Atau, untuk tuan yang lupa akan Tuhan Kisahnya sejajar pada kisah “Bapa, berikan padaku yang menjadi hakku” *** Kusangka salah sangka diawal kumenoreh Kupikir salah kaprah diawal kumenaruh tinta Arah berbalut kepuasan Oh..... arah menjelma menjadi nafsu di sisa-sisa kehidupan Berjalan ke kiri, berpikir berbalik ke kanan Melangkah ke depan, mimpi kembali ke belakang *** Aku? Kamu? (atau) kita? Mungkin juga kami ? Menerka arah.... Atau, arah yang menerka *** Diambang batas perjalanan, segala arah kalang kabut mau di bawa kemana? Reinkarnasi “benggong mbere lele benggong”, “betong benggong-banggong” Arahnya...... arahnya...... arahnya..... kemana lagi Tuhan ? Dimana jalannya??? Mana Tuhan??? Di ambang batas betapa, malang kepayang *** Di hutan ada hantu, Di hutan ada Tuhan, Di hutan ada Tuhan dan pula Hantu.... Bagai tetua yang mengabaikan mesbah moyang; nyata adanya compang ku compang-camping *** Sekarang semuaya sirna, menjadi bayang semu Arah membawanya datang bersembah peluh Peluh berjubahkan derita hidup yang sendu Bapa, yang t’lah siap sediakan sepatu mewah Bapa, yang t’lah siap sediakan cincin bersepu emas permata Bapa, yang t’lah siap sediakan semuanya untuk kembali menjadi satu yang sama *** Bapa, bukan siapa-siapa Menangis tak bercucurkan air mata; Disaat arah diterka, Merintih tak bersuara; *** Dikala pilihan menerka arah Dosa telah membakar jiwa Kekalutan telah merona raga Selagi masih bisa kembali, maka berbaliklah tuan !!! Dengan tak lagi mencari-cari arah Dengan tak lagi menerka-nerka arah
= Pagal, Mei 2018 =
(Puisi ini diangkat dari Injil Lukas ......... tentang: Perumpamaan tentang Anak yang Hilang)