Anda di halaman 1dari 35

PERAN MALAYSIA TERHADAP KETERSEDIAAN TENAGA LISTRIK DI

KALIMANTAN BARAT SEBAGAI IMPLEMENTASI PROGRAM


ASEAN POWER GRID

Disusun untuk memenuhi persyaratan Pertemuan Nasional Mahasiswa Hubungan Internasional


ke-XXX Universitas Jendral Soedirman chamber Diskusi Ilmiah

Oleh:

Dinda Nur Fitriyani – 162030173

Anisa Suci Lestari – 172030137

PROGRAM STUDI HUBUNGAN INTERNASIONAL


FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS PASUNDAN BANDUNG
2018-2019
KATA PENGANTAR

Segala puji dan syukur hanya bagi Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat , kekuatan
dan cahaya petunjuk –Nya. Atas izinnya kami dapat menyelesaikan tulisan yang berjudul “Peran
Malaysia Terhadap Ketersediaan Tenaga Kelistrikan Kalimantan Barat Sebagai
Implementasi Program ASEAN Power Grid”. Tulisan ini diajukan untuk mengikuti Pertemuan
Nasional Mahasiswa Hubungan Internasional Indonesia. Dalam proses kami sebagai penyusun
tulisan ini menghadapi berbagai kesulitan. Hal ini dikarenakan kesulitan dalam menemukan buku
dan sumber lainnya. Tapi dengan bantuan dari Allah SWT, dosen pembimbing dan dukungan dari
keluarga, tulisan ini dapat diselesaikan.

Kami akui masih banyak kekurangan dalam penulisan, tulisan ini. Oleh karena itu
diharapkan kepada para pembaca untuk memberikan masukan-masukan yang bersifat membangun
untuk memperbaiki tulisan yang kami susun. Semoga tulisan ini membantu menambah
pengetahuan dan pengalaman bagi para pembaca, khususnya bagi kelompok kami sendiri.

Bandung, November 2018

ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ................................................................................................................................. ii


DAFTAR ISI............................................................................................................................................... iii
ABSTRAK .................................................................................................................................................. iv
Abstract ......................................................................................................................................................... v
BAB I ............................................................................................................................................................ 1
1.1 Latar Belakang ............................................................................................................................ 1
1.2 Pembatasan Masalah .................................................................................................................. 3
1.3 Identifikasi Masalah ................................................................................................................... 3
1.4 Rumusan Masalah ...................................................................................................................... 4
1.5 Landasan Teori Konseptual ....................................................................................................... 4
1.5.1 Perspektif Neoliberalisme................................................................................................... 4
1.5.2 Konsep Kerjasama Bilateral .............................................................................................. 5
1.5.3 Positive Sum Game dalam Non-Zero Sum Game ............................................................... 6
1.6 Manfaat Penulisan ...................................................................................................................... 7
1.7 Tujuan Penulisan ........................................................................................................................ 7
1.8 Metodologi penelitian ................................................................................................................. 7
BAB II .......................................................................................................................................................... 8
2.1 Kondisi Ketenagalistrikan di Kalimantan Barat dan Sarawak .............................................. 8
2.2 Kebijakan Pemerintah dalam permasalahan ketenagalistrikan Kalimantan Barat .......... 11
2.3 Peran proyek ASEAN Power Grid dalam membangun ketersediaan energi listrik .......... 13
BAB III....................................................................................................................................................... 15
3.1 Kesimpulan ................................................................................................................................ 15
3.2 Saran .......................................................................................................................................... 15
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................................................................ 17
Lampiran …………………………………………………………………………………………………………………………………………… 21

iii
ABSTRAK
ASEAN merupakan kawasan dengan permintaan energi listrik dari negara-negara
anggotanya yang terus meningkat setiap tahunnya. Namun permintaan tersebut, tidak diiringi oleh
kemampuan beberapa negara dalam mengelola energi listrik di negara nya sehingga masih ada
negara anggota ASEAN yang kerap mengalami permasalahan ketenagalistrikan. Untuk
menanggulangi hal tersebut, ASEAN menginisiasi sebuah program interkoneksi tenaga listrik
regional yang dinamakan dengan ASEAN Power Grid, dimana program tersebut merupakan
bagian dari kerjasama ekonomi ASEAN. ASEAN Power Grid sendiri memiliki 16 proyek yang
dibangun di beberapa wilayah di negara-negara ASEAN, dimana empat diantaranya merupakan
interkoneksi Indonesia bersama negara tetangga seperti Malaysia dan Singapura. Diantara keempat
proyek tersebut, yang telah direalisasikan yakni proyek interkoneksi Kalimantan Barat – Sarawak.

Dalam karya tulis ini, kami akan berusaha menjelaskan bagaimana peran interkoneksi
Kalimantan Barat – Sarawak dalam peningkatan ketersediaan listrik dimana kami menggunakan
tiga landasan teori untuk membantu dalam proses analisis. Landasan teori tererbut diantaranya
yakni perspektif neoliberalisme dimana perspektif ini menunjukan peran ASEAN sebagai institusi
internasional yang berpengaruh dalam inisiasi APG. Landasan berpikir selanjutnya yakni konsep
bilateral dimana menunjukan hubungan antara Indonesia dan Malaysia sebagai negara yang
terlibat dalam proyek interkoneksi Kalimantan Barat – Sarawak. Dan unruk landasan berpikir yang
terakhir yakni positive sum game dalam non-zero sum game dimana menunjukan bahwa kerjasama
dalam interkoneksi ini menguntungkan kedua belah pihak, baik Kalimantan Barat maupun
Sarawak.

Karya tulis ini akan terbagi menjadi tiga bab. Bab pertama akan membahas secara singkat
hal-hal yang melatarbelakangi ASEAN membentuk program ASEAN Power Grid, pemaparan
mengenai landasan teori yakni perspektif neoliberalisme, konsep bilateral dan positive sum game
dalam zero sum game, dalam bab ini juga tertuang identifikasi masalah yang kami ajukan. Pada
bab ke dua akan dipaparkan pembahasan dari identifikasi masalah yang kami ajukan pada bab
sebelumnya. Serta pada Bab ke tiga berisi kesimpulan dan saran.

Kata Kunci : Kalimantan Barat, Sarawak, ASEAN Power Grid, Interkoneksi

iv
Abstract

ASEAN is an area with the demand for electricity from member countries increasing
every year. However, the ability of several ASEAN member countries to manage electricity is still
lacking and often has electricity problems. To overcome, ASEAN initiated a regional electric
power interconnection program called the ASEAN Power Grid, as part of ASEAN economic
cooperation consisting of 16 projects built in several regions in ASEAN countries. Four of them
are Indonesian interconnections with neighboring countries such as Malaysia and Singapore.
Among the four projects, which have been realized are the West Kalimantan - Sarawak
interconnection project.
In this case the authors tells how the role of West Kalimantan - Sarawak interconnection
to increase the availability of electricity uses three theoretical foundations to assist in the analysis
process. In the theory foundation that is neoliberalism to show the role ASEAN as an international
institution proven in APG initiation. The next foundation of thinking is the bilateral concept which
shows the relationship between West Kalimantan – Serawak. The last foundation of thinking is the
positive sum game in a non-zero sum game which shows that the collaboration in interconnection
benefits in the both parties, either West Kalimantan or Sarawak.

This paper divided into three chapters. The first chapter, briefly discuss the things of the
background of ASEAN to make the ASEAN Power Grid program, with exposure the theoretical
basis of the neoliberalism perspective, bilateral concept, and positive sum game in the zero sum
game, in this chapter stated to the identification of the problem we submitted. The second chapter
explained the discussion of problem identification. For the third chapter contains conclusions and
suggestions

Keywords : West Kalimantan, Serawak, ASEAN Power Grid, Interconnection

v
PERAN MALAYSIA TERHADAP KETERSEDIAAN TENAGA LISTRIK DI
KALIMANTAN BARAT SEBAGAI IMPLEMENTASI PROGRAM
ASEAN POWER GRID

BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Energi Listrik merupakan salah satu energi yang tidak dapat dipisahkan dari kehidupan
manusia, terutama dalam membantu seluruh pekerjaan mereka. Dalam konteks negara, listrik
merupakan energi yang memiliki peranan penting, bahkan dapat menjadi tolak ukur atas
keberhasilan negara tersebut. Berbagai hal seperti aktivitas perekonomian, sosial, bahkan hal-
hal kecil didalam aktivitas rumah tangga pun sangat bergantung akan hadirnya listrik. Besarnya
produksi listrik selama kurun waktu yang telah ditentukan dapat memberi gambaran besarnya
pasokan listrik dalam pemenuhan kebutuhan listrik nasional. Walaupun demikian tidak semua
negara mampu memenuhi kebutuhan listrik di negara nya(subpressed demand).1
Indonesia merupakan negara yang kerapkali mengalami krisis listrik, peningkatan kebutuhan
daya listrik yang tidak diimbangi dengan peningkatan ketersediaan pembangkit listrik menjadi
faktor utama dalam permsalahan ketenagalistrikan di Indonesia padahal, Indonesia merupakan
negara yang kaya akan sumber daya alamnya di antara negara kawasan Asia tenggara,
terutama sumber primer bagi bahan bakar pembangkit listrik seperti batu bara, minyak bumi
dan gas alam, namun karena kurangnya kemampuan dalam pengolahan energi, maka
berdasarkan tingkat penggunaan listrik per kapita, Indonesia merupakan salah satu negara
yang rendah di kawasannya Sebagai faktor lain, jika dilihat dari sisi geografis, Indonesia
merupakan negara yang terdiri dari beberapa pulau yang dipisahkan oleh perairan laut yang luas.
Hal tersebut tentu akan mengakibatkan terjadinya kendala dalam tranfer energi ke daerah yang
sulit terjangkau dikarenakan logistik yang tidak memadai atau bahkan keterjangkauan
lingkungan tersebut sulit sehingga dapat menimbulkan defisit listrik. Salah satu dampak dari
defisit listrik adalah terjadinya pemadaman listrik di beberapa titik, tentunya ini dapat
menimbulkan terhambat berbagai aktivitas, termasuk aktivitas ekonomi dimana dunia usaha

1
Moch. Muchlis dan Adhi Darma Permana, “Proyeksi Kebutuhan Listrik PLN tahun 2003 sampai 2020”, diakses
dari http://www.oocities.org/markal_bppt/publish/slistrk/slmuch.pdf, pada 31 Oktober 2018

1
dapat mengalami stagnasi dalam menjalankan usahanya. Ironi nya lagi, beberapa daerah
terpencil masih kesulitan untuk memiliki akses terhadap listrik. Masalah tersebut dikarenakan
jarak antara tempat tinggal penduduk yang berjauhan dan pembangunan yang tidak merata.
Dalam upaya memenuhi kebutuhan listrik tersebut, selain dari membangkitkan sendiri, PLN
membeli listrik dari pembangkit listrik swasta, atau koperasi2.
Berdasarkan Undang-Undang Republik Indonesia no.30 tahun 2009, dinyatakan bahwa
pembangunan ketenagalistrikan bertujuan untuk menjamin ketersediaan tenaga listrik dalam
jumlah yang cukup, kualitas yang baik, dan harga yang wajar dalam rangka meningkatkan
kesejahteraan dan kemakmuran rakyat secara adil dan merata serta mewujudkan pembangunan
yang berkelanjutan.3
Dalam konteks regional, Indonesia beserta sembilan negara lainnya4 yang tergabung dalam
Association of Southeast Asian Nations (ASEAN)5 mencanangkan sebuah inisiasi yang
dinamakan ASEAN Power Grid (APG)6 untuk membangun sebuah interkoneksi listrik regional,
mengingat listrik merupakan salah satu kunci agar terealisasinya pilar ASEAN Economic
Community yang menyerukan agar negara yang tergabung dalam ASEAN terkoneksi dengan
baik untuk menggerakan wilayah yang terintegrasi, kompetitif dan tangguh, serta mengingat
terus meningkatnya kebutuhan listrik di ASEAN serta tidak meratanya ketersediaan listrik yang
diakibatkan seperlima penduduk di wilayah tersebut tidak memiliki akses terhadap listrik.7
Kerjasama energi listrik juga merupakan bentuk kesadaran ASEAN akan ekonomi di Asia
Tenggara yang semakin berkembang. Hingga pada akhirnya kerjasama ini diharapkan dapat
mendukung terwujudnya Masyarakat Ekonomi ASEAN 2015.
APG merupakan program yang dimandatkan oleh para Kepala Negara ASEAN yang
bertujuan guna mencapainya integrasi ekonomi ASEAN, yaitu meciptakan kawasan ekonomi
regional yang berdayasaing tinggi dibidang infrastructure development, energy cooperation,
ICT, dan pengembangan UKM.8 Memorandum of Understanding (MoU) program APG telah

2
Moch. Muchlis dan Adhi Darma Permana, “Proyeksi Kebutuhan Listrik PLN tahun 2003 sampai 2020”, diakses
dari http://www.oocities.org/markal_bppt/publish/slistrk/slmuch.pdf, pada 31 Oktober 2018
3
Undang-Undang no.30 tahun 2009 tentang ketenagalistrikan
4
Filipina, Malaysia, Singapura, Thailand, Brunei Darussalam, Vietnam, Laos, Myanma, dan Kamboja
5
Association of Southeast Asian Nations selanjutnya akan disingkat menjadi ASEAN
6
ASEAN Power Grid selanjutnya akan disingkat menjadi APG
7
INDOCOMPAC, 2016, “Posisi Indonesia pada Kerjasama Energi Regional dalam Memasuki Era Masyarakat
Ekonomi ASEAN Studi Kasus : ASEAN Power Grid”
8
Direktorat Jendral Kerjasama ASEAN Departemen Luar Negeri Indonesia, 2012, “ASEAN Selayang Pandang”,
Jakarta Pusat

2
ditandatangani oleh para Menteri Energi pada bulan maret 2007 yang telah diratifikasi melalui
Perpres Nomor 77 Tahun 2008 tentang pengesahan MoU APG.9
Sebagai program yang bergerak dalam interkoneksi wilayah ASEAN, APG juga merupakan
kerjasama yang memungkinkan bagi negara lain yang memiliki pembangkit listrik yang
memadai untuk mentransfer listriknya ke negera lain. Melalui program APG, pemerintah
berupaya untuk meningkatkan ketahanan tenaga listrik juga demi terjadinya pemerataan di
daerah perbatasan. Dalam merealisasikan nya, APG memiliki 16(enam belas) proyek
interkoneksi, yakni: 1) Semenanjung Malaysia – Singapura; 2) Thailand – Semenanjung
Malaysia; 3) Sarawak – Semenanjung Malaysia; 4) Semenanjung Malaysia – Sumatera; 5)
Batam – Singapura; 6) Sarawak – Kalimantan Barat; 7) Filipina – Sabah; 8) Sarwak – Sabah –
Brunei Darussalam; 9) Thailand – Laos; 10) Laos – Vietnam; 11) Thailand – Myanmar; 12)
Vietnam – Kamboja; 13) Laos – Kamboja; 14) Thailand – Kamboja; 15) Sabah Timur –
Kalimantan Timur; 16) Singapura – Sumatera.10
Adapun proyek APG yang belokasi di Indonesia yakni interkoneksi Batam – Singapura,
interkoneksi Sarawak – Kalimantan Barat, interkoneksi Sabah – Kalimantan Timur serta
Singapura – Sumatera.

1.2 Pembatasan Masalah

Agar pembahasan di dalam karya tulis ini dapat dilakukan lebih fokus, mendalam dan tidak
meluas dari pembahasan yang dimaksud, maka kami memandang permasalahan penelitian yang
diangkat perlu adanya pembatasan ruang lingkup. Oleh karena itu dalam karya tulis ini, kami
akan membatasi studi kasus lebih fokus kepada proyek APG antara Sarawak – Kalimantan
Barat dimulai dari waktu perencanaan hingga tahun 2017.

1.3 Identifikasi Masalah


Berdasarkan latar belakang beserta pembatasan masalah yang sudah dijelaskan diatas, maka
dapat dipaparkan identifikasi masalah sebagai berikut :
1. Bagaimana kondisi ketenagalistrikan di Kalimantan Barat dan Sarawak?
2. Bagainama peran pemerintah dalam memenuhi kebutuhan listrik di Kalimantan Barat?

9
Direktorat Jenderal Ketenagalistrikan Kementrian Energi dan Sumber Daya Mineral, 2016. Buletin
Ketenagalistrikan, Jakarta Selatan.
10
Heny Kristama, 2017 “Membangun Keamanan Energi ASEAN Melalui Intergrasi Listrik Regional (Implementasi
ASEAN Power Grid) di Kalbar-Sarawak”, eJournal Ilmu Hubungan Internasional vol.5 no.1 hal.90

3
3. Bagaimana peran proyek ASEAN Power Grid dalam membangun ketersediaan energi
listik di daerah tersebut?

1.4 Rumusan Masalah


Adapun yang menjadi rumusan msalah dalam penulisan ini adalah, bagaimana peran
Malaysia terhadap ketersediaan tenaga listirik di Kalimantan Barat

1.5 Landasan Teori Konseptual


1.5.1 Perspektif Neoliberalisme

Dalam hubungan internasional, neo-liberalisme merupakan paham yang meyakini bahwa


negara seharusnya mengutamakan keunggulan absolut dibandingkan dengan keunggulan relatif.
Neoliberalisme percaya bahwa institusi intenasional seperti PBB atau rezim internasional seperti
WTO dapat berpengaruh signifikan dalam hubungan internasional, karena dengan adanya derajat
interdepedensi yang tinggi, negara – negara akan sering membentuk institusi internasional untuk
menghadapi masalah secara bersama sekaligus menjadi fasilitator hubungan antar negara.11

Robert Keohane mengemukakan bahwa institusi neoliberalisme dapat dijelaskan sebagai


institusi secara personal, Keohane juga menjelaskan bahwa institusi internasional dapat terbagi
menjadi jenis seperti berikut:12
1.5.1.1 Formal Intergovernmental atau Cross national, Non-government
Bahwa terdapat entitas yang memiliki tujuan ataupun organisasi birokrat yang
mempunyai misi serta aturan, sebagai contoh yakni PBB.13
1.5.1.2 Rezim Internasional
Merupakan peraturan yang terdapat sebuah institusi yang disetujui oleh
pemerintah yang disesuaikan dengan berbagai isu yang ada, sebagai contoh yakni
adanya peraturan yang mengatur Laut seperti hukum laut di sekitar tahun1970 dan
juga berbagai perjanjian mengenai senjata pada Amerika Serikat dan Uni Soviet.14
1.5.1.3 Konvensi

11
Budi Winarno, 2009, “Globalisasi dan krisis demokrasi”, Yogyakarta: MedPress, hal.119
12
Paul R Viotti dan Mark V Kauppi, “Intenational Relations Theory: Realism, Globalism, Pluralism, Globalism and
beyond”, edisi ke-5(lima) hal. 147
13
Paul R Viotti dan Mark V Kauppi, “Intenational Relations Theory: Realism, Globalism, Pluralism, Globalism and
beyond”, edisi ke-5(lima) hal. 147
14
Paul R Viotti dan Mark V Kauppi, “Intenational Relations Theory: Realism, Globalism, Pluralism, Globalism and
beyond”, edisi ke-5(lima) hal. 147

4
Institusi non-formal atau kebiasaan maupun bentuk pengertian terhadap sesama
negara, pengertian ini memperbolehkan aktor untuk mengerti dan berkoordinasi antar
sesama, tidak hanya ada koordinasi namun juga akan terbentuknya insentif untuk
tidak mengkhianati satu samalain untuk pengaruh yang lebih baik.15

Jika mengaitkan kasus ini dengan perspektif neoliberalisme, maka ASEAN merupakan
institusi internasional dengan jenis Formal Intergovernmental atau Cross national, Non-
government yang mana berpengaruh dalam hadirnya inisiasi APG serta sebagai fasilitator
hubungan antara Malaysia dan Indonesia.

1.5.2 Konsep Kerjasama Bilateral

Kerjasama bilateral adalah kerjasama yang dilakukan oleh dua negara. Kerjsama bilateral
tidak hanya dibangun dalam sektor ekonomi saja, tetapi kerjasama ini dibangun dalam aspek
politik juga.16 Dalam hubungan bilateral, konsep utama yang digunakan adalah sebuah negara
akan mengejar kepentingan nasionalnya demi mendapatkan keuntungan yang maksimal dan
satu-satunya adalah dengan membuat hubungan baik dan berkepanjangan antar negara.
Perjanjian yang dihasilkan dalam hubungan bilateral itu sendiri memiliki peran penting dan
beberapa keuntungan didalam berbagai negosiasi serta dapat memberikan sebuah pertukaran atas
fasilitas-fasilitas yang dimiliki oleh kedua negara yang bersepakat tercapainya tujuan kedua
negara.17

Kerjasama antar negara dapat terjadi dalam berbagai konteks, meskipun kebanyakan
hubungan atau interkasi tersebut terjadi diantara dua pemerintah yang memiliki kepentingan dan
ingen menghadapi masalah serupa secara bersamaan. Adapun bentuk kerjasama lainnya yakni
terjadi antara negara yang bernaung dalam organisasi atau institusi internasional. Beberapa
organisasi seperti PBB menetapkan bahwa kerjasama yang berlangsung diantara negara anggota
organisasi tersebut dilakukan atas dasar pengakuan kedaulatan masing masing negara yang
dilatarbelakangi oleh pencarian solusi secara bersama melalui perundingan maupun perjanjian
tetap disebut sebagai kerjasama bilateral.

15
Paul R Viotti dan Mark V Kauppi, “Intenational Relations Theory: Realism, Globalism, Pluralism, Globalism and
beyond”, edisi ke-5(lima) hal. 149
16
Haryo Tamtomo, Dkk. IPS Terpadu Untuk SMP dan MTS Kelas IX Semester 2, 2007, hal. 96
17
Goldstein,2003 hal 333

5
Dalam karya tulis ini, kami menggunakan konsep bilateral untuk menggambarkan hubungan
dua negara yang bernaung dalam institusi internasional yang sama, yakni hubungan antara
Indonesia dan Malaysia dimana keduanya merupakan negara anggota dari ASEAN.

1.5.3 Positive Sum Game dalam Non-Zero Sum Game

Game theory merupakan studi formal mengenai konflik dan kerjasama dimana aktor
didalamnya tidak saling ketergantungan satu sama lain. Konsep dari teori ini dapat memetakan
secara lebih jelas tentang kondisi – kondisi yang ditimbulkan dari setiap kemungkinan pilihan
strategus dari pembuat kebijakan, baik dalam kecenderungan maupun reaksi yang timpul dari
pihak lain atas keputusan. Hal ini menjadi instrument yang unik dan kompleks dalam negukur
sebuah kemungkinan yang bersifat mutual deflection.18 Adapun kemungkinan yang tersedia
dalam teori ini adalah cooperative dan non-cooperative. Dalam cooperative game dipetakan
berbagai pilihan bentuk aliansi yang memberikan kemungkinan untuk memenangkan permainan.
Cooperative game juga ditempatkan sebagai subjek yang rasional dalam permetaan pilihan
strategis dalam mencapai hasil akhir terbaik dalam permainan.19

Sebagai bentuk dari cooperative game, ada yang dikenal dengan non-zero sum game. Dalam
non-zero sum game, keuntungan maupun kerugian dari aktor pemain tidak harus sama dengan
nol. Dengan kata lain, keuntungan atau kerugian satu pihak tidak harus berakhir atas keuntungan
atau kerugian pihak lain. Dalam non-zero sum game kemungkinan yang terjadi biasanya berakhir
dengan win-win atau lose-lose.20

Situasi yang ditunjukan oleh Kalimantan Barat (Indonesia) dan Sarawak (Malaysia) dalam
penanggulangan ketenagalistrikan di Kalimantan Barat menunjukan implementasi dari non-zero
sum game. Dimana terjadi kegiatan transfer energi listrik dari Sarawak melalui pengelolaan
SESCO sebagai pihak yang memiliki energi listrik yang memadai kepada Kalimantan Barat
melalui pengelolaan PLN sebagai pihak yang mengalami defisit listrik. Dalam hal ini terlihat
bahwa Indonesia memperoleh keuntungan yakni memperoleh tenaga listrik yang dibutuhkan,

18
Bierman H. Scott dan Luiz Fernandez, 1998, “Game Theory with Economic Applications” , Addison Wesley:
Reading, M
19
Bierman H. Scott dan Luiz Fernandez, 1998, “Game Theory with Economic Applications” , Addison Wesley:
Reading, M
20
Ferdi Utama, 2015, “Non Zero Sum Games Bagi Pelaku Destinasi”, https://www.linkedin.com/pulse/non-zero-
sum-games-bagi-pelaku-destinasi-fredy-utama diakses pada 1 November 2018

6
sementara itu Malaysia memperolah keuntungan berupa profit yang dihasilkan dalam kerjasama
ini.

1.6 Manfaat Penulisan


Manfaat dari penelitian ini dapat dikemukakan menjadi dua sisi :
1. Manfaat Teoritis :
Penelitian ini diharapkan dapat memberi manfaat secara teoritis, sekurang-kurangnya
dapat berguna sebagai sumbangan pemikiran bagi dunia pendidikan.
2. Manfaat Praktis :
Untuk memenuhi persyaratan dalam mengikuti ajang Pertemuan Nasional Mahasiswa
Hubungan Internasional, serta menambah wawasan penulis mengenai materi peluang
program kerjasama Indonesia dan Malaysia dalam bidang ketenagalistrikan khususnya bagi
penulis dan umumnya bagi pembaca.

1.7 Tujuan Penulisan


Adapun tujuan dari penulisan karya tulis ini adalah untuk mengetahui peran Malaysia
terhadap ketersediaan tenaga listrik di Kalimantan Barat sebagai implementasi program ASEAN
Power Grid.

1.8 Metodologi penelitian


Dalam penulisan karya tulis ini, kami menggunakan metode bibliografis. Dimana karya tulis
ini bersumber pada data dan teori yang dimuat dalam buku, jurnal, media cetak serta media
elektronik yang berkaitan dengan judul maupun tema dari karya tulis ini.

7
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Kondisi Ketenagalistrikan di Kalimantan Barat dan Sarawak

Kalimantan Barat merupakan daerah yang memiliki sumber daya minyak bumi, batu bara,
gas bumi, panas bumi, tenaga air dan tenaga matahari yang terbilang melimpah. Namun
sayangnya sumber daya tersebut belum dimanfaatkan secara optimal karena sumber daya
tersebut memerlukan adanya program konservasi, diversifikasi, intensifikasi energi. Dalam
ketenagalistrikan, Kalimantan Barat dikelola oleh PT. PLN Region V. Kalimantan Barat
memiliki dua sistem, yakni satu sistem interkoneksi yang dinamakan sistem khatulistiwa dan
tujuh sistem isolasi yang terdiri sistem katapang, sistem ngabang, sistem sekadaun, sistem
sanggaw,sistem nanga pinoh, sistem sintang, serta sistem putusibau.21
Wilayah Kalimantan Barat yang sangat luas dan jarak antar rumah terbilang jauh, merupakan
salah satu penyebab tidak meratanya sumber listrik yang tersebar, ada banyak desa yang tidak
teraliri listrik terutama di daerah pedalaman dan perbatasan. Sebelum mendapatkan supply listrik
melalui kerjasama proyek APG, yakni sekitar tahun 2014-2015 pemadaman listrik di Kalimantan
Barat merupakan hal yang kerapkali terjadi, dimana dalam sistem khatulistiwa sempat terjadi
defisit listrik sebanyak 24 megawatt dikarenakan beban puncak listrik mencapai 260 megawatt
sementara daya mempu hanya tersedia sebesar 236 megawatt. Pada tahun 2014, besar rasio
elektrifikasi di Provinsi Kalimantan Barat masih ada dibawah rata – rata nasional, yakni sebesar
tena74,2% sedangkan rata – rata nasional sebesar 81,7%. Pada tahun 2014 juga produksi tenaga
listrik PLN sebesar 2.199 GWh yang terdiri dari; produksi PLTD sebesar 465,38 GWh; PLTD
sewa sebesar 1.687,11GWh; PLTG-M sebesar 37,31GWh serta PLTS sebesar 0,03GWh.
Sedangkan untuk neraca daya total, memiliki daya mampu sebesar 499 megawatt, beban puncak
sebesar 481 megawatt dan cadangan sebesar 18 megawatt.22 Berikut pemaparan lebih jelas
mengenai ketenagalistrikan di Kalimantan Barat yang meliputi kapasitas terpasang23, kapasitas
IPP dan PPU, jumlah unit pembangkit listrik dan produksi tenaga listrik.

21
Direktorat Jendral Ketenagaistrikan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, 2016 “Mengenal ASEAN
Power Grid”, http://www.djk.esdm.go.id/index.php/detail-berita?ode=4119 diakses pada 31 Oktober 2018
22
Direktorat Jendral Ketenagalistrikan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, 2015, “Statistik
Ketenagalistrikan 2014” Edisi no 28 tahun anggaran 2015, Jakarta
23
Menjelaskan daya maksimum yang mampu dibangkitkan oleh sebuah pembangkit listrik

8
Tabel 124
Kapasitas Terpasang Pembangkit Tenaga Lisrik PLN Kalimantan Barat
No Jenis Pembangkit Kapasitas(MW)
1 PLTU 14.00
2 PLTG 34.00
3 PLTD 185.18
4 PLTA 2.03
5 PLTS 235.38
JUMLAH 236.38
Tabel 2
Kapasitas Terpasang Pembangkit Tenaga Lisrik IPP Kalimantan Barat
No Jenis Pembangkit Kapasitas(MW)
1 PLTU 7.00
2 PLTA 0.26
JUMLAH 7.02
Tabel 3
Jumlah Unit Pembangkit Tenaga Lisrik PLN Kalimantan Barat
No Jenis Pembangkit Jumlah (Unit)
1 PLTA 3.00
2 PLTU 4.00
3 PLTG 1.00
4 PLTD 107.00
JUMLAH 115.00

Tabel 4
Produksi Tenaga Lisrik PLN Kalimantan Barat
No Jenis Pembangkit Kapasitas(GWh)
1 PLTA 4.30
2 PLTU 485.38
3 PLTG 1687.11
4 PLTS 0.03

24
Direktorat Jendral Ketenagalistrikan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, 2015, “Statistik
Ketenagalistrikan 2014” Edisi no 28 tahun anggaran 2015, Jakarta

9
JUMLAH 2194.14
Berbeda hal nya dengan di Kalimantan Barat, Sarawak memiliki energi yang memanfaatkan
sumber daya alam pribumi yang melimpah untuk menghasilkan pembangkit listrik tenaga air
yang sebagian besar terbarukan, dilengkapi dengan panas yang bersumber dari gas dan batu bara
sebagai kemanan dan keberagaman energi.25 Sarawak juga mengirim energi listriknya dari
penanaman energi batubara dan pembangkit listrik tenaga uap menggunakan gas alam cair. 26
Skema pembangkitan sistem Sarawak tahun 2009 terdiri atas 11% dengan tenaga air, 58%
dengan turbin gas, 11.4% PLTU Batubara, dan 19% dengan diesel. Selengkapnya pada tabel
berikut:
Tabel 527
Daftar pembangkit eksisting sistem Sarawak
Generator ID Daya terbangkit (MW) Generator ID Daya terbangkit (MW)
BIAWAK_G1 12.14 BINTULU_G5 34.04
BIAWAK_G2 12.14 BINTULU_G6 34.04
BIAWAK_G3 12.14 BINTULU_G7 107.07
BIAWAK_G4 12.14 BINTULU_G8 107.07
BIAWAK_G5 32.64 BINTULU_G9 107.07
BIAWAK_G6 32.64 BINTULU_G10 107.07
COAL_G1 50 MIRI_GB 3.2
COAL_G2 50 MIRI_GB 8.5
COAL_G3 55 MIRI_GB 8.5
COAL_G4 55 MIRI_GB 3.2
BATANG AI_G1 23.2 MIRI_GB 3.2
BATANG AI_G2 23.2 MIRI_G2 11
BATANG AI_G3 23.2 MIRI_G3 11
BATANG AI_G4 23.2 MIRI_G4 7
BINTULU_G1 35.84 MIRI_G5 7
BINTULU_G2 35.84 MIRI_G6 8.5
BINTULU_G3 35.84 MIRI_G17 33.24

25
Sarawak Energy, “Power Generation”, https://www.sarawakenergy.com/what-we-do/power-
generation#expandThumb diakses pada 31 Oktober 2018
26
Sarawak Energy, “Generator Portofolio”, https://www.sarawakenergy.com/index.php/about-us/what-we-
do/generation-portfolio diakses pada 31 Oktober 2018
27
Daniel Prahara,tt, “Studi Stabilitas Sistem Interkoneksi Sarawak-Kalimantan Barat”, Surabaya: Proceeding
Seminar Tugas Akhir Jurusan Teknik Elektro FTI-ITS hal.4

10
BINTULU_G4 36 TOTAL (MW) 1165.83

Sistem kelistrikan yang dikelola oleh Sarawak Electric Supply Company (SESCo) ini,
memiliki kapasitas sebesar 877 MW pada tahun 2003. Kebutuhan energi di wilayah Sarawak
pada tahun 2012 dipenuhi oleh 44 buah pembangkit yang tersebar di 5 lokasi. Sarawak juga
memiliki total 155 situs tenaga air yang potensial, dimana 51 yang terdaftar untuk dieksplorasi
sebagai potensi energi tenaga air terbarukan yang menghasilkan hingga 20.000 MW listrik
dengan output energi total 87.000 GWh per tahun. Terdapat tiga bendungan operasional di
Sarawak, hingga 2015 bendungan tersebut adalah; Bendungan Batang Ai, Bendungan Bakun28
serta Bendungan Murum. Sarawak Energy telah mengidentifikasi lebih jauh lagi situs untuk
pembangunan bendungan tersebut, dimana dapat Menambah kapasitas 2.400 MW dari proyek
PLTA Bakun yang dimiliki Pemerintah Malaysia, dan 944 MW dari proyek Murum, negara
Malaysia akan memiliki potensi dekat dengan 7.400 MW pada 2025. Energi tersebut akan
dikombinasikan dengan energi yang dihasilkan batu bara, diesel, dan gas, akan memberikan
energi yang cukup untuk pertumbuhan negara dan juga memungkinkan untuk ekspor
internasional.29

2.2 Kebijakan Pemerintah dalam permasalahan ketenagalistrikan Kalimantan Barat


Dengan kurangnya listrik yang disediakan pemerintah, merupakan suatu permasalahan
yang bukan hanya dirasakan oleh masyarakat saja, namun juga menyulitkan bagi produsen
dalam melaksakan aktifitas perekonomian. Hal itu di karenakan kurangnya jumlah
pembangkit listrik di Indonesia dan pesatnya pertumbuhan penduduk. PT PLN merupakan
BUMN yang memiliki tanggung jawab sebagai perantara pemerintah dalam melaksanakan
penyediaan tenaga listrik, seperti yang tercantum dalam Peraturan Presiden Nomor 14
Tahun 2017 yang berisi berbagai aturan bagi PT. PLN menyediakan tenaga listrik seperti
pemercepatan pembangunan infrastruktur kelistrikan seperti pembangkit listrik, gardu induk,
jalur transmisi, dan juga berisi tentang pengikut sertaan pihak swasta dan juga mengenai
pendanaan dalam penyediaan tenaga listrik.
Adanya peraturan ini merupakan langkah yang dibuat oleh pemerintah dalam
mempermudah penyediaan tenaga listrik, memberikan dana dan memberikan bantuan
dalam melakukan pinjaman luar negri guna melaksanakan pembangunan infrastruktur

28
Bendungan bakun merupakan sumber utama energi listrik di Sarawak
29
Heny Kristama, 2017 “Membangun Keamanan Energi ASEAN Melalui Intergrasi Listrik Regional (Implementasi
ASEAN Power Grid) di Kalbar-Sarawak”, eJournal Ilmu Hubungan Internasional vol.5 no.1 hal.96

11
listrik.30 Namun hal tersebut dirasa masih kurang dalam menanggulangi permasalahan
ketenagalistrikan yang terjadi di Kalimantan Barat.

Kebijakan sektor ketenagalistrikan dirumuskan dalam Kalimantan Barat terang


tahun 2015 dengan tujuan untuk melaksanakan misi pembangunan sektor
ketenagalistrikan, yaitu:

1. Restrukturisasi sektor ketenagalistrikan yang meliputi restrukturisasi industri


ketenagalistrikan, implementasi mekanisme pasar, rasionalisasi tarif listrik
regional, dan rasionalisasi partisipasi swasta.
2. Memanfaatkan sumber energi selain bahan bakar minyak solar untuk
meningkatkan produksi energi listrik yang ramah lingkungan dan murah.
3. Menjaga kesinambungan ketersediaan energi listrik.
4. Redefinisi peran pemerintah adalah mengupayakan agar tenaga listrik dapat
dinikmati oleh seluruh lapisan masyarakat, menjaga keselamatan sektor
ketenagalistrikan dan kelestarian fungsi lingkungan.
Untuk dapat melaksanakan misi tersebut, pemerintah akan memerankan fungsi
sebagai perumus kebijakan, pengaturan dan pengendalian sektor ketenagalistrikan.
Kebutuhan energi listrik di Kalimantan Barat dipasok oleh PT PLN (Persero) Wilayah
Kalimantan Barat yang hingga saat ini masih menggunakan bahan bakar minyak solar
sebagai sumber energi utama untuk pembangkitan energi listrik. Sistem tenaga listrik ini
merupakan sistem ketenagalistrikan yang relatif belum berkembang dimana pusat-pusat
pembangkit tenaga listrik di seluruh Kalimantan Barat belum terinterkoneksi secara
keseluruhan. Sistem tenaga listrik ini terdiri dari subsistem sub-sistem kecil yang
masing-masing terpisah satu sama lain berdiri sendiri dan terisolasi.31 Selain itu, pemerintah
juga mengadakan kerjasama dengan negara lain seperti Malaysia dan Singapura.
Upaya lain dalam pemenuhan kebutuhan pembanguanan tenaga listrik pemerintah
memfasilitasi untuk bekerjasama dengan negara Malaysia dalam ASEAN Power Grid.
ASEAN Power Grid didukung pemerintan yang dibuktikan dengan adanya peraturan
presiden Republik Indonesia nomor 77 tahun 2008 tentang pengesahan memorandum of
understanding on the asean power grid.

30
Andreas Said, “Kerjasama Asean Power Grid Dalam Meningkatkan Ketahanan Listrik Di Indonesia” Vol. 5:
Edisi II, maret 2018, hal. 7.
31
M. Iqbal Arsyad, “Analisis Krisis Energi Listrik di Kalimantan Barat” Vol.1, No.4, Juli 2009, hal.37.

12
Dalam pembangunan ASEAN Power Grid, ASEAN memiliki Forum of the Heads of
ASEAN Utilities/Authorities (HAPUA) didirikan pada tahun 1981, sebuah forum dimana
manajemen dan ahli dari utilitas listrik ASEAN berkumpul untuk membahas isu-isu strategis
perkembangan listrik di sektor regional. HAPUA bertujuan untuk meningkatkan hubungan
bilateral antara negara-negara anggotanya dan berfungsi untuk mempromosikan serta
mendistribusikan informasi yang relevan di bidang energi dan ketenagalistrikan di kawasan
ASEAN. HAPUA bertugas untuk melakukan Interkoneksi Studi Rencana Induk ASEAN
(AIMS). Selengkapnya pada Tabel berikut:

Gambar 1
Struktur HAPUA

Sumber : http://hapua.org/main/hapua/hapua-structures/

Semua kegiatan dari masing masing Working group, mempunyai misi yang sama for the
successful implementation of APG. Pernyataan tersebut menunjukkan bahwa HAPUA tidak
terpaku pada grup kerja, melainkan fokus pada tujuan bersama, yaitu untuk mewujudkan
implementasi APG, interkoneksi transmisi listrik, yaitu proyek yang saat ini sedang ditangani
HAPUA. Hal ini juga menunjukkan bahwa Indonesia, beserta negara anggota ASEAN
lainnya, memiliki besaran tanggung jawab yang sama untuk mewujudkan listrik terintegrasi
secara regional ini.

2.3 Peran proyek ASEAN Power Grid dalam membangun ketersediaan energi listrik
Proyek APG antara Kalimantan Barat – Sarawak telah berhasil disingkronisasi pada
januari 2016. Menurut kesepakatan nya, proyek ini terbagi atas 2 fase yakni fase pertama

13
dengan skema take and pay dimana PT PLN (Persero) Wilayah Kalbar mengimpor tenaga
listrik dari SESCO mulai dari 50 MW dan naik secara bertahap tergantung kesiapan jaringan
transmisi di Indonesia dan membayar sesuai dengan jumlah energi listrik yang diimpor.
Sedangkan fase kedua menggunakan skema take or pay, di mana dimungkinkan bagi kedua
pihak untuk saling bertransaksi jual beli tenaga listrik dengan kapasitas jual beli yang akan
dibicarakan kemudian.
Proyek yang diperkirakan menggunakan total biaya pembangunan sebesar 155.37 juta
USD dimana bersal dari Asia Development Bank, Agence Francaise de Developpment (AFD)
dan PT. PLN (Persero) ini tentu membuahkan hasil.
Dari segi ketenagalistrikan, yang pada mulanya Kalimantan Barat mengalami defisit
sebesar 24MW, setelah terealisasinya interkoneksi ini ketenagalistrikan Kalimantan Barat
mengalami surplus sebesar 17 MW, dimana memiliki daya mampu mencapai 308,4MW
sedangkan beban puncak sebesar 291,4 MW. Selain itu Biaya Pokok Penyediaan tenaga
listrik di Kalimantan Barat pun mengalami penurunan, dimana sebelum nya BPP tenaga
listrik sekitar Rp. 1.997/KWh menurun menjadi sekitar Rp. 1.642/KWh.32
Ketersediaan listrik yang meadai tentu memungkinkan Kalimantan Barat untuk tidak
hanya memenuhi kebutuhan listrik masyarakat di sektor rumah tangga saja tetapi juga di
sektor perekonomian. Listrik yang andal secara tidak langsung akan berimbas positif pada
industri ekonomi, bisnis dan kreatif di suatu wilayah. Karena adanya ketersediaan listrik ini,
para investor mulai berdatangan untuk menanamkan sahamnya di beberapa daerah di
Kalimantan Barat. Sebagai contoh PT. Transmart dan PT. Bumi Raya (group) membuka
perusahaan ritel nasional raksasa Transmart Carrefour serta wahana permainan Trans Studio
Mini pada Februari 2017 lalu.33 Ini menunjukan bahwa proyek interkoneksi Kalimantan
Barat – Sarawak yang dicanangkan oleh program ASEAN Power Grid, dinilai bermanfaat
bagi ketersediaan listrik di Kalimantan Barat yang semula nya mengalami defisit.

32
Direktorat Jendral Ketenagalistrikan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, 2016 “Mengenal ASEAN
Power Grid”, http://www.djk.esdm.go.id/index.php/detail-berita?ide=4119 diakses pada 31 Oktober 2018
33
Pontianak Post, 2017, “Transmart dan Trans Studio Hadir di Kubu Raya”
https://www.pontianakpost.co.id/transmart-dan-trans-studio-hadir-di-kubu-raya diakses pada 2 November
2018

14
BAB III
KESIMPULAN DAN SARAN

3.1 Kesimpulan

Wilayah ASEAN memiliki potensi energi yang cukup meyakinkan di masing masing
negara anggota nya, namun tidak semua negara mampu mengolah potensi energi yang
dimilikinya, sehingga terjadi ketidak merataan energi di negara anggota ASEAN, termasuk
energi listrik. Dalam usaha pemerataan energi listrik di wilayah ASEAN, ASEAN
mencangankan sebuah proyek interkoneksi bernama ASEAN Power Grid, dimana negara yang
memiliki surplus kapasitas cadangan listrik dapat berbagi dengan negara ASEAN lain, sehingga
dapat tercipta ketersediaan listrik yang mencukupi dan mengurangi biaya pengeluaran sistem
serta mengurangi ketergantungan bahan bakar terhadap negara di luar ASEAN. Salah satu
proyek dari program ASEAN Power Grid ini berlokasi di Indonesia tepatnya di Kalimantan
Barat dimana bekerjasama dengan negara tetangga yaitu Malaysia tepatnya di Sarawak.

Interkoneksi Kalbar-Serawak merupakan bagian dari ASEAN Power Grid pertama untuk
Indonesia dan pertama untuk PLN dengan tujuan kerjasama kelistrikan di antara negara-negara
ASEAN. Begitupula untuk SESCO merupakan kerja sama kelistrikan pertama bagi mereka.

Interkoneksi yang dilatarbelakangi oleh kurang nya ketersediaan energi listrik di


Kalimantan Barat sehingga membutuhkan bantuan supply energi listrik dari Sarawak.
Interkoneksi ini ternyata mendapatkan hasil yang positif, dimana energi listrik di Kalimantan
Barat mengalami defisit berhasil mengalami surplus serta mengalami penurunan biaya.
Ketersediaan listik yang memadai tentu secara tidak langsung akan berimbas positif pada industri
ekonomi, bisnis dan kreatif. Sehingga hal ini mendorong perekonomian Kalimantan Barat kearah
yang lebih produktif.

3.2 Saran
Mengingat masih tingginya ketidakmerataan energi listrik yang terjadi di wilayah
ASEAN, Program interkoneksi ASEAN Power Grid harus terus berusaha untuk memperbaiki
sistem yang dirasa kurang, baik dari sisi ketenagakerjaan, komunikasi antar aktor yang terlibat,
hingga teknis pada proses penggarapannya. Agar seluruh rencana proyek dapat terealisasi seperti
yang terjadi antara Kalimantan Barat dan Sarwak, atau bahkan meluas. Melalui program APG,
diharapkan penyebaran akan potensi cadangan sumber daya energi yang tidak merata di ASEAN
dapat diatasi dengan cara saling melengkapi kebutuhan energi listrik satu sama lain dan setiap

15
negara dapat memiliki kesempatan untuk memajukan sistem perekonomian. Diaharapkan pula
negata yang terlibat agar tidak terlalu egois pada national interest masing-masing negara hingga
tujuan awal dicanangkannya program ini tetap berjalan sebagaimana mestinya.

16
DAFTAR PUSTAKA

BUKU

H. Scott, Bierman H dan Fernandez, Luiz (1998) .Game Theory with Economic
Applications, Addison Wesley: Reading, M

Jackson, Robert & Sorensen, Georg(1999) Introduction to International Relations. New


York: Oxford University Press
Keohane, Robert O(1986) Neoralism And Its Critics. New York: Columbia University
Press

Tamtomo,Haryo, Dkk. (2007). IPS Terpadu Untuk SMP dan MTS Kelas IX Semester 2.
Bandung: Erlangga

Viotti, Paul R dan Kauppi, Mark V(1999) Intenational Relations Theory: Realism,
Globalism, Pluralism, Globalism and beyond. Boston: Allyn and Bacon

JURNAL DAN PAPER


Susilo, Yonathan(2012). Dominasi Peranan Negara dalam Era Kapitalisme Global:
Aplikasi Game Theory dalam Studi Kasus Perdagangan China – Amerika Serikiat (1994-2010).
Skripsi. Depok: FISIP HI UI

Said, Andreas(2018). Kerjasama ASEAN Power Grid dalam Meningkatkan Ketahanan


Listrik di Indonesia. JOM FISIP Vol, 5 Edisi II Juli – Desember

Caniago, Siti Aminah(2009). Munculnya Neoliberalisme Sebagai Bentuk Baru


Liberalisme.

Adam, Latif(2012). Dinamika Sektor Kelistrikan Indonesia : Kebutuhan dan Performa


Penyediaan. Jurnal Ekonomi dan Pembangunan Vol.24 no. 1

Kotten, Raditya Giovanni Fitrianto(2017). Pengaruh ASEAN Power Grid Terhadap


Kertersediaan Energi di Kawasan Asia Tenggara Periode 2019-2015. Skripsi. Bandung: FISIP
HI UNPAR

Harefa, Atika Octavia dan Badaruddin, Muhammad(2012). Posisi Indonesia pada


Kerjasama Energi Regional Dalam Memasuki Era Masyarakat Ekonomi ASEAN Studi Kasus:
ASEAN Power Grid

17
Arsyad. M. Iqbal(2009). Analsis Krisis Energi Listrik di Kalimantan Barat. Jurnal Elkha
vol. 1 no.4

Simambela. Heny Kristama(2017). Memangun Keamanan Energi ASEAN Melalui


Integrasi Listrik Regional (Implementasi ASEAN Power Grid) di Kalbar-Sarawak. eJournal
Ilmu Hubungan internasional vol.5 no.1

Ramadhani, Daniel Rahara E(tt). Studi Stabilitas Sistem Interkoneksi Sarawak –


Kalimantan Barat. Proceeding Seminar Tugas Akhir Teknik Elektro: Fakultas Teknik Industri
ITS

INTERNET
Direktorat Jendral Ketenagalistrikan Kementerian Energi dan Sumber Daya
Mineral(2016) “Mengenal ASEAN Power Grid”from,
http://www.djk.esdm.go.id/index.php/detail-berita?ide=4119
Direktorat Jendral Ketenagalistrikan Kementerian Energi dan Sumber Daya
Mineral(2016) “Mengenal ASEAN Power Grid” from,
http://www.djk.esdm.go.id/index.php/detail-berita?ide=4119 diakses pada 31 Oktober 2018

Ferdi Utama(2015) “Non Zero Sum Games Bagi Pelaku Destinasi”, from,
https://www.linkedin.com/pulse/non-zero-sum-games-bagi-pelaku-destinasi-fredy-utama
diakses pada 1 November 2018
Kementrian Luar Negeri(2016) “Interkoneksi Tenaga Listrik Kalimantan Barat-Serawak
Telah Beroperasi” from, https://www.kemlu.go.id/id/berita/berita
perwakilan/Pages/Interkoneksi%20Tenaga%20Listrik%20Kalimantan%20Barat-
Sarawak%20Telah%20Beroperasi.aspx pada 3 November 2018

Moch. Muchlis dan Adhi Darma Permana(tt) “Proyeksi Kebutuhan Listrik PLN tahun
2003 sampai 2020”. from, http://www.oocities.org/markal_bppt/publish/slistrk/slmuch.pdf.
pada 30 Oktober 2018

Pontianak Post(2017) “Transmart dan Trans Studio Hadir di Kubu Raya” from,
https://www.pontianakpost.co.id/transmart-dan-trans-studio-hadir-di-kubu-raya diakses pada 2
November 2018

18
DOKUMEN
Memorandum of Understanding on the ASEAN Power Grid
Pepres no 77 tahun 2008 tantang pengesahan MoU ASEAN Power Grid
Undang-Undang Republik Indonesia no. 30 tahun 2009 tentang Ketenagalistrikan

19
Lampiran 1
Memorandum of Understanding
on the ASEAN Power Grid

MEMORANDUM OF UNDERSTANDING

ON THE ASEAN POWER GRID

The Governments of the Association of Southeast Asian


Nations, namely: Brunei Darussalam, the Kingdom of
Cambodia, the Republic of Indonesia, the Lao People's
Democratic Republic, Malaysia, the Union of Myanmar, the
Republic of the Philippines, the Republic of Singapore, the
Kingdom of Thailand, and the Socialist Republic of Viet Nam
(hereinafter referred to collectively as "ASEAN" or "Member
Countries", or individually, as "Member Country");

RECALLING the Agreement on ASEAN Energy Cooperation


signed in Manila, Philippines, on 24th June 1986, which
emphasised cooperation among the Member Countries in
developing energy resources to strengthen the economic
resilience of the individual Member Countries as well as the
economic resilience and solidarity of ASEAN, and developing
strategies to promote energy-related trade within the ASEAN
region;

RECALLING also that the ASEAN Vision 2020 adopted by the


ASEAN Leaders on 15th December 1997 at the Second
ASEAN Informal Summit in Kuala Lumpur, Malaysia, called for
the establishment of electricity interconnecting arrangements
within ASEAN through the ASEAN Power Grid, (hereinafter
referred to as the "ASEAN Power Grid");

20
RECOGNISING the objectives of the Forum of the Heads of
ASEAN Power Utilities/Authorities (HAPUA) to, among others,
promote the creation of regional power interconnection
projects through the exchange of experience and information
on planning, construction and operation of interconnected
systems, the acquisition of appropriate technology and
methodology on all aspects of an interconnected system, and
joint studies on transfer of electrical energy through
interconnection;
RECALLING further that the ASEAN Plan of Action for Energy
Cooperation (APAEC) 1999-2004 adopted at the 17th ASEAN
Ministers on Energy Meeting (AMEM) held in Bangkok,
Thailand on 3rd July 1999, and the ASEAN Plan of Action for
Energy Cooperation (APAEC) 2004-2009 adopted at the 22nd
AMEM in Makati City, Metro Manila, Philippines on 9th June
2004, called for instituting policy framework and
implementation modalities and facilitating the implementation
of the ASEAN Interconnection Master Plan, with the view
towards the early realisation of the ASEAN Power Grid;
ACKNOWLEDGING the policy goals of the ASEAN Power
Grid's Roadmap for Integration approved at the 20th AMEM
Meeting in Bali, Indonesia on 5th July 2002, and the 2003 Final
Report of the ASEAN Interconnection Master Plan Study
(AIMS) endorsed by 21st AMEM in Langkawi, Malaysia on 3rd
July 2003 to be the reference document for the implementation
of the power interconnection projects in the ASEAN region;
RESPONDING to the ASEAN Leaders' strategic thrust in the
Vientiane Action Programme (VAP) 2004-2010 adopted in the
Tenth ASEAN Summit in Vientiane, Lao PDR on 29th
November 2004, for the significant implementation of the
ASEAN Power Grid through an established policy framework
and modalities for power interconnection and trade, as well as
enhanced energy infrastructure facilities in ASEAN with the
commissioning of power interconnection projects;
AFFIRMING that the ASEAN Power Grid would create
economic benefits and opportunities for power exchange and
trade amongst the Member Countries;

21
RECOGNISING that the involvement of the governments of the
Member Countries and participation of the private sector are needed to
support these plans and programmes for the realisation of the ASEAN
Power Grid;
HAVE AGREED AS FOLLOWS:

ARTICLE I

OBJECTIVE

The Member Countries, subject to the terms of this


Memorandum of Understanding, and the laws, rules,
regulations and national policies from time to time in force in
each member country, agree to strengthen and promote a
broad framework for the Member Countries to cooperate
towards the development of a common ASEAN policy on
power interconnection and trade, and ultimately towards the
realisation of the ASEAN Power Grid to help ensure greater
regional energy security and sustainability on the basis of
mutual benefit.

ARTICLE II

GENERAL PROVISIONS

Member Countries shall:

1. Establish cooperation on a bilateral and/or multilateral


basis, on the various aspects of the development of the
common ASEAN policy on power interconnection and trade
and the realisation of the ASEAN Power Grid;
2. Initiate studies and updates either on a bilateral or
multilateral basis, to support and encourage the
implementation of the power interconnection projects in
ASEAN, having reference to, among others, the 2003 Final
Report of the ASEAN Interconnection Master Plan Study;

22
3. Encourage cooperation and pooling of resources by the
governments and/or private sector for joint projects subject to
commercial viability pertaining to the ASEAN Power Grid
4. Subject to, and consistent with, the national laws of each
Member Country, take individual and collective initiatives to
study, assess, and review national and regional legal and
institutional frameworks for power interconnection and trade,
concerning cross-border issues relative to the commercial and
economic feasibility, construction, financing, operation, and
maintenance of the ASEAN Power Grid, as herein below
agreed upon.

ARTICLE III

CROSS-BORDER ISSUES

Member Countries shall conduct relevant studies on the


following:
1. Technical
Harmonisation of technical specifications for the ASEAN
Power Grid, such as, but not limited to, design and
construction standards, system operation and maintenance
codes and guidelines, safety, environment and measurement
standards which are internationally recognised by the
electricity supply industry.
2. Financing
Available modes or arrangements for the financing of the
construction, operation and maintenance of the ASEAN Power
Grid. In this respect, ASEAN recognise the important role that
would be played by the private sector in some Member
Countries.
3. Taxation and Tariff
Arrangements for the mutually agreed imposition of, or
exemption from, import, export or transit fee, duty, tax or other
government imposed fees and charges on the construction,
operation, and maintenance of the ASEAN Power Grid

23
4. Regulatory and Legal Frameworks
Harmonisation of regulatory and legal frameworks within ASEAN
to hasten the implementation of bilateral or cross-border power
interconnection and trade.
5. Electric Power Trade
Institutional and contractual arrangements for power trade.
These arrangements shall take into account the different levels
of development or maturity of the electricity supply industry in
individual Member Countries.
6. Third Party Access
Arrangement for third party access for power interconnection
and trade in accordance with such internationally accepted
standards in the electricity supply industry and formulation of a
transmission pricing framework within ASEAN.

ARTICLE IV

PROTECTION OF INTELLECTUAL PROPERTY RIGHTS

1. The protection of intellectual property rights shall be


enforced in conformity with the respective national laws, rules
and regulations of the Member Countries and with other
international agreements signed by the Member Countries.
2. The use of the name, logo and/or official emblem of any
of the Member Countries on any publication, document and/or
paper is prohibited without the prior written approval of the
relevant Member Country/Countries.
3. Notwithstanding anything in paragraph 1 above, the
intellectual property rights in respect of technological
development, products and services development, carried out:
a. Jointly by the Member Countries or research results
obtained through the joint activity effort of the Member
Countries, shall be jointly owned by the Member Countries
concerned in accordance with the terms to be mutually
agreed upon; and
b. Solely and separately by the Member Country or the
research results obtained through the sole and separate
effort of the Member Country, shall be owned by the
Member Country concerned.

24
.
ARTICLE V

INSTITUTIONAL ARRANGEMENTS
1. The Heads of ASEAN Power Utilities/Authorities (HAPUA)
Council, being responsible for the effective implementation of the
ASEAN Power Grid, shall initiate the formation of an ASEAN
Power Grid Consultative Committee (APGCC), to be composed
of representatives from Member Countries and the HAPUA
Member Utilities. This ASEAN Power Grid Consultative
Committee shall facilitate and assist the HAPUA Council in the
implementation of this Memorandum of Understanding.
2. The HAPUA Council shall submit periodic reports on the
implementation of this Memorandum of Understanding to the
ASEAN Ministers on Energy Meeting (AMEM), through the
ASEAN Senior Officials Meeting on Energy (SOME).

ARTICLE VI

CONFIDENTIALITY
All Member Countries shall observe the confidentiality of
documents, information or data received pursuant to the
implementation of this Memorandum of Understanding. This
obligation shall be observed by Member Countries during the
period of validity of this Memorandum of Understanding and
after the expiry or termination of this Memorandum of
Understanding, unless otherwise agreed by all Member
Countries.

ARTICLE VII

SETTLEMENT OF DISPUTES
Any claim or dispute between two (2) or more of the Member
Countries, arising out of the interpretation or implementation
of this Memorandum of Understanding will be settled amicably
by consultations or negotiations between the Member
Countries involved in the claim or dispute.

25
ARTICLE VIII

SUSPENSION
Each Member Country reserves the right, for reasons of
national security, national interest, public order or public
health, to suspend, temporarily, either in whole or in part, the
implementation of this Memorandum of Understanding. A
Member Country shall give notice of its intention to suspend
the said implementation of this Memorandum of
Understanding by giving written notice to the Secretary
General of ASEAN, who shall immediately notify all other
Member Countries. Such suspension shall take effect
immediately after notification has been given to the other
Member Countries.

ARTICLE IX

RELATION TO OTHER AGREEMENTS


1. Agreements with Non-ASEAN Member Countries
This Memorandum of Understanding shall not restrict any
Member Country from having similar agreements with non-
ASEAN MEMBER Countries provided that such agreements do
not create and/or impose obligations upon a Member Country
that is not a party to such agreements, and that such
agreements shall not impair and/or prevent a Member Country
who is a party to such agreements from fulfilling its obligations
under this Memorandum of Understanding.
2. Other Existing Agreements

The Member Countries hereby undertake that they shall continue


to respect their rights and obligations under any other similar
agreements, to which they are also parties, on power
interconnection and electric power trading existing prior to this
Memorandum of Understanding.

26
ARTICLE X

FINAL PROVISIONS

1. This Memorandum of Understanding shall be deposited with


the Secretary- General of ASEAN who shall promptly furnish a
certified true copy to each Member Country.
2. This Memorandum of Understanding is subject to ratification
or acceptance by all the Member Countries. The Instrument of
Ratification or Acceptance shall be deposited with the Secretary-
General of ASEAN who shall promptly inform each Member
Country of such deposit.
3. This Memorandum of Understanding shall enter into force
upon the deposit of Instruments of Ratification or Acceptance by all
the Member Countries with the Secretary-General of ASEAN.
4. This Memorandum of Understanding shall remain in force for
a period of fifteen (15) years, unless terminated earlier by
agreement of all the Member Countries. The expiry or termination
of this Memorandum of Understanding shall be without prejudice to
the rights and obligations of the
Member Countries arising from this Memorandum of
Understanding prior to the effective date of expiry or termination
of this Memorandum of Understanding.

5. A Member Country may at anytime give notice of its


intention to withdraw from this Memorandum of Understanding,
by giving written notice to the Secretary - General of ASEAN,
who shall immediately notify all other Member Countries. Such
withdrawal shall take effect six (6) months from the date of the
said notice.

6. This Memorandum of Understanding may be extended


beyond its period of validity, as stipulated in paragraph 4 of this
Article, with the agreement of all Member Countries.
7. Any Member Country may propose any amendment to the
provisions of this Memorandum of Understanding. Such
amendment shall be effected by written consent of all the
Member Countries. Any amendment to this Memorandum of
Understanding shall be without prejudice to the rights and
obligations of the Member Countries, prior to the effective date of
such amendment.

IN WITNESS WHEREOF, the undersigned, being duly


authorised by their respective governments, have signed this
Memorandum of Understanding on the ASEAN Power Grid.

DONE at Singapore on this Twenty-Third day of August in the


Year Two Thousand and Seven, in a single original copy in the
English Language

For Brunei Darussalam:

29
30
31

Anda mungkin juga menyukai