Anda di halaman 1dari 17

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Pada saat ini Indonesia sudah masuk dalam era globalisasi, dimana salah
satunya ditandai dengan mudahnya masyarakat mendapatkan informasi dari
berbagai belahan dunia sebagai akibat dari perkembangan teknologi yang
begitu pesat. Hal Ini membawa pengaruh positif maupun pengaruh negatif
bagi yang menerimanya. Pengaruh positif globalisasi terhadap perubahan tata
nilai dan sikap, menyebabkan adanya pergeseran nilai dan sikap masyarakat
yang semua irasional menjadi rasional sedangkan pengaruh negatif
globalisasi terhadap masyarakat adalah masyarakat merasa dimudahkan
dengan teknologi maju membuat mereka merasa tidak lagi membutuhkan
orang lain dalam beraktifitas, dimana kadang mereka lupa bahwa mereka
adalah mahluk sosial yang perlu berinteraksi dengan sesamanya.
Oleh sebab itu dalam menyiapkan generasi milenial zaman now terhadap
pengaruh globalisasi yang saat ini sedang berlangsung, pentingnya
penanaman nilai-nilai pendikan Islam yang ditanamkan bagi karakter setiap
generasi sehingga dapat bersaing dan tidak mudah terpengaruh oleh dampak
negatif di era globalisasi ini.
B. Tujuan
1. Untuk mengetahui problematika pendidikan karakter Islami di era
milenial
2. Untuk mengetahui pemberdayaan pendidikan Islam yang ideal
3. Untuk mempersiapkan generasi muda yang memiliki karakter bermartabat
BAB II

PEMBAHASAN

A. Problematika Generasi Milenial


Globalisasi merupakan proses yang berlangsung panjang dan bergerak
maju secara dramatis dalam kurun waktu beberapa tahun terakhir ini,
dikendalikan oleh banyak kekuatan termasuk teknologi baru dan
bertambahnya arus modal secara bebas. Kemajuan komunikasi yang global
seperti internet, juga telahh membawa dampak terhadap penddikan moral.
Lihat saja dengan begitu mudahnya gambar-gambar pornografi diakses oleh
anak-anak usia sekolah melalui teknologi informasi, serta perkembangan
game online di kalaangan anak-anak yang membuat kecanduan bagi para
pemainnya. Hal ini merupakan tantangan bagi dunia pendidikan, di satu sisi
harus mengikuti kemajuan ilmu dan teknologi di sisi lain berimplikasi
kepada rusaknya nlai-nilai moral akibat berbenturan dengan nilai budaya luar
seiring dengan kemajuan informasi yang mengglobal tersebut.
Secara umum, pendidikan Indonesia tengah menghadapi masalah besar
terkait dengan tantangan globalisasi yang semakin mewabah dalam segala
aspek kehidupan, termasuk dalam dunia pendidikan. Akibat pengaruh
globalisasi menghadirkan problem baru berupa kesenjangan antara kemajuan
IPTEK sekarang dengan kurikulum sekolah. Di lain pihak, motivasi dan
minat belajar siswa masih sangat rendah, mengakibatkan kualitas lulusan
sebagai hasil pendidikan cenderung merendah pula.
Berdasarkan suatu studi ekstensif yang mencakup 9.073 sekolah, 10.518
guru, dan 210.059 siswa di 33 negara, termasuk Indonesia, dilakukan oleh
The International Association fot the Evaluation of Educational Achievement
(IEA) pada tahun 1987-1990 untuk mengetahui perilaku membaca anak-anak
usia 9 dan 14 tahun. Melalui studi ini diketahui posisi relatif anak-anak di
negara-negara tersebut dalam 3 aspek yang diukur, yaitu narrative,
expository, dan documents. Untuk kelompok A (siswa kelas 3-4 SD), hasil
studi tersebut menempatkan anak-anak pada peringkat ke-26 dari 27 negara
pada kelompok ini, dengan selisih skor yang cukup besar dengan peringkat di
atasnya.
Untuk tingkat SLTP, studi lain yang dikutip oleh Bank Dunia (1998)
mencatat bahwa siswa SLTP Indonesia mencatat skor 51,7% dari materi yang
diteskan. Survei sumber daya manusia Indonesia (SDM), industri, dan iptek
yang dilakukan oleh Institute for Management Development (IMD, 1999)
menempatkan Indonesia pada posisi ke-44 dari 46 negara dalam penyediaan
tenaga insinyur, bahkan menempati posisi “juru kunci” dalam kerja sama
teknologi antar-industri dan kerjasama penelitian antara industri dengan
perguruan tinggi.
1. Permasalahan Moral generasi Milenial
Secara umum, pendidikan Indonesia tengah menghadapi masalah
besar terkait dengan tantangan globalisasi yang semakin mewabah dalam
segala aspek kehidupan, termasuk dalam dunia pendidikan. Tantangan
globalisasi bukan saja bisa menjadi penyebab runtuhnya nilai-nilai luhur
bangsa, melainkan pula akan menghambat regenerasi kepemimpinan
yang memiliki karakter pancasialis dan moralis dalam mengabdi kepada
bangsa. Kepemimpinan yang berkarakter pancasialis ini diharapkan bisa
menjadi landasan fundamental dalam mereduksi krisis moral akibat
tantangan globalisasi yang mewarnai perjalanan masa depan bangsa.
Jika globalisasi semakin hari semakin menjangkiti tunas-tunas
bangsa, bukan tidak mungkin moralitas mereka akan lentur diterpa badai
kemewahan dan kebebasan yang melekat pada dunia global ini.
Merosotnya pendidikan moral dimungkinkan karena pengaruh globalisasi
yang melahirkan kemajuan dari sisi kemajuan ilmu pengetahuan dan
teknologi. Pengaruh globalisasi secara tidak langsung bisa menjadi
sindrom menakutkan bagi karakter anak didik yang menurun drastis.
Jika krisis moral sudah menimpa kalangan remaja yang masih
berstatus sekolah, ancaman terhadap generasi ini sesungguhnya semakin
nyata dan bisa menjadi alarm negatif bagi potret buram pendidikan di
Indonesia. Padahal, moral merupakan kata kunci yang sangat
menentukan terhadap pembentukan karakter setiap anak bangsa yang
masih dalam kondisi labil dan kurang dewasa. Pemahaman tentang
konsep moralitas adalah titik awal dari pendidikan karakter yang sangat
menentukan terhadap tegaknya nilai-nilai keadaban. Dalam pembicaraan
sehari-hari, moral juga sering disamakan dengan etika. Dalam kajian
akademik, etika adalah ilmu tentang tingkah laku yang baik dan yang
buruk. Maka, etika adalah ilmu tentang moral atau bahkan salah satu
cabang filsafat, yakni filsafat moral.
Ironisnya, krisis karakter tersebut sedang menimpa dunia pendidikan
yang menjadi peletak dasar matangnya moralitas anak didik dalam
menempa ilmu pengetahuan. Kondisi ini merupakan kerapuhan akhlak
dan krisis moral yang semakin akut menimpa generasi penerus bangsa.
Apa jadinya jika generasi yang menjadi harapan bangsa melakukan
tindakan curang atau bersikap agresif dalam menyikapi suatu persoalan
tanpa pertimbangan hati nurani yang paling dalam. Menempa generasi
muda dengan karakter dan watak yang persuasif sesungguhnya bisa
dilakukan bila semua elemen terkait memiliki perhatian dan kepedulian
dalam menanamkan nilai-nilai spiritual secara mendalam.
2. Permasalahan Spiritual Generasi Milenial
Permasalahan pendidikan Indonesia sesungguhnya berakar dari
kurangnya penanaman pendidikan agama sejak dini oleh keluarga kepada
anak-anak mereka. Pendidikan agama menyangkut konsistensi anak
dalam menjalankan perilaku spiritual yang terkait dengan aktivitas
membaca Al-Quran, shalat berjamaah, menghadiri peringatan hari
keagamaan, dan lain sebagainya. Pengalaman yang diperoleh dalam
kehidupan keluarga sangat besar pengaruhnya terhadap kepribadian anak
ketika berinteraksi dengan orang lain, apalagi berkaitan dengan aktivitas
keagamaan.
(Kamrani Buseri, 2003: 31) Latar belakang kehidupan yang agamis
tentru saja bisa memengaruhi perilaku keagamaan setiap anak didik. Bila
dalam sebuah keluarga, nilai-nilai keagamaan tidak terkondisikan dengan
baik, bisa dipastikan anak-anak tidak akan terbiasa dengan aktivitas yang
bernuansa keagamaan. Ketika pendidikan agama belum
termanifestasikan sejak anak masih balita, nilai-nilai spiritual pun akan
sirna dalam setiap dimensi kehidupan. Sejalan dengan perkembangan
usianya, hubungan dengan lembaga pendidikan dan masyarakat dapar
dipastikan akan terus bertambah, sementara hubungan dengan keluarga
semakin berkurang. Kondisi ini menyebabkan peran keluarga akan
mengalami perubahan secara signifikan sehingga menyebabkan
kurangnya penanaman nilai-nilai keagamaan dalam pribadi anak. Sebagai
contoh, status sosial yang tinggi pada masa lalu adalah kesalehan, tetapi
saat ini para orangtua umumnya memandang status sosial yang tinggi
ukurannya adalah kepemilikan harta benda. Ketika itu, terjadi perubahan
secara besar- besaran dari budaya spiritual ke budaya material.
B. Peran Pendidikan Agama Islam
1. Pengertian Pendidikan Islam
Secara umum konsep pendidikan Islam mengacu kepada makna dan
asal kata yang membentuk kata pendidikan itu sendiri dalam
hubungannya dengan ajaran Islam. Ada tiga istilah umum digunakan
dalam pendidikan Islam, yaitu Tarbiyah, Ta’lim, dan Ta’dib. Tarbiyah
mengandung arti memelihara, membesarkan, dan mendidik yang
kedalamannya sudah termasuk makna mengajar atau ‘allama. Jadi
Tarbiyah didefinisikan sebagai proses bimbingan terhadap potensi
manusia (jasmani, ruh dan akal) secara maksimal agar dapat menjadi
bekal dalam menghadapi kehidupan dan masa depan menurut Hasan
Langgulung, 1985 dalam (Jamaluddin Idris. 2005: 149).
Konsep Ta’dib mengacu kepada kata adab, sehingga didefinisikan
sebagai mendidik adalah membentuk manusia dalam menempatkan
posisinya yang sesuai dengan susunan masyarakat, bertingkahlaku secara
proporsional dan cocok dengan ilmu serta teknologi yang dikuasainya
menurut Naquib Al-Attas, 1980 dalam (Jamaluddin Idris. 2005: 149).
Ta’lim berasal dari kata ‘allama, merujuk kepada Allah sebagai Dzat
Yang Maha ‘Alim. Baik Tarbiyah, Ta’lim maupun Ta’dib merujuk
kepada Allah. Tarbiyah yang di tengarai sebagai kata bentukan dari kata
Rabb atau Rabbaa mengacu kepada Allah sebagai Rabb al-alamin.
Selanjutnya, Ta’dib seperti termuat pernyataan Rasul “Addabany Rabby
Faahsana Ta’diby” memperjelas bahwa sumber utama pendidikan adalah
Allah Swt. Rasul sendiri menegaskan bahwa beliau dididik oleh Allah
Swt. Sehingga pendidikan yang beliau peroleh adalah sebaik-baik
pendidikan. Dengan demikian Rasul merupakan pendidik utama yang
harus di jadikan teladan (Jamaluddin Idris. 2005: 149-150).
Secara garis besar pendidikan Islam menyangkut tiga faktor utama,
yaitu:
a. Hakikat penciptaan manusia, yaitu agar manusia menjadi pengabdi
Allah yang taat dan setia.
b. Peran dan tanggung jawab manusia sejalan dengan statusnya selaku
hamba Allah, al-Basyr, al-Insan, Al-Nas, Bani Adam maupun
Khalifah Allah.
c. Tugas utama rasul yaitu membentuk akhlak yang mulia serta
memberi rahmat bagi seluruh alam (rahmat li al-alamin).
Ketiga faktor di atas merupakan dasar berpijak bagi perumusan
pendidikan Islam secara umum. Dapat diartikan sebagai usaha
pembinaan dan pengembangan potensi manusia secara optimal sesuai
dengan statusnya, dengan berpedoman kepada syari’at Islam yang
disampaikan oleh Rasul Allah agar supaya manusia dapat berperan
sebagai pengabdi Allah yang setia dengan segala aktivitasnya guna
tercipta suatu kondisi kehidupan Islami yang adil, selamat, aman,
sejahtera dan berkualitas, serta memperoleh jaminan (kesejahteraan)
hidup di dunia dan jaminan bagi kehidupan yang baik di akhirat.
(Jamaluddin Idris. 2005: 150-151).
Maksud dari pembinaan dan pengembangan potensi manusia, adalah
beupa upaya baik peningkatan kualitas sumber daya insan sesuai dengan
statusnya, yaitu meliputi selurug potensi yang dianugerahkan Allah
kepada manusia dalam posisinya sebagai hamba Allah, al-Basyr, Bani
Adam, al-Insan, al-Nas maupun khalifah Allah. usaha pembinaan dan
pengembangan ini harus diselaraskan dengan syari’at Islam yang di
sampaikan oleh Rasul Allah Swt. Dari upaya ini diharapkan manusia
mampu berperan sebagai pengabdi Allah dengan ketaatan yang optimal
dalam setiap aktivitas keidupannya. Indikator dari pengabdian ini
tergambarkan dalam tampilan kemuliaan akhlak yang dimiliki serta
mampu memberi imbas manfaat bagi kehidupan alam dan
lingkungannya. Semuanya itu terangkum dalam sosok manusia yang
beriman dan beramal shaleh. (Jamaluddin Idris. 2005: 151-152).
Dalam konteks peradaban, barangkali sosok pribadi manusia
beriman dan beramal shaleh tersebut dapat di gambarkan sebagai mereka
yang memiliki jati diri sebagai pengabdi Allah, serta ikut berkompetisi
dalam berkreasi dan berinovasi demi kepentingan kesejahteraan hidup
bersama. Atas dasar keimanan, ia mampu memelihara hubungan dengan
Allah dan antar dirinya dengan sesama makhluk Allah. sedangkan
realisasi keimanan itu, terlihat dari kemampuan kompetitifnya untuk
berkreasi dan berinovasi yang bernilai bagi kehidupan bersama.
(Jamaluddin Idris. 2005: 152).
2. Isi Pendidikan Islam
Segala sesuatu yang menjadi isi pendidikan di rencanakan
(diprogram) dalam suatu bentuk apa yang disebut dengan kurikulum.
Secaar garis besar kurikulum pendidikan Islam mengandung unsur-unsur
sebagai berikut:
a. Ketauhidan
b. Keagamaan
c. Pengembangan manusia sebagai khalifah Allah
d. Pengembangan hubungan antar manusia
e. Pengembangan diri sebagai individu sejalan dengan potensi fitrahnya
dalam statusnya selaku hamba Allah.
Unsur ketauhidan merupakan yang terpenting dalam merumuskan
kurikulum pendidikan Islam, dan sekaligus menjadi acuan dasar bagi
keempat unsur lainnya. (Jamaluddin Idris. 2005: 154-155).
3. Tujuan Pendidikan Islam
Tujuan pendidikan seharusnya mempersiapkan individu untuk cakap
dalam kehidupannya di tengah seluruh perubahan dan kemungkinan
perkembangan zaman (Bambang Q-Annes. 2009: 49).
Pendidikan Islam bertujuan untuk membimbing perkembangan
peserta didik secara optimal agar menjadi pengabdi kepada Allah Swt
yang setia. Seperti terdapat dalam Al-Quran surah Adz-Dzariyat: 51
ٌ ‫َوالَتَجْ عَلُوا َم َع هللاِ إِلَ ًها َءاخ ََر ِإ ِني لَ ُكم ِم ْنهُ َنذ‬
ٌ ‫ِير ُّم ِب‬
}51{ ‫ين‬
Artinya: “Dan janganlah kamu mengadakan ilah yang lain di
samping Allah. Sesungguhnya aku seorang pemberi peringatan yang
nyata dari Allah untukmu”. (QS. Adz-Dzariyat: 51)
Dari ayat di atas maka aktivitas pendidikan Islam diarahkan kepada
upaya membimbing manusia agar dapat menempatkan diri dan berperan
sebagai individu yang taat dalam menjalankan ajaran agama Allah Swt.
(Jamaluddin Idris. 2005: 153).
Disamping itu pendidikan Islam juga bertujuan untuk membentuk
manusia sebagai pribadi yang bermoral, sehingga pendidikan di titik
beratkan pada upaya pengenalan terhadap nilai-nilai yang baik dan
kemudian mengintergarikannya, serta mengaplikasikannya nilai tersebut
dalam perilaku. Atas dasar prinsip ini, manusia merupakan makhluk yang
dalam segala bentum aktivitasnya adalah makhluk yang terikat kepada
nilai-nilai moral, yang sumbernya adalah wahyu ilahi. Kesadaran akan
adanya nilai-nilai moral yang wajib dipatuhi dan diterapkan dalam
kehidupannya, karena dirinya merupakan sosok pribadi penyandang
nilai-nilai itu. (Jamaluddin Idris. 2005: 153-154).
Selanjutnya pendidikan Islam juga diarahkan kepada upaya
memimbing dan mengembangkan potensi peserta didik agar dapat
berperan secara harmonis dan serasi dalam kehidupan bermasyarakat.
Seperti dalam firman Allah pada surah Al-Hujurat: 13
ُ ‫اس إِنَّا َخلَ ْقنَا ُكم ِمن ذَك ٍَر وأُنثَى َو َجعَ ْلنَا ُك ْم‬
‫شعُوبًا َوقَبَآئِ َل إِ َّن أ َ ْك َر َم ُك ْم ِعندَ هللاِ أَتْقَا ُك ْم إِ َّن‬ ُ َّ‫يَآأَيُّ َها الن‬
ٌ ‫هللاَ َع ِلي ٌم َخ ِب‬
}13{ ‫ير‬
Artinya: “Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari
seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu
berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-
mengenal.Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi
Allah ialah orang yang paling bertaqwa di antara kamu.Sesungguhnya
Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal” (QS. Al-Hujuraat (49):
13).
4. Kisah Teladan dari Muhammad Al-Fatih
Tahun menunjukkan angka 1443. Di masa pemerintahan Sultan
Murad II, kita berada di salah satu ruang Istana Amire di Edirne yang di
dekorasi sederhana. Di ruangan itu terlihat Sultan Mehmed yang berusia
11-12 tahun sedang duduk mendengarkan dengan cermat apa yang di
ajarkan gurunya, Mulah Gurani. Mulad Gurani, yang berbadan tinggi,
berjenggot panjang hitam, berotot, dengan wajah tempramental,
mengajar keempat murid bangsawan dalam satu ruangan. Dia
mengajarkan pandangan-pandangan Islam kepada mereka. Dia
mengajarkan bahwa dunia ini bukan tempat kotor, tapi wahana yang
sangat bersih dan tugas manusia adalah melindungi dunia, setidaknya
berbuat baik kepada dunia. (Mustafa Armagan. 2014: 1-2).
Sultan Mehmed yang baru berumur 11 tahun selalu mendengarkan
pelajaran dengan seksama. Pikirannya mengarah pada pertanyaan-
pertanyaan mengenai kebaikan dan keburukan serta membuka pandangan
bahwa manusia akan melindungi dunia. Satu tahun kemudian sang ayah
memberikan tahta kepada putranya yang berusia 12 tahun. Penyerahan
kunci-kunci pemerintahan oleh seorang ayah yang belum genap berusia
41 tahun kepada putranya yang berumur 12 tahun menunjukkan betapa
sang ayah begitu percaya kepada anaknya. (Mustafa Argaman. 2014: 2-
3).
Mehmed yang naik tahta di Edirne. Dia ingin melakukan semuanya
dalam satu waktu, tapi tak ada kesempatan. Dalam waktu yang sama,
ketika melakukan upacara kenaikan tahta, muncul pemberontakan
Bucuktepe oleh Janissary. Beberapa waktu kemudian Fatih menyerahkan
tahta kepada ayahnya karena pasukan salib sedang bergerak dari
Hongaria.
Mehmed yang menyerahkan tahtanya kepada sang ayah
mengikutsertakan Kasapzade Ibrahim, Zaganos Pasha, dan Mulah Gurani
ketika pindah menuju istana Manisa. Manisa seperti Istanbul kecil. Di
kota itu bisa di temukan peninggalan-peninggalan peradaban Yunani,
Persia, Lidia, Fridia, Roma dan Byzantium. Ketika di Manisa Fatih
mempelajari beberapa bahasa asing dan pelajaran-pelajaran dasar. Yang
paling penting adalah pandangan yang membuka penglihatannya
terhadap Istanbul. Fatih berusia 21 tahun dan berada di sekitar Istanbul.
Dia merancang strategi penaklukan Istanbul di pantai Uskudar,
khususnya di menara Kizkule. Saat pengepungan bersama-sama dengan
Aksemeddin, gurunya, mereka mengembangkan beragam ide. Dengan
demikian Istanbul telah di islamkan paham dan hatinya. Akhirnya
tanggal 29 Mei, komandan dan pasukannya mendapat kemenangan yang
mudah. Orang-orang Yahudi yang di sarankan untuk menetap di kota.
Orang-orang Arab, Iran, India, dan Afrika tampak keuniversalan yang
tampak dari kota ini. Dengan demikian Istanbul menjadi pusat dunia,
namanya adalah pusat kebahagiaan atau Dersaated. (Mustafa Armagan.
2014: 8).
Seperti sang ayah, Murad II, Fatih pun seorang sultan yang memiliki
semangat berperang tinggi bagai elang dan lembut penuh kedamaian
seperti merpati. Dengan kata lain, ia membawa sifat-sifat yang saling
bertolak belakang dan menggabungkannya menjadi kekuatan yang
cemerlang. (Mustafa Armagan. 2014: 36).
C. Pendidikan Karakter untuk Membangun Generasi Hebat
Imam Barnadib (1978: 14) mengartikan watak atau karakter dalam arti
psikologis dan etis. Dalam arti psikologis, watak adalah sifat-sifat yang
demikian nampak dan seolah-olah mewakili pribadinya. Sedangkan dalam
arti etis, watak harus mengenai nilai-nilai yang baik dan menunjukan sifat-
sifat yang adapat selalu dipercaya sehingga orang orang yang berwatak itu
mempunyai pendirian yang teguh baik, terpuji serta dapat dipercaya. Dalam
hal ini Imam Barnabib menandaskan bahwa masalah watak berhubungan
dengan masalah keagamaan. Agama mendidik seseorang agar mengenal
kebaikan dan berbuat yang baik, dan demikian pula hakikat pendidikan
karakter. Oleh sebab itu, pendidikan karakter merupakan salah satu bagian
dari pendidikan agama.
Pendidikan karakter menurut Megawangi dalam (Kalfaris Lalo, 2018:
73), ialah usaha sadar untuk mendidik anak-anak aga dapat mengambil
keputusan dengan bijak dan mempratekkannya dalam kehidupan sehari-hari,
sehingga mereka dapat memberikan kontribusi yang positif kepada
lingkungannya. Dalam membentuk karakter bangsa yang bermartabat, peran
ilmu pendidikan sangat penting, karena di dalam ilmu pendidikan dapat
ditemukan konsep maupun teori yang dapat dijadikan acuan untuk
pengembangan pendidikan seperti yang telah dijelaskan, sehingga
meningkatkan mutu pengembangan nilai karakter yang bermartabat. Selain
peran pendidikan, peran pemerintah sangat berpengaruh dalam membangun
generasi hebat yang bermartabat. Sejarah Indonesia telah mancatat bahwa
pada dua dasa warsa pasca kemerdekaan Indonesia , pembangunan pertama
kali yang digarap ialah dibidang politik yakni membangun bangsa dan
karakter seluruh masyarakat Indonesia yang berisi semangat nasionalisme,
rasa cinta kepada tanah air (Wibisono 1998: 8).
Adapun sistem pendidikan di Indonesia harus bersifat dinamis, fleksibel
sehingga dapat menyerap perubahan-perubahan yang cepat antara lain kerena
perkembangan ilmu dan teknologi, perubahan masyarakat menuju kepada
masyarakat yang semakin demokratis dan menghormati hak-hak asasi
manusia. Dengan memperhitungkan kendala-kendala yang akan dihadapi
dalam pelaksaannya.
Dalam (Suyadi, 2013: 2), menyebutkan di Indonesia, pendidikan karakter
telah di bahas tuntas oleh Ki Hadjar Dewantara dalam kedua karya
fonumentalnya, pendidikan dan kebudayaan. Pendidikan karakter yang
sekarang didengung-dengungkan oleh Kemendiknas sebenarnya hanya
istilah lain dari Pendidikan Budi Pekerti dalam pemikiran Ki Hadjar
Dewantara. Lebih dari itu model pendidika karakter yang dicanangkan
Kemendiknas justru berkiblat pada Thomas Lickona, dengan alasan bahwa
Lickona orang pertama yang mengenalkan pendidikan karkater. Dikurusus
pendidikan karakter mengalami perdebatan panjang yang tidak jelas
ujungnya. Seperti contoh, apakah orang yang dilahirkan berkarakter buruk
dapat berubah, melalui pendidikan sehingga berubah menjadi baik?, apakah
jika seseorang yang telah membawa karakter baik tidak perlu dididik, karena
akan tetap baik sampai kapanpun dalam keadaaan apapun?
Sebaliknya, apakah orang yang dilahirkan berkarakter buruk akan tetap
buruk meskipun diproses dalam wadah pendidikan? Jika demikian, apakah
pendidikan tidak berpengaruh dalam pembentukan karakter seseorang?
Perdebatan di atas sebenarnya telah diselesaaikan oleh tiga jawaban
filosofis dengan corak yang berbeda. Jawaban pertama, Seperti yang
dikemukakan oleh John Locke dengan teori Tabula rasa, beliau mengatakan
bahwa setiap anak dilahirkan seperti kertas putih yang dapat dilukis dengan
karakter baik atau buruk. Jawaban Kedua, dikemukakakan oleh Lombrosso
dan Schopenhauer dalam teori Nativisme, beliau mengungkapkan bahwa
setiap karakter seseorang tidak dapat berubah karena bersifat genetis.
Jawaban ketiga, dikemukakan oleh William Stren dengan teori konvergensi,
melalui teorinya ia berpendapat bahwa karakter seseorang dipenuhi oleh
bawaan atau genetika dan lingkungan atau pendidikan.
Sejatinya pendidikan karakter di Indonesia mengusung semangat baru
dengan optimisme yang penuh untuk membangun karakter bangsa yang
bermartabat konsep-konsep yang ada di dalamnya yaitu:
1. Pengembangan karakter mempunyai makna yang lebih jauh
dibandingkan dengan pendidikan moral. Pendidikan karakter tidak hanya
berkaitan dengan benar dan salah, tetapi menanamkan kebiasaaan tentang
yang baik dalam kehidupan, sehingga seseorang memiliki kesadaran,
kepekaan, serta komitmen untk menerapkan kebaikan, (Handoko
Santoso, 2017: 407).
2. Penguatan karakter bertumpu pada kontribusi tri pusat pendidikan, yaitu
keluarga, sekolah, dan masyarakat.
3. Program Kemendikbud lima hari di sekolah, adalah salah satu upaya agar
satuan pendidikan dapat leluasa dalam mengembangkan karakter peserta
didiknya.
4. Menurut Arif Budiman dalam (Handoko Santoso, 2017: 408), terkait
karakter yang dikembangkan sekolah, bahwa kristaliasi nilai-nilai
karakter yang dipraktikan sehari-hari menghasilkan lima nilai utama
yaitu religius, nasionalis, mandiri, gotong royong, dan integritas.
Adapun konsep pendidikan karakter bagi seorang muslim menurut Hasan
al-Banna dalam (Lukito Budi Utomo, 2017: 45-80), sebagai seorang muslim
dalam membentengi dan solusi dari penyimpangan-penyimpangan karakter
pada generasi saat ini terutama umat Islam adalah sebagai berikut:
1. Salimul Akidah
Akidah yang bersih (salimul akidah), merupakan sesuatu yang
harus ada pada setiap muslim. Dengan akidah yang bersih, seorang
muslim akan memiliki ikatan yang kuat kepada Allah dan dengan ikatan
yang kuat itu ia tidak akan menyimpang dari jalan dan ketentuannya.
2. Sahihul Ibadah
Berarti ibadah yang sempurna dan tanpa cacat, adapun menurut
Ibnu Qayyim di dalam kita Syarh Fatihatul Kitab, beliau menuliskan
bahwa ibadah itu sebenarnya menghimpun dua faktor, yaitu puncak rasa
cinta dan puncak ketundukan serta kepatuhan sekaligus.
3. Matinul Khuluq
Perangai baik manusia yang tangguh dan kuat yang tidak akan
goyah oleh kejadian apapun. Dan cara mencapai kesempurnaaan akhlak
yaitu menghias diri dengan seluruh sifat Rsulullah, mengikuti
manhajnya, istiqomah dengan segala petunjuknya.
4. Qawiyyul Jismi
Keperkasaaan jasmani, sebagaimana ungkapan bahwa akal yang
sehat terdapat tubuh yang sehat pula. Juga meningkatkan keberanian
serta kemampuan untuk membela diri.
5. Mutsaqqaful Fikri
Bemakna keterampilan dalam segala pekerjaan, dimana seseorang
dikatakan cerdas apabila cermat terhadap apa yang dipahami dan juga
melaksanakannya. Kecerdasan adalah kecepatan belajar dan anak yang
cerdas adalah anak yang benar dalam memahami kebutuhannya.
6. Qadirun ala Kasbi
Merupakan kemandirian pada diri seorang muslim, dalam
memenuhi kebutuhannya sehingga ia tidak akan meakukan hal-hal yang
dilarang untuk memenuhii kebutuhannya.
7. Munazzamun Fi Syu’unihi
Teratur dalam segala urusan, dengan kata lain urusan yang ada
pada diri seorang muslim hendaknnya diselesaikan dengan baik dan
professional, sesuai dengan porsinya.
8. Harishun Ala Waqtihi
Artinya dalam pandai mengatur waktu di dalam kehidupannya.
9. Nafiun Lighairihi
Memiliki arti bermanfaat untuk orang lain, seorang muslim
haruslah bertekad bahwa dirinya bisa bermanfaat bagi orang lain.
Minmal bermanfaat bagi dirinya dan keluarganya.
10. Mujahidun Linafsihi
Berjuang melawan hawa nafsu, harus ada pada diri seorang muslim
karena setiap manusia memiliki kecenderungan pada hal yang baik
maupun yang buruk. Maka fungsi Mujahidun linafsihii, bisa dikatakan
sebagai pengontrol diri dalam melakukan sesuatu.

BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
1. Banyak ditemui problematika moral pada generasi milenial saat ini,
kemajuan Ilmu Pengetahuan, Informasi dan Teknologi (IPTEK) tidak
selamanya berdampak positif, diantara dampak negatifnya ialah
manjadikan generasi milenial, menjadi generasi yang malas, tidak
bekerja keras, dan yang lebih parah lagi menyebabkan lunturnya nilai-
nilai spritualitas dan moral seseorang.
2. Peran pendidikan Islam sangat bermanfaat untuk membentengi generasi
muda saat ini terhadap pengaruh negatif arus globalisasi dengan nilai-
nilai yang terkandung di dalamnya yaitu ketauhidan, keagamaan,
pengembangan manusia sebagai khalifah Allah, pengembangan
hubungan antar manusia serta
3. Adapun konsep-konsep dalam pendidikan karakter yang sesuai untuk
mengembangkan dan menanamkan karakter sehingga menjadi kebiasaan
yang baik, memaksimalkan tripusat pendidikan, memaksimalkan
kristalasi nilai-nilai pendidikan karakter.
B. Saran
Sebagai generasi muda yang hidup di era globalisasi segala hal yang
mudah untuk di dapatkan hendaknya digunakan dengan bijak sesuai dengan
kebutuhan agar menjadi generasi yang hebat dan bermartabat.

DAFTAR PUSTAKA

Handoko, Santoso. 2017. Pendidikan Karakter Untuk Menyiapkan Generasi


Indonesia Berkemajuan. Jurnal Semnasdik UM Metro: 107-108.
Lukito, Budi Utomo. 2017. Konsep Pemikiran Kepribadian Muslim Menurut
Hasan Al-Banna & Relevansinya Di Indonesia. Skripsi: 45-80.
Lalo, Kalfaris. 2018. Menciptakan Generasi Milenial Berkarakter dengan
Pendidikan Karakter guna Menyongsong Era Globalisasi. Jurnal Ilmu
Kepolisian (12) 2: 73.
Suyadi. 2013. Strategi Pembelajaran Pendidikan Karakter. Bandung: PT. Remaja
Rosdakarya.
Barnadib, Imam. 1978. Filsafat Pendidikan (Tujuan Mengenai Beberapa Aspek
dan Proses Pendidikan). Yogyakarta: Studing.
Wibisono, Koento. 1998. Wawasan Kebangsaan dalam Era Reformasi. Jurnal
Filsafat pancasila (2): 4.
Ramayulis. 2015. Dasar-Dasar Kependidikan Suatu Pengantar Ilmu Pendidikan.
Jakarta: Kalam Mulia
Idris, Jamaluddin. 2005. Komplikasi Pemikiran Pendidikan. Yogyakarta: Suluh
Press
Ihsan, Fuad. 2005. Dasar-Dasar Kependidikan. Jakarta: PT Rineka Cipta

Nasution, S. 2014. Sosiologi Pendidikan. Jakarta: PT Bumi Aksara

Solikodin, Moh. Djaelani, dkk. 2015. Dasar-Dasar Kependidikan. Tanggerang:


PT Pustaka Mandiri
Q-Anees, Bambang dan Adang Hambali. 2009. Pendidikan Karakter Berbasis Al-
Quran. Bandung: Simbiosa Rekatama Media
Ilahi, Muhammad Takdir. 2014. Gagalnya Pendidikan Karakter Analisis dan
Solusi Pengendalian Karakter Emas Anak Didik. Jakarta: Ar-Ruzz Media
Armagan, Mustafa. 2014. Muhammad Al-Fatih Kisah Kontroversial Sang
Penakluk Konstatinopel. Depok: Kaysa Media

Anda mungkin juga menyukai