Anda di halaman 1dari 13

34

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Definisi Intrakranial
Ruang intrakranial ditempati oleh jaringan otak, darah, dan cairan
serebrospinal. Setiap bagian menempati suatu volume tertentu yang
menghasilkan suatu tekanan intrakranial normal sebesar 50 sampai 200
mmH2O atau 4 sampai 15 mmHg. Dalam keadaan normal, tekanan
intrakrakal dipengaruhi oleh aktivitas sehari-hari dan dapat meningkat
sementara waktu sampai tingkat yang jauh lebih tinggi dari normal. Ruang
intrakranial adalah suatu ruangan kaku yang terisi penuh sesuai
kapasitasnya dengan unsur yang tidak dapat ditekan, yaitu: otak (1400 g),
cairan serebrospinal (sekitar 75 ml), dan darah (sekitar 75 ml).
Peningkatan volume pada salah satu dari ketiga unsur utama ini
mengakibatkan desakan ruang yang ditempati oleh unsur lainnya dan
menaikkan tekanan intrakranial (Lombardo,2006 ).
Ruang intra krnial dibatasi oleh tulang-tulang kranium sehingga
volume dari ruang tersebut relatif tetap. Keseimbangan isi komponen
dalam ruang intra krakal diterangkan dengn konsep Doktrin Monro-Kellie
(Sumardjono,2004).
Isi ruang intrakranial adalah: (Sumardjono,2004).
1. Parenkhim otak, 1100-1200 gram, merupakan komponen paling besar,
kurang lebih 70%.
2. Komponen vaskuler, terdiri dari darah arteri, arteriole, kapiler, venula,
dam vena-vena besar 150 cc, kurang lebih 15-20%, tetapi kapasitas
variasi yang cukup besar.
3. Komponen CSS (Cairan Serebro Spinal) 150 cc, 15-20% pada keadaan
tertentu sangat potensial untuk pengobatan, karena CSS dapat
dikeluarkan.
35

B. Mekanisme Patofisiologi Space Occupying Lesion


Space occupying lesion intrakranial (lesi desak ruang intrakranial)
didefinisikan sebagai neoplasma, jinak atau ganas, primer atau sekunder,
serta setiap inflamasi yang berada di dalam rongga tengkorak yang
menyebabkan peningkatan tekanan intrakranial dan menempati ruang di
dalam otak. Space occupying lesion intrakranial meliputi tumor,
hematoma, dan abses (Ejaz Butt, 2005).
Kranium merupakan kerangka baku yang berisi tiga komponen
yaitu otak, cairan serebrospinal (CSS) dan darah. Kranium mempunyai
sebuah lubang keluar utama yaitu foramen magnum dan memiliki
tentorium yang memisahkan hemisfer serebral dari serebelum.
Timbulnya massa yang baru di dalam kranium seperti neoplasma,
akan menyebabkan isi intrakranial normal akan menggeser sebagai
konsekuensi dari Space Occupying Lesion (SOL). Cairan serebrospinal
diproduksi terutama oleh pleksus koroideus ventrikel lateral, tiga, dan
empat. Dua pertiga atau lebih cairan ini berasal dari sekresi pleksus di
keempat ventrikel, terutama di kedua ventrikel lateral. Saluran utama
aliran cairan, berjalan dari pleksus koroideus dan kemudian melewati
sistem cairan serebrospinal. Cairan yang disekresikan di ventrikel lateral,
mula-mula mengalir ke dalam ventrikel ketiga. Setelah mendapat sejumlah
cairan dari ventrikel ketiga, cairan tersebut mengalir ke bawah di
sepanjang akuaduktus Sylvii ke dalam ventrikel keempat. Cairan ini keluar
dari ventrikel keempat melalui tiga pintu kecil, yaitu dua foramen Luschka
di lateral dan satu foramen Magendie di tengah, dan memasuki sisterna
magna, yaitu suatu rongga cairan yang terletak di belakang medula dan di
bawah serebelum (Guyton, 2007).
Sisterna magna berhubungan dengan ruang subrakhnoid yang
mengelilingi seluruh otak dan medula spinalis. Cairan serebrospinal
kemudian mengalir ke atas dari sisterna magna dan mengalir ke dalam vili
arakhnoidalis yang menjorok ke dalam sinus venosis sagitalis besar dan
sinus venosus lainnya di serebrum (Guyton, 2007).
36

C. Macam-macam Space Occupying Lesion (SOL)


1. Tumor Otak
Tumor otak atau tumor intrakranial adalah neoplasma atau proses
desak ruang (Space Occupying Lesion) yang timbul di dalam rongga
tengkorak baik di dalam kompartemen supertentorial maupun
infratentorial (Satyanegara, 2010).
Tumor otak menyebabkan timbulnya gangguan neurologik progresif.
Gangguan neurologik pada tumor otak biasanya disebabkan oleh dua
faktor, yaitu gangguan fokal akibat tumor dan kenaikan intrakranial
(Price, 2005).
Gangguan fokal terjadi apabila terdapat penekanan pada jaringan
otak dan infiltrasi atau invasi langsung pada aprenkim otak dengan
kerusakan jaringan neural. Perubahan suplai darah akibat tekanan tumor
yang bertumbuh menyebabkan nekrosis jaringan otak. Gangguan suplai
darah arteri pada umumnya bermanifestasi sebagai hilangnya fungsi
secara akut dan gangguan serebral vaskular primer. Serangan kejang
sebagai manifestasi perubahan kepekaan neuron dihubungkan dengan
kompresi, invasi, dan perubahan suplai darah ke jaringan otak.
Beberapa tumor membentuk kista yang juga menekan parenkim otak
sekitar sehingga memperberat gangguan neurologis fokal (Price, 2005).
Peningkatan tekanan intrakranial dapat disebabkan oleh beberapa
faktor yaitu bertambahnya massa dalam tengkorak, terbentuknya edema
sekitar tumor, dan perubahan sirkulasi cairan serebrospinal.
Pertumbuhan tumor akan menyebabkan bertambahnya massa karena
tumor akan mendesak ruang yang relatif tetap pada ruangan tengkorak
yang kaku. Obstruksi vena dan edema akibat kerusakan sawar darah
otak dapat menimbulkan peningkatan volume intrakranial dan tekanan
intrakranial. Obstruksi sirkulasi cairan serebrospinal dari ventrikel
lateralis ke ruangan subarakhnoid menimbulkan hidrosefalus (Price,
2005).
37

2. Hematom Epidural
Fraktur tulang kepala dapat merobek pembuluh darah, terutama
arteri meningea media yang masuk dalam tengkorak melalui foramen
spinosum dan jalan antara durameter dan tulang di permukaan dalam
os temporale. Perdarahan yang terjadi menimbulkan hematom epidural.
Desakan dari hematom akan melepaskan durameter lebih lanjut dari
tulang kepala sehingga hematom bertambah besar (R. Sjamsuhidajat,
2004).
Hematom yang meluas di daerah temporal menyebabkan
tertekannya lobus temporalis otek ke arah bawah dan dalam. Tekanan
ini menyebabkan bagian medial lobus (unkis dan sebagian dari girus
hipokampus) mengalami herniasi di bawah tepi tentorium. Keadaan ini
menyebabkan timbulnya tanda-tanda neurologik (Price, 2005).
Kelainan ini pada fase awal tidak menunjukkan gejala atau tanda.
Baru setelah hematom bertambah besar akan terlihat tanda pendesakan
dan peningkatan tekanan intrakranial. Penderita akan mengalami sakit
kepala, mual, dan muntah diikuti dengan penurunan kesadaran. Gejala
neurologik yang teroenting adalah pupil mata anisokor yaitu pupil
ipsilateral melebar (R. Sjamsuhidajat, 2004).

D. Macam-macam Keluhan dan Gejala yang Disebabkan oleh Space


Occupying Lesion (SOL)
1. Gejala Peningkatan tekanan Intrakranial
a. Nyeri Kepala
Kebanyakan struktur di kepala tidak sensitif nyeri, ahli bedah saraf
dapat melakukan kraniotomi major dalam anestesia lokal karena
tulang tengkorak dan otak sendiri dapat ditindak tanpa nyeri.
Struktur sensitif nyeri didalam kranium adalah arteria meningeal
media beserta cabangnya, arteri besar didasar otak, sinus venosus
dan bridging veins serta dura didasar fossa kranial. Peninggian
tekanan intrakranial dan pergeseran otak yang terjadi membendung
dan menggeser pembuluh darah serebral atau sinus venosus serta
38

cabang utamanya dan memperberat nyeri lokal. Nyeri yang lebih


terlokalisir diakibatkan oleh peregangan atau penggeseran
duramater didaerah basal dan batang saraf sensori kranial kelima,
kesembilan dan kesepuluh. Nyeri kepala juga disebabkan oleh
spasme otot-otot besar didasar tengkorak. Ini mungkin berdiri
sendiri atau ditambah dengan reaksi refleks bila mekanisme nyeri
bekerja (Syaiful Saanin, 2012). Pasien dengan peninggian tekanan
intrakranial secara klasik bangun pagi dengan nyeri kepala yang
berkurang dalam satu-dua jam. Nyeri kepala pagi ini pertanda
terjadinya peningkatan tekanan intrakrania; selama malam akibat
posisi berbaring, peninggian PCO2 selama tidur karena depresi
pernafasan dan mungkin karena penurunan reabsorpsi cairan
serebrospinal (Syaiful Saanin, 2012).
b. Muntah
Ditemukan pada peninggian tekanan intrakranial oleh semua sebab
dan merupakan tampilan yang terlambat dan diagnosis biasanya
dibuat sebelum gejala ini timbul. Gejala ini mungkin jelas
merupakan gambaran dini dari tumor ventrikel keempat yang
langsung mengenai nukleus vagal. Setiap lesi hampir selalu
meninggikan tekanan intrakranial akibat obstruksi aliran cairan
serebrospinal dan mungkin tidak mudah menentukan mekanisme
mana yang dominan. Muntah akibat peninggian tekanan
intrakranial biasanya timbul setelah bangun, sering bersama dengan
nyeri kepala pagi. Walau sering dijelaskan sebagai projektil,
maksudnya terjadi dengan kuat dan tanpa peringatan, hal ini jarang
merupakan gambaran yang menarik perhatian (Syaiful Saanin,
2012).
c. Papila Oedema
Papila oedema menunjukkan adanya oedema atau pembengkakan
diskus optikus yang disebabkan oleh peningkatan tekanan
intrakranial yang menetap selama lebih dari beberapa hari atau
minggu. Oedema ini berhubungan dengan obstruksi cairan
39

serebrospinal, dimana peningkatan tekanan intrakranial pada


selubung nervus optikus menghalangi drainase vena dan aliran
aksoplasmik pada neuron optikus dan menyebabkan pembengkakan
pada diskus optikus dan retina serta pendarahan diskus. Papila
oedema tahap lanjut dapat menyebabkan terjadinya atrofi sekunder
papil nervus optikus (Syaiful Saanin, 2012).
2. Gejala Umum Space Occupying Lesion
Gejala umum timbul karena peningkatan tekanan intrakranial atau
akibat infiltrasi difus dari tumor. Gejala yang paling sering adalah sakit
kepala, perubahan status mental, kejang, nyeri kepala hebat, papil
edema, mual dan muntah. Tumor maligna (ganas) menyebabkan gejala
yang lebih progresif daripada tumor benigna (jinak). Tumor pada lobus
temporal depan dan frontal dapat berkembang menjadi tumor dengan
ukuran yang sangat besar tanpa menyebabkan defisit neurologis, dan
pada mulanya hanya memberikan gejalagejala yang umum. Tumor pada
fossa posterior atau pada lobus parietal dan oksipital lebih sering
memberikan gejala fokal dulu baru kemudian memberikan gejala umum
(Saanin, 2004, Bradley, 2000).
3. Gejala Lokal Space Occupying Lesion
Gejala lokal terjadi pada tumor yeng menyebabkan destruksi
parenkim, infark atau edema. Juga akibat pelepasan faktor-faktor ke
daerah sekitar tumor (contohnya : peroksidase, ion hydrogen, enzim
proteolitik dan sitokin), semuanya dapat menyebabkan disfungsi fokal
yang reversibel (Saanin, 2004, Bradley, 2000).
a. Tumor di lobus frontalis / kortikal
Sakit kepala akan muncul pada tahap awal, sedangkan muntah dan
papiludema akan timbul pada tahap lanjutan. Walaupun gangguan
mental dapat terjadi akibat tumor di bagian otak manapun, namun
terutama terjadi akibat tumor di bagian frontalis dan korpus kalosum.
Akan terjadi kemunduran intelegensi, ditandai dengan gejala
“Witzelsucht”, yaitu suka menceritakan lelucon-lelucon yang sering
40

diulang-ulang dan disajikan sebagai bahan tertawaan, yang bermutu


rendah (Saanin, 2004, Bradley, 2000).
Kejang adversif (kejang tonik fokal) merupakan simptom lain dari
tumor di bagian posterior lobus frontalis, di sekitar daerah premotorik.
Tumor di lobus frontalis juga dapat menyebabkan refleks memegang
dan anosmia (Saanin, 2004, Bradley, 2000).
Tumor lobus frontal menyebabkan terjadinya kejang umum yang
diikuti paralisis post-iktal. Meningioma kompleks atau parasagital dan
glioma frontal khusus berkaitan dengan kejang. Tanda lokal tumor
frontal antara lain disartri, kelumpuhan kontralateral, dan afasia jika
hemisfer dominant dipengaruhi. Anosmia unilateral menunjukkan
adanya tumor bulbus olfaktorius (Saanin, 2004, Bradley, 2000).
b. Tumor di daerah presentralis
Tumor di daerah presentralis akan merangsang derah motorik
sehingga menimbulkan kejang pada sisi kontralateral sebagai gejala
dini. Bila tumor di daerah presentral sudah menimbulkan destruksi
strukturil, maka gejalanya berupa hemiparesis kontralateral. Jika tumor
bertumbuh di daerah falk serebri setinggi daerah presentralis, maka
paparesis inferior akan dijumpai (Saanin, 2004, Bradley, 2000).
c. Tumor di lobus temporalis
Bila lobus temporalis kanan yang diduduki, gejala klinis kurang
menonjol. Kecuali, bila daerah unkus terkena, akan timbul serangan
“uncinate fit” pada epilepsi. Kemudian akan terjadi gangguan pada
funsgi penciuman serta halusinasi auditorik dan afasia sensorik. Hal ini
logis bila dikaitkan dengan fungsi unkus sebagai pusat penciuman dan
lobus temporalis sebagai pusat pendengaran. Gejala tumor lobus
temporalis antara lain disfungsi traktus kortikospinal kontralateral,
defisit lapangan pandang homonim, perubahan kepribadian, disfungsi
memori dan kejang parsial kompleks (Saanin, 2004, Bradley, 2000)..
d. Tumor di lobus parietalis
Tumor pada lobus parietalis dapat merangsang daerah sensorik.
Jika tumor sudah menimbulkan destruksi strukturil, maka segala macam
41

perasa pada daerah tubuh kontralateral yang bersangkutan tidak dapat


dikenali dan dirasakan. Han ini akan menimbulkan astereognosia dan
ataksia sensorik. Bila bagian dalam parietalis yang terkena, maka akan
timbul gejalayang disebut “thalamic over-reaction”, yaitu reaksi yang
berlebihan terhadap rangsang protopatik. Selain itu, dapat terjadi lesi
yang menyebabkan terputusnya optic radiation sehingga dapat timbul
hemianopsia Daerah posterior dari lobus parietalis yang berdampingan
dengan lobus temporalis dan lobus oksipitalis merupakan daerah
penting bagi keutuhan fungsi luhur sehingga destruksi pada daerah
tersebut akan menyebabkan agnosia (hilangnya kemampuan untuk
mengenali rangsang sensorik) dan afasia sensorik, serta apraksia
(kegagalan untuk melakukan gerakan-gerakan yang bertujuan
walaupun tidak ada gangguan sensorik dan motorik). Tumor hemisfer
dominan menyebabkan afasia, gangguan sensoris dan berkurangnya
konsentrasi yang merupakan gejala utama tumor lobus parietal. Adapun
gejala yang lain diantaranya disfungsi traktus kortikospinal
kontralateral, hemianopsia/ quadrianopsia inferior homonim
kontralateral dan simple motor atau kejang sensoris (Saanin, 2004,
Bradley, 2000).
e. Tumor pada lobus oksipitalis
Tumor pada lobus ini jarang ditemui. Bila ada, maka gejala yang
muncul biasanya adalah sakit kepala di daerah oksiput. Kemudian dapat
disusul dengan gangguan medan penglihatan. Tumor lobus oksipital
sering menyebabkan hemianopsia homonym yang kongruen. Kejang
fokal lobus oksipital sering ditandai dengan persepsi kontralateral
episodik terhadap cahaya senter, warna atau pada bentuk geometri
(Saanin, 2004, Bradley, 2000).
f. Tumor pada korpus kalosum
Sindroma pada korpus kalosum meliputi gangguan mental,
terutama menjadi cepat lupa sehingga melupakan sakit kepala yang
baru dialami dan mereda. Demensia uga akan sering timbul dosertai
42

kejang tergantung pada lokasi dan luar tumor yang menduduki korpus
kalosum (Saanin, 2004, Bradley, 2000).
g. Tumor pada Ventrikel Tiga dan Regio Pineal
Tumor di dalam atau yang dekat dengan ventrikel tiga menghambat
ventrikel atau aquaduktus dan menyebabkan hidrosepalus. Perubahan
posisi dapat meningkatkan tekanan ventrikel sehingga terjadi sakit
kepala berat pada daerah frontal dan verteks, muntah dan kadang-
kadang pingsan. Hal ini juga menyebabkan gangguan ingatan, diabetes
insipidus, amenorea, galaktorea dan gangguan pengecapan dan
pengaturan suhu (Saanin, 2004, Bradley, 2000).
h. Tumor Batang Otak
Terutama ditandai oleh disfungsi saraf kranialis, defek lapangan
pandang, nistagmus, ataksia dan kelemahan ekstremitas. Kompresi pada
ventrikel empat menyebabkan hidrosepalus obstruktif dan
menimbulkan gejala-gejala umum (Saanin, 2004, Bradley, 2000).
i. Tumor Serebellar
Muntah berulang dan sakit kepala di bagian oksiput merupakan
gejala yang sering ditemukan pada tumor serebellar. Pusing, vertigo dan
nistagmus mungkin menonjol.

E. Penegakan Diagnostik Space Occupying Lesion (SOL) Intrakranial


Perubahan Tanda Vital (Lombardo,2006, Thamburaj, 2008, Eccher,2004 ):
1. Denyut Nadi
Denyaut nadi relatif stabil selama stadium awal dari peningkatan ICP,
terutama pada anak-anak. Bradikardi merupakan mekanisme
kompensasi yang mungkin terjadi untuk mensuplai darah ke otak dan
mekanisme ini dikontrol oleh tekanan pada mekanisme reflex vagal
yang terdapat di medulla. Apabila tekanan ini tidak dihilangkan, maka
denut nadi akan menjadi lambat dan irregular dan akhirnya berhenti.
2. Pernapasan
Pada saat kesadaran menurun, korteks serebri akan lebih tertekan
daripada batang otak dan pada pasien dewasa, perubahan pernafasan ini
43

normalnya akan diikuti dengan penurunan level dari


kesadaran.Perubahan pada pola pernafasan adalah hasil dari tekanan
langsung pada batang otak. Pada bayi, pernafasan irregular dan
meningkatnya serangan apneu sering terjadiantara gejala-gejala awal
dari peningkatan ICP yang cepat dan dapat berkembang dengan cepat
ke respiratory arrest.
3. Tekanan Darah
Tekanan darah dan denyut nadi relatif stabil selama stadium awal dari
peningkatan ICP, terutama pada anak-anak. Dengan terjadinya
peningkatan ICP, tekanan darah akan meningkat sebagai mekanisme
kompensasi; Sebagai hasil dari respons Cushing, dengan meningkatnya
tekanan darah, akan terjadi penurunan dari denyut nadi disertai dengan
perubahan pada pola pernafasan. Apabila kondisi ini terus berlangsung,
maka tekanan darah akan mulai turun.
4. Suhu Tubuh
Selama mekanisme kompensasi dari peningkatan ICP berlangsung,
suhu tubuh akan tetap stabil. Ketika mekanisme dekompensasi berubah,
peningktan suhu tubuh akan muncul akibta dari disfungsi dari
hipotalamus atau edema pada traktus yang menghubungkannya.
5. Reaksi Pupil
Serabut saraf simpatis menyebabkan otot pupil berdilatasi. Reaksi
pupil yang lebih lambat dari normalnya dapat ditemukan pada kondisi
yang menyebabkan penekanan pada nervus okulomotorius, seperti
edema otak atau lesi pada otak. Penekanan pada n. Oklulomotorius
menyebabkan penekanan ke bawah, menjepit n.Okkulomotorius di
antara tentorium dan herniasi dari lobus temporal yang mengakibatkan
dilatasi pupil yang permanen. N. okulomotorius (III) berfungsi untuk
mengendalikan fungsi pupil. Pupil harus diperiksa ukuran, bentuk dan
kesimetrisannya dimana ketika dibandingkan antara kiri dan kanan,
kedua pupil harus memiliki ukuran yang sama. Normalnya, konstriksi
pupil akan terjadi dengan cepat.
Pemeriksaan Penunjang
44

a. Elektroensefalografi (EEG)
b. Foto polos kepala
c. Arteriografi
d. Computerized Tomografi (CT Scan)
e. Magnetic Resonance Imaging (MRI)

F. Penatalaksanaan Diet pada Space Occupying Lesion (SOL)


Intrakranial Obstruksi Cepalgia
Pasien yang menjalani operasi atau tindakan bedah berisiko
mengalami malnutrisi akibat menjalani puasa, stress operasi, dan
peningkatan metabolisme yang terjadi sehingga diberikan nutrisi
perioperatif yaitu nutrisi yang diberikan pada pasien pra-bedah/pra-
operatif, durante/intraoperatif, dan pasca bedah/pasca operatif, yang
bertujuan untuk mencapai hasil yang optimal dari operasi, dan mengurangi
morbiditas operasi diantaranya infeksi luka operasi, penyembuhan luka
yang lambat, pneumonia, dan sepsis (Pennington, et al, 2000).
Pemberian diet pada pasien bedah adalah menyediakan kalori,
protein, vitamin, mineral, dan trace element yang adekuat untuk
mengkoreksi kehilangan komposisi tubuh dan untuk mempertahankan
keadaan normal dari zat-zat gizi tersebut. Diet Tinggi Kalori Tinggi
Protein (TKTP), yang sering juga disebut dengan diet Energi Tinggi
Protein Tinggi (ETPT) yaitu diet yang mengandung energi dan protein di
atas kebutuhan normal (Almatsier, 2006).
Diet ini diberikan dalam bentuk makanan biasa ditambah dengan
makanan sumber protein tinggi seperti susu, telur, dan daging. Diet ini
diberikan bila pasien telah mempunyai nafsu makan dan dapat menerima
makanan lengkap. Pemberian diet ETPT ini bertujuan untuk memenuhi
kebutuhan energi dan protein yang meningkat untuk mencegah dan
mengurangi kerusakan jaringan tubuh, dan untuk menambah berat badan
hingga mencapai berat badan normal (Almatsier, 2006).
Dalam upaya pemenuhan zat gizi yang optimal pada pelaksanaan
asuhan gizi diperlukan keterlibatan dan kerjasama yang erat antar
45

berbagai profesi terkait yang bergabung dalam tim asuhan gizi. Profesi
yang terlibat adalah dokter, perawat, dietisien, dan profesi kesehatan
lainnya sebagai pendukung seperti farmakolog, ahli patologi klinik,
radiologi rekam medik dan administrasi. tiap anggota tim memberikan
sumbangan spesifik sesuai dengan keahliannya yang diharapkan saling
mengisi dalam upaya memberikan asuhan gizi yang optimal. Agar efektif
diperlukan koordinasi yang baik melalui komunikasi secara teratur, baik
secara tertulis melalui rekam medik, secara lisan melalui diskusi
sewaktu-waktu, atau melalui kunjungan keliling (rounde) bersama yang
dilakukan secara periodik. Tim asuhan gizi ini dibentuk di setiap unit
rawat inap (Budiningsari, 2004)
Upaya pemenuhan kebutuhan gizi untuk pasien rawat inap
dilakukan melalui pelayanan gizi dengan penyediaan makanan atau diet.
Bagi sejumlah pasien dengan penyakit berat (critically ill patients)
upaya pelayanan gizi tersebut tidak dapat dilaksanakan, karena
berbagai keterbatasan pada penerimaan, pencernaan, dan penyerapan
berbagai makanan (zat gizi). Untuk pasien demikian, diperlukan
pelayanan gizi dengan pemberian makan enteral (enteral feeding)
atau makanan parenteral (parenteral feeding) yang dikenal sebagai
pemberian zat gizi pendukung (nutritional support). selain itu mungkin
diperlukan pemberian zat gizi pelengkap (suplemen) dalam bentuk
beraneka jenis vitamin dan mineral (Almatsier, 2004).
1. Tujuan Diet Tinggi Kalori Tinggi Protein
Diet tinggi kalori tinggi protein bertujuan untuk memenuhi
kebutuhan kalori dan protein yang meningkat untuk mencegah dan
mengurangi kerusakan jaringan tubuh. Selain itu, pemberian diet ini juga
dimaksudkan untuk menambah berat badan hingga mencapai berat badan
normal (Almatsier, 2004).
2. Syarat Diet Tinggi Kalori Tinggi Protein
Syarat –syarat diet tinggi kalori tinggi protein adalah menurut
Almatsier (2004) adalah sebagai berikut :
1. Kalori tinggi, yaitu 40-45 kkal/ kg BB
46

2. Protein tinggi, yaitu 2,0 - 2,5 g/kg BB


3. Lemak cukup, yaitu 10 –25% dari kebutuhan kalori total
4. Karbohidrat cukup, yaitu sisa dari kebutuhan kalori total
5. Vitamin dan mineral cukup, sesuai kebutuhan normal
6. Makanan diberikan dalam bentuk mudah cerna
3. Jenis Diet Tinggi Kalori Tinggi Protein
Ada dua jenis diet tinggi kalori tinggi protein yang dibedakan
berdasarkan jumlah kalori dan protein yang dikandung, yaitu
(Almatsier, 2004):
1. Diet tinggi kalori tinggi protein I (2600 kkal/hari, 100 gr protein/hari)
2. Diet tinggi kalori tinggi protein II (3000 kkal/hari, 125 gr protein/hari)
Berdasarkan keadaan, pasien dapat diberikan salah satu dari dua jenis
diet tinggi kalori tinggi protein tersebut (Almatsier, 2004).
4. Indikasi Pemberian Diet Tinggi Kalori Tinggi Protein
Diet tinggi kalori tinggi protein ini dapat diberikan kepada
beberapa pasien dengan kondisi tertentu, yaitu pasien yang Kurang
Energi Protein (KEP), pasien penyakit infeksi tertentu, pasien sebelum
dan sesudah operasi tertentu, pasien lama radioterapi dan kemoterapi,
pasien yang terkena luka bakar, pasien yang baru sembuhdari penyakit
dengan panas tinggi, pasien yang sedang hamil dan post partum (nifas)
dimana dalam keadaan tersebut kebutuhan akan kalori dan protein
meningkat. Diet ini diberikan dengan tujuan agar dapat mencegah,
mempertahankan dan memperbaiki jaringan tubuh yang rusak serta
menambah berat badan pasien hingga mencapai berat badan normal, untuk
itu diharapkan agar pemberiannya sesuai dengan anjuran agar mencapai
hasil yang optimal (Almatsier, 2004).

Anda mungkin juga menyukai