Anda di halaman 1dari 15

LAPORAN PENDAHULUAN

HIPOSPADIA

Disusun untuk memenuhi salah satu tugas pada stase keperawatan anak

WINA WININGSIH
NPM. 220110150094

PROGRAM PROFESI NERS ANGKATAN XXXVIII


FAKULTAS KEPERAWATAN
UNIVERSITAS PADJADJARAN
BANDUNG
2019
I. Definisi
Hipospadia adalah congenital anomali yang mana uretra bermuara pada sisi bawah
penis atau perineum (Suriadi, 2010). Hipospadia merupakan suatu kelainan congenital
yang dapat dideteksi ketika atau segera setelah bayi lahir, istilah hipospadia
menjelaskan adanya kelainan pada muara uretra pria. Kelainan hipospadia lebih
sering terjadi pada muara uretra, biasanya tampak disisi ventral batang penis.
Seringkali, kendati tidak selalu, kelainan tersebut diasosiasikan sebagai suatu chordee,
yaitu istilah untuk penis yang melengkuk kebawah (Speer, 2007).
Hipospadia adalah suatu keadaan dengan lubang uretra terdapat pada penis bagian
bawah, bukan diujung penis. Beratnya hipospadia bervariasi, kebanyakan lubang
uretra terletak didekat ujung penis yaitu pada glans penis. Bentuk hipospadia yang
lebih berat terjadi jika lubang uretra terdapat ditengah batang penis atau pada pangkal
penis, dan kadang pada skrotum atau dibawah skrotum. Kelainan ini sering
berhubungan kordi, yaitu suatu jaringan vibrosa yang kencang yang menyebabkan
penis melengkung kebawah saat ereksi (Muslihatum, 2010).
Hipospadia adalah suatu kelainan bawaan congenital dimana meatus uretra
externa terletak di permukaan ventral penis dan lebih ke proksimal dari tempatnya
yang normal (ujung glans penis) (Mansjoer, 2000).

II. Anatomi Fisiologi


Organ genitalia pria dibedakan menjadi organ genitalia interna dan organ
genitalia eksterna. Organ genitalia interna terdiri dari testis, epididimis, duktus
deferen, funiculus spermaticus, dan kelenjar seks tambahan. Organ genitalia
eksterna terdiri dari penis, uretra, dan skrotum.
1. Organ genitalia interna
a. Testis
Testis berbentuk seperti telur yang berukuran 4x3 cm yang dikelilingi
oleh jaringan ikat kolagen (tunika albuginea). Tunika albuginea akan
memberikan septa ke dalam parenkim testis dan membagi menjadi beberapa
lobulus. Setiap lobulus mengandung 1-4 tubulus seminiferus. Tubulus
seminiferus merupakan tempat produksi sperma. Pada ujung tubulus
seminiferus ini terdapat tubulus rektus yang menghubungkan tubulus
seminiferus dengan rete testis. Rete testis terdapat dalam jaringan ikat
mediastinum yang dihubungkan oleh 10-20 duktus eferen yang ke distal
menyatu pada duktus epididimis.
b. Epididimis
Epididimis adalah saluran yang berkelok-kelok dengan panjang sekitar 4-
6 meter yang terdiri dari caput, corpus, dan cauda. Di dalam epididimis,
spermatozoa akan matang sehingga menjadi mortil dan fertil. Setelah
melalui epididimis yang merupakan tempat penyimpanan sperma sementara,
sperma akan menuju duktus deferen.
c. Duktus deferen dan funiculuc spermaticus
Duktus deferen/vas deferen adalah suatu saluran lurus berdinding tebal yang akan
menuju uretra pars prostatika. Duktus deferen bersama pembuluh darah dan
saraf, dalam selubung jaringan ikat disebut funiculus spermaticus yang akan
melalui kanalis inguinalis.
2. Organ genitalia eksterna
a. Penis
Penis terbagi menjadi radix, corpus,dan glanspenis. Penis terdiri dari 3
massa silindris yaitu dua corpora cavernosayang dipisahkan oleh septum dan
terletak di dorsal serta satu corpus spongiosumyang mengelilingi uretra dan
terletak di ventral. Glanspenis adalah ujung terminal dari corpus
spongiosumyang membesar dan menutupi ujung bebas kedua corpora
cavernosapenis. Preputium adalah lipatankulit yang retraktil pada glans penis yang
akan dipotong dalam sirkumsisi.
b. Uretra
Uretraterdiri dari 3 bagian yaitu uretra prostatika, uretra membranosa,
dan uretra spongiosa.
c. Skrotum
Skrotum adalah kantung kulit yang menggantung di luar rongga perut,
antara kaki dan dorsal penis. Terdiri dari 2 kantung yang masing-masing diisi oleh
testis, epididimis, dan bagian caudal funiculus spermaticus. Dalam
kondisi normal, suhu skrotum 3°C lebih rendah dari suhu tubuh agar dapat
memproduksi sperma yang sehat.
d. Spermatogenesis
Spermatogenesis terjadi dalam tubulus seminiferus pada testis. Tubulus
seminiferus terdiri dari tunika jaringan ikat fibrosa (tunika fibrosa), lamina basalis
yang berbatas tegas, dan epitel germinativum/kompleks seminiferus. Pada lapisan
paling dalam yang melekat pada jaringan ikat dekat lamina basalis terdiri atas sel
mieloid yang menyerupai epitel selapis. Epitel terdiri atas 2 sel yaitu
sel sertoli/penyokong dan sel seminal/turunan spermatogenik. Sel seminal ini
yang akan berproliferasi menghasilkan spermatozoa. Spermatogenesis terdiri
dari 3 fase:
1) Spermatositogenesis, dimana spematogonia membelah yang akhirnya
menghasilkan spermatosit;
2) Meiosis, dimana spermatosit mengalami pembelahan menjadi spermatid
dan terjadi pengurangan setengah jumlah kromosom dan jumlah DNA per
sel;
3) Spermiogenesis, dimana spermatid mengalami proses sitodiferensiasi
menghasilkan spermatozoa.
Proses spermatogenesis dimulai dari spematogonium yang mengalami
mitosis. Spermatogonium ada yang bentuknya tetap seperti spermatogonia A yang
terus menjadi sumber spermatogonia atau ada yang seperti spermatogonium
B yang berpotensi melanjutkan proses perkembangan. Spermatogonia B
tumbuh menghasilkan spermatosit primer. Spermatosit primer akan masuk
dalam fase meiosis. Dari pembelahan meiosis pertama akan dihasilkan
spermatosit sekunder. Spermatosit sekunder akan masuk ke pembelahan
meiosis kedua yang menghasilkan spermatid yang mengandung 23
kromosom dan DNA sejumlah n/haploid.
Pada fase spermiogenesis terjadi pembentukan kepala, bagian tengah dan
ekor sperma. Pada bagian kepala sperma terdapat akrosom yang mengandung
enzim hidrolitik yang akan melepaskan sel korona radiata dan mencernakan zona
pelusida. Saat spermatozoa bertemu ovum, akrosom akan lisis sebagian dan
mengeluarkan enzim yang dikandungnya sehingga memudahkan penetrasi sperma
ke ovum. Pada bagian tengah spermatozoa terdapat mitokondria yang akan
berkaitan dengan pembentukan energi untuk pergerakan spermatozoa. Bagian
ekor spermatozoa dibentuk oleh sentriol dan akan timbul flagelum yang
digunakan untuk pergerakan spermatozoa.

III. Etiologi
Penyebab yang jelas belum diketahui. Dapat dihubungkan dengan faktor genetik,
lingkungan atau pengaruh hormonal. Namun, ada beberapa factor yang oleh para ahli
dianggap paling berpengaruh antara lain :
a) Gangguan dan ketidakseimbangan hormone
Hormone yang dimaksud di sini adalah hormone androgen yang mengatur
organogenesis kelamin (pria). Atau biasa juga karena reseptor hormone androgennya
sendiri di dalam tubuh yang kurang atau tidak ada. Sehingga walaupun hormone
androgen sendiri telah terbentuk cukup akan tetapi apabila reseptornya tidak ada tetap
saja tidak akan memberikan suatu efek yang semestinya. Atau enzim yang berperan
dalam sintesis hormone androgen tidak mencukupi pun akan berdampak sama.
b) Genetika
Terjadi karena gagalnya sintesis androgen. Hal ini biasanya terjadi karena mutasi
pada gen yang mengode sintesis androgen tersebut sehingga ekspresi dari gen tersebut
tidak terjadi.
c) Lingkungan
Biasanya faktor lingkungan yang menjadi penyebab adalah polutan dan zat yang
bersifat teratogenik yang dapat mengakibatkan mutasi.
d) Faktor resiko
Penyebab kelainan ini adalah maskulinisasi inkomplit dari genetalia karena
involusi yang premature dari sel interstisial testis. Faktor eksogen antara lain pajanan
prenatal terhadap kokain, alcohol, fenitoin, progesitin, rubella, atau diabetes
gestasional (Mansjoer, 2000).

IV. Patofisiologi
Sekitar minggu ke-6 gestasi,tuberkulum genital berkembang ke arah anterior
menuju ke arah sinus urogenital.Pada minggu ke-8 terjadi maskulanisasi
genetalia eksterna laki-laki karena pengaruh dari sintesis testosteron oleh testis
fetus. Sintesis testosteron dilakukan oleh sel leydig dari testis fetus, dimana sel
Leydig tersebut dirangsang oleh hCG (Human Chorionic Gonadotropin).
Testosteron diubah menjadi bentuk yang lebih poten oleh enzim 5 -reduktase tipe II
menjadi dihidrotestosteron. Untuk dihidrotestosteron menjadi lebih efektif,
dihidrotestosteron harus berikatan dengan reseptor androgen yang berada di
jaringan genital. Salah satu tanda pertama dari maskulanisasi adalah menjauhnya
jarak antara anus dengan genital diikuti dengan pemanjangan dari phallus,
pembentukan uretra dan pembentukan preputium. Uretra dibentuk dari gabungan
tepi medial lipatan endodermal uretra. Peristiwa penggabungan tepi medial lipatan
endodermal uretra ini dimulai dari arah proksimal ke distal dan berakhir pada akhir
trimester pertama. Tepi ektodermal uretra bergabung menjadi preputium. Kegagalan
menyatunya lipatan endodermal uretra ini yang memicu terjadinya hipospadia.
Terhentinya perkembangan kanalisasi menyebabkan abnormalitas cakupan ventral
dari mesenkim perineal midline sepanjang uretral plate pada saat kanalisasi,
menghasilkan pembukaan uretral ektopik. Pembukaan uretral umumnya terhenti
saat mendekati coronal groove dari glans. Penghentian ini terjadi selama minggu
14 dan 15 massa perkembangan. Semakin lambat penghentian terjadi maka semakin
distal hipospadia terjadi.
Penghentian dini perkembangan menghentikan fusi dari lipatan luar genital
menghasilkan dua hemiskrotal. Kulit prepusium yang terbelah atau abnormal juga
merupakan konsekuensi dari penghentian perkembangan uretra. Pada usia kehamilan
delapan minggu, lipatan preputial muncul di kedua sisi batang penis dan bergabung
padadorsum penis. Karena tidak lengkapnyaperkembangan uretra, lipatan preputial
tidak bisa melingkar di sisi ventral.
Konsekuensinya adalah preputium tidak terdapat pada sisi ventral, dan jaringan
preputial yang berlebihan pada dorsum. Raphe median dari phallus juga berkembang
secara tidak normal. Kekurangan pertumbuhan mesenkimal dapat menyebabkan
rangkaian raphe zig-zag yang berakhir dan terbagi menjadi duacabang, satu pada
setiap sisi distal menuju "dog ears" atau sudut dari preputium yang terbelah. Area
segitiga antara dua cabang yang tidak memiliki fasia Buck dan jaringan subkutan,
merupakan aspek penting selama operasi.
Kelengkungan penis abnormal yang diamati pada saat ereksi terjadi pada banyak
pasien dengan hipospadia, namun lebih sering terjadi dan lebih berat pada pasien
dengan hipospadia tipe proksimal. Pada kasus yang lebih proksimal, kelengkungan
penis disebabkan oleh apoptosis plat uretra/ korpus spongiosum karena tidak adanya
stimulasi androgenik menghasilkan lengkungan pada corpus cavernosa. Jaringan
fibrosa, yang dipotong selama koreksi kelengkungan, disebut chordee. Kelengkungan
penis pada pasien dengan hipospadia distal lebih banyak disebabkan oleh
kurangnya panjang kulit atau pertumbuhan periurethral.

V. Klasifikasi
a) Tipe sederhana adalah tipe balanitik atau glandular, disini meatus terletak pada
pangkal glans penis. Pada kelainan ini secara klinis umumnya bersifat
asimtomatik dan tidak memerlukan suatu tindakan. Bila meatus agak sempit dapat
dilakukan dilatasi atau meatotomi.
b) Tipe penil, meatus terletak antara glans penis dan skrotum. Pada tipe ini umumnya
disertai kelainan penyerta, yaitu tidak adanya kulit prepusium bagian ventral,
sehingga penis terlihat melengkung ke bawah (chordee) atau glans penis menjadi
pipih. Pada kelainan tipe penil diperlukan intervensi tindakan bedah bertahap.
Mengingat kulit di bagian ventral prepusium tidak ada, sebaliknya pada bayi ini
tidak dilakukan sirkumsisi karena sisa kulit yang ada dapat berguna untuk
tindakan bedah plastic selanjutnya. Tindakan koreksi atau chordee umumnya
dilakukan sekitar 2 tahun, sedangkan reparasi tipe hipospadial umumnya
dilakukan sekitar umur 3 sampai 5 tahun.
c) Tipe penoskrotal dan tipe perineal. Kelainan ini cukup besar, umumnya
pertumbuhan penis akan terganggu, ada kalanya disertai skrotum bifida, meatus
uretra terbuka lebar dan umumnya testis tidak turun. Pada kejadian ini perlu
diperhatikan kemungkinan adanya pseudohermafroditisme. Tindakan bedah
bertahap dilakukan pada tahun pertama kehidupan bayi. (Markum, 1991)

VI. Manifestasi Klinis


Gejala hipospadia antara lain: lubang penis tidak terdapat diujung penis, penis
melengkung kebawah, penis tampak seperti berkerudung karena adanya kelainan pada
kulit dengan penis, jika berkemih anak harus duduk. (Muslihatum, 2010)
Pada kebanyakan penderita terdapat penis yang melengkung kearah bawah yang
akan tampak lebih jelas pada saat ereksi. Hal ini di sebabkan oleh adanya chordee,
yaitu suatu jaringan fibrosa yang menyebar mulai dari meatus yang letaknya abnormal
ke glans penis. Jaringan fibrosa ini adalah bentuk rudimenter dari uretra, korpus
spongiosum dan tunika dartos. Walaupun adanya chordee adalah salah satu cirri khas
untuk mencurigai suatu hipospadia, perlu diingat bahwa tidak semua hipospadia
memiliki chordee. (Mansjoer, 2000)
Tanda dan gejala lainnya :
a) Terbuka uretra pada saat lahir, posisi ventral atau dorsal.
b) Adanya chordee (penis melengkung kebawah) dengan atau tanpa ereksi.
c) Adanya lekukan pada ujung penis
d) Meatus uretra ventral, biasanya pada glans penis namun dapat berada pada batang
penis atau perineum.
e) Kulit yang bercelah, akibat gagal menyatu.
f) Korde, perlekatan yang menyebabkan pelengkungan penis kearah ventral, paling
terlihat jelas saat ereksi. Keadaan ini berkaitan dengan bentuk kelainan yang lebih
berat.

VII. Komplikasi
Adapun komplikasi yang dapat terjadi striktur uretra (terutama pada sambungan
meatus uretra yang sebenarnya dengan uretra yang baru dibuat) atau fisula,
infertilitas, serta gangguan psikososial.
a) Pseudohermatroditisme (keadaan yang ditandai dengan alat-alat kelamin dalam 1
jenis kelamin tetapi dengan satu beberapa ciri sexsual tertentu)
b) Psikis (malu) karena perubahan posisi BAK
c) Kesukaran saat berhubungan sexsual saat dewasa, bila tidak segera dioperasi.
Komplikasi paska operasi yang terjadi:
a) Edema/pembengkakan yang terjadi akibat reaksi jaringan besarnya dapat
bervariasi, juga terbentuknya hematom/kumpulan darah dibawah kulit, yang
biasanya dicegah dengan balut tekan selama 2 sampai 3 hari paska operasi
b) Rambut dalam uretra, yang dapat mengakibatkan infeksi saluran kencing berulang
atau pembentukan batu saat pubertas
c) Fitula uretrokutan, merupakan komplikasi yang sering dan digunakan sebagai
parameter untuk menilai keberhasilan operasi. Pada prosedur satu tahap saat ini
angka kejadian yang dapat diterima adalah 5-10 %.

VIII. Pemeriksaan Penunjang


Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan ialah dengan pemeriksaan
radiologis yaitu :
a) Foto polos abdomen atau KUB (Kidney Ureter Bladder) adalah foto screaning
untuk pemeriksaan kelainan – kelainan urologi
b) Pyelografi Intravena (PIV) atau Intra Venous Pyelografi (IVP) atau dikenal
dengan Intravenous Urografi melalui bahan – bahan kontras radio opak
c) USG Sistem Kemih Kelamin, Prinsip pemeriksaan ultrasonografi adalah
menangkap gelombang bunyi ultra yang dipantulkan oleh organ – organ yang
berbeda kepadatannya, ultrasonografi banyak dipakai untuk mencari kelainan –
kelainan pada ginjal, buli – buli, prostat, testis dan pemeriksaan pada kasus
keganasan

IX. Penatalaksanaan Medis


a) Operasi penglepasan choorde atau tunneling
Dilakukan pada usia 1 1/2 – 2 tahun. Pada tahap ini dilakukan operasi eksisi
chordee dari muara uretra sampai ke glans penis. Setelah eksisi chordee maka penis
akan menjadi lurus akan tetapi meatus uretra masih terletak abnormal. Untuk melihat
keberhasilan setelah eksisi dilakukan tes ereksi buatan intraoperatif dengan
menyuntikkan NaCl 0,9% ke dalam korpus kavernosum.
Pada saat yang bersamaan dilakukan operasi tunneling yaitu pembuatan uretra
pada gland penis dan muaranya. Bahan untuk menutup luka eksisi chordee dan
pembuatan tunnelling diambil dari preputium penis bagian dorsal. Oleh karena itu
hipospadia merupakan kontraindikasi mutlak untuk sirkumsisi.
b) Operasi uretroplasti
Biasanya dilakukan 6 bulan setelah operasi pertama. Uretra dibuat dari kulit penis
bagian ventral yang di insisi secara longitudional paralel di kedua sisi. Beberapa tahun
terakhir, sudah mulai diterapkan operasi yang dilakukan hanya satu tahap akan tetapi
operasi hanya dapat dilakukan pada hipospadia tipe distal dengan ukuran penis yang
cukup besar. Operasi hipospadia ini sebaiknya sudah selesai dilakukan seluruhnya
sebelum anak masuk sekolah, karena dikhawatiran akan timbul rasa malu pada anak
akibat merasa berbeda dengan teman-temannya. (Mansjoer, 2000)
Bayi yang menderita hipospadia sebaiknya tidak disunat. Kulit depan penis
dibiarkan untuk digunakan pada pembedahan. Rangkaian pembedahan biasanya telah
selesai dilakukan sebelum anak mulai sekolah. Pada saat ini perbaikan hipospadia
dianjurkan sebelum anak berumur 18 bulan.
Jika tidak diobati, mungkin akan terjadi kesulitan dalam pelatihan buang air pada
anak dan pada saat dewasa, mungkin akan terjadi gangguan dalam melakukan
hubungan seksual. (Muslihatum, 2010)
Terapi untuk hipospadia adalah dengan pembedahan, untuk mengembalikan
penampilan dan fungsi normal penis. Pembedahan biasanya tidak dijadwalkan sampai
bayi berusia 1 sampai 2 tahun, ketika ukuran penis menyetakan sebagai ukuran yang
layak dioperasi. (Speer, 2007)
Koreksi dengan pembedahan dilakukan pada usia 2 tahun sehingga meatus uretra
berada pada ujung penis, ereksi dapat lurus, dan penis terlihat normal. Pada sebagian
besar kasus hipospadia yang hanya mengenai glans penis, pembedahan tidak
diperlukan kecuali kadang-kadang untuk alasan kosmetik. (Lissauer, 2008)

X. Asuhan Keperawatan
A. Pengkajian
1) Fisik
a. Pemeriksaan genetalia
b. Palpasi abdomen untuk melihat distensi vesika urinaria atau pembesaran pada
ginjal.
c. Kaji fungsi perkemihan
d. Adanya lekukan pada ujung penis
e. Melengkungnya penis ke bawah dengan atau tanpa ereksi
f. Terbukanya uretra pada ventral
g. Pengkajian setelah pembedahan : pembengkakan penis, perdarahan, dysuria,
drinage.
2) Mental
a. Sikap pasien sewaktu diperiksa
b. Sikap pasien dan orang tua dengan adanya rencana pembedahan
c. Tingkat kecemasan
d. Tingkat pengetahuan keluarga dan pasien

B. Diagnosa keperawatan
Pre Operasi :
1) Kecemasan orang tua berhubungan dengan prosedur pembedahan.
2) Kurangnya pengetahuan orang tua berhubungan dengan diagnosa, prosedur
pembedahan dan perawatan setelah operasi.
Post Operasi :
1) Nyeri akut berhubungan dengan post prosedur operasi.
2) Resiko tinggi infeksi berhubungan dengan invasi kateter.

C. Rencana asuhan keperawatan


Pre Operasi
1) Diagnosa keperawatan: Kecemasan orang tua berhubungan dengan prosedur
pembedahan.
Tujuan : Diharapkan masalah klien dapat teratasi dengan kriteria:
1. Kecemasan orang tua teratasi
2. Orang tua mampu melalui masalah dalam batas normal
3. Orang tua mau mendukung kesembuhan anaknya
Intervensi :
1. Anjurkan orangtua untuk mengekpresikan perasaan dan kekhawatiran mereka
tentang ketidaksempurnaan fisik anak. Fokuskan pada pertanyaan tentang
seksualitas dan reproduksi
2. Bantu orang tua melalui proses berduka yang normal
3. Rujuk orang tua kepada kelompok pendukung yang tepat
4. Jelaskan perlunya menjalani pembedahan multiple, dan jawab setiap pertanyaan
yang muncul dari orang tua

2) Diagnosa keperawatan: Defisit pengetahuan berhubungan dengan kurangnya


informasi

Tujuan: Diharapkan masalah klien dapat teratasi dengan kriteria:


1. Pemahaman orang tua mengenai penyakit anaknya dapat meningkat
2. Orang tua tau cara mengantisipasi dan mengobati anaknya
3. Klien mengetahui cara perawatan anaknya dirumah
Intervensi :
1. Ajarkan orang tua cara merawat katetr dan penis, termasuk membersihkan daerah
sekeliling kateter, mengosongkan kanting drainase dan memfiksasi kateter,
jelaskan memantau warna serta kejernihan urine
2. Anjurkan orang tua untuk mencegah anak untuk tidak mengambil posisi
mengangkang, saat mengendarai sepeda atau menunggang kuda
3. Ajarkan orang tua tentang tujuan dan penggunaan obat antibiotik serta obat-
obatan, untuk spasem kandung kemih (meperidin hidroklorida (Demerol),
asetaminofen (Tylenol) jelaskan juga perincian tentang pemberian dosis dan efek
samping
4. Jelaskan cara mengganti balutan dengan baik dan kontrol rutin ke rumah sakit

Post Operasi
1) Diagnosa keperawatan: Nyeri akut berhubungan dengan inflamasi proses
penyembuhan luka
Tujuan: Setelah dilakukan tindakan keperawatan diharapkan nyeri berkurang dengan
kriteria:
1. Skala nyeri menurun
2. Klien mampu mengontrol nyeri
3. Klien mengkonsumsi makanan tinggi protein untuk penyembuhan luka
Intervensi :
NIC 1 : Manajemen nyeri.
1. Kaji secara komperhensif mengenai lokasi, karakteristik, durasi, frekuensi,
kualitas, intensitas, dan faktor pencetus nyeri.
2. Observasi keluhan nonverbal dari ketidaknyamanan.
3. Ajarkan teknik nonfarmakologi (relaksasi) nafas dalam atau distraksi dengan
bermain game di smartphone
4. Bantu pasien & keluarga untuk mengontrol nyeri.
5. Beri informasi tentang nyeri (penyebab, durasi, prosedur antisipasi nyeri)
6. Posisikan pasien dalam posisi yang nyaman
7. Monitoring tanda-tanda vital setiap 2 jam
8. Berikan cara relaksasi Ajarkan klien untuk jangan takut bergerak agar tidak terjadi
kekakuan kaki, dekubitus dan mempercepat proses penyembuhan luka
9. Anjurkan klien mengkonsumsi makanan kaya protein untuk membantu proses
penyembuhan luka
10. Pastikan kateter anak dipasang dengan benar, dan bebas dari simpul
11. Kolaborasi dalam pemberian analgesik sesuai program

2) Diagnosa keperawatan: Resiko infeksi berhubungan dengan adanya port the entry
luka insisi
Tujuan: Setelah dilakukan tindakan keperawatan diharapkan tidak terjadi infeksi
dengan kriteria
1. Tidak terjadi tanda-tanda infeksi
2. Balutan dalam keadaan bersih
3. Klien tidak mengeluh demam
Intervensi:
NIC 1 : Kontrol infeksi
1. Ajarkan pasien & kelurga cara mencucitangan yang benar.
2. Ajarkan pada pasien & keluarga tanda gejala infeksi & kapan harus melaporkan
kepada petugas.
3. Batasi pengunjung.
4. Bersihkan lingkungan dengan benar setelah digunakan pasien.
NIC 2 : Perawatan luka
1. Catat karakteristik luka, drainase.
2. Bersihkan luka dan ganti balutan dengan teknik steril.
3. Cuci tangan dengan benar sebelum dan sesudah tindakan.
4. Ajarkan pada pasien dan kelurga cara prosedur perawatan luka
NIC 3 : Perlindungan infeksi
1. Monitor peningkatan granulossi, sel darah putih.
2. Kaji faktor yang dapat meningkatkan infeksi.
DAFTAR PUSTAKA

Alatas, Husein dkk. (2002). Buku Ajar Nefrologi Anak. Jakarta: Penerbit Behrman
Richard E. (2010). Esensi Pediatri. Jakarta:EGC
Brough, Helen. (2007). Rujukan Cepat Pediatri Dan Kesehatan Anak. Jakarta: EGC
Lissauer,Tom. (2006). At a Glance Neonatologi. Jakarta: Penerbit Erlangga
Markum, A H. (1991). Buku Ajar Ilmu Kesehatan Anak.Jakarta: Penerbit Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia
Muscari, Mary E. (2005). Keperawatan Pediatrik. Jakarta: EGC
Muslihatum, Wafi Nur. (2010). Asuhan Neonatus Bayi dan Balita. Yogyakarta: Penerbit
Fitramaya
Short, J R. (2011). Sinopsis Pediatri.Tanggerang: Binarupa Aksara Publisher
Speer, Kathleen Morgan. (2007). Rencana Asuhan Keperawatan Pediatrik. Jakarta: EGC

Anda mungkin juga menyukai