Anda di halaman 1dari 64

SKRIPSI

TINJAUAN YURIDIS TERHADAP TINDAK PIDANA


PENGGELAPAN YANG DILAKUKAN OLEH OKNUM POLISI
(Studi Kasus Putusan No:80/PID.B/2010/PN.Mks)

OLEH:

MUHAMMAD AKRAM MUKRAMIN


B111 08 814

FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR
2012

i
HALAMAN JUDUL

TINJAUAN YURIDIS TERHADAP TINDAK PIDANA


PENGGELAPAN YANG DILAKUKAN OLEH OKNUM POLISI
(Studi Kasus Putusan No:80/PID.B/2010/PN.Mks)

Disusun dan Diajukan Oleh :

MUHAMMAD AKRAM MUKRAMIN


B111 08 814

SKRIPSI

Diajukan Sebagai Tugas Akhir dalam Rangka Penyelesaian Studi Sarjana


Dalam Bagian Hukum Pidana Program Studi Ilmu Hukum

FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR
2012

i
PERSETUJUAN PEMBIMBING

Diterangkan bahwa skripsi mahasiswa :


NAMA : MUHAMMAD AKRAM MUKRAMIN
NIM : B 111 08 814
BAGIAN : HUKUM PIDANA
JUDUL : TINJAUAN YURIDIS TERHADAP TINDAK PIDANA
PENGGELAPAN YANG DILAKUKAN OLEH OKNUM
POLISI(Studi Kasus Putusan No:80/PID.B/2010/PN.Mks)

Telah diperiksa dan disetujui untuk diajukan dalam Ujian Skripsi.

Makassar, Oktober 2012

Pembimbing I, Pembimbing II,

Prof.Dr. Slamet Sampurno,S.H.,M.H Hijrah Adhyanti M,S.H.,M.H.


NIP.196804111992031003 NIP. 196603201991031005

ii
ABSTRAK

MUHAMMAD AKRAM MUKRAMIN (B111 08 814) TINJAUAN YURIDIS


TERHADAP TINDAK PIDANA PENGGELAPAN YANG DILAKUKAN
OLEH OKNUM POLISI (Studi Kasus Putusan Nomor.80/Pid.B/PN.Mks),
dibimbing oleh Bapak SLAMET SAMPURNO sebagai Pembimbing I dan
Ibu Hijrah Adhayanti sebagai Pembimbing II.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui penerapan hukum pidana


materil terhadap tindak pidana penggelapan yang dilakukan oleh oknum
polisi dalam perkara No.80/Pid.B/2010/PN.Mks dan untuk mengetahui
pertimbangan hukum hakim dalam menjatuhkan sanksi pidana dalam
perkara No.80/Pid.B/2010/PN.Mks

Penelitian ini dilaksanakan dalam Wilayah Kota Makassar Sulawesi


Selatan yaitu pada Pengadilan Negeri Makassar. Penulis memperoleh
data dengan menganalisis kasus putusan dan mengambil data dari
kepustakaan yang relevan yaitu literatur, buku-buku serta peraturan
perundang-undangan yang berkaitan dengan masalah tersebut, serta
mengambil data secara langsung dari sebuah putusan pengadilan yang
berupa wawancara kepada hakim yang terkait dalam menangani kasus
tindak pidan penggelapan.

Dari penelitian yang dilakukan penulis diperoleh kesimpulan bahwa:


(1) Berdasarkan putusan perkara No.80/Pid.B/2010 menyatakan bahwa
terdakwa ASYARI telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah
melakukan tindak pidana penggelapan sebagaimana yang diatur dan
diancam pidana dalam Pasal 372 KUH Pidana dan telah sesuai
berdasarkan fakta-fakta hukum baik keterangan para saksi maupun
keterangan terdakwa. (2) Putusan hakim dalam perkara
No.80/Pid.B/2010/PN.Mks berdasarkan pada pertimbangan yuridis, fakta
persidangan maupun alat bukti yang mendukung dalam persidangan
tersebut, namun sanksi pidana yang dijatuhkan terhadap terpidana Asyari,
dirasa masih sangatlah ringan, meskipun dengan adanya alasan yang
meringankan pidananya karena sanksi pidana yang dijatuhkan kepada
terpidana Asyari tidak cukup untuk menimbulkan efek jera yang
memberikan rasa takut bagi terpidana pada khususnya, dan bagi khalayak
ramai pada umumnya, sebagaimana fungsi pidana yang semestinya.

iii
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL .............................................................................. i

PERSETUJUAN PEMBIMBING .......................................................... ii

DAFTAR ISI ......................................................................................... iii

BAB I PENDAHULUAN..................................................................... 1

A. Latar Belakang Masalah ...................................................... 1

B. Rumusan Masalah ............................................................... 4

C. Tujuan Penelitian ................................................................. 5

D. Kegunaan Penelitian ............................................................ 5

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ............................................................ 6

A. Pidana dan Pemidanaan...................................................... 6

B. Pengertian Tindak Pidana dan Unsur-Unsurnya .................. 13

C. Pengertian Tindak Pidana Penggelapan ............................. 17

D. Jenis-Jenis Tindak Pidana Penggelapan dan Unsur-

Unsurnya ............................................................................. 19

1. Jenis-Jenis Tindak Pidana Penggelapan........................ 19

2. Unsur-Unsur Tindak Pidana Penggelapan ..................... 26

E. Tugas dan Wewenang Anggota Polri................................... 31

F. Pertimbangan Hakim dalam Menjatuhkan Pidana ............... 33

BAB III METODE PENELITIAN........................................................... 35

A. Lokasi Penelitian .................................................................. 35

B. Jenis dan Sumber Data ....................................................... 35

C. Teknik Pengumpulan Data ................................................... 36

D. Teknik Analisis Data ............................................................ 36

iv
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN .................................................. 37

A. Penerapan Hukum Pidana Materil Terhadap Tindak

Pidana Penggelapan yang Dilakukan Oleh Oknum Polisi

Pada Perkara No.80/Pid.b/2010/PN.Mks ............................ 37

1. Posisi Kasus .................................................................. 37

2. Dakwaan Penuntut Umum ............................................. 39

3. Tuntutan Jaksa Penuntut Umum ................................... 42

4. Analisis Penulis.............................................................. 43

B. Pertimbangan Hakim Dalam Menjatuhkan Sanksi Pidana

pada Perkara No.80/Pid.B/2010/PN.Mks ............................ 46

1. Pertimbangan Hukum Hakim ......................................... 47

2. Analisis Penulis.............................................................. 53

BAB V PENUTUP ................................................................................ 56

A. Kesimpulan ......................................................................... 56

B. Saran .................................................................................. 57

DAFTAR PUSTAKA

v
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Tindak pidana penggelapan di Indonesia saat ini sangat sering

kita jumpai dikehidupan sehari-hari. Himpitan ekonomi dengan gaya

hidup yang semakin tinggi menjadi faktor terjadinya tindak pidana.

Maraknya tindak pidana penggelapan khususnya uang di negara kita

bukan hanya dilakukan oleh masyarakat awam tapi juga oknum

penegak hukum yang terlibat dalam kasus ini.

Jadi apa yang terjadi sekarang di Negara kita benar-benar jauh

dari harapan bahwa seorang penegak hukum yang seharusnya

menjadi teladan untuk masyarakat luas menjadi hilang wibawa karena

tersandung kasus hukum. Uang adalah hal yang penting dalam hidup

tapi bukan karena uang lantas membutakan mata untuk berlaku benar

di dunia ini. Terkait dengan kasus penggelapan yang dilakukan oleh

polisi disini penulis menganalisis bahwa pentingnya kesadaran hukum

dari semua pihak dalam menyikapi segala aspek hukum seharusnya

dijadikan acuan untuk berbuat sesuai aturan.

Berkembangnya teknologi dan masuknya modernisasi

membawa dampak yang cukup serius bagi moral masyarakat. Sadar

atau tidak, kemajuan zaman telah mendorong terjadinya krisis moral.

Krisis moral ini dipicu oleh ketidak mampuan untuk menyaring

informasi dan budaya yang masuk sehingga sangat mungkin krisis

1
moral ini akan memacu timbulnya kejahatan dalam masyarakat. Perlu

disadari bahwa kejahatan dapat dilakukan oleh siapapun dan terhadap

siapapun.

Kejahatan merupakan fenomena kehidupan masyarakat, karena

itu tidak dapat lepas ruang dan waktu. Naik turunnya kejahatan

tergantung kepada keadaan masyarakat, keadaan politik, kebudayaan

dan sebagainya. Kejahatan sebagai fenomena sosial yang terjadi

dimuka bumi dapat dari pemberitaan media massa seperti, surat kabar,

majalah dan televisi yang selalu saja memuat berita tentang terjadinya

kejahatan. Tampaknya masalah kejahatan ini akan selalu berkembang,

baik itu dilihat dari segi kuantitas. Bahwa daerah perkotaan

kejahatannya berkembang terus sejalan dengan berkembangnya kota

selalu disertai dengan perkembangan kualitas dan kuantitas kejahatan

atau kriminalitas, akibat perkembangan ini menimbulkan keresahan

bagi masyarakat dan pemerintahan. Kejahatan tidak akan dapat hilang

dengan sendirinya, sebaliknya kasus kejahatan semakin sering terjadi

dan yang paling dominan adalah jenis kejahatan terhadap harta

kekayaan, khususnya yang termasuk didalamnya adalah tindak pidana

penggelapan. Disetiap negara tidak terkecualli negara yang paling

maju sekalipun, pasti akan menghadapi masalah kejahatan yang

mengancam dan mengganggu ketentraman dan kesejahtraan

penduduknya. Hal ini menunjukkan bahwa kejahatan tidak hanya

2
tumbuh subur dinegara miskin dan berkembang, tetapi dinegara-

negara yang sudah maju.

Uraian tersebut tentunya dapat menjadi acuan bagi kita

mengenai kondisi penegakan hukum di Negara ini. Keberadaan norma

hukum memang dapat diibaratkan sebagai pondasi utama yang

sekaligus juga menjadi tiang penyangga dari Negara. Hukum bagaikan

rumah terakhir bagi peminta keadilan. Ketika hukum menjadi hal yang

amat penting maka diperlukan adanya aparat penegak hukum yang

cakap dan bersih. Upaya penegakan hukum dalam menjamin keadilan

dalam masyarakat menjadi tugas berat yang harus diemban oleh

aparat penegak hukum. Ada hal menarik dari uraian sebelumnya yang

penulis perhatikan dalam kasus ini bahwa penggelapan uang yang

terjadi sekarang dan menyangkut aparat penegak hukum khususnya

oknum polisi ini sudah bukan lagi menjadi rahasia bahkan dapat

dikatakan hal biasa. Padahal lembaga Kepolisian pada dasarnya

adalah lembaga pertama dan utama dalam hal penegakan hukum,

karena dari sinilah sebuah kasus maupun perkara biasanya mulai

diangkat sehingga lembaga hukum Kejaksaan dan Pengadilan baru

bisa memprosenya lebih lanjut. Polisi dimata masyarakat awam sangat

disegani bahkan ditakuti kehadirannya tidak jarang orang tua yang

memiliki anak lelaki rela mengorbankan uang yang begitu banyak

hanya untuk anaknya lulus sebagai polisi. Tindakan ini yang

menyebabkan juga banyak terjadi penggelapan dan bahkan penipuan

3
yang dilakukan oknum polisi nakal dengan alasan membantu

meluluskan sebagai polisi yang akibatnya para orang tua tersebut

mengalami kerugian besar saat anaknya tidak lulus dan uang telah

habis.

Kinerja Kepolisian yang bertugas menegakkan hukum dengan

berbagai macam tugas, kewajiban dan wewenangnya memang tidak

secara otoamtis menjamin bahwa lembaga Kepolisian dari praktek

mafia hukum dan pencaloan dalam pendaftaran calon anggota polisi

baru. Melihat praktek menyimpang dari oknum polisi tadi tentunya

diperlukan suatu pranata hukum guna mencegah merebaknya

perbuatan tadi. Patut disayangkan memang apabila lembaga

Kepolisian disusupi oleh oknum yang tidak bertanggung jawab yang

hanya memikirkan kepentingan pribadinya dengan melakukan

penggelapan atau penipuan maupun melakukan praktek pencaloan.

Berdasarkan uraian diatas maka penulis tertarik untuk menulis

judul “Tinjauan Yuridis Terhadap Tindak Pidana Penggelapan

Yang Dilakukan Oleh Polisi (Studi Kasus Pengadilan Negeri

Makassar)”

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian latar belakang di atas, maka dapat

dikemukakan rumusan masalah antara lain :

1. Bagaimanakah penerapan hukum pidana materil terhadap tindak

pidana penggelapan yang dilakukan oleh oknum kepolisian?

4
2. Bagaimanakah pertimbangan hukum hakim dalam menjatuhkan

sanksi pidana terhadap tindak pidana yang penggelapan yang

dilakukan oleh oknum kepolisian?

C. Tujuan Penelitian

Berdasarkan rumusan masalah di atas maka tujuannya adalah:

1. Untuk mengetahui penerapan hukum pidana materil terhadap

terhadap tindak pidana penggelapan yang dilakukan oleh oknum

kepolisian.

2. Untuk mengetahui pertimbangan hukum hakim dalam menjatuhkan

sanksi pidana terhadap tindak pidana penggelapan yang dilakukan

oleh oknum kepolisian dalam perkara pidana.

D. Kegunaan Penelitian

1. Memberikan informasi dalam setiap perkembangan ilmu hukum

pada umumnya dan hukum pidana pada khususnya yang berkaitan

dengan masalah yang dibahas dalam penelitian ini.

2. Memberikan wawasan dan pengetahuan khususnya kepada

penulis dan umumnya bagi para mahasiswa hukum mengenai

penerapan hukum pidana bagi pelaku tindak pidana penggelapan

3. Dapat digunakan sebagai literatur tambahan bagi yang berminat

untuk meneliti lebih lanjut tentang masalah yang dibahas dalam

penelitian ini.

5
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Pidana dan Pemidanaan

Pergaulan manusia dalam kehidupan masyarakat tidak

selamanya berjalan sesuai dengan yang diharapkan. Manusia selalu

dihadapkan pada masalah-masalah atau pertentangan dan konflik

kepentingan antar sesamanya. Dalam keadaan demikian hukum

diperlukan untuk menjaga keseimbangan dan ketertiban dalam

masyarakat.

Istilah hukuman berasal dan kata straf yang merupakan istilah

yang sering digunakan sebagai istilah dan pidana. Istilah hukuman

yang merupakan istilah umum dan konvensional, dapat mempunyai arti

yang luas dan berubah-ubah karena istilah itu dapat berkonotasi

dengan bidang yang cukup luas.

Oleh karena pidana merupakan istilah yang lebih khusus, maka

perlu ada pembatasan pengertian atau makna sentral yang dapat

menunjukkan ciri-chi atau sifat-sifatnya yang khas, berikut ini beberapa

pendapat dan para Sarjana sebagai berikut:

Menurut Soedarto (Niniek Supami, 2007:11) Pidana adalah:

“Nestapa yang diberikan oleh Negara kepada seseorang yang


melakukan pelanggaran terhadap ketentuan Undang-Undang
(hukum pidana), sengaja agar dirasakan sebagai nestapa”.

Pemberian nestapa atau penderitaan yang sengaja dikenakan

kepada seseorang pelanggar ketentuan Undang-Undang tidak lain

6
dimaksudkan agar orang itu menjadi jera. Hukum pidana sengaja

mengenakan penderitaan dalam mempertahankan norma-norma yang

diakui dalam hukum. Sanksi yang tajam dan dalam hukum pidana

inilah yang membedakannya dengan bidang-bidang hukum yang lain.

Inilah sebabnya mengapa hukum pidana harus dianggap sebagai

sarana terakhir apabila sanksi dan upaya-upaya pada bidang hukum

yang lain tidak memadai.

Menurut Roeslan Saleh (Bambang Waluyo, 2008:9):

“Pidana adalah reaksi atas delik yang banyak berwujud suatu


nestapa yang dengan sengaja ditimpahkan Negara kepada
pembuat delik”.

Pada dasarnya pengertian pidana menurut Roeslan Saleh ini

hampir sama dengan pengertian pidana dan Soedarto, yaitu bahwa

pidana berwujud suatu nestapa, diberikan oleh Negara, kepada

pelanggar.

Akan tetapi tidak semua sarjana menyetujui pendapat bahwa

hakikat pidana adalah pemberian nestapa, hal ini antara lain

diungkapkan oleh Huisman dikutip oleh Muladi (Niniek Supami,

2007:12):

“Pidana adalah menyerukan untuk tertib; pidana pada


hakikatnya mempunyai dua tujuan utama yakni untuk
mempengaruhi tingkah laku dan untuk menyelesaikan konflik”.

Defenisi hukum pidana menurut Mertokusumo (Sukardi,

2005:22) yaitu:

“Hukum pidana adalah hukum yang menentukan perbuatan-


perbuatan apa sajakah yang dapat dipidana serta sanksi-sanksi

7
apa sajakah yang tersedia. Hukum pidana dibagi menjadi
hukum pidana materil dan hukum pidana formil. Hukum pidana
materil ini memuat perbuatan-perbuatan melanggar hukum yang
disebut delik dan diancam dengan sanksi. Hukum pidana formil
atau hukum acara pidana mengatur tentang bagaimana cara
Negara menerapkan sanksi pidana pada peristiwa konkrit”.

Menurut Prodjo Hamidjojo (Sukardi, 2005:22):

“Hukum pidana ialah bagian dan keseluruhan hukum yang


berlaku di suatu Negara, yang mengadakan dasar-dasar dan
aturan-aturan untuk”.

1. Menentukan perbuatan-perbuatan mana yang tidak boleh


dilakukan, yang dilarang, dengan disertai ancaman atau
sanksi pidana tertentu bagi siapa saja yang melanggarnya.
2. Menentukan kapan dan dalam hal apa kepada mereka yang
telah melakukan larangan-larangan itu dapat dikenakan atau
dijatuhi pidana sebagai mana yang telah diancamkan.
3. Menentukan dengan cara bagaimana pengenaan pidana itu
dapat dilaksanakan apabila orang yang diduga telah
melanggar ketentuan tersebut.

Pidana disatu sisi tidak hanya dimaksudkan untuk memberikan

penderitaan kepada pelanggar atau membuat jera, tetapi disisi yang

lain juga agar membuat pelanggar dapat kembali hidup bermasyarakat

sebagaimana layaknya. Dua sisi inilah yang dikenal dalam hukum

pidana sebagai pedang bermata dua.

Adapun unsur-unsur atau ciri-ciri pidana menurut Dwidja

Priyatno (Dwidja Priyatno, 2006:7) ialah sebagai berikut:

1. Pidana itu pada hakikatnya merupakan suatu pengenaan


penderitaan atau nestapa atau akibat-akibat lain yang tidak
menyenangkan.
2. Pidana itu diberikan dengan sengaja oleh orang atau badan
yang mempunyai kekuasaan (oleh yang berwenang)
3. Pidana itu dikenakan kepada seseorang atau Badan Hukum
(korporasi) yang telah melakukan tindak pidana menurut
Undang-Undang.

8
Secara umum fungsi hukum pidana yakni untuk mengatur dan

menyelenggarakan kehidupan masyarakat agar dapat tercipta dan

terpeliharanya ketertiban umum. Sedangkan secara khusus fungsi

hukum pidana (Antonius Sudirman, 2009:106-1 07) ialah:

1. Melindungi kepentingan hukum dan perbuatan atau perbuatan-


perbuatan yang menyerang atau memperkosa kepentingan
hukum tersebut.
2. Memberi dasar legitimasi bagi Negara dalam rangka Negara
menjalankan fungsi perlindungan atas berbagai kepentingan
umum.
3. Mengatur dan membatasi kekuasaan Negara dalam rangka
Negara melaksanakan fungsi perlindungan atas kepentingan
hukum.

Penjelasan tentang ketiga hat tersebut adalah sebagai berikut:

a. Fungsi melindungi kepentingan hukum (retchsbelang) dan

perbuatan yang menyerang atau memperkosanya. Kepentingan

hukum yang dimaksud yakni : hak-hak (rechten), hubungan

hukum (rechtsbetrekking), keadaan hukum (rechtstoestancl),

dan bangunan masyarakat (sociale instellingen).

b. Memberi dasar legitimasi bagi Negara dalam rangka Negara

menjalankan fungsi mempertahankan kepentingan hukum yang

dilindungi. Artinya, Negara mempunyai hak untuk menjatuhkan

pidana kepada warga masyarakat yang terbukti melanggar

kepentingan hukum yang dilindungi oleh hukum pidana.

c. Mengatur dan membatasi kekuasaan Negara dalam rangka

melaksanakan fungsi perlindungan dan kepentingan hukum.

Fungsi ini dimaksudkan untuk mencegah Negara menggunakan

9
haknya secara sewenang-wenang dalam upaya

mempertahankan kepentingan hukum yang dilindungi.

Adapun penjatuhan pidana ditujukan bukan semata-mata

sebagai pembalasan dendam. Yang paling penting adalah pemberian

bimbingan dan pengayoman. Pengayoman sekaligus kepada

masyarakat dan kepada terpidana sendiri agar menjadi insaf dan dapat

menjadi anggota masyarakat yang balk.

Secara umum dapat dikemukakan bahwa ada tiga kelompok

teori pemidanaan, yaitu : (1) teori absolut atau teori pembalasan

(retributive/ vergeldings theorie); (2) teori relatif atau tujuan (utilitarian/

doeltheorie); dan (3) teori gabungan (verenigings theorie):

1) Teori Absolut

Menurut teori absolut, pidana dijatuhkan semata-mata karena

seseorang telah melakukan suatu kejahatan atau tindak pidana (quai

peccatum est). Pidana merupakan akibat mutlak yang harus ada

sebagai suatu pembalasan kepada orang yang melakukan kejahatan.

Misalnya, jika ada orang yang melakukan pembunuhan, maka pidana

yang setimpal dengan perbuatannya adalah dengan dijatuhi pidana

mati.

Menurut Johannes Andenaes, tujuan utama (primair) dari

pidana menurut teori absolut adalah:

“untuk memuaskan tuntutan keadilan” (tosatisfy the claims of


justice), sedangkan pengaruh-pengaruhnya adalah sekunder.

Menurut Immanuel Kant (Antonius Sudirman, 2009:108):

10
“Pidana merupakan suatu tuntutan kesusilaan. Kant
memandang pemidanaan sebagai kategorische imperative,
yakni seseorang harus dipidana oleh hakim karena Ia telah
melakukan kejahatan. Jadi pidana bukan sebagai alat untuk
mencapai tujuan tertentu melainkan mencerminkan keadilan
(uitdrukking van do gerechtigheid)”.

2) Teori Relatif

Menurut teori relatif, memidana bukanlah untuk memuaskan

tuntutan absolut dan keadilan. Dengan kata lain pemidanaan bukanlah

sekedar untuk melakukan pembalasan atau pengimbalan kepada

orang yang melakukan kejahatan melainkan mempunyai tujuan-tujuan

tertentu yang bermanfaat. Pembalasan itu sendiri tidak memiliki nilai,

tetapi hanya sekedar sebagai sarana untuk melindungi kepentingan

masyarakat (social defence).

Jadi, dasar pembenaran adanya pidana menurut teori ini adalah

terletak pada tujuannya. Pidana dijatuhkan bukan karena orang

membuat kejahatan (quai peccatum est) melainkan “supaya orang

jangan melakukan kejahatan” (no peccetur). Jadi pidana itu diberikan

untuk mencegah timbulnya kejahatan, sehingga tampak sifat pidana,

yaitu untuk:

a. Menakut-nakuti orang agar orang takut melakukan kejahatan.

Dengan adanya ketentuan pidana dalam Undang-Undang orang

akan merasa takut untuk melakukan kejahatan.

b. Memperbaiki perilaku si terpidana agar tidak mengulangi

kejahatan.Jika ada orang yang tidak takut lagi dengan adanya

sanksi pidana dalam Undang-Undang sehingga melakukan

11
tindak pidana (kejahatan), tetapi yang bersangkutan masih

mungkin untuk diperbaiki lagi perilakunya, maka pidana yang

dijatuhkan padanya harus bersifat mendidik agar tidak

mengulangi tindak pidana.

c. Membinasakan, apabila yang bersangkutan tidak bisa diperbaiki

lagi.Apabila ada tabiat atau perilaku dad pelaku kejahatan tidak

dapat diperbaiki lagi, maka orang seperti ini harus dibinasakan

atau dicabut baru hidupnya melalui penjatuhan pidana mati.

3) Teori Gabungan

Menurut teori gabungan (verenigIngs-theorien), tujuan pidana

dan pembenaran penjatuhan pidana disamping sebagai pembalasan

juga diakui bahwa pidana memiliki kemanfaatan baik terhadap individu

maupun masyarakat. Penulis pertama yang mengajukan teori ini

adalah Peilegrino Rossi (1787-1884). Teorinya disebut sebagai teori

gabungan karena pemidanaan menurut Rossi, yakni selain sebagai

upaya pembalasan juga mempunyai berbagai pengaruh antara lain

perbaikan sesuatu yang rusak dalam masyarakat dan prevensi

generale.

Andi Hamzah (Antonius Sudirman, 2009:110) menegaskan

bahwa secara garis besar teori gabungan dapat dibedakan atas tiga

golongan sebagai berikut:

a. Teori gabungan yang bertitik berat kepada pembalasan.

12
Menurut teori ini bahwa pembalasan tetap ada (atau mutlak),

tetapi diterapkan dengan kepentingan masyarakat.

b. Teori gabungan yang bertitik berat kepada pertahanan tata

tertib masyarakat.

Menurut teori gabungan ini bahwa pidana tidak boleh lebih berat

dari pada yang ditimbulkannya dan kegunaannya juga tidak

boleh lebih berat dan pada yang seharusnya.

c. Teori gabungan yang memandang sama pembalasan dan

pertahanan tata tertib masyarakat.

Selain ketiga teori tersebut diatas ada teori yang lain disebut

teori pembebasan. Teori ini dikembangkan oleh J.E. Sahetapy

(Antonius Sudirman, 2009:111):

“Pemidanaan sebaiknya bertujuan pembebasan.


Pembebasan disini harus dilihat bukan dalam pengertian
fisik, sebab secara fisik yang bersangkutan sama sekali tidak
mengalami perubahan, kecuali ruang geraknya dibatasi
karena Ia berada dalam lembaga pemasyarakatan. Namun,
dalam keterbatasan ruang geraknya, Ia dibebaskan secara
mental dan spiritual. Dengan demikian Ia seolah-olah
mengalami suatu kelahiran kembali secara mental dan
spiritual.

B. Pengertian Tindak Pidana dan Unsur-Unsurnya.

Istilah tindak pidana berasal dan istilah yang dikenal dalam

hukum pidana Belanda yaitu strafbaarfeit. Walaupun istilah ini terdapat

dalam Wetboek van Strafrecht (WvS) atau Kitab Undang-Undang

Hukum Pidana (KUHP) . Tetapi tidak ada penjelasan resmi tentang

13
apa yang dimaksud dengan strafbaarfeit itu. Namun hingga saat ini

belum ada keseragaman pendapat.

Menurut Wirjono Prodjodikoro (1986:55) bahwa:

Tindak pidana atau dalam Bahasa Belanda strafliaatfeit, yang


sebenarnya merupakan istilah resmi dalam Wetboek van Strafrecht
atau Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, yang sekarang berlaku
di Indonesia ada istilah dalam bahasa asing, yaitu delict, yang
berarti suatu perbuatan yang pelakunya dapat dikenakan hukum
pidana dan pelaku ini dapat dikatakan merupakan subjek tindak
pidana.

Pandangan di atas tampak lebih setuju dengan istilah resmi

dalam Wetboek van Strafrecht atau Kitab Undang-Undang Hukum

Pidana, yang sekarang berlaku di Indonesia ada istilah dalam bahasa

asing, yaitu delict yang berarti suatu perbuatan yang pelakunya dapat

dikenakan hukum pidana dan pelaku ini dapat dikatakan merupakan

subjek tindak pidana.

Dari pengertian tersebut dapat disimpulkan unsur-unsur tindak

pidana yaitu:

1. Suatu perbuatan

2. Dikenakan hukuman

3. Pelakunya merupakan subjek tindak pidana.

Pandangan di atas tampak lebih setuju dengan istilah

strafbaarfeit yang diartikan dengan kata peristiwa pidana yang

pembuatnya dapat dijatuhi sanksi pidana. Selain itu, adapula yang

berpendapat bahwa delik sama pengertiannya dengan peristiwa

14
pidana, seperti yang dikemukakan oleh Tresna ( Rusli Effendy,

1986:63), sebagai berikut:

Peristiwa pidana ialah suatu perbuatan atau rangkaian


perbuatan manusia yang bertentangan dengan Undang-
undangan lainnya terhadap perbuatan mana diadakan tindakan
pemidanaan.

Menurut batasan pengertian di atas, delik adalah peristiwa

pidana yang berkaitan dengan rangkaian perbuatan manusia yang

pembuatnya diancam pidana.

Dari pengertian tersebut dapat disimpulkan unsur-unsur tindak

pidana yaitu:

1. Suatu perbuatan

2. Bertentangan dengan Undang-undang

3. Diadakan tindakan pemidanaan

Moeljatno (1985:55) menerjemahkan strafbaarfeit dengan kata

perbuatan pidana dengan alasan sebagai berikut:

Perbuatan pidana adalah perbuatan yang dilarang oleh suatu


aturan hukum, larangan mana yang disertai ancaman (sanksi) yang
berupa pidana tertentu, bagi barang siapa yang melanggar
larangan tersebut. Dapat juga dikatakan bahwa perbuatan pidana
adalah perbuatan yang oleh suatu aturan hukum dilarang dan
diancam pidana, asal saja dalam pada itu diingat larangan
ditujukan kepada perbuatan, sedangkan ancaman pidananya
ditujukan kepada orang yang menimbulkan kejadian.

Dari pengertian tersebut dapat disimpulkan unsur-unsur tindak

pidana yaitu:

1. Perbuatan melawan hukum

2. Merugikan masyarakat

15
3. Dilarang oleh aturan

4. Pelakunya diancam dengan pidana

Simons (A.Z Abidin Farid, 1995:224 ) mengartikan strafbaarfeit

(terjemahan harfiah: peristiwa pidana) adalah perbuatan melawan

hukum yang berkaitan dengan kesalahan (schuld) seseorang yang

mampu bertanggung jawab.

Menurut Van Hamel (A.Z Abidin Farid, 1995:224), pengertian

strafbaarfeit adalah:

Perbuatan manusia yang diuraikan oleh Undang-undang


melawan hukum, strafwaardiq (patut atau bernilai untuk
dipidana), dan dapat dicelah karena kesalahan (en aan schuld
te witjen).

Pengertian strafbaarfeit yang dikemukakan oleh Simons,

tampaknya lebih menekankan pada adanya kesalahan yang meliputi

kesengajaan (dolus), alpa, dan kelalalan (culpa lata), sementara Van

Hamel mengartikan strafbaarfeit jauh lebih luas, selain kesengajaan

kealpaan, dan kelalaian, juga kemampuan bertanggung jawab, bahkan

Van Hamel menilai istilah strafbaarfeit tidak tepat, dan yang lebih tepat

adalah srafiwaardiqfeit.

Dari pengertian tersebut dapat disimpulkan unsur-unsur tindak

pidana yaitu:

1. Perbuatan melawan hukum

2. Bernilai untuk dipidana

3. Dapat dicela karena kesalahan

16
Menurut Jonkers (Bambang Poemomo,1992:91) yang telah

memberikan definisi strafbaarfeit menjadi dua pengertian yaitu:

a. Definisi pendek memberikan pengertian strafbaar felt adalah


kejadian (felt) yang dapat diancam pidana oleh Undang-
undang.
b. Definisi panjang atau lebih mendalam yang memberikan
pengertian strafbaar feit adalah suatu kelakuan yang
melawan hukum berhubung dilakukan dengan sengaja atau
Ialai (culpa) oleh orang yang dapat dipertanggungjawabkan.

Pengertian tersebut dapat disimpulkan unsur-unsur

“strafbaarfeit” atau yang lazim disebut delik seperti:

1. Perbuatan melawan hukum

2. Dengan sengaja

3. Tidak dapat dipertanggungjawabkan

4. Diancam dengan pidana

C. Pengertian Tindak Pidana Penggelapan

Menurut Kamus Hukum, Penggelapan adalah seseorang yang

dengan melawan hukum memiliki barang orang lain yang ada atau

dikuasai olehnya. (J.C.T. Simorangkir: 2009:124)

M.Sudrajat Bassar (1984: 74) memberikan pengertian bahwa

penggelapan adalah digelapkannya suatu barang yang harus ada

dibawah kekuasaan si pelaku, dengan cara lain dari pada dengan

melakukan kejahatan. Jadi barang itu oleh yang punya dipercayakan

kepada si pelaku. Pada pokoknya si pelaku tidak memenuhi

kepercayaan yang dilimpahkan atau dapat dianggap dilimpahkan

kepadanya oleh yang berhak atas suatu barang.

17
Dalam Pasal 372 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)

menegaskan:

Barang siapa dengan sengaja melawan hukum memiliki barang


sesuatu atau seluruhnya atau sebagian adalah kepunyaan
orang lain tetapi yang ada dalam kekuasaannya bukan karena
kejahatan diancam karena penggelapan, dengan pidana paling
lama empat tahun atau pidana denda paling banyak sembilan
ratus rupiah.

Lamintang (Tongat, 2006 : 57) mengemukakan penjelasannya

mengenai tindak pidana penggelapan yaitu:

Tindak pidana sebagaimana tersebut dalam BAB XXIV KUHP


lebih tepat disebut sebagai tindak pidana penyalahgunaan hak”
atau “penyalahgunaan kepercayaan”. Sebab, inti dan tindak
pidana yang diatur dalam BAB XXIV KUHP tersebut adalah
“penyalahgunaan hak” atau “penyalahgunaan kepercayaan”.
Karena dengan penyebutan tersebut maka akan lebih
memudahkan bagi setiap orang untuk mengetahui perbuatan
apa yang sebenarnya dilarang dan diancam pidana dalam
ketentuan tersebut.

Selanjutnya, Tongat (2006:60) menegaskan perihal telaah

pengertian tentang penggelapan ini, bahwa:

Apabila suatu benda berada dalam kekuasaan orang bukan


karena tindak pidana, tetapi karena suatu perbuatan yang sah,
misalnya karena penyimpanan, perjanjian penitipan barang, dan
sebagainya. Kemudian orang yang diberi kepercayaan untuk
menyimpan dan sebagainya itu menguasai barang tersebut
untuk diri sendiri secara melawan hukum, maka orang tersebut
berarti melakukan “penggelapan”.

Kemudian, Adami Chazawi (2006:70) menambahkan penjelasan

mengenai penggelapan berdasarkan Pasal 372 KUHP yang

dikemukakan sebagai berikut:

Perkataan verduistering yang kedalam bahasa Indonesia


diterjemahkan secara harfiah dengan penggelapan itu, bagi
masyarakat Belanda diberikan secara arti luas (figurlijk), bukan

18
diartikan seperti kata yang sebenarnya sebagai membuat
sesuatu menjadi tidak terang atau gelap. Lebih mendekati
pengertian bahwa petindak menyalahgunakan haknya sebagai
yang menguasai suatu benda (memiliki), hak mana tidak boleh
melampaui dari haknya sebagai seorang yang diberi
kepercayaan untuk menguasai benda tersebut bukan karena
kejahatan.

Dan beberapa pengertian dan penjelasan mengenai arti kata

penggelapan dapat kita lihat juga C.S.T. Kansil dan Christine

S.T.Kansil (2000:252) mendefinisikan penggelapan secara lengkap

sebagai berikut:

Penggelapan; barang siapa secara tidak sah memiliki barang


yang seluruhnya atau sebagian adalah milik orang lain dan yang
ada padanya bukan karena kejahatan, Ia pun telah bersalah
melakukan tindak pidana eks. Pasal 372 KUHP yang
dikualifikasikan sebagai “verduistering” atau “penggelapan”.

D. Jenis-jenis tindak Pidana Penggelapan dan Unsur-unsurnya

1. Jenis-jenis Tindak Pidana Penggelapan

Tindak pidana penggelapan dibagi atas beberapa jenis, yaitu:

a. Penggelapan Biasa

Penggelapan biasa atau yang dikenal juga dengan

penggelapan pada pokoknya yaitu, penggelapan yang

ketentuannya diatur dalam Pasal 372 KUHP yang menyebutkan

bahwa:

Barang siapa dengan sengaja melawan hukum memiliki


barang sesuatu atau seluruhnya atau sebagian adalah
kepunyaan orang lain, tetapi yang ada dalam kekuasaannya
bukan karena kejahatan diancam karena penggelapan,
dengan pidana paling lama empat tahun atau pidana denda
paling banyak sembilan ratus rupiah.

19
Berdasarkan rumusan Pasal 372 KUHP tersebut diatas

dapat dilihat bahwa unsur yang ada didalamnya sebagai berikut:

1. Unsur objektif:

a. Perbuatan memiliki;

b. Sebuah benda/ barang;

c. Sebagian atau seluruhnya milik orang lain; dan

d. Benda berada dalam kekuasaannya bukan karena

kejahatan.

2. Unsur subjektif:

a. Kesengajaan; dan

b. Melawan hukum.

Terhadap unsur memiliki yang terkandung dalam

penggelapan biasa, Adami Chazawi (2006:73) menerangkan:

Bahwa perbuatan memiliki itu adalah perbuatan terhadap


suatu benda oleh orang-orang yang seolah-olah pemiliknya,
perbuatan mana bertentangan dengan sifat dan hak yang
ada padanya atas benda tersebut. Perlu diperhatikan bahwa
hal tersebut tidak dapat berlaku umum, dalam beberapa
kasus tertentu mungkin tidak dapat diterapkan, satu dan lain
hal karena alasan-alasan tertentu, misalnya keadilan.

Unsur sesuatu barang menunjukkan bahwa yang menjadi

objek penggelapan haruslah berupa barang yang berwujud benda

dan atau merupakan harta kekayaan bagi korban penggelapan

yang dilakukan oleh pelakunya. Penggelapan biasa yang diatur

menurut ketentuan Pasal 372 KUHP tersebut menunjukkan bahwa

dan penggelapan biasa dapat ditarik suatu pengertian tentang arti

20
harfiah dan pengertian penggelapan secara menyeluruh dengan

menguraikan unsur-unsurnya. Oleh karena itu, penggelapan biasa

juga dianggap sebagai pokok penggolongan kejahatan yang

dilakukan oleh seseorang sebagai tindak pidana penggelapan.

b. Penggelapan Ringan (geepriviligeerde verduistering)

Ketentuan tentang penggelapan ringan ini diatur dalam

Pasal 373 KUHP. Dalam ketentuan pasal tersebut tindak pidana

penggelapan dirumuskan sebagai berikut:

Perbuatan yang dirumuskan dalam Pasal 373, apabila yang


digelapkan bukan ternak dan harganya tidak lebih dan dua
puluh lima rupiah, diancam sebagai penggelapan ringan
dengan pidana penjara paling lama tiga bulan atau pidana
denda paling banyak dua ratus lima puluh rupiah.
Berdasarkan rumusan pasal tersebut, Tongat (2006:63)

menjelaskan mengenai unsur-unsur penggelapan ringan sebagai

berikut:

Bahwa unsur-unsur tindak pidana penggelapan ringan sama


dengan unsur-unsur tindak pidana penggelapan dalam
bentuknya yang pokok, hanya didalam tindak pidana
penggelapan haruslah dipenuhi unsur, bahwa yang
digelapkan itu bukanlah ternak dan harga dari barang yang
digelapkan tidak lebih dari dua ratus lima puluh rupiah.

Bahwa pertimbangan dijadikannya unsur “ternak” sebagai

unsur yang memberatkan dalam tindak pidana penggelapan ini

adalah sama dengan dalam tindak pidana pencurian, dimana

ternak dianggap sebagai harta kekayaan yang sangat berharga

bagi masyarakat Indonesia.

21
Kemudian Adami Chazawi (2006:94) menerangkan bahwa

penggelapan yang dimaksud pada Pasal 373 KUHP menjadi

ringan, terletak dad objeknya bukan ternak dan nilainya tidak lebih

dari Rp. 250,00. Dengan demikian, maka terhadap ternak tidak

mungkin terjadi penggelapan ringan. Mengenal nilai yang tidak

lebih dari Rp. 250,00 tersebut, adalah nilai menurut umumnya,

bukan menurut korban atau petindak orang tertentu.

c. Penggelapan Dengan Pemberatan (geequalificeerde

verduistering)

Penggelapan dengan pemberatan diatur didalam Pasal 374

dan Pasal 375 KUHP sebagaimana dengan tindak pidana yang

lain, tindak pidana penggelapan dengan pemberatan ini adalah

tindak pidana penggelapan dengan bentuknya yang pokok oleh

karena ada unsur-unsur lain yang memberatkan ancaman

pidananya menjadi diperberat. Istilah yang dipakai dalam bahasa

hukum adalah penggelapan yang di kualifikasi. Untuk lebih

jelasnya, berikut adalah penjabaran Pasal 374 dan Pasal 375

KUHP, yaitu:

1. Penggelapan dengan pemberatan dalam Pasal 374 KUHP

sebagai berikut:

Penggelapan yang dilakukan oleh orang yang


penguasaannya terhadap barang disebabkan karena ada
hubungan kerja atau karena pencarian atau karena
mendapat upah untuk itu, diancam dengan pidana penjara
paling lama lima tahun.

22
Bahwa unsur yang memberatkan dalam pasal ini adalah

unsur “hubungan kerja” dimana hubungan kerja disini adalah

hubungan yang terjadi karena adanya perjanjian kerja baik secara

lisan maupun secara tertulis. Dengan hubungan kerja tidak

dimaksudkan hanya hubungan kerja yang terjadi di Institusi

Pemerintahan atau perusahaan-perusahaan swasta, tetapi juga

yang terjadi secara perorangan. Oleh karena itu, kepadanya dapat

dilakukan pemberatan pidana sesuai dengan Pasal 52 KUHP yang

rumusan lengkapnya adalah:

Bilamana seorang pejabat karena melakukan tindak pidana


melanggar suatu kewajiban khusus dan jabatannya, atau
pada waktu melakukan tindak pidana memakai kekuasaan,
kesempatan, atau sarana yang diberikan kepadanya karena
jabatannya, pidananya dapat ditambah sepertiga.

Selanjutnya, Adami Chazawi (2006:74) menegaskan

mengenai pemberatan pidana ini, yaitu:

Perbuatan ini juga termasuk melakukan tindak pidana


dengan menggunakan jabatan sebagai alatnya karena
kadangkala memiliki suatu waktu yang tepat untuk
melakukan perbuatan yang melanggar undang-undang,
apabila kesempatan ini disalahgunakan untuk melakukan
tindak pidana itu maka dia dipidana dengan dapat diperberat
sepertiganya dari ancaman pidana maksimum yang
ditentukan dalam tindak pidana yang dilakukannya tadi.

Perlu diperhatikan bahwa penggelapan dengan pemberatan

melalui Pasal 52 KUHP hanya dapat dilakukan oleh subjek hukum

yang berkualitas sebagai pegawai negeri saja.

2. Penggelapan dengan pemberatan dalam Pasal 375 KUHP yang

menyatakan:

23
Penggelapan yang dilakukan oleh orang yang karena
terpaksa diberi barang untuk disimpan, atau yang dilakukan
oleh wali pengampu, pengurus atau pelaksana surat wasiat,
pengurus lembaga sosial atau yayasan, terhadap barang
sesuatu yang dikuasainya selaku demikian, diancam dengan
pidana penjara paling lama enam tahun.

Penggelapan yang diatur dalam ketentuan Pasal 375 KUHP

ini adalah penggelapan yang dilakukan oleh orang-orang tertentu

yang karena kewajibannya sebagai akibat dari hubungan orang itu

dengan barang-barang yang harus diurusnya.

Sebagaimana dalam tindak pidana penggelapan

sebelumnya, sebahagian dari unsur-unsur Pasal 375 KUHP telah

dibahas. Maka, Tongat (2006:66) memberikan penjelasannya

mengenal sebagian dan unsur-unsur pasal tersebut, sebagai

berikut:

a. Unsur “seorang kepada siapa benda tersebut terpaksa


telah dititipkan”. Unsur ini mempersyaratkan, bahwa
barang yang dititipkan tersebut haruslah karena berbagai
musabab termasuk bencana.
b. Unsur “wali”.
Dalam hal ini adalah wali dari seorang anak-anak yang
belum dewasa. Apabila seseorang dengan keputusan
hakim menjadi wali dari seorang anak, dan atas
kedudukannya sebagai wali tersebut ia diserahi berbagai
harta milik anak tetapi kemudian ia menggelapkan
barang tersebut maka wali tersebut telah melakukan
penggelapan sebagaimana diatur dalam Pasal 375
KUHP.
c. Unsur “seorang kurator atau pengampu”.
Kurator adalah orang yang oleh karena keputusan hakim
ditetapkan menjadi wali bagi orang yang dewasa tetapi
tidak cakap dalam lalu lintas hukum, misalnya karena
penyakit jiwa. Apabila seorang kurator atau pengampu
melakukan kejahatan penggelapan atas harta
karandusnya, maka dalam hal ini pengampu tersebut
dapat dikenakan ketentuan Pasal 375 KUHP.

24
d. Unsur “pelaksana dari surat wasiat.
Dalam hal ini yang dimaksud dengan “pelaksana dan
surat wasiat” adalah orang yang ditunjuk dalam surat
wasiat untuk melaksanakan apa yang dikehendaki dan
pewaris dengan segala harta kekayaannya yang
diwariskan. Apabila penerima wasiat ini melakukan
penggelapan terhadap barang atau harta yang
semestinya harus diperlakukan sesuai dengan kehendak
si pewaris, maka terhadap orang tersebut dapat
dikenakan ketentuan Pasal 375 KUHP.
e. Unsur “pengurus dari badan sosial atau yayasan”.
Apabila para pengurus dari badan sosial atau yayasan
melakukan tindak pidana terhadap harta benda milik
badan sosial atau yayasan itu, maka terhadap pengurus
badan sosial itu dapat dikenakan ketentuan Pasal 375
KUHP.

Beradanya barang ditangan seseorang disebabkan oleh hal-

hal yang berada diatas, adalah hubungan yang sedemikian rupa

antara orang yang menguasai dengan benda, menunjukkan

kepercayaan yang lebih besar kepada orang itu. Seharusnya,

dengan kepercayaan yang lebih besar, ia lebih memperhatikan

keselamatan dan pengurusannya bukan menyalahgunakan

kepercayaan yang lebih besar itu.

d. Penggelapan Dalam Keluarga

Jenis tindak pidana penggelapan ini diatur dalam ketentuan

Pasal 376 KUHP, yang secara tegas dinyatakan : “Ketentuan dalam

Pasal 367 berlaku juga bagi kejahatan-kejahatan yang dirumuskan

dalam bab ini”. Pada intinya adalah memberlakukan ketentuan

Pasal 367 KUHP (tentang pencurian dalam keluarga) ke dalam

tindak pidana penggelapan, yaitu tindak pidana penggelapan yang

25
pelakunya atau pembantu tindak pidana tersebut masih dalam

lingkungan keluarga.

Berdasarkan ketentuan Pasal 376 KUHP, Tongat (2006 :68)

mengemukakan berbagai jenis tindak pidana penggelapan dalam

keluarga sebagai berikut:

1. Apabila seorang suami melakukan sendiri atau


membantu orang lain melakukan penggelapan terhadap
harta benda istri atau sebaliknya, sedang antara suami-
istri tidak terjadi pemisahan harta kekayaan dan juga
tidak terpisah meja dan ranjang, maka terhadap
pelakunya mutlak tidak dapat dilakukan penuntutan.
2. Apabila seorang suami melakukan sendiri atau
membantu orang lain melakukan penggelapan terhadap
harta benda istri atau sebaliknya, sedang diantara
mereka sudah terpisah harta kekayaan atau tidak
terpisah meja dan ranjang, dan juga apabila yang
melakukan penggelapan itu adalah keluarga sedarah
atau semenda baik dalam garis lurus atau menyamping
sampai derajat kedua, maka terhadap mereka hanya
dapat dilakukan penuntutan apabila ada pengaduan dan
yang dirugikan.

Dengan penjelasan diatas, tentang ketentuan Pasal 376

KUHP, maka penggelapan dalam keluarga merupakan delik aduan

atau hanya dapat dilakukan penuntutan apabila yang menjadi

korban penggelapan mengajukan laporannya kepada pihak yang

berwenang.

2. Unsur-unsur Tindak Pidana Penggelapan

Berdasarkan rumusan Pasal 372 KUHP, maka unsur-unsur

tindak pidana penggelapan adalah sebagai berikut:

a. Unsur-unsur objektif yang meliputi:

1. Unsur mengakui sebagai milik sendiri (menguasai)

26
Adami Chazawi (2006:72) menerangkan bahwa perbuatan

memiliki adalah berupa perbuatan menguasai suatu benda seolah-olah

ia pemilik benda itu. Dengan pengertian ini dapat diterangkan

demikian, bahwa pelaku dengan melakukan perbuatan memiliki atas

suatu benda yang berada dalam kekuasaannya, adalah Ia melakukan

suatu perbuatan sebagaimana pemilik melakukan perbuatan terhadap

benda itu. Oleh karena sebagai unsur tindak pidana “penggelapan”

unsur ini mempunyai kedudukan yang berbeda dengan unsur yang

sama dalam tindak pidana “pencurian” sekalipun dengan pengertian

yang sama.

Pada penjelasannya mengenai unsur “mengakui sebagai milik

sendiri (menguasai)”, Tongat (2006:59) menyebutkan:

Dalam tindak pidana “pencurian” unsur menguasai” ini merupakan


unsur subjektif tetapi dalam tindak pidana “penggelapan” unsur
tersebut merupakan unsur “objektif. Dalam hal tindak pidana
pencurian, “menguasai” merupakan tujuan dari tindak pidana
pencurian. Dalam hal ini unsur tersebut tidak perlu terlaksana pada
saat perbuatan yang dilarang (yaitu mengambil barang itu) selesai.
Dalam hal itu hanya harus dibuktikan, bahwa pelaku mempunyai
maksud untuk menguasai barang itu untuk dirinya sendiri, tanpa
perlu terbukti barang itu benar-benar jadi miliknya. Sementara
dalam tindak pidana penggelapan, perbuatan “menguasai” tersebut
merupakan perbuatan yang dilarang. Karena perbuatan tersebut
merupakan perbuatan yang dilarang, maka tidak ada penggelapan
apabila perbuatan “menguasai” tersebut belum selesai.

Dengan demikian dapat disimpulkan, bahwa dalam tindak

pidana penggelapan dipersyaratkan, bahwa perbuatan “menguasai” itu

harus sudah terlaksana atau selesai. Misalnya, barang tersebut telah

dijual, dipakai sendiri, ditukar, dan sebagainya.

27
2. Unsur sesuatu barang,

Perbuatan menguasai suatu barang yang berada dalam

kekuasaannya sebagaimana yang telah diterangkan diatas, tidak

mungkin dapat dilakukan pada barang-barang yang sifat

kebendaannya tidak berwujud. Karena objek penggelapan hanya dapat

ditafsirkan sebagai barang yang sifat kebendaannya berwujud, dan

atau bergerak.

Menurut Adami Chazawi (2006:77), dalam penjelasannya

mengenal unsur ini, menerangkan bahwa:

Pengertian barang yang berada dalam kekuasaannya sebagai


adanya suatu hubungan langsung dan sangat erat dengan barang
itu, yang menjadi indikatornya ialah, apabila ia hendak melakukan
perbuatan terhadap benda itu, dia dapat melakukannya secara
langsung tanpa harus melakukan perbuatan lain terlebih dahulu,
adalah hanya terhadap benda-benda yang berwujud dan bergerak
saja, dan tidak mungkin terjadi terhadap benda-benda tidak
berwujud dan tetap.

3. Unsur yang seluruh atau sebagian milik orang lain,

Unsur ini memberikan kita pemahaman bahwa barang yang

dikuasai oleh pelaku penggelapan bukanlah miliknya sendiri melainkan

milik orang lain atau badan hukum. Lebih lanjut Adami Chazawi

(2006:78) memberikan penegasannya bahwa:

Benda yang tidak ada pemiliknya, baik sejak semula maupun


tidak dilepaskan hak miliknya tidak dapat menjadi objek
penggelapan. Benda milik suatu badan hukum, seperti milik
negara adalah berupa benda yang tidak/bukan dimiliki oleh
orang, adalah ditafsirkan sebagai milik orang lain, dalam arti
bukan milik petindak, dan oleh karena itu dapat menjadi objek
penggelapan atau pencurian.

28
Orang lain yang dimaksud sebagai pemilik benda yang menjadi

objek penggelapan, tidak menjadi syarat sebagai orang itu adalah

korban, atau orang tertentu, melainkan siapa saja asalkan bukan

petindak sendiri.

4. Unsur barang itu harus sudah ada dalam kekuasaannya bukan

karena kejahatan,

Selanjutnya unsur “barang itu harus sudah ada dalam

kekuasaannya bukan karena kejahatan” merupakan unsur pokok

didalam tindak pidana penggelapan. Apabila suatu barang berada

dalam kekuasaan orang bukan karena kejahatan, tetapi karena

sesuatu perbuatan yang sah misalnya karena penyimpanan, perjanjian

penitipan barang, dan sebagainya. Adami Chazawi (2006:80)

menegaskan:

Ciri khusus dalam kejahatan penggelapan ini jika dibandingkan


dengan pencurian adalah terletak pada unsur beradanya benda
dalam kekuasaan petindak. Adalah tidak wajar seseorang untuk
disebut sebagai mencuri atas benda milik orang lain yang telah
berada dalam kekuasaannya sendiri.

5. Unsur secara melawan hukum.

Suatu benda milik orang lain berada dalam kekuasaan

seseorang dapat oleh sebab perbuatan melawan hukum (suatu

kejahatan) maupun oleh sebab perbuatan yang sesuai dengan hukum.

Adami Chazawi (2006:80) menjelaskan bahwa:

Sebagai syarat dan penggelapan ini adalah barang yang berada


dalam kekuasaan petindak haruslah oleh sebab perbuatan yang
sesuai dengan hukum seperti karena penitipan, pinjaman,
perjanjian sewa, penggadaian, dan sebagainya.

29
Kemudian orang yang diberi kepercayaan untuk menyimpan

dan sebagainya itu menguasai barang tersebut untuk din sendiri

secara melawan hukum,’ maka orang tersebut berarti melakukan

“penggelapan”.

b. Unsur subjektif yaitu, Dengan Sengaja.

Unsur ini merupakan unsur kesalahan dalam tindak pidana

penggelapan. Adami Chazawi (2006:83) mengklasifikasikan

kesengajaan pelaku dalam penggelapan berarti:

1. Petindak mengetahui, sadar bahwa perbuatan memiliki benda


milik orang lain yang berada dalam kekuasaannya itu sebagai
perbuatan yang melawan hukum, suatu perbuatan yang
bertentangan dengan kewajiban hukumnya atau bertentangan
dengan hak orang lain;
2. Petindak dengan kesadaran yang sedemikian itu menghendaki
untuk melakukan perbuatan memiliki;
3. Petindak mengetahui, menyadari bahwa ia melakukan
perbuatan memiliki itu adalah terhadap suatu benda, yang
disadarinya bahwa benda itu milik orang lain sebagian atau
seluruhnya.
4. Petindak mengetahui, menyadari bahwa benda milik orang lain
berada dalam kekuasaannya bukan karena kejahatan.

Kesengajaan yang harus ditujukan pada semua unsur yang ada

dibelakangnya itu harus dibuktikan dalam persidangan. Oleh

karenanya hubungan antara orang yang menguasai dengan barang

yang dikuasai harus sedemikian langsungnya, sehingga untuk

melakukan sesuatu terhadap barang tersebut orang tidak memerlukan

tindakan lain.

30
E. Tugas dan Wewenang Anggota Polri

Pengertian Anggota Polisi Negara Republik Indonesia diatur

dalam Bab I ketentuan umum Pasal 1 Nomor 2 Tahun 2002, yaitu

pegawai negeri pada Kepolisian Negara Republik Indonesia. Pasal 20

ayat (1) Undang-Undang nomor 2 Tahun 2002 menyebutkan bahwa

pegawai negeri pada Kepolisian Negara Republik Indonesia adalah:

a. Anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia, dan

b. Pegawai Negeri sipil

Terhadap pegawai negeri sipil sebagaimana dimaksud dalam

Pasal 20 ayat 1 huruf b, berlaku ketentuan perundang-undangan

dibidang kepegawaian, akan tetapi yang menjadi subjek dalam

penulisan skripsi ini adalah Anggota Kepolisian Negara Indonesia

yang bertugas sebagai aparat penegak hukum dan diberi wewenang

sebagai pengayom masyarakat

Menurut J.Bool (Momo Kelana: 1994:30) menyatakan bahwa :

“Tugas polisi meliputi seluruh usaha Negara dan merupakan


bagian penolakan dan perlindungannya”

Menurut Undang-undang Nomor 2 Tahun 2002 Pasal 12, tugas

pokok Polri adalah sebagai berikut :

1. Memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat;

2. Menegakkan hukum;

3. Memberikan perlindungan, pengayoman dan pelayanan

kepada masyarakat.

31
Dalam rangka menyelenggarakan tugas dibidang proses

pidana. Polri berwenang sebagai berikut: (Ricky Francois Wakanno

Ginting, Endang Kesuma Astuty, dan Markus Gunawan,2009:28-29)

a. Melakukan penangkapan, penahanan, penggeledahan,

dana penyitaan;

b. Melarang setiap orang meninggalkan atau memasuki tempat

kejadian perkara atau kepentingan penyidikan;

c. Membawa dan menghadapkan orang kepada penyidik

dalam rangka penyidikan;

d. Menyuruh berhenti orang yang dicurigai dan

menanyakanserta memeriksa tanda pengenal diri;

e. Melakukan pemeriksaan dan penyitaan surat;

f. Memanggil orang untuk didengar dan diperiksa sebagai

tersangka atau saksi;

g. Mendatangkan ahli yang diperlukan dalam hubungannya

dengan pemeriksaan perkara;

h. Mengadakan penghentian penyidikan;

i. Menyerahkan berkas perkara pada penuntut umum;

j. Mengajukan permintaan secara langsung kepada pejabat

imigrasi yang berwenang di tempat pemeriksaan dalam

keadaan mendesak atau mendadak untuk mencegah atau

menangkal orang yang disangka melakukan tindak pidana;

32
k. Memberikan petunjuk dan bantuan penyidikan kepada

penyidik pegawai negeri sipil serta menerima hasil penyidik

pegawai negeri sipil untuk diserahkan kepada penuntut

umum.

F. Pertimbangan Hakim dalam menjatuhkan pidana.

Pengertian atau definisi tentang pertimbangan hakim tidak

dijelaskan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana maupun pada

literatur lainnya. Jadi penulis menyimpulkan, pertimbangan hakim

merupakan dasar putusan hakim, dimana hal ini harus sesuai dengan

fakta-fakta yang terdapat dimuka persidangan demi keadilan

berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Seperti yang dimuat dalam

bagian pertimbangan dan putusan tidak lain adalah alasan-alasan

hakim sebagai pertanggungjawaban kepada masyarakat mengapa Ia

sampai mengambil putusan demikian sehingga oleh karena

mempunyai nilai objektif.

Konsekuensi dengan adanya hukum adalah putusan hakim

harus mencerminkan keadilan, akan tetapi persoalan keadilan tidak

akan berhenti dengan pertimbangan hukum semata-mata, melainkan

persoalan keahlian biasanya selalu dihubungkan dengan kepentingan

individu para pencari keadilan, dan mi berarti keadilan menurut hukum

sering diartikan dengan sebuah kemenangan dan kekalahan oleh

pencari keadilan. Penting kiranya untuk memberikan pemahaman

bahwa sebuah keadilan itu bersifat abstrak, tergantung dan sisi mata

33
kita memandangnya. Oleh karena itu dalam rangka memaksimalkan

tujuan hukum maka kita tidak hanya memenuhi rasa kepastian hukum

tetapi juga memenuhi rasa keadilan.

Pertimbangan hukum hakim dalam menjatuhkan putusan harus

mencerminkan rasa keadilan masyarakat, yakni tidak hanya

berdasarkan pertimbangan yuridisnya tetapi terdapat juga

pertimbangan sosiologisnya, yang mengarah pada latar belakang

terjadinya kejahatan atau yang lebih urgen lagi adalah pertimbangan

nasib korban kejahatan sebagai subjek hukum yang terkena dampak

langsung akibat kejahatan yang dilakukan sebagai seseorang

sehingga, hakim dituntut untuk mempunyai keyakinan dengan

mengaitkan keyakinan itu dengan cara dan alat-alat bukti yang sah,

serta menciptakan hukum sendiri yang bersendikan keadilan yang

tentunya tidak bertentangan dengan pancasila sebagai sumber dari

segala hukum.

34
BAB III

METODE PENELITIAN

A. Lokasi Penelitian

Lokasi penelitian yang dimaksud adalah suatu tempat atau

wilayah dimana penelitian tersebut akan dilaksanakan. Berdasarkan

judul “Penggelapan Yang Dilakukan Oleh Oknum Polisi (Studi Kasus

Pengadilan Negeri Makassar)”, maka penulis menetapkan lokasi

penelitian di Kota Makassar, tepatnya di Pengadilan Negeri Makassar,

sebagai instansi yang berwenang penuh dalam penanggulangan

masalah yang diteliti oleh penulis.

B. Jenis dan Sumber Data

Adapun jenis dan sumber data yang digunakan dalam penelitian

ini antara lain berupa:

1. Data primer, yakni data yang dikumpulkan langsung oleh peneliti

yang diperoleh di lapangan melalui wawancara dengan pihak-pihak

terkait.

2. Data sekunder, yakni data yang diperoleh dari data yang ada,

bukan hanya karena dikumpulkan oleh pihak lain. Data ini berasal

dari perundang-undangan, tulisan atau makalah-makalah, buku-

buku dan dokumen atau arsip serta bahan lain yang berhubungan

dan menunjang dalam penulisan ini.

35
C. Teknik Pengumpulan Data

Adapun yang penulis lakukan untuk memperoleh dan

mengumpulkan data adalah sebagai berikut:

1. Teknik penelitian kepustakaan yaitu : Teknik pengumpulan data

dengan cara mempelajari berbagai literatur, baik buku artikel,

maupun materi kuliah yang diperoleh.

2. Teknik interview yaitu : Teknik pengumpulan data dengan cara

melakukan wawancara dengan pihak-pihak yang berkompeten dan

obyek penelitian, serta meminta data-data kepada pihak yang

terkait dengan penelitian ini, seperti hakim

D. Teknik Analisis Data

Setelah semua data terkumpul, dalam penulisan data yang

diperoleh baik data primer maupun data sekunder maka data tersebut

diolah dan dianalisis secara deskriptif kualitatif dengan menggunakan

pendekatan undang-undang dan pendekatan kasus serta menafsirkan

data berdasarkan teori sekaligus menjawab permasalahan dalam

penulisan atau penelitian ini.

36
BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Penerapan Hukum Pidana Materil Terhadap Tindak Pidana

Penggelapan yang Dilakukan Oleh Oknum Polisi Pada Perkara No.

80/Pid.B/2010/PN.Mks.

Tindak pidana penggelapan merupakan tindak pidana yang

memberikan kerugian bagi korbannya, dimana hal ini terjadi karena

adanya sebab yang dapat menimbulkan akibat. Bagi pelaku tindak pidana

penggelapan, penyebab dari adanya suatu tindak pidana penggelapan

lebih kepada kesalahan penyalahgunaan kepercayaan sebagaimana telah

diatur dalam pasal 372 KUHP. Adapun isi dari Pasal 372 KUHP adalah

sebagai berikut ;

Barang siapa dengan sengaja memiliki dengan melawan hak suatu


barang yang sama sekali atau sebagiannya termasuk kepunyaan
orang lain dan barang tiu ada dalam tangannya bukan karena
kejahatan, dihukum karena penggelapn, dengan hukuman penjara
selama-lamanya empat tahun atau denda sebanyak-banyaknya
Rp.900,-

Berikut penulis akan menguraikan ringkasan dari posisi kasus dalam

putusan Pengadilan Negeri Makassar Nomor : 80/Pid.B/2010/PN.Mks

yaitu sebagai berikut :

1. Posisi Kasus

 Berawal pada saat korban (Drs. Suparmin Ali) dan saksi korban

(Sultan, S.H) datang bertamu ke rumah terdakwa Asyari (anggota

POLRI) untuk meminta tolong agar mengurus anaknya (Muh Iqbal)

37
yang sementara mengikuti seleksi penerimaan Casis Seba Polri

Tahun 2007/2008

 Antara terdakwa Asyari dengan korban (Drs. Suparmin Ali) bersepakat

untuk mengurus anaknya, dengan perjanjian akan membayar uang

sejumlah Rp.70.000.000,- (tujuh puluh juta rupiah) dengan rincian

sebagai berikut:

 Rp.10.000.000,- (sepuluh juta rupiah) sebagai uang mati

 Rp.60.000.000,- (enam puluh juta rupah) akan diserahkan

setelah anaknya masuk pendidikan di Batua.

 Korban yang setuju atas perjanjian tersebut menyerahkan uang

sejumlah Rp 10.000.000,- (sepuluh juta rupiah) sebagai uang mati.

 Kemudian terdakwa Asyari datang kerumah korban untuk meminta

uang kepada korban sejumlah Rp.8.000.000,- (delapan juta rupiah)

untuk biaya pengurusan tes anak korban (Iqbal).

 Terdakwa Asyari menyarankan sisa pembayaran sebanyak

Rp.52.000.000,- (lima puluh dua juta rupiah) diberikan kepadanya.

sehingga saksi korban Hj. Meutia Setiawati (keluarga korban)

memberikan uang tersebut.

 Satu hari sebelum pengumuman, terdakwa Asyari kembali

mendatangi rumah korban meminta agar menambah uang sebesar

Rp.30.000.000,- (tiga puluh juta rupiah) agar anaknya lulus, namun

korban hanya sanggup sebesar Rp.10.000.000,- (sepuluh juta rupiah)

38
dan sisanya Rp.20.000.000,- (dua puluh juta rupiah) dibayar setelah

anak korban lulus menjadi anggota Kepolisian.

 Pada saat pengumuman ternyata anak korban tidak lulus. sehingga

sesuai perjanjian, korban menagih uang pengembalian, namun

terdakwa hanya berjanji akan mengembalikan uang.

 Sampai korban melaporkan terdakwa Asyari ke Polda Sul Sel uang

korban belum dikembalikan oleh terdakwa Asyari.

 Akibat perbuatan terdakwa Asyari menyebabkan korban (Drs

Suparmin Ali) mengalami kerugian yang ditaksir kurang lebih

Rp.80.000.000,- (delapan puluh juta).

2. Dakwaan Penuntut Umum

Adapun isi dakwaan penuntut umum terhadap tindak pidana

penggelapan atau tindak pidana penipuan yang dilakukan oleh terdakwa

Asyari yang dibacakan pada persidangan dihadapan Majelis Hakim

Pengadilan Negeri Makassar yang pokonnya mengatakan sebagai berikut:

PERTAMA

Bahwa terdakwa Asyari pada bulan Februari Tahun 2008 sekitar jam
17.00 wita atau pada waktu lain pada Tahun 2008, bertempat di BTP
Tamalanrea Selatan Blok M No. 261 Makassar atau setidak-tidaknya
pada suatu tempat lain dalam daerah hukum Pengadilan Negeri
Makassar, dengan sengaja memiliki dengan melawan hak sesuatu
barang yang sama sekali atau sebagiannya termasuk kepunyaan
orang lain dan barang itu ada dalam tangannya bukan karena
kejahatan, yang dilakukan oleh dengan cara-cara sebagai berikut :
- Bahwa ketika saksi Drs. Suparmin Ali dan saksi Sultan S.H datang
bertamu di rumah terdakwa Asyari untuk mengurus saksi Iqbal yang
sementara mengikuti seleksi penerimaan Casis Seba Polri Tahun
2007/2008

39
- Bahwa antara terdakwa dengan saksi Suparmin Ali bersepakat
untuk mengurus saksi Iqbal untuk mengurus Casis Seba Polri
dengan perjanjian akan membayar uang sejumlah Rp.70.000.000,-
(tujuh puluh juta rupiah) dengan rincian uang mati sejumlah
Rp.10.000.000,- (sepuluh juta rupiah) sedangkan sisanya sejumlah
Rp.60.000.000,- (enam puluh juta rupiah) akan diserahkan setelah
saksi Iqbal masuk pendidikan di Batua. Lalu pada saat itu saksi Drs.
Suparmin Ali yang setuju atas perjanjian tersebut menyerahkan
uang sejumlah Rp.10.000.000,- (sepuluh juta rupiah) kepada
terdakwa melalui saksi Sultan, S.H.
- Bahwa kemudian pada bulan Februari 2008, terdakwa mendatangi
saksi Suparmin Ali mengatakan “Saya tidak punya dana, kalau anak
Bapak mau lulus sebaiknya Bapak yang mendanai”. Lalu saksi Drs.
Suparmin Ali menjawab “Bagaimana pembicaraan awal Pak,
kesepakatan kita yang Rp. 60.000.000,- (enam puluh juta rupiah)
diserahkan setelah lulus. Lalu terdakwa menjawab “Kalai begitu
Pak, anak bapak bisa gugur”. Lalu saksi Drs. Suparmin Ali
mengatakan “Bagaimana jalan keluarnya pak?” lalu terdakwa
menjawab “Sebaiknya uang yang Rp.60.000.000,- (enam puluh juta
rupiah) itu serahkan kepada saya”. Lalu saksi Drs. Suparmin Ali
menyetujui permantaan terdakwa dan langsung menyerahkan uang
Rp.3.000.000,- (tiga juta rupiah).
- Bahwa pada tanggal 12 Februari 2008 terdakwa datang lagi ke
rumah saksi Drs. Suparmin Ali dan meminta uang sejumlah Rp.
5.000.000,- (lima juta rupiah) sehingga saksi Hj. Fatmawati
menyerahkan uang kepada terdakwa sejumlah Rp. 5.000.000,- (lima
juta rupiah).
- Bahwa tiga hari kemudian terdakwa datang lagi ke rumah saksi Drs.
Suparmin Ali dan meminta sisa pembayaran sebanyak Rp.
52.000.000,- (lima puluh dua juta rupiah) sambil menyerahkan
Nomor Rekening Tabungan atas nama istrinya yang bernama
Hasriwati sehingga pada tanggal 12 Februari 2008 saksi Hj. Meutia
Setiawati mentransferkan uang ke rekening Hasriawati sejumlah Rp.
52.000.000,- (lima puluh dua juta rupiah) melaluinBank Mandiri.
- Bahwa setelah uang tersebut ditransfer, terdakwa kembali
mendatangi rumah saksi Drs. Suparmin Ali dan mengatakan
“Bapak bilang, Aji harus menambah uang menjadi Rp.
100.000.000,- (seratus juta rupiah).
- Bahwa setelah saksi Drs. Suparmin Ali mendatangi SPN Batua
untuk melihat pengumuman, ternyata anak saksi Drs Suparmin Ali
yakni saksi Iqbal tidak lulus sehingga saksi Drs. Suparmi Ali
mendatangi terdakwa dirumahnya untuk menagih pengembalian
uang yang telah diserahkan kepada terdakwa, namun terdakwa
hanya menjawab “Aji tidak perlu ragu, uangnya akan saya
kembalikan, nanti saya minta pada bapak”. Namun, sampai saksi
Drs. Suparmin Ali melaporkan terdakwa di Polda Sul Sel uang

40
tersebut belum dikembalikan oleh terdakwa. Akibat perbuatan
terdakwa menyebabkan saksi Drs. Suparmin Ali mengalami
kerugian yang ditaksir kurang lebih Rp. 80.000.000(delapan puluh
juta rupiah).

Perbuatan terdakwa sebagaimana diatur dan diancam pidana

Pasal 372 KUHP tentang Penggelapan.

KEDUA

Bahwa terdakwa Asyari pada bulan Februari tahun 2008 sekitar jam
17.00 wita atau pada tempat lain pada tahun 2008, bertempat di BTP
Tamalanrea Selatan Blok M No. 261 Makassar atau setidak-tidaknya
pada suatu tempat lain dalam daerah hukum Pengadilan Negeri
Makassar, dengan maksud hendak menguntungkan diri sendiri
atau orang lain dengan melawan hak, baik dengan akal tipu
muslihat maupun dengan karangan perkataan-perkataan bohong,
membujuk orang untuk memberikan sesuatu barang, membuat
utang atau menghapuskan piutang, yang dilakukan oleh terdakwa
dengan cara-cara sebagai berikut :
- Bahwa ketika saksi Drs. Suparmin Ali dan saksi Sultan, S.H datang
bertamu di rumah terdakwa Asyari untuk mengurus saksi Iqbal yang
sementara mengikuti seleksi penerimaan Casis Seba Polri Tahun
2007/2008.
- Bahwa antara terdakwa dengan Saksi Drs. Suparmin Ali bersepakat
untuk mengurus saksi Iqbal untuk mengurus Casis Seba Polri
dengan perjanjian akan membayar uang sejumlah Rp. 70.000.000,-
(tujuh puluh juta rupiah) dengan rincian uang mati sejumlah Rp.
10.000.000,- (sepuluh juta rupiah) sedangkan sisanya sejumlah Rp.
60.000.000,- (enam puluh juta rupiah) akan diserahkan setelah
saksi Iqbal masuk pendidikan di Batua. Lalu pada saat itu saksi Drs.
Suparmin Ali yang setuju ats perjanjian tersebut menyerahkan uang
sejumlah Rp. 10.000.000,- (sepuluh juta rupiah) kepada terdakwa
melalui saksi Sultan S.H.
- Bahwa kemudian pada bulan Februari 2008, terdakwa mendatangi
saksi Suparmin Ali mengatakan “Saya tidak punya dana, kalau anak
Bapak mau lulus sebaiknya Bapak yang mendanai”. Lalu saksi Drs.
Suparmin Ali menjawab “Bagaimana pembicaraan awal Pak,
kesepakatan kita yang Rp. 60.000.000,- (enam puluh juta rupiah)
diserahkan setelah lulus. Lalu terdakwa menjawab “Kalai begitu
Pak, anak bapak bisa gugur”. Lalu saksi Drs. Suparmin Ali
mengatakan “Bagaimana jalan keluarnya pak?” lalu terdakwa
menjawab “Sebaiknya uang yang Rp.60.000.000,- (enam puluh juta
rupiah) itu serahkan kepada saya”. Lalu saksi Drs. Suparmin Ali

41
menyetujui permantaan terdakwa dan langsung menyerahkan uang
Rp.3.000.000,- (tiga juta rupiah).
- Bahwa pada tanggal 12 Februari 2008 terdakwa datang lagi ke
rumah saksi Drs. Suparmin Ali dan meminta uang sejumlah Rp.
5.000.000,- (lima juta rupiah) sehingga saksi Hj. Fatmawati
menyerahkan uang kepada terdakwa sejumlah Rp. 5.000.000,- (lima
juta rupiah).
- Bahwa tiga hari kemudian terdakwa datang lagi ke rumah saksi Drs.
Suparmin Ali dan meminta sisa pembayaran sebanyak Rp.
52.000.000,- (lima puluh dua juta rupiah) sambil menyerahkan
Nomor Rekening Tabungan atas nama istrinya yang bernama
Hasriwati sehingga pada tanggal 12 Februari 2008 saksi Hj. Meutia
Setiawati mentransferkan uang ke rekening Hasriawati sejumlah Rp.
52.000.000,- (lima puluh dua juta rupiah) melaluinBank Mandiri.
- Bahwa setelah uang tersebut ditransfer, terdakwa kembali
mendatangi rumah saksi Drs. Suparmin Ali dan mengatakan
“Bapak bilang, Aji harus menambah uang menjadi Rp.
100.000.000,- (seratus juta rupiah).
- Bahwa setelah saksi Drs. Suparmin Ali mendatangi SPN Batua
untuk melihat pengumuman, ternyata anak saksi Drs Suparmin Ali
yakni saksi Iqbal tidak lulus sehingga saksi Drs. Suparmi Ali
mendatangi terdakwa dirumahnya untuk menagih pengembalian
uang yang telah diserahkan kepada terdakwa, namun terdakwa
hanya menjawab “Aji tidak perlu ragu, uangnya akan saya
kembalikan, nanti saya minta pada bapak”. Namun, sampai saksi
Drs. Suparmin Ali melaporkan terdakwa di Polda Sul Sel uang
tersebut belum dikembalikan oleh terdakwa. Akibat perbuatan
terdakwa menyebabkan saksi Drs. Suparmin Ali mengalami
kerugian yang ditaksir kurang lebih Rp. 80.000.000(delapan puluh
juta rupiah).
Perbuatan terdakwa sebagaiman diatur dan diancan pidana Pasal

378 KUHP tentang Penipuan.

3. Tuntutan Jaksa Penuntut Umum

Tuntutan Pidana penuntut Umum, Nomor Registrasi Perkara : PDM-

1852/Mks/Ep.1/12/2009 tertanggal 11 Januari 2010, yang pada pokoknya

meminta Majelis Hakim untuk memutuskan :

1. Menyatakan terdakwa ASYARI bersalah melakukan tindak pidana


Penipuan sebagai mana diatur dan diancam pidana dalam Pasal
378 KUHP, dalam dakwaan kedua;

42
2. Menjatuhkan pidana terhadap terdakwa ASYARI berupa pidana
penjara selama 2 (dua) tahun, Dengan dikurangi selama terdakwa
berada dalam tahanan kota, dengan perintah terdakwa ditahan;
3. Menyatakan barang bukti berupa 1 (satu) lembar bukti transfer/
pengeriman uang sebesar Rp. 52.000.000,- (lima puluh dua juta
rupiah) di Bank Mandiri denagn Nomor Rekening 152-0006581439
Tanggal 12 Februari 2008;
4. Menetapkan terdakwa, membayar biaya perkara sebesar
Rp.1.000,- (seribu rupiah).

4. Analisis Penulis

Hakim dalam pemeriksaan perkara tindak pidana berusaha mencari

dan membuktikan kebenaran materil berdasarkan fakta yang terungkap

dalam persidangan, serta berpegang teguh pada apa yang dirumuskan

dalam surat dakwaan penuntut umum.

Berdasarkan posisi kasus sebagaimana telah diuraikan di atas, maka

penulis menyimpulkan bahwa tuntutan Jaksa Penuntut Umum sudah

sesuai dengan ketentuan, hal ini didasarkan pada keterangan saksi-saksi

dan ditambah dengan keterangan terdakwa yang membenarkan

keterangan saksi atas perbuatan yang dilakukannya yang sudah

berkesesuaian dengan tuntutan Jaksa Penuntut Umum. Dalam hal ini

Jaksa Penuntut Umum mendakwakan pasal 378 dalam dakwaannya,

yang isinya sebagai berikut:

Barangsiapa dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau


orang lain secara melawan hukum , dengan memakai nama palsu
atau martabat palsu, dengan tipu muslihat , ataupun rangkaian
kebohongan, menggerakkan orang lain untuk menyerahkan barang
sesuatu kepadanya, atau supaya memberi hutang ayaupun
mengahpuskan piutang, diancam karena penipuan dengan pidana
penjara paling lama 4 tahun.

43
Dari pengertian tersebut dapat disimpulkan unsur-unsur pasal 378

ialah sebagai berikut;

1. Membujuk (menggerakkan hati) orang lain untuk

2. Menyerahkan suatu barang atau supaya membuat suatu hutang

atau menghapuskan suatu hutang

3. Dengan menggunakan upaya-upaya atau cara-cara :

a. Memakai nama palsu

b. Memakai kedudukan palsu

c. Memakai tipu muslihat

d. Memakai rangkaian kata-kata bohong

4. Dengan maksud hendak menguntungkan diri sendiri atau orang

lain dengan melawan hukum.

Dalam kasus ini apa yang dilakukan oleh terdakwa Asyari memenuhi

unsur-unsur penipuan. Menurut penulis terdakwa terbukti membujuk atau

menggerakkan hati korban untuk menyerahkan suatu barang dengan cara

memakai tipu muslihat dan rangkaian kata-kata bohong dengan maksud

hendak menguntungkan diri sendiri secara melawan hukum. Dalam hal ini

terdakwa dengan segala rangkaian kata bohong. Terdakwa menjanjikan

kelulusan terhadap anak korban dengan syarat korban harus membayar

dengan sejumlah uang agar anak korban lulus untuk menjadi anggota

kepolisian, dan terdakwa pun berjanji akan mengembalikan uang tersebut

kalau anak korban tidak lulus menjadi anggota kepolisian. Padahal secara

normatif meskipun terdakwa berpangkat Jenderal pun tidak akan bisa

44
untuk menjamin lulus tidaknya seseorang untuk menjadi anggota

kepolisian. Dan semua yang dikatakan oleh terdakwa itu hanyalah

rangkian kata-kata bohong untuk meyakinkan (menggerakkan hati) korban

agar menyerahkan sejumlah uang kepada terdakwa.

Dengan demikian, maka penulis setuju dengan tuntutan Jaksa

Penuntut Umum menyimpulkan bahwa terdakwa secara hukum telah

melanggar pasal 378 KUHP tentang penipuan.

B. Pertimbangan Hakim Dalam Menjatuhkan Sanksi Pidana pada

Perkara No.80/Pid.B/2010/PN.Mks

Konsekuensi dengan adanya hukum adalah keputusan hakim harus

mencerminkan keadilan, akan tetapi persoalan keadilan tidak akan

berhenti dengan pertimbangan hukum semata-mata, melahirkan

persoalan keadilan biasanya dihubungkan dengan kepentingan individu

para pencari keadilan, dan itu berarti keadilan menurut hakim sering

diartikan dengan sebuah kemenangan dan kekalahan oleh pencari

keadilan. Penting kiranya untuk memberikan pemahaman bahwa sebuah

keadilan itu bersifat abstrak, tergantung dari sisi mana kita

memandangnya. Oleh karena itu dalam rangka memaksimalkan tujuan

hukum maka kita tidak hanya memenuhi rasa kepastian hukum tetapi juga

memenuhi rasa keadilan.

1. Pertimbangan Hukum Hakim

Pertimbangan hakim dalam menjatuhkan hukuman pada putusan

Nomor. 80/Pid.B/2010/PN.Mks, berdasarkan beberapa pertimbangan.

45
Hakim memeriksa dan menjatuhkan putusan berpedoman pada surat

dakwaan. Setelah hakim membaca isi surat dakwaan tersebut, maka

hakim belum bisa menjatuhkan putusan karena hakim belum bisa

memastikan terbukti tidaknya terdakwa melakukan tindak pidana tanpa

berdasarkan alat bukti dan pertimbangan yuridis. Adanya alat bukti yang

didapat yaitu :

- Keterangan saksi-saksi yaitu Panji Setiawan, Drs. Suparmin Ali,

Hj. Fatmawati, Meutia Setia, S.Kom, Sultan, S.H., dan Muh Iqbal;

- Alat bukti surat berupa 1 (satu) lembarr bukti transfer/pengiriman

uang sebesar Rp. 52.000.000,- (lima puluh dua juta rupiah) di

Bank Mandiri dengan Nomor Rekening 152-006581439 a.n

pemilik rekening Hasriawati.S Tanggal 12 Februari 2008;

- Keterangan terdakwa yaitu ASYARI, dan;

- Petunjuk yang diperoleh dari keterangan saksi-saksi, alat bukti

surat dan keterangan terdakwa sehingga terdapat petunjuk yang

satu sama lainnya saling berhubungan, yang juga merupakan

bukti yang cukup tentang perbuatan terdakwa.

Pertimbangan-pertimbangan dalam memutuskan pemidanaan suatu

tindak pidana sangat bergantung pada hakim yang merumuskan. Adapun

dasar pertimbangan yuridis hakim dalam menjatuhkan putusan

No.80/Pid.B/2010/PN.Mks adalah sebagai berikut :

- Menimbang bahwa terdakwa diajukan ke persidangan atas

dakwaan sebagai berikut :

46
Pertama, Pasal 372 KUHP tentang penggelapan. Kedua, Pasal

378 KUH Pidana tentang penipuan;

- Oleh karena dakwaan disusun secara alternatif kesatu dan

kedua, maka Majelis Hakim akan langsung membuktikan

dakwaan yang dianggap terbukti yaitu dakwaan kesatu yang

unsur-unsurnya sebagai berikut :

1. Dengan sengaja melawan hukum;

2. Memiliki sebuah benda yang sebagian atau seluruhnya milik

orang lain;

3. Benda berada dalam kekuasaannya bukan karena kejahatan;

- Menimbang, bahwa yang dimaksud dengan barang siapa dalam

hal ini adalah setiap orang pelaku dari suatu tindak pidana yang

kepadanya dapat dipertanggungjawabnya segala akibat dari

perbuatannya.

- Menimbang, bahwa yang dimaksud dengan barang siapa dalam

perkara ini berdasarkan fakta yang terungkap dipersidangkan

ialah terdakwa ASYARI dengan sengaja segala identitasnya

sebagaimana dalam surat dakwaan Jaksa Penuntut Umum.

- Menimbang, bahwa oleh karena terdakwa ASYARI tersebut

adalah orang yang dapat mempertanggung jawabkan segala

akibat dari perbuatannya tersebut, maka oleh karena itu unsur

barang siapa dalam hal ini dianggap telah terbukti;

47
- Menimbang, bahwa selanjutnya unsur-unsur berikutnya dari

dakwaan Jaksa Penuntut Umum tersebut di atas yang unsur

dengan sengaja dan melawan hukum, unsur memiliki barang

sesuatu yang seluruhnya dan sebagian kepunyaan orang lain,

dan unsur barang yang ada dalam kekuasaannya bukan karena

kejahatan akan di pertimbangkan secara sekaligus sebagai

berikut:

 Menimbang, bahwa terdakwa ASYARI sebagai Polisi aktif

dengan pangkat Briptu telah berjanji untuk mengurus

MUH.IQBAL dalm mengikuti seleksi penerimaan Casis Seba

Polri tahun 2007/2008, dengan pemberian dana sebesar

Rp.80.000.000,- (delapan puluh juta rupiah) ;

 Menimbang,bahwa uang sebesar Rp.80.000.000,- (delapan

puluh juta rupiah) tersebut telah diserahkan oleh orang tua

MUH.IQBAL kepada terdakwa secara bertahap,

Rp.52.000.000,- (lima puluh dua juta rupiah) ditransfer

melalui rekening istri terdakwa di Bank Mandiri sedangkan

selebihnya Rp.18.000.000,- (delapan belas juta rupiah)

diberikan secara bertahap kepada terdakwa, dengan

perjanjian apabila MUH.IQBAL tidak lulus seleksi maka uang

sebesar Rp.70.000.000,- (tujuh puluh juta rupiah) dari

Rp.80.000.000,- (delapan puluh juta rupiah) akan

dikembalikan kepada orang tua MUH.IQBAL, sedangkan

48
yang Rp.10.000.000,- (sepuluh juta rupiah) adalah

merupakan uang hangus;

 Menimbang, bahwa setelah penerimaan Casis Seba Polri

tahun 2007/2008 diumumkan ternyata MUH.IQBAL. tidak

lulus, sehingga oleh karena itu sesuai janjinya orang tua

MUH.IQBAL sebesar Rp.70.000.000,- (tujuh puluh juta

rupiah) tersebut harus dikembalikan oleh terdakwa kepada

orang tua MUH.IQBAL, bahwa orang tua MUH.IQBAL telah

berulang kali menagih pengembalian uang tersebut akan

tetapi terdakwa hanya berjanji-janji saja tidak ada niat untuk

mengembalikannya;

 Menimbang, bahwa oleh karena ternyata tidak ada niat dari

terdakwa untuk mengembalikan uang tersebut, setelah

ditagih berulang kali oleh orang tua MUH.IQBAL maka dapat

disimpulkan bahwa terdakwa telah dengan sengaja dan

melawan hukum menguasai uang milik orang tua

MUH.IQBAL tersebut;

- Menimbang, bahwa dari uraian pertimbangan-pertimbangan

sebagaimana tersebut di atas, menurut Majelis perbuatan

terdakwa telah memenuhi segenap unsur-unsur yang terkandung

dalam surat dakwaan Jaksa Penuntut Umum alternatif pertama,

sehingga oleh karena itu perbuatan terdakwa yang terbukti

49
secara sah dan meyakinkan tersebut haruslah dinyatakan

sebagai tindak pidana;

- Menimbang, bahwa oleh karena perbuatan terdakwa telah

memenuhi segenap unsur-unsur yang terkandung dalam surat

dakwaan Jaksa Penuntut Umum alternatif pertama, dan

mengingat oleh karena dakwaan Jaksa Penuntut Umum tersebit

adalah dakwaan alternatif, maka oleh karen itu dakwaan

berikutnya tidak dipertimbangkan lagi;

- Menimbang, bahwa oleh karena dakwaan Jaksa Penuntut Umum

telah terbukti sebagaimana dipertimbangkan tersebut diatas

maka oleh karena itu pembelaan terdakwa yang memohon

supaya dibebaskan dalam perkara ini haruslah dinyatakan

ditolak karena tidak beralasan secara hukum ;

- Menimbang, bahwa oleh karena pada diri terdakwa tidal

didapatkan adanya alasan-alasan baik alasan pemaaf maupun

pembenaryang dapat menghapuskan sifat melawan hukum dari

perbuatannya tersebut, maka oleh karena terhadap terdakwa

tersebut haruslah dipatuhi hukuman yang setimpal dengan

perbuatannya;

- Menimbang, bahwa mengenai status hukum barang bukti berupa

1 (satu) lembar barang bukti transfer/pengiriman uang sebesar

Rp.52.000.000,- (lima puluh dua juta rupiah) di Bank Mandiri

dengan No. Rekening 152-0006581439 atas nama pemilik

50
Rekening Hasriawati dinyatakan tetap terlampir dalam berkas

perkara;

- Menimbang, bahwa sebelum terdakwa dijatuhi hukuman yang

setimpal dengan perbuatannya maka terlebih dahulu

dipertimbangkan hal-hal yang memperberatkan dan yang

meringankan pada diri terdakwa;

Hal-hal yang memberatkan :

 Perbuatan terdakwa merugikan orang lain;

 Perbuatan terdakwa merusak citra Polri;

 Terdakwa tidak berupaya mengembalikan kerugian

korban;

Hal-hal yang meringankan :

 Terdakwa bersikap sopan dan mengakui terus terang

perbuatannya;

 Terdakwa belum pernah dihukum, dan menyesali

perbuatannya;

 Terdakwa masih muda sehingga masih bisa diharapkan

untuk dapat memperbaiki diri dikemudian hari;

Adapun amar putusan hakim dalam perkara yang dikaji oleh penulis

ini adalah :

1. Menyatakan bahwa terdakwa ASYARI, telah terbukti secara sah


dan meyakinkan, bersalah melakukan tindak pidana
“PENGGELAPAN”.
2. Menjatuhkan pidana kepada terdakwa tersebut karena itu dengan
pidana penjara selama 1 (satu) tahun dan 6 (enam) bulan;

51
3. Menetapkan masa penahanan yang telah dijalani terdakwa
dikurangi seluruhnya dari pidana yang dijatuhkan;
4. Memerintahkan barang bukti berupa : 1 (satu) lembar bukti
Transfer/pengiriman uang sebesar Rp.52.000.000,- (lima puluh
dua juta rupiah) di Bank Mandiri dengan nomor Rekening 152-
0006581439 atas nama pemilik Rekening HASRIAWATI tetap
terlampir dalam berkas perkara;
5. Membebankan kepada terdakwa untuk membayar biaya perkara
sebesar Rp.1.000,- (seribu rupiah)

2. Analisis penulis

Pertimbangan hakim dalam menjatuhkan putusan harus

mencerminkan rasa keadilan masyarakat. Hakim dituntut untuk

mempunyai keyakinan dengan mengaitkan keyakinan itu dengan cara dan

alat-alat bukti yang sah serta, menciptakan hukum sendiri yang

berdasarkan keadilan yang tentunya tidak bertentangan dengan pancasila

sebagai sumber dari segala hukum.

Dalam pembuatan suatu putusan hakim memerlukan pelatihan,

pengalaman dan kebijaksanaan guna melahirkan putusan yang berpihak

kepada yang benar. Hakim harus meyakini betul apakah terdakwa

melakukan perbuatan pidana atau tidak sebagaimana yang termuat dalam

unsur-unsur tindak pidana yang didakwakan kepadanya.

Berkaitan dengan kasus yang penulis bahas, oleh karena hakim yang

menangani kasus ini telah dimutasikan ketempat lain, maka Ketua

Pengadilan Negeri Makassar kemudian menunjuk hakim pengganti untuk

kemudian penulis lakukan wawancara padanya yaitu Suprayogi, S.H., dan

dalam wawancara yang penulis lakukan. Suprayogi S.H memberikan

52
gambaran secara umum terhadap kasus yang penulis angkat, yang

menyatakan bahwa :

Hakim yang menangani kasus ini sudah tentulah telah


memperhatikan pertimbangan-pertimbangan yang ada baik pada :
pertimbangan yuridis maupun dengan menilai apa yang ada dalam
ruangan persidangan yang dalam hal ini adalah mengenai
keterangan saksi, keterangan terdakwa, barang bukti, tuntutan jaksa
(sudah sesuai dengan pasal yang dituntutkan pada terdakwa),
keyakinan hakim dan sebagainya. Semua itu merupakan hal yang
harus diperhatikan dan membutuhkan kejelian dalam menggali
kejadian yang sebenarnya sehingga dapat diperoleh suatu
keputusan yang dianggap adil.

Seperti yang telah diuraikan sebelumnya pada amar putusan, menurut

penulis hakim keliru dalam menjatuhkan putusan. Menurut penulis

terdakwa lebih mencocoki melakukan tindak pidana penipuan seperti

dalam tuntutan Jaksa Penuntu Umum. Hakim juga dalam hal ini luput

mempertimbangkan tentang peranan korban dalam tindak pidana

penipuan ini, peranan korban disini disaat korban meminta tolong kepada

terdakwa agar anaknya lulus menjadi anggota kepolisian. Secara normatif

walaupun terdakwa berpangkat jendral, tidak ada jaminan anak korban

bisa lulus menjadi anggota kepolisian. Disini juga terdakwa tidak akan

melakukan tindak pidana ini tanpa ada kesempatan yang diberikan oleh

korban.

Jadi menurut penulis keputusan hakim dalam menjatuhkan putusan

dalam kasus ini keliru, karena berdasarkan fakta-fakta yang terungkap

dalam persidangan terdakwa lebih mencocoki rumusan tindak pidana

penipuan sebagaimana tuntutan Jaksa Penuntut Umum dari pada tindak

pidana penggelapan.

53
BAB V

PENUTUP

A. Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian dari pembahasan, maka penulis

menyimpulkan beberapa hal diantaranya adalah sebagai berikut :

1. Penerapan hukum materil oleh Jaksa Penuntut Umum menurut

penulis sudah tepat. Karena berdasarkan fakta-fakta yang

terungkap di persidangan, serta keterangan saksi maupun

keterangan terdakwa, menurut penulis perbuatan terdakwa telah

memenuhi unsur-unsur tindak pidana penipuan sebagaimana yang

diatur dalam pasal 378 KUHP.

2. Pertimbangan hukum hakim menurut penulis dalam perkara Nomor

putusan 80/Pid.B/2010/PN.Mks yang menjatuhkan terdakwa Asyari

dengan tindak pidana penggelapan adalah keliru. Karena

berdasarkan fakta-fakta di persidangan maupun keterangan saksi

dan keterangan terdakwa, menurut penulis perbuatan terdakwa

lebih mencocoki rumusan tindak pidana penipuan seperti dalam

tuntutan Jaksa Penuntut Umum dari pada tindak pidana

penggelapan. Disini juga Hakim juga tidak mempertimbangkan

andil korban dalam tindak pidana ini yang memberikan

kesempatan kepada terdakwa untuk melakukan tindak pidana

penipuan ini.

54
B. Saran

Berdasarkan kesimpulan tersebut, maka penulis menyarankan

beberapa hal sebagai berikut :

1. Penulis mengharapkan kepada segenap aparat penegak hukum

khususnya setiap Anggota Kepolisian dalam bertindak, mengetahui

batas-batas kewenangan profesinya sebagai aparat penegak

hukum dan tidak melanggar kode etik, apa lagi melakukan

perbuatan melanggar hukum dan apabila ada oknum yang terbukti

melakukan tindak pidana penulis harapkan agar pelaku ditindak

secara tegas dan dijatuhi sanksi yang dapat memberi efek jera dan

daya cegah bagi pelaku pada khususnya dan masyarakat pada

umumnya.

2. Adanya perbaikan sistem dalam Polri termasuk meningkatkan

fungsi pengawasan yang lebih terstruktur, terkendali, efektif dan

efisien dengan pemberian sanksi yang tegas terhadap

penyimpangan secara konsekuen dan konsisten serta peningkatan

integritas setiap anggota melalui pendidikan agama dan etika serta

disiplin.

55
56
DAFTAR PUSTAKA

Bassar, Sudradjat M. 1984. Tindak-Tindak Pidana Tertentu dalam Hukum


KUHP. CV. Renadja Karya. Bandung.

Chazawi, Adami. 2006. Kejahatan Terhadap Harta Benda. Bayu Media.


Jakarta

Effendi, Rusli. 1986. Asas-asas Hukum Pidana. Lembaga Percetakan dan


Penerbitan Universitas Muslim Indonesia. Ujung Pandang.

Farid, Andi Zainal Abidin . 1995. Hukum Pidana I. Sinar Grafika. Jakarta.

Kansil, C.S.T, Christin S.T. 2000. Kamus Istilah Aneka Hukum. Pustaka
Sinar Harapan. Jakarta.

Lamintang, P.A.F. 1997. Dasar-dasar Hukum Pidana Indonesia. PT. Citra


Aditya Bakti, Bandung.

Moeljatno. 1985. Asas-asas Hukum Pidana. Rineka Cipta. Jakarta.

Poernomo, Bambang. 1992. Asas-asas Hukum Pidana. Ghalia Indonesia.


Yogyakarta.

Prasetyo, Teguh. 2010. Hukum Pidana. Grafindo Persada, Jakarta

Prodjodikoro, Wirjono. 1986. Asas-asas Hukum Pidana di Indonesia. PT.


Gresco. Bandung.

Prodjohamidjojo, Martiman. 1995. Memahami Dasar-dasar Hukum Pidana


Indonesia 1. PT Pradnya Paramita, Jakarta.

Rayhan, A. 2008. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Citra


Wacana, Jakarta.
Sudirman, Antonius. 2009. Eksistensi Hukum dan Hukum Pidana Dalam
Dinamika Soisal Suatu Kajian Teori dan Praktek di
Indonesia.BP Undip Semarang. Semarang.

Sukardi. 2005. Illegal Logging Dalam Perspektif Politik Hukum Pidana


(Kasus Papua). Universitas Atma Jaya Yogyakarta. Yogyakarta.

Suparni, niniek. 2007. Eksistensi Pidana denda Dalam Sistem Pidana


Dalam Sistem Pemidanaan. Sinar Grafika. Jakarta.

Tongat. 2006. Hukum Pidana Materiil. UMM Press, Malang.

57
Waluyo, Bambang. 2008. Pidana dan Pemidanaan. Sinar Grafika. Jakarta

Perundang-Udangan :

Kitab Undang-Undang Hukum Pidana

Pranala Luar :

http://www.hukumonline.com/klinik/detail/lt4ceb3048897ea/penggelapan-
dan-penipuan

58

Anda mungkin juga menyukai