Anda di halaman 1dari 14

Pengembangan Kualitas SDM Indonesia dengan Sertifikasi

Profesi
27 December 2017 -
Oleh : Hendra Triana, Eva Rosmalia *)
Tulisan ini ditujukan kepada semua Pembaca yang ingin mengetahui tentang Usulan Alternatif Lain Proses
Pengembangan SDM-Sumber Daya Manusia Indonesia Melalui Sertifikasi Profesi yang dilaksanakan Melalui
LSP (Lembaga Sertifikasi Profesi) dan BNSP (Badan Nasional Sertifikasi Profesi )
PENGERTIAN PENDIDIKAN PROFESI
Pengertian Pendidikan profesi dan Sertifikasi Profesi memiliki perbedaan yang mendasar terutama berkaitan
dengan konsep dan tujuan serta penyelenggaranya. Berdasarkan konsep, profesi memiliki dua pengertian yaitu:

 Pengertian profesi adalah jenjang pendidikan setelah sarjana untuk mempersiapkan peserta didik agar dapat
bekerja pada bidang yang memerlukan keahlian khusus. (Undang-Undang No.20 Tahun 2003)
 Pengertian profesi adalah bidang pekerjaan yang untuk melaksanakannya diperlukan kompetensi tertentu
(Peraturan Pemerintah No.31 Tahun 2006)

Konsep profesi pertama berkaitan dengan pendidikan. Pengertian pendidikan profesiadalah untuk
mempersiapkan peserta didik agar dapat bekerja pada bidang yang memerlukan keahlian khusus. Pendidikan
profesi penyelenggaranya dominan oleh Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan, misalkan pendidikan profesi
guru, dokter, akuntan, psikolog dan pendidikan profesi lainnya.
Sedangkan konsep profesi kedua berkaitan dengan bidang pekerjaan. Pengertian sertifikasi profesi adalah
sertifikasi kerja yang diperlukan untuk mendapatkan atau meningkatkan kompetensi tertentu. Sertifikasi
profesi merupakan sertifikasi kerja yang dominan dikeluarkan oleh LSP (Lembaga Sertifikasi Profesi) yang
diakreditasi oleh BNSP (Badan Nasional Sertifikasi Profesi), contohnya adalah Sertifikasi Profesi Ahli
Manajemen Risiko, Analis Keuangan, Akuntan Publik, Konsultan Pajak dan berbagai sertifikasi profesi untuk
kompetensi yang lain.
Sesuai dengan PERPRES 8/2012, Sertifikasi Kompetensi Kerja adalah proses pemberian sertifikat
kompetensi yang dilakukan secara sistematis dan objektif melalui uji kompetensi sesuai Standar Kompetensi
Kerja Nasional Indonesia, Standar Internasional, dan/atau Standar Khusus. Sehingga sistim sertifikasi ini
mempunyai fleksibilitas berharmonisasi dengan berbagai sistem nasional maupun internasional.
Sesuai dengan Peraturan BNSP 01/2015, Sistem Sertifikasi Kompetensi Profesi Nasional adalah tatanan
keterkaitan komponen sertifikasi kompetensi profesi yang mencakup pembentukan kelembagaan sertifikasi,
lisensi, lembaga sertifikasi, pengembangan sistem informasi sertifikasi kompetensi dan pengendalaian mutu
sertifikasi yang sinergis dan harmonis dalam rangka mencapai tujuan pelaksanaan sertifikasi kompetensi kerja
nasional.
JENIS SERTIFIKASI
Secara umum terdapat tiga jenis umum sertifikasi. Tercantum dalam urutan tingkat pembangunan dan
portabilitas, mereka adalah: perusahaan (internal), produk-spesifik, dan profesi.
Sertifikasi perusahaan, atau internal yang dirancang oleh perusahaan atau organisasi untuk kebutuhan
internal. Misalnya, perusahaan mungkin memerlukan kursus satu hari pelatihan untuk semua personil
penjualan, setelah itu mereka menerima sertifikat. Sementara sertifikat ini memiliki portabilitas yang terbatas
khusunya untuk perusahaan lain,
Sertifikasi produk, spesifik sertifikasi yang lebih terlibat, dan dimaksudkan untuk dirujuk ke produk di semua
aplikasi. Pendekatan ini sangat umum di dunia teknologi infomasi industri, di mana personil bersertifikat pada
versi perangkat lunak (software) atau perangkat keras (hardware). Jenis sertifikasi portabel di lokasi (misalnya,
perusahaan yang berbeda yang menggunakan perangkat lunak itu), tetapi tidak seluruh produk lainnya.
Sertifikasi profesi, dilakukan untuk kompetensi atau keahlian khusus. Misalnya profesi medis sering
membutuhkan tenaga ahli atau spesialisasi tertentu dalam memberikan pelayanan kepada pasien. Sertifikasi
profesi dilakukan dalam rangka menerapkan standar profesional, meningkatkan tingkat praktek, dan mungkin
melindungi masyarakat (meskipun ini juga merupakan domain dari lisensi), sebuah organisasi profesional
mungkin menetapkan sertifikasi. Hal ini dimaksudkan untuk menjadi acuan bagi semua tempat dimana seorang
profesional bersertifikat mungkin bekerja. Tentu saja, hal ini membutuhkan pola penilaian dan
pertanggungjawaban secara hukum dari seluruh profesi yang ada.
Sertifikasi professional; Istilah sertifikasi profesional seringkali digunakan untuk menunjukkan kemampuan
atau kualifikasi seseorang berdasarkan atribut atau kriteria yang telah ditentukan oleh sebuah organisasi/badan
atau lembaga pengembangan (biasanya sudah terakreditasi). Sebutan ‘sertifikasi’ atau ‘kualifikasi’ tersebut
ditetapkan bagi tenaga profesional, sering disebut hanya sertifikasi atau kualifikasi, untuk menjamin kualifikasi
dalam melakukan tugas atau pekerjaan tertentu. Misalnya, pemberian sertifikasi kepada tenaga guru dapat
diartikan sebagai suatu proses pemberian pengakuan bahwa seseorang telah memiliki kompetensi untuk
melaksanakan pelayanan pendidikan pada satuan pendidikan tertentu, setelah lulus uji kompetensi yang
diselenggarakan oleh lembaga sertifikasi. Dengan kata lain, sertifikasi guru adalah proses uji kompetensi yang
dirancang untuk mengungkapkan penguasaan kompetensi seseorang sebagai landasan pemberian sertifikat
pendidik (UU RI No 14 Tahun 2005 dalam Depdiknas, 2004).
Sertifikasi sangat umum digunakan dalam bidang konstruksi, penerbangan, teknologi, keuangan, lingkungan,
sektor industri, bisnis, pendididikan, dan kesehatan. Di Amerika Serikat, Federah Aviation Administration
(FAA) mengatur sertifikasi penerbang. Certified Internal Auditor (CIA) merupakan sebuah organiasi berbasis
di Amerika mengkhususkan diri dalam penilaian kinerja keuangan internal yang beroperasi di hampir 165
negara. Organisasi ini juga melakukan sertifikasi terhadap tenaga audit profesionalnya dalam memperoleh
lisensi, dan pengembangan sumber daya manusia. Banyak anggota dari Association of Test Publishers (ATP)
juga organisasi sertifikasi.
Sertifikasi yang diperoleh dari masyarakat profesional atau dari vendor sebuah perusahaan. Misalnya,
Perusahaan Microsoft, Cisco, Machintos, dll). Secara umum, harus diperbaharui secara berkala, atau mungkin
berlaku untuk suatu periode waktu tertentu (misalnya, masa pakai produk di mana seseorang dinyatakan).
Sebagai bagian dari pembaharuan sertifikasi lengkap dari individu, itu adalah umum bagi individu untuk
menunjukkan bukti belajar secara berkelanjutan.
MENGAPA PERLU SERTIFIKASI PROFESI ?
Tantangan di era globalisasi dan pasar yang kompetitif menuntut daya tahan dan daya saing sebuah kelompok,
komunitas, organisasi dan negara dalam bentuk pengembangan sumber daya manusia sebagai “intelectual
asset” menjadi salah satu faktor yang penting dalam mendukung produktivitas dan keunggulan kompetititf
perusahaan. Pengembangan SDM stratejik merupakan tuntutan bagi setiap organisasi untuk menyelaraskan
program training dengan strategi organisasi. Selain itu, pengembangan SDM menuntut perpaduan yang
sinergik antara aspek pembelajaran (learning) dan aspek kinerja (performance). Untuk itu, pengembangan
SDM melalui program training di tempat kerja membutuhkan suatu sarana dan fasilitas yaitu Training Center.
Untuk merealiasikan upaya peningkatan pembelajaran dan kinerja, maka diperlukan suatu standar kompetensi
profesi khususnya bagi para training manager untuk mengelola training center dalam suatu organisasi. Isu
sertifikasi menjadi sangat hangat dibicarakan oleh berbagai kalangan khususnya pihak-pihak yang terlibat
dalam proses pembinaan profesi baik pendidikan, kesehatan, keuangan, pemerintahan dan kemasyarakatan. Isu
sertifikasi menjadi salah satu cara yang digunakan dalam membangun struktur karir profesional dan
pengembangan kualitas atau mutu.
Tahun 2015, merupakan momentum besar dalam pembangunan kompetensi yaitu tahun implementasi integrasi
Masyarakat Ekonomi ASEAN, dimana salah satu unsur penting adalah aliran bebas tenaga kerja trampil
(free flow of labor skill) diantara negara negara yang tergabung dalam ASEAN. Dengan telah ditetapkan
Kerangka Kualifikasi Nasional Indonesia (KKNI) melalui Peraturan Presiden Nomor 08 tahun 2012 dan telah
disepakatinya ASEAN Qualification Reference Framewrok (AQRF) pada akhir tahun 2014, maka
pengembangan kompetensi SDM semakin jelas untuk dapat bersaing dengan negara negara mitra bisnis, dan
memberikan kepastian link and match antara dunia kerja dengan dunia industri, dimana Kerangka Kualifikasi
ini memberikan pedoman penyetaraan proses pembelajaran dari dunia pendidikan, pelatihan dan pembelajaran
di tempat kerja.
Masalah link and match, dan relevansi lulusan Pendidikan termasuk pelatihan dengan dunia kerja masih terus
menjadi isu nasional, Karena masalah kurangnya employability (kecakapan bekerja) pada dunia kerja. Hal
ini menyebabkan industry harus mengembangkan kelembagaan Pendidikan dan pelatihan seperti training
centre, corporate university dan bahkan Pendidikan tinggi, walupun sudah merekrut calon karyawan yang
berasal dari Pendidikan vokasional.
Guna bersaing dalam Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) diperlukan peningkatkan kompetensi baik dari sisi
sumber daya manusia (SDM) maupun organisasi. Para praktisi SDM dituntut untuk lebih meningkatkan
profesionalisme dalam mengelola SDM di organisasi, SDM harus memiliki kompetensi sesuai standar yang
dtetapkan (UU 13 tahun 2003) bahwa kompetensi kerja adalah kemampuan kerja setiap individu yang
mencakup aspek pengetahuan,keterampilan dan sikap kerja. Hal ini menjadi penting karena Divisi SDM adalah
mitra strategis bagi pimpinan organisasi dalam mengelola dan mengembangkan SDM.
Salah satu bentuk dukungan untuk meningkatkan profesionalisme praktisi SDM juga diberikan oleh
pemerintah melalui Kementerian Tenaga Kerja yang mengeluarkan Standar Kompetensi Kerja Nasional
Indonesia (SKKNI). SKKNI ini berisi rumusan kemampuan kerja yang mencakup aspek pengetahuan,
keterampilan, atau keahlian serta yang terkait dengan pelaksanaan tugas dan syarat jabatan.
Program sertifikasi kompetensi merupakan upaya pengembangan sumber daya manusia (SDM) untuk
meningkatkan produktivitas dan daya saing tenaga kerja Indonesia, baik untuk skala domestik maupun
internasional.
DIMANAKAH TEMPAT MENDAPATKAN SERTIFIKASI PROFESI ?
Tidak bisa kita pungkiri bahwa kualitas pekerja kita cukup rendah dimana tenaga kerja kita masih kalah
bersaing dengan tenaga kerja yang berasal dari Malaysia, Singapura ,Thailand dan Negara Tetangga Lainnya.
Hal ini semakin diperparah dengan adanya MEA (Masyarakat Ekonomi ASEAN) dimana pekerja kita harus
bersaing dengan pekerja dari negara ASEAN.
MEA sendiri adalah sistem perdagangan bebas antara negara-negara ASEAN dimana kawasan MEA
mengharuskan membebaskan arus tenaga terampil. Oleh karena itu, sekarang banyak orang yang berlomba-
lomba guna mendapatkan gelar akademik yang lebih tinggi (S1/S2/S3). Tetapi apakah cara tersebut sudah
benar? Cara tersebut dibenarkan sebatas untuk lingkungan akademik. Tetapi untuk lingkungan
kerjatentunya tidak benar. Jadi apa yang dibutuhkan dalam lingkungan kerja? Jawabannya adalah sertifikasi
profesi.
Sertifikasi profesi adalah suatu penetapan yang diberikan oleh suatu organisasi profesional terhadap
seseorang untuk menunjukkan bahwa orang tersebut mampu untuk melakukan suatu pekerjaan atau tugas
spesifik.

 LSP (LEMBAGA SERTIFIKASI PROFESI) ?

Lembaga Sertifikasi Profesi (LSP) adalah lembaga pelaksanaan kegiatan sertifikasi profesi yang memperoleh
lisensi dari Badan Nasional Sertifikasi Profesi (BNSP). Lisensi diberikan melalui proses akreditasi oleh BNSP
yang menyatakan bahwa LSP bersangkutan telah memenuhi syarat untuk melakukan kegiatan sertifikasi
profesi. Sebagai organisasi tingkat nasional yang berkedudukan di wilayah Republik Indonesia.
Pembentukan LSP : LSP dipersiapkan pembentukannya oleh suatu panitia kerja yang dibentuk oleh atau
dengan dukungan asosiasi industri terkait. Susunan panitia kerja terdiri dari ketua bersama sekretaris, dibantu
beberapa anggota. Personal panitia mencakup unsur industri, asosiasi profesi, instansi teknis terkait dan pakar.
Tugas panitia kerja adalah Menyiapkan badan hukum Menyusun organisasi maupun personel Mencari
dukungan industri maupun instansi terkait. Surat permohonan untuk memperoleh lisensi ditujukan kepada
BNSP. Ketentuan pembentukan LSP mengacu kepada PBNSP 202.
Fungsi dan Tugas LSP sesuai PBNSP 202 tahun 2014, LSP memiliki Fungsi melaksanakan Sertifikasi
Kompetensi dan Tugas :

 Menyusun dan mengembangkan skema sertifikasi


 Membuat perangkat asesmen dan uji kompetensi
 Menyediakan tenaga pengujji (asesor)
 Melaksanakan sertifikasi
 Melaksanakan surveilen pemeliharaan sertifikasi
 Menetapkan persyaratan, memverifikasi dan menetapkan TUK
 Memelihara kinerja asesor dan TUK
 Mengembangkan pelayanan sertifikasi

Wewenang LSP : Menerbitkan sertifikat kompetensi; Mencabut/membatalkan sertifikasi


kompetensi; Memberikan sangsi kepada Asesor dan TUK yang melanggar Aturan; Mengusulkan Skema Baru,
Mengusulkan Dana TUK menetapkan Biaya Uji Kompetensi.
Pengendalian LSP : Kinerja LSP dipantau secara periodik melalui laporan kegiatan Surveilen dan monitoring
LSP yang melakukan pelanggaran terhadap ketentuan BNSP dikenakan sanksi sampai pada pencabutan lisensi
Kinerja pemegang sertifikat dipantau melalui laporan pengguna jasa (industri)

 KKNI & SKKNI ?

Apakah Anda termasuk yang merasa kebingungan untuk membedakan antara SKKNI dengan KKNI? Hal
tersebut dirasa wajar mengingat penulisannya dalam bentuk singkatan yang hampir sama. Namun jika dikaji
lebih luas perbedaan SKKNI dan KKNI terlihat dari kepanjangan dari singkatan keduanya yang berbeda satu
sama lain.

 Standar Kompetensi Kerja Nasional Indonesia atau yang disingkat dengan SKKNI merupakan acuan yang
menjadi standar dalam hubungannya dengan kemampuan kerja yang meliputi aspek keterampilan, pengetahuan
dan sikap kerja yang sesuai dengan pelaksanaan tugasnya serta sesuai dengan persyaratan dari pekerjaan yang
sudah ditetapkan dimana semua standar atau ketentuan dalam SKKNI sesuai dengan ketentuan dalam
peraturan perundang-undangan yang berlaku. Dengan kata lain, SKKNI merupakan standar kompetensi tenaga
kerja yang berlaku secara nasional di Indonesia dan merupakan standar kompetensi bersifat lintas perusahaan.
Peraturan Pemerintah PP 31/2006 mengatur SKKNI dikelompokkan ke dalam jenjang kualifikasi dengan
mengacu pada KKNI dan/atau jenjang jabatan
 Sementara KKNI merupakan acuan di dalam pengemasan SKKNI ke tingkat atau jenjang kualifikasi.
Kerangka Kualifkasi Nasional Indonesia atau yang disingkat dengan KKNI sendiri merupakan kerangka
jenjang kualifikasi dari kompetensi yang mampu menyandingkan, melakukan penyetaraan serta
mengintegrasikan bidang pendidikan, bidang pelatihan kerja dan pengalaman kerja, sebagai pengakuan
kompetensi kerja yang sesuai dengan struktur pekerjaan dalam berbagai sektor. Dengan mengacu terhadap
Peraturan Pemerintah No.31 Tahun 2006 Tentang Sistem Pelatihan Kerja Nasional, Kerangka Kualifkasi
Nasional Indonesia terdiri dari sembilan jenjang kualifkasi yang meliputi jenjang kualifikasi Sertifikat ke I
hingga dengan jenjang kualifikasi Sertifikat ke IX. KKNI mengacu pada Peraturan Presiden Republik
Indonesia No.8 tahun 2012 .
Dalam upaya untuk peningkatan kualitas kerja SDM di Indonesia, hubungan antara SKKNI dan KKNI saling
berkaitan satu sama lain. Adanya upaya pengemasan SKKNI ke dalam jenjang kualifikasi KKNI dengan
menggunakan parameter yang diatur dalam Peraturan Menteri Tenaga Kerja No.21/MEN/X/2007 Tentang Tata
Cara Penetapan SKKNI. Maksud dari pengemasan SKKNI ke dalam jenjang kualifikasi KKNI ini adalah
sebagai upaya dalam penyandingan serta penyetaraan kualifikasi maupun rekognisi terhadap tingkat
pendidikan dan atau dengan tingkat pekerjaan. Selain itu pengemasan ini membantu terwujudnya hubungan
harmonisasi serta kerjasama dalam hal saling pengakuan kualifikasi dengan negara lain, secara bilateral
maupun multilateral. Berikut adalah bagan Leveling Sertifikasi KKNI (Perpres 08/2012), Jenjang Pendidikan
Formal ( Program Akademik, Kejuruan, Vokasi, Profesi ) dan Jenjang Pendidikan Non Formal, Informal,
Pelatihan dan Pengalaman :
MANFAAT, KELEBIHAN DAN KEKURANGAN SERTIFIKASI PROFESI
“Menurut Kepala Sekretariat Badan Nasional Sertifikasi Profesi (BNSP) Darwanto, pihaknya menyadari
adanya ketidakcocokan antara kebutuhan pasar ketenagakerjaan nasional dan keterampilan pekerja. “Oleh
karena itu, salah satu strategi percepatan peningkatan kompetensi SDM adalah melalui pengembangan Standar
Kompetensi Kerja Nasional Indonesia (SKKNI) dan sertifikasi kompetensi. Jumlah SKKNI saat ini tercatat
sebanyak 624 SKKNI pada 9 sektor industri dan jasa,” kata Darwanto.
Dalam hal mendukung peningkatan kompetensi SDM, menurut Darwanto, pemerintah sejatinya telah
melakukan upaya antisipasi kompetisi global. “Antara lain melalui pencanangan paket kebijakan ekonomi XII
pada April 2016 lalu yang salah satunya menitikberatkan pada peningkatan kualitas SDM. Badan Nasional
Sertifikasi Profesi (BNSP) pun akan mempercepat proses sertifikasi untuk 120 ribu tenaga kerja profesional
pada tahun 2017. Per Agustus 2016, jumlah tenaga kerja yang telah tersertifikasi sebanyak 2.463.806 orang,”
ujarnya.
Manfaat Bagi Industri :

 Membantu Industri meyakinkan kepada Kliennya bahwa Produk/Jasanya telah dibuat oleh Tenaga-tenaga
Yang Kompeten
 Membantu Indutri dalam recruitment dan mengembangkan tenaga berbasis kompetensi guna meningkatkan
efisiensi HRD khususnya dan efisiensi Nasional pada Umumnya
 Membantu Indutri dalam sistim pengembangan Karir dan Renumerasi Tenaga berbasis Kompetensi dan
meningkatkan Produktifitas

Manfaat Bagi Tenaga Kerja / Profesional :

 Membantu Tenaga profesi meyakinkan kepada Organisasi/Industri/Kliennya bahwa dirinya KOMPETEN


dalam Bekerja atau Menghasilkan Produk atau Jasa dan Meningkatkan Percaya Diri Tenaga Profesi
 Membantu Tenaga Profesi dalam merencanakan Karirnya dan Mengukur Tingkat Pencapaian Kompetensi
dalam Proses Belajar di Lembaga Formal maupun secara Mandiri
 Membantu Tenaga Profesi dalam memenuhi Prasyarat Regulasi
 Membantu Pengakuan Kompetensi Lintas Sektor dan Lintas Negara
 Membantu Tenaga Profesi dalam Promosi Profesinya di Pasar Bursa Tenaga Kerja

Kelebihan sertifikasi profesi:

 Memiliki daya saing yang tinggi dalam dunia kerja


 Memiliki kompetensi kerja yang sesuai standar kerja baik nasional,international maupun khusus
 Mendapatkan pengakuan kompetensi secara nasional dan internasional.
 Meningkatkan peluang karir profesional dan meningkatkan kredibilitas orang tersebut
 Menambah wawasan baru yang tidak didapat pada saat menempuh pendidikan formal.
 Dapat meningkatkan posisi dan juga reputasi si profesional tersebut apabila sudah bekerja di dalam sebuah
perusahaan.

Kekurangan sertifikasi profesi:

 Tingkat Pemahaman dan Pengertian tentang Sertifikasi Profesi di Masyarakat


 Program Pelatihan dan Pengembangan untuk mendapatkan Sertifikasi Kompetensi Profesi tidak murah.
 Masih terbatasnya Instruktur yang berpengalaman dari industri dalam profesi tertentu untuk memberikan
transfer knowledge dalam pelatihan berbasis kompetensi
 Program Sertifikasi Profesi belum merata secara Nasional di Indonesia

KESIMPULAN DAN SARAN PENULIS

 Tujuan Sertifikasi adalah untuk memastikan dan memelihara kompetensi yang telah didapat melalui proses
pembelajaran baik formal, non formal, pelatihan kerja ataupun pengalaman kerja. Karena dalam dunia kerja
kompetensi harus dipelihara, bukan hanya Kompeten tetapi Kompeten dan Terus Tetap Kompeten
 Dalam Kaidah pengembangan SDM seharusnya dipastikan Pendidikan dilaksanakan Lembaga Pendidikan
(formal, non formal, informal), pelatihan dilaksanakan di Lembaga Pelatihan, dan sertifikasi profesi
dilaksanakan oleh Lembaga Sertifikasi Profesi (LSP). Untuk menjamin Kredibilitas dan Konsistensinya LSP
harus mendapat Lisensi dari BNSP (Badan Nasional Sertifikasi Profesi )
 Diperlukan meningkatkan kompetensi SDM Indonesia agar lebih siap berkompetisi. Untuk itu, selain
pengetahuan yang didapat dari jenjang pendidikan formal, tenaga kerja perlu memiliki sertifikasi dan
kompetensi kerja untuk bersaing dengan pekerja dari negara lain dalam era MEA. Sertifikasi kompetensi
penting dilakukan agar SDM kita mempunyai acuan untuk meningkatkan kompetensi dan memiliki standar
yang diakui oleh lembaga-lembaga terkait.
 Untuk meningkatkan jumlah tenaga yang tersertifikasi memang tidak mudah. Kesulitan yang dihadapi adalah
bagaimana memberikan kemudahan akses dan jaminan dalam memberikan realisasi percepatan sertifikasi
tersebut, Artinya kita harus mempersiapkan infrastruktur yaitu standar kompetensi harus diselesaikan di
berbagai sektor. Lembaga sertifikasinya pun harus lebih ditingkatkan jumlahnya karena sampai saat ini baru
ada sekitar 570-an lembaga sertifikasi profesi. Hal lainnya adalah diperlukan peningkatan kredibilitas dan
kualitas untuk meningkatkan aksesornya.
 Sertifikasi kompetensi juga mempermudah perusahaan dalam proses seleksi karyawan. Sehingga akan
mempercepat rekrutmen calon tenaga kerja yang sudah kompeten serta menghemat tenaga, waktu, dan biaya
perusahaan secara signifikan. Sedangkan bagi pelanggan, sertifikasi kompetensi juga memberikan nilai tambah
dengan memberikan keyakinan bahwa pelanggan dilayani oleh para profesional yang kompeten di bidangnya
masing-masing.
 Standar kompetensi merupakan ukuran atau patokan tentang pengetahuan, keterampilan, dan sikap kerja yang
harus dimiliki seseorang untuk mengerjakan suatu pekerjaan atau tugas sesuai dengan unjuk kerja yang
dipersyarakatkan. Standar kompetensi tidak berarti hanya kemampuan menyelesaikan suatu tugas, tetapi
dilandasi pula bagaimana serta mengapa tugas itu dikerjakan. Dengan kata lain, standar kompetensi meliputi
faktor-faktor yang mendukung seperti pengetahuan dan kemampuan untuk mengerjakan suatu tugas dalam
kondisi normal di tempat kerja serta kemampuan mentransfer dan menerapkan kemampuan dan pengetahuan
pada situasi dan lingkungan yang berbeda. Sebuah standar kompetensi merupakan dokumen yang menentukan
dalam format yang terstruktur bagaimana orang harus melakukan pekerjaan atau peran kerja. Standar
kompetensi mencoba untuk menangkap berbagai dimensi itu, ketika diambil bersama-sama, “Icon” untuk
kinerja K =‘kompeten’ atau BK= “Belum Kompeten”.
 Kebijakan Pemerintah melalui BNSP sebagai arahan dalam pengembangan program dan kegiatan untuk
pelaksanaan strateginya : Mendukung peningkatan daya saing industri baik di pasar dalam negeri maupun
pasar luar negeri; Mendukung pelaksanaan kesempatan kerja dan penanggulangan pengangguran; peningkatan
kualitas, produktivitas dan daya saing tenaga kerja Indonesia; meningkatkan perlindungan dan kesejahteraan
tenaga kerja baik sebagai subyek maupun sebagai obyek pembangunan;
 Dapat dibayangkan seandainya para Tenaga Kerja Asing berbondong melamar kerja di negara kita yang
tercinta ini dengan membawa sertifikasi profesi sudah bisa dipastikan bahwa mereka bakal memiliki
keunggulan dalam hal ini. Pertanyaannya adalah apakah kita RELA dan akan terus berkutat dengan GELAR
AKADEMIK ?
 Dengan Optimalisasi Program Sertifikasi Profesi, SDM Negara kita akan akan Bangun, Bangkit dan
Berkembang, Menjadi Raja di Negara Sendiri dan menjadi Mercusuar Dunia untuk segala Sektor dan Bidang
Industri di Tanah Air Tercinta Indonesia yang Kaya Raya dan Subur, Indonesia akan Kaya Profesional
yang KOMPETEN di Bidang Industri Masing-masing, dan Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia
akan segera Terwujud.

*)
Hendra Triana adalah Business Analyst; Praktisi TIK-Teknologi Informasi dan Komunikasi; Auditor
Teknologi Informasi pada (IATI-Ikatan Auditor Teknologi Indonesia); Pengajar dan Dosen pada
PTS; Sekretaris Jendral pada KIRM-Komite Independen Revolusi Mental Indonesia.
Eva Rosmalia adalah Direktur Eksekutif Lembaga Sertifikasi Profesi
Kendala dalam presfektif Regulasi Sektor

UU NO. 20TAHUN 2003 TENTANG SISTEM PENDIDIKAN NASIONAL

Bagian Ketiga Sertifikasi Pasal 61

1. Sertifikat berbentuk ijazah dan sertifikat kompetensi.

2. Ijazah diberikan kepada peserta didik sebagai pengakuan terhadap prestasi belajar dan/atau
penyelesaian suatu jenjang pendidikan setelah Lulus ujian yang di selenggarakan oleh satuan
pendidikan yang terakreditasi.

3. Sertifikat kompetensidiberikan oleh penyelenggara pendidikan dan lembaga pelatihan kepada


peserta didik dan warga masyarakat sebagai pengakuan terhadap kompetensi untuk melakukan
pekerjaan tertentu setelah lulus uji kompetensi yang diselenggaraka oleh satuan pendidikan yang
terakreditasi atau lembaga sertifikasi

PP NOMOR 41 TAHUN 2015

TENTANG PEMBANGUNAN SUMBER DAYA INDUSTRI

BAB II

Bagian Kesatu Pembangunan Tenaga Kerja Industri

Pasal 3

 Pembangunan Industri nasional harus didukung dengan


 Tenaga Kerja Industri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri dari:
 a. tenaga teknis; dan b. tenaga manajerial.

Pasal 4

Tenaga teknis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (2) huruf a menangani pekerjaan di
bidang teknis pada Perusahaan Industri dan/atau Perusahaan Kawasan Industri. (2) Tenaga teknis
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling sedikit memiliki:

a. kompetensi teknis sesuai dengan SKKNI di bidang Industri;

b..dan pengetahuan manajerial.


(3) Pembangunan tenaga teknis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan paling

sedikit melalui kegiatan: a. Pendidikan Vokasi Industri berbasis kompetensi

Pasal 40

Setiap Perusahaan Industri dan Perusahaan Kawasan Industri yang meng gunakan Tenaga Kerja
Industri yang tidak memenuhi SKKNI sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (3) dikenai
sanksi administratif berupa:

a. peringatan tertulis;

b. denda administratif;

c. penutupan sementara;

d. pembekuan Izin Usaha Industri atau Izin Usaha Kawasan Industri; dan/atau

e. pencabutan Izin Usaha Industri atau Izin Usaha Kawasan Industri.

tl-57fd1f9cd17a61c5567ef84d.png

Urgensi LSP dalam Revitalisai SMK

Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan tentunya mempunyai peran yang paling besar dalam
revitalisasi SMK. Salah satu program revitalisasi SMK yang dilakukan oleh Kementerian
Pendidikan dan Kebudayaan adalah pelaksanaan uji kompetensi untuk guru kejuruan dan uji
kompetensi untuk siswa.

Uji kompetensi adalah upaya mengukur kompetensi seseorang apakah sudah sesuai dengan
kebutuhan industri. Pelaksanaan uji kompetensi dilakukan di Lembaga Sertfikasi Profesi (LSP).

LSP adalah Badan hukum atau bagian dari suatu badan hukum yang merupakan kepanjangan
tangan dari Badan Nasional Sertifikasi Profesi (BNSP) dalam pemberian lisensi profesi.
Sertifikasi profesi pada hakikatnya merupakan tugas dari BNSP. Akan tetapi karena
keterbatasan, BNSP bisa mengalihkan tugas kepada LSP untuk melakukan uji kompetensi.
Meski begitu BNSP mempunyai tanggungjawab untuk menjamin bahwa LSP betul-betul
melakukan uji kompetensi dengan mekanisme yang profesional sesuai dengan pedoman yang
telah ditetapkan oleh BNSP.

Berdasar pedoman BNSP nomor 202 tahun 2014, BNSP membagi LSP menjadi tiga yaitu LSP
pihak kesatu, LSP pihak kedua dan LSP pihak ketiga. LSP pihak kesatu terbagi dua yaitu LSP
pihak kesatu industri dan LSP pihak kesatu lembaga pendidikan/lembaga pelatihan. Klasifikasi
jenis LSP tersebut didasarkan pada badan atau lembaga yang membentuknya dan sasaran
sertifikasinya.

LSP pihak kesatu industri adalah LSP yang didirikan oleh industri atau instansi dengan tujuan
utama melaksanakan sertifikasi kompetensi kerja terhadap sumber daya manusia lembaga
induknya, sesuai ruang lingkup yang diberikan oleh BNSP. LSP pihak kesatu lembaga
pendidikan/pelatihan adalah LSP yang didirikan oleh lembaga pendidikan dan atau pelatihan
dengan tujuan utama melaksanakan sertifikasi kompetensi kerja terhadap peserta
pendidikan/pelatihan berbasis kompetensi dan /atau sumber daya manusia dari jejaring kerja
lembaga induknya, sesuai rua lingkup yang diberikan oleh BNSP.

LSP Pihak kedua adalah LSP yang didirikan oleh industri atau instansi dengan tujuan utama
melaksanakan sertifikasi kompetensi kerja terhadap sumber daya manusia lembaga induknya,
sumber daya manusia dari pemasoknya dan /atau sumber daya manusia dari jejaring kerjanya,
sesuai ruang lingkup yang diberikan oleh BNSP. LSP Pihak Ketiga adalah LSP yang didirikan
oleh asosiasi industri dan atau asosiasi profesi dengan tujuan melaksanakan sertifikasi
kompetensi kerja untuk sektor dan atau profesi tertentu sesuai ruang lingkup yang diberikan oleh
BNSP.

Pada program revitalisasi SMK pelaksanaan uji kompetensi untuk guru dilakukan di LSP P2.
LSP P2 didirikan oleh PPPPTK sebagai unit `pelaksanan teknis Kementerian Pendidikan
danKebudayaan dalam upaya peningkatan kompetensi Guru. Sedangkan pelaksanaan uji
kompetensi untuk siswa dilakukan di LSP P1. LSP P1 didirikan di sekolah. Pada saat ini
Kementerian dan Kebudayaan mendorong dan memfasilitasi SMK bisa mendirikan LSP.

Sesuai dengan pedoman BNSP nomor 202 tahun 2014 bahwa LSP P1 adalah LSP yang
mempunyai tugas melakukan sertifikasi untuk SDM instansi induknya. Sedangkan LSP P2
mempunyai tugas untuk melakukan sertifikasi industri untuk SDM induknya dan SDM jejaring
dari instansi induknya. Batasan ruang lingkup sertifikasi ini tentu berimplikasi kepada
keberfungsian sertifikat kompetensi yang dikeluarkan oleh LSP P1 atau LSP P2. Sertifikat
kompetensi yang dikeluarkan oleh LSP P1 hanya untuk berlaku untuk kepentingan intansi
induknya. Artinya sertifikat yang diterima siswa SMK yang melakukan uji kompetensi di LSP
P1 hanya berlaku untuk keperluan sekolah sebagai instansi induk dari LSP P1. Akan tetapi
sertikat yang dikeluarkan LSP P1 tidak bisa digunakan sebagai syarat administrasi saat siswa
tersebut mencari pekerjaan. Hal ini juga berlaku untuk sertifikasi yang dikeluarkan oleh LSP P2.
Sertifikat yang dikeluarkan LSP P2 hanya berlaku untuk internal instansi induknya atau instansi
jejaring dari instansi induknya. LSP yang bisa mengeluarkan sertifikat yang sertifikatnya
diterima industri adalah LSP P3. Kesimpulannya saat seorang lulusan SMK akan bekerja, dan
sebuah sebuah industri mensyaratkan lulusan SMK mempunyai sertifikat uji kompetensi maka
lulusan SMK tersebut masih harus ikut uji kompetensi melalui LSP P3 meski dia sudah
mempunyai sertifikat kompetensi yang dikeluarkan oleh LSP P1.

Perlunya Keterpaduan dan Penyederhanaan

Peningkatan kualitas SMK melalui uji kompetensi adalah hal yang sangat positif. Meski begitu
ada beberapa evaluasi terkait dengan pelaksanaan uji kompetensi tersebut. Salah satu perbaikan
yang harus segera dilakukan adalah memadukan antara kurikulum dengan materi uji kompetensi.
Evaluasi yang dilaksanakan sekolah pada hakikatnya adalah mengukur keberhasilan proses
pembelajaran. Sehubungan dengan itu harus ada kesamaan antara materi dengan apa yang akan
diujikan. Selain nilai yang mungkin rendah bila tidak ada kesamaan antara materi dengan
evaluasi maka hasil evaluasi juga tidak bisa dipakai sebagai alat melakukan judgement terhadap
proses pembelajaran.

Persoalannya ini yang terjadi dalam pelaksanaan uji kompetensi melalui Lembaga Sertifikasi
Profesi (LSP). Uji kompetensi didasarkan kepada Standar Kerja yang berlaku di Industri.
Kompetensi ini tercermin dalam dokumen Standar Kompetensi Kerja Nasional Indonesia
(SKKNI). Sedangkan materi yang diajarkan di SMK adalah mengacu pada Kurikulum 2013 yang
berlaku. Padahal secara unit kompetensi kadang ada perbedaan antara apa yang ada dalam
Kurikulum dengan apa yang ada dalam SKKNI. Seharusnya kurikulum berlaku di SMK juga
mengacu kepada SKKNI.

Keberadaaan SMK adalah untuk menyiapkan lulusan yang siap pakai untuk bekerja di Industri.
Idealnya kurikulum yang berlaku di SMK harus terkait dengan dunia Industri. Ketika kurikulum
dan materi uji kompetensi yang dilaksanakan LSP sudah mengacu pada kebutuhan industri maka
hasil Uji Kompetensi juga dapat dipakai untuk mengukur keberhasilan proses pembelajaran.

Evaluasi kedua adalah terkait dengan keberadaan LSP P1 di sekolah apakah diperlukan ataukah
lebih baik siswa langsung melakukan uji kompetensi di LSP P3. Seperti yang ada dalam
pedoman BNSP keberadaan LSP P1 hanya diperlukan untuk sertifikasi SDM yang ada dalam
instansi induknya. Definisi ini berimplikasi sertifikat yang diterbitkan oleh LSP P1 hanya
berlaku untuk sekolah tersebut. Sertifikat uji kompetensi tidak akan berlaku saat siswa bekerja di
sebuah industri. Sehubungan dengan itu alangkah baiknya kalau pelaksanaan uji Kompetensi
bagi lulusan SMK langsung dilaksanakan di LSP P3. Tugas pemerintah adalah memfasiiltasi
agar berdiri banyak LSP P3 sesuai dengan kebutuhan Industri.

Selain itu pelaksanaan uji kompetensi melalui LSP P1 juga membebani sekolah. SDM yang
berkiprah di LSP P1 tentunya juga guru yang ada di sekolah tersebut. Satu sisi sekolah juga
masih dituntut untuk melaksanakan ujian praktik sesuai dengan tuntutan kurikulum. Tentunya ini
menjadi beban bagi sekolah. Siswa tentunya juga akan terbebani apabila harus dua kali
mengikuti uji kompetensi. Sehubungan dengan itu alangkah baiknya kalau kalau uji kompetensi
dipadukan dengan ujian praktek Sekolah tidak perlu ada uji kompetensi melalui LSP P1 akan
tetapi model ujian praktek yang dilakukan sekolah mengadop pelaksanaan uji kompetensi.
Apabila ujian praktek mengadop kepada pelaksanaan uji kompetensi juga akan memberikan
pengalaman saat siswa nanti mengikuti uji kompetensi di LSP P3. Gambaran ideal terkait dengan
hubungan antara kebutuhan industri, kurikulum, dan uji kompetensi dapat digambarkan dalam
bagan berikut:

dok. pribadi

HALAMAN :
1. 1
BUKU PESERTA DIDIK

Komponennya:

https://studylibid.com/doc/775625/deskripsi-butir-instrumen-penilaian#

Anda mungkin juga menyukai