Anda di halaman 1dari 17

LAPORAN PEMDAHULUAN

ELIMINASI URINE dan ALVI

Disusun Oleh :
Tia Ayu Anggasari
010115A128
PSKep B

UNIVERSITAS NGUDI WALUYO


FAKULTAS KEPERAWATAN
S1 KEPERAWATAN
SEMESTER IV
1. ELIMINASI URINE
A. DEFINISI
Eliminasi merupakan proses pembuangan sisa-sisa metabolisme tubuh baik
yang berupa urin maupun fekal. Eliminasi urin normalnya adalah pengeluaran
cairan sebagai hasil filtrasi dari plasma darah di glomerolus. Dari 180 liter darah
yang masuk ke ginjal untuk di filterisasi, hanya 1-2 liter saja yang dapat berupa
urin sebagian besar hasil filterisasi akan di serap kembali di tubulus ginjal untuk
di manfaatkan oleh tubuh
Eliminasi urin merupakan salah satu dari proses metabolik tubuh yang
bertujuan untuk mengeluarkan bahan sisa dari tubuh. Eliminasi urine tergantung
kepada fungsi ginjal, ureter, kandung kemih, dan uretra. Ginjal menyaring produk
limbah dan darah untuk membentuk urine. Ureter mentranspor urine dan ginjal ke
kandung kemih. Kandung kemih menyimpan urine sampai timbul keinginan ingin
berkemih. Urine keluar dari tubuh melalui ureter.semua organ sistem perkemihan
harus utuh dan berfungsi supaya urine berhasil dikeluarkan dengan baik.

B. ETIOLOGI dan FAKTOR RISIKO


Gangguan pemenuhan kebutuhan eliminasi BAK disebabkan oleh :
 Supra vesikal berupa kerusakan pada pusat miksi di medullaspinalis
 Vesikal berupa kelemahan otot detrusor karena lama teregang
 Intravesikal berupa pembesaran prostat, kekakuan lehervesika, batu kecil dan
tumor
 Dapat disebabkan oleh kecemasan, pembesaran prostat, kelainan patologi
uretra, trauma, disfungsi neurogenik kandung kemih.
Adapun faktor-faktor yang mempengaruhi urinasi
a. Perubahan dan pertumbuhan
Bayi dan anak kecil tidak dapat memekatkan urine secara efektif. Bayi
dan anak-anak mengekresikan urine dalam jumlah yang besar dibandingkan
dengan ukuran tubuh mereka yang kecil. Seorang anak tidak dapat
mengontrol mikturisi secara volunter sampai ia usia 18-24 bulan. Orang
dewasa dalam kondisi normal mengekresikan 1500 sampai 1600 ml urine
setiap hari. Proses penuaan mengganggu mikturisi. Perubahan fungsi ginjal
dan kandung kemih juga terjadi seiring dengan proses penuaan.
b. Faktor sosiokultural
Pendekatan keperawatan terhadap kebutuhan eliminasi klien harus
mempertimbangkan aspek budaya dan kebiasaan sosial klien. Apabila
seorang klien menginginkan privasi, perawat berupaya untuk mencegah
terjadinya interupsi pada saat klien berkemih. Seorang klien yang kurang
sensitif terhadap kebutuhannya untuk mendapatkan privasi harus ditangani
dengan sikap yang berusaha memahami serta menerima klien.
c. Faktor psikologis
Ansietas dan stres emosional dapat menimbulkan dorongan untuk
berkemih dan frekuensi berkemih meningkat. Seorang individu yang cemas
dapat merasakan suatu keinginan untuk berkemih. Bahkan setelah buang air
beberapa menit sebelumnya.
d. Kebiasaan pribadi
Privasi dan waktu yang adekuat untuk berkemih biasanya penting
untuk kebanyakan individu. Beberapa individu memerlukan distraksi untuk
rileks.
e. Tonus otot
Lemahnya otot abdomen dan otot dasar panggul merusak kontraksi
kandung kemih dan kontrol sfingter uretra eksterna. Kontrol mikturisi yang
buruk dapat diakibatkan oleh otot yang tidak dipakai, yang merupakan akibat
dari lamanya imobilitas, peregangan otot selama melahirkan, atrofi otot
setelah menopause, dan kerusakan otot akibat trauma.
f. Status volume
Apabila cairan dan kontsentrasi elektrolit serta solut berada dalam
keseimbangan, peningkatan asupan cairan dapat menyebabkan peningkatan
produksi urine. Cairan yang diminum akan meningkatkan plasma yang
bersirkulasi didalam tubuh sehingga meningkatkan volume filtrat glomerulus
dan ekskresi urine.
g. Kondisi penyakit
Bebrapa penyakit dapat mempengaruhi kemampuan untuk berkemih.
Adanya luka pada saraf perifer yang menuju kekandung kemih menyebabkan
hilangnya tonus kandung kemih, berkurangnya sensasi penuh kandung
kemih, dan individu sulit untuk mengontrol urinasi.

h. Prosedur pembedahan
Analgesik narkotik dan anestesi dapat memperlambat laju filtrasi
glomerulus, mengurangi haluan urine. Pembedahan struktur panggul dan
abdomen bagian bawah dapat merusak urinasi akibat trauma lokal pada
jaringan sekitar.
i. Obat-obatan
Deuretik mencegah reabsorbsi air dan elektrilit tertentu untuk
emningkatkan haluan urine. Retensi urine dapat disebabkan oleh penggunaan
obat antikolinergik
Berikut adalah faktor risiko eliminasi urine, yaitu :
a. Retensi urine
Retensi urine merupakan penumpukan urine dalam kandung kemih
akibat ketidakmampuan kandung kemih untuk mengosongkan kandung
kemih. Hal ini menyebabkan distensi vesika urinaria atau merupakan
keadaan ketika seseorang mengalami pengosongan kandung kemih yang
tidak lengkap. Dalam keadaan distensi, vesika urinaria dapat menampung
urine sebanyak 3000 – 4000 ml urine.
b. Inkontinensia Urine
Inkontinensia urine merupakan ketidakmampuan otot sphincter
eksternal sementara atau menetap untuk mengontrol ekskresi urine. Secara
umum, penyebab dari inkontinensia urine adalah proses penuaan,
pembesaran kelenjar prostat, serta penuaaan kesadaran, serta penggunaan
obat narkotik. Inkotinensia terdiri atas:
1. Inkotinensia Dorongan : Merupakan keadaan dimana seseorang
mengalami pengeluaran urine tanpa sadar,terjadi segera setelah merasa
dorongan yang kuat untuk berkemih.
2. Inkontinensia total : Merupakan keadaan dimana seseorang mengalami
pengeluaran urine yang terus-menerus dan tidak dapat diperkirakan.
3. Inkontinensia stress : Merupakan keadaan seseorang yang mengalami
kehilangan urine kurang dari 50 ml, terjadi dengan peningkatan tekanan
abdomen.
4. Inkotinensia Refleks : Merupakan keadaan dimana seseorang mengalami
pengeluaran urine yang tidak dirasakan<terjadi pada interval yang dapat
diperkirakan bila volume kandung kemih mencapai jumlah tertentu
5. Inkontinensial fugsional : Merupakan keadaan seseorang yang
mengalami pengeluaran urine secara tanpa disadari dan tidak dapat
diperkirakan.
c. Enuresis
Enuresis merupakan ketidaksanggupan menahan kemih yang
diakibatkan tidak mampu mengontrol sphincter eksternal. Biasanya, enuresis
terjadi pada anak atau otang jompo. Umumnya enuresis terjadi pada malam
hari.
d. Perubahan Pola Eliminasi Urine
Perubahan pola eliminasi urine merupakan keadaan seseorang yang
mengalami gangguan pada eliminasi urine karena obstruksi anatomis,
kerusakan motorik sensorik, dan infeksi saluran kemih. Perubahan pola
eliminasi terdiri atas:
1. Frekuensi : merupakan banyaknya jumlah berkemih dalam sehari.
Peningkatan frekuensi berkemih dikarenakan meningkatnya jumlah
cairan yang masuk. Frekuensi yang tinggi tanpa suatu tekanan asupan
cairan dapat disebabkan oleh sistisis. Frekuensi tinggi dapat ditemukan
juga pada keadaan stres atau hamil.
2. Urgensi : perasaan seseorang yang takut mengalami inkontinensia jika
tidak berkemih. Pada umumnya, anak kecil memiliki kemampuan yang
buruk dalam mengontrol sphincter eksternal. Biasanya, perasaan segera
ingin berkemih terjadi pada anak karena kurangnya pengontrolan pada
sphincter.
3. Disuria : rasa sakit dan kesulitan dalam berkemih. Hal ini sering
ditemukan pada penyakit infeksi saluran kemih, trauma, dan striktur
uretra.
4. Poliuria : merupakan produksi urine abnormal dalam jumlah besar oleh
ginjal, tanpa adanya peningkatan asupan cairan. Biasanya, hal ini dapat
ditemukan pada penyakit diabetes mellitus dan penyakit ginjal kronis.
5. Urinaria Supresi : berhentinya produksi urine secara mendadak. Secara
normal, urine diproduksi oleh ginjal pada kecepatan 60 – 120 ml/jam
secara terus – menerus.

C. MANIFESTASI KLINIS
1. Urine mengalir lambat
2. Terjadi poliuria yang makin lama makin parah karena pengosongankandung
kemih tidak efisien
3. Terjadi distensi abdomen akibat dilatasi kandung kemih
4. Terasa ada tekanan, kadang terasa nyeri dan merasa ingin BAK.
5. Pada retensi berat bisa mencapai 2000-3000 cc.
6. Hematuria
7. Edema ringan pada mata / seluruh tubuh
8. Edema berat mengakibatkn oliguria dan payah jantung
9. Hipertensi 60 – 70%
10. Gangguan GIT ( muntah dan diare )
11. Oliguria

D. PATOFISIOLOGI
Pengendalian kandung kencing dan sfinkter diperlukan agar terjadi
pengeluaran urin secara kontinen. Pengendalian memerlukan kegiatan otot
normal diluar kesadaran dan yang di dalam kesadaran yang dikoordinasi oleh
reflex urethrovesica urinaria. Pengertian tentang keteraturan stimulus saraf dan
kegiatan otot dapat membantu perawat bagaimana kontinen dapat dapat
dipertahankan.
Bila terjadi pengisian kandung kecing, tekanan didalam kandung kemih
meningkat. Otot detrusor (lapisan yang tiga dari dinding kandung kencing)
memberikan respon dengan relaksasi agar memperbesar volume daya tampung.
Bila titik daya tampung telah dicapai, biasanya 150 sampai 200 ml urin daya
rentang reseptor yang terletak pada dinding kandung kemih mendapat rangsang.
Stimulus ditransmisi lewat serabut reflek eferan ke lengkungan pusat reflex untuk
mikstrurirasi. Impuls kemudian disalurkan melalui serabut eferen dari lengkungan
refleks ke kandung kemih, menyebabkan kontraksi otot detrusor.
Sfinkter interna yang dalam keadaan normal menutup, serentak bersama-sama
membuka dan urin masuk ke urethra posterior. Relaksasi sfinkter eksterna dan
otot perincal mengikuti dan isi kandung kemih keluar. Pelaksanaan kegiatan
refleks bisa mengalami interupsi dan berkemih ditangguhkan melalui
dikeluarkannya impuls inhibitori dari pusat kortek yang berdampak kontraksi
diluar kesadaran dari sfinker eksterna. Bila salah satu bagian dari fungsi yang
komlek ini rusak, bisa terjadi inkontinensia urin.
E. PEMERIKSAAN PENUNJANG
1. Pielogram Intravena : Memvisoalisasi duktus dan pelvis renalis serta
memperlihatkan ureter, kandung kemih dan uretra. Prosedur ini tidak bersifat
invasif. Klien perlu menerima injeksi pewarna radiopaq secara intra vena.
2. Computerized Axial Tomography : Merupakan prosedur sinar X
terkomputerisasi yang digunakan untuk memperoleh gambaran terperinci
mengenai struktur bidang tertentu dalam tubuh. Scaner temografik adalah
sebuah mesin besar yang berisi komputer khusus serta sistem pendeteksi sinar
X yang berfungsi secara simultan untuk memfoto struktur internal berupa
potongan lintang transfersal yang tipis.
3. Ultra Sonografi : Merupakan alat diagnostik yang noninvasif yang berharga
dalam mengkaji gangguan perkemihan. Alat ini menggunakan gelombang
suara yang tidak dapat didengar, berfrekuensi tinggi, yang memantul dari
struktur jaringan.
4. Prosedur Invasif
a. Sistoscopy : Sistocopy terlihat seperti kateter urine. Walaupun tidak
fleksibel tapi ukurannya lebih besar sistoscpy diinsersi melalui uretra
klien. Instrumen ini memiliki selubung plastik atau karet. Sebuah
obturator yang membuat skop tetap kaku selama insersi. Sebuah teleskop
untuk melihat kantung kemih dan uretra, dan sebuah saluran untuk
menginsersi kateter atau isntrumen bedah khusus.
b. Biopsi Ginjal : Menentukan sifat, luas, dan progronosis ginjal. Prosedur
ini dilakukan dengan mengambil irisan jaringan korteks ginjal untuk
diperiksa dengan tekhnik mikroskopik yang canggih. Prosedur ini dapat
dilakukan dengan metode perkutan (tertutup) atau pembedahan (terbuka).
c. Angiography (arteriogram) : Merupakan prosedur radiografi invasif yang
mengefaluasi sistem arteri ginjal. Digunakan untuk memeriksa arteri
ginjal utama atau cabangnya untuk mendeteksi adanya penyempitan atau
okulasi dan untuk mengefaluasi adanya massa (cnth: neoplasma atau
kista)
5. Sitoure Terogram Pengosongan (volding cystoureterogram) : Pengisian
kandung kemih dengan zat kontras melalui kateter. Diambil foto saluran kemih
bagian bawah sebelum, selama dan sesudah mengosongkan kandung kemih.
Kegunaannya untuk mencari adanya kelainan uretra (misal, stenosis) dan
untuk menentukan apakah terdapat refleks fesikoreta.
6. Arteriogram Ginjal : Memasukan kateter melalui arteri femonilis dan aorta
abdominis sampai melalui arteria renalis. Zat kontras disuntikan pada tempat
ini, dan akan mengalir dalam arteri renalis dan kedalam cabang-cabangnya.
7. Indikasi :
a. Melihat stenosis renalis yang menyebabkan kasus hiperrtensi
b. Mendapatkan gambaran pembuluh darah suatuneoplasma
c. Mendapatkan gambaran dan suplai dan pengaliran darah ke daerah
korteks, untuk pengetahuan pielonefritis kronik.
d. Menetapkan struktur suplai darah ginjal dari donor sebelum melakukan
tranplantasi ginjal.
8. Pemeriksaan Urine : Hal yang dikaji adalah warna,kejernihan, dan bau urine.
Untuk melihat kejanggalan dilakukan pemeriksaan protein, glukosa, dll.
9. Tes Darah : Hal yang di kaji BUN,bersih kreatinin, nitrogen non protein,
sistoskopi, intravenus, pyelogram.

F. PENATALAKSANAAN MEDIS
1. Pengumpulan Urine untuk bahan pemeriksaan. Mengingat tujuan pemeriksaan
berbeda-beda, maka pengambilan sampel urine juga dibeda-bedakan sesuai
dengan tujuannya
2. Menolong untuk buang air kecil dengan menggunakan urinal. Menolong BAK
dengan menggunakan urinal merupakan tindakan keperawatan dengan
membantu pasien yang tidak mampu BAK sendiri dikamar kecil dengan
menggunakan alat penampung dengan tujuan menampung urine dan
mengetahui kelainan urine berupa warna dan jumlah urine yang dikeluarkan
pasien.
3. Melakukan kateterisasi. Kateterisasi kandung kemih adalah dimasukkannya
kateter melalui urethra ke dalam kandung kemih untuk mengeluarkan air seni
atau urine.

G. ASUHAN KEPERWATAN
1. PENGKAJIAN
Pengkajian pada kebutuhan elimiasi urine meliputi :
a. Kebiasaan berkemih
Pengkajian ini meliputi bagaimana kebiasaan berkemih serta hambatannya.
Frekuensi berkemih tergantung pada kebiasaan dan kesempatan.
b. Pola berkemih
 Frekuensi berkemih menentukan berapa kali individu berkemih dalam
waktu 24 jam.
 Urgensi dimana perasaan seseorang untuk berkemih seperti seseorang
ke toilet karena takut mengalami inkotinensia jika tidak berkemih.
 Disuria dimana keadaan rasa sakit atau kesulitan saat berkemih.
 Poliuria dimana keadaan produksi yang abnormal.
 Urinaria supresi adalah keadaan produksi urine yang berhenti secara
mendadak.
c. Volume urine menentukan berapa jumlah urine dalam waktu 24 jam.
d. Faktor yang mempengaruhi kebiasaan berkemih seperti berikut:
 Diet dan asupan (diet tinggi protein dan natrium
 Gaya hidup
 Stres psikologi dapat meningkatkan frekuensi keinginan berkemih
 Tingkat aktivitas
e. Keadaan urine meliputi :
 Warna
 Bau
 Berat jenis
 Kejernihan
 pH
 protein
 darah
 glukosa
f. tanda klinis gangguan eliminasi urine seperti retensi urine , inkontinensia urine

2. DIAGNOSA KEPERAWATAN
a. Gangguan eliminasi urine b/d gangguan sensori motorik, infeksi
saluran kemih
b. Inkontinensia urinarius fungsional b/d gangguan fungsi kognisi, faktor
perubahan lingkungan, gangguan psikologi, kelemahan struktur
panggul, keterbatasan neuromuskular
c. Inkontinensia urine aliran berlebihan b/d disenergia sfingter eksternal,
obstruksi ureter, program pengobatan
d. Inkontinensia urine refleks b/d gangguan neurologis diatas lokasi pusat
mikturisi pontine dan mikturisi sakral
e. Inkontinensia urine stres b/dndefisiensi sfingter uretra intrinsik,
peningkatan tekanan intraabdomen
f. Inkontinensia urine dorongan b/d infeksi kandung kemih, program
pengobatan
g. Retensi urine b/d sfingter kuat, sumbatan saluran perkemihan, tekanan
ureter tinggi.
h. Risiko terjadinya infeksi saluran kemih b/d pemasangan kateter,
kebersihan perineum yang kurang.

3. PERENCANAAN KEPERAWATAN
Tujuan :
a. Memahami arti eliminasi urine
b. Membantu mengosongkan kandung kemih secara penuh
c. Mencegah infeksi
d. Mempertahankan integritas kulit
e. Memberikan rasa nyaman
f. Mengembalikan fungsi kandung kemih
g. Memberikan asupan secara tepat
h. Mencegah kerusakan kulit
i. Memulihkan self esteem atau mencegah tekanan emosional
Rencanakan Tindakan :
 monitor/obervasi perubahan faktor, tanda dan gejala terhadap masalah
perubahan eliminasi urine, retensi dan urgensia
 kurangi faktor yang mempengaruhi/penyebab masalah
 monitor terus perubahan retensi urine
 lakukan kateterisasi urine
a. Inkontinensia dorongan
1. pertahankan hidrasi secara optimal
2. ajarkan untuk meningkatkan kapasitas kandung kemih dengan cara
3. ajarkan pola berkemih terencana (untuk mengatasi kontraksi kandung
kemih yang tidak biasa)
4. anjurkan berkemih pada saat terjaga seperti setelah makan, latihan
fisik, mandi
5. anjurkan untuk menahan sampai waktu berkemih
6. lakukan kolaborasi dengan tim dokter dalam mengatasi iritasi
kandung kemih
b. Inkontinensia total
1. pertahankan jumlah cairan dan berkemih
2. rencanakan program kateterisasi intermiten apabila ada indikasi
3. apabila terjadi kegagalan pada latihan kandung kemih pertimbangan
untuk pemasangan kateter indweeling
c. Inkontinensia stress
1. Ajarkan untuk mengidentifikasi otot dasar pelviks dan kekuatan dan
kelemahannya saat melakukan latihan
2. Untuk otot dasar pelviks anterior bayangkan anda mencoba
menghentikan aliran urine, kencangkan otot-otot belakang dan
depan dalam waktu 10 detik, kemudian lepaskan atau rileks, ulangi
hingga 10 kalidan lakukan 4 kali sehari
3. Meningkatkan tekanan abdomen dengan cara :
 Latih untuk menghindari duduk lama
 Latih untk sering berkemih sedikitnya tiap 2 jam.
d. Inkontinensia fungsional
1. ketuk supra pubis secara dalam, tajam dan berulang
2. anjurkan pasien untuk posisi setengah duduk
3. mengetuk kandung kemih secara langsug denga rata-rata 7 – 8 kali
seiap detik
4. gunakan sarung tangan
5. pindahkan sisi rangsangan di atas kandung kemih untuk
menentukan posisi saling berhasil lakukan hingga aliran baik
6. tunggu kurang lebih 1 menit dan ulangi hingga kandung kemih
kosong
7. apabila rangsangan dua kali lebih dan tidak ada respon, berarti
sudah tidak ada lagi yang dikeluarkan.
4. EVALUASI
Evaluasi keperaatan terhadap gangguan kebutuhan eliminasi urine secara umum
dapat dinilai dari adanya kemampuan dalam :
a. miksi dengan normal, ditunjukkan dengan kemampuan berkemih
sesuai dengan asupan cairan dan pasien mampu berkemih tanpa
menggunakan obat, kompresi pada kandung kemih atau kateter.
b. mengosongkan kandung kemih, ditunjukkan dengan berkurannya
distensi, volume urine residu, dan lancarnya kepatenan drainase
c. mencegah infeksi/ bebas dari infeksi, ditunjukkan dengan tidak adanya
infeksi, tidak ditemukan adanya disuria, urgensi, frekuensi, dan rasa
terbakar
d. mempertahankan intergritas kulit, ditunjukkan dengan adanya perineal
kering tanpa inflamasi an kulit di sekitar uterostomi kering.
e. memnerikan pasa nyaman, ditunjukkan dengan berkurangnya disuria,
tidak ditemukan adanya distensi kandung kemih dan adanya ekspresi
senang.
f. Melakukan Bladder training, ditunjukkan dengan berkurangnya
frekuensi inkontinensia dan mampu berkemih di saat ingin berkemih.

2. ELIMINASI ALVI
A. DEFINISI
Eliminasi alvi (buang air besar) merupakan proses pengosongan usus.
Terdapat dua pusat yang menguasai refleks untuk buang air besar yang terletak di
medulla dan sumsum tulang belakang. (A.Aziz, 2008 : 71)
Sistem tubuh yang memiliki peran dalam proses eliminasi alvi (buang air
besar) adalah sistem gastrointestinal bawah yang meliputi usus halus dan usus
besar. Usus halus terdiri atas duodenum, jejunum, dan ileum dengan panjang
kurang lebih 6 meter dan diameter 2,5 cm, serta berfungsi sebagai tempat absorpsi
elektrolit Na, Cl, K, Mg, HCO3, dan kalsium. Usus besar dimulai dari rectum,
kolon, hingga anus yang memiliki panjang kurang lebih 1,5 meter atau 50- 60 inci
dengan diameter 6 cm. Usus besar merupakan bagian bawah atau bagian ujung
dari saluran pencernaan, dimulai dari katup ileum caecum sampai ke dubur (anus).

B. ETIOLOGI dan FAKTOR RISIKO


Penyebab utama timbulnya inkontinensia alvi adalah masalah sembelit, diare,
penggunaan pencahar yang berlebihan, gangguan saraf seperti demensia dan strok
serta gangguan kolorektum seperti diare, neuropati diabetik, dan kerusakan
sfingter rektum. Inkontinensia alvi bisa terjadi karena sfingter anus yang lemah
dikaitkan dengan penuaan atau cedera pada saraf dan otot-otot rektum dan anus.
Inkontinensia alvi bisa terjadi selama serangan diare atau jika feses yang keras
terperangkap di rektum (impaksi tinja).
Faktor yang mempengaruhi eliminasi alvi
1. Usia
Setiap tahap perkembangan/usia memiliki kemampuan mengontrol proses
defekasi yang berbeda. Bayi belum memiliki kemampuan mengontrol sec;ara
penuh dalam buang air besar, sedangkan orang dewasa sudah memiliki
kemampuan mengontrol secara penuh, kemudian pada usia lanjut proses
pengontrolan tersebut mengalami penurunan.
2. Diet
Diet atau pola atau jenis makanan yang dikonsumsi dapat meme:ngaruhi
proses defekasi. Makanan yang memiliki kandungan serat tinggi dapat
membantu proses percepatan defekasi dan jumlah yang dikonsumsi pun
dapat memengaruhinya.
3. Asupan cairan
Pemasukan cairan yang kurang dalam tubuh membuat defekasi menjadi keras
oleh karena proses absorpsi air yang kurang sehingga dapat memengaruhi
kesulitan proses defekasi.
4. Aktivitas
Aktivitas dapat memengaruhi proses defekasi karena melalui aktivitas tonus
otot abdomen, pelvis, dan diafragma dapat membantu keelancaran proses
defekasi, sehingga proses gerakan kelancaran proses defekasi.
5. Pengobatan
Pengabatan juga dapat me:mengaruhinya proses defeekasi seperti pengunaan
obat-obatan laksatif atau antasida yang terlalu sering.
6. Gaya Hidup
Kebiasaan atau gaya hidup dapat memengaruhi proses defe:kasi. I-lal ini
dapat terlihat pada seseorang yang memiliki gaya hidup se hat/kebiasaan
melakukan buang air besar ditempat yang bersih atau toilet, maka ketika
seseorang terse:but buang air besar ditempat yang terbuka atau tempat yang
kotor maka ia akan mengalami kesulitan dalam proses defekasi.
7. Penyakit
Beberapa penyakit dapat memengaruhi proses defekasi, biasanya penyakit
penyakit tersebut berhubungan langsung dengan sistem pencernaan seperti
gastroenteristis atau penyakit infeksi lainya.
8. Nyeri
Adanya nyeri dapat memengaruhi kemampuan/keinginan untuk berdefekasi
seperti nyeri pada kasus hemoroid, dan episiotomi.
9. Kerusakan Sensoris dan Motoris
Kerusakan pada sistem sensoris dan motoris dapat memengaruhi proses
defekasi karena dapat menimbulkan proses penurunan stimulasi sensoris
dalam berdefekasi. Hal tersebut dapat diakibatkan karena kerusakan pada
tulang belakang atau kerusakan saraf lainnya.
C. MANIFESTASI KLINIS
Berikut adalah beberapa gejala dari eliminasi urine antara lain :
1. Diare
2. Nyeri atau kejang abdomen
3. Kadang disertai darah atau mukus
4. Kadang vomitus atau nausea
5. Bila berlangsung lama dapat mengakibatkan terjadinya kelemahan dan kurus
6. Gelisah
7. Rewel
8. Nafsu makan menurun
9. Tinja padat, keras, kering
10. Volume darah akan berkurang sehingga nadi lebih cepat dan kecil
11. TD menurun, dan kesadaran juga menurun

D. PATOFISIOLOGI
Defekasi adalah pengeluaran feses dari anus dan rektum. Hal ini juga disebut
bowel movement. Frekwensi defekasi pada setiap orang sangat bervariasi dari
beberapa kali perhari sampai 2 atau 3 kali per minggu.Banyaknya feses juga
bervariasi setiap orang. Ketika gelombang peristaltik mendorong feses kedalam
kolon sigmoid dan rektum, saraf sensoris dalamrektum dirangsang dan individu
menjadi sadar terhadap kebutuhan untuk defekasi.
Defekasi biasanya dimulai oleh dua refleks defekasi yaitu refleksdefekasi
instrinsik. Ketika feses masuk kedalam rektum, pengembangan dinding rektum
memberi suatu signal yang menyebar melalui pleksusmesentrikus untuk memulai
gelombang peristaltik pada kolon desenden, kolonsigmoid, dan didalam rektum.
Gelombang ini menekan feses kearah anus.Begitu gelombang peristaltik
mendekati anus, spingter anal interna tidak menutup dan bila spingter eksternal
tenang maka feses keluar.Refleks defekasi kedua yaitu parasimpatis. Ketika serat
saraf dalam rektum dirangsang, signal diteruskan ke spinal cord (sakral 2 – 4) dan
kemudian kembali ke kolon desenden, kolon sigmoid dan rektum. Sinyal – sinyal
parasimpatis ini meningkatkan gelombang peristaltik, melemaskan spingter anus
internal dan meningkatkan refleks defekasi instrinsik. Spingter anus individu
duduk ditoilet atau bedpan, spingter anus eksternal tenangdengan
sendirinya.Pengeluaran feses dibantu oleh kontraksi otot-otot perut
dandiaphragma yang akan meningkatkan tekanan abdominal dan oleh kontraksi
muskulus levator ani pada dasar panggul yang menggerakkan feses melalui
saluran anus. Defekasi normal dipermudah dengan refleksi paha yang
meningkatkan tekanan di dalam perut dan posisi duduk yang meningkatkan
tekanan kebawah kearah rektum. Jika refleks defekasi diabaikan atau jika defekasi
dihambat secara sengaja dengan mengkontraksikan muskulusspingter eksternal,
maka rasa terdesak untuk defekasi secara berulang dapat menghasilkan rektum
meluas untuk menampung kumpulan feses. Cairan fesesdi absorpsi sehingga feses
menjadi keras dan terjadi konstipasi.
E. PEMERIKSAAN PENUNJANG
1. Pemeriksaan USG
2. Pemeriksaan foto rontgen
3. Pemeriksaan laboratorium urin dan feses

F. PENATALAKSANAAN MEDIS
1. Pengambilan cairan dan elektrolit yang hilang (rehidrasi). Cairan yang dapat
diberikan adalah : Ringer Laktat (RL), dan larutan NaCl 0,9 % : Natrium
Bikarabonat = 2 : 1, dengan tambahan KCl 3 X 1 gram secara oral.
2. Setelah diagnosis ditegakkan, maka rehidrasi dapat dilakukan menurut
penilaian keadaan dehidrasi : Pada keadaan syokk atau pre syok cairan
diberikan dengan memakai rumus : Skor / 15 X B X 10 % X 1 liter
Jumlah cairan ini diberikan dalam waktu 2 jam kemudian diikuti dengan
pemberian sebanyak pengeluaran selama 2 jam sebelumnya.
3. Bila setelah 3 jam syok di atasi, maka berikan cairan elektrolit peroral. Bila
masih keadaan syok / presyok maka skema di atas di ulang
4. Menyiapkan feses untuk bahan pemeriksaan dengan cara perawat mengambil
contoh feses langsung dari anus pasien yairu dengan memasukan jari kedalam
anus pasien, atau jika pasien dapat buang air besar sendiri maka pasien
diminta mengambil sedikit sempel fesesnya dan d masukan ke dalam tabung
kusus
5. Menolong buang air besar dengan menggunakan pispot
6. Memberikan huknah rendah atau tinggi
7. Memberikan gliserin

G. ASUHAN KEPERAWATAN
1. PENGKAJIAN
a. Pola defekasi dan keluhan selama defekasi. Pengkajian ini antar lain :
bagaimana pola defekasi dan keluhannya selama defekasi. Secara normal,
frekuensi buang air besar, sedangkan pada bayi sebanyak 4-6 kali/hari,
sedangkan orang dewasa adalah 2-3 kali/hari dengan jumlah rata-rata
pembuangan per hari adalah 150 g.
b. Keadaan feses
c. Faktor yang memengaruhi eliminasi alvi. Faktor yang memengaruhi eliminasi
alvi antara lain perilaku atau kebiasaan defekasi, diet,pola makan sehari-hari,
aktivitas, penggunaan obat, stress, fekasi, diet,pola makan sehari-hari,
aktivitas, penggunaan obat, stress, pembedahan atau penyakit menetap, dn
lain-lainnya.
d. Pemeriksaan fisik.
e. Pemeriksaan fisik meliputi keadaa abdomen seperti ada atau tindaknya
distensi, simetris atau tidak, gerakan peristaltic, adanya massa pada perut, dan
tenderess.kemudian , pemeriksaan rektum dan anus dinilai dari ada atau
tidaknya tanda imflamasi, seperti perubahan warna, lesi, fistula, hemorrhoid.
2. DIAGNOSA KEPERAWATAN
a. Konstipasi berhubugan dengan : penurunan respons berdefekasi, defek
persyarafan, kelemahan pelvis, imobilitas akibat cedera medulla spinalis, dan
CVA.
b. Konstipasi kolonik berhubunga dengan : penurunan laju metabolisme akibat
hipotiroidime atau hipertiroidisme.
c. Konstipasi dirasakan berhubungan degan : penilaian salah akibat
penyimpangan susunan syaraf pusat, depresi, kelainan obsesif kompulsif dan
kurangnya informasi akibat keyakinan budaya.
d. Diare berhubugan dengan : peningkatan peristaltik akibat peningkatan
metabolisme stres psikologis.
e. Ikontinensia usus berhubungan dengan : gagguan sfigter rectal akibat cedera
rectum atau tindakan pembedahan,distensi rectum akibat konstipasi kronis.
f. Kurangnya volume berhubungan dengan pengeluaran cairan yang berlebihan
(diare).

3. PERENCANAAN KEPERAWATAN
Tujuan :
a. Memahami arti eliminasi secara normal.
b. Mempertahankan asupa makanan dan minuman cukup.
c. Membantu latihan secara teratur.
d. Mempertahankan kebiasaan defekasi secara teratur .
e. Mempertahankan defekasi secara normal.
f. Mencegah gagguan integritas kulit.

Rencana Tindakan :
1. Konstipasi secara umum :
• Membiasakan pasien untuk buang air secara teratur,misalnya pergi ke kamar
mandi satu jam setelah makan pagidan tinggal di sana sampai ada keinginan
untuk buang air.
• Meningkatkan asupan cairan dengan banyak minum.
• Diet yanag seimbang dan makan bahan makanan yang banyak mengandung
serat.
• Melakukan latihan fisik, misalya melatih otot perut
• Mengatur posisi yang baik untuk buang air besar,sebaiknya posisi duduk
dengan lutut melentur agar otot punggung dan perut dapat membantu
prosesnya.
• Anjurkan agar tidak memaksakan diri dalam buang besar.
• Berikan obat laksantif, misalnya Dulcolax atau jenis obat supositoria.
• Lakukan enema (huknah).
2. Konstipasi akibat nyeri :
• Tingkatkan asupan cairan.Diet tinggi serat.
• Tingkatkan latihan setiap hari .
• Berikan pelumas di sekitar anus untuk mengurangi nyeri.
• Kompres dingin sekitar anus untuk mengurangi rasa gatal.
• Rendam duduk atau mandi di bak dengan air hangat (43-46 derajat
celcius,selama 15menit) jika nyeri hebat.
• Berikan pelunak feses.Cegah duduk lama apabila hemoroid, dengan cara
berdiri tiap 1 jam kurang lebih 5-10 menit untuk menurunkan tekanan .
3. Konstipasi kolonik akibat perubahan gaya hidup.
• Beriksn stimulus untuk defekasi, seperti mium kopi atau jus.Bantu pasien
untuk menggunakan pispot bila memungkinkan .
• Gunakan kamar mandi daripada pispot bila memungkinkan.
• Ajarkan latihan fisik dengan memberikan ambulasi, latihan rentang gerak, dan
lain-lain.
• Tingkatkan diet tinggi serat seperti buah dan sayuran.
4. Inkontinensia Usus.
• Pada waktu tertentu , setiap 2 atau 3 jam, letakkan pot di bawah pasien.
• Berikan latihan buang air besar dan anjurkan pasien untuk selalu berusaha
latihan.
• Kalau inkontinensia hebat, diperlukan adanya pakaian dalam yang lembab,
supaya pasien dan sprei tidak begitu kotor.
• Pakai laken yang dapat dibuang dan menyenangkan untuk dipakai .
• Untuk mengurangi rasa malu pasien, perlu didukung semangat pengertian
perawatan khusus.
5. Jelaskan mengenai eliminasi yang normal kepada pasien.
6. Pertahankan asupan makanan dan minuman.
7. Bantu defekasi secara manual.
8. Bantu latihan buang air besar, dengan cara :
• Kaji pola eliminasi normal dan cacat waktu ketika inkontinensia terjadi.
• Pilih waktudefekasi untuk mengukur kontrolnya.
• Berikan obat pelunak feses (oral) setiap hari atau katartik supositoria setengah
jam sebelum waktu defekasi ditentukan.
• Anjurkan pasien untuk minum air hangat atau jus buah sebelum waktu
defekasi.
• Bantu pasien ke toilet ( program ini kurang efektif jika pasien menggunakan
pispot ).
• Jaga privasi pasien dan batasi waktu defekasi ( 15-20 menit).
• Intruksikan pasien untuk duduk di toilet, gunakan tangan untuk menekan perut
terus ke bawah dan jangan mengedan untuk merangsang pengeluaran feses.
• Jangan dimarahi ketika pasien tidak mampu defesika.
• Anjurkan makan secara teratur dengan asupan air anserat yangadekuat.
• Pertahankan latihan secara teratur jika fisik pasien mampu.

4. EVALUASI
Evaluasi terhadap masalah kebutuhan eliminasi alvi dapat dinilai dengan adanya
kemampuan dalam:
1. Memahami cara eliminasi yang normal.
2. Mempertahankan asupan makanan dan minuman cukup yang dapat ditunjukkan
dengan adanya kemampuan dalam merencanakan pola makan, seperti makan
dengan tinggi atau rendah serat (tergantung dari tendensi diare/ konstipasi serta
mampu minum 2000- 3000 ml).
3. Melakukan latihan secara teratur, seperti rentang gerak atau aktivitas lain (jalan,
berdiri, dan lain- lain).
4. Mempertahankan defekasi secara normal yang ditunjukkan dengan kemampuan
pasien dalam mengontrol defekasi tanpa bantuan obat/ enema, berpartisipasi
dalam program latihan secara teratur, defekasi tanpa harus mengedan.
5. Mempertahankan rasa nyaman yang ditunjukkan dengan kenyamanan dalam
kemampuan defekasi, tidak terjadi bleeding, tidak terjadi inflamasi, dan lain-
lain.
6. Mempertahankan integritas kulit yang ditunjukkan dengan keringnya area
perianal, tidak ada inflamasi atau ekskoriasi, keringnya kulit sekitar stoma, dan
lain- lain.
DAFTAR PUSTAKA

Tarwoto & Wartonah. (2010). Kebutuhan Dasar Manusia Dan Proses Keperawatan. Edisi 4.
Salemba Medika : Jakarta

Kozier,Erb,Berman,Snyder,2011.Buku Ajar Fundamental Keperawatan Edisi 7 Volume 2.


EGC: Jakarta

Mubarok,Chayatin,2008.Buku Ajar Kebutuhan Dasar Manusia.EGC: Jakarta

Alimul, Aziz. 2012.Pengantar Kebutuhan Dasar Manusia. Aplikasi Konsep dan Proses
Keperawatan. Jakarta: EGC

Potter dan Perry. 2006. Buku Ajar Fundamental Keperawatan Edisi 4 Volume 2. EGC:
Jakarta

Anda mungkin juga menyukai