Anda di halaman 1dari 14

ANALISIS TEBAL LAPIS TAMBAH PERKERASAN LENTUR MENGGUNAKAN

METODE AASHTO 1993 DAN PROGRAM ELMOD 6

STUDI KASUS : JALAN PANTURA


(RUAS : PALIMANAN – JATIBARANG)

Rizko Pradana Andika Bambang Sugeng Subagio


Program Magister Sistem Teknik dan Jalan Raya Program Magister Sistem Teknik dan Jalan Raya
Fakultas Teknik Sipil dan Lingkungan Fakultas Teknik Sipil dan Lingkungan
Institut Teknologi Bandung Institut Teknologi Bandung
Jl. Ganesha No. 10 Bandung 40132 Jl. Ganesha No. 10 Bandung 40132
Telp./Fax: 62-22-2534167 Telp./Fax: 62-22-2534167
email: rizkopradanaandika@gmail.com email: bsugengs@si.itb.ac.id

Eri SusantoHariadi Sony Sulaksono. W


Program Magister Sistem Teknik dan Jalan Raya Program Magister Sistem Teknik dan Jalan Raya
Fakultas Teknik Sipil dan Lingkungan Fakultas Teknik Sipil dan Lingkungan
Institut Teknologi Bandung Institut Teknologi Bandung
Jl. Ganesha No. 10 Bandung 40132 Jl. Ganesha No. 10 Bandung 40132
Telp./Fax: 62-22-2534167 Telp./Fax: 62-22-2534167
email:erisdi@yahoo.com email: sonyssw@hotmail.com

Abstrak
Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis perbedaan tebal lapis tambah yang diperlukan pada Jalan Pantura
ruas Palimanan-Jatibarang menggunakan Metode AASHTO 1993 dan Program ELMOD versi 6. Analisis
menggunakan metode AASHTO 1993 memakai dua asumsi perhitungan kapasitas struktural yaitu asumsi
bahwa pada tahun 2007 dilakukan penanganan terhadap perkerasan yaitu berupa pembuatan struktur baru
perkerasan diatas lapis pondasi yang telah rusak dan asumsi kedua bahwa pada tahun 2007 dilakukan
penanganan terhadap perkerasan berupa tebal lapis tambah menggunakan AC WC tanpa melihat riwayat
penanganan struktur perkerasan. Analisis menggunakan Program ELMOD versi 6 juga memakai dua asumsi
struktur model perkerasan yaitu model tiga lapis dan model lima lapis. Tebal lapis tambah hasil analisis
metode AASHTO 1993 menghasilkan kebutuhan lapis tambah yang hampir sama dengan tebal lapis tambah
hasil perhitungan dengan Program ELMOD versi 6 dengan asumsi struktur 5 lapis. Yang berarti bahwa
semakin banyak jumlah lapisan maka hasil perhitungan Program ELMOD semakin baik.

Kata Kunci : Metode AASHTO 1993, Program ELMOD 6, tebal lapis tambah

Abstract
The purpose of this study is to analyze the different of overlay of Pantura Road Palimana-Jatibarang segment
using AASHTO 1993 Method and ELMOD 6 computer program. Analysis using AASHTO 1993 method
with two assumptions. First, they made a new pavement structure in 2007. Second, in 2007 they just made an
overlay on the old pavement structure with AC WC without saw the history of handling the pavement
structure. Analysis using ELMOD 6 computer program also with two assumptions. They are three and five
layers. Overlay with AASHTO 1993 method needs the nearly thickness with overlay as the result of ELMOD
6 Computer Program with five layers model. It means that the increment of layers make the calculation
better.
.
Key Words : AASHTO 1993 method, ELMOD 6 computer program, overlay

1. Pendahuluan
Kawasan Koridor Pantai Utara (Pantura) Jawa mempunyai nilai ekonomis tinggi, karenaberhadapan langsung
dengan Laut Jawa, yang merupakan jalur perdagangan laut baikregional, nasional maupun internasional.
Kawasan ini juga dilintasi oleh jalan Arteri Primer(jalan Nasional) yang juga merupakan jalur perdagangan
darat regional dan nasional. Dengan meningkatnya pertumbuhan kendaraan baik dari segi jumlah dan beban
yang diangkut sehingga melebihi batas yang diijinkan, mengakibatkan kerusakan pada kondisi struktur
perkerasan jalan. Kerusakan pada struktur perkerasan jalan yang terjadi otomatis akan merugikan pemakai
jalan karena biaya operasi kendaraan semakin tinggi dan tentu saja waktu perjalanan yang semakin
meningkat. Untuk mengatasinya, diperlukan usaha-usaha pembinaan yang tepat untuk menjaga kondisi jalan
tersebut tetap pada tingkat pelayanan yang diinginkan. Untuk dapat melakukan pembinaan secara tepat
diperlukan data kondisi perkerasan yang nantinya digunakan untuk mengevaluasi kondisi struktural jalan
terpasang. Langkah selanjutnya adalah pengambilan keputusan yaitu, perbaikan atau pemeliharaan yang tepat
agar kondisi jalan yang ada tetap terjaga, dan salah satu usaha yang dilakukan adalah pelaksanaan lapis
tambah (overlay)Topik utama yang akan dianalisa oleh penulis adalah melakukan kajian perbandingan tebal
lapis tambah (overlay) perkerasan lentur yang diperoleh dari program Evaluation of Layer Moduli and
OverlayDesign (ELMOD) versi 6 berupa hasil pengukuran alat FWD dan membandingkannya dengan
Metoda AASHTO 1993. Hal ini dilakukan untuk mengetahui parameter-parameter yang menyebabkan
perbedaan tebal lapis tambah (overlay) dari hasil analisis dengan menggunakan kedua metoda tersebut.

2. Metodologi
Metodologi penelitian yang akan dilakukan mengacu pada ruang lingkup penelitian yang digambarkan pada
bagan alir pada Gambar 1

Mulai

Studi Pustaka
Persiapan
Penyusunan Metodologi

Penentuan Ruas yang Ditinjau

Pengukuran Temperatur Pengukuran Lendutan Perkerasan Terpasang Data Lalu Lintas Pengukuran Beban Sumbu
(Primer dan Sekunder) (Sekunder) (Sekunder) (Primer dan Sekunder) (Sekunder)

LHR
Temperatur Udara dan
Temperatur Perkerasan Lendutan (FWD) Struktur Perkerasan Data WIM
Pengumpulan Data
Koefisien Distribusi Lajur

Faktor Koreksi Temperatur Lendutan Terkoreksi


Faktor Truk

CESAL

Proses Analisis Menggunakan 2 Metode

Metode AASHTO 1993 ELMOD Analisis Data

Menentukan SN Perkerasan Menentukan Stiffness Modulus

Menentukan Tebal Lapis Tambahan Menentukan Tebal Lapis Tambahan


dan sisa umur rencana dan sisa umur rencana

Membandingkan dan Menganalisis Tebal Lapis Tambah


dan Umur Sisa dari Kedua Metode
Akhir
Selesai

Gambar 1. Alur Penelitian

2.1 Tahap Persiapan


Pekerjaan 'dalam penelitian ini dilakukan sebelum pengumpulan data, yang dilakukan adalah sebagai berikut
1. Pengumpulan dan· penyusunan studi pustaka yang berkaitan dengan topikpenelitian terutama
tentang lapis tambahan (overlay), umur sisa rencana, pavement deflection, modulus elastisitas.
2. Penyusunan metodologi penelitian berdasarkan topik dan tujuan penelitianserta studi pustaka yang
menunjang.
3. Penentuan ruas yang ditinjau, untuk penelitian ini adalah Jalan Pantura, Ruas Palimanan –
Jatibarang.

2. 2 Tahap Pengumpulan Data


Data yang menunjang penelitian ini akan dicari pada instansi-instansi terkait, yaitu: Pusjatan dan Bintek
Departemen PU Direktorat Jendral Bina Marga, Jakarta. Data-data tersebut antara lain:
1. Data struktur perkerasan (sekunder)
Data yang digunakan umumnya adalah data sekunder berupa kondisi perkerasan berupa tebal lapis
perkerasan tahun 2007 dan jenis material dari masing-masing lapis perkerasan yang akan didapat
dari hasil penelitian PUSJATAN, Bandung.
2. Data lendutan(sekunder)
Data lendutan perkerasan jalan yang diamati, berupa data sekunder dan diukur dengan menggunakan
alat Falling Weight Dejlectometer (FWD) pada ruas Palimanan – Jatibarang pada tahun 2011 untuk
lajur cepat dan lajur lambat.
3. Data temperatur perkerasan (primer dan sekunder)
Data temperatur sekunder yang dibutuhkan didapat bersama dengan data lendutan tahun 2011
dengan alat FWD pada Jalan Pantura ruas Palimanan-Jatibarang.Pada pengukuran lendutan
sekunder tersebut, dicatat pula data temperatur udara dan temperatur perkerasan saat pengukuran.
Akan tetapi bila saat pengukuran data perkerasan tidak terekam, maka akan dilakukan pengukuran
secara primer pada perkerasan pada Jalan Pantura ruas Palimanan-Jatibarang dengan menggunakan
termometer.
4. Data lalu lintas (primer dan sekunder)
Data lalu lintas primer akan dilakukan untuk mendapatkan data LHR tahun 2011 dan presentase
kendaraan berat dalam LHR yang didapat dari survei primer selama 24 jam. Sedangkan data LHR
sekunder adalah data LHR tahun 2007, 2008, 2009, dan 2010 akan diperoleh dari Direktorat Bintek
Kementrian PU, Jakarta pada lokasi Jalan Pantura, ruas Palimanan-Jatibarang.
5. Data beban sumbu kendaraan (sekunder)
Data beban sumbu akan didapat dari survei WIM (Weight in Motion) berupa data sekunder tahun
2006 yang dilakukan pada ruas Pamanukan-Eretankulon dan tahun 2007 pada ruas Cirebon-Losari
dan akan diperoleh dari Puslitbang Jalan, Departemen Pekerjaan Umum, Bandung.

2. 3 Tahap Analisa Data


Data-data yang diperoleh dari tahap pengumpulandata sebelum digunakan untukproses analisa menggunakan
dua metode (AASHTO 1993 dan Program ELMOD), terlebih dahulu dianalisa dan disesuaikan dengan
kebutuhan data.Cntohnya, data volume lalu lintas berupa data LHR diasumsikan menjadi data volume
kendaraan per tahun, yang kemudian akan menjadi input bagi overlay design pada program ELMOD.
Langkah-langkah analisisnya antara lain sebagai berikut:
1. MenentukanModel Lapis Perkerasan
Model lapis perkerasan ditentukan agar memberi gambaran akan lapis-lapisperkerasan yang ada dan
juga mempermudah dalam perhitungandengan metode AASHTO 1993 dan terutama pada program
ELMOD. Pada program ELMOD, akan dilakukan menjadi 2 model yaitu, 3 layer dan 5 layer.
2. Metode Analisis yang digunakan
Pada penelitian ini digunakan dua metodeanalisis, yaitu metode ASHTO 1993 dan program
komputer ELMOD. Kedua metode ini akan menghasilkan tebal overlay yang dibutuhkan dan umur
sisa dari perkerasan yang ada.

2. 4 Tahap Akhir
Setelah proses analisa dengan menggunakan dua metode (AASHTO 1993 dan Program ELMOD), maka
tahap selanjutnya adalah membandingkan tebal lapis tambah dan umur sisa dari perkerasan tersebu

3. Presentasi dan Analisis Data


3.1 Data Volume Lalu Lintas dan Tingkat Pertumbuhan Lalu Lintas
Data lalu lintas aktual didapat dari survei primer pada 2 titik dan dilakukan selama 24 jam. Survei ini
dilakukan pada tanggal 21-22 Desember 2011. Hal ini dikarenakan karakteristik volume kendaraan di
Pantura adalah pada hari selasa sampai kamis diperkirakan merupakan volume lalu lintas normal dan pada
hari jumat sampai senin merupakan volume lalu lintas terpadat yag didominasi oleh kendaraan ringan.
MKJI 1997 mensyaratkan untuk mengestimasi LHRT berdasarkan arus kendaraan rencana yang secara
tipikal merupakan arus kendaraan pada jam puncak. Alasan utama digunakannya arus pada jam puncak
adalah karena untuk keperluan perencanaan, sebaiknya digunakan kondisi terburuk sehingga nantinya dapat
diperoleh hasil perencanaan yang maksimal. Untuk mengkonversi arus kendaraan pada jam puncak menjadi
LHRT diperlukan faktor k. Faktor k adalah rasio antara arus jam rencana (dalam hal ini adalah arus pada jam
puncak) dan LHRT yang dirumuskan :

Kemudian semua data lalu lintas dari IRMS tahun 2007-2010 dan hasil perhitungan LHRT tahun 2001
direkapitulasi data volume lalu lintas dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1 Rekapitulasi Perhitungan LHRT


Tahun Total Kendaraan
2007 23.019
2008 25.633
2009 24.556
2010 26.190
2011 27.263*
Sumber : IRMS 2007, 2008, 2009 dan 2010
*merupakan hasil survei primer

Setelah itu dihitung tingkat pertumbuhan lalu lintas rata-rata menggunakan persamaan :

Hasil perhitungan menunjukkan tingkat pertumbuhan rata-rata untuk ruas Palimanan-Jatibarang sebesar
4,5%.

3.2 Perhitungan Prosentase Kendaraan per Lajur


Dilakukan perhitungan prosentase distribusi kendaraan per golongan per lajur per arah pada volume lalu
lintas tahun 2011. Hasil ini kemudian akan didistribusikan pada LHRT pada tahun 2007-2010 yang berasal
dari data sekunder IRMS
Tabel 2 Perhitungan Prosentase Distribusi Kendaran per Golongan
Kendaraan
Golongan Lajur Cepat Arah Lajur Lambat Arah Lajur Cepat Arah Lajur Cepat Arah
Total
Kendaraan Jatibarang Jatibarang Palimanan Palimanan
Kendaraan
13% 35% 12% 40% 100%
Ringan
5A 47% 12% 31% 10% 100%
5B 34% 16% 38% 12% 100%
6A 16% 24% 46% 15% 100%
6B 22% 32% 34% 12% 100%

7A 36% 4% 45% 15% 100%

7B1 2% 1% 2% 1%
100%
7B2 22% 0% 55% 17%

7C1 20% 1% 10% 3%


7C2 9% 1% 5% 2% 100%
7C3 14% 3% 25% 7%
Sumber : survei volume lalu lintas primer tahun 2011

3.3Data WIM, Faktor Truk, dan Perhitungan Kumulatif ESAL


Nilai Faktor Truk diambil dari data WIM ruas Pamanukan-Eretankulon tahun 2006 untuk golongan
kendaraan ringan, 5A dan 5B dan dapat dilihat pada Tabel 2
Tabel 3 Nilai Faktor Truk Ruas Pamanukan-Eretankulon
Faktor Faktor
Golongan Tipe
Truk Arah Truk Arah
Kendaraan Sumbu
Pamanukan Ciasem

Golongan 2 1.1 0,0021 0,0061

Golongan 3 1.1 0,0021 0,0061

Golongan 4 1.1 0,0021 0,0061

Golongan 5A 1.1 1,1070 1,7800

Golongan 5B 1.2 3,7417 2,4396


Sumber : Ridwan, Frisky. A. M. C (2012)
Nilai Faktor Truk yang akan digunakan merupakan nilai Faktor Truk wakil yang ditentukan dengan analisis
statistik yaitu dengan membuat distribusi pada data tiap golongan 6B, 7A, 7C-1, 7C-2 dan 7C-3 menjadi data
yang berdistribusi normal. Edwards, B (1980) memberikan ciri fungsi kurva komulatif distribusi normal,
yaitu kecenderungan mendekati linier. Untuk itu, penentuan data yang berdistribusi normal adalah dengan
memotong kurva pada titik belok sebagai bentuk batas atas dan batas bawah dari data yang berdistribusi
normal. Hasil perhitungan Faktor Truk dapat dilihat pada Tabel 4.

Tabel 4 Nilai Faktor Truk Aktual Ruas Cirebon-Losari


Faktor Truk
Nilai
Golongan Faktor Truk
Kendaraan Jumlah Data Nilai Rencana
Jumlah Standar
Terdistribusi Rata- Min. Maks. Rata-rata
Data Deviasi
Normal rata

Golongan 6B 5905 3566 33,932 18,3450 10,0092 77,0177 33,93


Golongan 7A 2537 1648 37,532 17,1280 10,1019 69,9464 37,53
Golongan 7C-1 57 57 44,717 17,6207 7,5987 65,0515 44,72
Golongan 7C-2 294 259 54,066 26,5269 17,9362 138,7245 54,07
Golongan 7C-3 83 70 44,327 18,2765 14,1287 86,2791 44,33
Sumber : Puslitbang (2007)

Sedangkan nilai Faktor Truk golongan kendaraan 6A dan 7B secara khusus ditentukan dengan perbandingan
antara nilai Faktor Truk Standar golongan 6A atau 7B yang diberikan oleh H. B. Setyawan (2008) dengan
nilai hasil perhitungan Faktor Truk Aktual hasil survei WIM tahun 2007 golongan 6B atau 7A. Hasil
perhitungan Faktor Truk dapat dilihat pada Tabel 4.

Tabel 5 Rekapitulasi Perhitungan Nilai Faktor Truk Golongan 6A dan 7B

Golongan Kendaraan Faktor Truk

Golongan 6A 2,90

Golongan 7B1 dan 7B2 67,47

Perhitungan kumulatif ESAL dilakukan berdasarkan 2 asumsi yaitupada tahun 2007dilakukan penanganan
terhadap perkerasan yaitu berupa pembuatan struktur baru perkerasan diatas lapis pondasipondasi yang telah
rusakdan asumsi kedua bahwa pada tahun 2007 dilakukan penanganan terhadap perkerasan berupa tebal lapis
tambah menggunakan AC WC tanpa melihat riwayat penanganan struktur perkerasan. Rekapitulasi
perhitungan ESAL Aktual tahun 2008 sampai 2013 dapat dilihat pada Tabel 6.
Tabel 6 Rekapitulasi Perhitungan ESAL Aktual per Lajur
Tahun 2008-2011
Lajur Cepat Arah Lajur Lambat Arah Lajur Cepat Arah Lajur Lambat Arah
Tahun
Jatibarang Jatibarang Palimanan Palimanan
2008 11.908.367 10.314.964 17.236.482 5.714.655
2009 12.552.550 8.191.672 17.747.186 5.844.815
2010 15.332.537 9.298.341 21.522.912 7.068.408
2011 47.196.203 29.834.015 68.685.726 22.648.667
.
Untuk menghitung ESAL rencana pada tahun 2012 dan 2013, digunakan nilai ESAL aktual per lajur per arah
pada tahun 2011. Kemudian untuk mendapatkan ESAL aktual per lajur per arah tahun 2012 dan 2013,
digunakan tingkat pertumbuhan rata-rata sebesar 4,5% per tahun. Rekapitulasi perhitungan ESAL per lajur
per arah tahun 2012-2013 dapat dilihat pada Tabel 7.

Tabel 7 Rekapitulasi Perhitungan ESAL Rencana per Lajur


Tahun 2012-2013
Lajur Cepat Arah Lajur Lambat Arah Lajur Cepat Arah Lajur Lambat Arah
Tahun
Jatibarang Jatibarang Palimanan Palimanan
2012 49.320.032 31.176.545 71.776.583 23.667.857
2013 51.539.433 32.579.490 75.006.530 24.732.911

Kemudian dilakukan perhitungan kumulatif ESAL per lajur per arah dimulai dari tahun 2008-2013 yang
rekapitulasinya dapat dilihat pada Tabel 8.

Tabel 8 Rekapitulasi Perhitungan CESAL Tahun 2008-2013


Lajur Cepat Arah Lajur Lambat Arah Lajur Cepat Arah Lajur Lambat Arah
Tahun
Jatibarang Jatibarang Palimanan Palimanan
2008 11.908.367 10.314.964 17.236.482 5.714.655
2009 24.460.917 18.506.636 34.983.668 11.559.470
2010 39.793.455 27.804.977 56.506.580 18.627.878
2011 86.989.658 57.638.992 125.192.306 41.276.545
2012 136.309.690 88.815.538 196.968.889 64.944.403
2013 187.849.123 121.395.028 271.975.419 89.677.314

3.4 Data Lendutan


Data lendutan perkerasan diperoleh dari survey menggunakan alat FWD tahun 2011. Data yang akan
digunakan untuk analisis pada metoda AASHTO 1993 adalah data lendutan pada pusat beban dan data
lendutan pada jarak terjauh. Namun, sebelumnya dilakukan segmentasi untuk memudahkan perhitungan dan
data yang mengalami outlier dapat dihilangkan dengan Faktor Keseragaman sebesar 30% dengan
menggunakan persamaan :

(∑ ) (∑ )

( )
Dimana,
FK = Faktor Keseragaman
FKijin = Faktor Keseragaman yang diijinkan,
Dimana, (0-10%, keseragaman sangat baik)
(11-20%, keseragaman baik)
(21-30%, keseragaman cukup baik)
dR = Lendutan rata-rata
s = Standar deviasi
d = Lendutan pada suatu titik
N = Jumlah lendutan dalam 1 ruas

Faktor Keseragaman pada diatas menyatakan bahwa semakin kecil nilainya, maka semakin homogen data
lendutan yang akan disegmentasikan. Dipilih FK dengan range nilai 21-30% untuk menyederhanakan
banyaknya data lendutan yang ada serta perbedaan nilai data lendutan yang cukup heterogen agar 1 lajur
hanya mempunyai 1 segmen.

Menurut Pedoman Perencanaan Tebal Lapis Tambah dengan Metode Lendutan, penentuan lendutan wakil
adalah sebagai berikut.
; untuk jalan arteri/tol dengan tingkat kepercayaan 98%
; untuk jalan kolektor dengan tingkat kepercayaan 95%
; untuk jalan lokal dengan tingkat kepercayaan 90%

Dipilih rumus untuk menentukan lendutan wakil. Definisi dari rumus ini adalah dengan
tingkat kepercayaan 98% maka nilai Dwakil terletak antara sampai .
Untuk keperluan desain, sebaiknya diambil batas atas karena semakin tinggi lendutan, maka semakin tinggi
pula tebal lapis tambah yang diperlukan.Sebagai contoh data lendutan di pusat beban dapat dilihat pada
Gambar 3.

Lajur Cepat Arah Jatibarang


500

400
Lendutan (µm)

300

200

100

0
32,750

37,750
21,000
21,750
22,750
23,750
24,750
25,750
26,750
28,250
29,250
30,750
31,750

33,750
34,750
35,750
36,750

38,750

Lendutan d1 KM

Sumber : Subdit Teknik Jalan KPU 2011


Gambar 2 Lendutan di Pusat Beban Lajur Cepat Arah Jatibarang

3.5 Data Tebal Perkerasan dan Suhu Perkerasan


Berdasarkan hasil pengambilan contoh dilapangan dan pengujian yang dilakukan dilaboratorium pada tahun
2007, data perkerasan berupa data sekunder didapat dengan tebal lapisan dan jenis material yang berbeda
untuk lajur cepat dan lajur lambat. Data suhu perkerasan merupakan data primer dimana suhu diambil
menggunakan termometer dengan cara melubangkan perkerasan menggunakan paku beton sedalam 5-10 cm,
kemudian diisi pasir secukupnya, dan termometer dibiarkan didalam lubang selama 5-10 menit. Data ini
diambil hanya 3 titik mengingat kondisi lalu lintas yang cukup padat. Data yang didapat antara lain sebesar :
39,70C, 38,30C, dan 40,10C. Kemudian diambil nilai rata-rata sebesar 39,40C. Contoh data tebal perkerasan
dapat dilihat pada Gambar 3.
Sumber : Subdit Teknik Jalan KPU 2011
Gambar 3Struktur Perkerasan Lajur Lambat dan Cepat Ruas Palimanan–Jatibarang

4. Analisis Data
4.1 Analisis Menggunakan Metode AASHTO 1993
Sebelum menghitung tebal lapis tambah perkerasan dan umur sisa menggunakan Metode AASHTO 1993,
terlebih dahulu dilakukan pengambilan asumsi awal sebagai berikut.
a. Dilakukan penggabungan lapisan AC WC, AC BC, CMRFB dan CTRB.
b. Tebal perkerasan dibawah lapisan CTRB diasumsikan sebagai perkerasan lama yang telah rusak. Jadi
lapisan yang ada dibawah lapisan CTRB diasumsikan menjadi lapisan subgrade.
c. Analisis menggunakan metode AASHTO menggunakan permodelan 2 layer dengan 2 asumsi
perhitungan kapasitas struktural, yaitu asumsi bahwa pada tahun 2007 dilakukan penanganan terhadap
perkerasan yaitu berupa pembuatan struktur baru perkerasan diatas lapis pondasi yang telah rusak dan
asumsi kedua bahwa pada tahun 2007 dilakukan penanganan terhadap perkerasan berupa tebal lapis
tambah menggunakan AC WC tanpa melihat riwayat penanganan struktur perkerasan.
Asumsi tebal yang akan digunakan untuk analisis lapis tambah metode AASHTO 1993 ruas Palimanan-
Jatibarang dapat dilihat pada Gambar 4

Gambar 4 Asumsi Model Struktur Perkerasan Lajur Lambat dan Cepat Ruas Palimanan–Jatibarang

Untuk menghitung Modulus Resilien perkerasan yang telah terpasang, dilakukan dengan menggunakan
lendutan terjauh yaitu lendutan D9 yaitu lendutan yang diasumsikan bahwa D9 merupakan lendutan yang
menjangkau pada tanah dasar, beban pada drop 2 yang diambil beban wakilnya dan nilai r berupa jarak
geophone D9 yang merupakan jarak geophone terjauh dari pusat beban.
Modulus Elastisitas perkerasan terpasang dihitung secara trial and error dimana tebal lapis perkerasan adalah
berupa penggabungan lapis AC WC, AC BC, CMRFB, dan CTRB. Lalu diketahui pula jari-jari pelat beban
sebesar 150 mm, dan beban yang digunakan pun merupakan beban wakil pada drop 2.
Setelah menghitung Modulus Elastisitas perkerasan terpasang, dilanjutkan pengecekan syarat bahwa radius
terhadap lendutan yang diukur harus lebih besar atau sama dengan 0,7 dikalikan jari-jari cekungan tegangan
terhadap subgrade dan hasilnya bahwa radius terhadap jari-jari cekungan tegangan terhadap tanah dasar.
Kapasitas Struktural Awal, yaitu memperkirakan kapasitas struktural pada saat awal perkerasan direncanakan
yaitu pada tahun 2007 dengan asumsi bahwa koefisien tiap lapis perkerasan masih dalam kondisi
100%.Dalam perhitungan ditetapkan untuk lapis permukaan (AC WC dan AC BC), nilai koefisien material
sebesar 0,4. Untuk lapis pondasi (CMRFB), nilai koefisien material sebesar 0,35. Untuk lapis pondasi bawah
(CTRB), nilai koefisien material sebesar 0,25. Berdasarkan perhitungan, nilai SNo mempunyai kesamaan
antar lajur cepat dan lajur lambat pada kedua arah pun mempunyai nilai SNo yang sama. Hal ini dikarenakan
penentuan nilai SNo berupa asumsi dan data tebal perkerasan untuk kedua lajur yang arahnya sama
mempunyai kesamaan.
Umur sisa, yaitu memperkirakan umur sisa dari perkerasan yang telah terpasang dengan menggunakan beban
repetisi yaitu komulatif ESAL dari tiap kendaraan yang melewati atau membebani perkerasan tersebut.Umur
sisa dengan menggunakan metode AASHTO 1993 berupa prosentase, dimana menunjukkan kondisi
perkerasan pada saat evaluasi sampai akhir umur perencanaan berdasarkan beban CESAL.
Kapasitas Struktural Efektif Perkerasan, yaitu sebuah nilai yang mencerminkan keadaan perkerasan saat
dilakukan analisis. Perhitungan Kapasitas Struktural Efektif ini dihitung menggunakan 3 persamaan dan
dipilih nilai terkecil dari hasil perhitungan tersebut. SNeff -1 melihat faktor kondisi beban repetisi pada saat
dilakukannya analisis. SNeff -2 melihat nilai lendutan hasil pengukuran menggunakan alat FWD. SNeff -3
melihat ditentukan dengan memprediksi baik buruknya kondisi struktur perkerasan saat analisis yang
ditunjukkan dengan pemilihan koefisien material dari tiap lapis perkerasan
Kapasitas struktural pada masa yang akan datang ditunjukkan dengan SNf dan dilakukan pengambilan
beberapa asumsi untuk menentukan nilai Zr, So, dan ∆PSI. Ditetapkan nilai Reability sebesar 95% sehingga
nilai Zr sebesar -1,645, So sebesar 0,5 dan ∆PSI sebesar 1,7 (PSI awal sebesar 4,2 dan PSI akhir sebesar 2,5.
Nilai lapis tambah dihitung berdasarkan perbandingan antara nilai kapasitas struktural pada tahun 2013 dan
2008 dibagi dengan nilai koefisien struktural AC yang akan terpasang yaitu sebesar 0,4. Nilai SNeff didapat
berdasarkan nilai terkecil dari 3 perhitungan dan dipakai nilai SNeff dari penentuan asumsi nilai SNeff pada
tahun 2013. Rekapitulasi perhitungan tebal lapis tambah menggunakan Metode AASTHO 1993 dapat dilihat
pada Tabel 9.

Tabel 9 Rekapitulasi Perhitungan Tebal Lapis Tambah Menggunakan Metode AASTHO 1993
D1 D9 Mr Ep Overlay
Station CESAL SNeff SNf SNf-SNeff aol
(µm) (µm) (psi) (psi) (cm)
21+750 - 39+258 187.849.123 239 31 5.491 312.500 6,280 8,571 2,291 0,4 14,6
21+000 - 45+500 121.395.028 190 31 5.625 917.000 5,821 8,072 2,251 0,4 14,3
20+750 - 45+500 271.975.419 195 29 5.976 439.000 6,280 8,754 2,474 0,4 15,7
18+635 - 46+000 89.677.314 297 28 6.320 254.500 5,821 7,523 1,702 0,4 10,8

Kemudian dilakukan perhitungan kapasitas struktural tebal lapis tambah berdasarkan asumsi kedua bahwa
pada tahun 2007 dilakukan penanganan terhadap perkerasan berupa tebal lapis tambah menggunakan AC
WC tanpa melihat riwayat penanganan struktur perkerasan
Kemudian dengan melihat PersamaanLog (W18) yang merupakan fungsi dari Mr, SN, Reability dan ∆PSI.
SN menyatakan kapasitas struktural pada masa yang akan datang dengan W18 yang dihitung dimulai dari
perkerasan dibuka. Berdasarkan konsep ini, asumsi penanganan pada tahun 2007 berupa tebal lapis tambah
menggunakan AC WC tanpa melihat riwayat penanganan struktur perkerasan, maka PersamaanLog (W18)
dapat dimodifikasi menjadi
{ }
( ) ( ) ( )
( )

PersamaanLog (W18) ini akan merubahparameter perhitungan nilai kapasitas struktural, yaitu :
a. Tebal lapis tambah merupakan lapis perkerasan (Ep) dalam model struktur AASHTO 1993.
b. Modulus lapis perkerasan merupakan modulus resilien dikarenakan dalam model struktur AASHTO
1993, dibawah lapis perkerasan merupakan tanah dasar.
c. Perhitungan CESAL dilakukan sejak tahun 2011 sampai dengan 2013.
d. Kapasitas struktural yang dihitung merupakan nilai kapasitas struktural tebal lapis tambah.
Perhitungan kapasitas struktural tdan ebal lapis tambah dapat dilihat pada Tabel 10.

Tabel 10 Nilai Kapasitas Struktural Tebal Lapis Tambah


Station Zr So ∆PSI MR = EP (psi) (W18) Log (W18) SNoverlay
21+750 - 39+258 -1,645 0,5 1,7 312.500 148.055.668 8,170 2,078
21+000 - 45+500 -1,645 0,5 1,7 917.000 93.590.050 7,971 1,220
20+750 - 45+500 -1,645 0,5 1,7 439.000 215.468.839 8,333 1,937
18+635 - 46+000 -1,645 0,5 1,7 254.500 71.049.436 7,852 1,990

4.2 Analisis Perbandingan Tebal Lapis Tambah Metode AASHTO 1993 dengan 2 Asumsi
Analisis perbandingan tebal lapis tambah dengan kedua asumsi dapat dibandingkan berdasarkan parameter-
parameter perhitungan.
1. Bila dilihat dari parameter nilai Modulus Resilien, maka pada umumnya tebal lapis tambah pada
asumsi pertama lebih besar dikarenakan nilai Modulus Resilien pada asumsi pertama lebih kecil dari
asumsi kedua. Pada asumsi kedua, nilai Modulus Resilien merupakan nilai Modulus Lapis
Perkerasan hasil penggabungan lapis AC, CMRFB danCTRB yang nilainya sangat besar sehingga
dapat diambil kesimpulan bahwa kekuatan tanah dasar pada asumsi ini sangat kuat sehingga tebal
lapis tambah yang dihasilkan lebih tipis.
2. Beban CESAL rencana untuk pada asumsi pertama merupakan kumulatif ESAL yang dihitung dari
tahun sejak perkerasan dibuka yaitu tahun 2007 sampai dengan umur rencana yaitu tahun 2013
sehingga pada umumnya menghasilkan nilai tebal lapis tambah yang lebih besar, sedangkan beban
CESAL rencana pada asumsi kedua merupakan kumulatif ESAL yang dihitung sejak dievaluasinya
perkerasan yaitu tahun 2011 sampai dengan umur rencana yaitu tahun 2013 sehingga pada
umumnya menghasilkan tebal lapis tambah yang lebih tipis.
3. Tebal lapis tambah merupakan fungsi dari kapasitas struktural tebal lapis tambah dan koefisien
material nilai AC. Pada perhitungan ini, nilai koefisien yang akan dipakai yaitu 0,4 untuk kedua
asumsi. Perhitungan kapasitas struktural lapis tambah dengan asumsi 1 memperhitungkan nilai SNf
dan SNeff dimana nilai SNf bergantung pada beban CESAL rencana dan nilai Modulus Resilien dan
nilai SNeff dipilih dari hasi perhitungan terkecil dari parameter kapasitas struktural awal, Modulus
Lapis Perkerasan dan estimasi nilai kapasitas struktural terpasang. Sedangkan pada asumsi kedua,
nilai kapasitas struktural tebal lapis tambah hanya melihat parameter nilai nilai Mr yang merupakan
nilai Ep dari struktur terpasang dan beban CESAL rencana. Hasil yang didapat menunjukkan bahwa
dengan nilai beban CESAL rencana yang lebih besar dibandingkan asumsi kedua, nilai Mr yang
lebih kecil dibandingkan asumsi kedua, dengan memperhitungkan kapasitas struktural perkerasan
terpasang, maka nilai kapasitas struktural tebal lapis tambah pada asumsi pertama lebih besar
daripada asumsi kedua. Namun, pada lajur lambat arah Palimanan tebal lapis tambah lebih besar
karena kapasitas struktural perkerasan terpasang dan Modulus Resilien dibawah tebal lapis tambah
pada lajur cepat sedikit lebih kuat dalam menahan beban CESAL rencana pada asumsi pertama
dibandingkan Modulus Resilien yang bernilai besar pada asumsi kedua.

4.3 Analisis Menggunakan Program ELMOD 6


Analisis menggunakan Program ELMOD versi 6 itu juga menggunakan asumsi sebagai berikut.
a. Dilakukan analisis dengan menggunakan permodelan sebanyak 3 layer. Layer-layer pada analisis ini
adalah sebagai berikut.
 Layer pertama adalah penggabungan tebal AC WC dan AC BC sebagai surface yang
diasumsikan bahwa nilai modulus kedua layer tersebut sama.
 Layer kedua adalah penggabungan tebal CMRFB, CTRB dan Subbase yang diasumsikan
bahwa ketiga layer tersebut berperilaku sebagai lapis pondasi dari lapis permukaan.
 Layer ketiga merupakan Subgrade yang diasumsikan sebagai lapis tanah dasar pada
perkerasan.
b. Dilakukan analisis menggunakan permodelan sebanyak 5 layer dengan penentuan layer sebagai
berikut.
 Layer pertama merupakan surface dengan penggabungan tebal AC WC dan AC BC yang
diasumsikan bahwa nilai modulus kedua layer tersebut sama.
 Layer kedua merupakan CMRFB yang diasumsikan berperilaku sebagai lapis pondasi
perkerasan.
 Layer ketiga merupakan CTRB yang diasumsikan berperilaku sebagai lapis pondasi
perkerasan.
 Layer keempat merupakan subbase yang jenis perkerasannya berupa graular.
 Layer kelima merupakan Subgrade yang diasumsikan sebagai lapis tanah dasar pada
perkerasan.
c. Sejak tahun 2007, tidak ada pekerjaan untuk memperbaiki lapis perkerasan secara struktural ataupun
fungsional sampai diambilnya nilai lendutan menggunakan alat FWD untuk keperluan evaluasi.

4.2.1 Analisis Menggunakan Model 3 Layer


Analisis dengan asumsi struktur 3 layer dilakukan dengan menggabungkan beberapa layer menjadi 1 antara
lain lapis permukaan yang merupakan gabungan lapis AC WC dan AC BC dan lapis pondasi yang
merupakan gabungan lapis CMRFB, CTRB. Asumsi model untuk 3 lapis dapat dilihat pada Gambar 5
Gambar 5 Struktur Perkerasan Lajur Lambat dan Lajur Cepat Ruas Palimanan-Jatibarang Model 3
Lapis

Setelah dilakukan proses run, maka akan nilai Modulus rata-rata, umur sisa, dan tebal lapis tambah per lajur
per arah sebagai berikut

Tabel 11 Rekapitulasi Perhitungan Modulus, Umur Sisa dan Tebal Overlay Model 3 Lapis
Umur Sisa (tahun) Tebal Lapis Tambah
Lokasi
AC Pondasi Tanah Dasar (cm)

Lajur Cepat Arah Jatibarang 0,18 0,17 560,10 26


Lajur Lambat Arah
0,58 4,22 2291,65 21
Jatibarang
Lajur Cepat arah Palimanan 0,15 0,92 7125,74 20
Lajur Lambat Arah
0,90 6,26 2431,60 9
Palimanan

4.2.2 Analisis Menggunakan Model 5 Layer


Analisis dengan asumsi struktur 5 layer dilakukan dengan menggabungkan lapis permukaan menjadi 1 yaitu
gabungan lapis AC WC dan AC BC. Asumsi model untuk 3 lapis dapat dilihat pada Gambar 6

Gambar 6 Struktur Perkerasan Lajur Lambat dan Lajur Cepat Ruas Palimanan-Jatibarang Model 5
Lapis

Setelah dilakukan proses run, maka akan didapat nilai Modulus rata-rata, umur sisa, dan tebal lapis tambah
per lajur per arah sebagai berikut

Tabel 12Rekapitulasi Perhitungan Modulus, Umur Sisa dan Tebal Overlay Model 5 Layer
Modulus Umur Sisa Tebal
Station E1 E2 E3 E4 E5 U1 U2 U3 U4 Lapis
(MPa) (MPa) (MPa) (MPa) (MPa) (tahun) (tahun) (tahun) (tahun) Tambah
21+750 - 39+258 5.032 3.388 2.302 922 146 1,209E+25 364.048 35 558 11,7
21+000 - 45+500 5.695 3.708 2.182 1.318 143 1,992E+25 597.496 64 217 8,8
20+750 - 45+500 4.537 3.058 2.220 1.013 148 8,143E+24 251.967 28 641 14,9
18+635 - 46+000 4.555 3.399 2.142 1.420 143 2,618E+25 545.050 108 210 10,4

4.4 Analisis Perbandingan Metode AASHTO 1993 dan Program ELMOD 6


Berdasarkan analisis lapis tambah menggunakan metode AASHTO 1993 dan Program ELMOD 6, didapat
dilihat pada Tabel 9
Tabel 9 Perbandingan Metode AASHTO 1993 dan Program ELMOD 6
No Parameter AASHTO 1993 Program ELMOD 6
Input : Lendutan, Lendutan wakil D1 dan D9 Semua data lendutan, data
temperatur dan yang dikoreksi dengan TAF, temperatur, beban lalu lintas
1 beban lalu lintas beban lalu lintas bisa berupa data LHRT
dikonversikan ke ESAL ataupun ESAL
melalui Faktor Truk
Time Frame Perlu ditentukan untuk Tidak perlu dilakukan
2
Evaluasi menentukan asumsi nilai SN
Model Lapis 2 lapis yaitu Lapis Perkerasan 3 dan 5 Lapis; 3 lapis yaitu
Perkerasan Beraspal (Ep) dan Modulus AC, Pondasi, Tanah dasar; 5
3
Resilien (Mr) Lapis yaitu AC, CMRFB,
CTRB, Pondasi, tanah dasar
4 Metodologi Analitis Empiris Analitis
Umur Sisa Berupa prosentase kualitas Umurnya per lapis dan
perkerasan sampai umur bersatuan tahun
5
rencana

Tebal Lapis Faktor utama yang Sangat bergantung pada


Tambah mempengaruhi adalah asumsi banyaknya lapisan
parameter seperti penentuan perkerasan dan penentuan
6 lendutan wakil D1, besarnya jenis material pada tiap
lalu lintas, tingkat lapisan.
pertumbuhan kendaraan,
penentuan nilai SNeff.

5. Kesimpulan dan Saran


5.1Kesimpulan
Berdasarkan hasil analisis dalam studi ini, diperoleh kesimpulan sebagai berikut.
1. Analisis data lalu lintas memberikan hasil:.
a. Hasil pengamatan survei primer 1x24 jam tahun 2011 dan perhitungan proporsi kendaraan
menunjukkan bahwa terjadi peningkatan volume kendaraan berat di ruas Palimanan-Jatibarang.
b. Berdasarkan analisis pada data IRMS tahun 2007-2010 dan data volume LHRT hasil survei
primer tahun 2011, tingkat pertumbuhan lalu lintas rata-rata pada ruas Palimanan-Jatibarang
sebesar 4,5%.

2. Analisis data WIM dan Kumulatif ESAL memberikan hasil:


a. Berdasarkan hasil perhitungan data WIM tahun 2007, nilai Faktor Truk yang sangat besar
mengindikasikan bahwa overloading telah terjadi pada ruas Palimanan-Jatibarang. Hal ini
mungkin disebabkan oleh pendistribusian barang dari pabrik yang melewati Jalan Pantura
mengalami peningkatan. Selain itu truk-truk untuk pendistribusian barang telah banyak
mengalami modifikasi.
b. Berdasarkan perhitungan kumulatif ESAL, Terjadi peningkatan nilai CESAL dikarenakan nilai
ESAL pada tahun 2011 yang sangat besar. Hal ini telah dijelaskan diatas yaitu jumlah kendaraan
berat hasil distribusi kendaraan seperti golongan 5B, 6B dan 7A (lihat Lampiran) sangat besar
dibandingkan jumlah kendaraan pada tahun sebelumnya. Selain itu nilai Faktor Truk untuk
golongan 6B dan 7A juga sangat besar yang merupakan hasil perhitungan data WIM tahun 2007.

3. Analisis data lendutan memberikan hasil :


a. Pembagian segmen dalam analisis dilakukan berdasarkan data lendutan maksimu (D1) hasil alat
FWD dimana semua lajur terbagi atas satu segmen yang diwakili oleh satu nilai lendutan wakil.
Nilai keseragaman dalam segmen ini harus kurang dari suatu Faktor Keseragaman (<30%). Hal
ini mengingat untuk kemudahan analisis dan nilai outlier dibuang dan diperlukan penanganan
khusus.
4. Analisis menggunakan Metode AASHTO 1993 memberikan hasil :
a. Umur sisa hasil analisis menunjukkan ruas Palimanan-Jatibarang sudah dalam kondisi kritis pada
saat evaluasi dilakukan. Terutama pada lajur cepat arah Jatibarang yang tebal lapis tambahnya
paling besar.
b. Berdasarkan analisis menggunakan metode AASHTO 1993 dengan asumsi pertama dan kedua,
dapat disimpulkan bahwa tebal lapis tambah dengan asumsi pertama cenderung lebih besar
dibandingkan dengan asumsi kedua. Hali ini dikarenakan pada asumsi pertama, dengan nilai Mr
cenderung lebih kecil dibandingkan dengan nilai Mr pada asumsi kedua. Kemudian bila dilihat
dari CESAL, dengan rentang waktu sejak perkerasan dibuka sampai dengan saat evaluasi
menghasilkan nilai yang lebih besar yang berpengaruh terhadap penentuan nilai kapasitas
struktural. Namun bila dilihat kondisi tebal lapis tambah pada lajur lambat arah Palimanan,
dimana tebal lapis tambah dengan asumsi kedua lebih besar daripada asumsi pertama, maka
kapasitas struktural tebal lapis tambah lebih kecil daripada kapasitas struktural lapis tambah
dengan asumsi kedua.

5. Analisis menggunakan Program ELMOD 6 memberikan hasil :


a. Program ELMOD 6model 3 layer mengasumsikan tebal lapis pondasi yang sangat tebal. Bila
dilihat secara teoritis, nilai modulus rata-ratanya menunjukkan bahwa lapis pondasi ini sangat
mantap. Namun perilakunya sebagai lapis pondasi berjenis granular tidak mampu menahan
beban CESAL rencana sehingga menghasilkan nilai tebal lapis tambah yang lebih besar
dibandingkan dengan model 5 layer. Sedangkan pada model 5 layer, pemisahan lapis pondasi
yang sesuai dengan jenis material per layer menghasilkan nilai modulus per layer yang
menunujukkan kualitas material per layer. Hasil perhitungan balik menunjukkan bahwa lapis
CTRB yang telah rusak dapat dilihat dari nilai Modulus rata-ratanya (nilai Modulus rata-rata
2000 Mpa) yang jauh dari nilai Modulus teoritis (4000 Mpa).
b. Umur sisa hasil Program ELMOD 6 merupakan umur sisa per lapis dan dipilih nilai minimum
dari setiap lapis pada tiap titik hasil survei lendutan. Kemudian dirata-ratakan dan nilai hasil rata-
rata dijustifikasi oleh Program ELMOD 6 sebagai nilai umur sisa perkerasan tersebut.

6. Perbandingan antara analisis metode AASHTO 1993 dengan analisis program ELMOD 6 adalah
sebagai berikut.
a. Input pada analisis menggunakan metode AASHTO 1993 yaitu berupa lendutan wakil dari D1
dan D9, yang akan digunakan untuk menghitung Modulus Resilien dan Modulus Elastisitas
perkerasan berasal. Beban lalu lintas sebagai input merupakan prediksi lalu lintas aktual pada
tahun dimana perkerasan dianalisis yaitu tahun 2011 dan juga prediksi untuk lalu lintas yang
akan terjadi pada akhir tahun rencana yaitu tahun 2013 yang nilainya tergantung dari penentuan
tingkat pertumbuhan rata-rata kendaraan per tahun. Sedangkan pada Program ELMOD 6, dalam
menentukan beban lalu lintas bisa berupa beban lalu lintas aktual pada tahun dimana perkerasan
dianalisis ataupun beban lalu lintas rencana pada akhir umur perkerasan.
b. Rentang waktu beban CESAL untuk metode AASHTO harus ditentukan terlebih dahuu.
Sedangkan Program ELMOD 6,rentang waktu beban CESALnya dihitung sejak perkerasan
pertama kali dibuka.
c. Tebal perkerasan yang digunakan dalam analisis menggunakan metode AASHTO 1993
sebanyak 2 lapis sedangkan pada Program ELMOD bisa berupa 2 sampai dengan 5 lapis.
Semakin banyak asumsi tebal lapisan pada Program ELMOD 6, maka semakin tinggi tingkat
ketelitian analisis dalam penentuan tebal lapis tambah.
d. Prisip dasar dari metode AASHTO 1993 adalah Metode Analitis-Empiris. Sedangkan pada
Program ELMOD 6, merupakan Metode Analitis.
e. Hasil analisis umur sisa perkerasan menggunakan metode AASHTO 1993 berbentuk prosentase
dari perbandingan antara beban CESAL aktual dan beban CESAL rencana. Sedangkan pada
Program ELMOD 6, hasil analisis berupa nilai umur sisa yang dinyatakan dalam tahun.
f. Tebal lapis tambah hasil analisis dari metode AASHTO 1993 adalah hampir sama dengan tebal
lapis tambah hasil perhitungan dari Program ELMOD 6 untuk asumsi struktur 5 lapis. Hal ini
menunjukkan tingkat ketelitian perhitungan yang sejalan dengan meningkatnya jumlah lapisan.

5.2 Saran
1. Diperlukan survei WIM secara rutin sesuai tipe sumbu kendaraan dan survei lalu lintas primer
secara periodik minimal 1 tahun sekali selama 24 jam untuk mengantisipasi jenis dan beban
kendaraan yang melewati Jalan Pantura.
2. Disarankan untuk mencoba metode perhitungan balik selain deflection bowl pada Program ELMOD
6, yaitu metode Radius of Curvature dan MET.
3. Program ELMOD sebaiknya tidak hanya menganalisis Jalan tol Jakarta ataupun di Jalan Pantura,
karena Indonesia memiliki kondisi dan jenis tanah yang beragam seperti overloadingakibat beban
berlebih.

Daftar Pustaka

AASHTO 1993 Guide for Design of Pavement Structure, AASHTO.

Direktorat Bina Teknik Kementrian Pekerjaan Umum 2011., Data IRMS 2007, 2008, 2009, 2010, Jakarta

Edwards, B 1980. The Readable Maths and Statistics Book

Firdaus, R, (2006), PerbandinganEvaluasi Kinerja Struktural Perkerasan Lentur Menggunakan Metode


AASHTO 1993 dan Program ELMODpadaJalanTol Jakarta-CikampekruasBekasi Barat-BekasiTimur, ITB,
Bandung.

H, Djoko dan R. Anwar Yamin (2008), Penggunaan Foam Bitumen untuk Daur Ulang Perkerasan Jalan,
Puslitbang Jalan dan Jembatan

Kementrian Pekerjaan Umum 1997, Manual Kapasitas Jalan Indonesia.

Mardiah, S. (2004), Kinerja Struktural Perkerasan Menggunakan Metode AASHTO 1993 dan Program
Komputer ELMOD pada Jalan Tol Jakarta-Cikampek Ruas Cikarang-Karawang Barat,ITB, Bandung.

Marditama, A. (2009), Evaluasi Kinerja Struktural Perkerasan Lentur Menggunakan Program EVERSERIES
dengan Metode Bina Marga (RSNI 2004) pada Jalan Tol Jagorawi Ruas Sentul Utara-Sentul Selatan, ITB,
Bandung.

Puslitbang JalanKementrian Pekerjaan Umum 2007, Data WIM ruas Cirebon-Losari 2007, Bandung.

Puslitbang Jalan Kementrian Pekerjaan Umum 2007, Tebal Perkerasan ruas Palimanan-Jatibarang,
Bandung.

Ridwan, Frisky A, M, C (2012), Evaluasi Kondisi Struktural Perkerasan Lentur Menggunakan Metode
AASHTO 1993, ITB, Bandung.

S. Subagio, B; S. S. Wibowo; Ferdian, T; S. Sufanir, A. Mahadika, Perbandingan Desain Tebal Lapis


tambah Menggunakan Program EVERSERIES dan Metode AASHTO 1993, ITB, Bandung.

Subdit Teknik Jalan Kementrian Pekerjaan Umum 2011, Data Lendutan, Jakarta.

Tambun, L (2010), Perbandingan Desain tebal Lapis Tambah Menggunakan Program ELMOD dan Metode
AASHTO 1993 pada Jalan Tol Jagorawi Ruas Bogor-Ciawi, ITB, Bandung.

Widiana, A. S, (2010), Kajian Perbandingan Tebal Lapis Tambah Perkerasan Lentur antara Metoda
AASHTO 1993 dan Program ELMOD, ITB, Bandung.

Anda mungkin juga menyukai