Anda di halaman 1dari 3

Pentingkah Pendidikan Karakter di Era Milenial?

Napoleon Hill dalam bukunya Megatrends 2000 menjelaskan, “Abad 21 merupakan Abad


perkembangan Umat beragama” dapat kita saksikan, lembaga-lembaga pendidikan semakin
makmur, masjid-masjid semakin menjamur, pengajian dan pengkajian tidak lagi sebatas
forum dan podium melainkan sudah merabah kepada media cetak dan media elektronika. Hal
itu patut untuk kita syukuri. Namun sayang, disamping kemajuan yang terjadi pada abad ke-
21, ternyata abad 21 telah melahirkan Dekadensi Moral, bobroknya moral yang kian meraja
rela.
Genersi abad 21 pun bukan lagi generasi x, tetapi sudah menjadi generasi y. Ya, generasi
millennial namanya. Generasi millennial yang orientasi prosesnya cenderung praktis dan
instant kini sangat menghawatirkan bila tidak disertai karakter yang kuat. Bahkan budaya
literasi yang menjadi identitas kaum intelektual pun kini perlahan seperti tenggelam. Para
pelajar contohnya, hari ini mereka lebih cenderung menggunakan gadgetnya sebagai sumber
informasi utama daripada berbagai buku yang dicetak untuk menunjang pengetahuan mereka.
Pola interaksi sosialnya pun seringkali meninggalkan nilai-nilai kesopanan, banyak yang
tidak menggunakan rasa malu sebagai cermin peradaban.. Banyak anak muda yang tidak tahu
bagaimana menghormati yang lebih tua. Menghargai orang lain pun hanya karena pangkat
atau jabatannya. Seolah yang tak berpangkat itu tak begitu berarti. Mereka tidak sadar bahwa
esensi keilmuan itu bukanlah dari diperolehnya sebuah jabatan, tapi seberapa besar keilmuan
tersebut mampu membawa kepada sebuah perubahan yang lebih baik, bukan hanya pada
dirinya tapi juga pada lingkungannya. Hal-hal itulah yang menjadi salah satu dampak adanya
arus globalisasi.

Seperti realita saat ini, globalisasi berkembang begitu pesat dan tak mungkin dapat kita
hindari. Globalisasi muncul karena adanya perkembangan ilmu pengetahuan. Perkembangan
ilmu pengetahuan rupanya menjadi proses awal terjadinya globalisasi. Manusia bisa
melakukan banyak perubahan melalui pengetahuan yang dimilikinya. Kemajuan ilmu
pengetahuan dan teknologi yang semakin pesat memiliki dampak yang signifikan terhadap
berbagai bidang kehidupan, tak terkecuali bidang pendidikan. Hal ini tentunya menjadi PR
besar bagi seorang pendidik atau guru. Guru dituntut untuk bisa menjadi contoh atau teladan
bagi siswanya. Sedangkan, siswa masa kini atau yang sering kita sebut sebagai generasi
milenial sangat dekat dengan smartphone yang merupakan salah satu produk dari kemajuan
teknologi. Lantas adakah hubungannya? Tentu saja ada, karena ponsel pintar memberikan
akses keilmuan yang tak terbatas. Seolah menuhankan barang itu, banyak para pelajar yang
lebih percaya dengan ponsel pintarnya sebagai sumber belajar daripada gurunya yang tak
hanya paham dan mengerti tentang keilmuan tersebut, tapi juga telah mengamalkannya
sebagai teladan bagi siswanya.

Miris rasanya ketika media-media masa di Indonesia hari ini acapkali memberitakan tentang
pencurian, tawuran, pembunuhan, pemerkosaan, eksploitasi hutan, pergaulan bebas, hingga
gerakan terorisme sering menjadi menu harian. Hal-hal itu pula diantara dampak globalisasi
yang berujung dekadensi. Lantas timbul pertanyaan, apa yang harus kita lakukan ?
bagaimanakah altternatif solusi untuk memecahkan berbagai masalah yang timbul dalam
kehidupan yang serba canggih ini? Jawabannya tak lain adalah dengan pendidikan karakter
yang masif.

Pendidikan karakter sendiri telah menjadi trend di Indonesia. Presiden Jokowi yang sejak
2014 lalu memimpin negri ini acapkali menggaungkan istilah yang disampaikan dalam
berbagai pidatonya, yakni REVOLUSI MENTAL. Pun termasuk didalamnya adalah
pendidikan karakter. Warna kurikulum 2013 pun cenderung bernuansa pendidikan karakter.
Akan menjadi kebutuhan yang sangat penting ketika pendidikan karakter ini satu-satunya
solusi atas segala permasalahan diatas tentang dampak adanya arus globalisasi. Dan inilah
yang harus kita pahami bersama. Terlebih calon-calon pendidik. Bahwa mengajar, tak hanya
sebatas menyampaikan keilmuan untuk melanjutkan estafet eksistensinya. Tetapi juga
bagaimana bertanggung jawab atas ilmu yang telah diperoleh dengan mengamalkannya
sesuai etika yang berlaku.
Lickona (1992)seorang psikolog yang konsen pada pendidikan karakter menjelaskan dalam
bukunya Educating for Character beberapa alasan perlunya pendidikan karakter, di
antaranya: (1) Banyaknya generasi muda saling melukai karena lemahnya kesadaran pada
nilai-nilai moral, (2) Memberikan nilai-nilai moral pada generasi muda merupakan salah satu
fungsi peradaban yang paling utama, (3) Peran sekolah sebagai pendidik karakter menjadi
semakin penting ketika banyak anak-anak memperoleh sedikit pengajaran moral dari
orangtua, masyarakat, atau lembaga keagamaan, (4) masih adanya nilai-nilai moral yang
secara universal masih diterima seperti perhatian, kepercayaan, rasa hormat, dan
tanggungjawab, (5) Demokrasi memiliki kebutuhan khusus untuk pendidikan moral karena
demokrasi merupakan peraturan dari, untuk dan oleh masyarakat, (6) Tidak ada sesuatu
sebagai pendidikan bebas nilai. Sekolah mengajarkan nilai-nilai setiap hari melalui desain
ataupun tanpa desain, (7) Komitmen pada pendidikan karakter penting manakala kita mau
dan terus menjadi guru yang baik, dan (8) Pendidikan karakter yang efektif membuat sekolah
lebih beradab, peduli pada masyarakat, dan mengacu pada performansi akademik yang
meningkat. Alasan-alasan di atas menunjukkan bahwa pendidikan karakter sangat perlu
ditanamkan sedini mungkin untuk mengantisipasi persoalan di masa depan yang semakin
kompleks seperti semakin rendahnya perhatian dan kepedulian anak terhadap lingkungan
sekitar, tidak memiliki tanggungjawab, rendahnya kepercayaan diri, dan lain-lain.

Melalui alasan-alasan itulah Negara berkewajiban untuk hadir secara langsung dalam
mengawal proses pendidikan karakter tersebut. Terlebih kepada pemuda yang notabene
adalah penerus perjuangan bangsa ini. Negara harus secara penuh menciptakan, mengawal,
dan menyukseskan pembanguunan karakter ini. Minimal menciptakan pemuda-pemuda yang
ideal untuk menghadapi masa depan.

Pemuda ideal adalah pemuda yang matang dengan kecerdasannya, kesantunannya,


Ketaqwaannya, mandiri finansialnya, kuat fisiknya, jujur, dan kedewasaannya. Semua
capaian itu bukanlah mustahil untuk dilakukan. Diperlukan adanya sistem dan formula
khusus untuk mewujudkanya dalam sistem pendidikan di sekolah. Sistem yang mampu
menyatukan segala aspek karakter positif dan mengintegrasikannya ke dalam materi
pembelajaran sekolah, keteladanan, dan lain sebagainya. Sistem pendidikan yang tengah
marak dibicarakan dan populer di kalangan praktisi pendidikan ini adalah pendidikan
karakter.

Pendidikan karakter ini memuat delapan belas nilai karakter positif yang terintegrasi menjadi
satu dalam segala aspek pendidikan di sekolah dan di rumah. Kedelapan belas nilai karakter
yang tercakup dalam sistem pendidikan ini diharapkan mampu menjadi jembatan bagi
terciptanya pemuda yang cerdas, beriman, bertaqwa, dan cinta negara.

Itulah yang alasan kenapa pendidikan karakter menjadi sangat penting untuk mewarnai pola
pendidikan khususnya di Indonesia. Mengingat bangsa ini punya kultur sosial yang sangat
luhur secara historis. Sederhananya, karakter itu sendiri terdiri atas, antara lain: mengetahui
hal-hal yang baik, memiliki keinginan untuk berbuat baik, dan melaksanakan yang baik tadi
berdasarkan atas pemikiran, dan perasaan apakah hal tersebut baik untuk dilakukan atau
tidak, kemudian dikerjakan. Ketiga hal tersebut dapat memberikan pengarahan atau
pengalaman moral hidup yang baik, dan memberikan kedewasaan dalam bersikap.

Anda mungkin juga menyukai