Anda di halaman 1dari 13

Makalah Traning Manajemen Pengembangan Diri

KEILMUAN

KELOMPOK 1

AWALUDDIN MULYADI
REFI HENDRAWANI P PRATIWI TRIANI
MUSRIANTI SRI AINUL
ALIFA NUR AZIMA SULTAN ADHELIA BATARI CAHYANI
NUR ATIKA RESA PUTRI FEBRI ANRIANI
DEWI WAHYUNI SURYA LESMANA
RAHMATUL FURQAN

PROGRAM STUDI AGROTEKNOLOGI


DEPARTEMEN HAMA DAN PENYAKIT TUMBUHAN
FAKULTAS PERTANIAN
UIVERSITAS HASANUDDIN
2019
BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG
Ilmu pengetahuan yang dalam bahasa Inggris science, bahasa lati scientia berarti mempelajari
atau mengetahui. Ilmu pengetahuan berbeda dengan pengetahuan (episteme). Ilmu pengetahuan
bisa berasal dari pengetahuan tetapi tidak semua pengetahuan itu adalah ilmu. Ada beberapa
syarat suatu pengetahuan dikategorikan ilmu. Menurut I.R. Poedjowijatno ilmu pengetahuan
memiliki beberapa syarat: (Abbas Hamami: 4) 1.Berobjek: objek material sasaran/bahan kajian,
objek formal yaitu sudut pandang pendekatan suatu ilme terhadap objeknya 2.Bermetode, yaitu
prosedur/cara tertentu suatu ilmu dalam usaha mencari kebenaran 3.Sistematis, ilmu pengetahuan
seringkali terdiri dari beberapa unsur tapi tetap merupakan satu kesatuan. Ada hubungan,
keterkaitan antara bagian yang satu dengan bagian yang lain. 4. Universal, ilmu diasumsikan
berlaku secara menyeluruh, tidak meliputi tempat tertentu atau waktu tertentu. Ilmu
diproyekasikan berlaku seluas-luasnya.
Pengetahuan di kembangkan manusia disebabkan dua hal utama yakni, pertama, manusia
mempunyai bahasa yang mampu nmengkomunikasikan informasi dan pikiran yang melatar
belakangngi informasi tersebut. Kemampuan berfikir menurut suatu alur kerangka berpikir
tertentu. Secara garis besar cara berpikir seperti ini disebut penalaran. Penalaran merupakan
suaru proses berfikir dalam menarik suaru kesimpulan yang berupa pengetahuan, agar
pengetahuan yang dihasilkan penalaran itu mempunyai dasar kebenaran maka proses berpikir itu
harus dilakukan melalui suatu cara tertentu. Cara penarikan kesimpulan ini disebut logika, secara
luas dapat didefinisikan sebagai “pengkajian untuk berpikir secara sahih”

B. RUMUSAN MAKALAH
1). Apa hakikat dan urgensi manusia?
2). Bagimana Hubungan manusia dengan ilmu pengetahuan?
3). Apa saja Alat dan sumber ilmu pengetahuan?
4). Kesalahan berfikir
C. TUJUAN
Agar pembaca dapat mengetahui dan memahami hakikat manusia, hubungan manusia
dengan ilmu pengetahuan, alat dan sumber ilmu pengetahuan, serta kesalahan berfikir.
BAB II
PEMBAHASAN
A. HAKIKAT DAN URGENSI MANUSIA
Dalam perjalanan hidupnya manusia mempertanyakan tentang asal-usul alam semesta dan
asal-usul keber-ada-an dirinya sendiri. Terdapat dua aliran pokok filsafat yang memberikan
jawaban atas pertanyaan tersebut, yaitu Evolusionisme dan Kreasionisme (J.D. Butler, 1968).
Menurut Evolusionisme, manusia adalah hasil puncak dari mata rantai evolusi yang terjadi di
alam semesta. Manusia – sebagaimana halnya alam semesta – ada dengan sendirinya
berkembang dari alam itu sendiri, tanpa Pencipta. Penganut aliran ini antara lain Herbert
Spencer, Charles Darwin, dan Konosuke Matsushita. Sebaliknya, filsafat Kreasionisme
menyatakan bahwa asal usul manusia – sebagaimana halnya alam semesta - adalah ciptaan suatu
Creative Cause atau Personality, yaitu Tuhan YME.
Penganut aliran ini antara lain Thomas Aquinas dan Al-Ghazali. Kita dapat mengakui
kebenaran tentang adanya proses evolusi di alam semesta termasuk pada diri manusia, tetapi
tentunya kita menolak pandangan yang menyatakan adanya manusia di alam semesta semata-
mata sebagai hasil evolusi dari alam itu sendiri, tanpa Pencipta. Penolakan ini terutama
didasarkan atas keimanan kita terhadap Tuhan YME sebagai Maha Pencipta.
Adapun secara filosofis penolakan tersebut antara lain didasarkan kepada empat argumen
berikut ini, sebagaimana dikemukakan oleh Tatang Syaripudin (2008; 9-10), yaitu sebagai
berikut:

1) Argumen ontologis: Semua manusia memiliki ide tentang Tuhan. Sementara itu, bahwa
realitas (kenyataan) lebih sempurna daripada ide manusia. Sebab itu, Tuhan pasti ada dan
realitas ada-Nya itu pasti lebih sempurna daripada ide manusia tentang Tuhan.
2) Argumen kosmologis: Segala sesuatu yang ada mesti mempunyai suatu sebab. Adanya alam
semesta - termasuk manusia - adalah sebagai akibat. Di alam semesta terdapat rangkaian
sebab-akibat, namun tentunya mesti ada Sebab Pertama yang tidak disebabkan oleh yang
lainnya. Sebab Pertama adalah sumber bagi sebab-sebab yang lainnya, tidak berada sebagai
materi, melainkan sebagai “Pribadi” atau “Khalik”.
3) Argumen Teleologis: Segala sesuatu memiliki tujuan (contoh: mata untuk melihat, kaki untuk
berjalan dsb.). Sebab itu, segala sesuatu (realitas) tidak terjadi dengan sindirinya, melainkan
diciptakan oleh Pengatur tujuan tersebut, yaitu Tuhan.
4) Argumen Moral: Manusia bermoral, ia dapat membedakan perbuatan yang baik dan yang
jahat, dsb. Ini menunjukkan adanya dasar, sumber dan tujuan moralitas. Dasar, sumber, dan
tujuan moralitas itu adalah Tuhan.
Menurut Julien de La Mettrie, salah seorang penganut aliran Materialisme – bahwa esensi
manusia semata-mata bersifat badani, esensi manusia adalah tubuh/fisiknya. Sebab itu, segala hal
yang bersifat kejiwaan, spiritual atau rohaniah dipandang hanya sebagai resonansi dari
berfungsinya badan atau organ tubuh. Tubuhlah yang mempengaruhi jiwa. Contoh: Jika ada
organ tubuh luka muncullah rasa sakit. Pandangan hubungan antara badan dan jiwa seperti itu
dikenal sebagai Epiphenomenalisme. Sebaliknya, menurut Plato – salah seorang penganut aliran
Idealisme - bahwa esensi manusia bersifat kejiwaan/ spiritual/rohaniah.
Memang Plato tidak mengingkari adanya aspek badan, namun menurut dia jiwa mempunyai
kedudukan lebih tinggi daripada badan. Jiwa berperan sebagai pemimpin badan, jiwalah yang
mempengaruhi badan, karena itu badan mempunyai ketergantungan kepada jiwa. Contoh: Pada
saat berpuasa, jiwa mengendalikan badan untuk tidak minum dan tidak makan, sekalipun
kerongkongan sudah kering dan perut keroncongan. Pandangan tentang hubungan badan dan
jiwa seperti itu dikenal sebagai Spiritualisme. Rene Descartes mengemukakan pandangan lain
yang secara tegas bersifat dualistik. Menurut Descartes esensi manusia terdiri atas dua substansi,
yaitu badan dan jiwa. Karena manusia terdiri atas dua substansi yang berbeda (badan dan jiwa),
maka antara keduanya tidak terdapat hubungan saling mempengaruhi. Namun demikian setiap
peristiwa kejiwaan selalu paralel dengan peristiwa badaniah, atau sebaliknya. Contoh: apabila
jiwa seseorang sedih, maka secara paralel badannya pun tampak murung atau menangis.
Pandangan hubungan antara badan dan jiwa seperti itu dikenal sebagai Paralelisme. Butler
Semua pandangan di atas dibantah. Menurut Schumacher manusia adalah kesatuan dari yang
bersifat badani dan rohani yang secara prinsipal berbeda daripada benda, tumbuhan, hewan,
maupun Tuhan. Sejalan dengan ini Abdurahman Sholih Abdullah menegaskan: “meski manusia
merupakan perpaduan dua unsur yang berbeda, ruh dan badan, namun ia merupakan pribadi yang
integral”. Sebagai kesatuan badani-rohani manusia hidup dalam ruang dan waktu, memiliki
kesadaran (consciousnesss), memiliki penyadaran diri (selfawareness), mempunyai berbagai
kebutuhan, instink, nafsu, serta mempunyai tujuan.

Manusia mempunyai potensi untuk beriman dan bertaqwa kepada Tuhan YME dan potensi
untuk berbuat baik, namun di samping itu karena hawa nafsunya ia pun memiliki potensi untuk
berbuat jahat. Selain itu, manusia memiliki potensi untuk mampu berpikir (cipta), potensi
berperasaan (rasa), potensi berkehendak (karsa), dan memiliki potensi untuk berkarya. Adapun
dalam eksistensinya manusia berdimensi individualitas/ personalitas, sosialitas, moralitas,
keberbudayaan dan keberagamaan. Implikasi dari semua itu, manusia memiliki historisitas,
berinteraksi/berkomunikasi, dan memiliki dinamika.

B HUBUNGAN MANUSIA DENGAN ILMU PENGETAHUAN


Ilmu Pengaetahuan pada dasarnya lahir dan berkembang konsekuensi dari usaha-usaha
manusia baik untuk memahami realitas kehidupan dan alam semesta maupun untuk
menyelesaikan permasalahan hidup yang dihadapinya, serta mengembangkan dan melestarikan
hasil yang sudah di capai oleh manusia sebelumnya Menurut Endang Saefuddin ashore
pemahaman ilmu pengetahuan di letakkan dengan ukuran: pertama, pada demensi fenominalnya,
yaitu bahwa ilmu pengetahuan menampakkan diri sebagai masyarakat, proses, dan produk. Ilmu
pengetahuan yang memiliki strukturnya sendiri ilmu pengetahuan juga bersifat independen
(bebas dari Nilai), tetapi disisi lain sebagai instrumen (alat dan proses) keberadaannya koheren
targantung dan diarahkannya. Siapa yang mengarahkannya? Yang menjawabnya tidak lain
adalah manusia sendiri sebagai subyek ilmu pengetahuan itu sendiri. Ketika memang bukan
merupakan bagian dairi ilmu pengetahuan dan tekhnologi, tetapi penerapan ilmu pengetahuan
dalam kehidupan sehari-hari di masyarakat memerlukan dimensi etis sebagai alat kontrol bagi
pengembangan iptek agar tidak bertantangan dengan nilai-nilai dan normanorma yang ada di
dalam masyarakat. Alam ini yang terjadi keharusan untuk memperhatikan kodrat manusia,
martabat manusia menjaga keseimbagan ekosistem bertanggung jawab kepada kepentingan
umum, kepentingan generasi mendatang dan bersifat universal.
Asal kata ilmu adalah dari bahasa Arab, ‘alama. Arti dari kata ini adalah pengetahuan.
Dalam bahasa Indo-nesia, ilmu sering disamakan dengan sains yang berasal dari bahasa Inggris
“science”. Kata “science” itu sendiri berasal dari bahasa Yunani yaitu “scio”, “scire” yang
artinya pengetahuan. “Science”dari bahasa Latin “scientia”, yang berarti “pengetahuan” adalah
aktivitas yang sistematis yang membangun dan mengatur penge-tahuan dalam bentuk penjelasan
dan prediksi tentang alam semesta. Berdasarkan Oxford Dictionary, ilmu didefinisikan sebagai
aktivitas intelektual dan praktis yang meliputi studi sistematis tentang struktur dan perilaku dari
dunia fisik dan alam melalui pengamatan dan percobaan”
Dalam kamus bahasa Indonesia ilmu didefinisikan sebagai pengetahuan tentang suatu
bidang yang disusun secara bersistem menurut metode tertentu, yang dapat digunakan untuk
menerangkan gejala tertentu di bidang pengetahuan. Pengertian ilmu pengetahuan adalah sebuah
sarana atau definisi tentang alam semesta yang diterjemahkan kedalam bahasa yang bisa
dimengerti oleh manusia sebagai usaha untuk mengetahui dan mengingat tentang sesuatu. dalam
kata lain dapat kita ketahui definisi arti ilmu yaitu sesuatu yang didapat dari kegiatan membaca
dan memahami benda-benda maupun peristiwa, diwaktu kecil kita belajar membaca huruf abjad,
lalu berlanjut menelaah kata-kata dan seiring bertambahnya usia secara sadar atau tidak sadar
sebenarnya kita terus belajar membaca, hanya saja yang dibaca sudah berkembang bukan hanya
dalam bentuk bahasa tulis namun membaca alam semesta seisinya sebagai usaha dalam
menemukan kebenaran. Dengan ilmu maka hidup menjadi mudah, karena ilmu juga merupakan
alat untuk menjalani kehidupan.

C. ALAT DAN SUMBER ILMU PENGETAHUAN


Menurut John Hospers dalam (Surajiyo, 2005) mengemukakan ada 6 alat untuk
memperoleh pengetahuan, yaitu :
a. Pengalaman Indera (Sense Experience) Pengetahuan berawal mula dari kenyataan yang
dapat diinderai. Pengalaman indera merupakan sumber pengetahuan berupa alat-alat
untuk menangkap objek dari dari luar diri manusia melalui kekuatan indera. 9
b. Nalar (Reason) Nalar adalah salah satu corak berpikir dengan menggabungkan dua
pemikiran atau lebih dengan maksud untuk mendapatkan pengetahuan baru.
c. Otoritas (Authority) Otoritas adalah kekuasaan yang sah yang dimiliki oleh seseorang
dan diakui kelompoknya. Otoritas menjadi salah satu sumber pengetahuan, karena
kelompoknya memiliki pengetahuan melalui seseorang yang mempunyai kewibawaan
dalam pengetahuannya. Pengetahuan yang diperoleh melalui otoritas biasanya tanpa diuji
lagi karena orang yang telah menyampaikannya mempunyai kewibawaan tertentu. Jadi,
pengetahuan karena adanya otoritas terjadi melalui wibawa seseorang sehingga orang lain
mempunyai pengetahuan.
d. Intuisi (Intuition) Intuisi adalah suatu kemampuan yang ada pada diri manusia melalui
proses kejiwaan tanpa suatu rangsangan atau stimulus mampu untuk membuat pernyataan
berupa pengetahuan. Pengetahuan yang diperoleh melalui intuisi tidak dapat dibuktikan
seketika atau melalui kenyataan karena pengetahuan ini muncul tanpa adanya
pengetahuan lebih dahulu. Dengan demikian, peran intuisi sebagai sumber pengetahuan
adalah adanya kemampuan dalam diri manusia yang dapat melahirkan pernyataan-
pernyataan berupa pengetahuan. 10
e. Wahyu (Revelation) Wahyu adalah berita yang disampaikan oleh Tuhan kepada NabiNya
untuk kepentingan umatnya. Kita mempunyai pengetahuan melalui wahyu, karena ada
kepercayaan tentang sesuatu yang disampaikan itu. Seseorang yang mempunyai
pengetahuan melalui wahyu secara dogmatic (ajaran yang tidak dapat dibantah/
kepercayaan) akan melaksanakan dengan baik. Wahyu dapat dikatakan sebagai salah satu
sumber pengetahuan, karena kita mengenal sesuatu melalui kepercayaan kita.
f. Keyakinan (faith) Keyakinan adalah kemampuan yang ada pada diri manusia yang
diperoleh melalui kepercayaan. Antara wahyu dan keyakinan sangat sukar untuk
dibedakan secara jelas, karena keduanya menetapkan bahwa alat lain yang
dipergunakannya adalah kepercayaan. Perbedaannya jika keyakinan terhadap wahyu
yang secara dogmatic (ajaran yang tidak dapat dibantah/kepercayaan) diikutinya adalah
peraturan yang berupa agama. Adapun keyakinan melalui kemampuan kejiwaan manusia
merupakan pematangan (maturation) dari kepercayaan. Karena kepercayaan itu bersifat
dinamik mampu menyesuaikan dengan keadaan yang sedang terjadi. Sedangkan
keyakinan itu sangat statik, kecuali ada bukti-bukti baru yang akurat dan cocok buat
kepercayaannya.
Menurut Murtadha Muthahhari (2012), sumber pengetahuan terdiri atas:
Alam semesta
Dalam banyak ayal Al-Quran, benda-benda alam seperti bumi, langit, bintang, matahari,
bulan, mendung, hujan, gerakan angina, bahtera yang berlayar di lautan, tumbuhan binatang dan
segala yang ada disekitar manusia yang dapat ditangkap manusia lewat indra, disebut sebagai
hal-hal yang layak dipikirkan dalam-dalam dan disimpulkan.
Sejarah
Banyak ayat Al-Quran yang mengajak manusia untuk mengkaji generasi dahulu, dan
menggambarkan kajian seperti itu sebagai simbol ilmu pengetahuan. Dari sudut pandang Al-
Quaran, segenap perkembangan sejarah manusia berlangsung mengikuti hokum dan norma yang
sistematis. Segenap kejadian sejarah yang melibatkan kehormatan dan aib, kesuksesan dan
kegagalan, nasib baik dan nasib buruk, memiliki aturannya yang pasti dan sempurna. Dengan
mengetahui aturan dan hokum ini, sejarah masa kini dapatb dikendalikan kearah yang
menguntungkan generasi sekarang.
Hati nurani
Al-Quran suci menyebut hati nurani sebagai sumber khusus pengetahuan. Dari kacamata
Al-Quran, segenap makhluk mengandung ayat-ayt allah dan kunci untuk menemukan kebenaran.
Al-Quran menggambarkan alam di luar diri manusia sebagai “cakrawala” dan alam didalam diri
manusia sebagai “diri” dan demikian Al-Quran menanamkan dalam diri manusia nilai penting
khusus hati nurani. Itulah sebabnya kata “cakrawala” dan “diri” lazim termaktub dalam literature
islam.
D. KESALAHAN BERFIKIR
Berfikir merupakan aktifitas otak , maka berfikir akan menentukan apa tindakan kita
selanjutnya, disini dijelaskan beberapa kesalahan berfikir yang akan berefek pada tindakan kita.
Menurut Jalaluddin Rakhmat ada tujuh kesalahan berfikir:
1. Fallacy of Dramatic Instance
Fallacy of dramatic instance berawal dari kecendrungan orang untuk melakukan apa yang
dikenal dengan over-generalisation. Yaitu, penggunaan satu dua kasus untuk mendukung
argumen yang bersifat general atau umum. Kerancuan berfikir semacam ini banyak terjadi dalam
berbagai telaah social. Argument yang overgeneralized ini biasanya agak sulit dipatahkan.
Karena, satu-dua kasus rujukan itu seringkali diambil dari pengalaman pribadi seseorang
(individual’s personal experience). Contoh supaya lebih memudahkan kita memahami Fallacy of
dramatic instance ini:
Joni adalah mahasiswa UGD
Dedi adalah mahasiswa UGM
Joni berperangai jelek
Jadi, dedi juga berperangai jelek
(karena keduanya mahasiswa UGM)
Kadang-kadang, overgeneralisasi terjadi dalam pemikiran kita saat memandang seseorang,
sesuatu, atau
2. Determinism
Istilah yang panjang ini sebetulnya hanya untuk menjelaskan kebiasaan orang yang
menganggap masalah sosial yang sekarang terjadi sebagai sesuatu yang secara historis memang
selalu ada, tidak bisa dihindari, dan merupakan akibat dari sejarah yang cukup panjang.
Determinism selalu saja lebih memperhitungkan masa silam ketimbang masa mendatang.
Misalnya, ada sesuatu masalah sosial yang bernama pelacuran alias prostitusi. Sebagian orang
mengatakan: “ mengapa pelacuran itu harus dilarang? Sepanjang sejarah pelacuran itu ada dan
tidak bisa dibasmi. Oleh karena itu, yang harus kita lakukan bukan menghilangkan pelacuran,
melainkan melokalisasikannya tempat. Padahal, orang itu selalu berubah, sehingga hal yang
sama tidak bisa kita terapkan pada orang yang sama terus menerus dan selamanya.
Fallacy of Retrospective agar terhindar dari dampak-dampak yang tidak diinginkan. Karena,
sekali lagi, pelacuran itu sudah ada sepanjang sejarah.”
Dengan demikian, cara berfikir ini selalu mengambil acuan “kembali ke belakang” atau “sistem”.
Karena itu, kesalahan berfikir ini disebut restrospective (melihat kebelakang). Determinisme
restrospektif adalah upaya kembali pada sesuatu yang seakan-akan sudah ditentukan
(determined) di dalam sejarah yang telah lalu.Contoh lainnya adalah perkara kemiskinan. Orang
yang berpendirian seperti di atas, akan mengatakan bahwa kemiskinan sudah ada sepanjang
sejarah. Dari dulu ada orang kaya dan miskin. Mengapa orang sekarang mesti rebut-ribut
memeberantas kemiskinan. Padahal, kemiskinan tidak bisa diberantas, sudah ada sejak jaman
dahulu . ini juga termasuk kesalahan berfikir Karena selalu melihat kebelakang.

3. Post Hoc Ergo Prropter Hoc


Istilah ini berasal dari bahasa latin: post artinya sesudah; hoc artinya demikian; ergo artinya
karena itu; propter artinya disebabkan; dan hoc artinya demikian. Singkatnya: sesudah itu-karena
itu-oleh sebab itu. Jadi, apabila ada peristiwa yang terjadi dalam urutan temporal, maka kita
menyatakan bahwa yang pertama adalah sebab dari yang kedua. Misalnya si X datang sesudah Y
. maka X dianggap sebagai sebab dan Y sebagai akibat. Alasannya apa? Karena, urut-urutan
waktunya begitu. Misalkan ada orangtua yang lebih mencintai seorang anak dibandingkan anak
yang lain hanya karena orangtua itu kebetulan naik pangkat atau ekonominya menjadi menjadi
lebih stabil setelah memperoleh anak kesayangannya itu. Dulu, ketika zaman anak pertama,
orangtua ini sengsara. Maklum, kehidupan berkembang. Tapi, malangnya, yang kena getah
malah anak pertama. Orangtua itu berkata: “ ini anak membawa sial. Dulu, zaman anak ini saya
sengsara. Nah, anak saya yang terakhir ini yang membawa keberuntungan.” Lagi-lagi, itu adalah
contoh post hoc ergo propter hoc.
4. Fallacy of Misplaced Concretness
Misplaced berarti salah telak. Concretness artinya kekonkretan. Jadi, kesalahan berfikir ini
muncul karena kita mengkonkretkan sesuatu yang pada hakikatnya abstrak. Misalnya, mengapa
orang Islam secara ekonomi dan politik lemah? Mengapa kita tidak bisa menjalankan syariat
Islam dengan baik? Lalu ada orang menjawab : “kita hancur karena kita berada pada satu sistim
jahiliyah. Kita hancur karena ada thagut yang berkuasa.” Tetapi, sistem jahiliyah dan thagut itu
adalah dua hal yang abstrak. Sehingga jika jawabannya seperti itu, lalu apa yang bisa kita
lakukan? Kita harus mengubah sistem! Tetapi, “siapa” system itu? Sistem yang abstrak itu kita
pandang sebagai sesuatu yang konkret. Dalam istilah logika, kesalahan seperti di atas itu
disebut reification. Yaitu, menganggap real sesuatu yang sebetulnya hanya berada dalam pikiran
kita.

5. Argumentum ad Verecundiam
Berargumen dengan menggunakan otoritas, walaupun otoritas itu tidak relevan atau ambigu.
Kata-kata di atas memang abstrak semua: otoritas;relevan; dan ambigu. Otoritas itu sesuatu atau
seseorang yang sudah diterima kebenarannya secara mutlak, seperti Al-Qur’an dan Rasulullah
Saw. Ada orang yang menggunakan otoritas untuk membela paham dan kepentingannya sendiri.
Dengan mengutip suatu peristiwa dalam sirah (perjalanan) Nabi, dia bermaksud membenarkan
paham dan kepentingannya sendiri. Padahal, peristiwa yang dikutipnya itu belum
tentu relevan dengan maslah atau tema yang sedang dibincangkan.

6. Fallacy of Composition
Fallacy of Composition adalah dugaan bahwa terapi yang berhasil untuk satu orang pasti
juga berhasil untuk semua orang. Sebagai contoh, di suatu kampung ada yang memelihara ayam.
Ayam petelur negeri itu berhasil mendatangkan uang banyak bagi pemiliknya. Melihat itu,
dengan serta-merta penduduk kampung menjual sawahnya untuk dijadikan modal bisnis ayam
petelur. Akibatnya, semua penduduk kampung itu bangkrut lantaran merosotnya permintaan dan
membanjirnya pasokan barang.

7. Circular Reasoning
Circual reasoning artinya pemikiran yang berputar-putar; menggunakan konklusi (kesimpulan)
untuk mendukung asumsi yang digunakan lagi untuk menuju konklusi semula. Misalnya, terjadi
perdebatan tentang rendahnya prestasi intelektual umat Islam di Indonesia. Orang pertama
membuktikan konklusi tersebut dengan membandingkan presentase mahasiswa Islam dan non-
Islam pada program S2 dan S3. hasilnya, makin tinggi tingkat pendidikan, maka makin
menurun trend kehadiran orang Islam di dalamnya. Padahal, di tingkat sekolah dasar, presentase
siswa Muslim adala 95 %. Kesimpulanya, umat Islam di Indonesia menduduki posisi intelektual
yang rendah. Lalu, orang kedua menyatakan bahwa hal ini terjadi lantaran orang-orang Islam
diperlakukan tidak sederajat dengan orang-orang non-Islam. Jadi, ada perlakuan diskriminatif
terhadap orang-orang Islam. Sampai-sampai, orang-orang Islam sering dicoret dari program-
program pendidikan tinggi. Orang pertama menjawab lagi, “Ya, orang Islam itu dicoret karena
orang meragukan kemampuan intelektualnya.” Dengan jawaban ini, kita kembali pada pokok
masalah. Akhirnya, perdebatan it terus-menerus berputar di sekitar itu. Inilah yang
disebut circual reasoning.
BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Ilmu Pengaetahuan pada dasarnya lahir dan berkembang konsekuensi dari usaha-usaha
manusia baik untuk memahami realitas kehidupan dan alam semesta maupun untuk
menyelesaikan permasalahan hidup yang dihadapinya, serta mengembangkan dan melestarikan
hasil yang sudah di capai oleh manusia sebelumnya.
B. SARAN
Penulis menyadaribahwa makalah diatas banyak kesalahan-kesalahan dan jauh dari kata
sempurna. Penulis menharapkan kritik dasaran mengenai makalah diatas.
DAFTAR PUSTAKA

Abbas Hamami Mintarejda, 1987, Epistemologi, Fakultas Filsafat Universitas Gadjah Mada,
Yogyakarta Achmad Charis Zubai, 1987, Kuliah Etika, Rajawali, Jakarta

Fuad Ihsan, Filsafat Ilmu, 2010, Filsafat Ilmu, Rineka Cipta, Jakarta

Harun Hadiwijono, 1987, Sari Sejarah Filsafat Barat 2, Kanisius, Yogyakarta

Kaelan, 1987, Pancasila Yuridis Kenegaraan, Liberty, Yogyakarta

Cassirer, Ernst. Diindonesiakan oleh Alois A. Nugroho. 1990. Manusia dan Kebudayaan: Sebuah
Esei tentang Manusia. Jakarta: Penerbit PT Gramedia.

Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. 1984/1985. Materi Dasar Pendidikan Program Akta
Mengajar V. Jakarta: Universitas Terbuka Depdikbud.

der Wij, P.A., van. 1991. Filsuf-filsuf Besar tentang Manusia. Jakarta: Penerbit PT Gramedia
Pustaka Utama.

Dirto Hadisusanto dkk. 1995. Pengantar Ilmu Pendidikan. Yogyakarta: Penerbit Faultas Ilmu
Pendidikan Institut Keguruan dan Ilmu Pendidikan Yogyakarta.

Drijarkara, N. 1969. Filsafat Manusia. Jogjakarta: Penerbit Jajasan Kanisius.

Anda mungkin juga menyukai