Anda di halaman 1dari 21

KEPERAWATAN GAWAT DARURAT

“Laporan Pendahuluan Asuhan Keperawatan Tekanan Intra Kranial”

Oleh:

KELOMPOK 9

Ni Komang Sri Wahyuni (17.321.2687)

Ni Luh Kade Nopita Wahyuningrum (17.321.2691)

Ni Putu Eva Pradnyayanti (17.321.2700)

Pande Eka Sukma Karisma (17.321.2706)

PROGRAM STUDI KEPERAWATAN PROGRAM SARJANA

SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN WIRA MEDIKA BALI

2020
Laporan Pendahuluan Tekanan Intra Kranial

I. Konsep Dasar Teori


A. Definisi Tekanan Intra Kranial
Prinsip TIK diuraikan pertama kali oleh Profesor Munroe dan
Kellie pada tahun 1820. Mereka menyatakan bahwa pada orang dewasa,
otak berada dalam tengkorak yang volumenya selalu konstan. Ruang
intrakranial terdiri atas parenkim otak sekitar 83%, darah 6%, dan cairan
serebrospinal (LCS) 11% .
Tekanan Intrakranial (TIK) adalah tekanan atau hubungan volume di
antara kranium dan isi kubah kranium. Volume kranium terdiri atas darah,
jaringan otak, dan cairan serebrospinal (CSS). Peningkatan tekanan
intrakranial ini merupakan peningkatan CSS lebih dari 15 mmHg. Faktor
yang mempengaruhi kemampuan tubuh untuk dapat menstabilkan tekanan
intrakranial adalah tekanan darah sistemik, ventilasi dan oksigen, jumlah
metabolik dan kebutuhan oksigen (demam, aktivitas, perubahan),
vasospasme area serebral, dan saturasi oksigen serta hematrokit.( Hudak &
Gallo, 2017).
Ketidakmampuan mengatur dan menstabilkan tekanan intrakranial
diakibatkan oleh peningkatan TIK, sebagai akibat dari trauma kepala,
edema serebral, abses dan infeksi, lesi, serta bedah intrakranial. TIK normal
bervariasi menurut umur, posisi tubuh, dan kondisi klinis. TIK normal
adalah 7-15 mm Hg pada dewasa yang berbaring, 3-7 mm Hg pada anak-
anak, dan 1,5-6 mm Hg pada bayi cukup umur. (Joanna Beeckler, 2016).
Jadi dari beberapa definisi diatas dapat disimpulkan Tekanan
intrakranial (TIK) merupakan tekanan dalam rongga kranial dan biasanya
diukur sebagai tekanan dalam ventrikel lateral otak

B. Epidemiologi Tekanan Intra Kranial


Kenaikan tekanan intrakranial merupakan salah satu kegawat-
daruratan yang terjadi dalam bidang neurologis. Salah satu penyebab
terjadinya kenaikan tekanan intrakranial adalah akibat trauma pada kepala.
Studi epidemiologis menunjukan bahwa setiap tahun terdapat lebih dari 10
juta kasus trauma kepala yang menyebabkan kematian. Tekanan
intrakranial dapat menyerang semua umur. Insiden tertinggi tekanan
intrakranial adalah pada jenis kelamin perempuan dengan obesitas.(Very,
2016).

C. Etiologi Tekanan Intra Kranial


Pada peningkatan tekanan intrakranial, klinis yang sering ditemui dan
dipantau adalah pada cedera kepala, dimana pada mekanisme tersebut
menyebabkan perubahan volume intrakranial. Kasus seperti Hematoma
traumatik dapat terkumpul dalam intraserebral, ruang subarakhnoid, ruang
subdural, atau ekstradural, menciptakan tekanan gradien dalam tengkorak
dan mengakibatkan pergeseran otak. Penambahan volume ekstra dalam
bentuk air pada dasarnya terjadi pada kasus edema serebral baik sitotoksik
(karena kegagalan pompa membran sel) atau vasogenik (karena cedera
pembuluh darah). Perubahan CBV menyebabkan gangguan autoregulasi
aliran darah otak (Cerebral Blood Flow/CBF) dan metabolisme yang dapat
menyebabkan kongesti vaskular (hiperemi), namun umumnya peningkatan
tekanan intrakranial lebih besar jika dibanding peningkatan tekanan
intrakranial setelah cedera kepala pada orang dewasa.
Jika diambil kesimpulan, sebagai berikut:
1. Volume intrakranial yang meninggi
 Tumor serebri
 Abses
 Hematoma ekstraserebral
 Trauma
 Acute brain swelling
 Pendarahan
 Infark yang luas
2. Dari faktor pembuluh darah, meningkatnya tekanan vena yang
diakibatkan kegagalan jantung atau karena obstruksi mediastinal
superior, bahkan tidak hanya terjadi peninggian volume darah vena di
piameter dan sinus duramater, juga terjadi gangguan absorpsi cairan
serebrospinalis.
3. Obstruksi pada aliran dan pada absorpsi dari cairan serebrospinalis,
maka dapat terjadi hidrosefalus.
4. Peningkatan produksi CSF dapat terjadi pada meningitis,
subarachnoid hemoragik, atau tumor pleksus choroid

D. Patofisiologi Tekanan Intra Kranial


Ruang intrakranial adalah suatu ruangan kaku yang terisi penuh sesuai
kapasitasnya dengan unsur yang tidak dapat ditekan otak (1400 g), cairan
serebrospinal (sekitar 75 ml), dan darah (sekitar 75 ml). Peningkatan
volume pada salah satu dari ketiga unsur utama ini mengakibatkan desakan
ruang yang ditempati oleh unsure lainnya dan menaikan tekanan
intrakranial. Apabila massa intrakranial mulai mengalami peningkatan,
kompensasi awal yang terjadi yaitu pemindahan cairan serebrospinal ke
kanal spinal. Kemampuan otak beradaptasi terhadap meningkatnya tekanan
tanpa peningkatan TIK dinamakan dengan compliance. Perpindahan cairan
serebrospinal keluar dari kranial adalah mekanisme kompensasi pertama
dan utama, namun lengkung kranial dapat mengakomodasi peningkatan
volume intrakranial hanya pada satu titik. Ketika compliance otak
berlebihan, TIK mengalami peningkatan sehingga timbul gejala klinis dan
usaha kompensasi lain untuk mengurangi tekananpun dimulai
(Black&Hawks, 2005).
Kompensasi kedua adalah menurunkan volume darah dalam otak.
Ketika volume darah diturunkan hingga 40%, jaringan otak menjadi
asidosis. Ketika 60% darah otak hilang, gambaran EEG mulai berubah.
Kompensasi ini mengubah metabolisme otak, sering mengarah pada
hipoksia jaringan otak dan iskemia (Black&Hawks, 2005). Kompensasi
tahap akhir dan paling berbahaya adalah pemindahan jaringan otak
melintasi tentorium dibawah falx serebri, atau melalui foramen magnum ke
dalam kanal spinal. Proses ini dinamakan herniasi dan sering menimbulkan
kematian dari kompresi batang otak. Otak disokong dalam berbagai
kompartemen intrakranial. Kompartemen supratentorial berisi semua
jaringan otak mulai dari atas otak tengah ke bawah. Bagian ini terbagi
menjadi dua yaitu kiri dan kanan yang dipisahkan oleh falx serebri
sedangkan supratentorial dan infratentorial (berisi batang otak dan
serebellum) oleh tentorium serebri. Otak dapat bergerak dalam semua
kompartemen itu. Tekanan yang meningkat pada satu kompartemen akan
mempengaruhi area sekeliling yang tekanannya lebih rendah
(Black&Hawks, 2005).
Autoregulasi juga merupakan bentuk kompensasi berupa perubahan
diameter pembuluh darah intrakranial dalam mepertahankan aliran darah
selama perubahan tekana perfusi serebral. Autoregulasi hilang dengan
meningkatnya TIK. Peningkatan volume otak sedikit saja dapat
menyebabkan kenaikan TIK yang drastis dan memerlukan waktu yang
lebih lama untuk kembali ke batas normal (Black&Hawks, 2005).
Edema otak (mungkin penyebab tersering peningkatan tekanan
intrakranial) yang disebabkan oleh banyak hal (termasuk peningkatan
cairan intrasel, hipoksia, iskemia otak, meningitis, dan cedera). Pada
dasarnya efeknya sama tanpa melihat factor penyebabnya. Tekanan
intrakranial pada umumnya meningkat secara bertahap. Setelah cedera
kepala, edema terjadi dalam 36 hingga 48 jam hingga mencapai
maksimum.
Peningkatan tekanan intrakranial hingga 33 mmHg (450 mmH2O)
menurunkan secara bermakna aliran darah ke otak (cerebral blood flow,
CBF). Iskemia yang terjadi merangsang pusat vasomotor, dan tekanan
darah sistemik meningkat. Rangsangan pada pusat inhibisi jantung
mengakibatkan bradikardia dan pernapasan menjadi lebih lambat.
Mekanisme kompensasi ini dikenal sebagai reflek cushing, membantu
mempertahankan aliran darah otak. (akan tetapi, menurunnya pernapasan
mengakibatkan retensi CO2 dan mengakibatkan vasodilatasi otak yang
membantu menaikan tekanan intracranial). Tekanan darah sistemik akan
terus meningkat sebanding dengan peningkatan tekanan intrakranial,
walaupun akhirnya dicapai suatu titik ketika tekanan intrakranial melebihi
tekanan arteria dan sirkulasi otak berhenti yang mengakibatkan kematian
otak. Pada umumnya, kejadian ini didahului oleh tekanan darah arteria
yang cepat menurun. Siklus deficit neurologik progresif yang menyertai
kontusio dan edema otak (atau setiap lesi massa intracranial yang
membesar). Peningkatan tekanan pada jaringan akhirnya meningkatkan
tekanan intrakranial, yang pada gilirannya akan menurunkan CBF, iskemia,
hipoksia, asidosis (penurunan pH dan peningkatan PaCO2), dan kerusakan
BBB (Blood Brain Barrier) lebih lanjut. Siklus ini akan terus berlanjut
sehingga terjadi kematian sel dan bertambahnya edema secara progresif
kecuali bila dilakukan intervensi.

E. Manifestasi Klinis Tekanan Intra Kranial


Berikut ini beberapa gejala klinis yang biasa dialami oleh penderita
peningkatan tekanan intrakranial, yaitu:
1. Sakit kepala merupakan gejala umum pada peningkatan TIK. Sakit
kepeala terjadi karena traksi atau distorsi arteri dan vena dan durameter
akan memberikan gejala yang berat pada pagi hari dan diperberat oleh
aktivitas, batuk, mengangkat beban, dan bersin.
2. Muntah proyektil dapat menyertai gejala dan peningktan TIK.
3. Edema papil disebabkan transmisi tekanan melalui selubung nervus
optikus yang berhubungan dengan rongga subarachnoid di otak. Hal ini
merupakan indikator klinis yang baik untuk hipertensi intrakranial.
4. Defisit neurologis seperti gejala perubahan tingkat kesadaran, gelisah,
iritabilitas, letargi, dan penurunan fungsi motorik.
5. Bila peningktan TIK berlanjut dan progresif berhubungan dengan
pergeseran jaringan otak, maka akan terjadi sindroma herniasi dan
tanda-tanda umum Cushing’s triad (hipertensi bradikardi dan respirasi
ireguler). Pola napas akan dapat membantu melokalisasi level cedera.
Onset terjadinya juga harus diperhatikan seperti onset yang cepat
biasanya karena perdarahan, hidrosefalus akut, atau trauma; onset yang
bertahap karena tumor, hidrosefalus yang sudah lama, atau abses. Riwayat
kanker sebelumnya, berkurangnya berat badan, merokok, penggunaan
obat-obatan, koagulopati, trauma atau penyakit iskemik dapat berguna
dalam mencari etiologi peningkatan TIK ini.

F. Pemeriksaan Penunjang Tekanan Intra Kranial


Pemeriksaan penunjang yang biasa dilakukan untuk tindak lanjut pasien
dengan peningkatan tekanan intrakranial, yaitu:
1. Computerized Tomography / CT SCAN
CT Scan merupakan pemeriksaan yang aman dan tidak invasif serta
mempunyai ketepatan yang tinggi. Tujuan utama penggunaan ct scan
adalah mendeteksi perdarahan intra cranial, lesi yang memenuhi rongga
otak (space occupying lesions/ SOL), edema serebral dan adanya
perubahan struktur otak.
2. Magnetic Resonance Imaging (MRI)
MRI dapat mendeteksi tumor dengan jelas dimana dapat dibedakan
antara tumor dan jaringan sekitarnya. MRI dapat mendeteksi kelainan
jaringan sebelum terjadinya kelainan morfologi.
3. Cerebral angiography
Tindakan angiography ini dilaksanakan dengan memasukan kateter ke
dalam pembuluh darah besar (biasanya melalui arteri femoralis) dan
memasukan zat kontras setelah kateter mencapai arteri karotis.
Tindakan ini berguna untuk mendeteksi adanya penyempitan ataupun
sumbatan pada pembuluh darah pada daerah cerebral.

4. Penatalaksanaan Tekanan Intra Kranial


a. Penatalaksanaan umum berdasarkan teori, yaitu:
1) Kaji kepatenan jalan napas, pernapasan (frekuensi, irama,
kedalaman), dan sirkulasi.
2) Berikan obat diuretik osmosis seperti manitol atau urea, sesuai
intruksi untuk mengeluarkan cairan dari daerah otak dan darah
yang berada pada otak.
3) Berikan steroid seperti deksametason, sesuai intruksi untuk
mengurangi edema sekitar otak, jika ada.
4) Bantu hiperventilasi dengan menggunakan ventilator volume
untuk alkalosis respiratorik, yang menyebabkan vasokontriksi
serebral dan penurunan volume yang menyebabkan
pengurangan TIK.
5) Monitor efek obat paralis neuromuskular seperti pancurmonium,
yang mungkin diberikan selama penggunaan ventilasi mekanik
untuk mencegah perubahan tekanan intrakranial secara
mendadak berhubungan dengan bentuk, tegang, atau akibat
pemakaian ventilator.
6) Obati demam sesuai permintaan, sebab peningkatan volume
cairan CSS dan kejadian peningkatan TIK yang mendadak
terjadi bersama dengan serangan demam.
7) Berikan barbiturat dosis tinggi dan obat anestesi lainnya sesuai
intruksi untuk mengurangi status koma dan tekanan
metabolisme otak yang dapat mengurangi aliran darah serebral
dan TIK.
8) Hindari posisi atau aktivitas yang mungkin meningkatkan TIK
seperti memutar kepala klien, posisi, dan fleksi leher.
9) Meminimalkan pengisapan (suction) atau rangsangan lainnya
yang dapat meningkatkan TIK.
10) Jaga posisi kepala, tinggikan sekitar 30 derajat untuk
mengurangi tekanan vena jugularis dan penurunan TIK.
11) Gunakan monitoring/ Pemantuan TIK untuk mengetaui
peningkatan TIK (di atas 20 mmHG persisten 15 menit atau
lebih jika sesuai peningkatan TIK).
b. Penatalaksaan Kegawatdaruratan peningkatan TIK, yaitu :
Berdasarkan jurnal Kayana, dkk (2016) penatalaksanaan
kegawatdaruratan pada pasien peningkatan TIK yaitu :
1) Pemantauan TIK
Pemantauan TIK digunakan untuk mencegah terjadinya fase
kompensasi ke fase dekompensasi. Secara obyektif,
pemantauan TIK adalah untuk mengikuti kecenderungan TIK
tersebut, karena nilai tekanan menentukan tindakan yang
perlu dilakukan agar terhindar dari cedera otak selanjutnya,
dimana dapat bersifat ireversibel dan letal. Dengan pemantauan
TIK juga kita dapat mengetahui nilai CPP, yang sangat
penting, dimana menunjukkan tercapai atau tidaknya perfusi otak
begitu juga dengan oksigenasi otak.
2) Indikasi Pemantauan TIK
Pedoman BTF (Brain Trauma Foundation) 2007 merekomendasi
bahwa TIK harus dipantau pada semua cedera kepala berat
(Glasgow Coma Scale/GCS 3-8 setelah resusitasi) dan hasil CT
scan kepala abnormal (menunjukkan hematoma, kontusio,
pembengkakan, herniasi, dan/atau penekanan sisterna basalis)
(Level II), TIK juga sebaiknya dipantau pada pasien cedera
kepala berat dengan CT scan kepala normal jika diikuti dua
atau lebih kriteria antara lain usia>40 tahun, sikap motorik,
dan tekanan darah sistolik <90 mmHg (level III).
3) Kontraindikasi Pemantauan TIK
Tidak ada kontrindikasi absolut untuk memantau TIK, hanya
ada beberapa kontraindikasi relatif yaitu:
 Koagulopati dapat meningkatkan risiko perdarahan pada
pemasangan pemantauan TIK. Bila memungkinkan
pemantauan TIK ditunda sampai International Normalized
Ratio (INR), Prothrombin Time (PT) dan Partial
Thromboplastin Time (PTT) terkoreksi ( INR <1,4 dan
PT <13,5 detik). Pada kasus emergensi dapat diberikan
Fresh Frozen Plasma (FFP) dan vitamin K.
 Trombosit < 100.000/mm³
 Bila pasien menggunakan obat anti platelet, sebaiknya
berikan sekantong platelet dan fungsi platelet dengan
menghitung waktu perdarahan.
 Imunosupresan baik iatrogenik maupun patologis juga
merupaka kontraindikasi relatif pemasangan pemantauan
TIK
4) Metode pemantauan TIK
Ada dua metode pemantauan TIK yaitu metode invasif (secara
langsung) dan non invasive (tidak langsung). Metode non
invasif (secara tidak langsung) dilakukan pemantauan status
klinis, neuroimaging dan neurosonology (Trancranial Doppler
Ultrasonography/ TCD). Sedangkan metode invasif (secara
langsung) dapat dilakukan di beberapa lokasi anatomi yang
berbeda yaitu intraventrikular, intraparenkimal, subarakhnoid/
subdural, dan epidural. Metode yang umum dipakai yaitu
intraventrikular dan intraparenkimal (microtransducer sensor).
Metode subarakhnoid dan epidural sekarang jarang digunakan
karena akurasinya rendah. Pengukuran tekanan LCS lumbal
tidak memberikan estimasi TIK yang cocok dan berbahaya bila
dilakukan pada TIK meningkat. Beberapa metode lain seperti
Tympanic Membrane Displacement/ TMD, Optic nerve sheath
diameter/ ONSD namun akurasinya sangat rendah.

a. Pemantauan TIK secara tidak langsung


Pemantauan status klinis Beberapa kondisi klinis yang harus
dinilai pada peningkatan TIK yaitu:
 Tingkat kesadaran (GCS)
 Pemeriksaan pupil
 Pemeriksaan motorik ocular (perhatian khusus pada nervus
III dan VI)
 Pemeriksaan motorik (perhatian khusus pada hemiparesis)
 Adanya mual atau muntah
 Keluhan nyeri kepala
 Tanda-tanda vital saat itu
Pada pasien yang dicurigai peningkatan TIK sebaiknya dilakukan
pemeriksaan CT scan kepala. Beberapa temuan pada
neuroimaging yang dicurigai kondisi patologis yang
menyebabkan peningkatan Adanya lebih dari satu kelainan ini
sangat mungkin suatu peningkatan TIK, sedangkan adanya
salah satu temuan diatas menunjukkan potensi peningkatan
TIK. Bila diperlukan dapat diteruskan dengan pemeriksaan
MRI atau CT scan kontras untuk menggambarkan patologi
intrakranial dengan lebih baik, untuk pengambilan keputusan
awal, meskipun CT scan tanpa kontras pun seringkali cukup.
Keputusan penting yang harus dilakukan pada pasien dengan
TIK meningkat adalah apakahperangkat pemantauan TIK
harus dipasang. Neuroimaging digunakan untuk menetapkan
diagnosa yang mengakibatkan TIK meningkat, serta
melengkapi informasi yang diperoleh dari anamnesa dan
pemeriksaan. Pencitraan tidak dapat menggantikanpemantauan
TIK invasif. Pengulangan CT scan dapat digunakan ketika
status klinis pasienhanya membutuhkan penempatan monitor
TIK dalam waktu singkat. Dalam keadaan ini, pengulangan
pencitraan setiap kali perubahan status pasien dapat
mendokumentasikan munculnya temuan baru (misalnya,
hematoma cedera kepala) yang kemudian memerlukan
penempatan monitor. Pendekatan ini dapat digunakan untuk
menunda atau menghindari penempatan monitor TIK dalam
kasus di mana kebutuhan untuk itu awalnya kurang jelas.

b. Pemeriksaan TIK secara langsung


Pemantauan TIK secara langsung dapat dilakukan dibeberapa
lokasi sesuai dengan anatomi kepala.
 Subarachnoid Screw
Subarachnoid screw dihubungkan ke tranducer eksternal
melalui tabung. Alat ini ditempatkan ke dalam tengkorak
berbatasan dengan dura. Ini adalah sekrup berongga yang
memungkinkan CSF untuk mengisi baut, memungkinkan
tekanan untuk menjadi sama. Keuntungan metode ini
adalah infeksi dan risiko perdarahan rendah. Aspek negatif
termasuk kemungkinan kesalahan permantauan TIK, salah
penempatan sekrup, dan oklusioleh debris.
 Kateter subdural/ epidural adalah metode lain untuk
memantau TIK. Metode ini kurang invasif tetapi juga
kurang akurat. Hal ini tidak dapat digunakan untuk
mengalirkan CSF, namun kateter memiliki risiko yang
lebih rendah dari infeksi atau perdarahan.
 Pemantauan TIK intraparenkim menggunakan
microtransducer yang diletakkan di parenkim otak melalui
lubang kecil dan baut tengkorak yang memungkinkan
pemantauan TIK simultan, mikrodialisis serebral dan
oksigenasi jaringan otak. Posisi pilihan perangkat tersebut
adalah pada subtansia alba regio frontal nondominan pada
cedera otak difus, atau parenkim perikontusional pada
cedera otak fokal. Probe tekanan intraparenkimal
ditempatkan pada hemisfer kontralateral dari hematoma
intraserebral. Perangkat yang berbeda juga tersedia,
termasuk fiberoptic dan teknologi pneumatik. Monitor TIK
pneumatic Spiegelberg juga memungkinkan kalibrasi in vivo
dan pemantauan intrakranial. Monitor TIK Neurovent-P
adalah kateter serbaguna yang menggabungkan TIK,
oksigenasi jaringan otak dan pemantauan temperatur otak.
Nilai TIK harus diinterpretasikan dengan hati-hati dan
berhubungan dengan penilaian klinis dan radiologis pasien.
Ketika ada perbedaan yang signifikan antara nilai
pemantauan dan gejala klinis, penggantian atau penempatan
kembali probe harus dipertimbangkan.
5. Komplikasi Tekanan Intra Kranial
Komplikasi dari peningkatan Tekanan Intrakranial, yaitu:
a. Herniasi batang otak
b. Ireversible anoxia otak.
c. Diabetes Insipidus    akibat penurunan sekresi ADH    kelebihan
urine, penurunan osmolaritas urine, serum hiperosmolaritas dengan
terapi: cairan, elektrolit, vasopresin.
d. Sindrome of Inappropriate Antidiuretic Hormone
(SIADH)    peningkatan sekresi ADH   kebalikan Diabetes
insipidus , terapi: batasi cairan, 3 % hipertonic saline solution hati-
hati central pontine myelolysis    tetraplegia dengan defisit nerves
cranial. Terapi lain SIADH     lithium carbonate/ demeclocycline      
blok aksi ADH.

II. Konsep Dasar Asuhan Keperawatan


A. Pengkajian
1) Pengkajian Primer
Pengkajian primer atau Primary Survey ialah suatu pengkajian yang
menyediakan evaluasi yang sistematis, pendeteksian dan manajemen
segera terhadap komplikasi akibat trauma parah yang mengancam
kehidupan. Tujuan dari Primary survey adalah untuk mengidentifikasi
dan memperbaiki dengan segera masalah yang mengancam kehidupan.
Prioritas yang dilakukan pada primary survey antara lain:

1. Pengkajian Airway
Yang perlu diperhatikan dalam pengkajian airway pada pasien
dengan peningkatan tekanan intrakranial antara lain:
a. Kaji kepatenan jalan nafas pasien. Apakah pasien dapat
berbicara atau bernafas dengan bebas?
b. Tanda-tanda terjadinya obstruksi jalan nafas pada pasien antara
lain:
1) Adanya snoring atau gurgling
2) Stridor atau suara napas tidak normal
3) Agitasi (hipoksia)
4) Penggunaan otot bantu pernafasan / paradoxical chest
movements
5) Sianosis
c. Look dan listen bukti adanya masalah pada saluran napas bagian
atas dan potensial penyebab obstruksi :
1) Muntahan
2) Perdarahan
3) Trauma wajah
d. Jika terjadi obstruksi jalan nafas, maka pastikan jalan nafas
pasien terbuka.
e. Lindungi tulang belakang dari gerakan yang tidak perlu pada
pasien yang berisiko untuk mengalami cedera tulang belakang.
f. Gunakan berbagai alat bantu untuk mempatenkan jalan nafas
pasien sesuai indikasi :
1) jaw thrust
2) Oropharyngeal airway/nasopharyngeal airway,
Laryngeal Mask Airway
3) Lakukan intubasi

2. Pengkajian Breathing
Pengkajian pada pernafasan dilakukan untuk menilai kepatenan
jalan nafas dan keadekuatan pernafasan pada pasien.
Yang perlu diperhatikan dalam pengkajian breathing pada pasien
dengan peningkatan tekanan intrakranial antara lain :
a. Look, listen dan feel; lakukan penilaian terhadap ventilasi dan
oksigenasi pasien.
1) Inspeksi dari tingkat pernapasan sangat penting. Apakah
ada tanda-tanda sebagai berikut : cyanosis, penetrating
injury, dispnea dan penggunaan otot bantu pernafasan.
2) Palpasi untuk adanya : pergeseran trakea,
3) Auskultasi untuk adanya : suara abnormal pada dada.
b. Buka dada pasien dan observasi pergerakan dinding dada
pasien jika perlu.
c. Tentukan laju dan tingkat kedalaman nafas pasien; kaji lebih
lanjut mengenai karakter dan kualitas pernafasan pasien.
d. Penilaian kembali status mental pasien.
e. Dapatkan bacaan pulse oksimetri jika diperlukan
f. Pemberian intervensi untuk ventilasi yang tidak adekuat dan /
atau oksigenasi:
1) Pemberian terapi oksigen
2) Bag-Valve Masker
3) Intubasi (endotrakeal atau nasal dengan konfirmasi
penempatan yang benar), jika diindikasikan
4) Catatan: defibrilasi tidak boleh ditunda untuk advanced
airway procedures
5) Kaji adanya masalah pernapasan yang mengancam jiwa
lainnya dan berikan terapi sesuai kebutuhan.

3. Pengkajian Circulation
Langkah-langkah dalam pengkajian terhadap status sirkulasi pasien
dengan peningkatan tekanan intrakranial, antara lain :
a. Cek nadi dan mulai lakukan CPR jika diperlukan.
b. Lihat apakah ada tanda-tanda syok
c. CPR harus terus dilakukan sampai defibrilasi siap untuk
digunakan.
d. Kontrol perdarahan yang dapat mengancam kehidupan
dengan pemberian penekanan secara langsung.
e. Palpasi nadi radial jika diperlukan:
1) Menentukan ada atau tidaknya
2) Menilai kualitas secara umum (kuat/lemah)
3) Identifikasi rate (lambat, normal, atau cepat)
4) Regularity
f. Kaji kulit untuk melihat adanya tanda-tanda hipoperfusi
atau hipoksia (capillary refill).
g. Lakukan treatment terhadap hipoperfusi

4. Pengkajian Disability
Pada primary survey, disability pasien dengan peningkatan tekanan
intrakranial dikaji dengan menggunakan skala AVPU :
a. A - alert, yaitu merespon suara dengan tepat, misalnya
mematuhi perintah yang diberikan
b. V - vocalises, mungkin tidak sesuai atau mengeluarkan suara
yang tidak bias dimengerti
c. P - responds to pain only (harus dinilai semua keempat tungkai
jika ekstremitas awal yang digunakan untuk mengkaji gagal
untuk merespon)
d. U - unresponsive to pain, jika pasien tidak merespon baik
stimulus nyeri maupun stimulus verbal.
Selain dengan AVPU, pengkajian disability juga dapat dilakukan
dengan pemeriksaan GCS yang meliputi Eyes, Motorik, dan Verbal
pasien, serta melakukan pemeriksaan pada Pupil pasien.

5. Pengkajian Exposure
Pada tahap ini, hal yang dilakukan ialah menanggalkan pakaian
pasien dan memeriksa cedera pada pasien. Jika pasien diduga
memiliki cedera leher atau tulang belakang, imobilisasi in-line
penting untuk dilakukan. Lakukan log roll ketika melakukan
pemeriksaan pada punggung pasien. Yang perlu diperhatikan dalam
melakukan pemeriksaan pada pasien adalah mengekspos pasien
hanya selama pemeriksaan eksternal. Setelah semua pemeriksaan
telah selesai dilakukan, tutup pasien dengan selimut hangat dan
jaga privasi pasien, kecuali jika diperlukan pemeriksaan ulang.
Dalam situasi yang diduga telah terjadi mekanisme trauma yang
mengancam jiwa, maka Rapid Trauma Assessment harus segera
dilakukan:
a. Lakukan pemeriksaan kepala, leher, dan ekstremitas pada
pasien
b. Perlakukan setiap temuan luka baru yang dapat mengancam
nyawa pasien luka dan mulai melakukan transportasi pada
pasien yang berpotensi tidak stabil atau kritis.
1) Pengkajian Sekunder
Pengkajian sekunder atau Secondary Survey ialah pengkajian yang
dilakukan ketika kondisi pasien telah stabil. Pengkajian sekunder
meliputi: riwayat penyakit pasien atau moment of incident, pengkajian
nyeri (PQRST), pemeriksaan fisik head to toe, pemeriksaan penunjang
dan lain sebagainya.
1. Anamnesis
Pemeriksaan data subyektif didapatkan dari anamnesis riwayat pasien
yang merupakan bagian penting dari pengkajian pasien. Riwayat
pasien meliputi keluhan utama, riwayat masalah kesehatan sekarang,
riwayat medis, riwayat keluarga, sosial, dan sistem. Identitas pasien
dan identitas penanggung jawab juga disertakan dalam tahap ini.
1. Riwayat Penyakit (Momen of Insiden)
Dalam pengkajian sekunder, dikaji riwayat penyakit pasien yang
mana berkaitan dengan penyebab peningkatan tekanan intrakranial,
diantaranya trauma kepala, tumor otak, abses, hipoksia, peradangan
selaput/otak,mendapat terapi cairan hipertonik,dan kelebihan cairan
serebrospinal.
2. Anamnesis juga harus meliputi riwayat SAMPLE yang bisa
didapat dari pasien dan keluarga (Emergency Nursing Association,
2007):
A : Alergi (adakah alergi pada pasien, seperti obat-obatan,
plester, makanan)
M : Medikasi/obat-obatan (obat-obatan yang diminum seperti
sedang menjalani pengobatan hipertensi, kencing manis, jantung,
dosis, atau penyalahgunaan obat
P : Pertinent medical history (riwayat medis pasien seperti
penyakit yang pernah diderita, obatnya apa, berapa dosisnya,
penggunaan obat-obatan herbal)
L : Last meal (obat atau makanan yang baru saja dikonsumsi,
dikonsumsi berapa jam sebelum kejadian, selain itu juga periode
menstruasi termasuk dalam komponen ini)
E : Events, hal-hal yang bersangkutan dengan sebab cedera
(kejadian yang menyebabkan adanya keluhan utama)
Selain itu, pasien dengan trauma abdomen akan merasakan nyeri
pada bagian abdomen sehingga diperlukan adanya pengkajian nyeri
dengan format PQRST.

2. Pemeriksaan Fisik (Head To Toe)


1) Keadaan Umum
Kesadaran menurun
GCS : Verbal: …. Psikomotor: ….. Mata: …..
Tanda-Tanda Vital : TD ….. Nadi …. Suhu …. RR….

2) Pemeriksaan Fisik
a. Kepala dan
Pengkajian melalui inspeksi dan palpasi pada daerah kepala dan
kulit kepala pasien. Apakah ada luka atau tidak, ada benjolan
atau tidak. Dan pastikan apakah ada nyeri tekan atau tidak.
Biasanya, pasien dengan peingkatan tekanan intrakranial akan
merasakan nyeri keapal
b. Mata
Pengkajian dengan inspeksi dan palpasi, mengenai kesimetrisan,
kondisi konjungtiva, pupil dan sklera apakah ada nyeri tekan
atau tidak.
c. Hidung
Pengkajian dengan inspeksi dan palpasi, mengenai kesimetrisan,
kondisi bulu hidung dan apakah ada nyeri tekan atau tidak
d. Telinga
Pengkajian dengan inspeksi dan palpasi, mengenai kesimetrisan,
apakah ada benjola atau tidak.
e. Mulut
Pengkajian dengan inspeksi dan palpasi, mengenai kondisi
daerah mulut apakah ada stomatitis, bau mulut, kondisi mukosa
bibir, dan lain sebagainya.
f. Leher dan vertebrae servikalis
Pada saat memeriksa leher, periksa adanya deformitas tulang
atau krepitasi, edema, ruam, lesi, dan massa , kaji adanya
keluhan disfagia (kesulitan menelan) dan suara serak harus
diperhatikan, cedera tumpul atau tajam, deviasi trakea, dan
pemakaian otot tambahan. Palpasi akan adanya nyeri,
deformitas, pembekakan, emfisema subkutan, deviasi trakea,
kekakuan pada leher dan simetris pulsasi. Tetap jaga imobilisasi
segaris dan proteksi servikal. Jaga airway, pernafasan, dan
oksigenasi. Kontrol perdarahan, cegah kerusakan otak
sekunder..

g. Thorax
Inspeksi thorax, apakah ada luka atau tidak. Kemudian lakukan
palpasi seluruh dinding dada untuk adanya trauma tajam/tumpul,
emfisema subkutan, nyeri tekan dan krepitasi. Setelah itu
lakukan perkusi untuk mengetahui kemungkinan hipersonor dan
keredupan. Kemudian melakukan auskultasi untuk mengetahui
suara nafas tambahan (apakah ada ronki, wheezing, rales) dan
bunyi jantung (murmur, gallop, friction rub).

h. Abdomen
Dilakukan pemeriksaan inspeksi, auskultasi, palpasi dan perkusi
untuk mengetahui apakah ada gangguan atau tidak pada
abdomen
i. Ekstremitas
Periksa ektremitas apakah ada luka atau tidak, apakah ada nyeri
tekan atau tidak, periksa CRT.

3. Kaji Psikososial Pasien


Pada tahap ini, hal yang dikaji ialah usia pasien ,jenis kelamin,
strategi kopingdan penerimaan terhadap kondisi pasien saat ini.
4. Pemeriksaan Penunjang
Dilakukan pemeriksaan penunjang seperti CT Scan dan Mri untuk
mengetahui penyebab dari peningkatan tekanan intrakranial, dan
mengetahui apakah ada kerusakan jaringan otak lainnya.

B. Diagnosa Keperawatan
1. Pola Napas Tidak Efektif berhubungan dengan gangguan neurologis
ditandai dengan dispnea, penggunaan otot bantu pernapasan, pola napas
abnormal, adanya pernapasan cuping hidung, dan fase ekspirasi
memanjang
2. Risiko Perfusi Serebral Tidak Efektif dibuktikan dengan cedera kepala
3. Nyeri Akut berhubungan dengan agen pencedera fisik ditandai dengan
pasien mengeluh nyeri, pasien tampak meringis, tampak gelisah, pola
napas berubah, dan frekuensi nadi meningkat.

C. Intervensi Keperawatan
DAFTAR PUSTAKA
Batticaca, Fransisca B. 2018. Asuhan Keperawatan pada Klien dengan
Gangguan Sistem Persyarafan. Jakarta: Salemba Medika
Mustafa, Ulfa. 2016. Asuhan Keperawatan Gadar II Tekanan Intra Kranial.
Yogyakarta : Surya Global
Rahardian. 2018. Tatalaksana Tumor Otak. Tersedia pada
https://www.academia.edu/39738402/Tatalaksana_Awal_Kegawatan_
Tumor_Otak diakses pada Rabu, 11 Maret 2020.
Tim pokja SDKI DPP PPNI. 2017. Standar Diagnosa Keperawatan
Indosensia Edisi 1. Jakarta: DPP PPNI
Tim Pokja SIKI DPP PPNI. 2018. Standar Intervensi Keperawatan Indonesia
edisi 1. Jakarta Selatan; DPP PPNI
Tim Pokja SLKI DPP PPNI. 2018. Standar Luaran Keperawatan Indonesia
edisi 1. Jakarta Selatan; DPP PPNI
Widagdo, Wahyu dkk. 2008. Asuhan Keperawatan Pada Klien Dengan
Gangguan Sistem Persyarafan. Jakarta : Trans Info Media
Yulita, Sherly. 2015. Peningkatan TIK. Tersedia pada
https://www.academia.edu/19618980/Peningkatan_TIK diakses pada
Rabu, 11 Maret 2020

Anda mungkin juga menyukai