Pengukuran Tekanan Intra Kranial
Pengukuran Tekanan Intra Kranial
1
Disamping pengetahuan tentang tekanan intra kranial, pemahaman
tentang bagaimana cara mengatasinyapun sangat perlu untuk diketahui.
Oleh karena itu pada tulisan ini akan membahas tentang pengukuran
tekanan intra cranial, efek peningkatan dan managemennya, serta
keperluan pengelolaan dalam anestesi.
2
Pertambahan volume dari suatu kompartemen hanya dapat terjadi
jika terdapat penekanan (kompresi) pada kompartemen yang lain. Satu-
satunya bagian yang memilik kapasitas dalam mengimbangi (buffer
capacity) adalah terjadinya kompresi terhadap sinus venosus dan terjadi
perpindahan LCS ke arah aksis lumbosakral. Ketika manifestasi di atas
sudah maksimal maka terdapat kecenderungan terjadinya peningkatan
volume pada kompartemen (seperti pada massa di otak) akan
menyebabkan peningkatan tekanan intracranial (ICP/TIK).3
V CSF + V darah+ Votak = V konstan
3
dapat dikompresi untuk mengkompensasi peningkatan volume. Hal ini
ditunjukkan pada kasus hidrosefalus akut, di mana otak dikompresi oleh
CSF yang menyebabkan pembesaran ventrikel, atau pada kasus hematoma
epidural akut, ketika otak secara akut dikompresi dan terdistorsi oleh
massa hematoma. 1,3,9
Gambar : Hubungan antara penambahan isi dalam kepala dan tekanan di dalamnya 9
Nilai normal TIK masih ada perbedaan diantara beberapa penulis,
dan bervariasi sesuai dengan usia, angka 8-10 mmHg masih dianggap
normal untuk bayi, nilai kurang dari 15 mmHg masih dianggap normal
untuk anak dan dewasa, sedangkan bila lebih dari 20 mmHg dan sudah
menetap dalam waktu lebih dari 20 menuit dikatakan sebagai hipertensi
intra cranial.4 Tekanan intra kranial akan mempengaruhi tekanan perfusi
cerebral (CPP / Cerebral perfusion pressure). CPP dapat dihitung sebagai
selisih selisih antara rerata tekanan arterial (MAP) dan tekanan intracranial
(ICP/TIK). 4,6,9,10,12
CPP = MAP – ICP atau MAP –JVP
JVP = tekanan vena jugularis. Ini dipakai ketika cranium sedang terbuka
(saat operasi) dan ICP-nya nol. Jadi perubahan pada tekanan intra cranial
akan mempengaruhi tekanan perfusi cerebral, dimana ini akan berakibat
terjadinya iskemia otak. 2,3,5 Pada pasien dengan cedera medulla spinalis,
tekanan perfusi pada medulla spinalis dapat dihitung dengan selisih antara
MAP dan tekanan LCS. Meskipun sebagian besar pasien cedera medulla
4
spinalis menunjukkan gambaran lesi komplit, gangguan anatomi jarang
ditemukan, dan menjaga perfusi tetap adekuat adalah penting untuk
mempertahankan fungsi medulla spinalis pada daerah proksimal dari
tempat cederanya.9
Bila terjadi kenaikan yang relatif kecil dari volume otak, keadaan
ini tidak akan cepat menyebabkan peningkatan tekanan intrakranial. Sebab
volume yang meninggi ini dapat dikompensasi dengan memindahkan
cairan serebrospinalis dari ronga tengkorak ke kanalis spinalis dan
disamping itu volume darah intrakranial akan menurun oleh karena
berkurangnya peregangan durameter. Hubungan antara tekanan dan
volume ini dikenal dengan complience. Jika otak, darah dan cairan
serebrospinalis volumenya terus menerus meninggi, maka mekanisme
penyesuaian ini akan gagal dan terjadilah tekanan tinggi intrakranial. 1,2,5,6,9
Pendapat lain dikatakan bahwa komplians intrakranial ditentukan
dengan pengukuran perubahan TIK terhadap respon perubahan volume
intrakranial. Normalnya, peningkatan volume pada awalnya terkompensasi
baik. Sebuah batas secepatnya tercapai, namun, peningkatan yang
berlanjut menyebabkan peningkatan TIK. Mekanisme kompensasi mayor
yaitu (1) perpindahan awal CSS dari kranial ke kompartemen spinal, (2)
peningkatan absorpsi CSS, (3) penurunan produksi CSS, (4) penurunan
volume darah serebral total (terutama vena).2
5
Kenaikan tekanan intra kranial dapat diakibatkan berbagai sebab,
diantaranya :4
Tabel: Penyebab Peningkatan Tekanan Intrakranial
Penyebab Peningkatan Tekanan Intra Kranial
Intrakranial (primer) Tumor, Trauma (SDH,EDH,kontusio)
Perdarahan intraserebral non trauma
Stroke iskhemik, hidrosephalus
Idiopatik/benigna hipertensi intracranial
Lain-lain ( pseudomotor, pneumoencehpalus,
abses)
Ekstrakranial (sekunder) Obstruksi airway, hipoksia, hiperkarbia
Hipertensi, batuk, nyeri, hipotensi
Postur tubuh, hiperpireksia, kejang, obat-
obatan
6
Pasca operasi Mass lesion (hematoma, edema)
Vasodilatasi, gangguan aliran LCS
Gambaran Klinis Kenaikan Tekanan Intra Kranial
Kenaikan tekanan intra cranial sering memberikan gejala klinis yang dapat
dilihat seperti :1,6
a. Nyeri Kepala
Nyeri kepala pada tumor otak terutama ditemukan pada orang dewasa
dan kurang sering pada anak-anak. Nyeri kepala terutama terjadi pada
waktu bangun tidur, karena selama tidur PCO2 arteri serebral
meningkat sehingga mengakibatkan peningkatan dari serebral blood
flow dan dengan demikian mempertinggi lagi tekanan intrakranial.
Juga lonjakan tekanan intrakranial sejenak karena batuk, mengejan
atau berbangkis akan memperberat nyeri kepala. Pada anak kurang dari
10-12 tahun, nyeri kepala dapat hilang sementara dan biasanya nyeri
kepala terasa didaerah bifrontal serta jarang didaerah yang sesuai
dengan lokasi tumor. Pada tumor didaerah fossa posterior, nyeri kepala
terasa dibagian belakang dan leher.
b. Muntah
Muntah dijumpai pada 1/3 penderita dengan gejala tumor otak dan
biasanya disertai dengan nyeri kepala. Muntah tersering adalah akibat
tumor di fossa posterior. Muntah tersebut dapat bersifat proyektil atau
tidak dan sering tidak disertai dengan perasaan mual serta dapat hilang
untuk sementara waktu.
c. Kejang
Kejang umum/fokal dapat terjadi pada 20-50% kasus tumor otak, dan
merupakan gejala permulaan pada lesi supratentorial pada anak
sebanyak 15%. Frekwensi kejang akan meningkat sesuai dengan
pertumbuhan tumor. Pada tumor di fossa posterior kejang hanya
terlihat pada stadium yang lebih lanjut. Schmidt dan Wilder (1968)
mengemukakan bahwa gejala kejang lebih sering pada tumor yang
letaknya dekat korteks serebri dan jarang ditemukan bila tumor terletak
dibagian yang lebih dalam dari himisfer, batang otak dan difossa
posterior.
d. Papil edema
7
Papil edem juga merupakan salah satu gejala dari tekanan tinggi
intrakranial. Karena tekanan tinggi intrakranial akan menyebabkan
oklusi vena sentralis retina, sehingga terjadilah edem papil. Barley dan
kawan-kawan, mengemukakan bahwa papil edem ditemukan pada
80% anak dengan tumor otak.
e. Gejala lain yang ditemukan:
False localizing sign: yaitu parese N.VI bilateral/unilateral,
respons ekstensor yang bilateral, kelainann mental dan gangguan
endokrin
Gejala neurologis fokal, dapat ditemukan sesuai dengan lokalisasi
tumor.
8
Gambar : Metode monitoring TIK
Bagaimanapun juga, penggunaan kateter fiberoptik intraparenkim
dapat meningkatkan resiko terjadinya infeksi bila dibandingkan alat
lainnya. Monitor subarachnoid sebaiknya ditempatkan pada sisi yang sama
dengan sisi lesi untuk menghindari ketidakakuratan karena ada perbedaan
tekanan antara dua himisfer. Perekaman dan penampilan gelombang
tekanan tranduced ICP secara komputerisasi dengan penggunaan monitor
bedside pasien yang paling multimodal saat ini menjadi standar :
gelombang tekanan ‘real-time’ dan analisis beberapa trend tekanan dapat
ditampilkan dan dibandingkan dengan tanda monitor lainnya seperti
tekanan darah sistemik atau central venous pressure (CVP). 2
Pada umumnya, monitoring TIK diindikasikan pada semua pasien
yang koma dengan cedera kepala , dan pada pasien dengan penurunan
status neurologi dengan CT-Scan abnormal. Seperti yang telah disebutkan
di atas, banyak pertimbangan dibutuhkannya monitoring TIK pada pasien
cedera kepala sedang yang membutuhkan perpanjangan prosedur operasi
di bawah pengaruh general anestesi. Sebagai tambahan, beberapa senter
melakukan monitoring TIK post-operasi secara rutin mengikuti prosedur
major neurosurgical. Satu-satunya kontraindikasi monitoring TIK adalah
9
adanya koagulopati yang tidak terkoreksi.2 Terlepas dari alat monitoring
ICP, terkait dengan jumlah alat maka pemeriksaan neurologis jangan
pernah digantikan, bahkan ketika pemeriksaan tersebut terbatas akibat
sesuatu misalnya koma atau sedasi.9
Table 2 : Indikasi monitoring tekanan intracranial 9
Kontraindikasi rasio/komentar
Koagulopati kateter ventrikuler dihindarkan paa kasus
trombositopenia (platelet < 100.0000) atau
INR > 1,2.
tehnik monitoring lain mempunyai resiko
lebih kecil tapi pasien sebaiknya dikoreksi
koagulopatinya lebih dulu sebelum
pemasangan monitor
Immunosupresi pasien dengan gangguan status imunologi
punya resiko lebih tinggi untuk terjadinya
infeksi sehingga merupakan kontraindikasi
relatif
10
gambaran klinis yang seharusnya tidak digunakan pada pasien
tidak relevan dengan prognosis tidak dapat bertahan
(nonsurvivable)
Table 4: Komplikasi monitoring tekanan intracranial 9
Komplikasi Rasio/komentar
infeksi Penempatan monitor ICP dapat menyebabkan
luka infeksi local, meningitis, ventrikulitis,
dan abses otak.
resiko meningitis dan ventrikulitis lebih besar
pada kateter ventrikuler.
masih belum jelas diketahui bila pemasangan
ulang rutin dilakukan
Perdarahan komplikasi penempatan monitor dengan
morbiditas terbanyak.
dapat diakibatkan trauma langsung
(intraserebral atau intraventrikuler) atau
overdrainase CSF (subdural)
resiko paling besar pada kateter ventrikuler
(1/70-100)
salah pengukuran bila alat tidak terpasang dan terkalibrasi
dengan akurat, maka kessalahan pengukuran
dapat menyebabkan intervensi dan terapi
yang tidak tepat.
Ventrikulostomi
Kateter intraventrikel yang selain digunakan untuk monitoring ICP
juga berfungsi untuk terapi drainase CSF. Kateter intraventrikel
merupakan metode standar emas monitoring ICP. Digunakan pertama kali
tahun 1960. Sebuah kateter plastic dimasukkan ke ventrikel lateral dan
dihubungkan dengan tranduser eksternal. Kateter intraventrikel mengukur
ICP dan juga sebagai terapi drainase CSF. Hal ini direkomendasikan
sebagai monitor awal, setelah terjadi trauma pada pasien untuk
mengantisipasi peningkatan ICP. Pada kondisi trauma, ukuran ventrikel
11
sering mengecil berbanding terbalik degan peningkatan ICP, menyebabkan
insersi kateter ventrikel secara blind lebih sulit. Bila ventrikel tidak dapat
dikanulasi pada usaha yang ketiga maka tehnik alternative monitoring ICP
harus dicoba untuk menguangi terjadinya komplikasi terkasit percobaan
pemasangan berulang.9
12
kolaps. Pada kondisi ini tidak dapat digunakan untuk memonitor ICP
ketika ventrikulostomi dibiarkan terbuka yang saat itu berfungsi sebagai
drain. Pada kondisi trauma kami merekomendasikan satu sampai dua
menit untuk mendrainase ketika ICP > 20 mmHg, kemudian kateter
diklemp lagi bila sudah tidak digunakan sebagai drain. Hal ini
memunkinkan CSF membentuk ventrikel serta dapat mengukur ICP
Baut Richmond
Baut Richmond (subdural-subarakhnoid) biasanya terdiri atas
sekrup berongga yang ujungnya melewati dura dan masuk 1-2 mm
dibawah lapisan dalam tengkorak dan menempati/menempel pada
arakhnoid yang menutupi permukaan otak. Jika baut terletak terlalu
superficial, maak ada resiko salah posisi/longgar dan kehilangan tekanan.
Tetapi bila terlalu dalam maka permuakan otak dapat penetrasimenuju kea
13
rah herniasi masuk ke dalam sekrup berongga dan menyumbat proses
sistem.
14
karenapenempatannya di ekstradura, akan tetapi ada beberapa kerugian
termasuk kesulitan tehnik, perdarahan, kalibrasi yang sulit setelah
penempatan baut, dan ketidakmampuan untuk drainase CSF untuk terapi.9
15
steril. Keterbatasan yang bermakna dari alat ini adalah tidak mampu
digunakan sebagai terapi drainase CSF.
Pada kondisi trauma, ketika ICP meningkat dan ventikel terdesak,
hanya sebagian kecil jalan keluar CSF yang terlihat selama penempatan
ventrikulostomi. Hal ini terjadi pada ventrikel sekitar kateter kolaps, dan
bila tidak dikenali lagi, kateter mungkin saja tertarik. Bila terjadi maka
tidak mungkin dilakukan rekanulasi ventrikel. Pada kondisi ini kateter
dibiarkan ditempat dan monitor kedua misalnya Camino harus
ditempatkan untuk memantau ICP. Ketika kateter itraventrikuler mulai
mendrainase CSF yang bertumpuk dalam ventrikel, salah satu dari dua
monitor tersebut dapat ditarik tergantng pada situasi klinis.9
16
ketiga (P3) yang hamper selalu lebih rendah dari P2, dan disebut
gelombang dikrotik mewakili pulsasi vena yang ditransmisikan menuju
otak. Pada kondisi komplien otak normal besarnya gelombang adalah
kecil, sedangkan pada otak yang ketat, perubahan tekanan yang diikuti
dengan perubahan volume adalah besar. Selain mempunyai karakter tiga
puncak, gelombang ICP yang terjadi sesuai siklus jantung, perubahan
tambahan pada semua nilai dasar yang terjadi akan mengubah komplien
intrakranial. Lebih lanjut lagi, perubahan dasar terkait ventilasi adalah
sebagai berikut: pada napas spontan, inhalasi menurunkan tekanan
intrathorakal dan menaikkan drainase vena (menurunkan ICP). Dimana
ekshalasi menyebabkan penurunan outflow vena dari cranium sehingga
ICP meningkat. Sebaliknya akan terjadi bila digunakan ventilasi tekanan
positif. Bila ICP meningkat dan komplien serebral menurun (dengan
berbagai penyebab), komponen vena menghilang dan pulsasi arteri
menjadi lebih jelas.
Pada tahun 1960, lundberg melaporkan hasil monitoring ICP secara
langsung dengan menggunakan ventrilkulotomi pada 143 pasien. Dia
menyebutkan patofisiologi dan tanda klinis yang bermakna dari tiga
gelomang patologis ICP yang ditandai dengan gelombang A, gelombang
B, dan gelombang C.
Gelombang Lundberg A, juga dikenal dengan gelombang plateu
dicirikan dengan elevasi tajam ICP samapi >50 mmHg, setidaknya untuk 2
menit dampai 20 menit diikuti penurunan mendadak ke level ICP awal.
Biasanya nilai dasar baru akabn sedikit lebih tinggi setelah timbul
gelombang A. Gelombang A ini akan muncul lagi dengan meningkatkan
frekuensi, durasi, dan amplitude dan sering terjadi pada peningkatan
simultan dari tekanan arteri rerata. Lundberg mengenali gelombang ini
sebagai pertanda ICP tidak terkontrol, yang mungkin dihasilkan dari
sebuah kelelahan kapasitas buffering dan komplien intracranial.
Gelombang Lundberg B juga dikenal pulsasi tekanan, dicirikan
dengan peningkatan ICP 10 sampai 20 mmdalam waktu 30 detik sampai 2
menit. Gelombang ini bervariasi sesuai tipe periode napas dan lebih sering
17
terlihat pada kondisi peningkatan ICP dan penurunan komplien
intracranial. Sebagai catatan bahwa hubunan ini tidak semuanya konsisten
dan mewakili temuan kualitatif selama peningkatan ICP.
Gelombang Lundberg C, merefleksikan gelombang arteri Traube-
Hering yang ditandai peningkatan ICP berbagai variasi dengan frekuensi
empat sampai delapan kali per menit. Gelombang ini mungkin saja
mewakili status preterminal dan kadang terlihat pada puncak gelombang
plateu. Sama seperti gelombang B, mereka bersifat sugesti tapi bukan
patognominis akan peningkatan ICP.
Akhir-akhir ini ditekankan pada pengenalan dini serta pengobatan
yang berhasil akan peningkatan ICP. Oleh karena itu, gelombang patologis
Lundberg (A, B, C) jarang terlihat. Namun ketika mereka terlihat pada
pasien yang telah diintervensi terapeutik, maka mereka diramalkan
mempunyai outcome yang buruk.9
18
digunakan untuk mengukur TIK melalui fontanel terbuka. Sistem serat
optik digunakan ekstra kutaneus.
Dengan manual merasakan pada tepi kraniotomi atau defek
tengkorak jika ada fraktur.
Penanganan konvensional
1. Elevasi kepala dan mencegah terjadinya obstruksi vena
2. Peningkatan MAP (jika perlu)
3. Pa CO2 30−35 mmHg, atau 25−30 mmHg jika terdapat tanda-
tanda herniasi
4. Manitol 0,5−1,0 g/kg tiap 6 jam (jika perlu) dan furosemide 20
mg (jika perlu). Pertahankan osmolalitas serum <320.
5. Mempertahankan kondisi hipovolemia, awasi CVP jika
memungkinkan.
6. Ventrikulostomi untuk drainase LCS, jika memungkinkan.
7. Pamberian obat sedasi dengan opiate, benzodiazepine dan/atau
propofol
8. Penyesuaian kadar PEEP, jika memungkinkan
9. Mempertahankan normovolemia.
Penanganan agresif (pada pasien yang gagal dengan penanganan
konvensional)
1. Induksi hipotermi pada 33-34 °C
2. Supresi EEG maksimal dengan induksi koma propofol atau
barbiturate
19
3. Hiperventilasi Pa CO2 20-25 mmHg (monitor SjvO2 atau PbrO2)
4. Pemberian larutan salin hipertonik (3% atau 7,5% 25-50 ml/jam);
monitor kadar natrium serum
Penanganan ekstrim
1. Kraniektomi dekompresi
2. Eksisi jaringan infark ± lobektomi
20
jugularis (SjvO2) dan jaringan otak PO2 (PbrO2) yang telah berulang kali
dibuktikan pada penelitian terhadap pasien dengan cedera kepala. Terlebih
lagi, satu-satunya penelitian kontrol random tentang modalitas terapi,
hiperventilasi profilatik telah ditunjukkan berkaitan dengan efek
merugikan yang ada. Maka Petunjuk Badan Trauma Kepala (Brain
Trauma Foundation Guidelines) menyatakan bahwa hiperventilasi
seharusnya tidak dipakai sebagai managemen pada pasien dengan cedera
kepala, kecuali jika terdapat monitor yang mampu mendeteksi adanya
iskemik serebral tersedia (CBF, SjvO2 or PbrO2). Sebagai tambahan,
karena normalisasi pH dari cairan serebrospinal, efikasi dari hiperventilasi
pada CBF, CBV, dan TIK mengalami penurunan setelah 24 jam. Akan
tetapi, selain penelitian ini, pendapat tentang hiperventilasi masih
kontroversial. Di sini jelas terlihat bahwa PaCO2 yang rendah dapat
menyebabkan penurunan CBF, menyebabkan CBF berada pada batas atau
di bawah anbang batas iskemik, bukti pasti tentang iskemik masih kurang.
Dengan memakai positron emission tomography, Diringer et al. tidak
dapat mendemonstrasikan adanya penurunan metabolisme serebral atau
perubahan pada rasio piruvat-laktat dengan hiperventilasi akut,
menyatakan bahwa rendahnya kadar metabolism basal (basal metabolic
rate) pada pasien cedera kepala secara bertentangan melindungi pasien ini
dari rendahnya CBF. Maka selama kita menunggu bukti yang pasti dari
hiperventilasi, PaCO2 dipertahankan pada 35-40 mmHg. Pada situasi akut
dimana terdapat ancaman atau terjadinya herniasi otak, hiperventilasi
PaCO2 dipertahankan pada kisaran 20–30 mmHg. Akan tetapi, hal ini
seharusnya dilihat sebagai penanganan sementara sambil menunggu
penanganan definitif. Untuk maintenance, PaCO2 harus dijaga pada 30-35
mmHg. CT Xenon dan SPECT (single-proton emission computed
tomography) dapat berguna untuk mengukur respon CBF terhadap
hiperventilasi.2
Kenaikan Tekanan Darah
Pada pasien dengan autoregulasi yang intak dan penurunan
compliance intrakranial, penurunan tekanan darah sistemik akan
21
menyebabkan vasodilatasi kompensatorik dan peningkatan CBV. Hal ini
akan semakin menurunkan CPP, dengan efek “spiraling downhill” dan
penurunan progresif perfusi serebral. Hal sebaliknya, pasien dengan
autoregulasi serebral yang terganggu dapat menunjukkan peningkatan
TIK dengan peningkatan tekanan darah. Karena itulah tidak mungkin
memprediksi ada atau tidaknya autoregulasi, tetapi penting untuk
mendapat gambaran tentang respon TIK.2
Reduksi Massa pada Otak
Karena adaya sawar darah otak (blood-brain barrier), yang relatif
impermiabel terhadap ion natrium dan klorida, perpindahan air keluar dan
masuk sel otak terutama tergantung pada gradien osmotik. Obat diuretik
osmotik yang efektif dipakai untuk mengatasi peningkatan TIK adalah
manitol 20%. Diberikan bolus 0,5-1.0 g/kg, bekerja dengan onset yang
cepat, tetapi puncaknya didapat dalam 30 menit dan berakhir setelah 90
menit. Sedangkan diuretik ‘loop’ yaitu furosemide akan meningkatkan
kerja manitol, juga dapat memberikan efek langsung menurunkan TIK dan
sering digunakan sebagai terapi adjuvant (tambahan). Efek manitol
terhadap hemodinamik adalah kompleks dengan mereduksi resistensi
vaskuler sistemik, lalu diikuti dengan ekspansi volume intravaskuler yang
dapat disertai hipertensi sistemik. Pasien dengan fungsi jantung yang jelek
dapat terjadi edema pulmo akut pada pemberian infus manitol. Dengan
onset diuresis, penyusutan volume intravaskuler yang terjadi akan
meyebabkan hipotensi jika pemberian cairan penggantinya tidak adekuat.
Komplikasi dari terapi manitol adalah overload cairan, dehidrasi dan gagal
ginjal. Selama pemberian terapi manitol, elektrolit, dan osmolalitas cairan
harus diawasi secara berkala, osmolalitas serum tidak boleh lebih dari 320
mOsm. Meskipun mekanisme utama dari mannitol berdasarkan gradien
osmotik, hal ini juga menyebabkan refleks vasokonstriksi dan menurunkan
produksi LCS. Pasien yang tidak bisa ditangani dengan manitol sering
memberi respon terhadap pemberian infus salin hipertonik (3% atau
7,5%). Meskipun beberapa penelitian membuktikan efikasi infus salin
hipertonik, tetapi belum ada penelitian randomized tentang penggunaan
22
salin hipertonik dan adanya komplikasi hipertensi intrakranial “rebound”
(munculnya hipertensi intrakranial setelah efek terapi ini habis). 2
Pada pasien edema vasogenik yang sering terjadi pada pasien
dengan tumor, efektif jika diberikan steroid dan dexamethasone 10 mg
yang diberikan setiap 6 jam. Secara umum pemberian steroid merupakan
kontraindikasi pada pasien dengan cedera kepala dan tidak efektif pada
pasien dengan perdarahan subaraknoid atau stroke iskemik. Pada pasien
dengan cedera medulla spinalis, pemberian methylprednisolon dosis tinggi
telah terbukti memperbaiki fungsinya jika diberikan dalam 8 jam. Pada
beberapa pusat, dikatakan bahwa dalam 3 jam, pasien ini diberikan
methylprednisolon 30 mg/kg bolus, lalu dilanjutkan 5,4 g/kg selama 24
jam dan selama 48 jam jika terjadi dalam 3-8jam (NACIS III). Meskipun
kemajuan yang terjadi sedikit dan beberapa keraguan apakah
keuntungannya lebih besar daripada resiko pneumonia dan infeksi. Akan
tetapi, gambaran efikasi pemberian steroid pada cedera medulla spinalis,
pemakaian methylprednisolon dosis tinggi pada cedera kepala harus
diteliti lebih lanjut dan dilakukan penelitian randomized yang melibatkan
20.000 pasien dengan metode ini.2
Reduksi Volume LCS
Dua puluh lima persen pasien dengan perdarahan subaraknoid yang
berasal dari rupture aneurisma akan berkembang menjadi hidrosefalus
akut dengan peningkatan TIK. Insersi ventrikulostomi dengan drainase
kontrol LCS merupakan terapi efektif peningkatan TIK. Beberapa pasien
ini terkadang membutuhkan shunt ventrikulo-peritoneal (VP-shunt).
Pemasangan drainase pada daerah subaraknoid lumbal juga dapat
menurunkan LCS, tetapi dapat meningkatkan resiko herniasi otak. Hal ini
kurang berguna pada pasien cedera kepala, karena ventrikel sering tertekan
sehingga membuat drainase sulit masuk ke ventrikel dan menjadi kurang
efektif.2
Anestesi inhalasi :
Isoflurane : banyak digunakan dalam neuroanestesi, dapat meningkatkan
aliran darah otak (ADO) namun tidak terlalu besar, MAC 1 tidak
23
mempengaruhi tekanan LCS, menurunkan metabolism otak (CMRO2),
efek meningkatkan TIK dapat dikompensasi dengan hiperventilasi.4
Sevoflurane : pada MAC 1 tidak mempengaruhi tekanan intracranial,
namum akan menurunkan tekanan darah. Secara umum efek ADO dan
CMRO2 sama dengan isoflurane.4
Anestesi intravena
Sedasi dan Paralisis
Sedasi yang adekuat adalah penting bagi semua pasien dengan
peningkatan TIK untuk mengurangi agitasi (kondisi gelisah) dan gerakan-
gerakan pasien serta untuk mempermudah toleransi terhadap ET
(endotrakeal tube). Batuk atau sumbatan pada ET atau selama
trakeobronkial suction dapat meningkatkan TIK. Paralisis neuromuskular
secara efektif dapat dicegah dengan cara pemberian obat ini tetapi ini
dapat menghambat pemeriksaan neurologik yang dilakukan untuk
memonitor kondisi pasien. Sebagai tambahan, blokade farmakologi yang
dilakukan terus menerus dapat menyebabkan miopati dan paralisis
persisten. Pemberian obat penghambat neuromuscular (NBMs) hanya
dipakai pada pasien yang mendapat sedasi adekuat dengan tujuan untuk
mencegah paralisis saat pasien yang sadar. Dosis intermiten dan pemberian
secara periodik, disertai dengan monitoring seksama terhadap derajat
blokade neuromuskuler, sebaiknya dilakukan untuk memungkinkan
penilaian neurologic secara teratur.2
Pelumpuh otot non depolarisasi pankuronium dan vekuronium
tidak mempengaruhi juga ADO, laju metabolism terhadap oksigen dan
tekanan tekanan intracranial. Pankuronium meningkatkan laju nadi dan
tekanan darah sehingga tidak menguntungkan pada hipertensi cranial,
sebaliknya vekuronium tidak menyebabkan histamine release, tidak
menyebabkan peningkatan laju nadi dan tekanan darah. Sedang
atracurarium mempunyai efek ADO, CMRO2, TIK dan hasil
metabolismenya laudanosine akan melewati sawar otak dan dapat
menyebabkan kejang.4
24
Propofol
Obat sedasi yang menurunkan TIK melalui efek terhadap
metabolisme serebral dan CBF seperti pada sebagian besar obat anestesi
intravena lainnya kecuali ketamine. Semuanya memiliki efek depresan
susunan saraf pusat, menyebabkan dosis ini berkaitan dengan penurunan
tingkat kesadaran dan tingkat metabolisme. Propofol memiliki profil
metabolik dan vaskuler yang mirip dengan barbiturate, menyebabkan dosis
yang berkaitan dengan penurunan metabolisme serebral dan disertai
penurunan CBF, menyebabkan penurunan TIK pada pasien melalui
aktivitas metabolisme serebral. Akan tetapi, pada beberapa penelitian
tentang penurunan CBF sebanding dengan penurunan metabolisme. Profil
farmakokinetiknya dengan waktu paruh yang pendek, membuat obat ini
cocok dipakai sebagai obat sedatif pada pasien neurosurgical,
memungkinkan penilaian neurologis yang cepat dalam waktu 2-3 jam
setelah penghentian pemberian obat ini melalui infus dengan dosis biasa
(50-150 µg/kg/menit). Beberapa penelitian mengatakan bahwa propofol
sangat baik dipakai dalam menurunkan TIK meskipun beberapa penelitian
gagal menunjukkan perbaikan outcome neurologiknya. Pada pemberian
dosis tinggi (>300 µg/kg/menit), dapat dipakai untuk menginduksi koma
farmakologik dengan burst-supresi pada electroencephalogram untuk
mendapatkan supresi metabolisme maksimal untuk mengontrol TIK. Pada
anak-anak, ketika dipakai infus kontinyu dalam periode lama, dilaporkan
bahwa propofol sering menyebabkan sindrom metabolik yang ditandai
dengan asidosis, rhabdomiolisis, gagal jantung, dan tingginya angka
kematian. Saat ini, sidrom serupa juga dilaporkan terjadi pada pasien
dewasa yang mengalami cedera kepala dengan terapi propofol >5
mg/kg/jam. Baik pada anak-anak maupun dewasa, insidensi sebenarnya
pada sindrom ini belum diketahui dan patofisiologinya masih belum jelas.
Akan tetapi, menyebabkan angka kematian yang tinggi pada anak-anak,
dan data yang didapat dari penelitian klinik (saat ini belum
dipublikasikan), sehingga saat ini pemberian infus propofol tidak
25
direkomendasikan. Pada dewasa, jika terdapat indikasi bahwa keuntungan
pemakaian propofol lebih besar dari pada resikonya dan sebaiknya tetap
diberikan pada pasien di ruang neurointensive care unit. Akan tetapi,
pemakaian infus berkepanjangan lebih dari satu minggu dengan dosis
lebih dari 5 mg/kg/jam, tidak diperbolehkan dan harus segera dihentikan
untuk mencegah resiko terjadinya asidosis atau disfungsi jantung. Sebagai
tambahan, propofol dosis tinggi akan menyebabkan hipotensi, sehingga
sering mengharuskan pemakaian vasopressor untuk membantu
memperbaiki tekanan darah.2
Etomidate
Meskipun etomidate dulunya dipakai sebagai obat sedatif, tidak
boleh diberikan melalui infus karena akan menghambat sintesis
kortikosteroid yang diproduksi oleh kelenjar adrenal. Hal ini menyebabkan
depresi kardiovaskuler yang lebih rendah dibandingkan propofol atau
barbiturate dan dan telah dipakai sebagai dosis intermiten pada pasien
yang kurang stabil. Obat ini dapat mereduksi TIK dengan efeknya pada
CBF dan CBV.2
Dexmedetomidine
Dexmedetomidine adalah obat golongan agonis selektif reseptor
alpha-2 dan telah terbukti dapat dipakai obat sedative pada pasien jantung
di ICU. Meskipun belum diteliti pada pasien neurosurgical, profil
farmakologikalnya menunjukkan bahwa obat ini mungkin berguna sebagai
sedatif pada kelompok pasien ini. Ketika dipakai dalam bentuk infus 0,6
mg/kg/jam, sebagian besar pasien akan tersedasi dengan baik tetapi
terstimulasi dengan depresi nafas yang minimal. Hal ini menyebabkan
vasokonstriksi serebral dan akan menurunkan TIK, meskipun penurunan
CBF tidak sesuai dengan penurunan metabolism serebral. Penelitian kami
menunjukkan bahwa autoregulasi dan reaktivitas CO2 tidak mempengaruhi
dosis sedative dexmedetomidine (data tidak dipublikasikan). Pada iskemik
eksperimental menunjukkan penurunan jumlah neuron yang rusak pada
iskemik global sementara (transient) pada gerbil (tikus mencit) dan
menyebabkan iskemik serebral pada tikus. Mekanisme kerja diperkirakan
26
melalui penurunan release (pelepasan) norepinephrine. Serta tampaknya
memacu pemecahan glutamine melalui proses metabolism oksidatif pada
astrosit, maka penurunan availabilitas glutamine sebagai prekursor
neurotoksik glutamate. Sampai saat ini belum ada penelitian yang meneliti
tentang pemakaian obat sedatif pada unit perawatan neurointensif, tetapi
kekurangan signifikan yaitu depresi pernafasan membuatnya terjadi pada
pemberian sedatif yang tepat pada pasien yang bisa bernafas spontan
dengan compliance intrakranial yang jelek.2
Barbiturate
Barbiturate menurunkan TIK dengan cara menekan metabolisme
cerebral dan CBF. Keduanya dilakukan secara langsung dan dengan cara
mengurangi aktivitas kejang. Baik pentobarbital dan thiopental, keduanya
telah digunakan untuk menginduksi koma barbiturate. Barbiturate
biasanya digunakan untuk pasien hipertensi intrakranial yang sukar
disembuhkan. Sama halnya dengan sedatif lainnya, penggunaan thiopental
berhubungan dengan hipotensi sistemik dan sebaiknya hanya digunakan
pada pasien normovolemik. Dua percobaan randomized controlled telah
menilai manfaat thiopentone untuk mengobati kenaikan TIK pada pasien
cedera kepala. Percobaan yang pertama menunjukkan bahwa penurunan
TIK secara signifikan lebih besar terjadi pada grup yang diobati dengan
barbiturate, namun tanpa perbaikan outcome dalam jangka panjang.
Percobaan kedua menemukan bahwa TIK terkontrol pada kira-kira
sepertiga grup yang diobati, dan pada pasien yang berespons, terdapat
perbaikan outcome dalam jangka panjang. Hal ini mungkin akibat
pelepasan dari cerebral metabolic rate terhadap konsumsi oksigen dari
CBF dan merupakan sebuah indikator prognosis yang buruk.2
Pada kepustakaan lain disebutkan tiopental menurunkan ADO dan
CMRO2 yang setara pada isolektrik pada EEG, efek lain membuang
radikal bebas, stabilisasi membrane, menurunkan CPP dan antikonvulsan.4
Hipotermi
Hipotermi menurunkan metabolisme cerebral dan CBF, dengan
menghasilkan penurunan CBV dan TIK. Hal itu dapat juga menjadi
27
neuroprotektif dengan mengurangi pelepasan eksitotoksik asam amino.
Walaupun pada awalnya dilaporkan secara antusias bahwa pengobatan
dengan moderat hipotermi pada suatu percobaan single-center, sebuah
multi-center, percobaan randomized controlled tidak dapat menunjukkan
beberapa efek yang menguntungkan , walaupun sejumlah pasien berumur
kurang 45 tahun, yang diakui hipotermi dan secara randomized hipotermi,
mempunyai hasil yang lebih baik daripada mereka yang dibuat
normotermi . Sebuah percobaan difokuskan pada pasien yang lebih muda
dan dimulai pada tahun 2003. Walaupun kekurangan bukti akan
keuntungan yang definitif, kebanyakan penelitian menunjukan suatu
respons TIK yang baik terhadap hipotermi. Lebih jauh lagi, efek
menguntungkan dari pengobatan hipotermi pada neurological outcome,
baru-baru ini didemonstrasikan pada pasien yang menderita cardiac arrest
dari fibrilasi ventrikel secara tiba-tiba. Untuk saat ini, pengobatan
hipotermi sebaiknya digunakan sebagai tambahan yang efektif dan
berguna untuk mengontrol TIK.2,4,6
Pencegahan kejang
Kejang terjadi pada sekitar 15-20% penderita cedera otak dan
berkorelasi dengan beratnya cedera. Kejang akan meningkatkan CMRO 2
dan TIK, namun tidak ada hubungannya dengan kemunculan kejang dini
dengan keluaran defisit neurologis. Suatu penelitian menyatakan bahwa
fenitoin efektif untuk mencegah kejang dalam satu minggu pertama pasca
cedera, sehingga terapi profilaksisnya hanya diberikan sampai hari ke
tujuh.4
Nyeri
Pada keadaan nyeri pasca trauma ataupun pada keadaan lainnya ini akan
meningkatkan TIK, oleh karena itu perhatian terhadap nyeri dan
kenyamanan penderita sangatlah perlu untuk diperhatikan. Narkotik salah
satu anti nyeri yang kuattidak mempunyai efek terhadap CMRO 2 dan
ADO, namun pada beberapa penderita dapat menyebabkan peningkatan
TIK.4
Kraniektomi Dekompresi
28
Kraniektomi dekompresi (decompressive craniectomy)
diindikasikan untuk pasien yang mempunyai peningkatan TIK dan sulit
disembuhkan dengan pengobatan medikal. Pada pasien dengan
pembengkakan unilateral yang mengikuti evakuasi hematoma atau reseksi
tumor, hemikraniektomi atau pemindahan sejumlah besar flap cranial
dengan penambalan duramater, telah sukses menurunkan ICP. Pada pasien
dengan edema cerebral pada kedua himisfer, mungkin memerlukan
bilateral kraniektomi. Jarang sekali, pengangkatan jaringan yang telah
rusak atau lobektomi mungkin dilakukan sebagai usaha akhir untuk
mengurangi isi intrakranial pada kebanyakan kasus berat hipertensi
intrakranial. Prosedur ini tampak efektif untuk trauma cedera kepala,
sebaik untuk pembengkakan sekunder pada stroke atau subarachnoid
hemoragik. Sebuah percobaan multicenter dalam rangka menilai
keuntungan kraniektomi dekompresi sebagai pengobatan awal untuk
trauma cedera kepala akan menetapkan peran kraniektomi dekompresi di
masa depan sebagai pengobatan definitif untuk hipertensi intrakranial.2,4,6
Penggunaan Positive End-expiratory Pressure pada pasien dengan
peningkatan TIK
Penderita pada peningkatan tekanan intracranial sampai terjadinya
hipertensi intracranial sering jatuh pada keadaan gagal nafas sampai pada
penggunaan ventilator mekanik. Tiga puluh enam persen penderita dengan
cedera otak yang disertai koma, datang dalam keadaan hipoksia dan gagal
nafas yang membutuhkan ventilator mekanik.4
Positive end-expiratory pressure (PEEP) berulang kali digunakan
untuk meningkatkan oksigenasi pada pasien dengan respiratory distress
syndrome atau kehilangan volume paru akibat berbagai penyakit paru.
Secara teori, hal ini dapat meningkatkan tekanan intratoraks, yang mana
akan menghalangi aliran vena dari kepala yang menyebabkan peningkatan
TIK. Bagaimanapun juga, hal ini hanya nampak relevan secara klinis jika
pasien mempunyai compliance intratoraks yang baik dan compliance
intrakranial yang buruk. Keamanannya baru-baru ini didemonstrasikan
pada pasien stroke akut. Dalam praktek, ketika diindikasikan dengan tepat,
29
PEEP sampai dengan 10 mmHg jarang menyebabkan peningkatan TIK
yang signifikan. Bagaimanapun juga, tetaplah bijaksana untuk memonitor
respons TIK terhadap PEEP pada pasien, khususnya ketika menggunakan
PEEP > 10 mmHg.2,4
C. RANGKUMAN
Pelayanan anestesi pada pasien yang akan menjalani operasi bedah
saraf membutuhkan pemahaman dasar tentang anatomi dan fisiologi
sistem saraf pusat (SSP). Ruang di dalam kepala dibatasi oleh struktur
yang kaku, semua kompartemen intrakranial ini tidak dapat dimampatkan,
hal ini dikarenakan volume intra kranial yang konstan (Hukum Monro-
Kellie). Oleh karena itu bila terdapat kelainan pada salah satu isi yang
mempengaruhi peningkatan volume didalamnya akan terjadi peningkatan
tekanan intra cranial setelah batas kompensasi (compliance) terlewati.
Tekanan intra kranial normal berkisar pada 8-10 mmHg untuk bayi,
nilai kurang dari 15 mmHg untuk anak dan dewasa, sedangkan bila lebih
dari 20 mmHg dan sudah menetap dalam waktu lebih dari 20 menit
dikatakan sebagai hipertensi intra cranial. Efek peningkatan tekanan intra
kranial sangatlah kompleks, oleh karena itu perlu penanganan segera agar
penderita tidak jatuh dalam keadaan yang lebih buruk. Tiga puluh enam
persen penderita dengan cedera otak yang disertai koma, datang dalam
keadaan hipoksia dan gagal nafas yang membutuhkan ventilator mekanik.
Penanganan penderita dengan peningkatan tekanan intra cranial di
mulai dengan memonitor tekanannya sendiri baik dengan cara invasive
maupun non invasive, kemudian dengan pengelolaan secara bedah dan non
bedah.
Pengelolaan dibidang anestesi sangat berperan untuk menurunkan
tekanan intra cranial yaitu dimulai dengan menjaga jalan nafas, menjaga
kestabilan emosi penderita dengan obat-obat sedasi dan anelgetik,
penggunaan obat-obatan dan agent inhalasi yang tidak mempengaruhi
tekanan intra cranial serta mengatasi efek yang timbul kemudian.
D. DAFTAR PUSTAKA
30
1. Suarez J I, Eccer M, Cerebral Oedem and Intracranial Dynamics :
Monitoring and management of intracranial pressure, In : Critical
Care Neurology and Neurosurgery, ed. Suarez J I, New Jersey : 2004,
100-47
2. Morgan GE, Mikhail MS, Murray MJ, Neurophysiology &
Anesthesia, in Clinical Anesthesiologi. 4th ed. USA : 2006 ,
3. Anne J. Moore, David W. Newell. Neuroanesthesia and Neurosurgical
Intensive Care, In : Neurosurgery Principles and Practise. London :
Springer 2005. p 104 – 71.
4. Harahap S, Barbiturates and Neuromuscular Blocking Agent ; Still
Valueble to Treat Intracranial Hypertension, In : Proceeding Book 9 th
National Congress of Indonesian Society of Anesthesiology, ed.
Nasution A H, Solihat Y, USU Press Medan : 2010, 57-46
5. Seubert C N, Mahla M E, Neurologic Monitoring, In : Miller’s
Anesthesia Seventh Edition, ed. Ronald D M, Elsevier : 2010,
6. Drummond J C, Patel P M, Neurosurgical Anesthesia, In : Miller’s
Anesthesia Seventh Edition, ed. Ronald D M, Elsevier : 2010,
7. Drummond J C, Patel P M, Cerebral Physiology and the Effects of
Anesthetic Drugs, In : Miller’s Anesthesia, 7th Edition, ed. Ronald D
M, Elsevier : 2010,
8. Kincaid MS, Lam AM, General Considerations : Neurophysiologic
Monitoring, In : Handbook of Neuroanesthesia, 4th Edition, ed.
Newdield P, Cotrell J E, Lippincott Williams & Wilkins : 2007, P 57-
37
9. Attaallah AF, Kofke WA, SECTION C: Monitoring Considerations
for Trauma and Critical Care ; Neurological Monitoring, In : Trauma
Critical Care, Volume 2, ed. Wilsson CW, Grande MC, Hoyt DB,
Informa Healt care, New York : 2007, 204-125
10. Morgan GE, Mikhail MS, Murray MJ, Anesthesia for Neurosurgery,
in Clinical Anesthesiologi. 4th ed. USA : 2006 ,
11. Kalmar AF, De Ley G, Broecker VD, Aken V, Struys MM, Influence
Of An Increased Intracranial Pressure On Cerebral And Systemic
Haemodynamics During Endoscopic Neurosurgery: an animal model,
British Journal of Anaesthesia 102 (3): 361–8 (2009)
31
12. Steiner LA, Andrews PJ. Monitoring the injured brain: ICP and
CBF. British Journal of Anaesthesia 97 (1): 26–38 (2006)
32