Anda di halaman 1dari 42

SALEP MATA

1. Definisi

Menurut FI IV, salep mata adalah salep yang digunakan pada mata, di mana sediaan
dibuat dari bahan yang sudah disterilkan dengan perlakuan aseptik yang ketat serta memenuhi
syarat uji steril. Salep mata adalah salep yang digunakan pada mata. Pada pembuatan salep
mata harus diberikan perhatian khusus. Sediaan dibuat dari bahan yang sudah disterilkan
dengan perlakuan aseptik yang ketat serta memenuhi syarat uji sterilitas (Anonim, 1995, hal:
12).

Salep mata adalah salep yang digunakan pada mata. Pada pembuatan salap
mata harus diberikan perhatian khusus. Sediaan dibuat dari bahan yang sudah
disterilkan dengan perlakuan aseptik yang ketat serta memnuhi syarat uji sterilitas. Bila bahan
tertentu yang digunakan dalam formulasi salap mata tidak dapat disterilkan dengan cara
biasa, maka dapat digunakan bahan yang yang memenuhi syarat uji sterilitas dengan
pembuatan secara aseptik. Salep mata mengandung bahan atau campuran bahan yang sesuai
untuk mecegah pertumbuhan atau memusnahkan mikroba yang mungkin masuk secara
tidak sengaja bila wadah dibuka pada waktu aplikasi penggunaan, kecuali dinyatakan lain
dalam monografi, atau formulanya sendiri sudah bersifat bakteriostatik. (Goeswin, 2009)

Obat biasanya dipakai untuk mata untuk maksud efek lokal pada pengobatan bagian
permukaan mata atau pada bagian dalamnya. Yang paling sering digunakan adalah larutan
dalam air, tapi bisa juga dalam bentuk suspensi, cairan bukan air dan salep mata. Berbeda
dengan salep dermatologi salep mata yang baik yaitu :

a. Steril

b. Bebas hama/bakteri

c. Tidak mengiritasi mata

d. Difusi bahan obat ke seluruh mata yang dibasahi karena sekresi cairan mata.

e. Dasar salep harus mempunyai titik lebur/titik leleh mendekati suhu tubuh (Ansel,1989)

2. Keuntungan dan kerugian

Salep mata bekerja pada kelopak mata, kelenjar sebasea, konjungtiva, kornea dan iris.
Penggunaan salep mata ini memiliki keuntungan dan kerugian diantaranya adalah:
a. Keuntungan

1) Dapat memberikan bioavailabilitas lebih besar daripada sediaan larutan dalam air yang
ekuivalen.

2) Onset dan waktu puncak absorbsi yang lebih lama.

3) Waktu kontak yang lebih lama sehingga jumlah obat yang diabsorbsi lebih tinggi.

b. Kerugian

1) Dapat menggangu pengelihatan, kecuali jika digunakan saat akan tidur

2) Dari tempat kerjanya yaitu bekerja pada kelopak mata, kelenjar sebasea, konjungtiva,
kornea dan iris.

3. Basis salep mata

Dasar salep pilihan untuk salep mata harus tidak mengiritasi mata dan harus
memungkinkan difusi bahan obat ke seluruh mata yang dibasahi karena sekresi cairan mata.
Dasar salep mata yang digunakan juga harus bertitik lebur yang mendakati suhu tubuh.
Dalam beberapa hal campuran dari petroletum dan cairan petrolatum (minyak mineral)
dimanfaatkan sebagai dasar salep mata. Kadang-kadang zat yang bercampur dengan air seprti
lanolin ditambahkan kedalamnya. Hal ini memungkinkan air dan obat yang tidak larut dalam
air bartahan selama sistem penyampaian (Ansel,1989).

Oculenta, sebagai bahan dasar salep mata sering mengandung vaselin, dasar absorpsi
atau dasar salep larut air. Semua bahan yang dipakai untuk salep mata harus halus, tidak enak
dalam mata. Salep mata terutama untuk mata yang luka. Harus steril dan diperlukan syarat-
syarat yang lebih teliti maka harus dibuat saksama. Syarat oculenta adalah:

a. Tidak boleh mengandung bagian-bagian kasar.

b. Dasar salep tidak boleh merangsang mata dan harus memberi kemungkinan obat
tersebar dengan perantaraan air mata.

c. Obat harus tetap berkhasiat selama penyimpanan.

d. Salep mata harus steril dan disimpan dalam tube yang steril (Anief, 2000, hal:
117).
2. Metode – metode sterilisasi ( 2 pustaka )

A. Menurut Scoville’s hal : 404

1. Sterilisasi Fisik

1) Pemanasan kering.

a) Udara panas oven.

Bahan yang karateristik fisiknya tidak dapat disterilkan dengan uap destilasi dalam
udara panas. Oven yang termasuk dalam bahan ini adalah minyak
lemak, paraffin, petrolatum cair, gliserin, propileglikol. Serbuk steril seperti talk, kaolin dan
ZnO, beberapa obat yang lain sebagai tambahan sterilisasi panas kering adalah metode yang
paling efektif untuk alat-alat dan banyak alat-
alat bedah ini harus di tekankan bahwa minyak lemak, petrolatum, serbuk kering dan bahan
yang sama tidak dapatdi sterilisasi dalam autoklaf. Salah satu elemen penting dalam
sterilisasi dengan menggunakan uap autoklaf. Suhu yang biasa di gunkan pada sterilisai panas
kering 160°C paling cepat 1 jam tapi lebih baik 2 jam, suhuini di gunakan secara khusus
untuk sterilisasi minyak lemakatau cairan anhidrat lainnya.

b) Penangas minyak dan lainnya

Bahan kimia yang stabil dalam ampul bersegel dapatdi sterilisasi dengan
mencelepukanya dalam penangas yang berisi minyak mineral pada suhu 162°C larutan jenuh
panas dari natrium atau ammonia klorida dapat juga digunakan sebagai pasteurisasi ini
merupkan metode yang mensterilisasi alat-alat bedah. Minyak dikatakan bereaksi sebagai
lubrikan, untuk menjaga alat tetap tajam, dan untuk melihat zat penutup.

c) Pemijaran langsung

Pemijaran langsung digunakan untuk melestarikan spatula logam, batang gelas, filter
logam bekerfield dan filter bakteri lainnya. Dalam semua kasus bagian
yang paling kuat 20 detik. Dalam keadaan darurat amul dapat disterilisasi dengan
mempasiskan bagian leher ampul kearah bawah lubang kawat keranjang dan dipijarkan
langsung.

2) Panas Lembab.

a) Uap bertekanan
Penggunaan uap bertekanan atau metode sterilisasi yang paling umum memuaskan
efektif yang ada. Merupakan metode yang di inginkan untuk sterilisasi larutan yang di
tujukan untuk infeksi pada tubuh, pembawa sediaan mata, bahan gelas. Untuk penggunaan
darurat, pakaian dan alat kesehatan.

Kerugian yang paling prinsip dari penggunaan uap ini adalah ketidaksesuaiannya
untuk penggunaan bahan-bahan sensitif. Metode ini tidak dapat digunakan untuk sterilisasi
misalnya produk yang di buat dari basis minyak dan serbuk. Metode ini mampu membunuh
mikroorganisme pada suhu 120°C dan dalam
waktu ½ menit dapat menghancurkan spora vegetatif yang tahan terhadap pemanasan tinggi.

b) Uap panas pada 100°C

Uap panas pada suhu 100°C dapat di gunakan


dalam bentuk uap air mengalir atau air mendidih. Metode ini mempunyai keterbatasan
penggunaan uap mengalir dilaukan dengan proses sterilisasi bertingkat untuk mensterilkan
media kultur.Metode ini jarang memuaskan untuk larutan yang mengandung bahan-bahan
karena sporasering gagal tumbuh di bawah kondisi ini, bentuk vegetatifdari kebanyakan
bakteri yang tidak membentuk spora, temperatur suhu titik mati bervariasi tetapi tidak ada
bentuk non spora yang bertahan. Dalam prakteknya 2 metode uap mengalir digunakan, suatu
perpanjangan pemaparan uap selama 20-60 menit akan membunuh semua bentuk vegetatif
bakteri.

c) Pemanasan dengan bakterisida

Penggunaan dengan cara ini menghadirkan aplikasi khusus daripada uap


panas pada 100°C, adanya bakterisida sangat meningkatkan efektivitas metode ini, metode ini
digunakan untuk larutan berair atau suspensi obat yang tidak stabil pada temperature yang
biasa diterapkan pada autoklaf.

Larutan yang ditumbuhkan bakterisida ini di panaskan dalam


wadah bersegel pada suhu 100°C selama 20 menit dalam pensterilisasi uap atau penangas air,
bakterisida yang dapat digunakan termasuk 0,5%, fenol 0,5%, klorbutanol 0,2%,kresol
0,002%. Larutan dosis tunggal lebih dari 15ml larutan obat untuk injeksi intratekal atau
gastrointestinal sehingga tidak di buat metode ini.

d) Air mendidih
Penangas air mendidih mempunyai kegunaan yang sangat banyak dalam sterilisasi jarum
spoit, penutup karet dan alat bedah. Bahan-bahan ini tertutupi oleh air mendidih dan harus
mendidih kurang lebih 20 menit, setelah sterilisasi bahan-bahan dipindahkan dan air dengan
pinset yang telah disterilkan menggunakan pemijaran untuk meningkatkan efisiensi
pensterilan dari air 5% fenol, 1-2% Na-carbonat atau 2-
3% larutan kresol tersaponifikasi yang menghambat bahan-bahan logam.

3) Cara Bukan Panas ( Lachman : 628 )

a. Sinar Ultra Violet

Sinar ultra violet umumnya digunakan untuk mengurangi kontaminasi di udara dan
pemusnahan selama proses dilingkungan, aksi letal ketika sinar UV melewati bahan, energi
bebas ke elektron orbital dalam atom-atom dan mengubah ke area kereaktifannya.

b. Sterilisasi Secara Kimia

Sterilisasi gas adalah cara menghilangkan mikroorganisme dengan menggunakan gas


atau uap yang membunuh mikroorganisme dan sporanya sterilisai iniadalah fenomena
permukaan dan mikroorganisme occluded dengan Kristal akan di bunuh, cara ini di gunakan
untuk mensterilkan obat serbuk seperti penicillin, juga telah digunakan untuk sterilisai
benang, plastic, tube. Penggunaan etilen oksida juga untuk sterilisasi akhir peralatan
parenteral tertentu seperti kertas, kraf dan lapisan tipis polietilen. Semprotan aerosol etilen
oksida telah digunakan untuk mensterilkan daerah sempit di mana dilakukan teknik aseptik.

2. Sterilisasi Cara Mekanik

Sterilisasi dengan filter bakteri digunakan untuk larutan farmasetik atau bahan biologi
yang di pengaruhi oleh pemanasan, berbeda dengan filtrasi lainnya. Filtrasi bakteri ditujukan
untuk filtrasi bebas bakteri. Metode sterilisasi ini membutuhkan penggunaan teknik aseptik
yang benar. Sediaan obat yang disterilkan dengan metode ini membutuhkan penggunaan
bahan bekteriostatik kecuali diarahkan lain.

B. Menurut Dasar-dasar mikrobiologi farmasi hal : 1901)

1) Perlakuan Fisik

Untuk membunuh mikroorganisme atau jasad renik dapatdigunakan beberapa perlakuan


fisik misalnya dengan pemanasan basah, pemanasan kering, radiasi, dan lain-lain.
2) Pemanasan basah

Beberapa cara pemanasan basah yang dapat membunuh mikroorganisme, karena panas basah
dapat menyebabkan denaturasi protein, termasuk enzim-enzim dalam selmikroorganisme.

3) Pemanasan kering

Pemanasan kering sering digunakan dalan sterilisasi alat–alat gelas dalam laboraturium
dimana digunakan oven suhu 160-180°c selama 1,5-2 jam dengan sistem udara statis.

4) Radiasi

Radiasi UV menyebabkan kesalahan dalam replikasi DNA dan mempunyai aktivitas


muktagenik pada sel-sel yang masihhidup.

5) Sterilisasi secara kimia

Sterilisasi gas merupakan cara untuk menghilangkan mikroorganisme atau uap yang
membunuh mikroorganisme dan sporanya cara ini sering di sebut disinfeksi dan aktiseptik,
bahan kimia ini menimbulkan pengaruh yang lebih selektif terhadap mikroorganisme dimana
sterilisasi dengan gas berjalan lambat, wakru sterilisasi tergantung pada keberadaan
kontaminasi,kelembaban temperatur dan konsentrasi dari gas etilenoksida.Konsentrasi
minimum adalah 450 mg /1 pada 27 psi.

6) Sterilisasi secara mekanik

Cara-cara penyaringan telah banyak digunakan untuk mensterilkan medium laboratorium


dan larutan-larutan yang dapat mengalami kerusakan jika dipanaskan ukuran penyaring pori-
pori 0,45 mickron /-. Mekanisme filtrasi bakteri adalah kompleks.Filter dengan pori lebih
kecil menghilangkan bakteri tetapi beberapa filtrasi sangat lambat.

7) Filter seitz

Dibuat dari bahan asbes yang di jepit pada dasar wadah besi,keuntungan dari filter ini
adalah lapisan filter yang dapat di buang setelah digunakan dan masalah pembersih hanya
berkurang. Filter ini mampu dengan volume dari 30 ml hingga lebih dari 100 ml, kerugian
pertama dari filter ini adalah cenderung memberikan komponen magnesium pada filtrat
kedua permuakaan saat lapisanfilter membuat larutan tidak cocok untuk injeksi.

8) Filter swinny
Mempunyai alat terkhusus yang terdiri dari lapisan
asbes, bersama dengan screen dan pencuci, utamanya untuk digunakan filter swinny
dibungkus dengan kertas dan di autoklaf. Bagian yang dipasang dihubungkan pada spoit luer
lola dan cairan dimasukkan melalui disk asbes dengan menggunakan tekanan pada saluran
spoit.

9) Filter Fritted-glass

Disusun dari dasar serbuk, tombol bulat dari gelas digabung bersama dengan penggunaan
panas untuk menentukan sebelumnya ukuran dalam bentuk disk.

10) Filter Berkefeld dan Mendler Tes

Bentuk tube filter pembanding ini yang dihubungkandengan dasar logam dan saluran
keluar tube adalah sama padakeduanya. Di buat dari silikat murni, asbes dan kalsium sulfat.
PORTOFOLIO

PRAKTIKUM FORMULASI SEDIAAN STERIL

SALEP MATA

1. Formulasi:

CHLORAMPHENICOLI OCULENTUM

Komposisi :

Tiap 1 gram mengandung

Chlorampenicolum 10 mg

Oculentum simplex hingga 1gram

Nipagin 0,1

Catatan :

Oculentum simplex terdiri dari

Setil alkohol 2,5gram

Adeps lanae 6gram

Parafin cair 40gram

Vaselin flavum ad 100gram

2. Monografi Bahan
a. Adeps Lanae FI III hal 61
Pemerian : Zat serupa lemak, liat, lekat, kuning muda atau kuning pucat, agak tembus
cahaya, bau lemah dan khas.
Kelarutan : Praktis tidal larut dalam air, agak sukar larut dalam etanol , mudah larut
dalam kloroform p dan dalam eter p.
Jarak lebur : 360C – 420C
Khasiat : Zat tambahan sebagai basis hidrofobik
b. Chlorampenicol palmitat FI III hal 145
Pemerian : Serbuk hablur halus, licin, putih, bau lemah, rasa tawar
Kelarutan : Praktis tidak larut dalam air, larut dalam 45 bagian etanol, dalam 6 bagian
kloroform p dan dalam 14 eter p
Jarak lebur : 1490C - 1530C
pH : 4,5 – 7,5
Stabilitas kloramfenikol : dalam basis salep juga telah diteliti. Itu ditemukan lebih stabil
dalam minyak dalam air emulsi basis daripada air dalam minyak dasar, dan stabilitas
lebih baik dalam basis yang mengandung adeps lanae dibandingkan dengan setil alcohol.
Khasiat : Antibiotikum
c. Paraffinum liquidum FI III hal 474
Pemerian :Kental, transparan, tidak berfluoresensi, tidak berwarna, hampir tidak berbau.
Hampir tidak mempunyai rasa.
Kelarutan : Praktis tidak larut dalam air dan dalam etanol, larut dalam kloroform.
Khasiat : Laksativum.
d. Setil Alkohol FI IV hal 72
Pemerian : Serpihan putih, licin, granul, atau kubus, putih, bau khas lemah, rasa lemah.
Kelarutan : tidak larut dalam air, larut dalam etanol, dan dalam eter, kelarutan bertambah
dengan naiknya suhu.
Jarak Lebur : 45℃-50℃
Stabilitas : Stabil dengan adanya asam,alkali,cahaya,udara,tidak menjadi tengik,harus
disimpan ditempat yang sejuk dan kering.
e. Vaselin Flavum FI III hal 633
Pemerian : Massa lunak, lengket, bening, kuning muda, sampai kuninh, sifat ini tetap
setelah zat dileburkan dan dibiarkan hingga dingin tanpa diaduk. Berfluoresemsi lemah,
juga jika dizairkan, tidak berbau, hampir tidak berasa.
Kelarutan : Praktis tidak larut dalam air, dan alam etanol, larut dalm kkloroform dalam
eter minyak tanah.
Titik lebur /titik leleh : 36-60
Stabilitas : Vaselin Kuning adalah bagian stabil darikomponen hidrokarbon alam non-
reaktif, banyak masalah stabilitas terjadikarena adanya sejumlah kecil kontaminan.
Vaselin dapat disterilisasi menggunakan panas. Walaupun Vaselin Kuning dapat
disterilisasi dengan radiasi sinar gamma, proses ini berpengaruh kepada fisik vaselin
Kuning seperti swelling, perubahan warna, bau, dan sifat rheologi.

Khasiat : Zat tambahan sebagai basis.

3. PERHITUNGAN BAHAN

a. Chlorampenicol 10mg

= 0,01 gram ÷ 1 gram × 10 gram

= 0,1 gram

b. Setil alkohol 2,5 gram


= 0,025 gram ÷ 1 gram × 10 gram

= 0,25 gram

c. Adeps lanae 6 gram

= 0,06 gram ÷ 1 gram × 10 gram

= 0,6 gram

d. Nipagin 0,1

= 0,1 % × 10 gram

= 0,1 gram

e. Paraafin liquidum 40 gram

= 0,4 gram ÷ 1 gram × 10 gram

= 4 gram

f. Vaselin flavum ad 100 gram

= 1 gram ÷ 1 gram × 10 gram

= 10 gram - ( 0,1 gram + 0,05 gram + 0,25 gram + 0,6 gram + 4 gram )

= 10 gram - 5 gram

= 5 gram

4. Komposisi yang di buat dalam 10 gram :

1. Chlorampenicol 0,1 gram


2. Setil alkohol 0,25 gram
3. Adeps lanae 0,6 gram
4. Paraffin liquidum 4 gram
5. Vaselin flavum 5 gram

Perhitungan Dapar

Kapasitas dapar borat pH 7 untuk volume salep mata 10g

H3BO3 1,9%=
Na2B4O.H2O 2,6%=
Timbang masing-masing bahan dan dilarutkan masing-masing ad 10 g.
Diperoleh 2 larutan @10ml H3BO3 & Na2B4O.H2O
Diambil 9 ml lar. H3BO3 1,9% dan 1 ml lar. Na2B4O.H2O 2,6%
Diperoleh campuran keduanya lar. Dapar borat pH 7 sebanyak 10ml
Ditambahkan pada sediaan steril dengan menggantikan sisa air yang diperoleh setelah
melarutkan zat tertentu dalam formula
5. Alat dan Bahan :

a. Alat :

1. Timbangan analitik
2. Lap/tissue
3. Mortir- stamper 1
4. Sudip 2
5. Perkamen
6. Pot salep 1
7. Pipet tetes 1
8. Sendok Tanduk 1
9. Spatel logam 1

b. Bahan :

1. Chlorampenicol 0,1 gram


2. Setil alkohol 0,25 gram
3. Adeps lanae 0,6 gram
4. Paraffin liquidum 4 gram
5. Vaselin flavum 5 gram
6. Prosedur Kerja :
A. Prosedur Sterilisasi

1. Chlorampenicol disterilisasikan dengan pemanasan kering, Pemanasan kering. Sediaan


yang akan disterilkan dimasukkan ke dalam wadah kemudian ditutup kedap atau
penutupan ini dapat bersifat sementara untuk mencegah cemaran. Jika volume tiap
wadah lebih dari 30 ml, panaskan pada suhu 150℃ selama 1 jam. Jika mencapai suhu
150℃.

B. Prosedur Pembutan :
1. Disiapkan alat dan bahan
2. Dilakukan sterilisasi awal yang dikerjakan secara aseptis
3. Ditimbang vaselin flavum 5 gram, paraffinum liquidum 4 gram, setil alkohol 0,25
gram
4. Disiapkan 2 cawan, cawan pertama diberi vaselin flavum dan setil alkohol, dan cawan
kedua di beri paraffin liquidum
5. Dimasukkan kedalam oven dengan suku 150℃ ditunggu ± 30 menit hingga seluruh
bahan meleleh
6. Ditimbang chlorampenicol 0,1 gram dan hydrocortison 0,05 gram , digerus kedalam
mortir steril (dengan cara memberi mortir dan stamper sedikit alkohol kemudian
dibakar dengan api)
7. Diangkat cawan-cawan yang berisis bahan basis dan pengikat, kemudian di masukan
kedalam mortir yang berisi choramphenicol dan hydrocortison.
8. Dicampur sampai homogen
9. Di masukkan kedalam tube

7. Evaluasi Sediaan :
Uji evaluasi meliputi uji organoleptis, homogenesis, berat jenis larutan, viskositas
pemeriksaan Ph, uji volume terpindahkan.
1. Uji Organoleptis
Prosedur kerja :

No. Langkah kerja


1. Diamati warna dari sediaan
2. Dicium bau dari sediaan
3. Diamati dan tulis akhirnya

2. Uji Homogenitas
Prosedur kerja :

No. Langkah Kerja


1. Mengamati sediaan dalam mortir
2. Amati dan catat hasilnya

3. Uji Pemeriksaan Ph
Prosedur kerja :

No. Langkah Kerja


1. Ambil sediaan sebanyak +- 2Ml
2. Letakkan pada kaca arloji, lalu letakkan indicator universal diatasnya
3. Amati dan catat hasilnya

4. Uji Kebocoran

Prosedur kerja:

No. Langkah Kerja


1. Ambil tube salep mata, bersihkan permukaan luar tiap tube dengan
kertas penyerap.
2. Letakkan tube di atas loyang posisi horizontal.
Masukkan ke dalam oven diamkan selama 1 jam, suhu 60° ± 3°.
3. Tidak boleh terjadi kebocoran (kertas penyerap harus tetap kering).
Hasil pengujian: kertas penyerap menjadi berminyak disebabkan isi
salep yang keluar melalui bagian lipatan tabung. Dan ini diabaikan.
Tube tidak bocor.

5. Uji Daya Sebar

No. Langkah Kerja


1. Ditimbang 0,5 gram salap mata.
2. Diletakkan hati-hati diatas kertas grafik yang dilapisi plastic
transparan.
3. Dibiarkan 60 detik dan luas daerah yang diberikan oleh sediaan
dihitung kemudian ditutup lagi dengan plastik yang diberi beban
tertentu masing-masing 50 gram, 100 g,dan 150 g.
4. Dibiarkan selama 60 detik pertambahan luas yang diberikan oleh
sediaan dapat dihitung

6. Uji Daya Lekat

No. Langkah Kerja


1. Diletakkan sediaan salap mata pada 2 kaca objek yang telah
ditentukan
2. Ditekan dengan beban 1 kg selama 5 menit
3. Dipasang alat test beban, diberikan beban 80 gram dan kemudian
dicatat waktu pelepasan dari gelas objek.

7. Uji Viskositas

No. Langkah Kerja


1. Prosedur kerja menggunakan alat viskometer ostwold dan
Viskometer Ubbelohde
TETES MATA
1. Definisi Sediaan Tetes Mata
Tetes mata adalah sediaan steril yang berupa larutan atau suspensi yang digunakan
dengan cara meneteskan obat pada selaput lendir mata disekitar kelopak mata dari bola
mata.DOM Martin : 880Tetes mata adalah seringkali dimasukkan ke dalam mata yang
terluka atau kecelakaan atau pembedahan dan mereka kemudian secara potensial lebih
berbahaya daripada injeksi intavena. (FI III; hal 10)
Dengan definisi resmi larutan untuk mata adalah larutan steril yang dicampur dan
dikemas untuk dimasukkan dalam mata. Selain steril preparat tersebut memerlukan
pertimbangan yang cermat terhadap faktor-faktor farmasi seperti kebutuhan bahan
antimikroba, isotonisitas, dapar, viskositas dan pengemasan yang cocok (Ansel)
Larutan obat mata adalah larutan steril, bebas partikel asing, merupakan sediaan
yang dibuat dan dikemas sedemikian rupa hingga sesuai digunakan pada mata.
Pembuatan larutan obat mata membutuhkan perhatian khusus dalam hal toksisitas
bahan obat, nilai isotonisitas, kebutuhan akan dapar, kebutuhan akan pengawet (dan jika
perlu pemiliha pengawet) sterilisasi dan kemasan yang tepat. Perhatian yang sama juga
dilakukan untuk sediaan hidung dan telinga. ( FI IV; hal 12)

1. Persyaratan Sediaan Tetes Mata


1. Nilai isotonitas
Cairan mata isotonis dengan darah yang mempunyai nilai isotonitas sesuai larutan
Natrium Klorida 0,9%
2. Pengedapan
Air mata normal memiliki PH kurang lebih 7,5 oleh karena itu sistem dapar harus
dipilih sedekat mungkin dengan PH fisiologis
3. Steril
Untuk zat aktif tahan panas, sterilisasi akhir dengan autoklaf . jika memungkinkan
penyaringan membran
4. Pengawetan
Untuk cuci mata takaran ganda
5. Persyaratan lain adalah jernih (FI IV, Hal 13)

2. Keuntungan dan kerugian

1. Keuntungan
Tidak menganggu penglihatan ketika digunakan USP XXI menggambarkan 48
larutan mata. Dengan definisi, semua bahan-bahan adalah lengkap dalam larutan,
keseragaman tidak menjadi masalah, hanya sedikit pengaruh sifat fisika dengan
tujuan ini. Salep mata umumnya menghasilkan bioavailabilitas yang lebih besar
daripada larutan berair. (RPS 18 th : 1584)
2. Kerugiaan
Kerugian yang prinsipil dari larutan mata adalah waktu kontak yang relatif singkat
antara obat dan permukaan yang terabsorsi. (RPS 18 th : 1585)

3. Penggolongan tetes mata berdasarkan khasiatnya:


1. Golongan obat tetes mata Anti septik dan Anti infeksi
Obat mata golongan antiseptik dan antiinfeksi digunakan pada gangguan
mata karenaadanya infeksi oleh mikroba, masuknya benda asing ke dalam
kornea mata atau kornea mataluka/ulkus. Kebanyakan infeksi mata superfisial
akut dapat diobati secara topikal. Blefaritisdan konjungtivitis sering
disebabkan oleh stafilokokus; sedangkan keratitis dan endoftamitismungkin
bisa disebabkan oleh bakteri, virus, atau jamur. Blefaritis bakterial dapat
diobatidengan pemberian salep mata antibakteri di kantung konjungtiva atau
di pelupuk mata.Hampir semua kasus infeksi konjungtiva akut dapat sembuh
dengan sendirinya.Antibakteri tetes mata atau salep mata digunakan bila
diperlukan tindakan pengobatan.Respons yang kurang baik terhadap
pemberian obat menunjukan konjungtivitis kemungkinandisebabkan oleh virus
atau alergi.Konjungtivitis gonokokus diobati dengan antimikroba sistemik dan
topikal.Sementara itu, ulkus kornea dan keratitis perlu penanganan oleh dokter
spesialis dan mungkinmembutuhkan penggunaan antimikroba subkonjungtival
atau sistem. Endoftalmitis adaah kedarurata medik yang juga membutuhkan
penatalaksanaan olrh dokter spesialis dan sering membutuhkan pengobatan
mengunakan anti biotik parental, sub-konjungtival atau sistemik. Kandungan
obat antiseptik dan anti infeksi mata selain pembawa yang harus steril dan
inert (tidak menimbulkan efek pada mata atau tidak tidak bereaksi dengan zat
aktifnya) dalam bentuk tete mata atau salep, juga zat aktifnya merupakan
antibiotik atau antiseptik dengan berbagai golongan. Obat anti ainfeksi untuk
mata dibagi lagi dalam beberapa bagian yakni antibakteri,antijamur, dan anti
virus, yang masing-masing golongan tersebut ada spesialisasi tersendiri
khusus untuk obat –obatnya.
Golongan senyawa obat khusus untuk antibakteri dan antijamur yakni:
asam fusidat,firamisetin sulfat, gentamisin, kloramfenikol, levofloksasin,
neomisin sulfat, polimiksin Bsulfat, ciprofloxacin, tobramisin, dibekasin,
oxitetrasiklin, sulfasetamid, dan tetrasiklin.Sementara golongan senyawa obat
yang termasuk antivirus yakni: asiklovir dan idoksuridinuntuk infeksi herpes
simpleks seperti ulcer kornea.
Contoh: gentamisin, ciproflaxasin, kloramfesnikol

2. Golongan obat tetes mata Kortikosteroid


Kortikosteroid yang digunakan secara lokal (seperti tetes mata, salep
mata, atau injeksi subkonjungtival) atau secara oral dan sistemik memiliki
peranan penting dalam pengobatan inflamasi segmen anterior, termasuk yang
disebabkan oleh pembedahan. Tiga risiko yang berhubungan dengan
penggunaan kortikosteroid yakni: mata merah, glaukoma steroid dan katarak
steroid. Peradangan pada mata sering juga disebabkan oleh infeksi bakteri,
virus, jamur dan alergi. Gejala yang dirasakan pasien misalnya mata berair dan
gatal, tampak kemerahan, adanya secret/kotoran mata, silau, buram atau
kelopak mata bengkak. Pengobatan bergantung kepada penyebabnya dapat
berupa antibiotika,anti inflamasi, anti alergi, anti jamur dan antivirus. Sediaan
lain yang digunakan untuk pengobatan topikal inflamasi dan konjungtivitis
alergi meliputi antihistamin, lodoksamid dan natrium kromoglikat. Sediaan
topikal antihistamin seperti tetes mata yang mengandung antazolin sulfat,
ketotifen, levokasbatin, dan olopatadin dapat digunakan untuk konjungtivitis
alergi. Tetes mata natrium kromoglikat mungkin berguna untuk
keratokonjungtivitis vernal dan konjungtivitis alergi lainnya. Tetes mata
lodoksamid digunakan untuk konjungtivitis alergi termasuk yang musiman.
Tetes mata diklofenak juga digunakan untuk konjungtivitis alergi musiman.
Contoh: Betametason, deksametason, tetrizolin

2.1 Golongan obat tetes mata Midriatik


Digunakan untuk memperlebar pupil mata, biasanya digunakan bila akan
dilakukan pemeriksaan pada mata untuk melihat detail mata. Tetes mata
midriatik secara temporer akan menstimulasi pelebaran otot iris pada mata.
Midriatik biasa digunakan untuk alasan berikut ini:
1. Relaksasi otot lensa mata dalam melakukan fokus mata.
2. Dalam operasi mata untuk menghindari luka gores dengan memperlebar
pupil mata (misal: operasi katarak).
3. Untuk menghindari operasi katarak pada penderita katarak kecil yang
masih kecil.
4. Post operatif Glaukoma.
5. Pada anak-anak penderita amblyopia (mata malas), midriatik digunakan
sebagai terapi untuk memburamkan pandangan mata agar otak anak
terstimulasi.

Antimuskarinik melebarkan pupil dan melumpuhkan otot siliaris;


keduanya berbeda dalam potensi dan lama kerja. Midriatik yang relatif lebih
lemah, kerja singkat, seperti tropikamid 0.5%, digunakan untuk funduskopi.
Penggunaan Midriatik menyebabkan pelebaran pupil mata sehingga lebih
sensitif terhadap cahaya. Oleh sebab itu selain obat penggunaan kacamata UV
juga dapat membantu. Berikut beberapa golongan senyawa obat yang
termasuk obat mata midriatik dan sikloplegik: antimuskarinik (atropin sulfat,
siklopentolat HCL, homatropin HBr, Tropikamid), simpatomimetik (fenilefrin
HCL).
Contoh: atropin sulfat, tropikamida
2.2 praformulasi dan formulasi
2.2.1 Preformulasi
Praformulasi terdiri dari kata pre yang artinya sebelum dan formulasi yang
artinya perumusan atau penyusunan. Praformulasi adalah tahap awal dalam
rangkaian proses pembuatan sediaan farmasi yang berpusat pada karakteristik/sifat-
sifat fisika kimia dari zat aktif dimana dapat mempengaruhi penampilan obat dan
perkembangan suatu bentuk sediaan farmasi.
Tujuan dari proses praformulasi adalah membuat sediaan yang mantap baik
secara fisika (tidak ada endapan), kimia, mikrobiologi, farmakologi dan sterilitas.
(Dhadhang wahyu kurniawan,2009)
Sifat-sifat fisika kimia zat aktif yang dapat mempengaruhi penampilan obat
dan perkebangan suau bentuk sediaan farmasi. Praformulasi melibatkan berbagai
investigasi suatu bahan obat untuk mendapatkan informasi yang berguna, yang
selanjutnya di manfaatkan untuk membuat formulasi sediaan secara fisikokimia
stabil dan secara biofarmasetika sesuai dengan tujuan dan bentuk sediaan.
Formulasi merupakan tahap awal dalam rangkaian proses pembuatan sediaan
farmasi, memiliki beberapa tujuan, yaitu:

1. Praformulasi menggambarkan proses optimasi suatu obat melalui penentuan


atau definisi sifat –sifat fisika dan kimia yang dianggap penting dalam
menyusunformulasi sediaan stabil, efektif, dan aman
2. Data formulasi akan sangat membantu dalam memberikan arah yang lebih
sesuai untuk membuat suatu rencana bentuk sediaan.
2.2.2 Data Preformulasi
Data preformulasi dikumpulkan dan dikaji dari berbagai pustaka yang ada.
Semakin lengkap data yang dikumpulkan akan semakin memudahkan dalam
formulasi. Dengan data yang lengkap, formulasi dapat dilakukan lebih cermat, tepat,
efektif, dan efisien dalam rangka memenuhi tujuan pembuatan sediaan farmasi yang
secara fisikokimia dan biofarmasetika. Data minimal yang harus ada dalam
preformulasi ( mengacu pada monografi Farmakope Indonesia Edisi IV ) antara
lain:
1. Struktur kimia dan karakteristik
2. Bobot molekul
3. Metode analitik
4. Ruahan ( kompresibilitas, observasi mikroskopik )
5. Informasi terapeutik ( dosis, bentuk sediaan yang dibutuhkan, ketersediaan
hayati, produk kompetior )
6. Bahaya potensial
7. Toksikologi
Sebagai data pelengkap dalam preformulasi antara lain :
1. Kompatibilitas interaksi : obat-eksipien
2. Studi pendahuluan in vivo pada hewan, anntara lain :
a. Absorbsi obat
b. Metabolisme
c. Ikatan proten
d. Distribusi
e. Eliminasi

2.2.3 Parameter fisikokimia


Data yang paling utama dan penting dalam preformulasi adalah segala informasi
tentang zat aktif yang berkaitan dengan sifat fisikokimianya. Sehingga sangat perlu
untuk mengetahui parameter fisikokimia yang ada dalam preformulasi, antara lain :
1. Stabilitas kimia
Studi stabilitas preformulasi meliputi bentuk larutan dan keadaan padat
pada beberapa kondisi penangganan : formulasi, penyimpanan, dan pemberian
in vivo. Pengaruh pH terhadap factor stabilitas sangat penting dalam
pengembangan produk,baik untuk bentuk sediaan oral maupun parentera. Obat
sensitive asam yang akan diberikan secara oral harus dilindungi dari suasana
sangat asam seperti asam lambung . Pemilihan dapat dipertimbangkan secara
pertimbangan stabilitas. Cara sterilisasi sediaan parenteral bergantung pada
stabilitas terhadap temperature. Zat dengan stabilitas terbatas terhadap suhu
tinggi harus disterilkan dengan cara lain autoklaf (misalnya
penyaringan,sterilisasi gas, dan lain-lain). Evaluasi terhadap stabilitas kimia
penting sekali dilakukan. Caranya adalah dengan mengembangkan cara
penentuan yang spesifik untuk bahan obat dan hasil uraiannya. Untuk tujuan
spesifik dan kuantitatif digunakan metode HPLC (cara umum di farmakope) .
(Dhadhang wahyu kurniawan,2009)
2. Kelarutan / solubilitas
Kelarutan sangat penting untuk pengembangan larutan yang dapat
disuntikkan baik secara intravena maupun intramuscular. Sediaan dalam
bentuk infus harus jernih, maka bahan-bahan obat/zat yang akan digunakan
untuk membuat infus harus larut sempurna dalam pembawanya.Air
merupakan pelarut yang paling umum digunakan sebagai zat pembawa yang
digunakan dalam formulasi infus. Selain itu, untuk memperoleh kelarutan
yang baik, komponen yang akan digunakan harus memiliki kualitas yang baik.
Kontaminasi fisika dan kimia tidak hanya menyebabkan iritasi ke jaringan
tubuh, tetapi jumlah kontaminasi tersebut juga dapat menyebabkan degradasi
produk sebagai hasil dari perubahan kimia, khususnya selama waktu
pemanasan bila digunakan sterilisasi panas. Adapun pelarut bukan air yang
dipilih harus dengan hati-hati, karena pelarut tersebut tidak boleh bersifat
iritasi, toksik atau terlalu pekat dan juga tidak boleh memberi efek merugikan
pada bahan formulasi lainnya.Pemilihan pelarut seperti itu harus melibatkan
suatu evaluasi sifat-sifat fisiknya seperti kerapatan, viskositas, kemampuan
bercampur dan kepolaran, kestabilan, aktivitas pelarut dan toksisitas. Contoh
pelarut bukan air yang dapat dikombinasi dengan air adalah dioksilan, dimetil-
asetamida, N-(β-hidroksietil )-laktamida, butilen glikol, polietilen glikol 400
dan 600, propilen glikol, gliserin, etil alkohol. Pelarut bukan air yang tidak
dapat bercampur dengan air contohnya minyak lemak, etil oleat, isopropil
miristat, dan benzilbenzoat. .(Dhadhang wahyu kurniawan,2009)
3. Kecepatan disolusi
Menentukan kecepatan disolusi intrinsik obat pada rentang pH cairan
fisiologis sangat penting karena dapat di gunakan untuk memprediksi absorbsi
dan sifat fisikokimia. Uji disolusi menggunakan media cair yang dibuat
kondisinya sama dengan pH cairan fisiologis tubuh . .(Dhadhang wahyu
kurniawan,2009)
4. Konstanta disosiasi
Kebanyakan obat merupakan asam atau basah lemah dan karakter
ionikya berpengaruh penting pada proses transfer melalui sel membrane. Obat
berpenetrasi melewati barir membrane (membrane biologi umumnya bersifat
lipofit) dalam bentuk molekul tidak terdisosiasi untuk konstanta disosiasi
merupakan parameter absorbs obat yang diperlukan untuk penelitian stabilitas
dan solubiltas obat dalam larutan. .(Dhadhang wahyu kurniawan,2009)
5. Koefisien partisi
Koefisien partisi dalam system minyak/ air seperti oktanol/air dan
klorofrom/air merupskan indikasi lipofilisitas obat. Koefisien partisi
digunakan sebagai alat empiric dalam meneliti sifat biologi dan kecepatan
serta jumlah absorbsi obat di saluran cerna.Data koefisien partisi saja belum
cukup untuk meneliti absorbs in vivo. .(Dhadhang wahyu kurniawan,2009)

6. Kristalinitas
Kristalinitas dan struktur internal Kristal bahan aktif dapat
mempengaruhi sifat fisikokimia dan fisikomekanik,mulai dari sifat aliran
sampai stabilitas kimia. Kebiasaan Kristal adalah mendeskripsikan penampilan
luar Kristal (bentuk plat,spatula jarum,tabular,dan prismatic),sedangkan
sturktur internal di deskripsikan dengan susunan molekuker . .(Dhadhang
wahyu kurniawan,2009)
7. Polimorfisme
Polimerfisme adalah kemampuan suatu senyawa mengkristalisasi
dalam bentuk lebih dari suatu jenis kristalin dengan perbedaan kisi internal
dapat menyebabkan perubahan internal dapat menyebabkan perubahan
stabilitas kimia, sifat pengolahan, dan ketersediaan hayati.Masalah yang
terkait dengan polimorfisme terkadang dapat diatasi dengan penambahan
eksipien yang memperkambat transformasi, misalnya metilselulosa untuk
novobiosin (antibiotic yang telah di laporkan memiliki perbedaan signifikan
efek terapiotik antara amorv dan kristalin) .(Dhadhang wahyu
kurniawan,2009)
8. Higroskopisitas
Banyak bahan-bahan obat , terutama bentuk-bentuk garam yang larut
dalam air memiliki kecenderungan mengabsorbsi kelembaban udara . Absorbsi
dan keseimbangan lembab (uap air) dapat tergantung pada kelembaban
udara ,temperature, luas permukaan, paparan, dan mekanisme pengambilan
lemab.Bahan-bahan yang mudah mencair , mengabsorbsi air dalam jumlah
cukup untuk melarut sempurna seperti yang terjadi pada senyawa NaCl pada
kondisi yang lembab.Zat-zat higroskopis yang lain mengabsorbsi air karena
terjadi pembentukan hidrat atau terdapat tempat absorbs yang khusus.Pada
sebagian besar bahan higroskopis , perubahan level lembab dapat sangat
mempengaruhi parameter fisikokimia yang vital,seperti stabilitas kimia ,
kemampuan mengalir (floability), dan kemampuan untuk bercampur
(kompatibilitas). .(Dhadhang wahyu kurniawan,2009)
9. Ukuran partikel
Ukuran pratikel bahan obat mempunyai peranan dalam sediaan farmasi
sebab ukuran partikel mempunyai pengaruh yang besar dalam pembuatan
sediaan obat dan juga terhadap efek fisiologisnya.Untuk sediaan infus harus
memiliki ukuran partikel yang kecil karena sediaan infus pemberiannya
langsung kedalam pembuluh darah vena. Jika terdapat ukuran partikel yang
besar dalam infus maka dikhawatirkan akan terjadi penyumbatan atau
gangguan dalam pembuluh darah. .(Dhadhang wahyu kurniawan,2009

Hal-hal kritis dalam formulasi


Preformulasi yang lengkap akan memudahkan dalam formulasi sediaan
farmasi.Meskipun demikian, tetap harus di perhatikan hal-hal kritis yang dapat
mempengaruhi keberhasilan formulasi suatu sediaan farmasi, antaralain:
 Hal-hal yang berdampak pada kelarutan
 Hal-hal yang berdampak pada kecepatan disolusi
 Hal-hal yang berdampak pada stablitas kimia dan enjimatik
 Kapabilitas absorbsi .(Dhadhang wahyu kurniawan,2009)

1. Monografi bahan :
a. Chloramphenicolum (Kloramfenikol) : FIII Hal 143
 Rumus molekul: C11H12Cl2N2O5
 Berat molekul: 323,13
 Pemerian: Hablur halus berbentuk jarum atau lempeng memanjang; putih
sampai putih kelabu atau kekuningan; tidak berbau; rasa sangat pahit.
Dalam larutan asam lemah, mantap.
 Kelarutan: Larut dalam lebih kurang 400 bagian air dalam 2,5 bagian
etanol (95%) P dan dalam 7 bagian propilenglikol P; sukar larut dalam
kloroform P dan dalam eter P.
 Kegunaan: bahan aktif (Antibiotikum)
 Titik lebur: 149° - 153°
 PH: 4,5-7,5
b. Acidum Boricum (Asam borat ): FIII Hal 49
 Rumus molekul: H3BO3
 Berat molekul: 61,83
 Pemerian: serbuk hablur putih atau sisik mengkilap tidak berwarna :
kasar ; tidak berbau ; rasa agak asam dan pahit kemudian manis
 Kelarutan: larut dalam 20 bagian air, 3 bagian ai mendidih, dalam 16
bagian etanol (95%) P. dan dalam 5 bagian gliserol P.
 Kegunaan: (Antiseptikum ekstern)
c. Natrii Tetraboras (Sodium borat) FIII Hal 427
 Rumus moleklul: Na2B4O7.10H2O
 Berat molekul: 381,37
 Pemerian: Hablur transparan tidak berwarna atau serbuk hablur putih; tidak
berbau. Larutan bersifat basa terhadap fenoltalein. Pada waktu mekar di udara
kering dan hangat, hablur sering dilapisi serbuk earna putih
 Kelarutan: Larut dalam air mendidih dan dalam gliserin, tidak larut dalam
etanol.
 Indikasi: (Antiseptik)
 Aqua Pro Injectione : FIII Hal 97
 Pemerian: Cairan jernih idak berwarna tidak berbau, tidak mempunyai rasa
 Khasiat: Untuk pembuatan injeksi
2. Perhitungan isotonis
1. Isotonis
Isotonis adalah suatu keadaan pada saat tekanan osmosis obat sama dengan
tekanan osmosis tubuh.
a. Metode perhitngan isotonis:
1. Dengan cara penurunan titik beku
Suatu larutan dinyatakan isotonis degan serum atau cairan mata
jika membeku pada suhu -0,52°C. Untuk memperoleh larutan isotonis,
dapat dihitung dengan rumus berikut:
B=

B =B: bobot zat tambahan (NaCl) dalam satuan gram untuk setiap 100 ml
larutan
b1: PTB zat khasiat
b2: PTB zat tambahan (NaCl)
C: konsentrasi dalam satuan % b/v zat khasiat

b. Dengan cara ekuivalen NaCl


Yang dimaksud dengan ekuivalen dengan NaCl (E) adalah jumlah gram NaCl
yang memberikan efek osmosis yang sama dengan 1 g suatu zat terlarut tertentu.
Larutan isotonis NaCl 0,9% b/v artinya 0,9 g NaCl untuk tiap 100 ml NaCl. Jika
bobot NaCl = W x E g, volume isotonis = (w x E)/0,9 x 100, sehingga dapat
dirumuskan:

V’ = (W x E)100/0,9 = (W x
E)111,1
V’: Volume larutan yang sudah isotonis (ml)
W: Bobot zat aktif (gram)
E: Nilai ekuivalen zat aktif
c. Dengan cara faktor disosiasi
Larutan NaCl 0,9% b/v sudah ditetapkan isotonis dengan cairan tubuh.
Tekanan osmosis larutan sebanding dengan jumlah bagian-bagian dalam larutan.
Dalam larutan encer, dapat dikatakan bahwa garam-garam terdisosiasi.
Dari sebuah molekul NaCl terbentuk dua ion. Jadi, faktor disosiasi NaCl adalah 2;
tetapi, sebetulnya lebih tepat adalah 1,8 karena adanya sedikit keseimbangan reaksi.

(fa / Ma) x a
Fa: faktor disosiasi zat-zat yang mendekati keadaan sebenarnya
Ma: Bobot molekul zat
2. Isohidris
• Isohidris adalah suatu keadaan pada saat pH obat sama dengan pH tubuh.
(pH 7,4)
• Isohidris adalah kondisi suatu larutan zat yang pH-nya sesuai dengan pH
fisiologis tubuh sekitar 7,4.
Tujuan Isohidris
• Meningkatkan stabilitas obat, misal injeksi vit C dan injeksi luminal.
• Mengurangi rasa nyeri dan iritasi.
• Dapat pula menghambat pertumbuhan bakteri.
• Meningkatkan aktivitas fisiologis tubuh; garam alkaloid dan vit B1
menghendaki pH 3-4, adrenalin pH 2-3, dan luminal pH lebih dari 8.

1. Pendapat
Larutan dapar seringkali dipakai di bidang farmasi, khususnya dalam
pembuatan larutan obat mata. Dapar dapat juga dipakai dalam penetapan pH
dengan cara kolorimetri dan untuk studi pembuktian yang memerlukan pH yang
konstan. Gifford menyatakan dua macam larutan, pertama larutan yang
mengandung asam borat dan yang kedua larutan yang mengandung monohidrasi
natrium karbonat. Bila kedua larutan itu dicampur dalam berbagai perbandingan
dapat menghasilkan larutan dapar dengan pH kira – kira 5 – 9.
Sebuah sistem dapar yang disebutkan oleh Palitzsch dan di modifikasi oleh
Hind dan Goyan terdiri dari asam borat, natrium borat dan natrium klorida
secukupnya untuk membentuk larutan yang isotonis. Larutan ini digunakan untuk
larutan obat mata yang berada dalam trayek pH 7 – 9.

2. Produksi
a. Definisi sterilisasi
Sterilisasi adalah menghilangkan semua bentuk kehidupan, baik bentuk patogen,
nonpatogen, vegetatif, maupun nonvegetatif dari suatu objek atau material.
b. Metode Sterilisasi
Ada beberapa metode umum yang digunakan dalam proses sterilisasi, yaitu:
1. Destruksi mikroorganisme
Mikroorganisme akan rusak bila terkena panas langsung. Cara
termudah adalah menggunakan api dengan cara membakar peralatan atau
wadah yang akan dipakai. Cara lain adalah dengan mengoksidasi alat
(biasanya gelas) menggunakan bahan kimia berupa asam nitrat pekat, asam
kromat, atau asam sulfat pekat.
2. Inaktivasi (pembunuhan)
Metode inaktivikasi (pembunuhan) mikroorganisme ini merupakan
eliminasi mikroorganisme tanpa perlu menghancurkan sel secara
sempurna. Hal ini dapat dilakukan dengan :
a. Cara panas kering, basah atau uap
b. Cara radiasi
c. Cara kimia

3. Penghilangan secara fisika


Metode meneeeghilangkan mikroorganisme secara fisika adalah
dengan cara penyaringan ( filtrasi ) karena ada beberapa zat ( partikel )
dari cairan dan gas yang tidak dapat dilakukan dengan cara diatas.
4. Macam-macam Sterilisasi
Sterilisasi panas dengan Tekanan atau Sterilisasi Uap (Autoklaf)
Pada saat melakukan sterilisasi uap, kita sebenarnya memaparkan uap
jenuh pada tekanan tertentu selama waktu dan suhu tertentu pada suatu objek,
sehingga terjadi pelepasan energi laten uap yang mengakibatkan pembunuhan
mikroganisme secara ireversibel akibat denaturasi atau koagulasi sel.
Sterilisasi demikian merupakan metode yang paling efektif dan ideal
karena:
a. Uap merupakan pembawa (carrier energi termal paling efektif dan
semua lapisan pelindung luar mikroganisme dapat dilunakan, sehingga
terjadinya koagulasi.
b. Bersifat notoksik, mudah diperoleh, dan relatif mudah dikontrol.
Suhu jenuh uap air (1000C) pada tekanan 1 atmosfir teryata masih
kurang dalam membunuh kuman yang resisten. Oleh karena itu, kita harus
mengupayakan agar suhu jenuh uap ditingkatkan dengan cara meningkatkan
tekanannya. Kemudian, kita dapat melakukannya dalam wadah tertutup rapat
agar dapat tercapai suhu sterilisasi, yaitu 1210C atau lebih. Uap jenuh tidak
dapat berkurang suhunya tanpa menurunkan tekanannya dan sebaliknya.
Dengan demikian, apabila salah satu parameter yang lain pasti diketahui pula.
Pada praktinya, saat uap memasuki chamber mesin sterilisasi, kondisi uap
harus dalam keadaan baik.
Sterilisasi demikian bisa digunakan untuk mensterilisasikan:
Sedian injeksi dan suspensi : 1210C 15 menit
Baju operasi : 1340C 3 menit
Plastik dan karet : disterilkan terpisah dari kontainer
Contoh alat : Petridisk(cawan petri), pinset, scalpel, botol kultur, dan
Erlenmeyer.Alat-alat yang akan disterilkan dimasukkan ke dalam Autoklaf
(alat seperti scalpel, pinset, petridisk (cawan petri) dibungkus terlebih dahulu
dengan menggunakan kertas paying atau untuk botol kultur dan Erlenmeyer
bagian mulutnya ditutup dengan menggunakan aluminium foil).

1. Sterilisasi Panas Kering ( Oven )


Proses sterilisasi panas kering terjadi melalui mekanisme konduksi panas.
Panas akan diabrsorpsi oleh permukaan luar alat yang disterilkan, lalu
merambat kebagian dalam permukaan sampai akhirnya suhu untuk sterilisasi
tercapai. Sterilisasi panas kering biasa digunakan untuk alat-alat atau bahan
dengan uap yang tidak dapat berpenetrasi secara mudah atau untuk peralatan
yang terbuat dari kaca. Pada sterilisasi panas kering, pembunuhan
mikroorganisme terjadi melalui mikroorganisme oksidasi sampai terjadinya
koagulasi protein sel. Karna panas dan kering kurang efektif dalam membunuh
mikroba dari autoklaf maka sterilisasi memerlukan temperatur yang lebih
tinggi dan waktu yang lebih panjang. Sterilisasi panas kering biasa ditetapkan
pada temperatur minimum 160 oC dengan waktu 1 jam untuk alat logam dan
alat gelas. Sebaliknya, untuk larutan minyak atau parafin atau sterilisasi
ditetapkan pada temperatur minimum 150 oC dengan waktu 1 jam.
Sterilisasi panas kering umumnya digunakan untuk senyawa yang tidak efektif
disterilkan dengan autoklaf. Senyawa demikian meliputi minyak lemak,
gliserin, petrolatu, minyak mineral, parafin, dan berbagai serbuk yang stabil
dalam pemanasan seperti ZnO. Sterilisasi panas kering efektif pula untuk
sterilisasi alat-alat gelas dan alat-alat bedah. Metode pilihannya adalah
menggunakan peralatan yang kering (metal) atau wadah yang kering (porselin)
seperti pada pengemasan zat-zat kimia kering (powder) atau larutan bukan air.

Contoh alat : Petridish (cawan petri), Tabung reaksi, Erlenmeyer, Beaker


glassdan gelas lainnya.
Oven dapat mensterilkan barang-barang dengan memanfaatkan aliran udara
panas.Aliran udara panas tersebut didapatkan secara elektrik.Barang-barang
yang di sterilkan oleh oven antara lain cawan petri, labu Erlenmeyer, cawan
petri, tabung reaksi, beaker glass.
2. Sterilisasi Gas atau Etilen Oksida
Sterilisasi gas merupakan pilihan lain yang digunakan untuk sterilisasi alat
yang sensitif terhadap panas. Etilen oksida merupakan senyawa organik
kelompok epoksida dari golongan eter. Etilen oksida berada dalam fese gas
pada suhu diatas 10,75 oC dalam tekanan 1 atm. Etilen oksida membunuh
mikroorganisme melaluimreaksi kimia yang dikenal sebagai reaksi alkilasi.
Umumnya, sterilisasi dengan gas etilen oksida memerlukan waktu 2 – 16 jam.
Ada dugaan bahwa kerja etilen oksida sebagai zat pensteril adalah menganggu
metabolisme sel bakteri.
Kita biasa menggunakan sterilisasi gas dengan etilen oksida untuk
mensterilkan berbagai sediaan enzim tertentu yang tidak tahan panas, antibiotik
tertentu, obat-obat lain, serta alat kedokteran tidak tahan panas seperti alat-alat
endoskopi yang terbuat dari kaca atau kateter.
3. Sterilisasi Radiasi
a. Ultraviolet merupakan gelombang elektromagnetik dengan panjang
gelombang 100-400 nm dengan efek optimal pada 254 nm. Sumbernya
adalah lampu uap merkuri dengan daya tembus hanya 0,01 – 0,2 mm.
Digunakan untuk sterilisasi ruangan pada penggunaan aseptik.
b. Ion mekanismenya mengikuti teori tumbukan, yaitu sinar langsung
menghantam pusat kehidupan mikroba (kromosom) atau secara tidak
langsung dengan sinar terlebih dulu membentur molekul air dan
mengubahnya menjadi bentuk radikalnya yang menyebabkan terjadinya
reaksi sekunder pada bagian molekul DNA mikroba.
c. Gamma bersumber Co60 dan Cs137 dengan aktivitas sebesar 50-500 KiloCuie
serta memiliki daya tembus sangat tinggi. Dosis efektifnya adalah 2,5
Mrad. Digunalan untuk mensterilkan alat kedokteran serta alat yang terbuat
dari logam, karet, serta bahan sintesis seperti polietilen.
4. Sterilisasi Plasma
Plasma terdiri atas elektron, ion-ion, maupun partikel netral. Halilintar
merupakan contoh plasma terjadi dialam. Plasma buatan terjadi pada suhu
tinggi maupum rendah. Plasma berasal dari beberapa gas seperti argon,
nitrogen, dan oksigen yang menunjukkan aktivitas sporisidal.
Pada plasma yang terbentuk dari hidrogen peroksida, proses pembentukan
plasma mengalami dua fase, yaitu fase difusi hidrogen peroksida dan fase
plasma. Pembentukan plasma dimulai setelah pemvakuman chamber. Uap
hidrogen perioksida yang dihasilkan dari larutan 58% hidrogen perioksida
masuk ke dalam chamber melalui mekanisme difusi. Alat atau bahan yang akan
disterilkan kemudian terpaparkan oleh uap hidrogen peroksida selama 50 menit
pada konsentrasi 6 mg/l. Hidrogen peroksida yang pada dasarnya mempunyai
aktivitas mematikan mikroorganisme berfungsi sebagai prekursor pembentukan
radikal bebas pada pembentukan plasma. Fase plasma berlangsung selama 15
menit pada 400 watt. Setelah fase plasma selesai, setiap zat akan bergabung
kembali membentuk senyawa stabil berupa air dan oksigen. Aktivitas
mematikan mikroorganisme hidrogrn peroksida beum diketahui secara pasti,
namun proses pembentukan plasma membentuk zat reaktif seperti radikal bebas
radiasi UV.
5. Sterilisasi Filtrasi
Menyaring mikroba ata filtrasi melalui prinsip :
a. Filtrasi ayakan, didasari perbedaan ukurannya dengan pori. Ukuran porinya
seragam sebesar 0,22 µm dengan ketebalan 80-159 µm. Tidak dapat
membebaskan pirogen dan virus (0,02 µm)
b. Filtrasi adsorpsi dalam hal ini filter terbuat dari selulosa, asbes, gelas sinter,
keramik dan kieselguhr serta karbon aktif. Filter dapat membebaskan
pirogen dan virus.
6. Ruangan Strerilisasi
Bangunan yang telah dibangun harus sesuai dengan persyaratan yang telah
ditetapkan oleh CPOB. Standar tiap-tiap ruangan dibuat sesuai dengan tingkat
penggunaanya dan telah memenuhi persyaratan. Dalam perusaahaan minimalnya
mempunyai tiga kelas ruangan/area, misalnya:
a. Black Area
Black Area merupakan ruangan, dimana pada ruangan ini seluruh
produk obat sudah dalam keadaan tertutup dalam kemasan primer, dan
pada daerah ini tidak memerlukan penanganan khusus baik udara maupun
konstruksi bangunan. Contoh area ini yaitu kantor, loker, gudang bahan
baku, gudang obat jadi, gudang bahan pengemas primer dan sekunder,
ruang pencucian botol, ruang administrasi gudang, ruang pengemasan
sekunder, dan laboratorium kimia fisika.
b. Grey Area
Grey Area merupakan area produksi dimana proses produksi
berlangsung. Pada area ini kebebasan telah dikurangi, yaitu barang atau
karyawan tidak bebas memasuki area ini. Dilakukan penanganan khusus
terhadap udara, rancang bangun dan konstruksi ruangan, seperti lantai dan
langit-langit tidak boleh bercelah dan tahan terhadap bahan kimia, dinding
harus terbuat dari beton dan dicat dengan cat yang tahan dicuci, serta pintu
dan peralatan lainnya tidak boleh terbuat dari kayu. Sebelum memasuki
grey area, karyawan harus terlebih dahulu mencuci tangan dan kaki serta
menggunakan pakaian khusus dan bersih. Contoh area ini yaitu ruang
penimbangan bahan baku, ruang pengolahan sirup, ruang pengemasan
primer sirup, ruang pengolahan tablet, ruang pencetakan tablet, ruang
pengemasan primer tablet, dan ruang In Process Control (IPC).
c. White Area
White Area merupakan area produksi untuk sediaan steril. Untuk
memasuki white area, karyawan harus mencuci tangan dan kaki serta
mengganti pakaian dari grey area dengan pakaian khusus yang steril.
Peralatan yang digunakan harus disterilkan terlebih dahulu, demikian juga
ruangan harus dibersihkan dengan desinfektan. Contoh area ini yaitu
seluruh ruangan pada pembuatan obat steril. Di setiap area yang berbeda
dibuat ruangan antara yang tujuannya untuk mencegah kontaminasi udara.
Dalam proses produksi misalnya penimbangan, pencampuran, pengemasan
dilakukan dalam ruangan yang terpisah. Gudang bahan baku, gudang
kemasan, ruangan produksi dan obat jadi dibuat sedem Dinding.
Dinding ruangan terbuat dari tembok yang dilapisi dengan epoksi
sehingga permukaan dinding menjadi licin dan rata, kedap air, mudah
dibersihkan, tahan terhadap detergen, desinfektan, tidak menahan partikel
dan tidak menjadi tempat bersarangnya binatang kecil.
Keadaan ruangan produksi adalah sebagai berikut:

1. Lantai
Lantai ruangan produksi tablet terbuat dari semen yang dilapisi epoksi
sehingga lantai mempunyai permukaan yang rata, mudah dibersihkan,
tidak menahan partikel, tahan terhadap detergen dan desinfektan.
2. Dinding
Dinding ruangan terbuat dari tembok yang dilapisi dengan epoksi
sehingga permukaan dinding menjadi licin dan rata, kedap air, mudah
dibersihkan, tahan terhadap detergen, desinfektan, tidak menahan partikel
dan tidak menjadi tempat bersarangnya binatang kecil.
3. Langit-langit
Langit-langit ruangan terbuat dari beton yang dilapisi epoksi sehingga
permukaan langit-langit menjadi licin dan rata, kedap air, mudah
dibersihkan, tahan terhadap detergen, tidak menahan partikel.
4. Pengaturan udara
Aliran udara yang digunakan dalam ruangan produksi tablet, kapsul
dan sirup telah melalui sistem AHU (Air Handling Unit). Tekanan udara
diatur sedemikian rupa sehingga tekanan udara pada koridor lebih tinggi
daripada ruang pengolahan.
Ruangan atau tempat penyimpanan :
a) Ruangan atau tempat penyimpanan hendaklah cukup luas, terang dan
memungkinkan penyimpanan bahan dan produk jadi dalam keadaan kering,
bersih dan teratur.
b) Ruangan atau tempat penyimpanan termasuk karantina produk jadi dapat
berupa ruangan, area atau lemari maupun rak.
c) Hendaklah disediakan tempat penyimpanan terpisah bagi bahan-bahan yang
mudah terbakar dan berbahaya lainnya bila ada.
d) Ruangan atau tempat penyimpanan simplisia adalah tempat penyimpanan
simplisia termasuk bahan baku lainnya yang telah memenuhi persyaratan yang
ditentukan, dapat berupa ruangan atau tempat tertutup, misalnya lemari.
e) Ruang penggilingan yang banyak menimbulkan debu hendaklah dilengkapi
dengan fasilitas pengendali debu misalnya dust collector.
f) Jendela dan pintu di ruang pengolahan hendaklah dibuat dari bahan yang tahan
lama, permukaannya rata dan mudah dibersihkan.
g) Ruang atau tempat pengeringan hendaklah terlindung dari pencemaran debu,
serangga dan cemaran lain.
Rancangan bangunan dan penataan gedung harus memenuhi persyaratan sebagai
berikut:
1. Mencegah resiko tercampurnya obat atau komponen obat yang berbeda
2. Kegiatan pengolahan bahan bagi produk bukan obat dipisahkan dari ruang
produksi obat
3. Ruang terpisah untuk membersihkan alat yang dapat dipindah – pindahkan dan
ruang untuk menyimpan bahan pembersih
4. Kamar ganti pakaian berhubungan langsung dengan daerah produksi tetapi
letaknya terpisah
5. Toilet tidak terbuka langsung ke daerah produksi dan dilengkapi dengan
ventilasi yang baik
6. Lokasi bangunan sebaiknya dapat mencegah pencemaran lingkungan di
sekelilingnya seperti pencemaran udara, tanah dan air maupun terhadap
kegiatan disekitarnya.
 Saluran air limbah sebaiknya cukup besar dan mempunyai bak control serta
ventilasi yang baik. Lubang pemasukan dan pengeluaran udara, pipa – pipa dan
saluran hendaknya di pasang sedemikian rupa sehingga dapat mencegah timbulnya
pencemaran terhadap produk
 Bangunan harus mendapatkan penerangan yang cukup dan mempunyai ventilasi
dengan fasilitas pengendali udara termasuk pengaturan suhu dan kelembaban untuk
kegiatan dalam bangunan. Di samping itu tersedianya tenaga listrik yang memadai
akan menjamin kelancaran fungsi peralatan produksi dan laboratorium.
 Pintu yang menghubungkan ruangan produksi dan lingkungan luar seperti pintu
bahaya kebakaran sebaiknya selalu ditutup rapat untuk mencegah masuknya
cemaran. Seluruh bangunan termasuk daerah produksi, laboratorium, gedung dan
koridor serta daerah sekeliling gudang hendaknya dirawat agar selalu bersih dan
rapi. Daerah penyimpanan barang harus cukup luas, terang serta tertata rapi untuk
memungkinkan penyimpanan bahan produk dalam keadaan bersih dan teratur.
 Untuk menjamin mutu obat dan kelangsungan produksi, maka penentuan rancang
bangun dan penataan gedung hendaklah dipertimbangkan kesesuaiannya dengan
kegiatan – kegiatan lain. Sehubungan dengan itu, maka daerah produksi di bagi atas
empat kelas, yaitu :
1. Kelas A :
Zona untuk kegiatan yang beresiko tinggi, misalnya zona pengisian, wadah
tutup karet, vial, dan ampul yang terbuka, penyambungan secara aseptic.
Umumnya kondisi ini di capai dengan memasang unit aliran udara laminar
( laminar air flow ) di tempat kerja. Sistem laminar udara hendaklah
mengalirkan udara dengan kecepatan merata berkisar 0,36 – 0,54 m/detik ( nilai
acuan ) pada posisi kerja dalam ruang bersih terbuka. Keadaan laminar yang
selalu terjaga hendaklah di buktikan dan divalidasi. Aliran udara searah
berkecepatan lebih rendah dapat digunakan pada isolator tertutup dan kotak
bersarung tangan.
2. Kelas B :
Untuk pembuatan dan pengisian secara aseptic, kelas ini adalah lingkungan
latar belakang untuk zona kelas A
3. Kelas C dan D :
Area bersih untuk melakukan tahap pembuatan produk steril dengan tingkat
resiko lebih rendah.
7. Metode pembuatan tetes mata
a. Cara pembuatan bila tidak dinyatakan lain dilakukan dengan salah satu cara seperti ini:
1. Cara pertama: obat dilarutkan kedalam cairan pembawa yang mengandung salah
satu zat pengawet yang cocok dan larutan dijernihkan dengan penyaringan.
Kemudiaan dimasukkan kedalam wadah dan di tutup kemudian disterilkan dengan
uap air pada suhu 115° sampai 116° selama 30 menit dalam otoklaf.
2. Cara kedua: obat dilarukan kedalam cairan pembawa berair yang mengandung zat
pengawet yang cocok dan disterilkan dengan cara C, yaitu disterilkan dengan
penyaringan melalui penyaring bakteri steril, lalu dimasukkan kedalam wadah
akhir yang steril dan ditimbang secara aseptis.
3. Cara ketiga: obat dilarutkan kedalam cairan pembawa berair yang mengandung zat
pengawet yang cocok, lalu disaring dan dimasukkan kedalam wadah tertutup rapat
dan disterilkan dengan cara B, yaitu disterilkan dengan pemanasan dengan
bakterisida. Pemanasan dilakukan pada suhu 98°-100° selama 30 menit. Untuk
wadah yang lebih dari 30 ml, sterilisasi diperpanjang hingga seluruh isi tiap wadah
mencapai suhu 98°-100°.

b. Evaluasi
Evaluasi tetes mata kloramfenicol dilakukan antara lain :
1. Uji Fisika
A. Uji Organoleptis
Pengujian tetes mata normal saline 0,9 % meliputi bau dan warna sediaan.
Selain itu juga diperiksa kelengkapan etiket, brosur dan penandaan pada
kemasan.
Tujuan : Mengetahui penampilan fisik sediaan
Presedur : Diamati secara visual bentuk sediaan, warna sediaan
Ketentuan : Sediaan tetes mata harus jernih dan berbentuk larutan.
B. Penetapan PH
Pengecekan PH larutan dapat dilakukan dengan menggunakan PH meter atau
kertas indikator universal.
PH yang baik adalah kapasitas dapar yang dimilikinya memungkinkan
penyimpanan lama dan darah dapat menyesuaikan diri. Dapat dinyatakan
memenuhi syarat uji pH sediaan infus harus masuk pada rentang pH yakni
7,35-7,45. Jika sediaan cairan infus pHnya diatas 7 dapat menimbulkan
terjadinya nekrosis (rusaknya sel jaringan) dan hemilisa. Bila pH sediaan
dibawah 3, jaringan akan mengalami rasa sakit atau iritasi.
Cara penguji pH:
- Dengan pH meter :
1. Diperiksa elektroda dan jembatan garam.
2. Dikalibrasi pH meter, bila sel ektroda dan sel beberapa kali dengan
larutan uji dan isi sel dengan sedikit larutan uji
3. Dibaca harga Ph
- Kertas indikator :
1. Dituang sedikit sediaan tets mata dalam gelas ukur
2. Diambil kertas indicator dan masukkan kertas lakmus dalam infus
3. Ditunggu adanya perubahan, kemudian sesuaikan perubahan warna
dengan table indikator.
C. Uji Kejernihan
Uji kejernihan dilakukan secara visual biasanya dilakukan oleh seseorang
yang memeriksa wadah bersih dari luar di bawah penerangan cahaya yang
baik, dan putih, dijalankan dengan suatu aksi memutar, harus benar-benar
bebas dari partikel kecil yang dapat dilihat dengan mata (Lachman, 2004).
Tujuan : utuk melihat apakah larutan tersebut jernih dan bebas dari kotoran
atau tidak maka itu perlu dilakukan uji kejernihan secara visual.
Prosedur kerja :
1. Penetapan penggunaan tabung reaksi alas datar diameter 15 mm hingga
25 mm, tidak berwarna, transparan dan terbuat dari kaca netral.
2. Masukan kedalam dua tabung reaksi masing-masing larutan, zat uji dan
suspense padanan yang sesuai secukupnya, yang dibuat segar dengan cara
seperti tertera dibawah sehingga volume larutan dalam tabung reaksi terisi
setinggi tepat 40 mm.
3. Bandingkan ke dua isi tabung setelah 5 menit pembuatan suspense
padanan, dengan latar belakang hitam.
4. Pengamatan dilakukan dibawah cahaya yang terdifusi, tegak lurus kearah
5. bawah tabung. Difusi cahaya harus sedemikian hingga suspense padanan I
dapat langsung dibedakan dari air dan dari suspense padanan II.
D. Uji Kebocoran
Uji kebocoran dilakukan dengan membalikan botol sediaan tetes mata dengan
mulut botol menghadap kebawah. Diamati ada tidaknya cairan yang keluar
menetes dari botol. Pada pembuatan kecil-kecilan hal ini dapat dilakukan
dengan mata tetapi tetapi untuk produksi skala besar hal ini tidak mungkin
dikerjakan.
Tujuan : untuk memeriksa keutuhan kemasan agar terjaga sterilisasi dan
volume serta kestabilan sediaan. Jika tidak dilakukan uji kebocoran maka
dapat menyebabkan masuknya mikroorganisme atau kontanminan lain yang
berbahaya kedalam ampul atau isinya dapat bocor keluar dan merusak
penampilan kemasan.
Prosedur kerja :
1. Diletakan sediaan tetes mata di dalam zat warna (birumetilen 0,5-1%)
dalam ruangan vakum.
2. Ditekanan atmofer berikutnya kemudian menyebabkan zat warna
berpenetrasi kedalam lubang, dapat dilihat setelah bagian luar ampul
dicuci untuk membersihkan zat warnannya. Yang bocor akan berwarna
biru.
Untuk yang disterilkan tanpa pemanasan atau cara aseptik, diperiksa
dengan memasukkan ke dalam eksikator dan divakumkan. Pada wadah
yang bocor, isinya akan keluar.
2. Evaluasi Biologi
A. Uji Sterilisasi
Asas : Larutan uji + media perbenihan, inkubasi pada 20°C-25°C
Metode Uji : Teknik penyaringan dengan filter membrane (dibagi menjadi 2
bagian) lalu diinkubasi.
B. Uji Pirogen
Uji pirogen dimaksudkan untuk membatasi risiko reaksi demam pada tingkat
yang dapat diterima oleh pasien pad ape, berian sediaan injeksi. Pengujian
meliputi pengukuran kenaikan suhu kelinci setelah penyuntikan larutan uji
setelah intravena.

BAB III
FORMULASI

3.1 Formula
3.1.1 Formula standart nasional (fornas:65)
Tiap 10ml mengandung:
Chloramphenicolum 50 mg
Acidum Boricum 150 mg
Natrii Tetraboras 30 mg
Phenylhydrargyri Nitras 200 mg
Aqua destillata ad 10 ml
3.1.2 Rancangan formula
Tiap 10ml mengandung:
Kloramfenikol 50 mg
Asam boric 150 mg
Sodium borat 30 mg
Fenilmerkuri nitras 200 mg
API ad 10 ml
3.2 Alasan pemilihan bahan
1. Klroramfenicol
 Di pilih sebagai zat aktif karena merupakan berkhasiat sebagai anti biotik yang
secara kimiawi sangat stabil dalam segala pemakaian
2. Asam boric
 Di pilih sebagai antiseptic luar untuk menangani infeksi bakteri
3. Sodium borat
 Di pilih karena serbuk hablur putih yang berkhasiat sebagai antiseptikum
4. Fenilmerkuri nitras
 Dipilih karena sebagai pengawet untuk mencegah pertumbuhan mikroorganisme
selama penggunaan
5. Aqua pro injeksi
 Karena air suling segar yang disuling kembali digunakan sebagai pelarut sediaan
streril
3.3 Perhitungan
3.3.1 Perhitungan bahan
 Kloramfenicol 50 mg
 Asam boric 150 mg
 Sodium borat 30 mg
 Fenilmerkuri nitras 200 mg
 API ad 10ml = (0,05 g + 0,15 g + 0,03 g + 0,2 g)
= 10 ml – 0,43 g
= 9,57 ml
3.3.2 Perhitungan isotonis

∆tf = liso x

∆tf: Penurunan titik beku


Liso: Harga tetapan non elektronik = 1,86, elektronik lemah 2
BM: Berat molekul
V: Volume larutan dalam ml
Berat: dalam gram zat terlarut

∆ Tf kloramfenikol = Liso x x

= 1,9 x x

= 1,9 x 0,0001547 x 100


= 0,02939

∆ Tf asam boric = Liso x x

= 1,8 x x

= 0,437
∆ Tf = 0,02939 + 0,437 = 0,466 ( isotonis )

Untuk mendapatkan pH sediaan 7,4 maka digunakan pendapar yang berasal dari
paduan Asam sitrat (C6H8O7.H2O) dan Natrium fosfat (Na2HPO4.12H2O).
1. Asam sitrat (C6H8O7.H2O)
Mr = 210,14 g/mol
Molaritas = 0,1 M
Volume = 9,1 mL atau 0,0091 L
Mol = M x V
= 0,1 M x 0,0091 L
= 0,00091 mol
Massa = mol x Mr
= 0,00091 mol x 210,14 g/mol
= 0,19 g atau 190 mg
Massa untuk 10 mL sediaan =
2. Natrium fosfat (Na2HPO4.12H2O)
Mr = 358,14 g/mol
Molaritas = 0,2 M
Volume = 90,9 mL atau 0,0909 L
Mol =MxV
= 0,2 M x 0,0909 L
= 0,01818 mol
Massa = mol x Mr
= 0,01818 mol x 358,14 g/mol
= 6,51 g atau 6510 mg

Massa untuk 10 mL sediaan =


3. Air pro injection = 10 – (0,1 + 0,077g +0,001g + 0,0005g+0,21g+0,72g)
= 10 – 1,113
= 8,887 mL

3.4 Alat dan bahan


3.4.1 Alat
 Beaker glass

Disterilkan denagan cara oven dengan suhu 170°C selama 30 menit


 Kaca arloji

Disterilkan dengan cara oven dengan suhu 170°C selama 30 menit


 Corong grlas dan kertas saring

Disterilkan dengan cara autoklaf dengan suhu 115°C -116°C selama


30menit
 Erlemeyer

Disterilkan dengan cara oven dengan suhu 170°C selama 30menit


 Gelas ukur 10ml

Disterilkan dengan cara autoklaf dengan suhu 115°C -116°C selama


30menit
 Pipet tetes

Disterilkan dengan cara autoklaf dengan suhu 115°C -116°C selama


30menit (disterilkan tanpa karet)
 Batang pengaduk

Disterilkan dengan cara oven dengan suhu 170°C selama 30menit


 Wadah tetes mata dan tutup
Disterilkan dengan cara direndam denga alkohol
 Cawan penguap
Disterilkan dengan cara oven dengan suhu 170°C selama 30menit
3.4.2 Bahan
 Klroramfenicol
 Asam boric
 Sodium borat
 Aqua pro injeksi

3.5 Prosedur kerja


3.5.1 Prosedur pembuatan formula
1. Di siapkan alat dan bahan yang akan digunakan
2. Di siapkan Aqua Pro Injeksi bebas O2
3. Di timbang masing-masing bahan yang akan digunakan pada neraca
timbangan dengan kaca arloji yang sebelumnya telah di sterilkan secara
aseptis
4. Dikalibrasi beaker glass dan botol tetes mata yang akan digunakan
5. Dilarutkan masing-masing bahan dalam API
6. Larutkan asam borat dan sodium borat pada masing-masing beaker glass,
kemudiaan dicampur untuk digunakan dalam melarutlan kloramfenikol sedikit
demi sedikit dimasukkan kelarutan tersebut
7. Masukkan sisa API
8. Lakukan pengecekan PH (PH yang di inginkan adalah 7,4)
9. Melapisi corong dengan kertas saring dan dibasahi dengan API
10. Pindahkan corong ke beaker glass yang sudah dikalibrasi, kemudian di saring
larutan kedalam erlemeyer
11. Sisa 2/5 bagian API digunakan untuk membilas kemudiaan disaring kedalam
beakr glass yang berisi filtrasi
12. Ditambahkan API sampai batas kalibrasi
13. Isikan larutan dalam wadah tetes mata, ditutup dengan penutupnya
14. Lakukan sterilisasi akhir
15. Lakukan evaluasi

3.5 Prosedur evaluasi


a. Organoleptis
Prosedur kerja yang digunakan untuk menguji organoleptis dari sedian tetes mata
yang dibuat adalah sebagai berikut:
1. Amati sediaan yang telah dibuat secara visual dengan pencahayaan cukup
2. Identifikasi warna dan bentuk sediaan yang dihasilkan

b. Kejernihan larutan
Prosedur kerja untuk menguji kejernihan dari sediaan tetes mata yang dibuat adalah
sebagai berikut:
1. Masukkan sediaan yang sudah dibuat ke dalam 2 tabung reaksi.
2. Mengamati sediaan secara visual di balik latar putih. Jika perlu menggunakan
alat penerangan.
3. Mencatat hasil uji evaluasi kejernihan larutan.

c. Homogenitas
Prosedur kerja untuk menguji homogenitas dari sediaan tetes mata yang dibuat
adalah sebagai berikut:
1. Pengambilan sampel dapat dilakukan pada bagian atas, tengah, atau bawah.
2. Sampel diteteskan pada kaca objek kemudian diratakan dengan kaca objek lain
sehingga terbentuk lapisan tipis.
3. Partikel diamati secara visual.
4. Catat hasil uji homogenitas.

d. Penetapan pH
Prosedur kerja untuk menguji pH dari sediaan tetes mata yang dibuat adalah sebagai
berikut:
1. Menuangkan sediaan ke dalam beaker glass.
2. Memasukkan kertas indikator pH ke dalam larutan.
3. Membandingkan perubahan warna kertas dengan parameter warna pH standart.
4. Mencatat hasil uji evaluasi penetapan pH (7,4).

e. Volume terpindahkan
Prosedur kerja untuk menguji volume terpindahkan dari sediaan tetes mata yang
dibuat adalah sebagai berikut:
1. Menuangkan sediaan ke dalam gelas ukur.
2. Penuangan dilakukan secara hati-hati untuk menghindarkan pembentukan
gelembung udara pada waktu penuangan dan diamkan selam 30 menit.
3. Jika telah bebas dari gelembung udara, ukur volume dari tiap campuran.
4. Mengamati kesesuaian volume sebelum dipindahkan dan yang sudah
dipindahkan.
5. Mencatat hasil uji evaluasi volume terpindahkan.
Daftar pustaka

Anonim.1979. Farmakope Indonesia Edisi III. Jakarta. Depkes RI

Anonim. 1995. Farmakope Indonesia Edisis IV. Jakarta. Depkes RI

Hamdani. 2010. Sistem Pakar Untuk Diagnosa Penyakit Mata pada Manusia, Jurnal
Informatika Mulawarman. Samarinda

Kurniawan, dadhang wahyu. 2009. Teknologi sediaan farmasi. Yogyakarta. Graha Ilmu

Lukas,stefanus. 2006. Formulasi steril. Yogyakarta. ANDi

Marjhono, mahar. 1987. Farmakologi Terapi Edisi 3. Jakarta. FKUI

Syamsuri. 2006. Farmasetika dasar dan hitungan farmasi. Jakarta. EGC

Syamsuri. 2006. Ilmu Resep. Jakarta. EGC

Anda mungkin juga menyukai