Anda di halaman 1dari 2

Review Paper MBP Eropa – Yeny Novita Ambarsari - 071611233022 - Week 3

Memahami Uni Eropa dan Dinamikanya

Menurut Lelieveldt dan Princen (2011) dalam tulisannya menjelaskan bahwa, akar perkembangan EU terjadi
pada tahun-tahun pasca Perang Dunia ke-II. Pada saat itu Eropa tengah mengalami kehancuran yang besar
dengan ditandai banyaknya konflik dan pemberontakan yang terjadi akibat perselisihan agama, ambisi
kekaisaran dan nasionalisme. Para scholars pun juga banyak yang mengusulkan jalan keluar untuk menjamin
perdamaian namun tak pernah terwujud, hingga saat Perang Dunia II, menimbulkan munculnya ide-ide baru
bagi terwujudnya kerjasama internasional. Salah satu tokoh yang berpengaruh pada saat itu ialah Churchill yang
mana menyampaikan pidato dan mengusulkan agar menciptakan kembali kekuatan Eropa dalam struktur
regional serta mendesak agar Perancis dan Jerman yang mana sudah menjadi musuh bebuyutan saat itu, untuk
memimpin dalam pengaturan federasi tersebut (Lelieveldt & Princen, 2011). Pasca Perang Dunia II, juga
menyebabkan Eropa terbagi menjadi dua pengaruh, yakni Zona Timur yang didominasi oleh komunis Uni
Soviet dan Zona Barat oleh kaum demokrasi liberal yang sangat didukung oleh Amerika Serikat. Kekhawatiran
bahwa Uni Soviet akan mencoba memperluas pengaruhnya di Barat, mengharuskan pembangunan kembali
Eropa dengan cepat. Hal ini kemudian juga didukung oleh AS untuk membangun sebuah kerjasama militer
seperti Western European Union (WEU), North Atlantic Treaty Organization (NATO), European Economic Co-
Operation (OEEC), European Coal and Steel Community (ECSC) (Lelieveldt & Princen, 2011).

Konferensi pers yang diadakan oleh Menteri Luar Negeri Perancis, yakni Robert Schuman pada tanggal 9 Mei
1950 kemudian menjadi titik balik dimana diusulkannya rencana untuk meletakkan dasar bagi European Union
(EU) dengan membentuk European Coal and Steel Community (ECSC). Pada tahun 1985, para pemimpin
negara-negara anggota EU memutuskan untuk memperingati hari tersebut sebagai Europe Day/ Hari Eropa. EU
kemudian semakin berkembang menjadi sistem politik yang berdampak secara signifikan dalam kehidupan
warga Eropa (Lelieveldt & Princen, 2011). Konsep tentang multilevel governance kemudian muncul dari studi
pembuatan kebijakan struktural dimana untuk memahami unsur-unsur tersebut dapat digambarkan melalui
konsep liberal intergovernmental mengenai politik EU. EU terus berkiprah semakin pesat dikarenakan negara-
negara anggotanya sangat bersemangat untuk bergabung dan berbagi asumsi mengenai manfaat keanggotaan
(Eising, 2015). Dengan adanya penyesuaian perjanjian diharapkan dapat memberikan keseimbangan antara
kekuatan berbagai lembaga EU. Selain itu, masuknya warga-warga Eropa melalui forum musyawarah juga
dianggap signifikan untuk mengatasi kurangnya legitimasi lembaga-lembaga EU (Vesnic-Alujevic & Nacarino,
2012).

Memasuki era kontemporer, EU tidak terlepas dari adanya tantangan yang terus dihadapi. Pertama, langkah
integrasi EU yang sulit dan panjang dari Paris Treaty tahun 1951 ke Maastricht Treaty 1992, dimana setiap
Review Paper MBP Eropa – Yeny Novita Ambarsari - 071611233022 - Week 3

anggota memiliki pendapat yang berbeda mengenai aspek integrasi. Kedua, adanya ketidakseimbangan antara
cara formal dan informal mengenai pengambilan keputusan utama EU, dimana cara formal utama pengambilan
keputusan dari EU adalah dengan menysuun dan mengubah perjanjian formal, namun beberapa kasus yang
terjadi justru bertolak belakang. Ketiga, peran institusi EU yang juga tumpang tindih antara Dewan Eropa,
komisi serta pengadilan dan parlemen Eropa. Dalam konteks ekonomi dan politik dimana EU berusaha untuk
meningkatkan aspek ekonomi namun masih terdapat kekhawatiran dikarenakan kemunculan partai politik anti
EU atau Euroscepticism. EU juga tengah menghadapi kurangnya kepemimpinan yang kuat dan berimbas pada
menurunnya solidaritas, keputusan Inggris untuk keluar dari EU, tekanan imigrasi serta integrasi masyarakat
(Lelieveldt & Princen, 2011).

Melalui penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa akar perkembangan EU terjadi pada tahun-tahun pasca
Perang Dunia ke-II yangtengah mengalami kehancuran besar dengan ditandai banyaknya konflik dan
pemberontakan yang terjadi. Pasca Perang Dunia II, juga menyebabkan Eropa terbagi menjadi dua pengaruh,
yakni Zona Timur yang didominasi oleh komunis Uni Soviet dan Zona Barat oleh kaum demokrasi liberal yang
sangat didukung oleh Amerika Serikat. Pada tanggal 9 Mei 1950 kemudian menjadi titik balik dimana
diusulkannya rencana untuk meletakkan dasar bagi European Union (EU) dengan membentuk European Coal
and Steel Community (ECSC). ). Konsep tentang multilevel governance kemudian muncul dari studi pembuatan
kebijakan struktural dimana untuk memahami unsur-unsur tersebut dapat digambarkan melalui konsep liberal
intergovernmental mengenai politik EU. Memasuki era kontemporer, EU tidak terlepas dari adanya tantangan
yang terus dihadapi mulai dari masalah ekonomi, politik hingga integrasi. Penulis beropini bahwa, diperlukan
adanya struktur internal yang kuat agar dapat tetap menjaga keutuhan EU.

Referensi:

Eising, R. 2015. “Multilevel Governance in Europe”, dalam J.M. Magone (ed.), Routledge Handbook of
European Politics. Oxon: Routledge

Lelieveldt, H. & Princen, S. 2011. “The Historical Development of the EU”, dalam The Politics of European
Union. Cambridge: Cambridge University Press

Vesnic-Alujevic, L & Nacarino, R.C. 2012. “The EU and Its Democratic Deficit: Problems and (Possible)
Solutions”, dalam European View, 11: 63-70

Anda mungkin juga menyukai