Anda di halaman 1dari 13

TUGAS TERSTRUKTUR

GEOLOGI PENGEMBANGAN WILAYAH

“ANALISIS KERENTANAN GERAKAN TANAH DAERAH PURBALINGGA”

Disusun untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah Geologi Pengembangan Wilayah

Dosen Pengampu : Januar Aziz Z, S.T.,M.Eng.

Oleh :

Larasati Pinanjar Putri


H1C016005

KEMENTERIAN RISET, TEKNOLOGI, DAN PENDIDIKAN TINGGI


UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN
FAKULTAS TEKNIK
JURUSAN TEKNIK GEOLOGI
PURBALINGGA
2019
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas segala rahmat-Nya
sehingga laporan ini dapat tersusun hingga selesai. Tidak lupa juga penulis
mengucapkan terimakasih banyak atas bantuan dari pihak yang telah berkontribusi
dengan memberikan sumbangan baik materi maupun pikirannya.

Dan harapan penulis semoga laporan ini dapat menambah pengetahuan dan
pengalaman bagi para pembaca, untuk kedepannya dapat memperbaiki bentuk
maupun menambah isi laporan ini agar menjadi lebih baik lagi.

Karena keterbatasan pengetahuan maupun pengalaman penulis, penulis


yakin masih banyak kekurangan dalam laporan ini, oleh karena itu kami penulis
mengharapkan saran dan kritik yang membangun dari pembaca demi kesempurnaan
laporan ini. Akhir kata, penulis sampaikan terima kasih kepada semua pihak yang
telah berperan serta dalam penyusunan laporan ini dari awal sampai akhir.

Purbalingga, 14 Januari 2019

Penulis
BAB I

PENDAHULUAN

I.I. Latar Belakang.

Tanah longsor merupakan contoh dari proses geologi yang disebut dengan
mass wasting yang sering juga disebut gerakan massa (mass movement),
merupakan perpindahan massa batuan dan tanah dari tempat yang tinggi ke tempat
yang rendah karena gaya gravitasi. Setelah batuan lapuk, gaya gravitasi akan
menarik material hasil pelapukan ke tempat yang lebih rendah. Mengingat dampak
yang dapat ditimbulkan oleh bencana tanah longsor, maka identifikasi daerah
kejadian tanah longsor penting untuk dilakukan agar dapat diketahui penyebab
utama longsor dan karakteristik dari tiap kejadian longsor sehingga dapat menjadi
rujukan dalam mitigasi bencana longsor berikutnya. Identifikasi daerah kejadian
longsor juga penting untuk mengetahui hubungan antara lokasi kejadian longsor
dengan faktor persebaran geologi (batuan) dan tata guna lahan di daerah terjadinya
longsor, sehingga dapat diketahui tata guna lahan yang sesuai pada setiap
karakteristik lahan dan geologinya (Effendi, 2008).

Secara fisiografis, Kabupaten Purbalingga terletak pada wilayah perbatasan


antara Zona Serayu Utara dan Zona Vulkanik Kwarter. Wilayah Kabupaten
Purbalingga memiliki ketinggian tempat antara 23 meter - 3.432 meter di atas
permukaan laut. Berdasarkan kondisi topografi, wilayah Kabupaten Purbalingga
dibagi dalam dua kategori wilayah, yakni :

1.) Bagian utara merupakan wilayah berbukit-bukit dengan kemiringan


lebih dari 40%. Wilayah ini meliputi Kecamatan Karangreja, Karangjambu,
Bobotsari, Karanganyar, Kertanegara, Karangmoncol, Rembang, sebagian wilayah
Kecamatan Kutasari, Bojongsari, dan Mrebet.

2.) Bagian selatan merupakan wilayah dengan tingkat kemiringan berkisar


antara 0-25%. Wilayah ini meliputi Kecamatan Kalimanah, Padamara, Purbalingga,
Kaligondang, Kemangkon, Bukateja, Kejobong, Pengadegan, sebagian wilayah
Kecamatan Kutasari, Bojongsari, dan Mrebet.
I.II. Tujuan.

Didasari oleh kondisi pada latar belakang diatas, maka perlu dibuat suatu
peta zonasi kerentanan gerakan tanah di daerah Purbalingga terutama pada bagian
utara, sehingga kerugian yang diakibatkan oleh bencana gerakan tanah pada daerah
tersebut dapat dikurangi. Pada tugas ini dilakukan penelitian meliputi seluruh
Kabupaten Purbalingga dengan luas wilayah 777,64 km2. Bahan yang digunakan
dalam analisis ini adalah Data administrasi Kabupaten Purbalingga, data curah
hujan Kabupaten Purbalingga, Data tutupan dan penggunaan lahan Kabuptaen
Purbalingga, Data kemiringan lereng Kabuptaen Purbalingga yang diturunkan dari
data topografi DEM SRTM, serta Peta Geologi Regional Lembar Purwokerto –
Tegal dan Peta Kerentanan Tanah Kabupaten Purbalingga.

I.III. Metode.

Metode yang digunakan dalam analisis ini yakni sebagai berikut :

1. Klasifikasi atau pembagian kelas dari masing-masing peta digital mengenai


parameter yang berpengaruh terhadap longsor.
2. Menentukan faktor bencana longsor berdasarkan metode Analytical
Hierarchy Process (AHP).
3. Analisis Spasial menggunakan metode SIG.
BAB II
PEMBAHASAN
II.I. Klasifikasi.

Klasifikasi yang dimaksud adalah pembagian kelas dari masing-masing peta


digital. Penskoran adalah pemberian skor pada peta digital masing-masing
parameter yang berpengaruh terhadap longsor, dengan didasarkan atas
pertimbangan pengaruh masing-masing parameter terhadap bahaya longsor.
Penentuan Skor untuk masing-masing parameter didasarkan atas pertimbangan,
seberapa besar pengaruh suatu parameter dibandingkan dengan parameter yang
lainnya terhadap kejadian longsor di Kabupaten Purbalingga.

II.II. Menentukan faktor bencana longsor berdasarkan metode Analytical


Hierarchy Process (AHP).

Analytical hierarchy process (AHP) merupakan salah satu metode


pembobotan dalam kajian kerawanan longsor. Dalam penelitian ini, metode AHP
digunakan untuk menghitung bobot setiap parameter penentu kerawanan longsor
yang digunakan. Bobot prioritas masing-masing variabel dan parameter
kerawanaan longsor menggambarkan bobot variabel dan parameter tersebut
terhadap kerawanan. Dalam pemberian harkat untuk masing-masing parameter
dikelompokkan berdasarkan pengaruhnya terhadap kejadian longsor. Harkat yang
paling tinggi adalah yang paling besar pengaruhnya terhadap terjadinya longsor.
Harkat yang paling rendah adalah yang paling kecil pengaruhnya terhadap
terjadinya longsor.

Adapun tahapan dalam perhitungan AHP adalah sebagai berikut :

1.) Menghitung nilai bobot prioritas tiap parameter kemudian dijumlahkan, setelah
itu nilai tiap parameter dibagi dengan nilai penjumlahan dari total parameter pada
table 1, kemudian menjumlahkan hasil perhitungan pada tabel 2 sepanjang barisnya
dan dibagi oleh banyaknya parameter untuk menghasilkan bobot dari tiap
parameter.

Tabel 1 menunjukkan perbandingan berpasangan dari setiap parameter.

Tabel 1. Matrik perbandingan berpasangan parameter gerakan tanah.


Parameter P1 P2 P3 P4

P1 1 3 2 1

P2 1/3 1 2/3 1/2

P3 1 2 1 1/2

P4 1/2 1 1/2 2 1

Jumlah Parameter 2,83 7,50 5,67 3,00

Keterangan :
P1 : Litologi
P2 : Tutupan Lahan
P3 : Kemiringan Lereng
P4 : Curah Hujan

Tabel 2. Matrik perbandingan berpasangan ternormalisasi parameter gerakan tanah.

Faktor P1 P2 P3 P4 Jumlah Bobot


P1 0,35 0,40 0,35 0,33 1,44 0,36

P2 0,12 0,13 0,12 0,17 0,54 0,13

P3 0,35 0,27 0,18 0,17 0,96 0,24

P4 0,18 0,20 0,35 0,33 1,06 0,27

Jumlah 4,00 1,00

2.) Menghitung nilai eigen maksimal dengan cara menjumlahkan seluruh


perkalian dari nilai jumlah parameter dengan nilai nilai bobot. Dari hasil
perhitungan tersebut didapatkan nilai Eigen Maksimal yakni 4,18.
3.) Mencari nilai Consistency Index (CI) menggunakan persamaan :

{λ 𝑚𝑎𝑘𝑠 − 𝑛}
𝐶𝐼 =
𝑛−1

Dimana : CI = Consistency Index


λ maks = Maxmimal eigenvalue
n = Jumlah parameter (4)
Lamda maksimum diperoleh dengan mengalikan jumlah parameter (tabel 1)
dengan bobot setiap parameter (tabel 2).
4.) Mencari nilai Consistency Ratio (CR) menggunakan persamaan :

𝐶𝐼
CR =
𝐶𝑅

Dimana : CI = Consistency Index


RI = Ratio index (0,9 untuk 4 parameter)
CR = Consistency ratio
*Suatu matriks perbandingan disebut konsisten jika nilai CR < 0,10.
Berdasarkan perhitungan matriks parameter penentu gerakan tanah
(terlampir), diperoleh nilai konsistensi index (CI) sebesar 0,061 dan nilai rasio
konsistensi (CR) 0,006, artinya bobot yang diperoleh dari perhitungan matriks
perbandingan berpasangan tersebut dinilai konsisten dan dapat digunakan karena
nilai CR kurang dari 0,10. Litologi (P1) memiliki bobot paling besar yakni 0,36,
diikuti dengan parameter Curah Hujan (P4) dengan bobot sebesar 0,27, Kemiringan
Lereng (P3) dengan bobot 0,24, dan Tutupan Lahan (P2) dengan bobot sebesar 0,13.
Keempat parameter ini memiliki pengaruh yang besar terhadap kerentanan
gerakan tanah di daerah penelitian. Hal ini juga dikuatkan dengan fakta yang terjadi
di lapangan, dimana longsor banyak dikontrol oleh keempat parameter tersebut.
Litologi dengan bobot tertinggi merupakan faktor yang paling penting dalam
terjadinya gerakan tanah. Karena litologi dengan resistensi yang rendah seperti soil
dan batuan vulkanik serta batuan sedimen sangat berpotensi untuk terjadi gerakan
tanah. Kemudian pada litologi juga terdapat struktur geologi yang merupakan zona
lemah pada suatu batuan atau litologi. Salah satu struktur geologi tersebut berupa
rekahan yang dapat menjadi jalan tempat masuknya air sehingga pelapukan dan
erosi berjalan dengan lebih intensif. Batuan yang terkena struktur cukup intensif
mempunyai potensi yang lebih besar untuk terjadinya gerakan tanah.
Tabel 3. Skor dan bobot parameter gerakan tanah

No. Parameter Kelas Skala Bobot Skor


Qa 1 0,36
1. Litologi Tpt 2 0,36 0,72
Qvls 3 1,08
Hutan 1 0,13
2. Tutupan Lahan Pemukiman 3 0,13 0,39
Sawah 2 0,26
Terjal (25º - 45º) 3 0,72
3. Kemiringan Lereng Landai (5º - 25º) 2 0,24 0,48
Datar ( < 5º) 1 0,24
Tinggi 3 0,81
4. Curah Hujan Menengah 2 0,27 0,57
Rendah 1 0,27

3. Analisis Spasial
Analisis spasial dilakukan dengan menumpang susunkan peta-peta digital
setelah diperoleh bobot masing-masing parameter terhadap bahaya longsor melalu
AHP. Analisis spasial akan dilakukan untuk menghasilkan zonasi lokasi yang
berpotensi terjadi bahaya longsor yang selanjutnya akan diklasifikasi jenis bahaya
longsor berdasarkan tingkat ancamannya. Peta-peta digital yang akan ditumpang
susunkan dengan memasukkan setiap bobotnya adalah peta curah hujan, peta
kemiringan lereng, peta jenis tanah dan peta penggunaan dan tutupan lahan.
Pembuatan peta-peta tersebut dibuat dengan menggunakan metode SIG pada
software ArcGis, karena SIG mempunyai kemampuan untuk menghubungkan
berbagai data pada suatu titik tertentu di bumi, menggabungkannya, menganalisa
dan akhirnya memetakan.
Proses pengolahan data spatial menggunakan metode SIG secara umum
adalah :
1. Input
Pada tahap ini mengumpulkan dan mempersiapkan data spasial dan atribut
dari berbagai sumber. Data yang digunakan untuk penentuan zona gerakan tanah
adalah data peta geologi, peta kontur dan peta pola aliran sungai.
2. Derive data
Tahap ini dilakukan untuk mendapatkan suatu data baru dari data yang telah
ada. Peta kelerengan didapatkan dari peta kontur yang sebelumnya telah dibuat
menjadi peta dem. Peta struktur digunakan untuk membuat peta buffer struktur,
sedangkan peta densitas sungai didapatkan dari pengolahan line density aliran
sungai.
3. Reclassify
Data yang akan digunakan dalam analisis ini kemudian dibuat kelas baru.
Setiap parameter dibagi kedalam kelas yang sama agar mendapatkan hasil yang
maksimal.
4. Weighted and Overlay
Tahap terakhir dalam analisi ini adalah pembobotan dan overlay. Nilai
bobot dari setiap parameter didapatkan dari perhitungan AHP. Overlay dilakukan
dengan menggunakan tools weighted sum. Peta yang di overlay pada tahap ini
merupakan peta vektor yang telah diubah menjadi peta raster. Untuk mengetahui
apakah hasil analisis yang dibuat telah sesuai maka hasil analisis dibandingkan
dengan peta zona kerentanan gerakan tanah yang dibuat oleh Pusat Vulkanologi
dan Mitigasi Bencana Geologi.
Hasil Analisis Spasial :
a. Peta Geologi
b. Peta Curah Hujan.

c. Peta Kemiringan Lereng.


d. Peta Tutupan Lahan.

e. Peta Kerentanan Gerakan Tanah.


BAB III
KESIMPULAN

1. Berdasarkan hasil overlay dari parameter yang ada maka didapatkan 4 zonasi
kerentanan gerakan tanah, yaitu :
a. Zona kerentanan gerakan tanah tinggi.
b. Zona kerentanan gerakan tanah menengah.
c. Zona kerentanan gerakan tanah rendah.
d. Zona kerentanan gerakan tanah sangat rendah.
2. Hasil analisis menggunakan metode AHP diperoleh nilai Eigen Maksimal yakni
4,18, nilai konsistensi index (CI) sebesar 0,061 dan nilai rasio konsistensi (CR)
0,006 serta nilai bobot tiap parameter yakni Litologi (P1) memiliki bobot paling
besar yakni 0,36, diikuti dengan parameter Curah Hujan (P4) dengan bobot
sebesar 0,27, Kemiringan Lereng (P3) dengan bobot 0,24, dan Tutupan Lahan
(P2) dengan bobot sebesar 0,13.
3. Kecamatan Karangreja, Karangjambu, Bobotsari, Karanganyar, Kertanegara,
Karangmoncol, Rembang, sebagian wilayah Kecamatan Kutasari, Bojongsari,
dan Mrebet. merupakan kecamatan di Kabupaten Purbalingga dengan nilai
kerentanan gerakan tanah paling tinggi.
4. Kecamatan Kalimanah, Padamara, Purbalingga, Kaligondang, Kemangkon,
Bukateja, Kejobong, Pengadegan, sebagian wilayah Kecamatan Kutasari,
Bojongsari, dan Mrebet.merupakan daerah dengan nilai kerentanan gerakan
tanah rendah sampai sangat rendah.

Anda mungkin juga menyukai