HIPOSPADIA
Disusun untuk memenuhi salah satu tugas pada stase keperawatan anak
WINA WININGSIH
NPM. 220110150094
III. Etiologi
Penyebab yang jelas belum diketahui. Dapat dihubungkan dengan faktor genetik,
lingkungan atau pengaruh hormonal. Namun, ada beberapa factor yang oleh para ahli
dianggap paling berpengaruh antara lain :
a) Gangguan dan ketidakseimbangan hormone
Hormone yang dimaksud di sini adalah hormone androgen yang mengatur
organogenesis kelamin (pria). Atau biasa juga karena reseptor hormone androgennya
sendiri di dalam tubuh yang kurang atau tidak ada. Sehingga walaupun hormone
androgen sendiri telah terbentuk cukup akan tetapi apabila reseptornya tidak ada tetap
saja tidak akan memberikan suatu efek yang semestinya. Atau enzim yang berperan
dalam sintesis hormone androgen tidak mencukupi pun akan berdampak sama.
b) Genetika
Terjadi karena gagalnya sintesis androgen. Hal ini biasanya terjadi karena mutasi
pada gen yang mengode sintesis androgen tersebut sehingga ekspresi dari gen tersebut
tidak terjadi.
c) Lingkungan
Biasanya faktor lingkungan yang menjadi penyebab adalah polutan dan zat yang
bersifat teratogenik yang dapat mengakibatkan mutasi.
d) Faktor resiko
Penyebab kelainan ini adalah maskulinisasi inkomplit dari genetalia karena
involusi yang premature dari sel interstisial testis. Faktor eksogen antara lain pajanan
prenatal terhadap kokain, alcohol, fenitoin, progesitin, rubella, atau diabetes
gestasional (Mansjoer, 2000).
IV. Patofisiologi
Sekitar minggu ke-6 gestasi,tuberkulum genital berkembang ke arah anterior
menuju ke arah sinus urogenital.Pada minggu ke-8 terjadi maskulanisasi
genetalia eksterna laki-laki karena pengaruh dari sintesis testosteron oleh testis
fetus. Sintesis testosteron dilakukan oleh sel leydig dari testis fetus, dimana sel
Leydig tersebut dirangsang oleh hCG (Human Chorionic Gonadotropin).
Testosteron diubah menjadi bentuk yang lebih poten oleh enzim 5 -reduktase tipe II
menjadi dihidrotestosteron. Untuk dihidrotestosteron menjadi lebih efektif,
dihidrotestosteron harus berikatan dengan reseptor androgen yang berada di
jaringan genital. Salah satu tanda pertama dari maskulanisasi adalah menjauhnya
jarak antara anus dengan genital diikuti dengan pemanjangan dari phallus,
pembentukan uretra dan pembentukan preputium. Uretra dibentuk dari gabungan
tepi medial lipatan endodermal uretra. Peristiwa penggabungan tepi medial lipatan
endodermal uretra ini dimulai dari arah proksimal ke distal dan berakhir pada akhir
trimester pertama. Tepi ektodermal uretra bergabung menjadi preputium. Kegagalan
menyatunya lipatan endodermal uretra ini yang memicu terjadinya hipospadia.
Terhentinya perkembangan kanalisasi menyebabkan abnormalitas cakupan ventral
dari mesenkim perineal midline sepanjang uretral plate pada saat kanalisasi,
menghasilkan pembukaan uretral ektopik. Pembukaan uretral umumnya terhenti
saat mendekati coronal groove dari glans. Penghentian ini terjadi selama minggu
14 dan 15 massa perkembangan. Semakin lambat penghentian terjadi maka semakin
distal hipospadia terjadi.
Penghentian dini perkembangan menghentikan fusi dari lipatan luar genital
menghasilkan dua hemiskrotal. Kulit prepusium yang terbelah atau abnormal juga
merupakan konsekuensi dari penghentian perkembangan uretra. Pada usia kehamilan
delapan minggu, lipatan preputial muncul di kedua sisi batang penis dan bergabung
padadorsum penis. Karena tidak lengkapnyaperkembangan uretra, lipatan preputial
tidak bisa melingkar di sisi ventral.
Konsekuensinya adalah preputium tidak terdapat pada sisi ventral, dan jaringan
preputial yang berlebihan pada dorsum. Raphe median dari phallus juga berkembang
secara tidak normal. Kekurangan pertumbuhan mesenkimal dapat menyebabkan
rangkaian raphe zig-zag yang berakhir dan terbagi menjadi duacabang, satu pada
setiap sisi distal menuju "dog ears" atau sudut dari preputium yang terbelah. Area
segitiga antara dua cabang yang tidak memiliki fasia Buck dan jaringan subkutan,
merupakan aspek penting selama operasi.
Kelengkungan penis abnormal yang diamati pada saat ereksi terjadi pada banyak
pasien dengan hipospadia, namun lebih sering terjadi dan lebih berat pada pasien
dengan hipospadia tipe proksimal. Pada kasus yang lebih proksimal, kelengkungan
penis disebabkan oleh apoptosis plat uretra/ korpus spongiosum karena tidak adanya
stimulasi androgenik menghasilkan lengkungan pada corpus cavernosa. Jaringan
fibrosa, yang dipotong selama koreksi kelengkungan, disebut chordee. Kelengkungan
penis pada pasien dengan hipospadia distal lebih banyak disebabkan oleh
kurangnya panjang kulit atau pertumbuhan periurethral.
V. Klasifikasi
a) Tipe sederhana adalah tipe balanitik atau glandular, disini meatus terletak pada
pangkal glans penis. Pada kelainan ini secara klinis umumnya bersifat
asimtomatik dan tidak memerlukan suatu tindakan. Bila meatus agak sempit dapat
dilakukan dilatasi atau meatotomi.
b) Tipe penil, meatus terletak antara glans penis dan skrotum. Pada tipe ini umumnya
disertai kelainan penyerta, yaitu tidak adanya kulit prepusium bagian ventral,
sehingga penis terlihat melengkung ke bawah (chordee) atau glans penis menjadi
pipih. Pada kelainan tipe penil diperlukan intervensi tindakan bedah bertahap.
Mengingat kulit di bagian ventral prepusium tidak ada, sebaliknya pada bayi ini
tidak dilakukan sirkumsisi karena sisa kulit yang ada dapat berguna untuk
tindakan bedah plastic selanjutnya. Tindakan koreksi atau chordee umumnya
dilakukan sekitar 2 tahun, sedangkan reparasi tipe hipospadial umumnya
dilakukan sekitar umur 3 sampai 5 tahun.
c) Tipe penoskrotal dan tipe perineal. Kelainan ini cukup besar, umumnya
pertumbuhan penis akan terganggu, ada kalanya disertai skrotum bifida, meatus
uretra terbuka lebar dan umumnya testis tidak turun. Pada kejadian ini perlu
diperhatikan kemungkinan adanya pseudohermafroditisme. Tindakan bedah
bertahap dilakukan pada tahun pertama kehidupan bayi. (Markum, 1991)
VII. Komplikasi
Adapun komplikasi yang dapat terjadi striktur uretra (terutama pada sambungan
meatus uretra yang sebenarnya dengan uretra yang baru dibuat) atau fisula,
infertilitas, serta gangguan psikososial.
a) Pseudohermatroditisme (keadaan yang ditandai dengan alat-alat kelamin dalam 1
jenis kelamin tetapi dengan satu beberapa ciri sexsual tertentu)
b) Psikis (malu) karena perubahan posisi BAK
c) Kesukaran saat berhubungan sexsual saat dewasa, bila tidak segera dioperasi.
Komplikasi paska operasi yang terjadi:
a) Edema/pembengkakan yang terjadi akibat reaksi jaringan besarnya dapat
bervariasi, juga terbentuknya hematom/kumpulan darah dibawah kulit, yang
biasanya dicegah dengan balut tekan selama 2 sampai 3 hari paska operasi
b) Rambut dalam uretra, yang dapat mengakibatkan infeksi saluran kencing berulang
atau pembentukan batu saat pubertas
c) Fitula uretrokutan, merupakan komplikasi yang sering dan digunakan sebagai
parameter untuk menilai keberhasilan operasi. Pada prosedur satu tahap saat ini
angka kejadian yang dapat diterima adalah 5-10 %.
X. Asuhan Keperawatan
A. Pengkajian
1) Fisik
a. Pemeriksaan genetalia
b. Palpasi abdomen untuk melihat distensi vesika urinaria atau pembesaran pada
ginjal.
c. Kaji fungsi perkemihan
d. Adanya lekukan pada ujung penis
e. Melengkungnya penis ke bawah dengan atau tanpa ereksi
f. Terbukanya uretra pada ventral
g. Pengkajian setelah pembedahan : pembengkakan penis, perdarahan, dysuria,
drinage.
2) Mental
a. Sikap pasien sewaktu diperiksa
b. Sikap pasien dan orang tua dengan adanya rencana pembedahan
c. Tingkat kecemasan
d. Tingkat pengetahuan keluarga dan pasien
B. Diagnosa keperawatan
Pre Operasi :
1) Kecemasan orang tua berhubungan dengan prosedur pembedahan.
2) Kurangnya pengetahuan orang tua berhubungan dengan diagnosa, prosedur
pembedahan dan perawatan setelah operasi.
Post Operasi :
1) Nyeri akut berhubungan dengan post prosedur operasi.
2) Resiko tinggi infeksi berhubungan dengan invasi kateter.
Post Operasi
1) Diagnosa keperawatan: Nyeri akut berhubungan dengan inflamasi proses
penyembuhan luka
Tujuan: Setelah dilakukan tindakan keperawatan diharapkan nyeri berkurang dengan
kriteria:
1. Skala nyeri menurun
2. Klien mampu mengontrol nyeri
3. Klien mengkonsumsi makanan tinggi protein untuk penyembuhan luka
Intervensi :
NIC 1 : Manajemen nyeri.
1. Kaji secara komperhensif mengenai lokasi, karakteristik, durasi, frekuensi,
kualitas, intensitas, dan faktor pencetus nyeri.
2. Observasi keluhan nonverbal dari ketidaknyamanan.
3. Ajarkan teknik nonfarmakologi (relaksasi) nafas dalam atau distraksi dengan
bermain game di smartphone
4. Bantu pasien & keluarga untuk mengontrol nyeri.
5. Beri informasi tentang nyeri (penyebab, durasi, prosedur antisipasi nyeri)
6. Posisikan pasien dalam posisi yang nyaman
7. Monitoring tanda-tanda vital setiap 2 jam
8. Berikan cara relaksasi Ajarkan klien untuk jangan takut bergerak agar tidak terjadi
kekakuan kaki, dekubitus dan mempercepat proses penyembuhan luka
9. Anjurkan klien mengkonsumsi makanan kaya protein untuk membantu proses
penyembuhan luka
10. Pastikan kateter anak dipasang dengan benar, dan bebas dari simpul
11. Kolaborasi dalam pemberian analgesik sesuai program
2) Diagnosa keperawatan: Resiko infeksi berhubungan dengan adanya port the entry
luka insisi
Tujuan: Setelah dilakukan tindakan keperawatan diharapkan tidak terjadi infeksi
dengan kriteria
1. Tidak terjadi tanda-tanda infeksi
2. Balutan dalam keadaan bersih
3. Klien tidak mengeluh demam
Intervensi:
NIC 1 : Kontrol infeksi
1. Ajarkan pasien & kelurga cara mencucitangan yang benar.
2. Ajarkan pada pasien & keluarga tanda gejala infeksi & kapan harus melaporkan
kepada petugas.
3. Batasi pengunjung.
4. Bersihkan lingkungan dengan benar setelah digunakan pasien.
NIC 2 : Perawatan luka
1. Catat karakteristik luka, drainase.
2. Bersihkan luka dan ganti balutan dengan teknik steril.
3. Cuci tangan dengan benar sebelum dan sesudah tindakan.
4. Ajarkan pada pasien dan kelurga cara prosedur perawatan luka
NIC 3 : Perlindungan infeksi
1. Monitor peningkatan granulossi, sel darah putih.
2. Kaji faktor yang dapat meningkatkan infeksi.
DAFTAR PUSTAKA
Alatas, Husein dkk. (2002). Buku Ajar Nefrologi Anak. Jakarta: Penerbit Behrman
Richard E. (2010). Esensi Pediatri. Jakarta:EGC
Brough, Helen. (2007). Rujukan Cepat Pediatri Dan Kesehatan Anak. Jakarta: EGC
Lissauer,Tom. (2006). At a Glance Neonatologi. Jakarta: Penerbit Erlangga
Markum, A H. (1991). Buku Ajar Ilmu Kesehatan Anak.Jakarta: Penerbit Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia
Muscari, Mary E. (2005). Keperawatan Pediatrik. Jakarta: EGC
Muslihatum, Wafi Nur. (2010). Asuhan Neonatus Bayi dan Balita. Yogyakarta: Penerbit
Fitramaya
Short, J R. (2011). Sinopsis Pediatri.Tanggerang: Binarupa Aksara Publisher
Speer, Kathleen Morgan. (2007). Rencana Asuhan Keperawatan Pediatrik. Jakarta: EGC