Anda di halaman 1dari 9

Aku Anak Millenial

(Cerpen)
Rabu 03 Apr 2019 14:09 WIB
Red: Karta Raharja Ucu

 2

 0

Aku Anak Milenial
Foto: Rendra Purnama/Republika
Ragam prestasi tampak di mata orang.
Sikap tegas, luas pergaulan, senyum
menawan.
‘Tik..tik..’. Waktu berdetak. Bergerak
perlahan. Pasti. Teratur dan rapi. Tak
melewati satu sama lain. Senada embusan
angin yang bergerak menghempas sudut
malam. Berbisik, mentari datang. Sebagian
terjaga, bersenandung dengan Tuhan
Pencipta Alam. Dedaunan bergoyang,
hewan malam mulai terlelap. Kicau burung
menghias cakrawala, langit hitam bergeser
perlahan, elok garis kuning kemerahan
guratan keindahan lukisan Sang Agung.
Panggilan-Nya bertalu. Menyadarkan
mereka akan Sang Pencipta.

Semburat cahaya merayapi penjuru langit


biru muda. Dia memasukkan siang ke
malam, malam ke siang. Lantunan ayat-Nya
bersahutan. Nyaring atau tidak. Malaikat
senang mendengarnya.
Subuh bernapas. Cahaya hangat
menghipnotis manusia untuk bangkit.
Saluran air dinyalakan kencang. Bak penuh
terisi air. Deru ketel berteriak, teko siap diisi.
Pedagang mengisi sudut pasar. Bersahutan
menawarkan dagangan.

Asap dapur mengepul. Sarapan tersedia.


Sembari berberes peralatan sekolah, atau
rangkaian data tugas karyawan, setumpuk
tugas presentasi dosen tercinta untuk para
mahasiswa. Penjaja koran beroperasi.
Mengirim berita, informasi terkini, penting,
mendidik, atau sekadar humor penghibur
hati.
Petugas kebersihan menyingsing lengan
baju, menyibukkan diri dengan dedaunan
berguguran. Jajaran toko mulai membuka
gerbangnya, bersiap menyambut dengan
wajah ceria nan ramah. Selusur jalan mulai
dijejali ragam manusia. Beroda dua, tiga,
empat, atau bahkan dengan kakinya sendiri.
Kesibukan menggerayapi.
Begitu pula lelaki itu. Di kursi putar
kebanggaannya yang berada di lantai 24
gedung kantornya. Gedung pencakar langit,
bukan gedung biasa. Dengan ragam bilik di
sana, anggap saja seperti Grand Mall.
Tak dimungkiri sepasang sandal bisa
seharga seekor kambing kurban. Macam
fasilitas, fashion, official & marketting, cosmetics,
hitech. Terbilang, kantor ini pusat dari
segalanya. Meski harga setinggi langit
ketujuh, tak sedikit yang mengadu hidup
atau sekadar mengunjungi. Mencuci mata.

Lelaki muda itu terduduk di atas kursi putar


kebanggaannya. Dengan jas parlente, dasi
berkelas melingkar di leher menunjukkan
kualitas materi. Intan dan berlian melingkar,
menunjukkkan elitenya jenis manusia satu
ini. Tak hanya fisik, membuat kaum hawa
melirik bahkan tertarik.
Ragam prestasi tampak di mata orang. Sikap
tegas, luas pergaulan, senyum menawan.
Siapa tak tertarik dengan spesies
sepertinya? Belum lagi nilai plus darinya,
wajah tampan nan menarik, guratan
kedewasaan terlukis di sana. Tak terhitung,
banyak mitra kerja ingin menjadikannya
calon kepala keluarga atau bahkan menantu
idaman.
Dia terduduk sembari menikmati hangatnya
kopi susu. Diisapnya pelan, hendak hati
menikmati selagi menyaksikan informasi
terkini. Sesaat mata bergerak, bertemu
kabar negara. Kedua alisnya menyatu, di
baliknya tanpa pikir panjang.
Seketika sudut bibirnya membentuk
lengkungan senyum. Disebut surat kabar
prestasi yang diraih olehnya. Terbilang satu-
dua kata saja. Namun, senyum lebar tak
terelakkan. Begitulah manusia, seketika diri
di atas udara, melambung tinggi sejauh
angkasa.

Perlahan. Kata demi kata ia lahap. Kalimat


per kalimat. Tanggal dan waktu. Sementara
itu, ketukan pintu bergema. Naomi,
sekretaris pribadi cantik nan seksi dengan
pakaian super mininya. Menyihir kaum adam
hingga tak kedip sekalipun. Cukup mengelus
dada bagi mereka yang mengerti adat
asusila. Namun, apalah kata asusila jika
sang ‘Bos’ pribadi meminta. Lagipula, sang
sekretaris tak berkeberatan berbusana apa
pun, asalkan…fee. Bukan masalah besar
untuk lelaki borjuis yang tengah tersenyum
berbangga diri dengan surat kabar
internasional itu.

“Pak, untuk proposal di ibu kota provinsi C


sudah diterima, sudah saatnya kita mengirim
orang untuk proyek besar kita di sana,”
ujarnya dengan suara genitnya.

“Oke,” jawab lelaki itu singkat, tak berkilah


sedikit pun dari lembar abu itu.

“Dan, untuk penambahan infrastruktur di


kota B, sudah ditangani Davin. Surat-
menyurat. Data lengkap. Pengabsahan
lunas. Lancar tanpa beban. Sedikit kontra.
Namun, bukan masalah. Seperti biasa,”
ujarnya lagi. Sesekali melirik lelaki muda itu.
Berharap sedikit respons darinya.

Namun, harapan bersisa harapan. Ia tak


disibukkan lagi dengan surat kabar. Ia
berbalik ke smartphone. Diperhatikannya
lamat-lamat, mematut dagu, lantas lelaki itu
membuka mulut. Kalimat yang tak
diharapkan wanita muda itu.

“Naomi, mulai detik ini. Jangan kenakan baju


seperti itu lagi. Longgarkan dan panjangkan.
Berbusanalah seperti Naela atau Fitri.
Pakailah uang yang baru saja kumasukkan
dalam rekeningmu. Sekarang. Cepatlah,”
sahutnya satu tarikan napas.
Tanpa jeda. Tak ada waktu untuk Naomi
menolaknya. Naomi menganga dalam
keterpakuannya. Ia berpikir berkali-kali.
Ia hanya mengangguk mengiyakan
permintaan bos yang selalu
memanjakannya. Berbalik. Membuka pintu,
berjalan tanpa arah. Bergumam, apakah dia
melakukan kesalahan? Ia tak pernah terlihat
tidak nyaman dengan pakaian yang ia
kenakan kali ini. Bahkan, ia menyukainya.
Apa? Seperti Naela?
Wanita berjilbab kurung lengkap dari kepala
hingga ujung kaki?

Fitri? Dia tak berjilbab. Tapi, pakaian dan rok


panjangnya…Ahh!

Ia mendesah. Tak bisa menolak. Sekali


menolak. Tak pantas ia injakkan kedua
kakinya di kantor ber-25 lantai ini. Masalah
besar untuk seorang Naomi.
BACA JUGA: Update Berita-
Berita Politik Persepektif Republika.co.id, Klik
di Sini

 1

 2

Anda mungkin juga menyukai