Anda di halaman 1dari 15

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Berdasarkan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem
Jaminan Sosial Nasional (SJSN), Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) yang
dikembangkan di Indonesia merupakan bagian dari Sistem Jaminan Sosial
Nasional (SJSN) yang diselenggarakan dengan menggunakan mekanisme
asuransi kesehatan sosial yang kepesertaannya bersifat wajib (mandatory).
Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) merupakan sebuah Sistem Jaminan
Sosial yang diberlakukan di Indonesia. Jaminan Sosial ini merupakan salah
satu bentuk perlindungan sosial yang diselenggarakan oleh Negara Republik
Indonesia guna menjamin warga negaranya untuk memenuhi kebutuhan
hidup dasar yang layak, sebagaimana dalam Deklarasi PBB tentang Hak
Asasi Manusia (HAM) tahun 1948 dan konvensi ILO No. 102 tahun 1952
(Kemenkes RI, 2012).
Jaminan Kesehatan adalah jaminan berupa perlindungan kesehatan
agar peserta memperoleh manfaat pemeliharaan kesehatan dan
perlindungan dalam memenuhi kebutuhan dasar kesehatan yang diberikan
kepada setiap orang yang telah membayar iurannya. Manfaat yang dijamin
oleh Program JKN berupa pelayanan kesehatan perseorangan yang
komprehensif, mencakup pelayanan promotif, preventif, kuratif dan
rehabilitatif termasuk obat dan bahan medis. Pemberian manfaat
menggunakan teknik layanan terkendali mutu dan biaya (managed care).
JKN merupakan program jaminan social yang menjamin biaya
pemeliharaan kesehatan serta pemenuhan kebutuhan dasar kesehatan yang
diselenggarakan nasional secara gotong royong wajib oleh seluruh penduduk
Indonesia dengan membayar premi secara berkala atau dibayarkan oleh
pemerintah kepada Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS).
Pembayaran tarif premi setiap bulannya secara mandiri sesuai dengan kelas
yang dipilih terdiri dari tiga kelas, yaitu: Kelas 1 sebesar Rp. 80.000,-

1
/orang/bulan; Kelas 2 sebesar Rp. 51.000,-/ orang/bulan; dan Kelas 3
sebesar Rp. 25.500,-/orang/ bulan. ( Menurut Peraturan Presiden Republik
Indonesia Nomor 12 Tahun 2013 Tentang Jaminan Kesehatan,).
Berdasarkan UU Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) dan UU
Kesehatan, pemerintah menjamin kesediaan obat bagi Masyarakat dan
menyusun daftar dan harga yang dijamin dalam mekanisme asuransi
kesehatan yang dikelola BPJS Kesehatan. Oleh karena itu, dalam era JKN
ini Pemerintah melalui Kementerian Kesehatan menetapkan Formularium
Nasional (FORNAS) untuk mengendalikan mutu dan e-catalogue obat untuk
mengendalikan biaya sehingga obat aman, bermutu, berkhasiat, dan cos-
effectiveness. Namun, dalam implementasianya masih banyak masyarakat
yang meragukan mutu obat dari program JKN tersebut (Arianti, 2017).
Seperti yang dikutip dalam halaman:
“https://republika.co.id/berita/kolom/wacana/oxmykk440/obat-berkualitas-
rendah-untuk-rakyat-part1’’, yang menjelaskan tentang Harga obat
pemenang e-Catalog yang sangat murah dan tidak masuk akal sehingga
timbul pertanyaan , Apakah pabrikan tersebut mempunyai kapasitas produksi
yang memadai dan melaksanakan sistem jaminan mutu yang dapat
diandalkan. Di antara pemenang tender terdapat perusahaan yang
reputasinya jelek dan beroperasi hanya untuk tender e-Catalog.
Untuk dapat menelaah Iseu tersebut maka dilakuakan penulisan
makalah tentang ‘’Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Produksi Obat
Berkualitas ‘’ yang merupakan salah satu tugas Mata Kuliah Kapita Selekta II
dalam memenuhi persyaratan perkuliahan.

1.2. Rumusan Masalah


1. Bagaimana cara produksi dan kriteria obat yang baik
2. Apa saja faktor-faktor yang mempengaruhi produksi obat berkualitas

2
1.3. Tujuan
1. Untuk Mengetahui cara produksi dan kriteria obat yang baik
2. Untuk Mengetahi fakto-faktor yang mempengaruhi produksi obat
berkualitas

1.4. Manfaat
1. Dapat mengetahui dan memahami cara produksi dan kriteria obat
yang baik dan factor-faktor yang mempengaruhi produksi obat
berkualitas
2. Sebagai pustaka dan memberikan informasi tambahan bagi
mahasiswa di Fakultas Farmasi Universitas Pancasila

3
BAB II
MATERI POKOK

2.1. Jaminan Kesehatan Nasional


Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) merupakan bagian dari program
Sistem Jaminan Kesehatan Nasional (SJSN). Berdasarkan Undang-Undang
No. 40 tahun 2004, SJSN diselenggarakan oleh beberapa Badan
Penyelenggara Jaminan Sosial yaitu Perusahaan Perseroan Jaminan Sosial
Tenaga Kerja (Jamsostek), Perusahaan Perseroan Dana Tabungan dan
Asuransi Pegawai Negeri (Taspen), Perusahaan Perseroan Asuransi Sosial
Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ASABRI), dan Perusahaan
Perseroan Asuransi Kesehatan Indonesia (Askes). Setelah pembentukan
BPJS berdasarkan Undang-Undang No. 24 Tahun 2011 tentang Badan
Penyelenggara Jaminan Sosial, maka keempat lembaga tersebut
bertransformasi menjadi Badan Penyelenggaraan Jaminan Sosial (BPJS)
Undang-Undang ini merupakan pelaksanaan dari Pasal 5 ayat (1) dan Pasal
52 Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial
Nasional yang mengamanatkan pembentukan Badan Penyelenggara
Jaminan Sosial. Karena merupakan bagian dari SJSN, maka JKN
diselenggarakan bersifat wajib (Mandatory) hal ini berdasarkan Undang-
Undang No.40 Tahun 2004, yang bertujuan melindungi Penduduk Indonesia
dalam sistem Asuransi sehingga dapat memenuhi kebutuhan dasar
kesehatan masyarakat (Kemenkes, 2014).

2.2. Manfaat JKN


Manfaat JKN Manfaat JKN seperti yang tertuang dalam Undang-
Undang No. 40 Tahun 2004 adalah pelayanan kesehatan perseorangan
yang bukan hanya pelayanan kesehatan yang berupa kuratif dan rehabilitatif,
tetapi juga mencakup pelayanan promotif dan preventif, termasuk obat-
obatan dan bahan medis habis pakai yang diperlukan. Pelayanan
kesehehatan yang dimaksud di sini adalah pelayanan kesehatan yang terdiri

4
atas manfaat medis dan manfaat non medis. Yang dimaksud dengan
manfaat medis berupa penyuluhan kesehatan, pemeriksaan penunjang
diagnostik, konsultasi, transfusi, tindakan medis dan perawatan, bahan
medis habis pakai, obat-obatan, rehabilitasi medis, pelayanan kedokteran
forensik, serta pelayanan jenasah. Manfaat medis yang diterima peserta JKN
ini tidak dipengaruhi oleh besaran iuran yang dibayar peserta. Sedangkan
yang termasuk dalam manfaat non medis adalah akomodasi layanan rawat
inap dan ambulan yang digunakan untuk pasien rujukan. Manfaat non medis
ini berbeda tiap peserta, bergantung pada besaran iuran yang dibayarkan
peserta (Perpres No. 12 Tahun 2013).

2.3. Obat
Obat menurut UU No. 36 tahun 2009 adalah bahan atau paduan
bahan, termasuk produk biologi yang digunakan untuk mempengaruhi atau
menyelidiki sistem fisiologi atau keadaan patologi dalam rangka penetapan
diagnosis, pencegahan, penyembuhan, pemulihan, peningkatan kesehatan
dan kontrasepsi, untuk manusia. Bahan Obat adalah bahan baik yang
berkhasiat maupun tidak berkhasiat yang digunakan dalam pengolahan obat
dengan standar dan mutu sebagai bahan baku farmasi termasuk baku
pembanding.
Menurut Peraturan Kepala Badan Pengawas Obat Dan Makanan
Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2017 Tentang Kriteria Dan Tata
Laksana Registrasi Obat, obat yang akan diedarkan di wilayah indonesia
wajib memiliki izin edar. Obat yang mendapat Izin Edar harus memenuhi
kriteria berikut:
a. Khasiat yang meyakinkan dan keamanan yang memadai
dibuktikan melalui uji nonklinik dan uji klinik atau bukti-bukti lain
sesuai dengan status perkembangan ilmu pengetahuan
b. Mutu yang memenuhi syarat sesuai dengan standar yang
ditetapkan, termasuk proses produksi sesuai dengan CPOB dan
dilengkapi dengan bukti yang sahih

5
c. Informasi Produk dan Label berisi informasi lengkap, objektif dan
tidak menyesatkan yang dapat menjamin penggunaan Obat secara
tepat, rasional dan aman.
Selain harus memenuhi kriteria diatas, obat juga harus memenuhi kriteria
sebagai berikut:
a. Khusus untuk Psikotropika baru, harus memiliki keunggulan
dibandingkan dengan Obat yang telah disetujui beredar di
Indonesia
b. Khusus Obat program kesehatan nasional, harus sesuai dengan
persyaratan yang ditetapkan oleh instansi pemerintah
penyelenggara program kesehatan nasional

6
BAB III

PEMBAHASAN

3.1. Permasalahan Dalam Program JKN


Keberhasilan program JKN-KIS tidak bisa lepas dari dukungan
fasilitas kesehatan selaku mitra BPJS Kesehatan. Karena itu, perlu terus
ditingkatkan peran dan fungsinya dalam memberikan pelayanan, dengan
kendali mutu sesuai dengan ketentuan yang berlaku dalam pelaksanaan
JKN-KIS. Dengan semakin banyak masyarakat yang memanfaatkan
Program JKN-KIS, tercatat sampai dengan akhir tahun 2016 total
pemanfaatan di fasilitas kesehatan oleh peserta BPJS Kesehatan mencapai
192,9 juta kunjungan/kasus, yaitu terdiri dari 134,9 juta kunjungan di fasilitas
kesehatan tingkat pertama (Puskesmas, Dokter Praktik Perorangan, dan
Klinik Pratama/Swasta), serta 50,4 juta kunjungan Rawat Jalan Tingkat
Lanjutan (Poliklinik RS) dan 7,6 juta kasus Rawat Inap Tingkat Lanjutan
(RS).

Hingga 1 Mei 2017, jumlah peserta JKN-KIS sudah mencapai


176.738.998 jiwa. BPJS Kesehatan juga telah bekerjasama dengan kurang
lebih 20.775 Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama (Puskesmas, Klinik
Pratama, Dokter Prakter Perorangan, dll) dan 5.257 Fasilitas Kesehatan
Rujukan Tingkat Lanjutan, terdiri dari 2.128 Rumah Sakit, serta 3.192 faskes
penunjang (Apotik, Optik) yang tersebar di seluruh Indonesia.

Namun masih banyak peserta JKN-KIS yang mengeluhkan terhadap


kualitas pelayanan di fasilitas kesehatan. Kualitas pelayanan fasilitas
kesehatan yang dikeluhkan salah satunya yaitu standar dari kualitas obat
obatan. Dari berbagai studi literatur terkait dengan obat JKN, pemerintah
berperan sebagai kreator dan regulator di bidang pembuatan kebijakan
terkait kebijakan yang mempengaruhi dunia usaha, khususnya industri
farmasi diantaranya kebijakan moneter, fiskal, perpajakan, tenaga kerja,
persyaratan, dan pendirian usaha baru. Di sektor farmasi regulasi juga

7
sangat ditentukan oleh pemerintah, karena bidang farmasi mempunyai dua
orientasi yaitu bisnis dan sosial. Contoh yang paling hangat saat ini adalah
kebijakan pemerintah soal penetapan harga obat JKN, khususnya obat
generik. Menurut GP Farmasi, penetapan harga obat generik belum
sepenuhnya melibatkan industri farmasi, sehingga tidak bisa langsung
diterapkan. Banyak industri farmasi mengeluhkan harga obat generik yang
ditetapkan oleh pemerintah jauh dibawah biaya produksi. Akibatnya banyak
industri farmasi tidak mampu memproduksi obat yang biasanya dibuat
karena margin profitnya sudah tipis. Akibatnya beberapa obat generik tidak
tersedia di pasaran.

Sebelum diberlakukannya JKN, pengadaan obat sektor publik


dilakukan oleh masing masing unit penyelenggara pelayanan kesehatan.
Pengadaan obat pada waktu itu memang sudah mengacu pada Daftar Obat
Esensial Nasional (DOEN). Namun, masih diberikan peluang untuk
mengadakan obat lain yang tercantum dalam Formularium Rumah Sakit.
Pola pengadaan obat seperti ini selain menimbulkan disparitas harga, juga
berakibat jenis obat yang berbeda antara rumah sakit yang satu dan yang
lain. Sistem seperti ini mengakibatkan pemborosan anggaran obat dan ada
kecenderungan penggunaan obat tidak rasional. Sistem pengadaan obat
sektor publik ini diubah dengan tender e-Catalog melalui e-purchasing oleh
Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang Jasa Pemerintah (LKPP).

Dalam beberapa hal, penghematan oleh LKPP melalui tender e-


Catalog bisa membahayakan keselamatan dan kesehatan masyarakat.
Beberapa obat yang menang tender, harganya tidak masuk akal dan
terkesan kuat tidak memperhatikan aspek keamanan, khasiat, dan mutu
obat. Fakta menyebutkan, pemenang tender e-Catalog untuk Kaplet
Parasetamol 500 mg harganya Rp 49 per kaplet dengan jumlah pasokan 2,9
miliar kaplet. Menurut importir bahan baku obat terkemuka, harga pemenang
tender tersebut tidak masuk akal karena kelewat murah. Selain itu, jumlah

8
yang harus dipasok juga sangat fantastis dan di luar kapasitas produksi satu
perusahaan manufaktur farmasi.

Produk-produk lainya yaitu antara lain, Deksametason 0,5 mg kaplet


dengan harga Rp 41 per kaplet yang dipesan sebanyak 329 juta butir. Ada
pula Amoksisilin 500 mg kaplet dengan harga Rp 190 per kaplet yang
dipesan sebanyak 604 juta butir, Asam Mefenamat 500 mg tablet dengan
harga Rp 100 per tablet yang dipesan sebanyak 348 juta butir. Selain
evaluasi harga, LKPP mestinya juga mengevaluasi kondisi objektif pabrikan
yang bersangkutan.

LKPP mestinya membuat aturan selain tidak boleh melewati harga


batas teratas, juga tidak boleh melewati harga batas terbawah. Selain itu,
kapasitas produksi dan kapabilitas manajemen mutu fabrikan harus juga
dievaluasi sebagai persyaratan penting.

Rendahya harga obat pemenang tender e-Catalog, boleh jadi dalam


pelaksanaannya dilakukan penggantian bahan baku yang berharga murah.
Penggantian bahan baku, apalagi dengan kualitas rendah berarti
membatalkan NIE dari Badan POM, karena berimplikasi mengubah
formulasi, khasiat, stabilitas, dan kualitas obat secara keseluruhan. Dalam
hal ini LKPP, tidak boleh hanya bersandar pada formalitas NIE dari Badan
POM. NIE itu defacto dan de jure gugur jika dilakukan penggantian bahan
baku dan formulasinya. Apabila stabilitas dan farmakokinetik ataupun
farmakodinamik obat tersebut bermasalah yang mengakibatkan mutunya
terdegradasi menjadi substandar. Obat yang berkualias rendah ini tidak
boleh diberikan kepada rakyat karena telah berubah menjadi racun yang
membahayakan.

3.2. Produksi Obat Berkualitas


Industri farmasi merupakan salah satu industri yang sangat diatur oleh
regulasi/pemerintah. Regulasi mengatur banyak area termasuk aspek mutu,
pengujian, audit, produksi, spesifikasi bahan awal dan produk jadi, dll.

9
(Abdallah, 2013). Salah satu regulasi yang menjadi persyaratan dan harus
dipenuhi oleh setiap industri farmasi di Indonesia adalah CPOB. Mutu
menjadi reputasi dari suatu perusahaan. Mutu dijaga untuk mencegah
produk kembalian dan untuk memberikan pengobatan yang efektif dan aman
pada pasien.

Obat yang berkualitas adalah obat jadi yang benar-benar dijamin bahwa obat
tersebut:

 Mempunyai potensi atau kekuatan untuk dapat digunakan sesuai


tujuannya.
 Memenuhi persyaratan keseragaman, baik isi maupun bobot.
 Memenuhi syarat kemurnian.
 Memiliki identitas dan penandaan yang jelas dan benar.
 Dikemas dalam kemasan yang sesuai dan terlindung dari kerusakan dan
kontaminasi
 Penampilan baik, bebas dari cacat atau rusak.

CPOB mencakup seluruh aspek produksi dan pengendalian mutu.


Pada proses pembuatan obat, pengendalian menyeluruh adalah sangat
penting untuk menjamin bahwa obat yang bermutu tinggi tidaklah cukup bila
produk jadi hanya sekedar lulus dari serangkaian pengujian, tetapi yang lebih
penting adalah bahwa mutu harus dibentuk ke dalam produk tersebut (to
build quality into the product). Mutu obat tergantung pada bahan awal, bahan
pengemas, proses produksi, pengendalian mutu, bangunan, peralatan yang
dipakai, serta personel yang terlibat. Oleh karena itu, Pemastian Mutu suatu
obat hendaknya dibuat dalam kondisi yang dikendalikan dan dipantau secara
cermat (Badan POM, 2012).
Pengadaan bahan awal hendaklah hanya dari pemasok yang telah
disetujui dan memenuhi spesifikasi yang relevan. Semua penerimaan,
pengeluaran dan jumlah bahan tersisa hendaklah dicatat. Catatan hendaklah

10
berisi keterangan mengenai pasokan, nomor bets/lot, tanggal penerimaan
atau penyerahan, tanggal pelulusan dan tanggal daluwarsa bila ada.
Sebelum diluluskan untuk digunakan, tiap bahan awal hendaklah
memenuhi spesifikasi dan diberi label dengan nama yang dinyatakan dalam
spesifikasi. Singkatan, kode ataupun nama yang tidak resmi hendaklah tidak
dipakai.
Secara umum, produksi suatu obat harus memenuhi pedoman CPOB yang
meliputi:
Sistem manajemen mutu
1. 7. Pengawasan mutu
industri farmasi

Inspeksi diri, audit mutu, dan


2. Personalia 8.
audit & persetujuan pemasok

3. Bangunan – fasilitas 9. Keluhan dan penarikan produk


4. Peralatan 10. Dokumentasi
5. Produksi 11. Kegiatan alih daya

Cara penyimpanan dan


6. 12. Kualifikasi dan validasi
pengiriman obat yang baik

Adapun obat-obatan yang tidak berkualitas pada fasilitas pelayanan


kesehatan dapat disebabkan oleh berbagai hal antara lain jika dilakukanya
penggantian bahan baku dan formulasinya, proses produksi dan pengujian
yang tidak memenuhi syarat. Obat berkualitas rendah memiliki sedikit atau
tidak sama sekali bahan aktif (dan) bisa memperpanjang kesembuhan
penyakit, mengakibatkan kesalahan perawatan dan menyumbang pada
resistensi obat, atau mungkin mempunyai efek yang berlebih sehingga
menyebabkan obat menjadi toksik.
Obat yang tidak berkualitas dapat diketahui secara fisik obat yaitu
mengalami perubahan warna, bentuk, dan aroma. Kestabilan suatu zat
merupakan faktor yang harus diperhatikan dalam membuat formulasi suatu
sediaan farmasi. Hal ini penting mengingat suatu obat atau sediaan farmasi

11
biasanya diproduksi dalam jumlah yang besar dan memerlukan waktu yang
lama untuk sampai ke tangan pasien yang membutuhkan.
Obat yang disimpan dalam jangka waktu yang lama dapat
mengalami penguraian dan mengakibatkan hasil urai dari zat tersebut
bersifat toksik sehingga dapat membahayakan jiwa pasien. Oleh karena itu,
perlu diketahui faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi kestabilan suatu
zat hingga dapat dipilih suatu kondisi pembuatansediaan yang tepat
sehingga kestabilan obat terjaga.
Kriteria '4M' digunakan untuk mengidentifikasi penyebab buruknya
kualitas produk yang diproduksi seperti yang didefinisikan oleh Ishikawa. '4
faktor M' Ishikawa diidentifikasi dalam Bagian III untuk mengidentifikasi
masalah kualitas obat dalam penelitian ini. 4M adalah:
1. Man, seperti operator yang mengendalikan mesin dan operator yang
memeriksa produk jadi
2. Mesin, seperti mesin yang diproduksi produk farmasi, mesin pelapis film,
dan mesin pengepakan
3. Bahan, seperti bahan baku dan bahan kemasan
4. Metode, seperti proses produksi dan metode transportasi

Faktor manusia dan bahan, terutama bahan kemasan, dapat dianggap


sebagai prediktor utama masalah kualitas obat. Masalah bahan kemasan
dapat ditangani dengan menggunakan bahan kemasan standar, koreksi
kesalahan manusia (faktor manusia) tidak mudah dan cepat diperoleh.
Karena itu, produsen farmasi harus fokus menyelesaikan masalah masalah
kualitas obat sebagai masalah mendesak. Padahal, penggunaan bahan
kemasan yang berkualitas baik dapat menyelesaikan masalah pengemasan,
penggunaan sensor dan sistem barcode adalah suatu keharusan untuk
menyelesaikan masalah terkait faktor manusia. Selain itu, pendekatan
berkelanjutan, mantap, dan jangka panjang harus dilakukan untuk
mengembangkan tenaga kerja terampil.

12
BAB V
PENUTUP

4.1. Kesimpulan
Obat yang berkualitas merupakan obat yang di produksi sesuai
dengan standar cara pembuatan obat yang baik yang memenuhi 12
aspek-aspek dalam CPOB. Obat berkualitas adalah obat jadi yang Yang
Mempunyai potensi atau kekuatan untuk dapat digunakan sesuai
tujuannya, Memenuhi persyaratan keseragaman, baik isi maupun bobot,
Memenuhi syarat kemurnian, Memiliki identitas dan penandaan yang
jelas dan benar, dikemas dalam kemasan yang sesuai dan terlindung
dari kerusakan dan kontaminasi, Penampilan baik, bebas dari cacat atau
rusak. Faktor yang mempengaruhi masalah kualitas obat diantaranya
adalah manusia atau personalia dan bahan, terutama bahan kemasan.

13
DAFTAR PUSTAKA

Abdallah, A. A. 2013. Global Pharmaceutical Supply Chain: A Quality


Perspective. International Journal of Business and Management, 8, 62.
Arianti Niken, 2017. Tata Kelola Obat di Era Sistem Jamiann Kesehatan
nasional (JKN). Direktorat Penelitian Dan Pengembangan KPK P-ISSN:
2477-118X Vol 3:2
Badan POM. (2012). Pedoman Cara Pembuatan Obat Yang Baik. Jakarta:
Badan Pengawas Obat dan Makanan RI. Halaman 1-85.
Badan POM. 2017. Kriteria dan Tatalaksana Registrasi Obat. Jakarta: Badan
Pengawas Obat dan Makanan RI.

Badan POM. 2018. Pedoman Cara Pembuatan Obat Yang Baik. Jakarta:
Badan Pengawas Obat dan Makanan RI.

Kementrian Kesehatan Republik Indonesia. 2015. Profil Kesehatan Indonesia


Tahun 2014. Jakarta. Indonesia.

Kompasiana (2014, 17 November). Obat-Obatan Berkualitas Kunci


Pelayanan Kesehatan yang Dibutuhkan Masyarakat. Diakses 21 Mei
2019, dari
https://www.kompasiana.com/marsela_worebai/54f92e96a3331176038b
4804/obat-obatan-berkualitas-kunci-pelayanan-kesehatan-yang-
dibutuhkan-masyarakat.
Pemerintah Republik Indonesia. 2004. Undang- Undang Republik Indonesia
Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional. [pdf]
Available at: https://bpjs-kesehatan.go.id/
bpjs/.../d1abb667f20cc917257d6dbabf8030be. pdf [Diakses pada 22
Mei 2019].
Pemerintah Republik Indonesia. 2012. Peraturan Pemerintah Republik
Indonesia Nomor 101 Tahun 2012 tentang Penerima Bantuan Iuran
Jaminan Kesehatan. [pdf]. Available at:
http://www.depkes.go.id/resources/download/general/PP%20No.%20

14
101%20Th%202012%20ttg%20Penerima%20Bantuan%20Iuran%20Jam
inan%20Kesehatan. pdf.[Diakses pada 22 Mei 2019].
Raharni, Subidyo Supardi, Ida Diana Sari. 2018. Kemandirian dan
Ketersediaan Obat Era Jaminan Kesehatan Nasional JKN: Kebijakan,
Harga dan Produksi Obat. Jakarta: Badan Penelitian dan
Pengembangan Kesehatan, Kementerian Kesehatan RI.
Republika (2017, 11 Oktober). Obat Berkualitas Rendah Untuk Rakyat.
Diakses 21 Mei 2019, dari
https://m.republika.co.id/berita/kolom/wacana/oxmykk440/obat-
berkualitas-rendah-untuk-rakyat-part1
Republik Indonesia. 2004. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 40
Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional. Jakarta.
Indonesia.

Republik Indonesia. 2009. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 36


Tahun 2009 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional. Jakarta.
Indonesia.

Republik Indonesia. 2011. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 24


Tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial. Jakarta.
Indonesia.

Republik Indonesia. 2013. Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 12


Tahun 2013 tentang Jaminan Kesehatan. Jakarta. Indonesia.

ttps://republika.co.id/berita/kolom/wacana/oxmykk440/obat-berkualitas-
rendah-untuk-rakyat-part1

15

Anda mungkin juga menyukai