Anda di halaman 1dari 37

165

LAPORAN PENDAHULUAN

ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN DENGAN CIDERA OTAK


BERAT (COB) DAN EPIDURAL HEMATOMA (EDH) DI RUANG
GARDENA RSD Dr. SOEBANDI JEMBER

Disusun untuk memenuhi laporan akhir Program Profesi Ners


Stase Keperawatan Medikal Bedah

OLEH:
Anis Fitri Nurul Anggraeni, S.Kep
NIM 132311101023

KEMENTRIAN RISET, TEKNOLOGI DAN PENDIDIKAN TINGGI


UNIVERSITAS JEMBER
PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN
Alamat : Jl. Kalimantan No. 37 Telp./Fax (0331) 323450 Jember
166

LEMBAR PENGESAHAN

Laporan Pendahuluan pada Pasien dengan Cidera Otak Berat (COB) dan
Epidural Hematoma (EDH) di Ruang Gardena RSD dr. Soebandi Jember telah
disetujui dan di sahkan pada :

Hari, Tanggal :

Tempat: Ruang Gardena RSD dr. Soebandi Jember

Jember, Oktober 2017

Mahasiswa

Anis Fitri Nurul A, S.Kep.

NIM 132311101023

Pembimbing Klinik Ruang Gardena Pembimbing Akademik Stase

RSD dr. Soebandi Jember Keperawatan Bedah PSIK Universitas

Jember

NIP NIP
167

LAPORAN PENDAHULUAN
ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN DENGAN CIDERA OTAK
BERAT (COB) DAN EPIDURAL HEMATOMA (EDH) DI RUANG
GARDENA RSD Dr. SOEBANDI JEMBER
Oleh : Anis Fitri Nurul A, S.Kep

A. Konsep Anatomi dan Fisiologi

Gambar 1. Anatomi kepala

Gambar 2. Fungsi otak


168

1) Tengkorak

Tulang tengkorak menurut Pearce (2008) merupakan struktur tulang


yang menutupi dan melindungi otak, terdiri dari tulang kranium dan tulang
muka. Tulang kranium terdiri dari 3 lapisan: lapisan luar, etmoid dan lapisan
dalam. Lapisan luar dan dalam merupakan struktur yang kuat sedangkan
etmoid merupakan struktur yang menyerupai busa. Lapisan dalam membentuk
rongga/fossa; fossa anterior di dalamnya terdapat lobus frontalis, fossa tengah
berisi lobus temporalis, parientalis, oksipitalis, fossa posterior berisi otak
tengah dan sereblum.

Gambar 2. Lapisan cranium


1. Meningen
Pearce (2008) mengatakan bahwa otak dan sumsum tulang belakang diselimuti
meningen yang melindungi struktur saraf yang halus itu, membawa pembuluh
darah dan sekresi sejenis cairan, yaitu: cairan serebrospinal yang memperkecil
benturan atau goncangan. Selaput meningen menutupi terdiri dari 3 lapisan yaitu:
a) Dura mater
Dura mater secara konvensional terdiri atas dua lapisan yaitu lapisan endosteal
dan lapisan meningeal. Dura mater merupakan selaput yang keras, terdiri atas
169

jaringan ikat fibrisa yang melekat erat pada permukaan dalam dari kranium.
Karena tidak melekat pada selaput arachnoid di bawahnya, maka terdapat
suatu ruang potensial ruang subdural yang terletak antara dura mater dan
arachnoid, dimana sering dijumpai perdarahan subdural. Pada cedera otak,
pembuluh-pembuluh vena yang berjalan pada permukaan otak menuju sinus
sagitalis superior di garis tengah atau disebut Bridging Veins, dapat
mengalami robekan dan menyebabkan perdarahan subdural. Sinus sagitalis
superior mengalirkan darah vena ke sinus transversus dan sinus sigmoideus.
Laserasi dari sinus-sinus ini dapat mengakibatkan perdarahan hebat.
Hematoma subdural yang besar, yang menyebabkan gejala-gejala neurologis
biasanya dikeluarkan melalui pembedahan. Petunjuk dilakukannya pengaliran
perdarahan ini adalah: 1) sakit kepala yang menetap 2) rasa mengantuk
yang hilang-timbul 3) linglung 4) perubahan ingatan 5) kelumpuhan ringan
pada sisi tubuh yang berlawanan. Arteri-arteri meningea terletak antara dura
mater dan permukaan dalam dari kranium ruang epidural. Adanya fraktur dari
tulang kepala dapat menyebabkan laserasi pada arteri-arteri ini dan
menyebabkan perdarahan epidural. Yang paling sering mengalami cedera
adalah arteri meningea media yang terletak pada fosa media fosa temporalis.
b) Selaput Arakhnoid
Selaput arakhnoid merupakan lapisan yang tipis dan tembus pandang. Selaput
arakhnoid terletak antara pia mater sebelah dalam dan duramater sebelah luar
yang meliputi otak. Selaput ini dipisahkan dari duramater oleh ruang
potensial, disebut spatium subdural dan dari piamater oleh spatium
subarakhnoid yang terisi oleh liquor serebrospinalis. Perdarahan subarakhnoid
umumnya disebabkan akibat cedera kepala.
c) Pia mater
Pia mater melekat erat pada permukaan korteks serebri. Pia mater adalah
membran vaskular yang dengan erat membungkus otak, meliputi gyri dan
masuk kedalam sulci yang paling dalam. Membran ini membungkus saraf
otak dan menyatu dengan epineuriumnya. Arteri-arteri yang masuk kedalam
substansi otak juga diliputi oleh pia mater.
170

2. Otak
Menurut Price (2005), otak terdiri dari 3 bagian, antara lain yaitu:
a) Cerebrum

Gambar 3. Lobus-lobus otak

Cerebrum atau otak besar terdiri dari dari 2 bagian, hemispherium serebri
kanan dan kiri. Setiap henispher dibagi dalam 4 lobus yang terdiri dari lobus
frontal, oksipital, temporal dan pariental. Yang masing-masing lobus
memiliki fungsi yang berbeda, yaitu:
1) Lobus frontalis
Lobus frontalis pada korteks serebri terutama mengendalikan keahlian
motorik misalnya menulis, memainkan alat musik atau mengikat tali
sepatu. Lobus frontalis juga mengatur ekspresi wajah dan isyarat tangan.
daerah tertentu pada lobus frontalis bertanggung jawab terhadap
aktivitas motoric tertentu pada sisi tubuh yang berlawanan. Efek
171

perilaku dari kerusakan lobus frontalis bervariasi, tergantung kepada


ukuran dan lokasi kerusakan fisik yang terjadi. Kerusakan yang kecil,
jika hanya mengenai satu sisi otak, biasanya tidak menyebabkan
perubahan perilaku yang nyata, meskipun kadang menyebabkan kejang.
Kerusakan luas yang mengarah ke bagian belakang lobus frontalis bisa
menyebabkan apati, ceroboh, lalai dan kadang inkontinensia. Kerusakan
luas yang mengarah ke bagian depan atau samping lobus frontalis
menyebabkan perhatian penderita mudah teralihkan, kegembiraan yang
berlebihan, suka menentang, kasar dan kejam.
2) Lobus parietalis
Lobus parietalis pada korteks serebri menggabungkan kesan dari bentuk,
tekstur dan berat badan ke dalam persepsi umum. Sejumlah kecil
kemampuan matematikan dan bahasa berasal dari daerah ini. Lobus
parietalis juga membantu mengarahkan posisi pada ruang di sekitarnya
dan merasakan posisi dari bagian tubuhnya. Kerusakan kecil di bagian
depan lobus parietalis menyebabkan mati rasa pada sisi tubuh yang
berlawanan. Kerusakan yang agak luas bisa menyebabkan hilangnya
kemampuan untuk melakukan serangkaian pekerjaan keadaan ini disebut
ataksia dan untuk menentukan arah kiri-kanan. Kerusakan yang luas bisa
mempengaruhi kemampuan penderita dalam mengenali bagian tubuhnya
atau ruang di sekitarnya atau bahkan bisa mempengaruhi ingatan akan
bentuk yang sebelumnya dikenal dengan baik misalnya, bentuk kubus
atau jam dinding. Penderita bisa menjadi linglung atau mengigau dan
tidak mampu berpakaian maupun melakukan pekerjaan sehari-hari
lainnya.
3) Lobus temporalis
Lobus temporalis mengolah kejadian yang baru saja terjadi menjadi dan
mengingatnya sebagai memori jangka panjang. Lobus temporalis juga
memahami suara dan gambaran, menyimpan memori dan mengingatnya
kembali serta menghasilkan jalur emosional. Kerusakan pada lobus
temporalis sebelah kanan menyebabkan terganggunya ingatan akan
172

suara dan bentuk. Kerusakan pada lobus temporalis sebelah kiri


menyebabkan gangguan pemahaman bahasa yang berasal dari luar
maupun dari dalam dan menghambat penderita dalam mengekspresikan
bahasanya. Penderita dengan lobus temporalis sebelah kanan yang non-
dominan, akan mengalami perubahan kepribadian seperti tidak suka
bercanda, tingkat kefanatikan agama yang tidak biasa, obsesif dan
kehilangan gairah seksual.
4) Lobus oksipital
Fungsinya untuk visual center. Kerusakan pada lobus ini otomatis akan
kehilangan fungsi dari lobus itu sendiri yaitu penglihatan.

b) Cerebellum
Terdapat dibagian belakang sophag menepati fosa serebri posterior dibawah
lapisan durameter. Cerebellum mempunyai aksi yaitu merangsang dan
menghambat serta mempunyai tanggunag jawab yang luas terhadap
koordinasi dan gerakan halus. Ditambah mengontrol gerakan yang benar,
keseimbangan posisi dan mengintegrasikan input sensori.

c) Brainstem
Batang otak terdiri dari otak tengah, pons dan sophag oblongata. Otak
tengah midbrain/ensefalon menghubungkan pons dan sereblum dengan
hemisfer sereblum. Bagian ini berisi jalur sensorik dan motorik, sebagai
pusat reflek pendengaran dan penglihatan. Pons terletak di depan serebelum
antara otak tengah dan sophag, serta merupakan jembatan antara 2 bagian
sereblum dan juga antara medulla dengan serebrum. Pons berisi jarak
sensorik dan motorik. Medula oblongata membentuk bagian inferior dari
batang otak, terdapat pusat-pusat otonom yang mengatur fungsi-fungsi vital
seperti pernafasan, frekuensi jantung, pusat muntah, tonus vasomotor, reflek
batuk dan bersin.

3. Syaraf-Syaraf Otak
173

Smeltzer (2001) mengatakan bahwa nervus kranialis dapat terganggu bila


trauma kepala meluas sampai batang otak karena edema otak atau pendarahan
otak. Kerusakan nervus yaitu:
a) Nervus Olfaktorius (Nervus Kranialis I)
Saraf pembau yang keluar dari otak dibawa oleh dahi, membawa rangsangan
aroma (bau-bauan) dari rongga hidung ke otak.
b) Nervus Optikus (Nervus Kranialis II)
Mensarafi bola mata, membawa rangsangan penglihatan ke otak.
c) Nervus Okulomotorius (Nervus Kranialis III)
Bersifat motoris, mensarafi otot-otot orbital (otot pengerak bola mata)
menghantarkan serabut-serabut saraf para simpati untuk melayani otot siliaris
dan otot iris.
d) Nervus Trokhlearis (Nervus Kranialis IV)
Bersifat motoris, mensarafi otot-otot orbital. Saraf pemutar mata yang
pusatnya terletak dibelakang pusat saraf penggerak mata.
e) Nervus Trigeminus (Nervus Kranialis V)
Sifatnya majemuk (sensoris motoris) saraf ini mempunyaitiga buah cabang.
Fungsinya sebagai saraf kembar tiga, saraf ini merupakan saraf otak besar,
sarafnya yaitu:
1) Nervus oftalmikus: sifatnya sensorik, mensarafi kulit kepala bagian depan
kelopak mata atas, selaput sopha kelopak mata dan bola mata.
2) Nervus maksilaris: sifatnya sensoris, mensarafi gigi atas, bibir atas,
palatum, batang hidung, ronga hidung dan sinus maksilaris.
3) Nervus mandibula: sifatnya majemuk (sensori dan motoris) mensarafi
otot-otot pengunyah. Serabut-serabut sensorisnya mensarafi gigi bawah,
kulit daerah temporal dan dagu.
f) Nervus Abducens (Nervus Kranialis VI)
Sifatnya motoris, mensarafi otot-otot orbital. Fungsinya sebagai saraf
penggoyang sisi mata.
g) Nervus Fasialis (Nervus Kranialis VII)
Sifatnya majemuk (sensori dan motori) serabut-serabut motorisnya mensarafi
174

otot-otot lidah dan selaput sopha ronga mulut. Di dalam saraf ini terdapat
serabut-serabut saraf otonom (parasimpatis) untuk wajah dan kulit
kepalafungsinya sebagai soph wajah untuk menghantarkan rasa pengecap.
h) Nervus Akustikus (Nervus Kranialis VIII)
Sifatnya sensori, mensarafi alat pendengar, membawa rangsangan dari
pendengaran dan dari telinga ke otak. Fungsinya sebagai saraf pendengar.
i) Nervus Glosofaringeus (Nervus Kranialis IX)
Sifatnya majemuk (sensori dan motoris) mensarafi faring, tonsil dan lidah,
saraf ini dapat membawa rangsangan cita rasa ke otak.
j) Nervus Vagus (Nervus Kranialis X)
Sifatnya majemuk (sensoris dan motoris) mengandung saraf-saraf motorik,
sensorik dan parasimpatis faring, laring, paru-paru, sophagus, gaster
intestinum minor, kelenjar-kelenjar pencernaan dalam abdomen. Fungsinya
sebagai saraf perasa.
k) Nervus Aksesorius (Nervus Kranialis XI)
Saraf ini mensarafi muskulus sternokleidomastoid dan muskulus trapezium,
fungsinya sebagai saraf tambahan.
l) Nervus Hipoglosus (Nervus Kranialis XII)
Saraf ini mensarafi otot-otot lidah, fungsinya sebagai saraf lidah. Saraf ini
terdapat di dalam sumsum penyambung.
175

gambar 4. saraf Kranial


A. DEFINISI
Cedera kepala adalah suatu kerusakan pada kepala bukan bersifat
congenital ataupun degenerative, tetapi disebabkan serangan/benturan fisik dari
luar yang dapat mengurangi atau mengubah kesadaran yang menimbulkan
kerusakan kemampuan kognitif dan fungsi fisik (Brain Injury Assosiation of
America, 2006). Sedangkan menurut Brunner dan Suddarth (2001), cedera
kepala adalah cedera yang terjadi pada kulit kepala, tengkorak dan otak.
Cedera kepala adalah kerusakan neurologi yang terjadi akibat adanya trauma
pada jaringan otak yang terjadi secara langsung maupun efek sekunder dari
trauma yang terjadi (Price, 2005).
Menurut Mansjoer (2000), trauma kepala diklasifikasikan menjadi
derajat berdasarkan nilai dari Glasgow Coma Scale ( GCS ) yang terdiri dari:
1. Cedera kepala ringan dengan nilai GCS 14 – 15
a) Pasien sadar, menuruti perintah tapi disorientasi.
b) Tidak ada kehilangan kesadaran
c) Tidak ada intoksikasi alkohol atau obat terlarang
d) Pasien dapat mengeluh nyeri kepala dan pusing
e) Pasien dapat menderita laserasi, hematoma kulit kepala
2. Cedera kepala sedang dengan nilai GCS 9 – 13
176

a) Pasien bisa atau tidak bisa menuruti perintah, namun tidak memberi
respon yang sesuai dengan pernyataan yang di berikan
b) Amnesia pasca trauma
c) Muntah
d) Tanda kemungkinan fraktur cranium (tanda Battle, mata rabun,
hemotimpanum, otorea atau rinorea cairan serebro spinal)
e) Kejang
f) Kehilangan kesadaran 10 - 15 menit
3. Cedera kepala berat dengan nilai GCS sama atau kurang dari 8.
a) Penurunan kesadaran sacara progresif
b) Tanda neorologis fokal
c) Cedera kepala penetrasi atau teraba fraktur depresi cranium
d) Kehilangan kesadaran lebih dari 24 jam
e) Disertai kontusio cerebral, laserasi, hematoma intrakrania
f) Perdarahan intrakranial dapat terjadi karena adanya pecahnya pembuluh
darah pada jaringan otak. Lokasi yang paling sering adalah lobus
frontalis dan temporalis. Lesi perdarahan dapat terjadi pada sisi benturan
(coup) atau pada sisi lainnya (countrecoup).

Gb 1. Perdarahan Intrakranial

B. EPIDEMIOLOGI
Kejadian cidera kepala di Amerika Serikat setiap tahunnya diperkirakan
mencapai 500.000 kasus, yang terdiri dari cidera kepala ringan sebanyak
296.678 orang (59,3%) , cidera kepala sedang sebanyak 100.890 orang
(20,17%) dan cidera kepala berat sebanyak 102.432 orang (20,4%).
177

Dari sejumlah kasus tersebut 10% penderitanya meninggal sebelum tiba


di Rumah Sakit. Angka kejadian cidera kepala di RSUD Dr. Moewardi dari
bulan Januari-Oktober 2012 sebanyak 453 kasus., sedangkan di IGD sendiri
berdasarkan kenyataan yang dilihat penulis selama praktek dari tanggal 2 Juli-
29 Juli 2012 (1 bulan) di RSUD Dr.Moewardi Surakarta terdapat 43 pasien
cidera kepala yang terdiri dari 29 ( 68,4%) laki-laki dan 14 (31,5%) perempuan
yang mengalami cedera kepala ringan sampai berat. Pasien dengan cidera
kepala ringan (CKR) sebanyak 21 (48,8%), cidera kepala sedang (CKS) 8
(18,6%) dan cidera kepala berat (CKB) 14 (32,5%). Cedera ini mayoritas
disebabkan oleh kecelakaan lalulintas.
C. ETIOLOGI
Cedera otak dapat disebabkan oleh trauma pada kepala akibat benda
tumpul dan benda tajam. Adapun mekanisme terjadinya cedera kepala
berdasarkan terjadinya benturan terbagi menjadi beberapa menurut Nurarif dan
Kusuma (2013), yaitu:
a. Cedera akselerasi
Jika objek bergerak menghantam kepala yang tidak bergerak (seperti kepala
tertembak peluru)
b. Cedera deselerasi
Kepala yang membentur objek diam (seperti kepala yang membentur kaca
mobil saat kecelakaan lalu lintas)
c. Cedera akselerasi-deselerasi
Terjadi pada kecelakaan bermotor dengan kekerasan fisik antara tubuh dan
kendaraan yang berjalan
d. Cedera coup-counter coup
Jika kepala terbentur dan menyebabkan otak bergerak dalam ruang
intracranial dan menyebabkan cedera pada area yang berlawanan dengan
yang terbentur dan area yang pertama terbentur
e. Cedera rotasional
178

Benturan yang menyebabkan otak berputar dalam rongga tengkorak, yang


mengakibatkan meregang dan robeknya pembuluh darah dan neuron yang
memfiksasi otak dengan bagian dalam tengkorak.

Gambar 3. Penyebab Cedera Kepala

D. TANDA DAN GEJALA


Tanda gejala yang muncul pada cidera kepala diantaranya gangguan
kesadaran, konfusi, abnormalitas pupil, perubahan tanda vital, kejang otot,
sakit kepala, kejang (Smeltzer dan Bare, 2002). Manifestasi klinis lain yang
biasa timbul pada kasus cedera kepala di antaranya :
a. Hilangnya kesadaran.
b. Perdarahan dibelakang membrane timpani
c. Ekimosis pada periorbital
d. Mual dan muntah.
e. Pusing kepala.
f. Terdapat hematom.
Bila fraktur mungkin adanya cairan serebrospinal yang keluar dari hidung
(rhinorrohea) dan telinga (otorhea) bila fraktur tulang temporal.

E. PATOFISIOLOGI
Berdasarkan patofisiologinya cedera kepala dapat digolongkan menjadi
2 proses yaitu cedera kepala primer dan cedera kepala sekunder. Cedera otak
primer adalah cedera yang terjadi saat atau bersamaan dengan kejadian trauma
dan merupakan suatu fenomena mekanik. Umumnya menimbulkan lesi
permanen. Tidak banyak yang bisa dilakukan kecuali membuat fungsi stabil,
179

sehingga sel-sel yang sedang sakit bisa mengalami proses penyembuhan yang
optimal. Cedera primer, yang terjadi pada waktu benturan, mungkin karena
memar pada permukaan otak, laserasi substansi alba, cedera robekan atau
hemoragi karena terjatuh, dipukul, kecelakaan dan trauma saat lahir yang bisa
mengakibatkan terjadinya gangguan pada seluruh sistem dalam tubuh.
Cedera otak sekunder merupakan hasil dari proses yang berkelanjutan
sesudah atau berkaitan dengan cedera primer dan lebih merupakan fenomena
metabolik sebagai akibat, cedera sekunder dapat terjadi sebagai kemampuan
autoregulasi serebral dikurangi atau tak ada pada area cedera. Cidera kepala
terjadi karena beberapa hal diantanya, bila trauma ekstrakranial akan dapat
menyebabkan adanya leserasi pada kulit kepala selanjutnya bisa perdarahan
karena mengenai pembuluh darah. Karena perdarahan yang terjadi terus-
menerus dapat menyebabkan hipoksia, hiperemi peningkatan volume darah
pada area peningkatan permeabilitas kapiler, serta vasodilatasi arterial, semua
menimbulkan peningkatan isi intrakranial, dan akhirnya peningkatan tekanan
intrakranial (TIK), adapun, hipotensi namun bila trauma mengenai tulang
kepala akan menyebabkan robekan dan terjadi perdarahan juga. Cidera kepala
intrakranial dapat mengakibatkan laserasi, perdarahan dan kerusakan jaringan
otak bahkan bisa terjadi kerusakan susunan syaraf kranial terutama motorik
yang mengakibatkan terjadinya gangguan dalam mobilitas.

F. KOMPLIKASI
Komplikasi yang dapat terjadi pada cedera kepala menurut Smeltzer &
Bare (2002) adalah:
a. Perluasan hematoma intracranial
b. Edema serebral dan herniasi, edema serebral adalah penyebab paling
umum dari peningkatan tekanan intracranial pada pasien yang mendapat
cedera kepala, puncak pembengkakan yang terjadi pada cedera kepala
kurang lebih 72 jam pasaca cedera. Tekanan intrkranial meningkat akibat
ketidakmampuan tengkorak untuk membesar meskipun peningkatan
volume oleh pembengkakan otak akibat trauma. Tekanan intrakranial
dinilai berbahaya jika peningkatan hingga 15 mmHg. Akibat dari
180

peningkatan TIK dan edema adalah penyebaran tekanan pada jaringan otak
dan struktur internal otak yang kaku. Bergantung pada area
pembengkakan, perubahan posisi ke bawah atau lateral otak (herniasi)
melalui atau terhadap struktur kakau akan mengakibatkan iskemia, infark,
kerusakan otak ireversibel dan kematian.
Sedangkan komplikasi yang sering dijumpai dan berbahaya menurut
(Markam, 1999) pada cedera kepala meliputi :
a. Koma
Penderita tidak sadar dan tidak memberikan respon disebut koma. Pada
situasi ini secara khas berlangsung hanya beberapa hari atau minggu, setelah
masa ini penderita akan terbangun, sedangkan beberapa kasus lainnya
memasuki vegetatife state. Walaupun demikian penderita masih tidak sadar
dan tidak menyadari lingkungan sekitarnya. Penderita pada vegetatife state
lebih dari satu tahun jarang sembuh.
b. Kejang/Seizure
Penderita yang mengalami cedera kepala akan mengalami sekurang-
kurangnya sekali kejang pada masa minggu pertama setelah cedera.
Meskipun demikian, keadaan ini berkembang menjadi epilepsy.
c. Infeksi
Fraktur tulang tengkorak atau luka terbuka dapat merobekkan membran
(meningen) sehingga kuman dapat masuk infeksi meningen ini biasanya
berbahaya karena keadaan ini memiliki potensial untuk menyebar ke system
saraf yang lain.
d. Hilangnya kemampuan kognitif.
Berfikir, akal sehat, penyelesaian masalah, proses informasi dan memori
merupakan kemampuan kognitif. Banyak penderita dengan cedera kepala
mengalami masalah kesadaran.
e. Penyakit Alzheimer dan Parkinson.
Pada khasus cedera kepala resiko perkembangan terjadinya penyakit
Alzheimer tinggi dan sedikit terjadi Parkinson. Resiko akan semakin tinggi
tergantung frekuensi dan keparahan cedera.

G. PENATALAKSANAAN
a) Perawatan sebelum ke Rumah Sakit
181

1. Stabilisasi terhadap kondisi yang mengancam jiwa dan lakukan terapi


suportif dengan mengontrol jalan nafas dan tekanan darah.
2. Berikan O2 dan monitor
3. Berikan cairan kristaloid untuk menjaga tekanan darah sistolik tidak
kurang dari 90 mmHg.
4. Pakai intubasi, berikan sedasi dan blok neuromuskuler
5. Stop makanan dan minuman
6. Imobilisasi
7. Kirim kerumah sakit.
b) Perawatan di bagian Emergensi
1. Pasang oksigen (O2), monitor dan berikan cairan kristaloid untuk
mempertahankan tekanan sistolik diatas 90 mmHg.
2. Pakai intubasi, dengan menggunakan premedikasi lidokain dan obat-
obatan sedative misalnya etomidate serta blok neuromuskuler. Intubasi
digunakan sebagai fasilitas untuk oksigenasi, proteksi jalan nafas dan
hiperventilasi bila diperlukan.
3. Elevasikan kepala sekitar 30O setelah spinal dinyatakan aman atau
gunakan posis trendelenburg untuk mengurangi tekanan intra kranial dan
untuk menambah drainase vena.
4. Berikan manitol 0,25-1 gr/ kg iv. Bila tekanan darah sistolik turun sampai
90 mmHg dengan gejala klinis yang berkelanjutan akibat adanya
peningkatan tekanan intra kranial.
5. Hiperventilasi untuk tekanan parsial CO2 (PCO2) sekitar 30 mmHg
apabila sudah ada herniasi atau adanya tanda-tanda peningkatan tekanan
intrakranial (ICP).
6. Berikan phenitoin untuk kejang-kejang pada awal post trauma, karena
phenitoin tidak akan bermanfaat lagi apabila diberikan pada kejang
dengan onset lama atau keadaan kejang yang berkembang dari kelainan
kejang sebelumnya.
c) Terapi obat-obatan:
182

1. Gunakan Etonamid sebagai sedasi untuk induksi cepat, untuk


mempertahankan tekanan darah sistolik, dan menurunkan tekanan
intrakranial dan metabolisme otak. Pemakaian tiophental tidak
dianjurkan, karena dapat menurunkan tekanan darah sistolik. Manitol
dapat digunakan untuk mengurangi tekanan intrakranial dan
memperbaiki sirkulasi darah. Phenitoin digunakan sebagai obat
propilaksis untuk kejang – kejang pada awal post trauma. Pada beberapa
pasien diperlukan terapi cairan yang cukup adekuat yaitu pada keadaan
tekanan vena sentral (CVP) > 6 cmH 2O, dapat digunakan norephinephrin
untuk mempertahankan tekanan darah sistoliknya diatas 90 mmHg.
2. Diuretik Osmotik
Misalnya Manitol : Dosis 0,25-1 gr/ kg BB iv. Kontraindikasi pada
penderita yang hipersensitiv, anuria, kongesti paru, dehidrasi, perdarahan
intrakranial yang progreasiv dan gagal jantung yang progresiv. Fungsi :
Untuk mengurangi edema pada otak, peningkatan tekanan intrakranial,
dan mengurangi viskositas darah, memperbaiki sirkulasi darah otak dan
kebutuhan oksigen.
3. Antiepilepsi
Misalnya Phenitoin : Dosis 17 mg/ kgBB iv, tetesan tidak boleh
berlebihan dari 50 (Dilantin) mg/menit. Kontraindikasi; pada penderita
hipersensitif, pada penyakit dengan blok sinoatrial, sinus bradikardi, dan
sindrom Adam-Stokes. Fungsi : Untuk mencegah terjadinya kejang pada
awal post trauma.
d) Terapi yang perlu diperhatikan
1. Airway dan Breathing
Perhatikan adanya apneu. Penderita mendapat ventilasi dengan oksigen
100% sampai diperoleh AGD dan dapat dilakukan penyesuaian yang
tepat terhadap FiO2. Tindakan hiperventilasi dilakukan hati-hati untuk
mengoreksi asidosis dan menurunkan secara cepat TIK pada penderita
dengan pupil yang telah berdilatasi. PCO2 harus dipertahankan antara
25-35 mmhg.
183

2. Circulation
Hipotensi dan hipoksia adalah merupakan penyebab utama terjadinya
perburukan pada cedera otak sedang. Hipotensi merupakan petunjuk
adanya kehilangan darah yang cukup berat, walaupun tidak tampak. Jika
terjadi hipotensi maka tindakan yang dilakukan adalah menormalkan
tekanan darah. Lakukan pemberian cairan untuk mengganti volume yang
hilang sementara penyebab hipotensi dicari.
3. Disability (pemeriksaan neurologis)
Pada penderita hipotensi pemeriksaan neurologis tidak dapat dinilai
sebagai data akurat, karena penderita hipotensi yang tidak menunjukkan
respon terhadap stimulus apapun, ternyata menjadi normal kembali
segera tekanan darahnya normal. Pemeriksaan neurologis meliputi
pemeriksaan GCS dan reflek cahaya pupil. GCS diukur untuk menilai
respon pasien yang menunjukkan tingkat kesadaran pasien. GCS didapat
dengan berinteraksi dengan pasien, secara verbal atau dengan rangsang
nyeri pada pangkal kuku atau anterior ketiak. Pada pasien dengan cedera
otak sedang perlu dilakukan pemeriksaan GCS setiap setengah jam sekali
idealnya. Untuk mendapatkan keseragaman dari penilaian tingkat
kesadaran secara kwantitatif (yang sebelumnya tingkat kesadaran diukur
secara kwalitas seperti apatis, somnolen dimana pengukuran seperti ini
didapatkan hasil yang tidak seragam antara satu pemeriksaan dengan
pemeriksa yang lain) maka dilakukan pemeriksaan dengan skala
kesadaran secara glasgow, ada 3 macam indikator yang diperiksa yaitu
reaksi membuka mata, reaksi verbal, reaksi motorik.
184

Glasgow Coma Scale Nilai


Respon membuka mata (E)
Buka mata spontan 4
Buka mata bila dipanggil/rangsangan suara 3
Buka mata bila dirangsang nyeri 2
Tak ada reaksi dengan rangsangan apapun 1
Respon verbal (V)
Komunikasi verbal baik, jawaban tepat 5
Bingung, disorientasi waktu, tempat, dan orang 4
H.
Kata-kata tidak teratur 3
Suara tidak jelas 2
Tak ada reaksi dengan rangsangan apapun 1
Respon motorik (M)
Mengikuti perintah 6
Dengan rangsangan nyeri, dapat mengetahui tempat rangsangan 5
Dengan rangsangan nyeri, menarik anggota badan 4
Dengan rangsangan nyeri, timbul reaksi fleksi abnormal 3
Dengan rangsangan nyeri, timbul reaksi ekstensi abnormal 2
Dengan rangsangan nyeri, tidak ada reaksi 1
PEMERIKSAAN PENUNJANG
1) CT-Scan
Mengidentifikasi adanya hemorragic, ukuran ventrikuler, infark pada
jaringan mati.
2) Foto tengkorak atau cranium
Untuk mengetahui adanya fraktur pada tengkorak.
3) MRI (Magnetic Resonan Imaging)
Gunanya sebagai penginderaan yang mempergunakan gelombang
elektomagnetik.
4) Laboratorium Kimia darah
Mengetahui ketidakseimbangan elektrolit
Kadar Elektrolit : Untuk mengkoreksi keseimbangan elektrolit sebagai
akibat peningkatan tekanan intrkranial
Screen Toxicologi: Untuk mendeteksi pengaruh obat sehingga
menyebabkan penurunan kesadaran.
5) Cerebral Angiography
185

Menunjukan anomali sirkulasi cerebral, seperti : perubahan jaringan otak


sekunder menjadi udema, perdarahan dan trauma.
6) Serial EEG
Dapat melihat perkembangan gelombang yang patologis
7) X-Ray
Mendeteksi perubahan struktur tulang (fraktur), perubahan struktur garis
(perdarahan/edema), fragmen tulang.
8) BAER: Mengoreksi batas fungsi corteks dan otak kecil
9) PET: Mendeteksi perubahan aktivitas metabolisme otak
10) CSF, Lumbal Punksi :Dapat dilakukan jika diduga terjadi perdarahan
subarachnoid.
11) ABGs: Mendeteksi keberadaan ventilasi atau masalah pernapasan
(oksigenisasi) jika terjadi peningkatan tekanan intracranial

I. Konsep EDH
a) Pengertian
Epidural hematom adalah salah satu akibat yang ditimbulkan dari sebuah
traumakepala (Andrews, 2000). Epidural hematom (EDH) adalah perdarahan yang
terbentuk di ruang potensial antara tabula interna dan duramater. Paling sering
terletak diregio temporal atau temporalparietal dan sering akibat robeknya
pembuluh meningeal media. Perdarahan biasanya dianggap berasal arterial,
namun mungkin sekunder dari perdarahan vena pada 1/3 kasus (Agamanolis,
2003). Kadang-kadang, hematoma epidural mungkin akibat robeknya sinus vena,
terutama diregio parietal-oksipital atau fossa posterior (Vacca 2007, dalam
Smeltzer & Bare, 2010) . Epidural hematom adalah hematom/perdarahan yang
terletak antara durameterdan tubula interna/lapisan bawah tengkorak, dan
sering terjadi pada lobustemporal dan paretal (Smeltzer & Bare, 2010).
Epidural hematom sebagai keadaan neurologis yang bersifat emergency dan
biasanya berhubungan dengan linear fraktur yang memutuskan arteri yang lebih
besar, sehingga menimbulkan perdarahan (Japardi, 2004).
186

Gambar 4. Epidural Hematom


Walau hematoma epidural relatif tidak terlalu sering (0.5% dari
keseluruhan atau 9% dari pasien koma cedera kepala) harus selalu diingat saat
menegakkan diagnosis dan ditindak segera. Bila ditindak segera, prognosis
biasanya baik karena cedera otak disekitarnya biasanya masih terbatas. Outcome
langsung bergantung pada status pasien sebelum operasi. Mortalitas dari
hematoma epidural sekitar 0% pada pasien tidak koma, 9% pada pasien obtundan,
dan 20% pada pasien koma dalam (Agamanolis, 2003).

b) Etiologi
Epidural hematom terjadi karena laserasi atau robekan pembuluh darah yang
ada diantara durameter dan tulang tengkorak akibat benturan yang menyebabkan
fraktur tengkorak seperti kecelakaan kendaraan dan trauma (Japardi,
2004). Perdarahan biasanya bersumber dari robeknya arteri meningica
media (paling sering), vena diploica (karena fraktur kalvaria), vena emmisaria,
dan sinus venosus duralis.

c) Tanda dan Gejala


Tanda dan gejala yang biasanya dijumpai pada orang yang menderita epidural
hematom diantaranya adalah mengalami “lucid interval” , yaitu selang
waktu antara pasien masih sadar setelah kejadian trauma kranioserebral, tekanan
darah yang semakin bertambah tinggi, nadi semakin bertambah lambat, sakit
kepala yang semakin hebat, disertai dengan penurunan kesadaran yang terjadi
187

kemudian (Jennet, 2007 dalam Soertidewi, 2012). Biasanya waktu perubahan


kesadaran ini kurang dari 24 jam, terjadi penurunan kesadaran dengan penilaian
GCS sampai koma secara mendadak dalam kurun waktu beberapa jam hingga 1-2
hari.
Menurut Smetlzer & Bare (2010) ketika kompensasi CSF terhadap hematoma
gagal maka terjadi peningkatan tekanan intrakranial sehingga mengakibatkan
sindrom herniasi uncal dengan gejala pasien semakin, gelisah, sampai koma.
Nyeri kepala semakin hebat disertai muntah proyektik, defisit neurologis (dilatasi
pupil yang ipsilateral, kelumpuhan ekstremitas/hemiparesis).
Selain itu tanda gejala epidural hematome menurut Evans (2006) antara lain:
keluarnya darah yang bercampur CSS dari hidung (rinorea) dan telinga
(othorea), refleks patologis Babinski positif kontralateral terjadi terlambat pada
sisi yang mengalami lesi, susah bicara, mual, pernafasan dangkal dan cepat
kemudian irregular, suhu meningkat, funduskopi dapat memperlihatkan papil
edema (setelah 6 jam kejadian), dan foto rontgen menunjukan garis fraktur yang
jalannya melintang dengan jalan arteri meningeamedia atau salah satu cabangnya.
Pada gambaran CT scan kepala, didapatkan lesi hiperdens (gambaran darah
intrakranial) umumnya di daerah temporal berbentuk cembung. (Andrews, 2000
dalam Soertidewi, 2012).

d) Patofisiologi
Epidural hematom secara khas timbul sebagai akibat dari sebuah luka atau
trauma atau fraktur pada kepala yang menyebabkan laserasi pada pembuluh darah
arteri, khususnya arteri meningea media dimana arteri ini berada diantara
durameter dan tengkorak daerah temporal. Rusaknya arteri menyebabkan
perdarahan yang memenuhi epidural. Apabila perdarahan terus mendesak
durameter, maka darah akan memotong atau menjauhkan daerah durameter
dengan tengkorak, hal ini akan memperluas hematoma. Perluasan hematom
akan menekan hemisfer otak dibawahnya yaitu lobus temporal ke dalam dan
ke bawah. Seiring terbentuknya hematom maka akan memberikan efek yang
cukup berat yakni isi otak akan mengalami herniasi. Herniasi menyebabkan
penekanan saraf yang ada dibawahnya seperti medulla oblongata yang
188

menyebabkan terjadinya penurunan hingga hilangnya kesadaran. Pada bagian


ini terdapat nervus okulomotor yang menekan saraf sehingga menyebabkan
peningkatan TIK, akibatnya terjadi penekanan saraf yang ada diotak (Japardi,
2004).

e) Komplikasi
Komplikasi yang sering dijumpai dan berbahaya menurut pada cedera
kepala meliputi :
f. Koma
Penderita tidak sadar dan tidak memberikan respon disebut koma. Pada
situasi ini secara khas berlangsung hanya beberapa hari atau minggu,
setelahmasa ini penderita akan terbangun, sedangkan beberapa kasus
lainnya memasuki vegetatife state. Walaupun demikian penderita masih
tidak sadar dan tidak menyadari lingkungan sekitarnya. Penderita pada
vegetatife state lebih dari satu tahun jarang sembuh.
g. Kejang
Penderita yang mengalami cedera kepala akan mengalami sekurang-
kurangnya sekali kejang pada masa minggu pertama setelah cedera.
Meskipun demikian, keadaan ini berkembang menjadi epilepsy
h. Infeksi
Fraktur tulang tengkorak atau luka terbuka dapat merobekkan membran
(meningen) sehingga kuman dapat masuk infeksi meningen ini biasanya
189

berbahaya karena keadaan ini memiliki potensial untuk menyebar ke system


saraf yang lain.
i. Hilangnya kemampuan kognitif.
Berfikir, akal sehat, penyelesaian masalah, proses informasi dan memori
merupakan kemampuan kognitif. Banyak penderita dengan cedera kepala
mengalami masalah kesadaran.
j. Penyakit Alzheimer dan Parkinson.
Pada khasus cedera kepala resiko perkembangan terjadinya penyakit
Alzheimer tinggi dan sedikit terjadi Parkinson. Resiko akan semakin tinggi
tergantung frekuensi dan keparahan cedera.

f) Pemeriksaan penunjang
Pemeriksaan klinis pada pasien cedera kepala secara umum meliputi
anamnesis, pemeriksaan fisik umum, pemeriksaan neurologis dan pemeriksaan
radiologis. Pada anamnesis informasi penting yang harus ditanyakan adalah
mekanisme trauma. Pada pemeriksaan fisik secara lengkap dapat dilakukan
bersamaan dengan secondary survey. Pemeriksaan meliputi tanda vital dan sistem
organ. Penilaian GCS awal saat penderita datang ke rumah sakit sangat penting
untuk menilai derajat kegawatan cedera kepala. Pemeriksaan neurologis, selain
pemeriksaan GCS, perlu dilakukan lebih dalam, mencakup pemeriksaan fungsi
batang otak, saraf kranial, fungsi motorik, fungsi sensorik, dan refleks-refleks.
190

J. CLINICAL PATHWAY
Non Trauma Trauma

Ekstra kranial Post pembedahan Intra kranial


Tulang kranial
Pelepasan mediator nyeri
Terputusnya kontinuitas jaringan kulit, otot, dan (histamine, prostaglandin, Jaringan otak rusak
vaskuler bradikinin, serotonin, dll) (kontusio laserasi)

Perdarahan Gangguan suplai Port the entry - Perubahann autoregulasi


Ditangkap reseptor nyeri
darah - Oedem serebral
perifer
Risiko Perubah Risiko infeksi
syok an Iskemia Kejang
sirkulasi Impuls ke otak
Kerusakan memori
CSS
Hipoksia Gangguan jalan nafas
Presepsi Gangguan neurologis
ketidakefektifan
nyeri vokal
Peningkatan TIK - Mual perfusi jaringan
- Papilodema Obstruksi jalan nafas
otak
- Pandangan Defisit neurologis
Gilus medialis lobus Nyeri
kabur Ketidakefektifan bersihan
temporalis tergeser - Penurunan Risiko kekurangan akut jalan nafas
volume cairan Gangguan persepsi
fungsi
pendengaran sensori
Herniasi unkus - Nyeri kepala

Mesenfalon tertekan Risiko cidera Tonsil cerebrum bergeser Kompresi medula oblongata

Gangguan kesadaran Imobilisasi Hambatan mobilitas fisik Supine terlalu lama Kerusakan
integritas kulit
Tirah baring lama
191

K. ASUHAN KEPERAWATAN

a. Pengkajian
Data dasar pengkajian pasien tergantung tipe, lokasi dan keparahan cedera
meliputi :
Data yang perlu dikaji
1. Identitas klien meliputi:
a) Nama
b) Umur: EDH biasanya sering terjadi pada usia produktif
dihubungkan enganangka kejadian kecelakaan yang rata-rata sering
dialami oleh usia produktif
c) Jenis kelamin: EDH dapat terjadi baik pada laki-laki maupun
perempuan
d) Agama
e) Pendidikan
f) Alamat
g) Pekerjaan
h) Status perkawinan
2. Riwayat kesehatan:
a) Diagnosa medis,
b) Keluhan utama: keluhan utama biasanya nyeri kepala setelah
kecelakaan, dapat menjadi lucid interval (kehilangan kesadaran
secara mendadak) ketika EDH tidak ditangani dengan segera.
c) Riwayat penyakit sekarang berisi tentang kejadian yang
mencetuskan EDH, kondisi paseien saat ini serta uapaya yang
sudah dilakukan pada pasien.
d) Riwayat kesehatan terdahulu terdiri dari penyakit yang pernah
dialami seperti DM atau hipertensi, alergi, imunisasi,
kebiasaan/pola hidup, obat-obatan yang digunakan, riwayat
penyakit keluarga
3. Genogram
4. Pengkajian Keperawatan (11 pola Gordon)
5. Pemeriksaan fisik
a) Keadaan umum, tanda vital, pemeriksaan head to toe, pemeriksaan
GCS
b) Breathing
Kompresi pada batang otak akan mengakibatkan gangguan irama
jantung, sehingga terjadi perubahan pada pola napas, kedalaman,
frekuensi maupun iramanya, bisa berupa Cheyne Stokes atau
Ataxia breathing. Napas berbunyi, stridor, ronkhi, wheezing
192

(kemungkinana karena aspirasi), cenderung terjadi peningkatan


produksi sputum pada jalan napas.
c) Blood
Efek peningkatan tekanan intrakranial terhadap tekanan darah
bervariasi. Tekanan pada pusat vasomotor akan meningkatkan
transmisi rangsangan parasimpatik ke jantung yang akan
mengakibatkan denyut nadi menjadi lambat, merupakan tanda
peningkatan tekanan intrakranial. Perubahan frekuensi jantung
(bradikardia, takikardia yang diselingi dengan bradikardia,
disritmia).
d) Brain
Gangguan kesadaran merupakan salah satu bentuk manifestasi
adanya gangguan otak akibat cidera kepala. Kehilangan kesadaran
sementara, amnesia seputar kejadian, vertigo, sinkope, tinitus,
kehilangan pendengaran, baal pada ekstrimitas. Bila perdarahan
hebat/luas dan mengenai batang otak akan terjadi gangguan pada
nervus cranialis, maka dapat terjadi :
a) Perubahan status mental (orientasi, kewaspadaan, perhatian,
konsentrasi, pemecahan masalah, pengaruh emosi/tingkah laku
dan memori).
b) Perubahan dalam penglihatan, seperti ketajamannya, diplopia,
kehilangan sebagian lapang pandang, foto fobia.
c) Perubahan pupil (respon terhadap cahaya, simetri), deviasi
pada mata.
d) Terjadi penurunan daya pendengaran, keseimbangan tubuh.
e) Sering timbul hiccup/cegukan oleh karena kompresi pada
nervus vagus menyebabkan kompresi spasmodik diafragma.
f) Gangguan nervus hipoglosus. Gangguan yang tampak lidah
jatuh kesalah satu sisi, disfagia, disatria, sehingga kesulitan
menelan.
Pengkajian saraf kranial :
Pengkajian saraf kranial yang ditemui pada Epidural Hematom :
1) Saraf I : klien akan mengalami gangguan penciuman/anosmia
unilateral dan bilateral
193

2) Saraf II : klien yang mengalami hematom palpebra akan


mengalami penurunan lapang pandang dan mengganggu fungsi
saraf optikus
3) Saraf III, IV, dan VI : klien mengalami gangguan anisokoria
4) Saraf V : klien mengalami gangguan koordinasi kemampuan
dalam mengunyah
5) Saraf VII : persepsi pengecapan mengalami perubahan
6) Saraf VIII ; pendengaran mengalami perubahan
7) Saraf IX dan X : kemampuan menelan kurang baik dan kesulitan
dalam membuka mulut
8) Saraf XI : klien tidak mampu mobilisasi
9) Saraf XII : indra pengecapan mengalami perubahan
e) Blader
Pada cidera kepala sering terjadi gangguan berupa retensi,
inkontinensia uri, ketidakmampuan menahan miksi.
f) Bowel
Terjadi penurunan fungsi pencernaan: bising usus lemah, mual,
muntah (mungkin proyektil), kembung dan mengalami perubahan
selera. Gangguan menelan (disfagia) dan terganggunya proses
eliminasi alvi.
g) Bone
Pasien cidera kepala sering datang dalam keadaan parese, paraplegi.
Pada kondisi yang lama dapat terjadi kontraktur karena imobilisasi
dan dapat pula terjadi spastisitas atau ketidakseimbangan antara otot-
otot antagonis yang terjadi karena rusak atau putusnya hubungan
antara pusat saraf di otak dengan refleks pada spinal selain itu dapat
pula terjadi penurunan tonus otot.

b. Diagnosa Keperwatan
Pre op
1. Ketidakefektifan perfusi jaringan otak berhubungan dengan penurunan
aliran darah ke otak
2. Nyeri akut berhubungan dengan terputusnya kontinuitas jaringan,
penekanan reseptor nyeri
3. Ketidakefektifan bersihan jalan napas berhubungan dengan akumulasi
sekret
4. Resiko cedera berhubungan dengan penurunan kesadaran
194

Post op
1. Ketidakefektifan perfusi jaringan otak berhubungan dengan penurunan
aliran darah ke otak
2. Ketidakefektifan pola nafas berhubungan dengan kerusakan
neuromuskuler,
3. Nyeri akut berhubungan dengan terputusnya kontinuitas jaringan,
penekanan reseptor nyeri
4. Ketidakefektifan bersihan jalan napas berhubungan dengan akumulasi
secret
5. Resiko cedera berhubungan dengan penurunan kesadaran
6. Resiko kerusakan integritas kulit berhubuingan dengan imobilisasi dalam
waktu yang lama
195

c. Implementasi

No. Diagnosa Tujuan Intervensi Rasional


1. Gangguan NOC: Tissue Perfusion: NIC: 1. Mengetahui status sirkulasi
Circulatory Precaution
perfusi jaringan Cerebral perifer dan adanya kondisi
1. Kaji sirkulasi perifer secara
serebral Kriteria hasil: abnormal pada tubuh
komprehensif (nadi perifer, edema, 2. Mengetahui adanya
berhubungan 1. Menunjukkan perfusi
CRT, warna, dan suhu ekstremitas) perubahan akibat gangguan
dengan jaringan membaik TD
2. Kaji kondisi ekstremitas meliputi sirkulasi perifer
penurunan dalam batas normal,
3. Menghindari cedera untuk
kemerahan, nyeri, atau pembengkakan
aliran darah ke tidak ada keluhan sakit
meminimalkan luka
3. Hindarkan cedera pada area dengan
otak kepala. 4. Posisi trendelenberg akan
perfusi yang minimal
2. Tanda-tanda vital stabil meningkatkan TIK sehingga
4. Hindarkan klien dari posisi
3. Tidak menunjukkan memperparah kondisi klien
trendelenberg yang meningkatkan TIK 5. Mengurangi penekanan agar
adanya gangguan
5. Hindarkan adanya penekanan pada perfusi tidak terganggu
perfusi meliputi
6. Obat-obatan untuk
area cedera
disorientasi,
meningkatkan sattus perfusi
6. Pertahankan cairan dan obat-obatan
kebingungan, maupun 7. Mengurangi kecemasan
sesuai program
nyeri kepala keluarga
7. Health education tentang keadaan dan 8. Membantu mempercepat
kondisi pasien kepada keluarga kesembuhan klien
8. Kolaborasi pemberian terapi
medikamentosa
2. Ketidakefektifa Respiratory status : Respiratory monitoring 1. Mengetahui kondisi
1. Monitor kecepatan, frekuensi,
n pola nafas Ventilation pernapasan pasien
kedalaman dan kekuataan ketika 2. Mengetahui keadaaan paru dan
berhubungan Status sistem pernapasan :
pasien bernapas jantung pasien
dengan ventilasi
2. Monitor hasil pemeriksaan rontgen 3. Mengetahui suara napas pasien
kerusakan Pola napas pasien adekuat 4. Mengetahui kondisi pasien
dada
neuromuskuler ditandai dengan: 3. Monitor suara napas pasien untuk menentukan intervensi
1. Pasien bernapas tanpa 4. Kaji dan pantau adanya perubahan
selanjutnya sesuai indikasi
kesulitan dalam pernapasan 5. Untuk memantau kondisi
2. Menunjukkan perbaikan 5. Monitor sekret yang dikeluarkan oleh
pasien (suara napas pasien)
pernapasan pasien
untuk menentukan intervensi
3. Paru-paru bersih pada
6. Health education tentang keadaan
sesuai indikasi
pemeriksaan auskultasi
dan kondisi pasien kepada keluarga 6. Mengurangi kecemasan
4. Kadar PO2 dan PCO2
7. Kolaborasi pemberian terapi keluarga
dalam batas normal
7. Membantu penyembuhan klien
medikamentosa
3 Ketidakefektifa NOC : NIC :
n bersihan jalan 1. Respiratory status : Airway suction
napas Ventilation 1. Pastikan kebutuhan oral / tracheal 1. Menjaga kebersihan oral
berhubungan 2. Respiratory status : suctioning mencegah penumpukan
dengan Airway patency 2. Auskultasi suara nafas sebelum dan sputum
akumulasi 3. Aspiration Control sesudah suctioning. 2. Mengetahui ada tidaknya
sekret Kriteria Hasil : 3. Informasikan pada klien dan keluarga sputum
1. Mendemonstrasikan tentang suctioning 3. Informed consent tindakan
batuk efektif dan suara 4. Minta klien nafas dalam sebelum 4. Menampung O2 sebagai
nafas yang bersih, tidak suction dilakukan. cadangan
ada sianosis dan dyspneu 5. Berikan O2 dengan menggunakan 5. O2 masih ada untuk
(mampu mengeluarkan nasal untuk memfasilitasi suksion pernapasan
sputum, mampu bernafas nasotrakeal 6. Mencegah infeksi
dengan mudah, tidak ada 6. Gunakan alat yang steril setiap 7. Memberikan waktu pasien
pursed lips) melakukan tindakan untuk istirahat
2. Menunjukkan jalan 7. Anjurkan pasien untuk istirahat dan 8. Mengetahui status oksigen
nafas yang paten (klien napas dalam setelah kateter pasien
tidak merasa tercekik, dikeluarkan dari nasotrakeal 9. Mencegah hipoksia yang
irama nafas, frekuensi 8. Monitor status oksigen pasien berlebihan
pernafasan dalam 9. Hentikan suction dan berikan oksigen
rentang normal, tidak apabila pasien menunjukkan
ada suara nafas bradikardi, peningkatan saturasi O2,
abnormal) dll.
3. Mampu Airway Management
mengidentifikasikan dan 1. Buka jalan nafas, guanakan teknik 1. Membuat jalan napas paten
mencegah factor yang chin lift atau jaw thrust bila perlu 2. Memposisikan yang nyaman
dapat menghambat jalan 2. Posisikan pasien untuk untuk ventilasi
nafas memaksimalkan ventilasi 3. Mengetahui status respirasi
3. Identifikasi pasien perlunya pasien adekuat atau tidak
pemasangan alat jalan nafas buatan 4. Membantu jalan napas supaya
4. Pasang mayo bila perlu paten
5. Lakukan fisioterapi dada jika perlu 5. Membantu mengeluarkan
6. Keluarkan sekret dengan batuk atau sputum
suction 6. Mencegah penumpukan
7. Auskultasi suara nafas, catat adanya sputum didalam paru
suara tambahan 7. Mengetahui adanya suara
8. Lakukan suction pada mayo tambahan
9. Berikan bronkodilator bila perlu 8. Mencegah jalan napas tidak
10. Berikan pelembab udara kassa basah buntu
NaCl lembab 9. Vasodilatasi paru
11. Atur intake untuk cairan 10. Mencegah gesekan yang
mengoptimalkan keseimbangan. berlebihan
12. Monitor respirasi dan status O2 11. Menjaga balance cairan
12. Mengetahui status oksigen
pasien
4 Ketidakseimba NOC : NIC :
ngan 1. Nutritional Status : Nutrition Management
pemenuhan Food and Fluid Intake 1. Pasang pipa lambung sesuai indikasi, 1. Memenuhi kebuthan nutrisi
kebutuhan Kriteria Hasil : periksa posisi pipa lambung setiap pasien
nutrisi kurang 1. Adanya peningkatan akan memberikan makanan 2. Untuk mencegah terjadinya
dari kebutuhan berat badan sesuai 2. Tinggikan bagian kepala tempat tidur regurgitasi dan aspirasi
tubuh dengan tujuan setinggi 30 derajat 3. Mengetahui jumlah intake
berhubungan 2. Berat badan ideal sesuai 3. Catat makanan yang masuk harian pasien
dengan dengan tinggi badan 4. Kaji cairan gaster, muntahan 4. Mengetahui adanya tidaknya
penurunan 3. Mampu mengidentifikasi 5. Health education tentang diet dengan perdarahan gastrointestinal
kesadaran kebutuhan nutrisi keluarga 5. Meningkatkan pengetahuan
4. Tidak ada tanda tanda 6. Kolaborasi dengan ahli gizi dalam keluarga
malnutrisi pemberian diet yang sesuai dengan 6. Memenuhi kebutuhan nutrisi
5. Tidak terjadi penurunan kondisi pasien harian pasien
berat badan yang berarti
5. Nyeri akut NOC : NIC : a. Membantu dalam menentukan
berhubungan - Pain level Pain Management status nyeri pasien dan
dengan - Pain control a. Kaji karakteristik pasien secara menjadi data dasar untuk
- Comfort level
terputusnya PQRST intervensi dan monitoring
Kriteria hasil: b. Lakukan manajemen nyeri sesuai skala
kontinuitas keberhasilan intervensi
a. Mampu mengontrol nyeri misalnya pengaturan posisi b. Meningkatkan rasa nyaman
jaringan
nyeri (tahu penyebab fisiologis dengan mengurangi sensasi
c. Ajarkan teknik relaksasi seperti nafas
nyeri, mampu tekan pada area yang sakit
dalam dan distraksi pada saat rasa c. Hipoksemia lokal dapat
menggunakan teknik
nyeri datang (jika pasien sadar dan menyebabkan rasa nyeri dan
nonfarmakologi untuk
kooperatif) peningkatan suplai oksigen
mengurangi nyeri)
d. Beri manajemen sentuhan berupa
b. Melaporkan bahwa nyeri pada area nyeri dapat
pemijatan ringat pada area sekitar
berkurang dengan membantu menurunkan rasa
nyeri
menggunakan nyeri
e. Kolaborasi dengan pemberian
d. Meningkatkan respon aliran
manajemen nyeri
analgesik secara periodik
c. Mampu mengenali nyeri darah pada area nyeri dan
(skala, intensitas, merupakan salah satu metode
frekuensi dan tanda pengalihan perhatian
e. Mempertahankan kadar obat
nyeri)
d. Menyatakan rasa dan menghindari puncak
nyaman setelah nyeri periode nyeri
berkurang
202

DAFTAR PUSTAKA

Bruner & Sudart. 2002. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah. Jakarta: EGC.

Carpenito, Lynda Juall. 2007. Buku Saku Diagnosa Keperawatan. Edisi 10.
Jakarta: EGC.

Herdman, T. H. 2012. Diagnosis Keperawatan: Definisi dan Klasifikasi 2012-


2014. Jakarta: EGC.

Life Support Seventh Edition.Indonesia: Ikabi Bulecheck, Gloria M et al. 2013.


Nursing Interventions Classification (NIC). Amsterdam: Elsevier Mosby

Mansjoer, Arif. 2001. Kapita Selekta Kedokteran. Jakarta : Media Aesculapius

Moorhead, Sue et al. 2013. Nursing Outcome Classification (NOC). Amsterdam:


Elsevier Mosby

Muttaqin, Arif. 2008. Buku Ajar Asuhan Keperawatan dengan Gangguan


Persyarafan. Jakarta: Salemba Medika.

Nurarif, A.H. & Kusuma, H.K. 2013. Aplikasi Asuhan Kepreawatan Berdasarkan
Diagnosa Medis & NANDA NIC-NOC. Yogyakarta : Mediaction
Publishing

Price, Sylvia Anderson. 2005. Patofisiologi: Konsep Klinis Proses-Proses


Penyakit. Edisi 6. Jakarta: EGC.

Sloane, Ethel. 2003. Anatomi dan Fisiologi Untuk Pemula. Jakarta: EGC.

Smeltzer, S.C. & Bare, B.G. 2001. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah
Brunner & Suddarth. Jakarta : EGC

Anda mungkin juga menyukai