KEILMUAN
KELOMPOK 1
AWALUDDIN MULYADI
REFI HENDRAWANI P PRATIWI TRIANI
MUSRIANTI SRI AINUL
ALIFA NUR AZIMA SULTAN ADHELIA BATARI CAHYANI
NUR ATIKA RESA PUTRI FEBRI ANRIANI
DEWI WAHYUNI SURYA LESMANA
RAHMATUL FURQAN
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Ilmu pengetahuan yang dalam bahasa Inggris science, bahasa lati scientia berarti mempelajari
atau mengetahui. Ilmu pengetahuan berbeda dengan pengetahuan (episteme). Ilmu pengetahuan
bisa berasal dari pengetahuan tetapi tidak semua pengetahuan itu adalah ilmu. Ada beberapa
syarat suatu pengetahuan dikategorikan ilmu. Menurut I.R. Poedjowijatno ilmu pengetahuan
memiliki beberapa syarat: (Abbas Hamami: 4) 1.Berobjek: objek material sasaran/bahan kajian,
objek formal yaitu sudut pandang pendekatan suatu ilme terhadap objeknya 2.Bermetode, yaitu
prosedur/cara tertentu suatu ilmu dalam usaha mencari kebenaran 3.Sistematis, ilmu pengetahuan
seringkali terdiri dari beberapa unsur tapi tetap merupakan satu kesatuan. Ada hubungan,
keterkaitan antara bagian yang satu dengan bagian yang lain. 4. Universal, ilmu diasumsikan
berlaku secara menyeluruh, tidak meliputi tempat tertentu atau waktu tertentu. Ilmu
diproyekasikan berlaku seluas-luasnya.
Pengetahuan di kembangkan manusia disebabkan dua hal utama yakni, pertama, manusia
mempunyai bahasa yang mampu nmengkomunikasikan informasi dan pikiran yang melatar
belakangngi informasi tersebut. Kemampuan berfikir menurut suatu alur kerangka berpikir
tertentu. Secara garis besar cara berpikir seperti ini disebut penalaran. Penalaran merupakan
suaru proses berfikir dalam menarik suaru kesimpulan yang berupa pengetahuan, agar
pengetahuan yang dihasilkan penalaran itu mempunyai dasar kebenaran maka proses berpikir itu
harus dilakukan melalui suatu cara tertentu. Cara penarikan kesimpulan ini disebut logika, secara
luas dapat didefinisikan sebagai “pengkajian untuk berpikir secara sahih”
B. RUMUSAN MAKALAH
1). Apa hakikat dan urgensi manusia?
2). Bagimana Hubungan manusia dengan ilmu pengetahuan?
3). Apa saja Alat dan sumber ilmu pengetahuan?
4). Kesalahan berfikir
C. TUJUAN
Agar pembaca dapat mengetahui dan memahami hakikat manusia, hubungan manusia
dengan ilmu pengetahuan, alat dan sumber ilmu pengetahuan, serta kesalahan berfikir.
BAB II
PEMBAHASAN
A. HAKIKAT DAN URGENSI MANUSIA
Dalam perjalanan hidupnya manusia mempertanyakan tentang asal-usul alam semesta dan
asal-usul keber-ada-an dirinya sendiri. Terdapat dua aliran pokok filsafat yang memberikan
jawaban atas pertanyaan tersebut, yaitu Evolusionisme dan Kreasionisme (J.D. Butler, 1968).
Menurut Evolusionisme, manusia adalah hasil puncak dari mata rantai evolusi yang terjadi di
alam semesta. Manusia – sebagaimana halnya alam semesta – ada dengan sendirinya
berkembang dari alam itu sendiri, tanpa Pencipta. Penganut aliran ini antara lain Herbert
Spencer, Charles Darwin, dan Konosuke Matsushita. Sebaliknya, filsafat Kreasionisme
menyatakan bahwa asal usul manusia – sebagaimana halnya alam semesta - adalah ciptaan suatu
Creative Cause atau Personality, yaitu Tuhan YME.
Penganut aliran ini antara lain Thomas Aquinas dan Al-Ghazali. Kita dapat mengakui
kebenaran tentang adanya proses evolusi di alam semesta termasuk pada diri manusia, tetapi
tentunya kita menolak pandangan yang menyatakan adanya manusia di alam semesta semata-
mata sebagai hasil evolusi dari alam itu sendiri, tanpa Pencipta. Penolakan ini terutama
didasarkan atas keimanan kita terhadap Tuhan YME sebagai Maha Pencipta.
Adapun secara filosofis penolakan tersebut antara lain didasarkan kepada empat argumen
berikut ini, sebagaimana dikemukakan oleh Tatang Syaripudin (2008; 9-10), yaitu sebagai
berikut:
1) Argumen ontologis: Semua manusia memiliki ide tentang Tuhan. Sementara itu, bahwa
realitas (kenyataan) lebih sempurna daripada ide manusia. Sebab itu, Tuhan pasti ada dan
realitas ada-Nya itu pasti lebih sempurna daripada ide manusia tentang Tuhan.
2) Argumen kosmologis: Segala sesuatu yang ada mesti mempunyai suatu sebab. Adanya alam
semesta - termasuk manusia - adalah sebagai akibat. Di alam semesta terdapat rangkaian
sebab-akibat, namun tentunya mesti ada Sebab Pertama yang tidak disebabkan oleh yang
lainnya. Sebab Pertama adalah sumber bagi sebab-sebab yang lainnya, tidak berada sebagai
materi, melainkan sebagai “Pribadi” atau “Khalik”.
3) Argumen Teleologis: Segala sesuatu memiliki tujuan (contoh: mata untuk melihat, kaki untuk
berjalan dsb.). Sebab itu, segala sesuatu (realitas) tidak terjadi dengan sindirinya, melainkan
diciptakan oleh Pengatur tujuan tersebut, yaitu Tuhan.
4) Argumen Moral: Manusia bermoral, ia dapat membedakan perbuatan yang baik dan yang
jahat, dsb. Ini menunjukkan adanya dasar, sumber dan tujuan moralitas. Dasar, sumber, dan
tujuan moralitas itu adalah Tuhan.
Menurut Julien de La Mettrie, salah seorang penganut aliran Materialisme – bahwa esensi
manusia semata-mata bersifat badani, esensi manusia adalah tubuh/fisiknya. Sebab itu, segala hal
yang bersifat kejiwaan, spiritual atau rohaniah dipandang hanya sebagai resonansi dari
berfungsinya badan atau organ tubuh. Tubuhlah yang mempengaruhi jiwa. Contoh: Jika ada
organ tubuh luka muncullah rasa sakit. Pandangan hubungan antara badan dan jiwa seperti itu
dikenal sebagai Epiphenomenalisme. Sebaliknya, menurut Plato – salah seorang penganut aliran
Idealisme - bahwa esensi manusia bersifat kejiwaan/ spiritual/rohaniah.
Memang Plato tidak mengingkari adanya aspek badan, namun menurut dia jiwa mempunyai
kedudukan lebih tinggi daripada badan. Jiwa berperan sebagai pemimpin badan, jiwalah yang
mempengaruhi badan, karena itu badan mempunyai ketergantungan kepada jiwa. Contoh: Pada
saat berpuasa, jiwa mengendalikan badan untuk tidak minum dan tidak makan, sekalipun
kerongkongan sudah kering dan perut keroncongan. Pandangan tentang hubungan badan dan
jiwa seperti itu dikenal sebagai Spiritualisme. Rene Descartes mengemukakan pandangan lain
yang secara tegas bersifat dualistik. Menurut Descartes esensi manusia terdiri atas dua substansi,
yaitu badan dan jiwa. Karena manusia terdiri atas dua substansi yang berbeda (badan dan jiwa),
maka antara keduanya tidak terdapat hubungan saling mempengaruhi. Namun demikian setiap
peristiwa kejiwaan selalu paralel dengan peristiwa badaniah, atau sebaliknya. Contoh: apabila
jiwa seseorang sedih, maka secara paralel badannya pun tampak murung atau menangis.
Pandangan hubungan antara badan dan jiwa seperti itu dikenal sebagai Paralelisme. Butler
Semua pandangan di atas dibantah. Menurut Schumacher manusia adalah kesatuan dari yang
bersifat badani dan rohani yang secara prinsipal berbeda daripada benda, tumbuhan, hewan,
maupun Tuhan. Sejalan dengan ini Abdurahman Sholih Abdullah menegaskan: “meski manusia
merupakan perpaduan dua unsur yang berbeda, ruh dan badan, namun ia merupakan pribadi yang
integral”. Sebagai kesatuan badani-rohani manusia hidup dalam ruang dan waktu, memiliki
kesadaran (consciousnesss), memiliki penyadaran diri (selfawareness), mempunyai berbagai
kebutuhan, instink, nafsu, serta mempunyai tujuan.
Manusia mempunyai potensi untuk beriman dan bertaqwa kepada Tuhan YME dan potensi
untuk berbuat baik, namun di samping itu karena hawa nafsunya ia pun memiliki potensi untuk
berbuat jahat. Selain itu, manusia memiliki potensi untuk mampu berpikir (cipta), potensi
berperasaan (rasa), potensi berkehendak (karsa), dan memiliki potensi untuk berkarya. Adapun
dalam eksistensinya manusia berdimensi individualitas/ personalitas, sosialitas, moralitas,
keberbudayaan dan keberagamaan. Implikasi dari semua itu, manusia memiliki historisitas,
berinteraksi/berkomunikasi, dan memiliki dinamika.
5. Argumentum ad Verecundiam
Berargumen dengan menggunakan otoritas, walaupun otoritas itu tidak relevan atau ambigu.
Kata-kata di atas memang abstrak semua: otoritas;relevan; dan ambigu. Otoritas itu sesuatu atau
seseorang yang sudah diterima kebenarannya secara mutlak, seperti Al-Qur’an dan Rasulullah
Saw. Ada orang yang menggunakan otoritas untuk membela paham dan kepentingannya sendiri.
Dengan mengutip suatu peristiwa dalam sirah (perjalanan) Nabi, dia bermaksud membenarkan
paham dan kepentingannya sendiri. Padahal, peristiwa yang dikutipnya itu belum
tentu relevan dengan maslah atau tema yang sedang dibincangkan.
6. Fallacy of Composition
Fallacy of Composition adalah dugaan bahwa terapi yang berhasil untuk satu orang pasti
juga berhasil untuk semua orang. Sebagai contoh, di suatu kampung ada yang memelihara ayam.
Ayam petelur negeri itu berhasil mendatangkan uang banyak bagi pemiliknya. Melihat itu,
dengan serta-merta penduduk kampung menjual sawahnya untuk dijadikan modal bisnis ayam
petelur. Akibatnya, semua penduduk kampung itu bangkrut lantaran merosotnya permintaan dan
membanjirnya pasokan barang.
7. Circular Reasoning
Circual reasoning artinya pemikiran yang berputar-putar; menggunakan konklusi (kesimpulan)
untuk mendukung asumsi yang digunakan lagi untuk menuju konklusi semula. Misalnya, terjadi
perdebatan tentang rendahnya prestasi intelektual umat Islam di Indonesia. Orang pertama
membuktikan konklusi tersebut dengan membandingkan presentase mahasiswa Islam dan non-
Islam pada program S2 dan S3. hasilnya, makin tinggi tingkat pendidikan, maka makin
menurun trend kehadiran orang Islam di dalamnya. Padahal, di tingkat sekolah dasar, presentase
siswa Muslim adala 95 %. Kesimpulanya, umat Islam di Indonesia menduduki posisi intelektual
yang rendah. Lalu, orang kedua menyatakan bahwa hal ini terjadi lantaran orang-orang Islam
diperlakukan tidak sederajat dengan orang-orang non-Islam. Jadi, ada perlakuan diskriminatif
terhadap orang-orang Islam. Sampai-sampai, orang-orang Islam sering dicoret dari program-
program pendidikan tinggi. Orang pertama menjawab lagi, “Ya, orang Islam itu dicoret karena
orang meragukan kemampuan intelektualnya.” Dengan jawaban ini, kita kembali pada pokok
masalah. Akhirnya, perdebatan it terus-menerus berputar di sekitar itu. Inilah yang
disebut circual reasoning.
BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Ilmu Pengaetahuan pada dasarnya lahir dan berkembang konsekuensi dari usaha-usaha
manusia baik untuk memahami realitas kehidupan dan alam semesta maupun untuk
menyelesaikan permasalahan hidup yang dihadapinya, serta mengembangkan dan melestarikan
hasil yang sudah di capai oleh manusia sebelumnya.
B. SARAN
Penulis menyadaribahwa makalah diatas banyak kesalahan-kesalahan dan jauh dari kata
sempurna. Penulis menharapkan kritik dasaran mengenai makalah diatas.
DAFTAR PUSTAKA
Abbas Hamami Mintarejda, 1987, Epistemologi, Fakultas Filsafat Universitas Gadjah Mada,
Yogyakarta Achmad Charis Zubai, 1987, Kuliah Etika, Rajawali, Jakarta
Fuad Ihsan, Filsafat Ilmu, 2010, Filsafat Ilmu, Rineka Cipta, Jakarta
Cassirer, Ernst. Diindonesiakan oleh Alois A. Nugroho. 1990. Manusia dan Kebudayaan: Sebuah
Esei tentang Manusia. Jakarta: Penerbit PT Gramedia.
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. 1984/1985. Materi Dasar Pendidikan Program Akta
Mengajar V. Jakarta: Universitas Terbuka Depdikbud.
der Wij, P.A., van. 1991. Filsuf-filsuf Besar tentang Manusia. Jakarta: Penerbit PT Gramedia
Pustaka Utama.
Dirto Hadisusanto dkk. 1995. Pengantar Ilmu Pendidikan. Yogyakarta: Penerbit Faultas Ilmu
Pendidikan Institut Keguruan dan Ilmu Pendidikan Yogyakarta.