Anda di halaman 1dari 12

PERAN GURU DALAM PENGUATAN PENDIDIKAN KARAKTER (PPK),

BUDAYA LITERASI DAN PENDIDIKAN KEWIRAUSAHAAN


DI ERA DISRUPSI

Oleh:
ZAKIYATUL LUTFIYAH
SMAN 1 Gedangan
zakiyatul08@gmail.com

Era disrupsi merupakan masa serba digital. Pada era ini, kegiatan
apapun bisa dilakukan melalui daring internet. Menurut Ananda dalam
harian kompasiana.com mengatakan bahwa era disrupsi merupakan
fenomena ketika masyarakat menggeser aktivitas-aktivitas yang awalnya
dilakukan di dunia nyata, ke dunia maya. Pergeseran perilaku yang ada,
menimbulkan kesenjangan interaksi antar generasi.
Generasi terbagi atas X, Y, Z, dan Alpha. Generasi X adalah
mereka yang lahir di tahun 1980-an, generasi Y atau milenial adalah
mereka yang lahir tahun 1990-an, dan generasi Z/ zenital adalah mereka
yang lahir di tahun 2000-an. Generasi Alpha adalah mereka yang lahir di
tahun 2010 ke atas. Kesenjangan interaksi antar generasi dipengaruhi oleh
percepatan industri 4.O yang ditandai dengan kemajuan teknologi
informasi.
Percepatan yang terjadi di era disrupsi menimbulkan pengaruh
yang cukup besar dalam berbagai bidang, salah satunya pendidikan.
Pengaruh dalam bidang pendidikan dapat terlihat pada gencarnya
penguatan pendidikan karakter, budaya literasi, dan pendidikan
kewirausahaan di sekolah-sekolah. Pengadaan penguatan pendidikan
karakter di sekolah guna untuk mengatasi permasalahn atas karakter anak
bangsa yang menurun. Bangsa yang maju harus memiliki generasi yang
berkarakter baik.
Penguatan pendidikan karakter adalah program pemerintah untuk
peserta didik memiliki karakter yang baik. Penguatan pendidikan karakter
menjadi hal yang diperhatikan di Indonesia karena kemampuan dari
generasi saat ini yang kurang baik. Kutipan dari hasil rapat kerja perdana
DRP dengan Kemendikbud (2019), Nadiem Makarim mengatakan bahwa:
1. Pendidikan Karakter:
 Kita harus mengerti akar masalahnya. Saat ini kita
memasuki era Information overload. Kalau
pemuda kita tidak punya karakter kuat, dan
kemampuan menganalisa, dia akan tergerus hoax
dan penjajahan pemikiran. Pemuda harus
independen, kritis, dan mempertanyakan
informasi yang Ia dapat.
 Hampir semua perusahaan komplain
ketidakprofesionalan pemuda. Kita harus
mendidik karakter-karakter yang berguna di dunia
profesional seperti tepat waktu, menghargai
atasan, kerjasama, dan lain-lain.
 Intoleransi terjadi dimana-mana. Di negeri yang
begitu beragam seperti Indonesia, perasaan
kesamaan identitas harus dibangun.
 Saya sebagai millenial, merasa konsep
pembangunan karakter harus diterjemahkan ke
dalam konten yang bisa dimengerti millennial.
Tidak bisa hanya baca buku atau mendengarkan
seseorang bicara. Itu harus tercermin dalam
kegiatan.
 Orangtua dan masyarakat tidak boleh diabaikan.
Pendidikan Karakter harus terjadi juga diluar
sekolah karena murid hanya menghabiskan
beberapa jam di sekolah, sisanya di luar.

Berdasarkan kutipan di atas, terlihat jelas betapa perlunya


penguatan pendidikan karakter di era disrupsi. Di era disrupsi semua
kalangan atau generasi dapat dengan mudah mengakses berbagai
informasi. Berita-berita hoax atau informasi palsu yang banyak beredar di
daring internet. Generasi muda yang tidak memiliki karakter kuat di era
disrupsi dapat terpengaruh atas berita informasi hoax yang ada. Contoh
kasus, kutipan detik.com 2019, “Berita Hoaks Peristiwa 22 Mei Berujung
Polsek Tambelangan Sampang Dibakar”. Berita dipicu adanya kabar
bahwa ada beberapa tokoh masyarakat Sampang di tangkap oleh polisi
sehingga masa yang awalnya ingin mendatangi Bawaslu pindah mengarah
ke polsek Tambelang Sampang.
Persoalan etika, kedisplinan, kerjasama, dan toleransi pun ikut
menjadi sorotan perhatian. Contoh kasus kurangnya sopan santun dan
tata krama, dikutip dari laman okezone.com (2018) judul berita “Hilangnya
Sopan Santun Peserta didik”. Berita tersebut mengenai pengeroyokan
yang dialami oleh seorang guru di SMK NU 03 Kaliwungu, Kendal, Jawa
Tengah. Beberapa contoh kasus lainnya diambil dari serambinews.com
(2019) dengan judul berita “hilangnya rasa hormat peserta didik kepada
guru”:
“Ada juga yang marah dengan guru ketika pulang
sekolah gas sepeda motor diperbesar agar terdengar
suara meraung-raung sebagai bentuk protes terhadap
guru yang telah menegurnya karena peserta didik yang
bersangkutan sering telat datang ke sekolah. Tidak
jarang juga pada saat peserta didik berpapasan
dengan guru lewat saja tanpa menyapa atau tidak
senyum. Begitu juga sebagian peserta didik keluar dari
ruang kelas tanpa meminta izin gurunya. Bahkan ada
peserta didik telat datang dan masuk ke kelas tanpa
mengucapkan assalamu'alaikum. peserta didik yang
berpacaran baik di sekolah maupun di luar sekolah.
Berboncengan berdua. Pada saat ditegur dan
dinasihati, kedua peserta didik yang berlainan jenis
malah saling bantu-membantu menutupi kesalahan
mereka. Bahkan ada yang marah kepada guru dengan
mengeluarkan kata-kata yang tidak pantas bahkan
cenderung tidak beretika sama sekali.”

Sesuai dengan pernyataan yang diugkapkan oleh Nadiem


Makarim pada poin 4 dan 5, bahwasannya pendidikan karakter hendaknya
diungkap dalam bentuk tindakan bukan hanya sekedar wacana.
Semestara point 5, orang tua hendaknya berpartisipasi dalam mendidik,
tegas dan proaktif mengingatkan anaknya agar menghormati dan
menghargai guru saat berada di sekolah maupun di luar sekolah.
Literasi adalah kemampuan seseorang untuk menggunakan
potensi dan keterampilannya dalam mengolah dan memahami informasi
saat melakukan aktivitas membaca dan menulis. Secara etimologis, istilah
literasi berasal dari bahasa latin ‘literatus’ adalah orang yang belajar. Arti
literasi sangat berhubungan dengan proses membaca dan menulis.
Menurut The United Nations Educational, Scientific and Cultural
Organization (UNESCO) dalam maxmanroe.com, arti literasi adalah
seperangkat keterampilan nyata, terutama ketrampilan dalam membaca
dan menulis, yang terlepas dari konteks yang mana ketrampilan itu
diperoleh serta siapa yang memperolehnya. Dapat disimpulkan bahwa
literasi adalah seperangkat keterampilan dan kemampuan seseorang
dalam membaca, menulis, berhitung, serta memecahkan masalah dalam
kehidupannya sehari-hari.
Kebisaan literasi di Indonesia sangat kurang. Kutipan dari
kominfo.com (2017), UNESCO menyebutkan Indonesia urutan kedua dari
bawah soal literasi dunia, artinya minat baca sangat rendah. Menurut data
UNESCO, minat baca masyarakat Indonesia sangat memprihatinkan,
hanya 0,001%. Artinya, dari 1,000 orang Indonesia, cuma 1 orang yang
rajin membaca. Berdasarkan kutipan warta ekonomi (2019) berita judul
“Literasi Indonesia Ranking Terbawah Kedua di Dunia” menyatakan
bahwa Indonesia menempati ranking 60 dari 61 negara dalam hal literasi
dan membaca.
Berdasarkan kutipan yang ada dapat diambil kesimpulan bahwa
budaya literasi di Indonesia kurang. Padahal penduduk Indonesia
merupakan pengguna aktif smartphone terbesar ke empat, dimana hampir
9 jam perhari mereka mampu menatap layar HP. Namun, kemampuan ini
tidak diimbangi dengan kamampuan membaca buku.
Literasi pada era disrupsi tidak hanya berpatok pada baca, tulis,
dan menghitung. Sebagaimana ‘kata pengantar’ (2017:v) yang
disampaikan Mendikbud dalam buku Peta Jalan Gerakan Literasi Nasional
(GLN),
“Sejarah peradaban umat manusia menunjukkan
bahwa bangsa yang maju tidak dibangun hanya
dengan mengandalkan kekayaan alam yang melimpah
dan jumlah penduduk yang banyak. Bangsa yang besar
ditandai dengan masyarakatnya yang literat, yang
memiliki peradaban tinggi, dan aktif memajukan
masyarakat dunia.”

Forum Ekonomi Dunia 2015 menyampaikan keterampilan abad


ke-21 yang perlu dimiliki. Keterampilan abad ke-21meliputi literasi dasar,
kompetensi, dan karakter. Agar mampu bertahan pada era disrupsi abad
ke-21, masyarakat harus menguasai enam literasi dasar, yaitu (1) literasi
baca tulis, (2) literasi numerasi, (3) literasi sains, (4) literasi digital, (5)
literasi finansial, serta (6) literasi budaya dan kewargaan. Kompetensi yang
perlu menjadi fokus pendidikan, yakni berpikir kritis untuk memecahkan
masalah, kreativitas, komunikasi, dan kolaborasi. Karakter utama yang
menjadi poros pendidikan, meliputi karakter yang religius, nasionalis,
mandiri, gotong royong, dan integritas.
Literasi baca tulis dipahami sebagai melek aksara atau tidak buta
huruf. Tidak buta huruf berarti paham atas informasi yang tertuang dalam
media tulis. Jadi peserta didik mampu membaca dan menulis. Apa yang
dibaca mampu di tuliskan oleh peserta didi itulah literasi baca tulis. Literasi
baca tulis telah diajarkan sejak anak usia dini. Dengan cara digital di era
disrupsi anak usia balita sudah mampu baca tulis, ini lah sisi positif dari
percepatan teknologi.
Literasi numerasi adalah pengetahuan dan kecakapan untuk (a)
mengaplikasikan angka dan simbol-simbol tentang matematika dasar
untuk memecahkan masalah dalam kehidupan sehari-hari dan (b)
menganalisis informasi dalam bentuk grafik, tabel, dan bagan. Jadi peserta
didik yang mampu melakukan literasi numerasi berarti mampu untuk
mengaplikasikan konsep bilangan dan keterampilan operasi hitung di
dalam kehidupan sehari-hari (misalnya, di rumah, pekerjaan, dan
partisipasi dalam kehidupan masyarakat dan sebagai warga negara) dan
kemampuan untuk menginterpretasi informasi kuantitatif.
Literasi sains adalah pengetahuan dan kecakapan ilmiah untuk
mengidentifikasi pertanyaan, memperoleh pengetahuan baru,
menjelaskan fenomena ilmiah, serta mengambil simpulan berdasar fakta,
memahami karakteristik sains, kesadaran bagaimana sains dan teknologi
membentuk lingkungan alam, intelektual, dan budaya, serta kemauan
untuk terlibat dan peduli terhadap isu-isu yang terkait sains (OECD (2016)
dalam GLN (2017)). Prinsip Dasar Literasi Sains 1. Kontekstual, sesuai
dengan kearifan lokal dan perkembangan zaman, 2. Pemenuhan
kebutuhan sosial, budaya, dan kenegaraan, 3. Sesuai dengan standar
mutu pembelajaran yang sudah selaras dengan pembelajaran abad XXI,
4. Holistik dan terintegrasi dengan beragam literasi lainnya, dan 5.
Kolaboratif dan partisipatif.
Menurut Paul Gilster dalam bukunya yang berjudul Digital
Literacy (1997) dalam GLN (2017), literasi digital diartikan sebagai
kemampuan untuk memahami dan menggunakan informasi dalam
berbagai bentuk dari berbagai sumber yang sangat luas yang diakses
melalui piranti komputer. Bawden (2001) dalam GLN (2017) menawarkan
pemahaman baru mengenai literasi digital yang berakar pada literasi
komputer dan literasi informasi. Literasi komputer berkembang pada
dekade 1980-an, ketika komputer mikro semakin luas dipergunakan, tidak
saja di lingkungan bisnis, tetapi juga di masyarakat.
Sementara itu, Douglas A.J. Belshaw dalam tesisnya What is
‘Digital Literacy‘? (2011) dalam GLN (2017) mengatakan bahwa ada
delapan elemen esensial untuk mengembangkan literasi digital, yaitu
sebagai berikut. 1. Kultural, yaitu pemahaman ragam konteks pengguna
dunia digital; 2. Kognitif, yaitu daya pikir dalam menilai konten; 3.
Konstruktif, yaitu reka cipta sesuatu yang ahli dan aktual; 4. Komunikatif,
yaitu memahami kinerja jejaring dan komunikasi di dunia digital; 5.
Kepercayaan diri yang bertanggung jawab; 6. Kreatif, melakukan hal baru
dengan cara baru; 7. Kritis dalam menyikapi konten; dan 8. Bertanggung
jawab secara sosial.
Literasi finansial adalah jawaban dan kesempatan untuk
mengatasi permasalahan ekonomi era disrupsi. Keterampilan abad ke-21
pada era disrupsi sebaiknya dimiliki oleh seluruh bangsa di dunia.
Keterampilan tersebut meliputi literasi dasar, kompetensi, dan karakter.
Agar mampu bertahan pada era disrupsi abad ke-21, masyarakat harus
menguasai enam literasi dasar, salah satunya adalah literasi finansial.
Agar dapat bersaing menghadapi era Masyarakat Ekonomi Asean (MEA).
Masyarakat Indonesia harus memiliki kompetensi yang meliputi berpikir
kritis/memecahkan masalah, kreativitas, komunikasi, dan kolaborasi.
Memenangkan persaingan ekonomi, masyarakat harus memiliki karakter
yang kuat yang meliputi iman dan takwa, rasa ingin tahu, inisiatif,
kegigihan, kemampuan beradaptasi, kepemimpinan, serta kesadaran
sosial dan budaya.
Literasi budaya merupakan kemampuan dalam memahami dan
bersikap terhadap kebudayaan Indonesia sebagai identitas bangsa.
Sementara itu, literasi kewargaan adalah kemampuan dalam memahami
hak dan kewajiban sebagai warga negara. Dengan demikian, literasi
budaya dan kewargaan merupakan kemampuan individu dan masyarakat
dalam bersikap terhadap lingkungan sosialnya sebagai bagian dari suatu
budaya dan bangsa. Literasi budaya dan kewargaan menjadi hal yang
penting untuk dikuasai di abad ke-21. Indonesia memiliki beragam suku
bangsa, bahasa, kebiasaaan, adat istiadat, kepercayaan, dan lapisan
sosial. Indonesia ikut terlibat dalam perkembangan dan perubahan global.
Jadi, kemampuan untuk menerima dan beradaptasi, serta bersikap secara
bijaksana atas keberagaman ini menjadi sesuatu yang mutlak.
Pendidikan kewirausahaan adalah program pendidikan yang
menggarap aspek kewirausahaan sebagai bagian penting dalam
pembekalan kompetensi peserta didik. Masyarakat memandang
kewirausahaan sebagai usaha dagang atau bisnis semata. Wirausaha
baru yang dimaksudkan di sini adalah individu yang memiliki daya kreatif
dan inovatif, mencari peluang dan berani mengambil risiko. Karakter
wirausaha lainnya bukan semata-mata untuk kepentingan dunia bisnis,
melainkan setiap lapangan pekerjaan yang memiliki semangat, pola pikir,
dan karakter enterpreneur akan membuat perbedaan, perubahan, dan
pertumbuhan positif dalam profesi dan pekerjaan.
Selain itu, proses pendidikan formal yang ada di Indonesia rata-
rata hanya berkisar 7 jam setiap harinya, sedangakan waktu selebihnya
anak berada dalam lingkungan keluarga dan masyarakat. Dikarenakan
mindset masyarakat yang menganggap kewirausahaan hanya dalam
bisnis semata tadi menjadikan pendidikan informal terutama dalam
lingkungan keluarga belum memberikan kontribusi berarti dalam
mendukung pencapaian kompetensi karakter kewirausahaan peserta
didik.
Peran Guru di Era Disrupsi
Di bidang pendidikan, guru merupakan bagian terpenting dalam
meminimalisir pengaruh dari percepatan industri di era disrupsi. Menurut Di
Ningrum dalam Jurnal PGSD Universitas Jambi (online), guru merupakan
salah satu faktor kunci yang ikut menentukan arah kualitas pendidikan.
Begitu ditekankan peran guru dalam era disrupsi, dengan cara banyak
membaca, mencari informasi, membuat karya tulis ilmiah, dan update agar
tidak tertinggal oleh zaman.
Peran guru di era ini bukan lagi sebagai sumber belajar
melainkan seorang pendidik. Guru dituntut untuk mampu mendidik peserta
didik untuk memiliki karakter yang bagus, mebiasakan budaya literasi,
bahkan meningkatkan kemampuan berwirausaha. Ketiga hal tersebut
dapat dilakukan dengan perencanaan perangkat pembelajaran (RPP).
Setiap RPP yang dibuat mencantumkan penguatan pendidikan karakter
dan budaya literasi. Sementara kemampuan berwirausaha dapat dijumpai
pada mata pelajaran umum yaitu, prakarya dan kemampuan wirausaha
(PKWU). Dalam gambaran kelas masa depan, Higginson (2003) dalam Di
Ningrum jurnal PGSD Universitas Jambi menggambarkan peran guru
sebagai berikut:
1. Memberikan stimulasi kepada peserta didik dengan
menyediakan tugas-tugas pembelajaran yang kaya
(rich learning tasks) dan terancang baik untuk
Meningkatkan perkembangan intelektual, emosional,
spiritual, dan sosial.
2. Berinteraksi dengan peserta didik untuk mendorong
keberanian, mengilhami, menantang, berdiskusi,
berbagi, menjelaskan, menegaskan, merefleksi,
menilai dan merayakan perkembangan, pertumbuhan
dan keberhasilan.
3. Menunjukkan manfaat yang diperoleh dari
mempelajari suatu pokok bahasan.
4. Berperan sebagai seseorang yang membantu,
seseorang yang mengerahkan dan memberi
penegasan, seseorang yang memberi jiwa dan
mengilhami peserta didik dengan cara
membangkitkan rasa ingin tahu, rasa antusias, gairah
dari seorang pembelajar yang berani mengambil
resiko, dengan demi kian guru berperan sebagai
pemberi informasi, fasilitator, dan seorang artis.

Berdasarkan nomor pertama, dapat dilakukan dengan membuat


perencanaan perangkat pembelajaran (RPP). RPP dibuat sebelum
melaksanakan pembelajaran di kelas. Nomor dua sampai empat dapat
dilakukan langsung saat pembelajaran berlangsung. Peran guru dalam
pembelajaran era disrupsi ada tujuh yakni: (1) guru sebagai sumber belajar
harus memiliki kemampuan menguasai materi pelajaran. (2) guru sebagai
fasilitator mampu memberikan pelayanan kepada peserta didik untuk dapat
menerima materi pelajaran. (3) guru sebagai pengelola mampu memegang
kendali penuh atas kondisi pembelajaran, (4) guru sebagai demonstrator
berperan sebagai pemberi contoh sikap yang akan menginspirasi peserta
didik menjadi lebih baik; (5) guru sebagai pembimbing mampu
mengarahkan peserta didik untuk menjadi seperti lebih baik; (6) guru
sebagai motivator mampu mendorong siswa untuk lebih baik; (7) guru
sebagai elevator; guru haruslah mengevaluasi semua hasil yang telah
dilakukan selama proses pembelajaran.

DAFTAR PUSTAKA

Agustian, Widi. 208.Hilangnya Sopan Santun Peserta didik.


https://news.okezone.com/read/2018/12/05/65/1987099/hilangny
a-sopan-santun-siswa . diakses tanggal 14 November 2019.

Ananda, Melynda. 2018. Beradaptasi dengan Era Disrupsi. (Online)


https://www.kompasiana.com/melynda25588/5b470217ab12ae4
55956c0a2/beradaptasi-dengan-era-disrupsi?page=1 . diakses
tanggal 14 November 2019.
Devega, Evita. 2017. TEKNOLOGI Masyarakat Indonesia: Malas Baca
Tapi Cerewet di Medsos.
https://www.kominfo.go.id/content/detail/10862/teknologi-
masyarakat-indonesia-malas-baca-tapi-cerewet-di-
medsos/0/sorotan_media . diakses tanggal 14 November 2019.
Fadil, Vicky. 2019. Literasi Indonesia Ranking Terbawah Kedua di Dunia.
(Online) https://www.wartaekonomi.co.id/read224647/literasi-
indonesia-ranking-terbawah-kedua-di-dunia.html . diakses
tanggal 14 November 2019.Hetifah. 2019. Talking points Nadiem
Makarim dalam rapat kerja perdana DPR dengan Kemendikbud.
Makalah.

Nurhalim, Suki. 2019. Berita Hoaks Peristiwa 22 Mei Berujung Polsek


Tambelangan Sampang Dibakar. (Online)
https://news.detik.com/berita-jawa-timur/d-4563076/berita-hoaks-
peristiwa-22-mei-berujung-polsek-tambelangan-sampang-
dibakar . diakses tanggal 14 November 2019.
Murni. 2019. Hilangnya rasa hormat peserta didik kepada guru. (Online)
https://aceh.tribunnews.com/2019/09/27/hilangnya-rasa-hormat-
siswa-kepada-guru . diakses tanggal 14 November 2019.
Tim GLN. 2017. MATERI PENDUKUNG LITERASI BACA TULIS. Jakarta:
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.
BIODATA

Zakiyatul Lutfiyah dilahirkan di Sidoarjo,


08 November 1992. Penulis merupakan
seorang guru tidak tetap (GTT) SMAN 1
Gedangan yang mengampuh mata
pelajaran geografi. Penulis anak kedua
dari empat bersaudara, pasangan Bapak
Mansur dan Ibu Nurhayati. Penulis telah
menempuh pendidikan di SDN Kureksari
(lulus tahun 2004), SMP Negeri 1 Waru
(lulus tahun 2007), dan SMA Negeri 1
Gedangan-Sidoarjo (lulus tahun 2010).
Pendidikan S1 dan S2 (2010-2016), penulis tempuh di Universitas Negeri
Malang (UM) dengan mengambil Jurusan Pendidikan Geografi S1
maupun S2.

Anda mungkin juga menyukai