Anda di halaman 1dari 13

KUALITAS KOMPONEN BIOAKTIF SIMPLISIA DAN EKSTRAK CAIR BUBUK

BUNGA KECOMBRANG DARI HASIL OPTIMASI SUHU DAN WAKTU

Taslimatul Auliya, Dwiana Intan Pertiwi, Rifda Naufalin, Poppy Arsil dan Rumpoko
Wicaksono
Program Studi Ilmu dan Teknologi Pangan, Fakultas Pertanian, Universitas Jenderal Soedirman,
Purwokerto 53122

ABSTRAK
Bunga kecombrang memiliki manfaat sebagai antioksidan dan antimikroba.
Kemampuan ini dapat dimaksimalkan dengan pengolahan melalui pengeringan dan ekstraksi
cair. Pada pengeringan dan ekstraksi cair, suhu dan waktu yang kurang tepat dapat
memengaruhi kandungan komponen bioaktif produk. Penelitian ini bertujuan untuk
mengetahui kualitas komponen bioaktif bubuk dan ekstrak cair bunga kecombrang secara
kuantitatif dan kualitatif berdasarkan suhu dan waktu. Rancangan percobaan yang digunakan
pada bubuk bunga kecombrang adalah Rancangan Acak Lengkap (RAL) dengan 9 kombinasi
perlakuan dan diulang 3 kali, sedangkam pada ekstrak cair bunga kecombrang menggunakan
metode Responsse Surface Method (RSM) dengan perangkat lunak Desain Expert 10.
Rancangan optimasi formula dilakukan dengan Central Composit Design (CCD)
menghasilkan 13 formula optimasi. Faktor yang diujicobakan pada pengeringan yaitu 50oC,
60oC, 70oC, serta waktu yaitu 4, 5 dan 6 jam. Suhu ekstraksi cair yaitu 40oC, 50oC, 60oC serta
waktu yaitu 3, 4 dan 5 jam. Berdasarkan hasil penelitian total fenol tertinggi simplisia dan
ekstrak cair bunga kecombrang yakni 27,93 mg TAE/g sampel dan 64,458 mg TAE/100 g.
Total flavonoid tertinggi simplisia dan ekstrak cair bunga kecombrang yakni 2,073 QE/g
sampel dan 35,120 mg QE/100 g serta nilai pH (3,9). Senyawa pada produk formula optimum
yaitu fenolik, flavonoid, alkaloid, terpenoid serta tanin.

Kata kunci: bunga kecombrang, pengeringan, ekstraksi cair, suhu, waktu

ABSTRACT
Kecombrang flower has benefits as an antioxidant and antimicrobial. This capability can be
maximized by processing through drying and liquid extraction. In the drying and extraction
of liquid, the temperature and time that is not right can affect the content of bioactive
components of the product. This study aims to determine the quality of bioactive components
of powder and liquid extract of kecombrang flowers quantitatively and qualitatively based on
temperature and time. The experimental design used in kecombrang flower powder is a
Completely Randomized Design (CRD) with 9 treatment and 3 replication as long as the
liquid extract of kecombrang flowers using the Responsse Surface Method (RSM) method
with Expert Design 10 software. Central Composit Design (CCD) produced 13 optimization
formulas. Factors that were tested on drying are 50oC, 60oC, 70oC, and time is 4, 5 and 6
hours. Liquid extraction temperature is 40oC, 50oC, 60oC and time is 3, 4 and 5 hours.
Based on the results of the study the highest total phenol simplisia and liquid extract of
kecombrang flowers namely 27.93 TAE / 100 g sample and 64.458 mg TAE / 100 g. The
highest total of flavonoids is simplicia and liquid extract of kecombrang flower which is
2.073 QE / 100 g sample and 35.120 mg QE / 100 g and pH value (3.9). The compounds in
the optimum formula product are phenolic, flavonoids, alkaloids, terpenoids and tannins.

Keywords: kecombrang flower, drying, liquid extraction, temperature, time

1
1. PENDAHULUAN
Salah satu tanaman rempah dan obat yang memiliki potensi sebagai pangan fungsional
pada antioksidan dan antibakteri adalah kecombrang (Etlingera elatior) (Hudaya et al.,
2014). Kecombrang merupakan salah satu jenis tanaman rempah-rempah yang sejak lama
dikenal dan dimanfaatkan oleh manusia sebagai bahan masakan. Bagian tanaman yang umum
digunakan adalah bunga dan batangnya (Naufalin, 2017). Menurut Tampubolon et al. (1983),
senyawa yang terdapat dalam bunga kecombrang yaitu alkaloid, flavonoid, polifenol,
terpenoid, steroid, saponin, dan minyak atsiri.
Kemampuan bunga kecombrang dapat dimaksimalkan dengan pengolahan lebih lanjut
dengan dilakukan pengeringan. Pengeringan bertujuan untuk mengurangi kadar air pada
bunga kecombrang sampai batas perkembangan mikroorganisme dan kegiatan enzim yang
dapat menyebabkan pembusukan terhambat atau bahkan terhenti sama sekali. Dengan
demikian, bahan yang dikeringkan mempunyai waktu simpan lebih lama (Adawyah, 2014).
Selama proses pengeringan, beberapa hal harus diperhatikan seperti suhu pengeringan dan
waktu pengeringan. Proses pengeringan memegang peranan yang sangat penting. Jika suhu
pengeringan terlalu tinggi akan mengakibatkan penurunan senyawa aktif dan perubahan
warna produk yang dikeringkan. Sedangkan apabila suhu yang digunakan terlalu
rendah sulit untuk mencapai kadar air yang diinginkan.
Penggunaan bubuk bunga kecombrang masih dapat dimaksimalkan dengan pengolahan
dalam bentuk ekstrak cair. Ekstraksi adalah kegiatan penarikan kandungan kimia yang dapat
larut sehingga terpisah dari bahan yang tidak dapat larut dengan menggunakan suatu pelarut
cair (Tambun et al., 2016). Metode yang digunakan pada pembuatan ekstrak cair bubuk
bunga kecombrang adalah dengan ekstraksi menggunakan pelarut air.
Umumnya kelarutan zat aktif yang diekstrak akan bertambah besar dengan bertambah
tingginya suhu. Akan tetapi, peningkatan suhu ekstraksi juga perlu diperhatikan. Hal ini
karena suhu yang terlalu tinggi dapat menyebabkan kerusakan pada bahan yang sedang
diproses (Magaretta et al., 2011). Selain suhu, penggunaan waktu ekstraksi juga perlu
diperhatikan. Hal ini sesuai dengan Budiyanto dan Yulianingsih (2008), yang menyatakan
bahwa waktu ekstraksi yang tepat akan menghasilkan senyawa yang optimal. Waktu ekstraksi
yang terlalu lama akan menyebabkan ekstrak terhidrolisis, sedangkan waktu ekstraksi yang
terlalu singkat menyebabkan tidak semua senyawa aktif terekstrak dari bahan.
Oleh karena itu, penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kualitas komponen bioaktif
bubuk dan ekstrak cair bunga kecombrang secara kuantitatif yakni total fenol, total flavonoid
dan nilai pH serta kualitatif yakni senyawa fenolik, flavonoid, alkaloid, triterpenoid, tanin,
saponin, dan glikosida berdasarkan suhu dan waktu.

2. METODE PENELITIAN
2.1. Bahan dan rancangan percobaan
Bahan yang digunakan adalah bunga kecombrang yang berasal dari Desa Kotayasa-
Baturaden serta air. Bahan tambahan seperti quersentin, asam tanat (C76H52O46), ethanol
95%, etanol 96%, ethanol 70%, larutan Folin Ciocalteu reagent 10%, sodium bikarbonat
(NaHCO3) 0,556 M, aluminium klorida (AlCl3), kalium asetat (CH3CO2K), akuades, serbuk
magnesium, amil alkohol (C5H12O), asam klorida (HCl) 37%, larutan asam klorida (HCl) 2%,

2
asam klorida (HCl) 2N, larutan besi (III) klorida (FeCl3) 5%, larutan besi (III) klorida (FeCl3)
1%, asam sulfat (H2SO4) pekat, asam asetat anhidrat (C4H6O3), pereaksi dragendorf, meyer,
dan wagner. Rancangan percobaan yang digunakan pada bubuk bunga kecombrang adalah
Rancangan Acak Lengkap (RAL) dengan 9 kombinasi perlakuan dan diulang 3 kali,
sedangkam pada ekstrak cair bunga kecombrang menggunakan metode Responsse Surface
Method (RSM) dengan perangkat lunak Desain Expert 10. Rancangan optimasi formula
dilakukan dengan Central Composit Design (CCD) dengan dua faktor dan dua ulangan
analisis yang diuji menghasilkan 13 formula optimasi. Faktor yang dicobakan pada penelitian
ini yaitu suhu dan waktu. Suhu pengeringan bunga terdiri atas tiga taraf yaitu 50oC, 60oC,
70oC, serta waktu terdiri atas tiga taraf yaitu 4, 5 dan 6 jam. Suhu ekstrak cair terdiri atas tiga
taraf yaitu 40oC, 50oC, 60oC serta waktu terdiri atas tiga taraf yaitu 3, 4 dan 5 jam.

2.2. Preparasi Sampel Bubuk Bunga Kecombrang


Tahap sebelum melakukan penelitian adalah mempersiapkan sampel bubuk bunga
kecombrang. Bunga kecombrang mulanya diseleksi terlebih dahulu dan diambil helaian
mahkota bunganya kemudian dicuci dengan air. Selanjutnya, helaian mahkota bunga
kecombrang diperkecil ukurannya agar proses pengeringan lebih optimal. Setelah itu, irisan
bunga dikeringkan menggunakan cabinet dryer dengan suhu sesuai perlakuan yaitu 50oC,
60oC dan 70oC dengan waktu 4, 5 dan 6 jam. Setelah bunga kering, kemudian digiling
menggunakan alat penepung disk mill. Bubuk bunga yang terbentuk dijadikan 60 mesh
dijadikan bahan pada penelitian optimasi suhu dan waktu ekstraksi cair.

2.3. Ekstraksi Cair Bubuk Bunga Kecombrang


Metode eskstraksi yang digunakan pada penelitian ini yaitu maserasi menggunakan
pelarut air. Mulanya, bubuk bunga berukuran 60 mesh dimasukkan ke dalam ekstraktor.
Kemudian, dicampur dengan pelarut air yang suhunya disesuaikan dengan faktor perlakuan
yaitu 40oC, 50oC dan 60oC melalui pipa penutup ekstraktor. Perbandingan bubuk:air yang
digunakan yaitu 1:14. Setelah itu, ekstraktor ditutup kemudian dinyalakan, diatur suhu sesuai
perlakuan dan kecepatan agitator 60 rpm. Waktu ekstraksi yang digunakan sesuai dengan
faktor perlakuan yaitu 3, 4 dan 5 jam. Setelah ekstraksi selesai, ekstrak kemudian didiamkan
dalam wadah tertutup dan kondisi gelap selama 19 sampai 24 jam. Selanjutnya, sampel
disaring menggunakan alat press untuk memisahkan rendemen bubuk dan filtratnya.
Rendemen bubuk yang terpisah, kemudian dikeringkan menggunakan cabinet dryer dengan
suhu 50oC dan waktu 4 jam. Setelah kering, bubuk sisa ekstraksi pertama diekstrak kembali
dengan perbandingan 1:14 menggunakan suhu dan waktu yang sama. Sampel filtrat yang
digunakan yakni gabungan dari ekstrak cair pada ekstraksi pertama dan ulangannya.

2.4. Uji Kuantitatif


2.4.1. Total Fenol
Sebanyak 400 µL supernatan ditambahkan dengan 1,5 mL Folin Ciocalteu dan
didiamkan selama 5 menit pada suhu ruang. Selanjutnya, ditambahkan 1,5 mL sodium
bikarbonat (NaHCO3) 0,556 M, dikocok dan dibiarkan pada ruang gelap selama 90 menit,
selanjutnya diukur absorbansinya menggunakan spektrofotometer pada panjang gelombang
725 nm.

3
2.4.2. Total Flavonoid
Sebanyak 100 µl atau 0,1 mL supernatan sampel ditambahkan 1 mL AlCl3 2% (2 g
AlCl3 dalam 100 mL larutan asam asetat glasial 5%) dan 1 mL larutan kalium asam asetat
120 mM (1,176 g kalium asetat dalam 100 mL akuades). Setelah itu diinkubasi 1 jam pada
suhu kamar dan diukur absorbansinya menggunakan spektrofotometer pada panjang
gelombang 435 nm.

2.4.3. Kadar Air


Sampel ditimbang sebanyak 0,5 g dalam cawan moisture analyzer. Moisture analyzer
diset pada suhu 105°C. Moisture analyzer ditutup dan ditunggu hasil kadar airnya. Hasil
kadar air dicatat. Kadar air simplisia 10%.

2.4.4. Nilai pH
Pengukuran pH dilakukan dengan menggunakan pH meter. Sebelum digunakan, pH
meter dikalibrasi terlebih dahulu dengan menggunakan larutan buffer pH 4 dan pH 7. Cara
pengukuran pH adalah dengan memasukkan elektroda pH meter di dalam sampel, ditunggu
beberapa saat sampai pH stabil, sehingga terbaca nilai pH yang diukur. Setelah selesai,
elektroda diangkat dan dibilas dengan akuades

2.5. Uji Kualitatif


2.5.1. Flavonoid Kualitatif
Sampel sebanyak 2 mL dimasukkan ke dalam tabung reaksi. Kemudian ditambahkan
serbuk magnesium 100 mg dan 3 mL amil alkohol (campuran asam klorida 37% dan etanol
95% dengan volume yang sama) dan 2 mL asam klorida, kemudian campuran dikocok.
Pembentukan warna merah, kuning atau jingga pada lapisan amil alkohol menunjukkan hasil
flavonoid.

2.5.2. Senyawa Fenolik


Sebanyak 2 mL sampel ekstrak ditambahkan 2 tetes larutan FeCl3 5%. Pembentukan
warna hijau atau hijau biru menunjukkan senyawa fenol dalam bahan.

2.5.3. Alkaloid
Ekstrak sebanyak 0,1 gram ditambahkan 10 mL kloroform dan ditambahkan beberapa
tetes amonia. Fraksi kloroform dipisahkan dan diasamkan dengan beberapa tetes H2SO4
pekat. Fraksi asam diambil dan dibagi menjadi 3 tabung, kemudian ditambahkan pereaksi
Dragendorff, Meyer dan Wagner. Keberadaan alkaloid ditandai dengan terbentuknya endapan
putih pada pereaksi Meyer, endapan merah pada pereaksi Dragendorff, dan endapan coklat
pada endapan pereaksi Wagner.

2.5.4. Steroid/triterpenoid
Sebanyak 1 g contoh dilarutkan dengan 25 mL etanol panas 50ᵒC, kemudian disaring
ke dalam cawan Porselin dan diuapkan sampai kering. Residu dilarutkan dengan eter dan
dipindahkan ke dalam tabung reaksi, lalu ditambahkan 3 tetes asam asetat anhidrat dan 1 tetes

4
H2SO4 pekat (Uji Lieberman Burchard). Warna merah atau ungu menunjukkan triterpenoid
dan warna hijau atau biru menunjukkan steroid.

2.5.5. Saponin
Saponin dapat dideteksi dengan uji busa dalam air panas. Busa yang stabil selama 10
menit dan tidak hilang pada penambahan 1 tetes HCl 2 N menunjukkan saponin.

2.5.6. Tanin
Ekstrak sebanyak 10 mL dididihkan. Setelah dingin, filtrat ditambahkan 5 mL FeCl3
1 % (b/v). Apabila terjadi perubahan warna menjadi biru tua, berarti sampel mengandung
tanin.

2.5.7. Glikosida
Dilakukan dengan reaksi Lieberman-Buchard. Ekstrak bubk bunga kecombrang
dilarutkan dalam pelarut etanol, diuapkan di atas penangas air lalu dilarutkan dalam 5 mL
asam asetat anhidrida kemudian ditambah 10 tetes asam sulfat pekat. Terbentuknya warna
biru atau hijau menunjukkan adanya glikosida.
.

3. HASIL DAN PEMBAHASAN


3.1. Kuantitatif
3.1.1. Total Fenol
Nilai rata-rata kadar total fenol bunga kecombrang dalam bentuk bubuk dan ekstrak
cair dapat dilihat pada Gambar 1.
100 86.84
total phenol (mg TAE/100 g)

80
60 42.75
40 27.93
11.06
20
0
maximum minimum

Comparison of total phenol content in powder and liquid extract of …

powder liquid extract

Gambar 1. Perbandingan kadar total fenol pada bubuk dan ekstrak cair bunga
kecombrang.

Berdasarkan Gambar 1, Nilai tertinggi total fenol ekstrak cair bunga kecombrang
yaitu 86,84 mg TAE/100 g dan nilai terendahnya yaitu 42,75 mg TAE/100 g. Sedangkan
nilai total fenol bubuk bunga kecombrang tertinggi diperoleh yaitu sebesar 27,93 mg
TAE/100 g dan nilai terendah yaitu 11,06 mg TAE/100 g. Nilai total fenol ekstrak cair bubuk
bunga kecombrang lebih baik daripada bubuk bunga kecombrang. Hal ini dilihat berdasarkan

5
nilai total fenol ekstrak cair yang lebih tinggi daripada nilai total fenol pada bubuk bunga
kecombrang, lebih tingginya nilai total fenol bunga kecombrang dalam bentuk ekstrak cair
diduga karena komponen bioaktif khususnya fenol telah terpisah dari bahan yang tidak larut
dengan pelarut cair ketika masih dalam bentuk bubuk. Oleh karena itu, kandungan total fenol
bunga kecombrang pada ekstrak cair lebih tinggi dibandingkan ketika masih dalam bentuk
bubuk.
Menurut penelitian yang dilakukan oleh Ho dan Chen (1995) dan Farida (2002)
perbedaan kadar total fenol akibat kerusakan fenol dapat disebabkan oleh faktor lingkungan
seperti cahaya, suhu dan oksigen. Pernyataan tersebut diperkuat oleh penelitian Hikmah et al.,
(2009) bahwa kadar total senyawa fenol menurun akibat pengeringan dengan oven. Semakin
tinggi suhu pengeringan mengakibatkan peningkatan proses inaktivasi enzim polifenol
oksidase, sehingga aktivitas enzim akan semakin rendah dan kerusakan senyawa polifenol
semakin sedikit, namun jika suhu pengeringan melampaui suhu optimum, maka stabilitas
senyawa polifenol akan terganggu sehingga dapat menyebabkan penurunan kandungan
senyawa polifenol pada bahan (Susanti, 2008).
Menurut Dirjen POM (2000), ekstraksi adalah kegiatan penarikan kandungan kimia
yang dapat larut sehingga terpisah dari bahan yang tidak larut dengan pelarut cair. Selama
ekstraksi, penggunaan suhu dan waktu yang optimal juga menjadi salah satu sebab makin
tinggi kadar total fenol yang dihasilkan. Menurut Koirewoa et al. (2012) makin lama waktu
ekstraksi, kesempatan interaksi pelarut untuk melarutkan bahan makin besar sehingga
hasilnya juga bertambah sampai titik jenuh larutan. Kontak antara sampel dan pelarut dapat
ditingkatkan apabila dibantu dengan pengocokan. Ini berguna agar kontak antara sampel dan
pelarut makin sering terjadi, sehingga proses ekstraksi lebih sempurna.

3.1.2. Total Flavonoid


Nilai rata-rata kadar total flavonoid bunga kecombrang dalam bentuk bubuk dan
ekstrak cair dapat dilihat pada Gambar 2.
60
total flavonoids (mg QE/100 g)

40.87
40

14.91
20
2.35 1.75
0
maximum minimum

Comparison of total flavonoids content in powder and liquid extract of …

powder liquid extract

Gambar 2. Grafik perbandingan kadar flavonoid pada bubuk dan ekstrak cair bunga
kecombrang

Berdasarkan Gambar 2, nilai tertinggi total flavonoid bubuk bunga kecombrang


diperoleh sebesar 2,35 mg QE/100 g dan nilai flavonoid yang terendah yaitu 1,75 QE/100 g.

6
Nilai tertinggi total flavonoid ekstrak cair bunga kecombrang yaitu 40,87 mg QE/ 100 g dan
nilai terendah total flavonoidnya yaitu 14,91 mg QE/ 100 g. Nilai flavonoid pada ekstrak cair
bubuk bunga kecombrang lebih tinggi daripada pada bubuk bunga kecombrang, lebih
tingginya nilai total flavonoid bunga kecombrang dalam bentuk ekstrak cair diduga karena
senyawa flavonoid telah terpisah dari bahan yang tidak larut dengan pelarut cair ketika masih
dalam bentuk bubuk. Oleh karena itu, kandungan total flavonoid bunga kecombrang pada
ekstrak cair lebih tinggi dibandingkan ketika masih dalam bentuk bubuk.
Flavonoid merupakan golongan polifenol dengan struktur dasar fenol yang memiliki
sifat mudah teroksidasi dan sensitif terhadap perlakuan panas sehingga adanya proses
pengeringan akan mempengaruhi kadar flavonoid dalam sampel (Syafrida et al., 2018).
Analisis flavonoid dilakukan menggunakan pelarut etanol yang bersifat polar. Menurut
Dirjen POM (2000), ekstraksi adalah kegiatan penarikan kandungan kimia yang dapat larut
sehingga terpisah dari bahan yang tidak larut dengan pelarut cair. Flavonoid yang bersifat
polar dapat terekstrak dengan baik menggunnakan pelarut sehingga bunga kecombrang
menghasilkan flavonoid.
Ibrahim et al. (2015) melaporkan peningkatan suhu dan waktu ekstraksi perlu
diperhatikan. Suhu ekstraksi yang terlalu tinggi dan waktu ekstraksi yang lama serta
melampaui batas waktu optimum dapat menyebabkan hilangnya senyawa-senyawa pada
larutan karena penguapan. Oleh karena itu, pada perlakuan ekstraksi suhu 60oC dengan lama
waktu 3,735 jam dapat memberikan hasil yang maksimal karena antara suhu dan waktu
ekstraksi tidak dimaksimalkan keduanya.

3.1.3. Kadar Air


Nilai rata-rata kadar air bubuk bunga kecombrang dapat dilihat pada Gambar 3.

Information :
8 7,13
6,63 S1L1 : 50oC, 4 hours
7 6,34 6,17 6,32 6,18 S1L2 : 50oC, 5 hours
5,69 5,76
S1L3 : 50oC, 6 hours
water content (%)

6 5,17
S2L1 : 60oC, 4 hours
5 S2L2 : 60oC, 5 hours
4 S2L3 : 60oC, 6 hours
S3L1 : 70oC, 4 hours
3
S3L2 : 70oC, 5 hours
2 S3L3 : 70oC, 6 hours
1
0
S1L1 S1L2 S1L3 S2L1 S2L2 S2L3 S3L1 S3L2 S3L3
Combination of Temperature Treatment and Drying Time
water content

Gambar 3. Kadar air simplisia kering bunga kecombrang dengan berbagai perlakuan

Berdasarkan Gambar 3, menunjukan bahwa nilai kadar air simplisia bunga


kecombrang berkisar antara 5,17 – 7,13 %. Menurut Farmakope Herbal Indonesia
(Departemen Kesehatan, 2008) dan Keputusan Menteri Kesehatan RI No.

7
661/Menkes/SK/VII/1994 tentang Persyaratan Obat Tradisional, standar kadar air maksium
pada simplisia adalah 10%. Bunga kecombrang segar memiliki kadar air yang tinggi yaitu
sekitar 90%, sehingga perlu dikeringkan untuk memperpanjang umur simpannya. Tujuan dari
pengeringan adalah untuk mengurangi kadar air sehingga bahan tersebut tidak mudah
ditumbuhi kapang dan jasad renik lainnya serta menghentikan reaksi enzimatik yang dapat
menguraikan lebih lanjut kandungan zat aktif (Rivai et al., 2014).
Menurunnya kadar air pada bunga kecombrang dipengaruhi oleh penguapan air dari
suhu dan waktu pengeringan (Yamin et al., 2017). Semakin lama proses pengeringan
menyebabkan penguapan air yangterdapat pada bunga kecombrang.semakin rendah. Menurut
literature, semakin tinggi suhu dan lama pengeringan, memberikan pengaruh yang besar
terhadap kecepatan perpindahan air dalam bahan. Kemampuan bahan untuk melepaskan air
dari permukaan akan semakin besar dengan meningkatnya suhu udara pengering yang
digunakan dan lama proses pengeringan (Riansyah et al., 2013).

3.1.4. Nilai pH
Suhu dan waktu yang tidak berpengaruh terhadap nilai pH sesuai dengan Aji et al.
(2013) bahwa apabila konsentrasi (%) etanol meningkat maka pH yang didapatkan juga
meningkat, tetapi apabila suhu ekstraksi meningkat pH yang dihasilkan tetap. Nilai pH pada
formula optimasi ekstrak cair bubuk bunga kecombrang (60oC waktu 3,735 jam) adalah 3,9.
Menurut Sitompul et al. (2017), bunga kecombrang memiliki nilai pH yakni 3,89.
Penurunan nilai pH salah satunya ditandai dengan peningkatan kepekatan warna.
Novitriani et al. (2017) menjelaskan bahwa peningkatan nilai pH dapat menyebabkan
penurunan intensitas warna dan konsentrasi kation flavilium. Ada beberapa faktor yang dapat
memengaruhi warna ekstrak. Farrel (1990) menjelaskan bahwa dalam proses ekstraksi
rempah-rempah, komposisi, warna, aroma dan rendeman yang dihasilkan akan dipengaruhi
oleh jenis, ukuran, tingkat kematangan bahan baku, jenis pelarut, suhu dan waktu ekstraksi
serta metode ekstraksi.

3.2. Kualitatif
Variabel kualitatif dalam penelitian ini terdiri dari fenol, flavonoid, alkaloid,
triterpenoid, tannin, saponin, dan glikosida. Hasil pengujian variable kualitatif bubuk dan
ekstrak cair bunga kecombrang disajikan pada Table 1.
Table 1. Qualitative test results of kecombrang flower powder and liquid extract
Treatment Phenolic Flavonoids Alkaloids Triterpenoid Tannins Saponins Glycosides
Powder ++++ +++ +++ +++ - ++ -
Liquid extract ++++ +++ +++ +++ ++ + -
Information : - = negative, + = weak positive, ++ = positive, +++ = strong positive,
++++ = very strong positive

3.2.1. Fenol
Senyawa fenol bisa berfungsi sebagai antioksidan karena kemampuannya meniadakan
radikal-radikal bebas dan radikal peroksida sehingga efektif dalam menghambat oksidasi lipida
(Oktaviana, 2010). Adanya fenolik ditandai dengan warna biru ke hijau yang terbentuk ketika

8
sampel dikenai FeCl3. Makin banyak fenol yang terkandung, warna yang dihasilkan makin
pekat. Hal ini sesuai dengan Syafitri et al. (2014) yang menjelaskan bahwa pengujian fenol
dilakukan dengan mereaksikan sampel sebanyak 1 mL dengan FeCl 5%. Keberadaan
senyawa fenol ditandai dengan terbentuknya warna hijau-kebiruan hingga kehitaman.
Berdasarkan data hasil pengujian fenolik pada Tabel 1, menunjukan bahwa pada
bubuk dan ekstrak cair bunga kecombrang mengandung fenol yang sangat kuat karena terjadi
perubahan warna hijau-kebiruan hingga kehitaman. Penggunaan suhu yang tinggi dan waktu
yang lama pada ekstraksi dapat menurunkan kadar senyawa fenolik. Wenjuan et al., (2010)
menjelaskan bahwa senyawa fenolik merupakan zat termosensitif, sehingga memungkinkan
terjadinya hidrolisis dan pengurangan persentase pada suhu tinggi. Profil senyawa fenolik
dalam ekstrak sampel dapat berubah dengan perbedaan tingkat kepolaran pelarut yang
digunakan (Kahkonen et al., 2001). Hal ini sesuai dengan Naufalin & Rukmini (2010) yang
menyatakan bahwa komponen fenol yang terdapat dalam fraksi bagian-bagian tanaman
kecombrang diduga memiliki polaritas yang mendekati polaritas etanol, sehingga penggunaan
pelarut etanol lebih efektif untuk melarutkan senyawa fenol.

3.2.2. Flavonoid
Flavonoid merupakan senyawa yang terdiri dari C6-C3-C6. Flavonoid umumnya
terdapat pada tumbuhan sebagai glikosida. Gugusan gula bersenyawa 11 pada satu atau lebih
grup hidroksil fenolik. Kegunaan flavonoid bagi tumbuhan adalah untuk menarik serangga
yang membantu proses penyerbukan dan untuk menarik perhatian binatang yang membantu
penyebaran biji. Bagi manusia, flavonoid dalam dosis kecil bekerja sebagai stimulan pada
jantung dan pembuluh darah kapiler (Sirait, 2007).
Berdasarkan data hasil pengujian flavonoid pada Tabel 1, menunjukan bahwa pada
bubuk dan ekstrak cair bunga kecombrang mengandung flavonoid kuat karena ditandai
dengan warna merah yang terbentuk. Makin pekat warna, kandungan flavonoid makin
banyak. Hal ini juga sesuai dengan Sangi et al. (2008) bahwa hasil positif ditunjukkan dengan
timbulnya warna merah tua (magenta) dalam waktu 3 menit. Dari analisis, menurut Robinson
(1995), penambahan serbuk magnesium dan asam klorida pada pengujian flavonoid akan
menyebabkan tereduksinya senyawa flavonoid yang ada, sehingga menimbulkan reaksi
warna merah yang merupakan ciri adanya flavonoid.

3.2.3. Alkaloid
Alkaloid merupakan senyawa kimia tanaman hasil metabolit sekunder yang terbentuk
berdasarkan prinsip pembentukan campuran. Alkaloid terbagi menjadi tiga bagian, yaitu
elemen yang mengandung N terlibat pada pembentukan alkaloid, elemen tanpa N yang
ditemukan dalam molekul alkaloid dan reaksi yang terjadi untuk pengikatan khas elemen-
elemen pada alkaloid (Sirait, 2007).
Berdasarkan data hasil pengujian alkaloid pada Tabel 1, menunjukan bahwa pada
bubuk dan ekstrak cair bunga kecombrang mengandung alkaloid kuat karena menghasilkan
endapan berwarna merah pada saat ditetesi dengan pereaksi Dragendorff. Pada pengujian
alkaloid dilakukan penambahan HCl sebelum ditambahkan pereaksi. Hal ini karena alkaloid
bersifat basa sehingga diekstrak dengan pelarut yang mengandung asam (Harborne, 1996).
Hasil pengujian alkaloid ditandai dengan terbentuknya endapan berwarna jingga hingga

9
merah pada dasar tabung. Marliana et al. (2005) menjelaskan bahwa hasil positif alkaloid
pada uji Dragendorff ditandai dengan terbentuknya endapan jingga. Endapan tersebut adalah
kompleks logam dengan alkaloid. Pada pembuatan reagen Dragendorff bismut nitrat bereaksi
dengan kalium iodida membentuk endapan bismut (III) iodida yang kemudian melarut dalam
iodida berlebih membentuk kalium tetra iodobismunat. Pada uji alkaloid dengan preaksi
Dragendorff, pasangan elektron bebas pada nitrogen digunakan untuk membentuk ikatan
kovalen dengan bismut menghasilkan endapan jingga sampai merah.

3.2.4. Triterpenoid
Triterpenoid adalah senyawa yang kerangka karbonnya berasal dari enam satuan
isoprene dan secara biosintesis diturunkan dari hidrokarbon C30 asiklik, yaitu skualena.
Triterpenoid merupakan senyawa tanpa warna, berbentuk kristal, sering kali bertitik leleh
tinggi dan aktif optik yang umumnya sukar dicirikan karena tak ada kereaktifan kimianya.
Triterpenoid digolongkan menjadi empat golongan, yaitu triterpena sebenarnya, steroid,
saponin, dan glikosida jantung (Harborne, 1987).
Berdasarkan data hasil pengujian alkaloid pada Tabel 1, menunjukan bahwa pada
bubuk dan ekstrak cair bunga kecombrang mengandung triterpenoid kuat. Hasil pengujian
bubuk dan ekstrak cair bunga kecombrang menunjukkan terbentuknya warna merah. Hal ini
menandakan bahwa pada ekstrak cair bunga kecombrang senyawa yang terkandung yakni
terpenoid. Ningsih et al. (2016) menjelaskan, uji terpenoid dan steroid dengan menggunakan
pereaksi Lieberman Burchard.

3.2.5. Tanin
Tanin merupakan senyawa polifenol yang dapat membentuk polifenol yang
membentuk senyawa kompleks yang tidak larut dengan protein. Terbentuknya warna hijau
atau biru pada sampel setelah dilakukan penambahan FeCl3, kemungkinan karena senyawa
tanin akan membentuk kompleks ion Fe3+ (Harborne, 1987).
Berdasarkan data hasil pengujian fenolik pada Tabel 1, menunjukan bahwa bubuk
bunga kecombrang tidak mengandung tannin sedangkan ekstrak cair bunga kecombrang
mengandung tannin. Bunga kecombrang pada dasarnya tidak mengandung tanin. Namun,
pada hasil uji tanin warna hijau sampai biru kehitaman terbentuk pada semua sampel
perlakuan ekstrak cair bunga kecombrang. Hal ini disebabkan karena FeCl3 dapat bereaksi
dengan senyawa lain dengan hasil warna yang sama. Susanti (2000) menjelaskan, sifat utama
tanin bergantung pada gugus fenolik-OH yang terkandung dalam tanin. Reaksi warna terjadi
apabila disatukan dengan garam besi. Garam besi (FeCl3) akan memberikan warna hijau atau
biru kehitaman apabila direaksikan dengan tanin. Tetapi uji ini kurang baik karena selain
tanin yang dapat memberikan reaksi warna, zat-zat lain juga dapat memberikan reaksi warna
yang sama.
Warna hijau sampai biru kehitaman yang terbentuk diduga karena FeCl3 yang
berekasi dengan senyawa fenolik. Pada bunga kecombrang, hasil pengujian senyawa fenolik
menghasilkan hasil yang positif dengan terbentuknya warna hijau sampai biru kehitaman.
Syafitri et al. (2014) yang menjelaskan bahwa pengujian fenol dilakukan dengan mereaksikan

10
sampel sebanyak 1 mL dengan FeCl 5%. Keberadaan senyawa fenol ditandai dengan
terbentuknya warna hijau-kebiruan hingga kehitaman.

3.2.6. Saponin
Saponin adalah glikosida yang banyak ditemukan dalam tumbuhan, terdiri atas gugus
gula yang berikatan dengan aglikon sapogenin. Saponin mempunyai karakteristik berupa buih
karena ketika direaksikan dengan air dan dikocok dapat membentuk buih. Saponin
diklasifikasikan menjadi dua tipe, yaitu saponin steroid dengan molekul karbohidrat,
sedangkan saponin triterpenoid tersusun atas inti triterpenoid dengan molekul karbohidrat
(Samarang et al., 2015).
Pengujian saponin ditandai dengan terbentuknya busa ketika sampel dikocok.
Madduluri et al. (2013) menjelaskan bahwa hasil uji saponin menghasilkan larutan dengan
terbentuknya busa yang stabil setinggi ±1,5 cm, yang menandakan hasil positif. Pada
umumnya jika hasil positif maka penambahan HCl 2N bertujuan untuk menambah kepolaran
sehingga gugus hidrofil akan berikatan lebih stabil dan buih yang terbentuk menjadi stabil
(Simaremare, 2014).
Berdasarkan data hasil pengujian alkaloid pada Tabel 1, menunjukan bahwa bubuk
dan ekstrak cair bunga kecombrang positif mengandung saponin, namun kandungan saponin
pada bubuk bunga lebih banyak daripada ekstrak cair. Simaremare (2014) menjelaskan
saponin merupakan senyawa yang mempunyai gugus hidrofilik dan hidrofob. Saponin pada
saat digojok terbentuk buih karena adanya gugus hidrofil yang berikatan dengan air,
sedangkan hidrofob akan berikatan dengan udara. Pada struktur misel, gugus polar
menghadap ke luar sedangkan gugus non-polar menghadap ke dalam. Keadaan ini yang
mempengaruhi terbentuknya busa, namun pada ekstrak cair saponin yang dihasilkan sangat
sedikit karena kemampuan untuk membentuk busa sangat sedikit.

3.2.7. Glikosida
Glikosida adalah senyawa alami yang terdiri dari bagian karbohidrat dan bagian
bukan karbohidrat. Bagian bukan karbohidrat paling banyak ditemukan adalah triterpen,
steroid, dan flavanoid, sedangkan molekul karbohidrat yang paling banyak ditemukan adalah
glukosa, galaktosa, xilosa, dan arabinosa. Monosakarida tersebut dapat terikat pada satu atau
lebih atom C pada bagian bukan karbohidrat. Kata glikosida bermakna karbohidrat atau gula
yang umumnya bersifat oksidator yang disebut dengan glikon, sedangkan bukan gula disebut
dengan aglikon. Ikatan kimia bentukan glikosida menyerupai eter sehingga secara kimiawi
dalam proses pembentukannya selalu melepaskan air atau H2O (Rijai, 2016).
Adanya senyawa glikosida ditandai dengan terbentuknya cincin biru atau hijau.
Pemeriksaan glikosida dilakukan dengan reaksi Lieberman-Buchard. Ekstrak daun gatal
dilarutkan dalam pelarut etanol, diuapkan di atas penangas air lalu dilarutkan dalam 5 mL
asam asetat anhidrida kemudian ditambah 10 tetes asam sulfat pekat. Terbentuknya warna
biru atau hijau menunjukkan adanya glikosida (Depkes R.I.,1995). Namun, pada pengujian
bubuk dan ekstrak cair bubuk bunga kecombrang tidak terbentuk cicin warna tersebut. Hal ini
diduga karena senyawa glikosida yang terdapat pada bunga kecombrang yakni jenis senyawa
glikosida gula. Jannah et al. (2017) menjelaskan, pengujian glikosida dengan menggunakan

11
asam asetat anhidrat dan asam sulfat pekat hanya dapat menguji senyawa glikosida non-gula
dan tidak dapat mendeteksi keberadaan senyawa glikosida gula.

4. KESIMPULAN
Hasil optimasi, verifikasi dan validasi formula optimum menunjukkan ekstrak cair
bubuk bunga kecombrang memiliki nilai respons fenol 64,458 mg TAE/100 g, flavonoid
35,120 mg QE/100 g, serta nilai pH (3,9). Sedangkan nilai total fenol bubuk bunga
kecombrang yaitu sebesar 27,93 mg TAE/100 g, dan nilai flavonoid yaitu sebesar 2,35 mg
QE/100 g. Senyawa yang terkandung pada produk formula optimum yaitu fenolik, flavonoid,
alkaloid, terpenoid serta tanin.

DAFTAR PUSTAKA
Aji, A., Meriatna & Ferani, A. S. 2013. Pembuatan pewarna makanan dari kulit buah
manggis dengan proses ekstraksi. Jurnal Teknologi Kimia Unimal, 2(2): 1-15.

Budiyanto, A. & Yulianingsih. 2008. Pengaruh suhu dan waktu ekstraksi terhadap karakter
pektin dari ampas jeruk siam (Citus nobilis L). Jurnal Pascapanen, 5(2): 37-44.

Departemen Kesehatan, 2008. Farmakope Herbal Indonesia. Departemen Kesehatan


Republik Indonesia, Jakarta

Dirjen POM. 2000. Parameter Standar Umum Ekstrak Tumbuhan Obat: Cetakan Pertama.
Departemen Kesehatan RI, Jakarta.

Farrel, K. T. 1990. Species, Condiments and Seasonings. Edisi kedua. Editor Van Vostrand.
Reinhold, New york.

Harborne. J. B. 1987. Metode Fitokimia. Institut Teknologi Bandung, Bandung.

Hudaya, A., Radiastuti, N., Sukandar, D. & Djayanegara, I. 2014. Uji aktivitas antibakteri
ekstrak air bunga kecombrang terhadap bakteri E. Coli dan S. Aureus sebagai bahan
pangan fungsional. Al-Kauniyah Jurnal Biologi, 7(1): 9-15.

Ibrahim, A. M., Yunianta & Sriherfyna, F. H. 2015. Pengaruh suhu dan lama waktu ekstraksi
terhadap sifat kimia dan fisik pada pembuatan minuman sari jahe merah (Zingiber
officinale var. Rubrum) dengan kombinasi penambahan madu sebagai pemanis.
Jurnal Pangan dan Agroindustri, 3(2): 530-541.

Kahkonen M.P., A.L. Hopia., H.J. Vourela., J.P. Rauha., Pihlajak., T.S. Kujala & M.
Heinonen. 2001. Antioxydant activity of extract containing phenolic coumpounds. J.
Agric Food Chem. Vol. 47(10): 3954-62.
Koirewoa, Y. A., Fatimawali & Wiyono, W. I. 2012. Isolasi dan identifikasi senyawa
flavonoid dalam daun beluntas (pluchea indica l.). Laporan Penelitian. FMIPA
UNSRAT, Manado.

12
Magaretta, S., Handayani, S. D., Indraswati, N. & Hindarso, H. 2011. Ekstraksi senyawa
phenolics pandanus amaryllifolius roxb. sebagai antioksidan alami. Widya Teknik,
10(1): 21-30.

Markham, K. R. 1998. Cara Mengidentifikasi Flavonoid. ITB, Bandung.

Naufalin, R. & Rukmini, H. S. 2010. Potensi antioksidan hasil ekstraksi tanaman kecombrang
(Nicolaia speciosa horan) selama penyimpanan. Makalah dipresentasikan pada
Seminar Nasional Membangun Daya Saing Produk Pangan Berbasis Bahan Baku
Lokal, Surakarta 8 Juni 2010

Naufalin, R. 2017. Kecombrang Antimikroba dan Pemanfaatannya Sebagai Pengawet


Pangan. Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto.

Novitriani, K., Hasanah, H. N. & Zulfa, A. 2017. Ekstrak bunga kecombrang (Etlingera
elatior) sebagai indikator alternatif pada media gula-gula. Jurnal Kesehatan Bakti
Tunas Husada, 17(1): 81-86.

Riansyah, A., Supriadi, A., & Nopianti, R. 2013. Pengaruh perbedaan suhu dan waktu
pengeringan terhadap karakteristik ikan asin sepat siam (Trichogaster pectoralis)
dengan menggunakan oven. Fishtech. Vol 2 (1): 46-51.
Rivai, H., Nurdin, H., Suryani, H., & Bakhtiar, A. 2010. Pengaruh cara pengeringan terhadap
perolehan ekstraktif, kadar senyawa fenolat dan aktivitas antioksidan dari daun
dewa (Gynura pseudochina L.). Majalah Obat Tradisional . Vol 15 (1): 26-33.
Sitompul, R. S. E., Sinaga, H. & Julianti, E. 2017. Pengaruh penambahan bunga kecombrang
terhadap mutu bumbu tombur dalam kemasan gelas selama penyimpanan suhu
ruang. Jurnal Rekayasa Pangan dan Pertanian, 5(4): 678-684.

Simaremare, E. S. 2014. Skrining fitokimia ekstrak etanol daun gatal (Laportea decumana
(roxb.) wedd). Pharmacy, 11(1): 98-107. ISSN 1693-3591.

Susanti, D.F. 2008. Efek suhu pengeringan terhadap kandungan fenolik dan kandungan
katekin ekstrak daun kering gambir: 1-13. Makalah disampaikan dalam Prosiding
Seminar Nasional Teknik Pertanian Yogyakarta, 18-19 November 2008.
Syafrida, M., Darmanti, S., & Izzati, M. 2018. Pengaruh suhu pengeringan terhadap kadar air,
kadar flavonoid, dan aktivitas antioksidan daun dan umbi rumput teki (Chyperus
rotundus L.). Bioma. Vol 20 (1): 44-50.
Tambun, R., Limbong, H. P., Pinem, C. & Manurung, E. 2016. Pengaruh ukuran partikel,
waktu dan suhu pada ekstraksi fenol dari lengkuas merah. Jurnal Teknik Kimia USU,
5(4): 53-56.

Tampubolon, O. T., Suhatsyah, S. & Sastrapradja. 1983. Penelitian pendahuluan kimia


kecombrang (Nicolaia speciosa Horan). Risalah Simposium Penelitian Tumbuhan
Obat III. Fakultas Farmasi, UGM, Yogyakarta.

13

Anda mungkin juga menyukai