LAPORAN PENDAHULUAN
OLEH:
Anis Fitri Nurul Anggraeni, S.Kep
NIM 132311101023
LEMBAR PENGESAHAN
Laporan Pendahuluan pada Pasien dengan Cidera Otak Berat (COB) dan
Epidural Hematoma (EDH) di Ruang Gardena RSD dr. Soebandi Jember telah
disetujui dan di sahkan pada :
Hari, Tanggal :
Mahasiswa
NIM 132311101023
Jember
NIP NIP
167
LAPORAN PENDAHULUAN
ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN DENGAN CIDERA OTAK
BERAT (COB) DAN EPIDURAL HEMATOMA (EDH) DI RUANG
GARDENA RSD Dr. SOEBANDI JEMBER
Oleh : Anis Fitri Nurul A, S.Kep
1) Tengkorak
jaringan ikat fibrisa yang melekat erat pada permukaan dalam dari kranium.
Karena tidak melekat pada selaput arachnoid di bawahnya, maka terdapat
suatu ruang potensial ruang subdural yang terletak antara dura mater dan
arachnoid, dimana sering dijumpai perdarahan subdural. Pada cedera otak,
pembuluh-pembuluh vena yang berjalan pada permukaan otak menuju sinus
sagitalis superior di garis tengah atau disebut Bridging Veins, dapat
mengalami robekan dan menyebabkan perdarahan subdural. Sinus sagitalis
superior mengalirkan darah vena ke sinus transversus dan sinus sigmoideus.
Laserasi dari sinus-sinus ini dapat mengakibatkan perdarahan hebat.
Hematoma subdural yang besar, yang menyebabkan gejala-gejala neurologis
biasanya dikeluarkan melalui pembedahan. Petunjuk dilakukannya pengaliran
perdarahan ini adalah: 1) sakit kepala yang menetap 2) rasa mengantuk
yang hilang-timbul 3) linglung 4) perubahan ingatan 5) kelumpuhan ringan
pada sisi tubuh yang berlawanan. Arteri-arteri meningea terletak antara dura
mater dan permukaan dalam dari kranium ruang epidural. Adanya fraktur dari
tulang kepala dapat menyebabkan laserasi pada arteri-arteri ini dan
menyebabkan perdarahan epidural. Yang paling sering mengalami cedera
adalah arteri meningea media yang terletak pada fosa media fosa temporalis.
b) Selaput Arakhnoid
Selaput arakhnoid merupakan lapisan yang tipis dan tembus pandang. Selaput
arakhnoid terletak antara pia mater sebelah dalam dan duramater sebelah luar
yang meliputi otak. Selaput ini dipisahkan dari duramater oleh ruang
potensial, disebut spatium subdural dan dari piamater oleh spatium
subarakhnoid yang terisi oleh liquor serebrospinalis. Perdarahan subarakhnoid
umumnya disebabkan akibat cedera kepala.
c) Pia mater
Pia mater melekat erat pada permukaan korteks serebri. Pia mater adalah
membran vaskular yang dengan erat membungkus otak, meliputi gyri dan
masuk kedalam sulci yang paling dalam. Membran ini membungkus saraf
otak dan menyatu dengan epineuriumnya. Arteri-arteri yang masuk kedalam
substansi otak juga diliputi oleh pia mater.
170
2. Otak
Menurut Price (2005), otak terdiri dari 3 bagian, antara lain yaitu:
a) Cerebrum
Cerebrum atau otak besar terdiri dari dari 2 bagian, hemispherium serebri
kanan dan kiri. Setiap henispher dibagi dalam 4 lobus yang terdiri dari lobus
frontal, oksipital, temporal dan pariental. Yang masing-masing lobus
memiliki fungsi yang berbeda, yaitu:
1) Lobus frontalis
Lobus frontalis pada korteks serebri terutama mengendalikan keahlian
motorik misalnya menulis, memainkan alat musik atau mengikat tali
sepatu. Lobus frontalis juga mengatur ekspresi wajah dan isyarat tangan.
daerah tertentu pada lobus frontalis bertanggung jawab terhadap
aktivitas motoric tertentu pada sisi tubuh yang berlawanan. Efek
171
b) Cerebellum
Terdapat dibagian belakang sophag menepati fosa serebri posterior dibawah
lapisan durameter. Cerebellum mempunyai aksi yaitu merangsang dan
menghambat serta mempunyai tanggunag jawab yang luas terhadap
koordinasi dan gerakan halus. Ditambah mengontrol gerakan yang benar,
keseimbangan posisi dan mengintegrasikan input sensori.
c) Brainstem
Batang otak terdiri dari otak tengah, pons dan sophag oblongata. Otak
tengah midbrain/ensefalon menghubungkan pons dan sereblum dengan
hemisfer sereblum. Bagian ini berisi jalur sensorik dan motorik, sebagai
pusat reflek pendengaran dan penglihatan. Pons terletak di depan serebelum
antara otak tengah dan sophag, serta merupakan jembatan antara 2 bagian
sereblum dan juga antara medulla dengan serebrum. Pons berisi jarak
sensorik dan motorik. Medula oblongata membentuk bagian inferior dari
batang otak, terdapat pusat-pusat otonom yang mengatur fungsi-fungsi vital
seperti pernafasan, frekuensi jantung, pusat muntah, tonus vasomotor, reflek
batuk dan bersin.
3. Syaraf-Syaraf Otak
173
otot-otot lidah dan selaput sopha ronga mulut. Di dalam saraf ini terdapat
serabut-serabut saraf otonom (parasimpatis) untuk wajah dan kulit
kepalafungsinya sebagai soph wajah untuk menghantarkan rasa pengecap.
h) Nervus Akustikus (Nervus Kranialis VIII)
Sifatnya sensori, mensarafi alat pendengar, membawa rangsangan dari
pendengaran dan dari telinga ke otak. Fungsinya sebagai saraf pendengar.
i) Nervus Glosofaringeus (Nervus Kranialis IX)
Sifatnya majemuk (sensori dan motoris) mensarafi faring, tonsil dan lidah,
saraf ini dapat membawa rangsangan cita rasa ke otak.
j) Nervus Vagus (Nervus Kranialis X)
Sifatnya majemuk (sensoris dan motoris) mengandung saraf-saraf motorik,
sensorik dan parasimpatis faring, laring, paru-paru, sophagus, gaster
intestinum minor, kelenjar-kelenjar pencernaan dalam abdomen. Fungsinya
sebagai saraf perasa.
k) Nervus Aksesorius (Nervus Kranialis XI)
Saraf ini mensarafi muskulus sternokleidomastoid dan muskulus trapezium,
fungsinya sebagai saraf tambahan.
l) Nervus Hipoglosus (Nervus Kranialis XII)
Saraf ini mensarafi otot-otot lidah, fungsinya sebagai saraf lidah. Saraf ini
terdapat di dalam sumsum penyambung.
175
a) Pasien bisa atau tidak bisa menuruti perintah, namun tidak memberi
respon yang sesuai dengan pernyataan yang di berikan
b) Amnesia pasca trauma
c) Muntah
d) Tanda kemungkinan fraktur cranium (tanda Battle, mata rabun,
hemotimpanum, otorea atau rinorea cairan serebro spinal)
e) Kejang
f) Kehilangan kesadaran 10 - 15 menit
3. Cedera kepala berat dengan nilai GCS sama atau kurang dari 8.
a) Penurunan kesadaran sacara progresif
b) Tanda neorologis fokal
c) Cedera kepala penetrasi atau teraba fraktur depresi cranium
d) Kehilangan kesadaran lebih dari 24 jam
e) Disertai kontusio cerebral, laserasi, hematoma intrakrania
f) Perdarahan intrakranial dapat terjadi karena adanya pecahnya pembuluh
darah pada jaringan otak. Lokasi yang paling sering adalah lobus
frontalis dan temporalis. Lesi perdarahan dapat terjadi pada sisi benturan
(coup) atau pada sisi lainnya (countrecoup).
Gb 1. Perdarahan Intrakranial
B. EPIDEMIOLOGI
Kejadian cidera kepala di Amerika Serikat setiap tahunnya diperkirakan
mencapai 500.000 kasus, yang terdiri dari cidera kepala ringan sebanyak
296.678 orang (59,3%) , cidera kepala sedang sebanyak 100.890 orang
(20,17%) dan cidera kepala berat sebanyak 102.432 orang (20,4%).
177
E. PATOFISIOLOGI
Berdasarkan patofisiologinya cedera kepala dapat digolongkan menjadi
2 proses yaitu cedera kepala primer dan cedera kepala sekunder. Cedera otak
primer adalah cedera yang terjadi saat atau bersamaan dengan kejadian trauma
dan merupakan suatu fenomena mekanik. Umumnya menimbulkan lesi
permanen. Tidak banyak yang bisa dilakukan kecuali membuat fungsi stabil,
179
sehingga sel-sel yang sedang sakit bisa mengalami proses penyembuhan yang
optimal. Cedera primer, yang terjadi pada waktu benturan, mungkin karena
memar pada permukaan otak, laserasi substansi alba, cedera robekan atau
hemoragi karena terjatuh, dipukul, kecelakaan dan trauma saat lahir yang bisa
mengakibatkan terjadinya gangguan pada seluruh sistem dalam tubuh.
Cedera otak sekunder merupakan hasil dari proses yang berkelanjutan
sesudah atau berkaitan dengan cedera primer dan lebih merupakan fenomena
metabolik sebagai akibat, cedera sekunder dapat terjadi sebagai kemampuan
autoregulasi serebral dikurangi atau tak ada pada area cedera. Cidera kepala
terjadi karena beberapa hal diantanya, bila trauma ekstrakranial akan dapat
menyebabkan adanya leserasi pada kulit kepala selanjutnya bisa perdarahan
karena mengenai pembuluh darah. Karena perdarahan yang terjadi terus-
menerus dapat menyebabkan hipoksia, hiperemi peningkatan volume darah
pada area peningkatan permeabilitas kapiler, serta vasodilatasi arterial, semua
menimbulkan peningkatan isi intrakranial, dan akhirnya peningkatan tekanan
intrakranial (TIK), adapun, hipotensi namun bila trauma mengenai tulang
kepala akan menyebabkan robekan dan terjadi perdarahan juga. Cidera kepala
intrakranial dapat mengakibatkan laserasi, perdarahan dan kerusakan jaringan
otak bahkan bisa terjadi kerusakan susunan syaraf kranial terutama motorik
yang mengakibatkan terjadinya gangguan dalam mobilitas.
F. KOMPLIKASI
Komplikasi yang dapat terjadi pada cedera kepala menurut Smeltzer &
Bare (2002) adalah:
a. Perluasan hematoma intracranial
b. Edema serebral dan herniasi, edema serebral adalah penyebab paling
umum dari peningkatan tekanan intracranial pada pasien yang mendapat
cedera kepala, puncak pembengkakan yang terjadi pada cedera kepala
kurang lebih 72 jam pasaca cedera. Tekanan intrkranial meningkat akibat
ketidakmampuan tengkorak untuk membesar meskipun peningkatan
volume oleh pembengkakan otak akibat trauma. Tekanan intrakranial
dinilai berbahaya jika peningkatan hingga 15 mmHg. Akibat dari
180
peningkatan TIK dan edema adalah penyebaran tekanan pada jaringan otak
dan struktur internal otak yang kaku. Bergantung pada area
pembengkakan, perubahan posisi ke bawah atau lateral otak (herniasi)
melalui atau terhadap struktur kakau akan mengakibatkan iskemia, infark,
kerusakan otak ireversibel dan kematian.
Sedangkan komplikasi yang sering dijumpai dan berbahaya menurut
(Markam, 1999) pada cedera kepala meliputi :
a. Koma
Penderita tidak sadar dan tidak memberikan respon disebut koma. Pada
situasi ini secara khas berlangsung hanya beberapa hari atau minggu, setelah
masa ini penderita akan terbangun, sedangkan beberapa kasus lainnya
memasuki vegetatife state. Walaupun demikian penderita masih tidak sadar
dan tidak menyadari lingkungan sekitarnya. Penderita pada vegetatife state
lebih dari satu tahun jarang sembuh.
b. Kejang/Seizure
Penderita yang mengalami cedera kepala akan mengalami sekurang-
kurangnya sekali kejang pada masa minggu pertama setelah cedera.
Meskipun demikian, keadaan ini berkembang menjadi epilepsy.
c. Infeksi
Fraktur tulang tengkorak atau luka terbuka dapat merobekkan membran
(meningen) sehingga kuman dapat masuk infeksi meningen ini biasanya
berbahaya karena keadaan ini memiliki potensial untuk menyebar ke system
saraf yang lain.
d. Hilangnya kemampuan kognitif.
Berfikir, akal sehat, penyelesaian masalah, proses informasi dan memori
merupakan kemampuan kognitif. Banyak penderita dengan cedera kepala
mengalami masalah kesadaran.
e. Penyakit Alzheimer dan Parkinson.
Pada khasus cedera kepala resiko perkembangan terjadinya penyakit
Alzheimer tinggi dan sedikit terjadi Parkinson. Resiko akan semakin tinggi
tergantung frekuensi dan keparahan cedera.
G. PENATALAKSANAAN
a) Perawatan sebelum ke Rumah Sakit
181
2. Circulation
Hipotensi dan hipoksia adalah merupakan penyebab utama terjadinya
perburukan pada cedera otak sedang. Hipotensi merupakan petunjuk
adanya kehilangan darah yang cukup berat, walaupun tidak tampak. Jika
terjadi hipotensi maka tindakan yang dilakukan adalah menormalkan
tekanan darah. Lakukan pemberian cairan untuk mengganti volume yang
hilang sementara penyebab hipotensi dicari.
3. Disability (pemeriksaan neurologis)
Pada penderita hipotensi pemeriksaan neurologis tidak dapat dinilai
sebagai data akurat, karena penderita hipotensi yang tidak menunjukkan
respon terhadap stimulus apapun, ternyata menjadi normal kembali
segera tekanan darahnya normal. Pemeriksaan neurologis meliputi
pemeriksaan GCS dan reflek cahaya pupil. GCS diukur untuk menilai
respon pasien yang menunjukkan tingkat kesadaran pasien. GCS didapat
dengan berinteraksi dengan pasien, secara verbal atau dengan rangsang
nyeri pada pangkal kuku atau anterior ketiak. Pada pasien dengan cedera
otak sedang perlu dilakukan pemeriksaan GCS setiap setengah jam sekali
idealnya. Untuk mendapatkan keseragaman dari penilaian tingkat
kesadaran secara kwantitatif (yang sebelumnya tingkat kesadaran diukur
secara kwalitas seperti apatis, somnolen dimana pengukuran seperti ini
didapatkan hasil yang tidak seragam antara satu pemeriksaan dengan
pemeriksa yang lain) maka dilakukan pemeriksaan dengan skala
kesadaran secara glasgow, ada 3 macam indikator yang diperiksa yaitu
reaksi membuka mata, reaksi verbal, reaksi motorik.
184
I. Konsep EDH
a) Pengertian
Epidural hematom adalah salah satu akibat yang ditimbulkan dari sebuah
traumakepala (Andrews, 2000). Epidural hematom (EDH) adalah perdarahan yang
terbentuk di ruang potensial antara tabula interna dan duramater. Paling sering
terletak diregio temporal atau temporalparietal dan sering akibat robeknya
pembuluh meningeal media. Perdarahan biasanya dianggap berasal arterial,
namun mungkin sekunder dari perdarahan vena pada 1/3 kasus (Agamanolis,
2003). Kadang-kadang, hematoma epidural mungkin akibat robeknya sinus vena,
terutama diregio parietal-oksipital atau fossa posterior (Vacca 2007, dalam
Smeltzer & Bare, 2010) . Epidural hematom adalah hematom/perdarahan yang
terletak antara durameterdan tubula interna/lapisan bawah tengkorak, dan
sering terjadi pada lobustemporal dan paretal (Smeltzer & Bare, 2010).
Epidural hematom sebagai keadaan neurologis yang bersifat emergency dan
biasanya berhubungan dengan linear fraktur yang memutuskan arteri yang lebih
besar, sehingga menimbulkan perdarahan (Japardi, 2004).
186
b) Etiologi
Epidural hematom terjadi karena laserasi atau robekan pembuluh darah yang
ada diantara durameter dan tulang tengkorak akibat benturan yang menyebabkan
fraktur tengkorak seperti kecelakaan kendaraan dan trauma (Japardi,
2004). Perdarahan biasanya bersumber dari robeknya arteri meningica
media (paling sering), vena diploica (karena fraktur kalvaria), vena emmisaria,
dan sinus venosus duralis.
d) Patofisiologi
Epidural hematom secara khas timbul sebagai akibat dari sebuah luka atau
trauma atau fraktur pada kepala yang menyebabkan laserasi pada pembuluh darah
arteri, khususnya arteri meningea media dimana arteri ini berada diantara
durameter dan tengkorak daerah temporal. Rusaknya arteri menyebabkan
perdarahan yang memenuhi epidural. Apabila perdarahan terus mendesak
durameter, maka darah akan memotong atau menjauhkan daerah durameter
dengan tengkorak, hal ini akan memperluas hematoma. Perluasan hematom
akan menekan hemisfer otak dibawahnya yaitu lobus temporal ke dalam dan
ke bawah. Seiring terbentuknya hematom maka akan memberikan efek yang
cukup berat yakni isi otak akan mengalami herniasi. Herniasi menyebabkan
penekanan saraf yang ada dibawahnya seperti medulla oblongata yang
188
e) Komplikasi
Komplikasi yang sering dijumpai dan berbahaya menurut pada cedera
kepala meliputi :
f. Koma
Penderita tidak sadar dan tidak memberikan respon disebut koma. Pada
situasi ini secara khas berlangsung hanya beberapa hari atau minggu,
setelahmasa ini penderita akan terbangun, sedangkan beberapa kasus
lainnya memasuki vegetatife state. Walaupun demikian penderita masih
tidak sadar dan tidak menyadari lingkungan sekitarnya. Penderita pada
vegetatife state lebih dari satu tahun jarang sembuh.
g. Kejang
Penderita yang mengalami cedera kepala akan mengalami sekurang-
kurangnya sekali kejang pada masa minggu pertama setelah cedera.
Meskipun demikian, keadaan ini berkembang menjadi epilepsy
h. Infeksi
Fraktur tulang tengkorak atau luka terbuka dapat merobekkan membran
(meningen) sehingga kuman dapat masuk infeksi meningen ini biasanya
189
f) Pemeriksaan penunjang
Pemeriksaan klinis pada pasien cedera kepala secara umum meliputi
anamnesis, pemeriksaan fisik umum, pemeriksaan neurologis dan pemeriksaan
radiologis. Pada anamnesis informasi penting yang harus ditanyakan adalah
mekanisme trauma. Pada pemeriksaan fisik secara lengkap dapat dilakukan
bersamaan dengan secondary survey. Pemeriksaan meliputi tanda vital dan sistem
organ. Penilaian GCS awal saat penderita datang ke rumah sakit sangat penting
untuk menilai derajat kegawatan cedera kepala. Pemeriksaan neurologis, selain
pemeriksaan GCS, perlu dilakukan lebih dalam, mencakup pemeriksaan fungsi
batang otak, saraf kranial, fungsi motorik, fungsi sensorik, dan refleks-refleks.
190
J. CLINICAL PATHWAY
Non Trauma Trauma
Mesenfalon tertekan Risiko cidera Tonsil cerebrum bergeser Kompresi medula oblongata
Gangguan kesadaran Imobilisasi Hambatan mobilitas fisik Supine terlalu lama Kerusakan
integritas kulit
Tirah baring lama
191
K. ASUHAN KEPERAWATAN
a. Pengkajian
Data dasar pengkajian pasien tergantung tipe, lokasi dan keparahan cedera
meliputi :
Data yang perlu dikaji
1. Identitas klien meliputi:
a) Nama
b) Umur: EDH biasanya sering terjadi pada usia produktif
dihubungkan enganangka kejadian kecelakaan yang rata-rata sering
dialami oleh usia produktif
c) Jenis kelamin: EDH dapat terjadi baik pada laki-laki maupun
perempuan
d) Agama
e) Pendidikan
f) Alamat
g) Pekerjaan
h) Status perkawinan
2. Riwayat kesehatan:
a) Diagnosa medis,
b) Keluhan utama: keluhan utama biasanya nyeri kepala setelah
kecelakaan, dapat menjadi lucid interval (kehilangan kesadaran
secara mendadak) ketika EDH tidak ditangani dengan segera.
c) Riwayat penyakit sekarang berisi tentang kejadian yang
mencetuskan EDH, kondisi paseien saat ini serta uapaya yang
sudah dilakukan pada pasien.
d) Riwayat kesehatan terdahulu terdiri dari penyakit yang pernah
dialami seperti DM atau hipertensi, alergi, imunisasi,
kebiasaan/pola hidup, obat-obatan yang digunakan, riwayat
penyakit keluarga
3. Genogram
4. Pengkajian Keperawatan (11 pola Gordon)
5. Pemeriksaan fisik
a) Keadaan umum, tanda vital, pemeriksaan head to toe, pemeriksaan
GCS
b) Breathing
Kompresi pada batang otak akan mengakibatkan gangguan irama
jantung, sehingga terjadi perubahan pada pola napas, kedalaman,
frekuensi maupun iramanya, bisa berupa Cheyne Stokes atau
Ataxia breathing. Napas berbunyi, stridor, ronkhi, wheezing
192
b. Diagnosa Keperwatan
Pre op
1. Ketidakefektifan perfusi jaringan otak berhubungan dengan penurunan
aliran darah ke otak
2. Nyeri akut berhubungan dengan terputusnya kontinuitas jaringan,
penekanan reseptor nyeri
3. Ketidakefektifan bersihan jalan napas berhubungan dengan akumulasi
sekret
4. Resiko cedera berhubungan dengan penurunan kesadaran
194
Post op
1. Ketidakefektifan perfusi jaringan otak berhubungan dengan penurunan
aliran darah ke otak
2. Ketidakefektifan pola nafas berhubungan dengan kerusakan
neuromuskuler,
3. Nyeri akut berhubungan dengan terputusnya kontinuitas jaringan,
penekanan reseptor nyeri
4. Ketidakefektifan bersihan jalan napas berhubungan dengan akumulasi
secret
5. Resiko cedera berhubungan dengan penurunan kesadaran
6. Resiko kerusakan integritas kulit berhubuingan dengan imobilisasi dalam
waktu yang lama
195
c. Implementasi
DAFTAR PUSTAKA
Bruner & Sudart. 2002. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah. Jakarta: EGC.
Carpenito, Lynda Juall. 2007. Buku Saku Diagnosa Keperawatan. Edisi 10.
Jakarta: EGC.
Nurarif, A.H. & Kusuma, H.K. 2013. Aplikasi Asuhan Kepreawatan Berdasarkan
Diagnosa Medis & NANDA NIC-NOC. Yogyakarta : Mediaction
Publishing
Sloane, Ethel. 2003. Anatomi dan Fisiologi Untuk Pemula. Jakarta: EGC.
Smeltzer, S.C. & Bare, B.G. 2001. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah
Brunner & Suddarth. Jakarta : EGC