Anda di halaman 1dari 42

ILMU PENYAKIT UNGGAS

2019

Prof.Dr. drh. A.E.T.H. Wahyuni, M.Si


Departemen Mikrobiologi FKH-UGM
INFECTIOUS CORYZA (SNOT)

• Infectious coryza merupakan penyakit pernafasan pada ayam


yang berlangsung akut.
• Gejala penyakit ini telah ditemukan sejak tahun 1930-an dan
dikenal sebagai uncomplicated coryza dan bersifat menular.
• Semula, diketahui agen penyebabnya adalah Haemophilus
gallinarum yaitu bakteri yang membutuhkan faktor V
(nicotinamide adenine dinucleotide; NAD) dan X (hemin)
untuk tumbuh secara in vitro (Blackall, 2008; Blackall dan
Soriano, 2008).
• Infectious coryza (snot) merupakan penyakit pernafasan pada
unggas yang yang dapat berlangsung akut sampai kronis.
Pengertian lanjutan...

• Snot dikenal sebagai penyakit yang mempunyai tingkat


morbiditas yang tinggi namun tingkat mortalitasnya rendah
(Quinn et al., 2011; Tabbu, 2000).
• Morbiditas snot bervariasi dari 1% hingga 20% sedangkan
tingkat mortalitas rendah pada kasus snot yang tidak terjadi
komplikasi (Shane, 2005).
• Namun, beberapa strain yang sangat virulen telah dilaporkan
menyebabkan mortalitas yang tinggi. Penyakit ini bersifat
sangat infeksius dan menyerang saluran pernafasan bagian
atas terutama rongga hidung.
• Snot mempunyai arti ekonomi yang penting dalam industri
perunggasan karena berhubungan dengan peningkatan
jumlah ayam yang diafkir, penurunan berat badan, penurunan
produksi telur dan peningkatan biaya pengobatan (Quinn et
al., 2011; Tabbu, 2000).
Pengertian lanjutan...
• Pada kondisi lapangan, snot kerapkali ditemukan secara
bersama-sama dengan penyakit lainnya, misal chronic
respiratory disease (CRD), swollen head syndrome (SHS),
infectious bronchitis (IB), infectious laryngotracheitis (ILT),
kolibasilosis dan fowl pox.
• Pada keadaan seperti itu biasanya mortalitas akan menjadi
lebih tinggi, gejala klinis snot akan terlihat selama berminggu-
minggu dan prosesnya juga akan lebih lama.
• Faktor predisposisi yang menyebabkan penyakit menjadi
semakin parah dan semakin lama adalah adanya infeksi
sekunder dengan Mycoplasma gallisepticum atau Escherichia
coli dan kondisi lingkungan yang tidak sesuai (Yamamoto
(1972) dan Sandoval et al. (1994) yang disitasi dari Ali et al.
(2013), Tabbu (2000) dan Vegad dan Katiyar (2008)
Pengertian lanjutan....
• Infectious coryza dilaporkan juga telah ditularkan pada burung
puyuh, ayam mutiara, kalkun dan burung merak (Blackall,
2008; Quinn et al., 2004; Quinn et al., 2011).
• Penularan hanya terjadi secara horizontal; ayam yang
menderita infeksi kronis atau carrier merupakan sumber
utama penularan penyakit snot (Quinn et al., 2011; Tabbu,
2000)
• .Penularan penyakit terjadi secara langsung, aerosol atau air
minum yang terkontaminasi. Sumber penularan pada snot
adalah ayam yang terinfeksi dan ayam carrier.Avibacterium
paragallinarum merupakan bakteri yang bersifat non-invasive,
yang akan bermigrasi ke sistem pernafasan bagian bawah
(paru dan airsac) jika ada reaksi sinergis dengan agen infeksi
lainnya atau pada ayam yang bersifat immunosupresi (Quinn
et al., 2011; Vegad dan Katiyar, 2008).
Pengertian lanjutan...

• Ayam menjadi peka pada umur sekitar 4 minggu setelah


menetas dan kepekaannya meningkat sesuai dengan
meningkatnya umur (Quinn et al., 2011).
• Infectious coryza dapat ditemukan pada ayam semua umur
mulai umur 3 minggu sampai masa produksi. Ayam dewasa
cenderung bereaksi lebih parah dibandingkan dengan ayam
muda.
• Penyakit ini memiliki masa inkubasi yang pendek antara 24-46
jam, kadang-kadang sampai 72 jam dengan proses penyakit
yang dapat berlangsung berhari-hari antara 6-14 hari tetapi
dapat berlangsung beberapa bulan (2-3 bulan).
• Pada ayam dewasa masa inkubasi biasanya lebih pendek
tetapi proses penyakitnya cenderung lebih lama
(Blackall dan Soriano, 2008; Tabbu, 2000; Vegad dan Katiyar,
2008).
ARTI EKONOMIS

• PENURUNAN PRODUKSI TELUR (10-40%)


• PENURUNAN BERAT BADAN
• PENINGKATAN ANGKA AFKIR
• PENINGKATAN BIAYA PENGOBATAN
CARA PENULARAN
• HORIZONTAL: LANGSUNG MAUPUN TIDAK LANGSUNG
• SUMBER UTAMA PENULARAN
• AYAM YANG MENDERITA INFEKSI KRONIS
• AYAM CARRIER
• PERLU FAKTOR PENDUKUNG
• PENULARAN LANGSUNG
•KONTAK DENGAN AYAM SAKIT ATAU CARRIER
• PENULARAN TIDAK LANGSUNG
•PAKAN/MINUM
•ALAT/PERLENGKAPAN PETERNAKAN
•PEKERJA
•ALAT TRANSPORTASI
•UDARA YANG TERCEMAR
•BURUNG LIAR
GEJALA KLINIS
• Gejala klinis snot antara lain terlihat leleran hidung,
kebengkakan wajah, lakrimasi, anoreksia dan diare. Penurunan
nafsu makan dan minum terlihat pada ayam muda dan
penurunan produksi telur pada ayam periode layer (Blackall,
2008).
• Gejala paling awal adalah adanya bersin yang diikuti oleh
adanya eksudat serous sampai mukoid dari rongga hidung
ataupun mata.
• Jika proses penyakit berlanjut maka eksudat yang bening dan
encer akan menjadi kental (mukopurulen sampai purulen) dan
berbau busuk/tidak sedap dan bercampur dengan kotoran/sisa
pakan.
• Kumpulan eksudat tersebut akan menyebabkan
pembengkakan di daerah fasial dan sekitar mata (Tabbu, 2000;
Vegad dan Katiyar, 2008).
• KADANG PEMBENGKAKAN PIAL
• KELOPAK MATA KEMERAHAN SEHINGGA MATA DAPAT
TERTUTUP
• KADANG SUARA NGOROK HALUS
• GANGGUAN NAPSU MAKAN/MINUM
• GANGGUAN PRODUKSI TELUR
• KERAPKALI TERLIHAT DIARE
PERUBAHAN PATOLOGIK
• TERBATAS PADA SALURAN PERNAPASAN BAGIAN ATAS
• KEMERAHAN PADA DINDING RONGGA HIDUNG DAN
SINUS
• KERAPKALI: KEMERAHAN PADA DINDING KELOPAK MATA
• TIMBUNAN CAIRAN ENCER ATAU NANAH ATAU MASSA
MENYERUPAI KEJU DIBAWAH KULIT DIDAERAH FASIAL
ATAU RONGGA HIDUNG DAN SINUS
• JARANG: PENEBALAN KANTONG UDARA DAN RADANG
PARU
GEJALA KLINIK
• MENYERANG AYAM SEMUA UMUR
• MORBIDITAS TINGGI, TETAPI MORTALITAS RENDAH
• AYAM DEWASA BEREAKSI LEBIH PARAH DIBANDING AYAM
MUDA
• PENULARAN CEPAT DARI AYAM KE AYAM (KANDANG KE
KANDANG)
• MASA INKUBASI PENDEK
• 24-46 JAM, KADANG SAMPAI 72 JAM
• PROSES PENYAKIT
• BIASANYA 6-14 HARI
• DAPAT JUGA BEBERAPA BULAN (2-3 BULAN)
• AYAM DEWASA
• MASA INKUBASI LEBIH PENDEK
• PROSES PENYAKIT CENDERUNG LEBIH LAMA
Gejala Klinis....

 Infectious coryza menyebabkan permasalahan ekonomi yang


signifikan ketika menyerang unggas dengan gejala yang
menciri yaitu rhinitis, edema facial, anoreksia dan eksudat
sero-mucoid pada mata dan cuping hidung (Durairajan et al.,
2013).
 Eksudat yang keluar dari hidung mula-mula dapat berwarna
kuning dan encer (serous), tetapi lama-lama berubah menjadi
kental dan bernanah dengan bau khas (mucopurulent).
 Bagian paruh di sekitar hidung tampak kotor atau berkerak
oleh sisa pakan yang menempel pada eksudat (Kusumaningsih
dan Poernomo, 2000).
Gejala Klinis...

 Penurunan nafsu makan mengakibatkan produksi telur yang


menurun serta terjadi peningkatan unggas yang diafkir
(Poernomo et al., 1997).
 Infectious coryza bila tidak disertai infeksi lain akan sembuh
dalam 14-21 hari.
 Apa bila disertai infeksi sekunder, misalnya Infectious
bronchitis, infectious laringotracheitis, Mycoplasma atau
chronic respiratory diseases, maka penyakit akan berjalan
beberapa bulan (Gordon dan Jordan, 1982).
Gejala Klinis pada Unggas

Layer Broiler Puyuh


ETIOLOGI
 Avibacterium paragallinarum yang merupakan bakteri Gram
negatif dan bersifat non motil.
 Pada kultur selama 24 jam, morfologi sel bakteri batang pendek
atau kokobasil dengan panjang 1-3 µm dan lebar 0,4-0,8 µm
(Blackall, 2008).
 Bakteri ini pertama kali dilaporkan oleh De Blieck (1932) yang
diberi nama Bacillus haemoglobinophilus coryza gallinarum.
Delapane et al. (1934) kemudian menamai bakteri tersebut
sebagai Haemophilus gallinarum
 Menurut Blackall et al. (1997), awalnya bakteri ini diduga
memerlukan hemin (faktor X) dan nicotinamide adenine
denucleotide/NAD (faktor V) untuk pertumbuhannya. Akan tetapi
pada pemeriksaan lebih lanjut diketahui bahwa yang
menyebabkan coryza atau snot hanya memerlukan NAD pada
kultur in vitro, selanjutnya galur tersebut dinamakan
Haemophilus paragallinarum (Page, 1962).
Etiologi lanjutan...

• Page (1962) mengklasifikasikan Haemophilus paragallinarum


menjadi tiga serotipe yaitu, serotipe A, serotipe B dan
serotipe C dengan metode Plate agglutination test (PAT).
• Blackall et al. (1997) mengklasifikasikan Haemophilus
paragallinarum ke dalam tiga serotipe yaitu serotipe I,
serotipe II dan serotipe III, tetapi selanjutnya dilaporkan
bahwa serotipe II dan III merupakan varian dari serotipe I.
• Di Indonesia ditemukan tiga serotipe Avibacterium
paragallinarum yaitu serotipe A, B dan C (Kusumaningsih dan
Poernomo, 2000).
• Blackall et al. (2005) melakukan klasifikasi ulang terhadap
Haemophilus paragallinarum menjadi Avibacterium
paragallinarum berdasarkan karakteristik aktivitas katalase
serta produksi asam dari galaktosa, maltosa dan mannitol.
KARAKTERISTIK PERTUMBUHAN
 Avibacterium paragallinarum tumbuh pada lingkungan dengan
kandungan CO2 sebanyak 5-10% (Rajurkar et al., 2010), namun
mampu tumbuh pada tekanan oksigen yang dikurangi atau
bersifat anaerob seperti dalam candle jar (Rimler, 1979).
 Avibacterium paragallinarum dapat bertumbuh pada
lingkungan dengan oksigen, tetapi ada beberapa strain yang
bisa bertumbuh setelah mengalami subkultur (Blackall et al.,
2005). Suhu minimal dan maksimal yang dibutuhkan untuk
pertumbuhan adalah 250C dan 450C, dengan suhu optimal
370C-420C tetapi mampu tumbuh baik pada suhu 370C-380C
(Chukiatsiri, 2011), inkubasi dilakukan selama 24-48 jam.
Setelah inkubasi, akan terlihat koloni yang berbentuk seperti
tetes embun (Thenmozhi dan Malmarugan, 2013).
 Tidak mampu memfermentasikan arabinosa dan trehalosa
(Blackall dan Soriano, 2008).
Karakteristik pertumbuhan lanjutan...
• Avibacterium paragallinarum membutuhkan nicotinamide
adenine dinucleotide (NAD) atau faktor V dalam
pertumbuhannya. Selain bersifat NAD-dependent, ada yang
bersifat NAD-independent dalam pertumbuhan in vitro
(Mouahid et al., 1992; Bragg et al., 1993).
• Pada pertumbuhan secara in vitro, faktor V yang dibutuhkan
oleh isolat NAD-dependent berasal dari Staphylococcus aureus
(Bragg et al., 1997), Staphylococcus hyicus yang merupakan
flora normal pada kulit ayam (Blackall dan Reid, 1982), atau
Staphylococcus epidermidis (Page, 1962) yang secara umum
digunakan sebagai sumber faktor V pada plat agar darah
(Blackall dan Soriano, 2008).
• Avibacterium paragallinarum bersifat katalase negatif,
oksidase negatif, tidak memproduksi indol, non motil dan
urease negatif (Akter et al., 2014; Durairajan et al., 2013).
Karakteristik pertumbuhan lanjutan...
 Avibacterium paragallinarum mampu memfermentasikan
laktosa, maltosa, mannitol dan sorbitol (Akter et al., 2013b;
Blackall dan Soriano, 2008),
 Isolat Av. paragallinarum tidak dapat tumbuh pada media
Nutrient Agar (NA), MacConkey Agar (MCA), Eosin Methylene
Blue Agar (EMB) dan Brilliant Green Agar (BGA) yang
menandakan bahwa media tersebut menghambat
pertumbuhan bakteri atau tidak mendukung pertumbuhan Av.
paragallinarum karena tidak adanya faktor V.
 Bakteri lain yang terutama terisolasi bersama Av.
paragallinarum antara lain Escherichiacoli, Pseudomonas,
Salmonella, Staphylococcus dan Proteus. Sehingga dapat
dikatakan bahwa dalam kasus snot, agen infeksi sekunder akan
memperparah penyakit ayam (Rajurkar et al., 2009b).
MORFOLOGI KOLONI
• Morfologi koloni dari Avibacterium paragallinarum adalah
kecil dan bulat seperti tetes embun setelah inkubasi selama 24
sampai dengan 48 jam pada media agar coklat (Gambar 1)
(Markey et al., 2013). Semakin tua umur isolat, koloni akan
semakin kecil. Isolat Avibacterium paragallinarum faktor V
independent akan menunjukkan koloni dengan ukuran 1-2 mm
tanpa adanya pertumbuhan satelit (Blackall, 2008).
• Pertumbuhan pada plat agar darah bersifat tidak
menghemolisis darah (Blackall et al., 2005; Thenmozhi dan
Malmarugan, 2013).
Morfologi koloni Avibacterium paragallinarum pada plat agar darah (PAD) dan
plat agar coklat (PAC). Koloni tampak seperti tetes embun.
MORFOLOGI BAKTERI
• Secara morfologi sel, Avibacterium paragallinarum
merupakan gram negatif berbentuk kokobasil atau batang
pendek dengan panjang 1-3µm dan lebar 0,4-0,8µm pada
inkubasi selama 24 jam.
• Bakteri akan mengalami degenerasi dalam 48-60 jam dan
morfologi bakterinya berbentuk fragmen, jika dilakukan kultur
pada fase ini akan menampilkan morfologi bakteri yang
berbentuk batang (Blackall dan Soriano, 2008).
• Morfologi sel kokobasil bersifat Gram negatif juga dilaporkan
dalam penelitian yang dilakukan oleh Chukiatsiri (2011),
Chukiatsiri et al. (2012),Tangkonda (2013) serta Thenmozhi
dan Malmarugan (2013).
Morfologi Bakteri lanjutan...

Morfologi sel Av. paragallinarum yang berbentuk kokobasil maupun basil dan
tercat merah sebagai bakteri Gram negatif

A= Gram negatif kokobasil


B = Gram negatif basil
Morfologi bakteri lanjutan...

 Avibacterium paragallinarum sering juga dikatakan pleomorfik


karena kecenderungan bakteri tidak memiliki bentuk sel yang
tetap dan mudah berubah morfologi setelah inkubasi lebih dari
24 jam (Charlton dkk., 2006; Chukiatsiri, 2011; Durairajan dkk.,
2013).
 Blackall dan Soriano-Vargas (2013) juga melaporkan bahwa Av.
paragallinarumakan mengalami degenerasi dalam 40 jam
hingga 60 jam sehingga morfologi selnya teramati berbentuk
fragmen.
 Biakan dengan morfologi sel berbentuk fragmen tersebut jika
dikultur ulang akan menampilkan morfologi sel yang berbentuk
batang (Blackall dan Soriano-Vargas, 2013). Morfologi Av.
paragallinarum hasil pengecatan Gram disajikan pada Gambar 3
(Akter dkk., 2013b).
Perbedaan ini menunjukkan bahwa Av. paragallinarum dapat
melakukan respirasi secara aerob maupun anaerob

Reaksi uji biokimia pada isolat Av. paragallinarum.

Uji Biokimia Hasil


Katalase - -
Indol - -
Motilitas - -
Urease - -
Glukosa + +
Sukrosa + +
Laktosa + -
Mannitol + +
Maltosa + V
Sorbitol - +
Galaktosa - -
Akhtar et al. (2001); Akter et al. (2014); Blackall
Sumber
Akter et al. (2013b) (2008); Markey et al. (2013)
Interpretasi hasil uji urease (Leboffe dan Pierce, 2011).

Hasil
24 jam – 6 Interpretasi Simbol
24 jam
hari
Hidrolisis urea cepat;
Semua pink +
produksi urease kuat
Hidrolisis urea lambat;
Sebagian pink w+
produksi urea lemah
Orange atau Sebagian Hidrolisis urea lambat;
w+
kuning pink produksi urea lemah
Tidak ada hidrolisis urea;
Orange atau Orange atau -
urease tidak diproduksi
kuning kuning
Uji yang dilakukan Sameera et al. (2001) Byarugaba et al. Blackall dan Soriano Thenmozi dan Malgaruban

(2006) (2008) (2013)

Faktor V + + + +

Uji katalase - - - -

Uji oksidase - + n/a +

Motilitas - + - -

Indol - n/a n/a -

Urease n/a - - -

Sukrosa + + n/a +

Laktosa - - n/a -

Manitol + + + -

Sorbitol n/a + + -

Maltosa n/a + + +

Tabel 1.Karakterisasi biokimia isolat Avibacterium paragallinarum


Keterangan: n/a=not available/tidak terdapat pada daftar pustaka
Koloni Satelite

Koloni satelite Av. paragallinarum yang tumbuh


berdekatan dengan Staphylococcus sp (Vargas et al.,
2013)
DIAGNOSIS

• DIAGNOSIS SANGKAAN
• GEJALA KLINIK (LELERAN BERBAU BUSUK)
• PERUBAHAN PATOLOGIK
• DIAGNOSIS PASTI
• ISOLASI DAN IDENTIFIKASI KUMAN
• DIAGNOSIS PENDUKUNG
• UJI AGP
• UJI HI, HA TIDAK LANGSUNG
• UJI FA LANGSUNG
PENGOBATAN

 Pengobatan yang diberikan berupa antibiotika melalui


suntikan atau air minum selama 3-7 hari berturut-turut,
tergantung berat ringannya serangan penyakit
(Kusumaningsih dan Poernomo, 2000).
 Berbagai jenis antibiotika telah dipakai untuk mengobati snot,
namun banyak di antara obat tersebut yang hanya
mengurangi derajat keparahan dan lamanya proses penyakit
tanpa mengatasi penyakit ini secara tuntas.
 Penyakit ini cenderung kambuh lagi, jika pengobatan
dihentikan; jika pengobatan dilakukan secara berulang, maka
kemungkinan akan timbul resistensi terhadap obat tertentu
(Tabbu, 2000).
SENSITIVITAS TERHADAP ANTIBIOTIK

 Avibacterium paragallinarum bersifat sensitif terhadap


enrofloksasin (100%), kloramfenikol (100%), ampisilin (100%),
kanamysin (100%), amikasin (90%), gentamisin (90%) dan
oksitetrasiklin (70%) (Rajurkar et al., 2010; Thenmozhi dan
Malmarugan, 2013).
 Avibacterium paragallinarum bersifat resisten terhadap
antibiotika tetrasiklin (100%) dan streptomisin (100%)
(Rajurkar et al., 2010).
Pola sensitivitas beberapa antibiotika (Chukiatsiri, 2011;
Chukiatsiri et., 2012; Markey et al., 2013)
Isi Disk Resisten Intermediet Sensitif
Antibiotika
(µg) (mm) (mm) (mm)
Amikasin 30 < 14 15-16 > 17
Amoksislin 20 < 13 14-17 > 18
Ampisilin 10 < 13 14-16 > 17
Kloramfeniko 30 < 12 13-17 > 18
l
Gentamisin 10 < 12 13-14 > 15
Eritromisin 15 < 13 14-22 > 23
Enrofloksasin 5 < 16 17-22 > 23
Kanamysin 30 < 13 14-17 > 18
Tetrasiklin 30 < 14 15-18 > 19
Trimetoprim 5 < 10 11-15 > 16
• PENYAKIT YANG MIRIP SNOT
• SHS
• CRD
• IB
• ILT
• FOWL POX
• DEFISIENSI VITAMIN A
• KOLERA UNGGAS KRONIS
AVIAN STAPHYLOCOCCOSIS

 Penyakit disebabkan oleh S.aureus


 Staphylococcosis merupakan penyakit lingkungan
 Infeksi terjadi jika bagian tertentu dari system pertahanan
ayam mengalami kerusakan, misalnya luka pada kulit atau
kerusakan membrane mukosa
 Pada DOC, masuk melalui pusar yg belum menutup
sempurna. Selain itu Staphylococcus aureus juga dapat masuk
melalui luka akibat potong kuku, paruh, jengger atau jari.
 Berbagai penyakit imunosupresif, misalnya gumboro, Marek’s
Disease (MD) bentuk ringan, dan mikotoksikosis dapat
mendukung timbulnya infeksi Staphylococcus sp.
36
GEJALA DAN LESI

 Masa inkubasi Staphylococcus singkat, antara 1-3 hari dan


penyakit tersebut dapat berlangsung 1-5 minggu.
• Staphylococcus dapat ditemukan dalam 3 bentuk, yaitu
1. Akut (septicaemia)
2. Kronis (arthritis)
3. Bumble foot (Abses subdermal)

37
2. Kronis (arthritis)
• Biasanya mengikuti bentuk akut
• Dijumpai adanya kelumpuhan, bursitis sternalis, dan kesakitan
sewaktu berjalan
• Ayam malas bergerak, cenderung bertumpu pada persendian
tarsometatarsus, lamban dan mengalami kekurusan

2. Bumble foot (Abses subdermal)


• Merupakan bentuk infeksi kronis pada kaki
• Masuk melalui luka pada telapak kaki
• Menyebabkan kelumpuhan ayam akibat pembengkakan pada
telapak kaki

38
Bentuk lain :

• Synovitis
• Spondylitis
• Septic sternal bursitis
• Gangrene dermatitis
• Omfalitis
• Infeksi yolk sac
• Osteomielitis

39
Bumble foot

40
DIAGNOSIS
 Diagnosis awal didasarkan pada gejala klinis dan perubahan
patologis yang terjadi
 Diagnosis akhir dilakukan dengan cara isolasi dari aliran darah
atau dari persendian-persendian yg terinfeksi dari unggas atau
burung-burung yg sakit dan identifikasi bakteri penyebab
penyakit tersebut
 Bahan untuk isolasi dapat berasal dari eksudat pada
persendian, isi yolk sac, hati, limpa, dan pulmo
 Medium yg dipakai adalah agar darah
 Patogenitas dari organisme yg diisolasi harus ditentukan oleh
tes koagulase dan keberadaan jenis toksiknya
 Hati-hati, Staphylococcosis dapat keliru dengan infeksi E. coli,
P.multocida, S.gallinarum, virus Viral arthritis, dan
Mycoplasma synoviae
PENGENDALIAN
 Pengobatan
 Uji sensitifitas antibiotika dibutuhkan, karena sering timbul
resistensi antibiotika terhadap S.aureus tersebut
 Jenis antibiotika yg banyak digunakan tetrasiklin, eritromicin,
doksisiklin, penicillin, ampicillin, linkomisin, novobiosin, dan
spektinomisin
 Sanitasi, desinfeksi pada inkubator, lingkungan perlu dilakukan
secara optimal untuk menghindari infeksi Staphylococcus
aureus, pada anak ayam yg baru menetas
 Pencegahan penyakit imunosupresif perlu dilakukan secara
ketat untuk mencegah kejadian Staphylococcosis
 Vaksinsi terhadap infeksi Staphylococcus aureus belum
dilakukan, karena belum ditemukan vaksin yg efektif .

Anda mungkin juga menyukai