ditemukan komunitas ‘orang Kristen tersembunyi’ (Kakure
Kirishitan) di Nagasaki tahun 1865. Kitab mereka disebut dengan Tenchi hanjimari
no koto yang menunjukkan gabungan dua kitab Shinto dan elemen Buddhis dan yang
berisikan pesan-pesan Alkitab. Diperkirakan sekitar 60.000 orang Kristen
tersembunyi ini. Akhirnya, Restorasi Meiji tahun 1868 pemerintah menarik kembali
sanksi agama dan mengijinkan para petani kembali ke rumah mereka masing-masing.
Bersamaan dengan masa Restorasi Meiji ini, maka bangkit pulalah samangat
gereja mandiri dari kalangan Kristen pribumi. Lembaga pertama yang tumbuh di luar
pengawasan badan misionaris Barat adalah Mukyokai (Gerakan Non-Gereja) yang
didirikan pada tahun 1901 oleh Uchimura Kanzo (1861-1930).
Kebangkitan semangat nasionalisme juga semakin kuat akibat sikap orang Barat
atas ‘perjanjian tak seimbang’ membuat orang Kristen semakin memberikan masukan
untuk modernisasi negara. Setelah tahun 1900 Gereja-gereja mensponsori bermacam
proyek sosial dan kesehatan seperti rumah sakit untuk menolong orang yang sakit
TBC, kusta dan menolong anak yatim-piatu dan lain-lain. Semangat nasionalisme ini
juga menghasilkan kesatuan gereja-gereja di Jepang yang didorong oleh pemerintah.
Sehingga pada tahun 1941 Gereja-gereja di Jepang membentuk Persekutuan Gereja
Kristus di Jepang (Nihon Kirisuto Kyodan) yang beranggotakan 30 Gereja Protestan.

KOREA50
Korea adalah negara Asia Timur yang terakhir membuka diri untuk dimasuki
langsung Kristen. Usaha penginjilan ke daerah Korea ini telah dicoba dari Jepang,
Cina dan Filipina, namun usaha ini selalu gagal. Dan penginjilan secara langsung
belum dimulai hingga akhir abad kedelapan belas. Meskipun demikian, pengaruh
Kekristenan secara tidak langsung telah diterima oleh para sarjana elit pada permulaan
abad ketujuh belas melalui penerbitan bahasa Cina oleh Yesuit di Cina dan di bawa ke
Korea oleh duta Korea yang datang ke Beijing.
Kekristenan di Korea ini bermula dari Yi Sunghun [Peter Lee Seung-hun]
(1756-1801) yang meyakinkan Yi Pyok [Lee Pyok] (1754-1786) salah seorang
anggota kelompok Buddhis yang datang ke Cina untuk belajar tahun 1784. Ketika di
Cina Yi Sunghun dibaptiskan oleh Jean-Joseph de Grammont (1736-1812).
50
Adrian Hastings (ed.), A World History of …, hlm. 402-405

64
Sekembalinya Yi Sunghun ke Korea bersama Yi Pyok, mereka mulai menginjili
teman-teman dan tetangga mereka. Merekalah yang membawa Kekristenan ke Korea,
bukan orang-orang misionaris dari Barat. Dengan kata lain, sejak semula Gereja
Katolik Korea telah mandiri secara organisasi Gereja.
Orang Kristen mulai berkembang dan membangun gereja berdasarkan apa yang
mereka lihat di Beijing. Uskup dan imam-imam dipilih dan diangkat setelah tahun
1789. Namun reaksi dari Beijing mengirimkan surat yang menyatakan bahwa apa
yang orang Kristen Korea lakukan adalah tidak sah berdasarkan hukum yang ada.
Tahun 1795, James Zhou Wenmo (1752-1801) seorang imam Cina secara diam-diam
datang ke Korea dan menghidupkan kembali Kekristenan di Korea. Pada tahun 1795
sudah ada sekitar 4.000 orang Kristen dan meningkat menjadi 10.000 orang setelah
lima tahun kemudian. Biasanya sarjana Konfutzu di Cina, Jepang, dan Korea selalu
menghakimi Kekristenan sebagai sesuatu yang tidak masuk akal, dan berfilosofi
subversif. Keterlibatan orang Katolik dengan Sip’a (Party Expediency) yang
mengakibatkan kehilangan kekuasaan dan kematian tiba-tiba Raja Chongjo tahun
1800, membuat gereja di kambing-hitamkan secara politik. Akhirnya penyerangan
terhadap Katolik diumumkan, dan puncaknya ialah peristiwa Penganiayaan Sinyu
berdarah tahun 1801. Banyak orang Katolik Korea dibunuh termasuk imam Zhou
Wenmo.
Setelah peristiwa Penganiayaan Sinyu ini masih ada lagi penganiayaan lainnya
seperti: Penganiayaan Urhae tahun 1815, Penganiayaan Chonghae tahun 1827, dan
Penganiayaan Kihae tahun 1839. Kendati penganiayaan bagi orang Kristen ini masih
terus berlangsung, namun semangat penginjilan itu tidak berhenti. Badan-badan
misionaris asing masih berusaha untuk tetap datang ke Korea, misalnya: Missions
Etrangeres de Paris yang tiba di Korea tahun 1831 dan mendirikan sekolah kerasulan
yang terpisah dari Beijing – untuk melayani orang Kristen yang tidak memiliki imam
bagi generasi berikutnya. Dengan kehadiran badan misi ini, maka Katolik kembali
bertumbuh di Korea.
Tidak hanya badan misi Katolik yang tiba di Korea, badan misi Protestan juga
telah tiba di sana seperti: badan misi Presbiterian Amerika dan Methodis pada
pertengahan tahun 1880-an.

1945 – KE ATAS51
51
Adrian Hastings (ed.), A World History of …, hlm. 405-410

65
Kebangkitan semangat nasionalisme sejak abad kesembilan belas, namun
meskipun demikian Kekristenan di Asia Timur dan Asia Tenggara masih berlangsung
lama didominasi oleh badan misi asing. Perang Dunia Kedua memulai proses
dekolonisasi dan penghapusan bentuk-bentuk imperialis di seluruh dunia. Orang
Kristen Asia memiliki kesempatan untuk membebaskan diri mereka dari kekuasaan
penjajah dan badan misionari dan melakukan Kekristenan yang mandiri.

GEREJA CINA DI BAWAH KOMUNISME52


Ketika Perang Anti-Jepang berakhir pada Agustus 1945, maka proselitisasi
orang Kristen telah diantisipasi. Orang Kristen Cina sangat bertangung jawab dalam
hal ini. Gereja Katolik mendirikan hierarkhi kegerejaan di Cina tahun 1946. Uskup
Thomas Tien [Tian Gengxin] SPD (1890-1967) dari Tsingtao menjadi kardinal
pertama dan menjadi Arcbishop di Beijing.
Namun tantangan orang Kristen di Cina ini adalah Komunis Cina. Dalam
pengawasan Komunis yang disebut ‘zona kebebasan’, perjuangan anti-misionaris
telah diorganisasikan, pusat-pusat badan misi dihancurkan. Setelah Komunis
mendapatkan kuasa di Cina tahun 1949, maka mereka membuat sebuah perjanjian
pada tanggal 23 Juni 1950 yang berisikan penindasan terhadap Gereja. Sehingga
tahun 1954, seluruh misionaris asing diusir dari Cina.
Walaupun secara ideologi dan organisasi Gereja Katolik dilarang, namun secara
implisit mereka masih melanjutkan misi mereka seperti yang dikatakan Eric
O.Hanson: “Penduduk Republik mempertimbangkan perlawanan laten politik Katolik
secara serius…”
Melihat situasi tersebut maka pemerintah membentuk Kantor Urusan
Keagamaan pada bulan Januari 1951. Pemerintah juga mensponsori Gereja Tiga
Kemandirian Katolik yakni: mandiri organisasi, mandiri dana, dan mandiri daya pada
tahun 1950-1951. Bahkan negara juga mendirikan Asosiasi Nasional Katolik Patriotik
(sekarang Asosiasi Katolik Cina Patriotik [Chinese Catholic Patriotic Association =
CCPA]) tahun 1957 serta mendukung keuskupan tahun 1958.

POST-KOLONIAL ASIA TENGGARA53

52
Adrian Hastings (ed.), A World History of …, hlm. 405-408
53
Ibid., hlm. 408-409

66
Di Asia Tenggara, orang Kristen memainkan peranan penting dalam perjuangan
kebebasan dan proses nasionalisme setelah Perang Dunia Kedua. Di beberapa daerah
setelah post-kolonial Kekristenan mengalami tantangan. Misalnya di Aceh, Islam
menuntut intervensi pemerintah melawan Kekristenan. Hal yang sama juga terjadi di
Myanmar dan Thailand atas dominasi agama Buddha pada Kekristenan.
Di negara-negara merdeka lainnya di Asia Tenggara, setelah post-kolonial
pemerintah mengancam kelompok etnis minoritas. Meskipun banyak tantangan,
Kekristenan memiliki pengalaman pertumbuhan di Asia Tenggara. Berkaitan dengan
timbulnya Komunisme, mempengaruhi banyak orang Cina diaspora untuk bergabung
dengan gereja. Di Indonesia, setelah perstiwa tahun 1965 pertumbuhan Protestanisme
sangat luar bisa. Di Malyasia perkembangan ini memberikan dorongan dalam
pembentukan gerakan ekumenis dan asosiasi regional Kristen.
Bagi Katolik Vietnam pengalaman paska perang agak tragis. Dulu Katolik
adalah minoritas sekitar 10-15% dari jumlah penduduk.54 Pada mulanya kekuatan
Kristeniasi di daerah Phat Diem dan Bui Chu di sebelah utara Vietnam. Gerakan anti-
Katolik timbul dan puncak penganiayaan anti-Kristen di Vietnam Utara terjadi tahun
1954 yang diikuti oleh pembagian negara. Hal ini mengakibatkan 600.000 hingga
800.000 orang Katolik melarikan diri ke Vietnam Selatan.

KOREA SELATAN55
Paska perang, Gereja-gereja Korea dibawah pengawasan Amerika, Korea
Selatan mulai memainkan peran yang berarti dalam pelayanan sosial dan
pembangunan kembali fasilitas lembaga-lembaga. Menjelang pecahnya Perang Korea,
banyak imam-imam Katolik dan orang-orang percaya ditangkap, dipenjarakan, dan
dieksekusi di Korea Utara. Perang Korea (1950-1953) tentu memiliki dampak yang
merusak. Akan tetapi, anggota Gereja masih terus bertumbuh di Korea Selatan dan
bahkan hingga saat itu seperlima dari jumlah penduduk Korea Selatan adalah Kristen
Protestan.
Gereja Katolik bertumbuh cepat setelah akhir Perang Korea. Tahun 1962 jumlah
Katolik di Korea meningkat hingga 575.000 dari 166.000 tahun 1953. Pada saat
bersamaan dimulai pula perubahan dari Gereja desa kepada salah satu bagian
54
Berdasarkan informasi yang kami akses dari http://misi.sabda.org/vietnam_tahun_2007 hari Senin,
12 November 2007 pukul 16.00, di Vietnam agama Roma Khatolik 6.46% dan Protestan 1.70% dari
jumlah penduduk 85.764.274 jiwa.
55
Adrian Hastings (ed.), A World History of …, hlm. 409-410

67
masyarakat Korea arus utama dan Katolik menunjukkan perhatian sosial yang lebih
tinggi dibandingkan periode sebelumnya. Dan semangat ekumenis menjadi bukti
perjuangan pemimpin-pemimpin Gereja bebas melawan yang tidak demokratis,
kekuasaan militer Presiden Pak Chonghui [Park Chung-hee] dan Chon Tuhwan [Chun
Doo-hwan].
Fenomena pertumbuhan Gereja pada dekade ini diikuti oleh tiga kecenderungan
yaitu: fragmentasi, indigenisasi dan sekte sinkretistik.56

KOMENTAR PENUTUP57
Tiedemann menutup bahasan ini dengan pernyataan bahwa Kekristenan pada
abad kesembilan belas sunggung luar biasa walaupun dipenuhi dengan penganiayaan
yang sangat kejam telah menjadi gerakan keagamaan yang menonjol di Korea Selatan
pada akhir abad kedua puluh. Orang-orang Kristen membuktikan dirinya sendiri
adequat untuk bertahan hidup di bawah kondisi kolonial orang asing dan
pemerintahan militer pribumi dengan prinsip mandiri dana, dan mandiri
perkembangan. Kekristenan berjuang sepanjang abad untuk memperoleh tumpuan
dalam menghadapi negara-negara kuat, di mana-mana berusaha untuk menerobos,
mengatu dan mengawasi lembaga-lembaga keagamaan.
Tiedemann juga menyimpulkan bahwa perkembangan Kekristenan di Cina
sangat luar biasa walaupun negara tersebut merupakan negara Komunis. Diperkirakan
bahwa tahun 1996 jumlah orang Protestan yang dibaptis sekitar 33 juta (menurut
pemerintah Cina: 19 juta) dan Gereja Roma Katolik sekitar 18 juta (perkiraan
pemerintah: 6 juta).
Hal yang sama juga dicatat Tiedemann di beberapa bagian wilayah lain
termasuk Indonesia, Malasya dan Singapura di mana Pentakosta dan kharismatik
semakin kuat.

56
Sebuah agama eklektik ("gado-gado") bernama Ch'ondogyo -- kombinasi Buddhisme, Kong Hu Cu,
Kristen dan bahkan Taoisme -- menyebar luas pada akhir abad 19. Shamanisme [kepercayaan kepada
dukun-dukun] tetap kuat di pedalaman, terutama di kalangan kaum perempuan. Sebuah kelompok
bernama Ch'angga Hakhoe (Masyarakat Pengkaji Penciptaan Tata Nilai), yang masuk dari Jepang pada
tahun 1963, populer di kalangan bawah di perkotaan; ini adalah kelompok militan pengikut Nichiren,
pendeta Buddhis abad 14 di Jepang, yang pada awal tahun 1930an diorganisasikan di
Jepang dengan nama Soka-gakkai. Diakses pada hari Senin, 12 November 2007 pukul 16.40 dari
http://groups.google.co.id/group/soc.culture.indonesia/browse_thread/thread/ea1a2bc09bb01b49/c88ee
6c38d9b0a6f%23c88ee6c38d9b0a6f
57
Adrian Hastings (ed.), A World History of …, hlm. 411-412

68
Meskipun dengan perkembangan postif ini, Kekristenan juga menghadapi
banyak tantangan di Asia Timur dan Asia Tenggara. Sebagaimana di Cina, proses
memperbaiki hubungan Sino-Vatikan telah berlangsung sangat lama. Kekristenan
juga membangkitkan kecenderungan sektarian, doktrin yang ekstrim dan praktek
immoral. Kendatipun demikian, seluruh persoalan internal maupun eksternal dapat
diatasi oleh orang Kristen di Asia.

6. TANGGAPAN HISTORIS

Jika ditelusuri sejarah Kekristenan di setiap belahan bumi ini, ternyata akan
timbul kesan bahwa Kekristenan membawa pengaruh yang besar bagi perkembangan
peradaban manusia di setiap lini kehidupan yang dibawa oleh para misionari ke
daerah-daerah yang mereka Injili. Kesan lainnya adalah para misionaris tidak takut
dan gentar menghadapi persoalan dan tantangan yang mereka terima dari pihak
penguasa baik penjajah maupun pribumi serta masyarakat akibat perjumpaan Injil
dengan agama dan budaya. Tidak jarang dari mereka harus menerima siksaan dan
penganiayaan bahkan meninggal dunia.
Itulah yang terlihat dari paparan para penulis di dalam buku Adrian Hastings
(ed.), A World History of Christianity, Cassel: The Bath Press, 1999 ini. Memang
tidak semua yang diulas dalam bahasan ini, hanya beberapa daerah saja misalnya:
India, Afrika, Amerika Latin dan Cina. Namun dengan pemaparan para penulis artikel
ini semakin membuka kasanah berpikir tentang perkembangan Kekristenan di belahan
bumi ini. Ternyata tidak mudah menjadikan bumi ini menjadi murid Tuhan Yesus.
Kalaupun perintah Amanat Agung Tuhan Yesus dalam Injil menurut Matius sangat
mudah kita mengerti, namun ternyata sangat sulit mewujudkannya di dunia nyata ini.
”Karena itu pergilah, jadikanlah semua bangsa murid-Ku dan baptislah mereka dalam
nama Bapa dan Anak dan Roh Kudus” (Matius 28:19).
Jika kita cermati di empat daerah ini maka akan terlihat bahwa di mana-mana
Kekristenan itu berhadapan dengan agama, budaya dan adat-istiadat yang sudah
mengakar di hati masyarakat. Seringkali akhirnya Kekristenan mengadopsi banyak
hal dari budaya dan adat-istiadat setempat agar Kekristenan itu dapat dipahami dan
diterima oleh masyarakat setempat. Memang gerakan seperti ini lebih dikenal dengan
nama teologi kontekstual di mana teologi itu dipahami dari sudut pandang masyarakat
setempat. Namun terkadang akibat pemahaman yang sempit bisa saja pola ini terjebak

69
dalam dunia sinkritisme agama. Harus diakui memang bahwa tugas berteologi secara
kontekstual membutuhkan daya nalar dan spiritual yang handal.
Masuknya Kekristenan ke wilayah Asia merupakan akibat dari semangat
imperialisme negara-negara Barat yang disambut orang Kristen Barat sebagai
kesempatan serta tanggung jawab yang dikaruniakan Tuhan untuk mengabarkan Injil
ke seluruh dunia. Para biarawan Katolik Romalah yang lebih dulu menyerahkan diri
bagi pekabaran Injil di Asia, kemudian diikuti oleh para pekabar Injil Protestan.
Jika ditelurusi lebih mendalam maka akan timbul pertanyaan, sebenarnya
apakah hal yang mendasar yang membuat para imperialis dan orang Kristen Barat
pergi ke seluruh dunia termasuk Asia ini. Setidaknya ada dua dokumen yang menjadi
dasar mereka pergi menjelajah dunia yakni: Bulla Paus dan Perjanjian Teoesillas.
Perjanjian Teoesillas ini menetapkan daerah kekuasaan menjadi dua bagian yakni:
Portugis menguasai belahan timur (ke arah Afrika dan Asia) dan Spanyol menguasai
belahan barat (ke daerah Amerika Latin). Dengan demikian Portugis memasuki
daerah Asia dengan menancapkan imperialismenya serta sekaligus memberitakan Injil
Kristus di wilayah Asia ini.
Kekristenan di Asia masa kini merupakan warisan penginjilan Barat; dengan
segala implikasi positif maupun negatif. Umat Kristen masih tetap merupakan
kelompok minoritas; pada tahun 1990 baru 7,8% penduduk Asia mengaku iman
Kristen. Walaupun demikian, menjelang akhir abad ke-20 titik berat kekristenan
berpindah daru dunia Barat ke dunia bukan-Barat.58 Perkembangan Kekristenan di
Asia menjadi pusat perhatian orang Kristen di dunia.
Di Asia Kekristenan menghadapi agama-agama dan kebudayaan kuat, yang sulit
dimasuki Injil. Para pekabar Injil, baik Protestan maupun Katolik, berusaha
menafsirkan iman sesuai dengan konteks Asia, tanpa melupakan bahaya sinkritisme.
Kesulitan tersebut menimbulkan beberapa pertikaian, misalnya mengenai isu tentang
kasta, upacara menghormati nenek moyang dan lain-lain. Penginjilan diarahkan pada
golongan masyarakat yang dianggap stategis.
Dampak gerakan Kekristenan di Amerika Latin yang dikenal dengan Teologi
Pembebasannya bagi dunia adalah dengan timbulnya semangat perjuangan untuk
membela hak-hak kemanusiaan. Paus sendiri (Paus Yohanes Paulus II) mendukung
gerakan Teologi Pembebasan ini sejauh gerakan itu tidak menggunakan kekerasan. Di
Indonesia sendiri gerakan ini terlihat dari perjuangan Romo Mangun dalam
58
Anne Ruck, Sejarah Gereja Asia, Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2006, hlm.1

70
memperjuangkan orang-orang yang terpinggirkan dan membela hak-hak mereka. Dan
masih banyak lagi tokoh-tokoh yang berjuang dalam rangka membebaskan orang-
orang dari keterbelengguan mereka.
Dampak lain dari Kekristenan di Amerika Latin ini yang mempengaruhi
perkembangan bangsa lain di dunia adalah gerakan perjuangan kemerdekaan negara-
negara di Amerika Latin. Negara-negara di Amerika Latin lebih dulu merdeka di
bandingkan dengan negara-negara lain di dunia. Pada umumnya negera-negara
Amerika Latin sudah memperoleh kemerdekaannya pada abad kelimabelas,
sedangkan negara-negara lain baru memperoleh kemerdekaannya pada abad
kedelapan belas. Perjuangan kemerdekaan di Amerika Latin inilah yang diikuti oleh
para pejuang kemerdekaan di negara-negara lain di luar Amerika Latin.

7. DAFTAR KEPUSTAKAAN

a. Buku
A.A.Yewangoe, Theologia Crusis Di Asia, Jakarta: BPK GM, 2004
Adrian Hastings (ed.), A World History of Christianity, Cassel: The Bath Press, 1999
Anne Ruck, Sejarah Gereja Asia, Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2006
R.Wahana Wegig, Pewartaan Iman Kontekstual: Menimba Pengalaman Misi di Cina,
Yogyakarta: Kanisius, 2001
Tata Gereja (TG) Gereja Kemah Abraham (GKA)

b. Website
http://reinhardlumbantobing.wordpress.com/2007/07/26/catatan-pendek-mengenai-
kekristenan-di jepang/ ;
http://misi.sabda.org/vietnam_tahun_2007
http://groups.google.co.id/group/soc.culture.indonesia/browse_thread/thread/ea1a2bc0
9bb01b49/c88ee6c38d9b0a6f%23c88ee6c38d9b0a6f

DAFTAR ISI

71
Halaman

DAFTAR ISI ……………………………………………………………… (i)

1. PENDAHULUAN ………………………………………………….. 1

2. INDIA (R.E.Frykenberg) .................................... …………………… 1

GELOMBANG PERTAMA TIBA: KRISTEN THOMAS ...... .... 1

RESPONS PADA MASA PADROADO DAN PROPAGANDA FIDE 5

EVANGELIKAL (PROTESTANISME) DAN GERAKAN

PENCERAHAN ................................................................................... 9

TANTANGAN-TANTANGAN PADA MASA RAJ ........................... 12

MANDIRI SEJAK 1947 ........................................................................ 16

3. AFRIKA (Kevin Ward) .......................................................................... 18

MESIR, AFRIKA UTARA, NUBIA DAN ISLAM ............................ 19

ETIOPIA ................................................................................................ 21

KERAJAAN KONGO DAN MISIONARIS PERUSAHAAN

PORTUGIS ............................................................................................ 23

KEBANGKITAN MISI ABAD KESEMBILAN BELAS .....……….. 23

AFRIKA BARAT ................................................................ .....……….. 24

AFRIKA UTARA .....................................................................……….. 25

SEBELAH TIMUR AFRIKA ..................................................……….. 27

PEREBUTAN DAN PENJAJAHAN MISIONARIS ............……….. 29

KEKRISTENAN DALAM MASA PENJAJAHAN:

PENDIDIKAN DAN ”ADAPTASI“ .......................................……….. 30

KEBANGKITAN GEREJA-GERAJA INDEPENDEN .......……….. 32

GERAKAN PEMBAHARUAN SPIRITUAL LAINNYA .....……….. 33

PEMBERIAN KEBEBASAN POLITIK (DEKOLONIALISASI)….. 34

72
KEBEBASAN KEKRISTENAN DAN POLITIK DI AFRIKA.....….. 35

TEOLOGI AFRIKA ..........................................................................….. 36

KESIMPULAN ..................................................................................….. 37

4. AMERIKA LATIN (Adrian Hastings) ................................................ 38

SPANYOL ABAD KEENAM BELAS ................................................. 38

SERATUS LIMA PULUH TAHUN PERTAMA KATOLIKISME

AMERIKA LATIN ................................................................................ 39

1650 – 1780 ............................................................................................ 42

1780 – 1900: REVOLUSI DAN REAKSI ..............................……….. 43

ABAD KE DUA PULUH .................................................. .....……….. 46

5. CINA (R.G.Tiedemann) ………………................................................ 50

CINA SEBELUM TAHUN 1500: NESTORIAN DAN

FRANCISCAN ........................................................................................ 50

MENANAMKAN KEKRISTENAN, 1500 – 1800 ............................... 52

FILIPINA ................................................................................................ 53

KEBANGKITAN DAN KEJATUHAN KEKRISTENAN

SEBELUM ABAD PERTENGAHAN JEPANG ...................……….. 54

KEKAISARAN TERAKHIR CINA ................................... .....……….. 56

ASAL MUASAL GEREJA DI VIETNAM ....................... .....……….. 58

1800 – 1945 ........................................................................ .....……….. 59

GEREJA, PENJAJAHAN DAN NASIONALISME DI

ASIA TENGGARA ............................................................ .....……….. 59

DARI MISI KE GEREJA DALAM CINA MODERN .... .....……….. 61

JEPANG: PERTEMUAN KEDUA ................................... .....……….. 64

KOREA ............................................................................... .....……….. 65

73
1945 – KE ATAS ............................................................... .....……….. 66

GEREJA CINA DI BAWAH KOMUNISME ................... .....……….. 67

POST-KOLONIAL ASIA TENGGARA ........................... .....……….. 67

KOREA SELATAN ............................................................ .....……….. 68

KOMENTAR PENUTUP ................................................. .....……….. 69

6. TANGGAPAN HISTORIS .....………………………………………… 70

7. DARTAR PUSTAKA ..........…....……………………………………… 72

74
75

Anda mungkin juga menyukai