Anda di halaman 1dari 22

Demam Berdarah Dengue

(DBD)

Kelompok : C2

Anggota:
Felicia Rezkhi Putri (102009236)
IP Adhy Putra Astawan (102011141)
Chaterine Dorinda Candawasa (102011293)
Edwin (102012096)
Fransiska Oktaviani Moeslichang (102012103)
Jener Tanggu Dendo (102012348)
Nadya Liem (102012357)
Erly Furhana Furny Binti Hasarudin (102012476)
Muhammad Nur Syaiful Bin Mohidin (102012490)

Universitas Kristen Krida Wacana


Jalan Arjuna Utara 6
Jakarta Barat
2013
1
Pendahuluan
Demam Berdarah Dengue adalah penyakit infeksi yang disebabkan oleh virus
dengue dengan manifestasi klinis demam, nyeri otot, dan / atau nyeri sendi yang disertai
leukopeniam ruam, limfadenopati, trombositopenia dan diastesis hemoragik. DBD
merupakan penyakit umum bagi masyarakat Indonesia. Bahkan Indonesia menduduki
urutan tertinggi kasus DBD se-Asean. Sudah harusnya menjadi perhatian kita kejadian
DBD yang sedang terjadi di Indonesia ini. Oleh karena itu, tinjauan pustaka ini dibuat
untuk mengetahui anamnesis, pemeriksaan fisik dan penunjang, gejala klinik atau
manifestasi klinik, pathogenesis, etiologi, Working Diagnosis, Differential Diagnosis,
penatalaksanaan, komplikasi, prognosis, serta epidemiologi DBD.

Pembahasan
Skenario 1
Seorang laki-laki 18 tahun datang dengan keluhan demam sejak 3 hari yang lalu.
Demam timbul tiba-tiba,dirasa cukup tinggi namun tidak diukur. Demam turun sebentar
setelah pasien minum obat penurun panas lalu naik lagi. Pasien juga merasa pegal-pegal
otot, pusing dan mual.

Anamnesis
Identitas
Identitas meliputi nama lengkap pasien, umur atau tanggal lahir, jenis kelamin, nama
orang tua atau penanggung jawab, alamat, pendidikan, pekerjaan, suku bangsa dan
agama.1
Keluhan Utama
Keluhan utama merupakan bagian paling penting dari anamnesis dan pemeriksaan fisik.
Anamnesis ini biasanya memberikan informasi terpenting untuk mencapai diagnosis
banding, dan memberikan wawasan vital mengenai gambaran keluhan yang menurut
pasien paling penting.2 Pada skenario, keluhan utama pasien adalah demam sejak 3 hari
lalu.
Riwayat Penyakit Sekarang (RPS)
RPS adalah cerita yang kronologis, terinci dan jelas mengenai keadaan kesehatan
pasien sejak sebelum keluhan utama sampai pasien datang berobat. Hal yang harus
ditanyakan adalah:

2
 Waktu dan lamanya keluhan berlangsung
 Sifat dan beratnya serangan
 Lokalisasi dan penyebarannya, menetap, menjalar, atau berpindah-pindah
 Keluhan-keluhan yang menyertai serangan, misalnya keluhan yang mendahului
serangan, atau keluhan lain yang bersamaan dengan serangan
 Apakah keluhan baru pertama kali atau sudah berulang kali
 Apakah ada saudara sedarah, atau teman dekat yang menderita keluhan yang
sama
 Riwayat perjalanan ke daerah yang endemis untuk penyakit tertentu
 Perkembangan penyakit, kemungkinan telah terjadi komplikasi atau gejala sisa
 Upaya yang telah dilakukan dan bagaimana hasilnya, jenis-jenis obat yang telah
diminum oleh pasien; juga tindakan medik lain yang berhubungan dengan
penyakit yang saat ini diderita
Riwayat Penyakit Dahulu (RPD)
RPD penting untuk mencatat secara rinci semua masalah medis yang pernah timbul
sebelumnya dan terapi yang pernah diberikan, seperti adakah tindakan operasi dan
anastesi sebelumnya, kejadian penyakit umum tertentu.2
Riwayat Pribadi dan Sosial
Menanyakan bagaimana kondisi sosial, ekonomi dan kebiasaan-kebiasaan pasien
seperti merokok, mengkonsumsi alkohol, dan hal yang berkaitan.. Asupan gizi pasien
juga perlu ditanyakan, meliputi jenis makanannya, kuantitas dan kualitasnya. Begitu
pula juga harus menanyakan vaksinasi, pengobatan, tes skrining, kehamilan, riwayat
obat yang pernah dikonsumsi, atau mungkin reaksi alregi yang dimiliki pasien. Selain
itu, harus ditanyakan juga bagaimana lingkungan tempat tinggal pasien, apakah
termasuk lingkungan yang endemik.1,2
Riwayat Keluarga.
Riwayat keluarga berguna untuk mencari penyakit yang pernah diderita oleh kerabat
pasien karena terdapat kontribusi genetik yang kuat pada berbagai penyakit. Sedangkan
riwayat sosial penting untuk memahami latar belakang pasien, pengaruh penyakit yang
diderita terhadap hidup dan keluarga mereka. Selain itu yang juga perlu diperhatikan
adalah riwayat berpergian.2

Pemeriksaan Fisik

3
Bagi pasien demam dengue saja tidak ditemukan kelainan. Bagi pasien Demam
Berdarah Dengue (DBD), nadi pasien mula-mula cepat dan kemudian menjadi normal
dan melambat pada hari ke 4 dan 5. Brakinardi dapat menetap selama beberapa hari
selama masa penyembuhan. Dapat juga ditemukan lidah kotor dan mengalam kesulitan
dalam buang air besar. Pada mata terdapat pembengkakan, injeksi, konjungtiva,
lakrimasi dan fototobia. Eksantem dapat muncul di awal demam yang terlihat jelas di
muka dan dada, berlangsung beberapa jam lalu akan muncul kembali pada hari ke 3
hingga 6 dan berupa bercak di lengan dan kaki lalu di seluruh tubuh.3
Pada DBD, dapat terjadi gejala pendarahan pada hari ke 3 hingga 5 berupa
ptekiae, purpura, ekimosis, hemotemesis, melena dan epistaksis. Hati umumnya
membesar dan terdapat nyeri tekan yang tak sesuai dengan beratnya penyakit. Pada
Sindrom Syok Dengue (SSD), gejala renjatan ditandai dengan kulit yang terasa lembab
dan dingin, sianosis perifer yang terutama tampak pada ujung hidung, jari-jari tangan
dan kaki, serta penurunan tekanan darah. Renjatan biasanya terjadi pada waktu demam
atau saat sengan turun antara hari ke3 dan hari ke 7 penyakit.3

Pemeriksaan Penunjang
Laboratorium
Pemeriksaan darah yang rutin dilakukan untuk menapis pasien tersangka
demam dengue adalah melalui pemeriksaan kadar hemoglobin, hematokrit, jumlah
trombosit dan hapusan darah tepi untuk melihat adanya limfositis relatif disertai
gambaran limfosit plasma biru.4
Diagnosis pasti didapatkan dari hasil isolasi virus dengue (cell culture) ataupun
deteksi antigen virus RNA dengue dengan teknik RT-PCR (Reverse Transcriptase
Polymerase Chain Reaction), namun karena teknik yang lebih rumit, saat ini tes
serologis yang mendeteksi adanya antibody spesifik terhadap dengue berupa antobodi
total IgM maupun IgG lebih banyak.4
Parameter Laboratoris yang dapat diperiksa antara lain:
1. Leukosit: dapat normal atau menurun. Mulai hari ke-3 dapat ditemui limfositis
raltif (>45% dari total leukosit) disertai adanya limfosit plasma biru (LPB)
>15% dari jumlah total leukosit yang pada fase syok akan meningkat.
2. Trombosit: umumnya terdapat trombositopenia pada hari ke-3 sampai ke-8.

4
3. Hematokrit: kebocoran plasma dibuktikan dengan ditemukannya peningkatan
hematokrit ≥ 20% dari hematokrit awal umumnya dimulai pada hari ke-3
demam.
4. Hemostasis: dilakukan pemeriksaan PT, APTT, Fibrinogen, D-Dimer, atau FDP
pada keadaan yang dicurigai terjadi perdarahan atau kelainan pembekuan darah.
5. Protein / albumin: dapat terjadi hipoproteinemia akibat kebocoran plasma.
6. Serum Glutamic Oxaloacetic Transaminase (SGOT) / Serum Glutamic Piruvic
Transaminase (SGPT) dapat meningkat.
7. Ureum, kreatinin: bila didapatkan gangguan fungsi ginjal.
8. Elektrolit: sebagai parameter pemantauan pemberian cairan.
9. Imunoserologi dilakukan pemeriksaan IgM dan IgG terhadap dengue.
IgM: terdeteksi mulai hari ke-3 sampai ke-5, meningkat sampai minggu ke-3,
menghilang setelah 60-90 hari.
IgG: pada infeksi primer, IgG mulai terdeteksi pada hari ke-14, pada infeksi
sekunder IgG mulai terdeteksi hari ke-2.
10. Uji HI: dilakukan pengambilan bahan pada hari pertama serta saat pulang dari
perawatan, iji ini digunakan untuk kepentingan surveilans.
11. NS 1: antigen NS 1 dapat dideteksi pada awal demam hari pertama sampai ke-
8. Sensitivitas antigen NSI berkisar 63% - 93,4% dengan spesifitas 100% sama
tingginya dengan spesifisitas gold strandard kultur virus. Hasil negative antigen
NS 1 tidak menyingkirkan adanya infeksi virus dengue.
Pemeriksaan Radiologis
Pada foto dada didapatkan efusi plura, terutama pada hemitoraks kanan tetapi
apabila terjadi perembesan plasma hebat, efusi pleura dapat dijumpai pada kedua
hemitoraks. Asites dan efusi pleura dapat pula dideteksi dengan pemeriksaan USG.4

Gejala Klinik / Manifestasi Klinik


Manifestasi klinik infeksi virus dengue dapat bersifat asitomatik, atau dapat
berubah demam yang tidak khas, demam dengue, demam berdarah dengue atau sindrom
syok dengue (SSD).4
Pada umumnya pasiem mengalami demam selama 2-7 hari, yang diikuti oleh
fase kritis selama 2-3 hari. Pada waktu fase ini pasien sudah tidak demam, akan tetapi
mempunyai risiko untuk menjadi renjatan tidak mendapat pengobatan adekuat.4

5
Demam Dengue (DD)
Merupakan penyakit demam akut selama 2-7 hari, ditandai dengan dua atau lebih
manifestasi klinik sebagai berikut:
1. Nyeri kepala
2. Nyeri retro-orbital
3. Mialgia / artalgia
4. Ruam kulit
5. Manifestasi perdarahan (petechiae atau uji bending positif). Pada skenario,
didapati 12 petechiae.
6. Leucopenia.
Pada pemeriksaan serologi dengue positif atau ditemukan pasien DD / DBD
yang sudah dikonfirmasi pada lokasi dan waktu yang sama.4

Demam Berdarah Dengue (DBD)


Berdasarkan kriteria WHO 1997, diagnosis DBD ditegakkan bila semua hal ini
terpenuhi:
1. Demam atau riwayat demam akut, antara 2-7 hari biasanya bifasik.
2. Terdapat minimal 1 manifestasi perdarahan berikut: uji bending positif;
petekie, ekimosis, atau purpura; perdarahan mukosa; hematemesis dan melena.
3. Trombositopenia (jumlah trombosit <100.000/ ml).
4. Terdapat minimal 1 tanda kebocoran plasma sbb:
 Peningkatan hematokrit >20% dibandingkan standar sesuai umur dan
jenis kelamin.
 Penurunan hematokrit >20% setelah mendapat terapi cairan,
dibandingkan dengan nilai hematokrit sebelumnya.
 Tanda kebocoran plasma seperti: efusi pleura, asites, hipoproteinemia,
hiponatremia.
Dari keterangan di atas terlihat bahwa perbedaan utama antara DD dan DBD
adalah ditemukan kebocoran plasma pada DBD.4

Sindrom Syok Dengue (SSD)

6
Seluruh kriteria dia atas untuk DBD disertai kegagalan sirkulasi dengan manifestasi
nadi yang cepat dan lemah, tekanan darah turun (≤ 20 mmHg), hipotensi
dibandingkan standar sesuai umur, kulit dingin dan lembab serta gelisah.4
Derajat Penyakit Kriteria / Gejala
DD Demam disertai 2 atau lebih tanda: sakit
kepala, nyeri retro-orbital, mialgia,
artralgia
DBD derajat I Demam disertai gejala tidak khas, dan
satu-satunya manifestasi perdarahan
ialah uji torniquet positif.
DBD derajat II Gejala di atas disertai perdarahan
spontan di kulit atau perdarahan lain.
DBD derajat III Gejala di atas ditambah kegagalan
sirkulasi (nadi cepat dan lembut, tekanan
nadi menurun ( < 20 mmHg) atau
hipotensi, sianosis disekitar mulut, kulit
dingin dan lembab, dan anak tampak
gelisah.
DBD derajat IV Syok berat (profound shock): nadi tidak
dapat diraba, dan tekanan darah tidak
dapat diukur.
* DBD derajat III dan IV juga disebut SSD.4

Patogenesis
Setelah virus dengue masuk ke dalam tubuh, pasien akan mengalami keluhan
dan gejala karena viremia, seperti demam, sakit kepala, mual, nyeri otot, pegal, seluruh
badan, hyperemia di tenggorok, timbulnya ruam dan kelainan yang mungkin terjadi
pada sistem retikuloendotelial seperti pembesaran kelenjar-kelenjar getah bening, hati,
dan limpa. Ruam pada DD disebabkan oleh kongesti pembuluh darah di bawah kulit.5
Fenomena patofisiologi utama yang menentukan berat penyakit dan
membedakan karena penglepasan zat anafilaktosin, histamine dan serotonin serta
aktivasi sistem kalikrein yang berakibat ekstravasasi cairan intra-vaskular. Hal ini
berakibat mengurangnya volum plasma, terjadinya hipotensi, hemokonsentrasi,

7
hipoproteinemia, efusi, dan renjatan. Plasma merembes salama perjalanan penyakit
mulai dan saat permulaan demam dan mencapai puncaknya pada saat renjatan. Pada
pasien dengan renjatan berat volume plasma dapat menurun sampai lebih dari 30%.
Adanya kebocoran plasma ke daerah ekstravaskular dibuktikan dengan ditemukannya
cairan dalam rongga serosa, yaitu rongga peritoneum, pleura dan perikard yang pada
autopsy ternyata melebihi jumlah cairan yang telah diberikan sebelumnya melalui
infuse. Renjatan hipovolemik yang terjadi sebagai akibat kehilangan plasma, bila tidak
segera diatasi dapat berakibat anoksia jaringan, asidosis metabolic dan kematian.5
Renjatan yang terjadi akut dan perbaikan klinis yang drastic setelah pemberian
plasma / ekspander plasma yang efektif, sedangkan pada autopsi tidak ditemukan
kerusakan dinding pembuluh darah yang destruktif atau akibat radang, menikbulkan
dugaan bahwa perubahan fungsional dinding pembuliuh darah mungkin disebabkan
mediator farmakologis yang bekerja singkat. Sebab lain kematian pada DHF adalah
perdarahan hebat, yang biasanya timbul setelah renjatan berlangsung lama dan tidak
teratasi. Perdarahan pada DHF umumnya dihibungkan dengan trombositopenia,
gangguan fungsi trombosit dan kelainan sistem koagulasi.5
Trombositopenia yang dihubungkan dengan meningkatnya megakariosit muda
dalam susmsum tulang dan pendeknya masa hidupnya trombosit menimbulkan dugaan
meningkatnya destruksi trombosit. Penyidikan dengan radioisotope membuktikan
bahwa penghancuran trombosit terjadinya dalam retikuloendotelial. 5

Etiologi
Demam dengue dan demam berdarah dengue disebabkan oleh virus dengue,
yang termasuk dalam genus Flavivirus, keluarga Flaviviridae. Flavivirus merupakan
virus dengan diameter 30nm terdiri dari asam ribonukleat rantai tunggal dengan berat
molekul 4 x 106.4
Terdapat 4 serotipe virus yaitu DEN-1, DEN-2, DEN-3, dan DEN-4 yang
semuanya dapat menyebabkan demam dengue atau demam berdarah dengue, keempat
serotype ditemukan di Indonesia dengan DEN-3 merupakan serotype terbanyak.
Terdapat reaksi silang anatara serotype dengue dengan Flavivirus lain seperti Yellow
fever, Japanese encehphalitis dan West Nile virus.4
Dalam laboratorium virus dengue dapat bereplikasi pada hewan mamalia seperti
tikus, kelinci, anjing, kelelawar dan primate. Survei epidemologi pada hewan ternak

8
didapatkan antibody terhadap virus dengue pada hewan kuda, sapi, dan babi. Penelitian
pada artopoda menunjukkan virus dengue dapat bereplikasi pada nyamuk genus Aedes
(Stegomyia) dan Toxoehynchites.4
Vektor utama DBD adalah nyamuk kebun yang disebut Aedes aegypti,
sedangkan vektor potensialnya adalah Aedes albopictus. Aedes aegypti berukuran lebih
kecil dibandingkan nyamuk rumah lain, mempunyai warna dasar hitam dan bintik putih
pada kakinya. Morfologi nya khas yaitu mempunyai gambar lira putih pada
punggungnya. Stadium hidup Aedes aegypti dimulai dari stadium telur, larva, pupa,
hingga menjadi nyamuk dewasa dalam 9 hari. Tempat perindukan utamanya di air
bersih. Nyamuk betinalah yang menhisap darah manusia pada siang hari yang
dilakukan baik di dalam maupun luar rumah.6

Working Diagnosis (WD)


Demam dengue dan Demam berdarah dengue adalah penyakit unfeksi yang
disebabkan oleh virus dengue dengan manifestasi klinis demam, nyeri otot, dan / atau
nyeri sendi yang disertai leukopeniam ruam, limfadenopati, trombositopenia dan
diastesis hemoragik. Pada DBD terjadi perembesan plasma yang ditandai dengan
hemokonsentrasi (peningkatan hemotoktit) atau penumpukan cairan di rongga tubuh.
Sindrom renjatan dengan SSD adalah demam berdarah dengue yang ditandai oleh
renjatan / syok.4

Penatalaksanaan
Penatalaksanaan DD atau DBD tanpa penyulit adalah:
1. Tirah baring
2. Makan makanan lunak dan bila belum nafsu makan diberi minum 1,5 – 2 liter
dalam 24 jam atau air tawar ditambah garam.
3. Medikamentosa yang bersifat simtomatis. Untuk hipereksia dapat diberi
kompres, antipiretik golongan asetaminofen, eukinin, atau dipiron dan jangan
diberikan asetosal karena bahaya perdarahan.
4. Antibiotic diberikan bila terdapat kemungkinan terjadi infeksi sekunder.
Pasien DHF perlu diobservasi teliti terhadap penemuan dini tanda renjatan, yaitu:
1. Keadaan umum memburuk
2. Hati makin membesar

9
3. Masa perdarahan memanjang karena trombositopenia
4. Hematokrit meninggi pada pemeriksaan berkala
Dalam hal ditemukan tanda-tanda dini tersebut, infus harus disiapkan dan
terpasang pada pasien. Obervasi meliputi pemeriksaan tiap jam terhadap keadaan
umum, nadi, tekanan darah, sushu dan pernafasan, serta Hb dan Ht setiap 4 – 6 jam
pada hari pertama pengamatan, selanjutnya tiap 24 jam.5
Terapi untuk SSD bertujuan utama untuk mengembalikan volume cairan
intravaskular ke tingkat yang normal, dan hal ini dapat tercapai dengan pemberian
segera cairan intravena. Jenis cairan dapat berupa Na Cl faali, laktat Ringer atau bila
terdapat renjatan yang berat dapat dpaki plasma atay ekspander plasma. Jumlah cairan
dan kecepatan pemberian cairan disesuaikan dengan perkembangan klinis.5
Kecepatan permulaan tetesan ialah 20 ml / kg berat badan, dan bila renjatan
telah dilatasi, kecepatan tetesan dikurangi menjadi 10 ml / kg berat badan / jam.5
Pada kasus dengan renjatan berat, cairan diberikan dengan diguyur, dan bila tak
tampak perbaikan, diusahakan pemerian plasma atau ekspander plasma atau dekstran
atau preparat hemasel dengan jumlah 15 – 29 ml / kg berat badan. Dalam hal ini perlu
diperhatikan keadaan asidosis yang harus dikireksi dengan Nabikarbonas. Pada
umumnya untuk menjaga keseimbangan volume intravaskular, pemberian cairan
intravena baik dalam bentuk elektrolit maupun plasma dipertahankan 12 – 48 jam
setelah renjatan teratasi. Tranfusi darah dilakukan pada:
1. Pasien dengan perdarahan yang membahayakan (hematemesis dan melena)
2. Pasien SSD pada pemeriksan berkala, menunjukan penurunan kadah Hb dan
Ht.
DIG diperkirakan merupakan penyebab utama perdarahan. Bila dengan
pemeriksaan hemostasis terbukti adanya DIG, heparin perlu diberikan.5

Komplikasi
Dengan makin umumnya infeksi dengue, peningkatan jumlah kasus DD atau
penyakit seperti DBD telah dihubungkan dengan manifestasi tak umum. Manifestasi
ini termasuk fenomena sistem saraf pusat kejang, spastisitas, perubahan kesadaran dan
paresis transien. Bentuk kejang halus kadang terjadu selama fase demam pada bayi.
Kejang ini mungkin hanya kejang demam sederhana, karena cairan serebrospinal
ditemukan normal pada kasus ini. Intoksikasi air akibat dari pemberian cairan isotonic

10
berlebihan untuk mengatasi pasien DBD / SSD dengan hiponetremia dapat
menimbulkan ensefalopati. Pasien dengan ensefalopati sebagai komplikasi dari
koagulasi intravaskular diseminata juga telah dilaporkan.3
Pasien mati dengan manifestasi neorologis telah dilaporkan di India, Indonesia,
Malaysia, Mianmar, Puerto Riko dan Thailand. Sementara telah ada beberapa laporan
tentang isolasi virus atau anti-dengue IgM dari cairan serebrospinal, sampai kini tidak
ada bukti keterlibatan lengsung virus dengue dalam kerusakan neural. Perdarahan
intrakarnial dapat terjadi, dan herniasi batang otak karena edema serebral pernah
ditemukan. Pada umumnya, pasien yang telah meninggal dengan tanda atau gejala
neurologis belum menjadi subjek untuk studi sutopsi. Baik studi makro dan
mikroskopik adalah penting untuk menentukan sifat dan etiologi manifestasi neurologis
yang menyertai penyakit DBD / seperti DSS fatal.3
Perawatan sangat hati-hati harus dilakukan untuk mencegah komplikasi
iatrogenik dalam pengobatan DBD / DSS untuk mengenalinya dengan cepat bila terjadi
dan untuk tidak keliru terhadap komplikasi iatrogenic yang dapat dicegah dan diatasi
dengan temuan DBD / DSS normal. Komplikasi ini termasuk sepsis, pneumonia,
infeksi luka, dan hidrasi berlebihan. Penggunaan jalur intravena terkontaminasi dapat
mengakibatkan sepsis Gram-negatif yang disertai dengan demam, syok dan perdarahan
berat; pneumonia dan infeksi lain dapat menyebabkan demam dan menyulitkan
pemulihan. Hidrasi berlebihan dapat menyebabkan gagal jantung atau pernapasan,
mungkin dianggap keliru dengan syok.3
Gagal hepar telah dihubungkan dengan DBD / DSS terutama selama epidemik
di Indonesia pada tahun 1970an dan epidemic di Thailand pada tahun 1987. Gagal hepar
ini mungkin karena keberhasilan resusitasi pasien dengan gagal sirkulasi berat, atau
karena dengan tropisme hepar taklazim karena strain viral tertentu. Serotype virus
dengue 1, 2, dan 3 telah diisolasi dari pasien yang meninggal karena gagal hati, dengan
infeksi dengue primer maupun sekunder. Hepatosit nekrosis ditemukan meluas pada
beberapa kasus ini. Antigen dengue terdeteksi pada hepatosis, pada sel-sel Kupffer dan
kadang pada sel inflamasi akut. Temuan histopatologis dibedakan dari temuan yang
terlihat pada sindrom Reye. Apakan cedera hepar karena efek langsung infeksi dengue
atau respons penjamu terhadap infeksi masih diselediki. Ensefalopati yang
berhubungan dengan gagal hepar akut umum terjadi, dan gagal ginjal adalah kejadian
akhir yang umum.3

11
Manifestasi tak umum lain yang dilaporkan mencakup gagal ginjal dan sindrom
uraemik hemolitik, kadang pada pasien dengan kondisi dasar misalnya glukosa-6-fosfat
dehidrogenasi (G6PD) dan hemoglobinopati. Infeksi bersamaan seperti leptospirosis,
hepatitis-B virus, demam tifoid, cacar dan melioidosis, telah dilaporkan dan dapat
memperberat manifestasi takunum dari DBD / DSS.3

Prognosis
Kematian karena demam dengue hampir tidak ada. Pada DBD / SSD
mortalitasnya cukup tinggi. Penelitian pada orang dewasa di Surabaya, Semarang, dan
Jakarta menunjukan bahwa prognosis dan perjalanan penyakit umumnya lebih ringan
daripada anak-anak.5

Epidemologi
Demam berdarah dengue tersebar di wilayah Asia Tenggara, Pasifik barat dan
Karibia. Indonesia merupakan wilayah endemis dengan sebaran diseluruh wilayah
tanah air. Insiden DBD di Indonesia antara 6 hingga 15 per 100.000 penduduk, dan
pernah meingkat tajam. Mortalitas DBD cenderung menurun. 4
Penularan infeksi virus dengue terjadi melalui vektor nyamuk genus Aedes.
Peningkatan kasus setiap tahunnya berkaitan dengan sanitasi lingkungan dengan
tersedianya tempat perindukan bagi nyamuk betina yaitu bejana yang berisi air jenih. 4
Beberpa faktor diketahui nberkaitan dengan peningkatan transmisi biakan virus
dengue yaitu:
1. Vektor: perkembangbiakan vektor, kebiasaan mengigit, kepadatan vektor di
lingkungan, transportasi vektor dari satu tempat ke tempat lain.
2. Penjamu: terdapatnya penderita di lingkungan / keluarga, mobilisasi dan
paparan terhadap nyamuk, usia, jenis kelamin.
3. Lingkungan: curah hujan, suhu, sanitasi, dan kepadatan penduduk.

Differential Diagnosis (DD/) atau Diagnosis Banding


Diagnosis banding perlu dipertimbangkan bilamana terdapat kesesuaian klinis
dengan demam tifoid, campak, influenza, chikungunya, dan leptospirosis.5
Malaria

12
Malaria adalah penyakit infeksi menular yang disebabkan oleh parasit dari
genus Plasmodium, yang ditularkan melalui gigitan nyamuk anopheles dengan
gambaran penyakit berupa demam yang sering periodik, anemia, pembesaran limpa dan
berbagai kumpulan gejala oleh karena pengaruhnya pada beberapa organ misalnya
otak, hati dan ginjal.4,7
Pemeriksaan Fisik
Malaria tanpa komplikasi:
1. Demam (pengukuran dengan termometer ≥ 37,5°C)
2. Konjungtiva atau telapak tangan pucat
3. Pembesaran limpa (splenomegali)
4. Pembesaran hati (hepatomegali)
Malaria dengan komplikasi dapat ditemukan keadaan dibawah ini:
1. Gangguan kesadaran dalam berbagai derajat
2. Keadaan umum yang lemah (tidak bisa duduk/berdiri)
3. Kejang-kejang
4. Panas sangat tinggi
5. Mata atau tubuh kuning
Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan darah tepi, pembuatan preparat darah tebal dan tipis dilakukan
untuk melihat keberadaan parasit dalam darah tepi, seperti trofozoit yang berbentuk
cincin.5
Gejala Klinik
Gejala yang klasik yaitu terjadinya “trias malaria” secara berurutan : periode
dingin (15-60 menit) mulai menggigil, penderita sering membungkus diri dengan
selimut atau sarung dan pada saat menggigil sering seluruh badan bergetar dan gigi-
gigi saling terantuk, diikuti dengan meningkatnya temperature, diikuti dengan periode
panas : muka penderita merah, nadi cepat , dan panas badan tetap tinggi beberapa jam,
diikuti dengan keadaan berkeringat, kemudian periode berkeringat : penderita
berkeringat banyak dan temperatur turun, dan penderita merasa sehat. Trias malaria
lebih sering terjadi pada infeksi plasmodium vivax, pada plasmodium falciparum
menggigil dapat berlangsung berat ataupun tidak ada. 7
Anemia merupakan gejala yang sering dijumpai pada infeksi malaria. Beberapa
mekanisme terjadinya malaria ialah pengrusakan eritrosit oleh parasit, hambatan
eritropoesis sementara, hemolisis oleh karena proses complement mediated immune

13
complex, eritrofagositosis, penghambatan pengeluaran retikulosit, dan pengaruh
sitokin. Splenomegali sering dijumpai pada penderita malaria, limpa akan teraba setelah
3 hari dari serangan infeksi akut, limpa menjadi bengkak, nyeri dan hiperemis. Limpa
merupakan organ retikuloendothelial, dimana plasmodium dihancurkan oleh sel-sel
makrofag dan limfosit. Penambahan sel-sel radang ini akan menyebabkan limpa
membesar.7
Patogenesis
Eritrosit yang terinfeksi mengalami ruptur, menyebabkan anemia hemolitik dan
pengendapan pigmen pada sel retikuloendotelial. Eritrosit yang terinfeksi juga dapat
mengendap dan menempel dalam organ, menganggu sirkulasi dan merangsang
terjadinya pneumonia, ensefalitis atau enteritis. P. faciparum menyebabkan derajat
parasitemia yang paling berat dan mematikan. Produksi antibody serum agaknya terkait
dengan pembersihan stadium eritrosit (tetapi bukan hepatik) parasit. Anemia sickle cell
dan defisiensi glukosa-6-fosfat dehidrogenase (G6PD) dihubungkan dengan beberapa
proteksi terhadap malaria yang mematikan.8
Etiologi
Plasmodium adalah parasit yang termasuk vilum Protozoa, kelas sporozoa.
Terdapat empat spesies Plasmodium pada manusia yaitu : Plasmodium vivax
menimbulkan malaria vivax (malaria tertiana ringan). Plasmodium falcifarum
menimbulkan malaria falsifarum (malaria tertiana berat), malaria pernisiosa dan
Blackwater faver. Plasmodium malariae menimbulkan malaria kuartana, dan
Plasmodium ovale menimbulkan malaria ovale.4,7
Keempat spesies plasmodium tersebut dapat dibedakan morfologinya dengan
membandingkan bentuk skizon, bentuk trofozoit, bentuk gametosit yang terdapat di
dalam darah perifer maupun bentuk pre-eritrositik dari skizon yang terdapat di dalam
sel parenkim hati.4
Penatalaksanaan
Terapi spesifik untuk malaria bergantung pada spesies yang didapat, cara
perolehan, dan tempat perolehan. Klorokuin merupakan terapi malaria yang didapat di
temapt yang tidak mempunyai malaria resisten-klorokuin. Pada daerah dengan P.
falciparum yang diketahui resisten-klorokuin, terapi terdiri dari kina ditambah
pirimetamin / sulfadoksi atau kina ditambah doksisiklin, tetrasiklin, atau meflokuin.
Penyakit berat mungkin memerlukan penggunaan kina atau quinidin intravena. Untuk
mencegah kekambuhan infeksi P. ovale dan P. vivax yang ditularkan nyamuk,

14
primakuin digunakan untuk melenyapkan fase hepatic siklus parasit. Karena fase
hepatic tidak terjadi pada infeksi P. malariae atau P. falciparum congenital atau yang
didapat dengan transfuse, perimakuin tidak diindikasikan pada situasi ini. Primaquin
merangsang terjadinya hemolisis pada pasien dengan defisiensi G6PD. Pada penyakit
berat, dukungan multisystem, transfuse, dan kemungkinan transfuse tukar diperlukan.8
Komplikasi
Penderita malaria dengan komplikasi umumnya digolongkan sebagai malaria
berat yang menurut WHO didefinisikan sebagai infeksi P. Falciparum dengan satu atau
lebih komplikasi sebagai berikut:
1. Malaria serebral (coma)
2. Academia / acidosis
3. Anemia berat
4. Gagal ginjal akut
5. Hipoglikemi
Beberapa keadaan lain yang juga digolongkan sebagai malaria berat sesuai
dengan gambaran klinis daerah setempat ialah:
1. Ganggaun kesadaran ringan
2. Kelemahan otot tanpa kelainan neurologic
3. Hiperasitemia >5% pada daerah hipoendemik atau daerah tidak stabil malaria
4. Ikterik
5. Hiperpireksia
Pada kriteria WHO 2006 telah dimasukan ke dalam kriteria malaria berat ialah
malaria dengan klinis klinis jaundice / iktorik dan juga malaria dengan hiperlaktemia.4
Prognosis
Malaria vivaks, prognosis biasanya baik, tidak menyebabkan kematian. Jika
tidak mendapat pengobatan, serangan pertama dapat berlangsung selama 2 bulan atau
lebih. Malaria malariae, jika tidak diobati maka infeksi dapat berlangsung sangat lama.
Malaria ovale dapat sembuh sendiri tanpa pengobatan. Malaria falsiparum dapat
menimbulkan komplikasi yang menyebabkan kematian.5
Epidemiologi
Malaria biasanya terdapat dari gigitan nyamuk Anopheles betina terinfeksi.
Kadang, malaria didapat secara transplasental atau melalui transfusi darah yang
terinfeksi, ini terjadi tanpa fase hepatik praeritrositik.8

15
Demam Tifoid
Demam tifoid adalah suatu penyakit infeksi sistemik bersifat akut yang
disebabkan oleh Salmonella Typhii. Penyakit ini ditandai oleh panas berkepanjangan,
ditopang dengan bakterimia tanpa keterlibatan struktur endotelial atau endokardial dan
invasi bakteri sekaligus multiplikasi ke dalam sel fagosit mononuclear dari hati, limpa,
kelenjar limfe usus dan Peyer’s patch.9
Pemeriksaan Fisik
Pada pemeriksaan fisik hanya didapatkan suhu badan meningkat. Sifat deman
adalah meningkat perlahan-lahan dan terutama pada sore dan malam hari. Dalam
minggu kedua gejala-gejala semakin jelas berupa demam, bradikardia relative
(peningkatan suhu 10 C tidak diikuti peningkatan denyut nadi 8 kali permenit), lidah
yang berselaput ( kotor di tengah, tepid an ujung merah serta tremor), hepatomegali,
splenomegali, meteroismus, ganguan mental berupa somnolen, stupor, koma, delirium,
atau psikosis. Roseolae jarang ditemukan pada orang Indonesia.

Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan rutin
Walaupun pada pemeriksaan darah perifer lengkap sering ditemukan
leucopenia, dapat pula terjadi kadar leukosit normal atau leukositosis. Leukositosis
dapat terjadi walaupun tanpa disertai infeksi sekunder. Selain itu pula dapat ditemukan
anemia ringan dan trombositopenia. Pada pemeriksaan hitung jenis leukosit dapat
terjadi aneosinofilia maupun limfopenia. Laju endap darah pada tifoid dapat meningkat.
SGOT dan SGPT seringkali meningkat, tetapi akan kembali menjadi normal setelah
sembuh. Kenaikan SGOT dan SGPT tidak memerlukan pennanganan khusus.7
UJi widal
Uji widal dilakukan untuk deteksi antobodi terhadap kuman s.thypi. pada uji
widal terjadi suatu reaksi aglutinasi antar antigen kuman s.thypi dengan antibody yang
disebut agglutinin. Antigen yang digunakan pada uji widal adalah suspensi salmonella
yang sudah dimatikan dan diolah di laboratorium. Maksud uji widal adalah untuk
menentukan adanya aglutinin dalam serum penderita tersangka demam tifoid yaitu :
Agglutinin O (dari tubuh kuman), agglutinin H (flagella kuman), dan c agglutinin Vi (
simpai kuman). Dari ketiga agglutinin tersebut hanya agglutinin O dan H yang
digunakan untuk diagnosis demam tifoid. Semakin tinggi titernya semakin besar
kemungkinan terinfeksi. Pembentukan agglutinin mulai terjadi pada akhir minggu

16
pertama demam, kemudian meningkat secara cepat dan mencapai puncak pada minggu
ke-empat, dan tetap tinggi selam beberapa minggu. Pada fase akut mula-mula timbul
O, kemudian diikuti aglutinin H. pada orang yang telah sembuh agglutinin O masih
dijumpai setelah 4-6 bulan, sedang agglutinin H menetap lebih lama antara 9-12 bulan.
Oleh karena itu uji widal bukan untuk menentukan kesembuhan penyakit.7
Ada beberapa factor yang mempengaruhi uji widal yaitu; 1) pengobatan dini
dengan antibiotic, 2) gangguan pembentukan antibody, dan pemberian kortikosteroid,
3) waktu pengambilan darah, 4) daerah endemic atau non endemic, 5) riwayat
vaksinasi. 6) reaksi anamnestik, yaitu peningkatan titer agglutinin pada infeksi bukan
demam tifoid akibaat infeksi demam tifoid masa lalu atau vaksinasi,7) factor teknik
pemeriksaan laboratorium, akibat aglutinasi silang, dan strain salmonella yang
digunakan untuk suspensi antigen. Saat ini belum ada kesamaan pendapat mengenai
titer agglutinin yang bermakna diagnostic.7
Uji tubex
Merupakan uji semi kuantitatif kolometrik yang cepat(beberapa meni) dan
mudah untuk di kerjakan. Uji ini mendeteksi antibody anti-Styphi O9 pada serum
pasien, dengan cara menghambat ikatan antara IgM anti O9 yang terkonkugasi pada
partikel latex yang berwarna dengan lipopolisakarida s.typhi yang terkonjugasi pada
partikel magnetic latex. Hasil positif uji tubex ini menunjukkan terdapat infeksi
salmonella serogroup D walau tidak spesifik menunjukkan pada S,typhi. Infeksi oleh
S.paratyphi akan member hasil negative.7
Uji Typidot
Uji typhidot dapat mendeteksi antibody IgM dan IgG yang terdapat pada protein
membrane luar salmonella typhi. Hasil positif pada uji typhidot didapatkan 2-3 hari
setelah infeksi dan dapat mengidentifikasi secara spesifik antibody IgM dan IgG
terhadap antigen s.typhi seberat 50 KD, yang terdapat pada strip nitroselulosa.7
Uji IgM Dipstick
Uji ini secara khusus mendeteksi antibody IgM spesifik terhadap s.typhi pada
specimen serum atau whole blood. Uji ini menggunakan strip yang mengandung anti
gen lipopolisakarida (LPS) s.typhoid dan anti IgM (sebagai control), reagen deteksi
yang mengandung anti IgM yang dilekati dengan lateks berwarna, vairan membasahi
strip sebelum diinkubasi dengan reagen dan serum pasien , tabung uji. Komponen
perlengkapan ini stabil untk disimpan selama dua tahun pada suhu 4-250 C di tempat
kering tanpa paparan sinar matahari.7

17
Kultur Darah
Hasil biakan darah yang positif memastikan demam tifoid, akan tetapi hasil
negative tidak menyingkirkan demam tfoid, karena mungkin sisebabkan beberapa hal
sebagai berikut: 1) telah mendapat terapi antibiotic. Bila pasien sebelum dilakukan
kultur darah telah mendapat antibiotic, pertumbuhan kuman dalam media biakan
terhambat dan hasil mungkin negative, 2) volume darah yang kuran(diperlukan kurang
lebih 5cc darah). Bila darah yang dibikkan sedikit maka hasil negative. Darah yang
diambil sebaiknya secara bedside langsung dimaukkna ke dalam media cair empedu
untuk pertumbuhan kuman, 3) riwayat vaksinasi. Vaksinasi di masa lampau
menimbulkan antibody dalam darah pasien. Antibody (agglutinin) dapat menekan
bakteremia hingga biakan darah dapat negative ,4) saat pengambilan darah setelah
minggu pertama, pada saat agglutinin semakin meningkat.7
Manifestasi Klinik / Gejala Klinik
Masa tunas demam tifoid berlansung anara 10-14 hari. Gejala-gejala klinis yang
timbul sangat bervariasi dari ringan sampai berat, dari asimtomatik hingga gambaran
penyakit yang khas disertai komplikasi hingga kematian.4
Pada minggu pertama gejala klinis penyakit ini ditemukan keluhan dan gejala
serupa dengan penyakit infeksi akut pada umumnya yaitu demam, nyeri kepala, pusing,
nyeri otot, anoreksi,mual, muntah, obstipasi atau diare, perasaan tidak enak di perut,
batuk, dan epiktasis.4

Patogenesis
Masuknya kuman salmonella thypi ke dalam tubuh manusia terjadi melalui
makan yang terkontaminasi kuman. Sebagian kuman dimusnahkan dalam lambung,
sebagian lolos ,asuk dalam usus dan selanjutnya berkembang biak. Bila respon imunitas
humoral mukosa (IgA) usus kurang baik maka kuman akan menembus sel-sel epitel
(terutama sel-M) dan selanjutnya ke lamina propria. Di lamina propria kuman
berkembang biak dan difagosit oleh sel-sel fagosit terutama makrofag. Kuman dapat
hidup dan berkembang biak dalam makrofag. Dan selanjutnya di bawa ke plak peyeri
ileum distal dan kemudian ke kelenjar getah bening mesenterika. Selanjutnya melalui
duktus torasikus kuman yang terdapat di dalam makrofag ini masuk ke dalam sirkulasi
darah (mengakibatkan bakteremia pertama) yang asimtomatik) dan menyebar ke
seluruh organ retikulo endothelial tubuh terutama hati dan limpa. Di organ-organ ini
kuman meninggalkan sel-sel fagosit dan kemudian berkembangbiak di luar sel atau

18
ruang sinusoid dan selanjutnya masuk ke dalam sirkulasi darah lagi mengakibatkan
bakteremia yang kedua kalinya dengan disertai tanda-tanda dan gejala penyakit infeksi
sistemik.7
Etiologi
Salmonella typhi sama dengan salmonella yang lain adalah bakteri Gram-
negatif, mempunyai flagella, tidak berkapsul, tidak membentuk spora, fakultatif
anaerob. Mempunyai antigen somatic (O) yang terdiri dari oligosakarida, flagelar
antigen (H) yang terdiri dari protein dan envelope antigen (K) yang terdiri dari
polisakarida. Mempunyai makromolekular lipopolisakarida kompleks yang
membentuk lapis luar dari dinding sek dan dinamakan endotoksin. Salmonella typhi
juga memperoleh plasmid factor R yang berkaitan dengan resistensi terhadap multiple
antibiotic.7
Penatalaksanaan
Sampai saat ini masih dianut trilogi penatalaksanaan demam tifoid, yaitu :
1. Pemberian antibiotik untuk menghentikan dan memusnahkan penyebaran kuman.
Antibiotik yang dapat digunakan :
 Kloramfenikol. Dosis hari pertama 4 x 250 mg, hari kedua 4 x 500 mg diberikan
selama demam dilanjutkan sampai 2 hari bebas demam, kemudian dosis
diturunkan menjadi 4 x 25 mg selama 5 hari kemudian. Penelitian terakhir
(Nelwan dkk di RSUP Persahabatan), penggunaan kloramfenikol masih
memperlihatkan hasil penurunan suhu 4 hari, sama seperti obat-obat terbaru dari
golongfan kuinolon.
 Ampisilin/Amoksisilin. Dosis 50 – 150 mg/kg BB, diberikan selama 2 minggu.
 Kotrimoksazol, 2x 2 tablet (1 tablet mengandung 400 mg sulfametoksazol dan
80 mg trimetoprim) diberikan selama 2 minggu.
Sefalosporin generasi II dan III. Di subbagian Penyakit Tropis dan Infeksi
FKUI-RSCM, pemberian sefalosporin berhasil mengatasi demam tifoid dengan
baik. Demam pada umumnya mereda pada hari ke-3 atau menjelang hari ke-4.
Regimen yang dipakai adalah:
 Ceftriaxone 4 gr / hari selama 3 hari
 Norfloxacin 2 x 400 mg/hari selama 14 hari
 Ciprofloxacin 2 x 500 mg/hari selama 6 hari
 Ofloxacin 600 mg/hari selama 7 hari

19
 Pefloxacin 400 mg/hari selama 7 hari
 Fleroxacin 400 mg/hari selama 7 hari
2. Istirahat dan perawatan profesional, bertujuan mencegah komplikasi dan
mempercepat penyembuhan. Pasien harus tirah baring absolut sampai minimal 7 hari
bebas demam atau kurang lebih selama 14 hari. Mobilisasi dilakukan bertahap, sesuai
dengan pulihnya kekuatan pasien. Dalam perawatan perlu sekali dijaga higiene
perseorangan, kebersihan tempat tidur, pakaian dan peralatan yang dipakai oleh pasien.
Paien dengan kesadaran menurun, posisinya perlu diubah-ubah untuk mencegah
dekubitus dan pneumonia hipostatik. Defekasi dan buang air kecil perlu diperhatikan,
karena kadang-kadang terjadi obstipasi dan retensi urin.10
3. Diet dan terapi penunjang (simtomatis dan suportif). Pertama pasien diberi diet bubur
saring, kemudian bubur kasar, dan akhirnya nasi sesuai tingkat kesembuhan pasien.
Namun beberapa penelitian menunjukkan bahwa pemberian makanan padat dini, yaitu
nasi dengan lauk pauk rendah selulosa (pantang sayuran dan serat kasar) dapat
diberikan dengan aman. Juga diperlukan pemberian vitamin dan mineral yang cukup
untuk mendukung keadaan umum pasien. Diharapkan dengan menjaga keseimbangan
dan homeostasis, sistem imun akan tetap berfungsi dengan optimal. Jika pasien tidak
dapat makan, Lakukan managemen cairan RL + TRIOFUSIN 1000. Pemberian cairan
RL + TRIOFUSIN 1000 mengandung 500 kalori.10
Pada kasus perforasi dan renjatan septik diperlukan perawatan intensif dan nutrisi
parenteral total. Spektrum antibiotik maupun kombinasi beberapa obat yang bekerja
secara sinergis dapat dipertimbangkan. Kortikosteroid selalu perlu diberikan pada
renjatan septik. Prognosis tidak begitu baiuk pada kedua keadaan di atas.10
Komplikasi
1. Komplikasi Intestinal
 Perdarahan usus
 Perforasi usus
 Ileus paralitik
2. Komplikasi Ekstra –Intestinal
 Komplikasi Kardiovaskuler : kegagalan sirkulasi perifer (renjatan septik),
miokarditis, trombosis dan tromboflebitis.
 Komplikasi darah : anemia hemolitik ,trombositopenia, dan /atau
Disseminated

20
 Intravascular Coagulation (DIC) dan Sindrom uremia hemolitik
 Komplikasi paru : Pneumonia,empiema,dan pleuritis
 Komplikasi hepar dan kandung empedu : hepatitis dan kolesistitis
 Komplikasi ginjal : glomerulonefritis,pielonefritis, dan perinefritis
 Komplikasi tulang : osteomielitis,periostitis,spondilitisdan Artritis
 Komplikasi Neuropsikiatrik : Delirium, meningismus, meningitis,
polineuritis perifer, sindrom guillain-barre, psikosis dan sindrom katatonia
Prognosis
Prognosis pasien demam tifoid tergantung ketepatan terapi, usia, keadaan
kesehatan sebelumnya, dan ada tidaknya komplikasi. Di Negara maju, dengan terapi
antibiotic yang adekuat, angka mortalitas <1 %. Di Negara berkembang, angka
mortalitasnya > 10%, biasanya karena keterlambatan diagnosis, perawatan, dan
pengobatan. Munculnya komplikasi, seperti perforasi gastrointestinal atau perdarahan
hebat, meningitis, endokarditis, dan pneumonia, mengakibatkan morbiditas dan
mortalitas yang tinggi.5
Relaps dapat timbul beberapa kali. Individu yang mengeluarkan S.ser Typhii >
3 bulan setelah infeksi umumnya menjadi karier kronis. Risiko menjadi karier pada
anka-anak rendah dan meningkat sesuai usia. Karier kronil terjadi pada 1-5% dari
seluruh pasien demam tifoid. Insidens penyakit traktus biliaris lebih tinggi pada karier
kronis dibandingkan dengan populasi umum. Walaupun karier urin kronis juga dapat
terjadi hal ini jarang dan dijumpai terutama pada individu dengan skistosomiasis.5
Epidemiologi
Demam tifoid yang tersebar di seluruh dunia tidak tergantung pada iklim.
Kebersihan perorangan yang buruk merupakan sumber dari penyakit ini meskipun
lingkungan hidup umumnya adalah baik. Perbaikan sanitasi dan penyediaan sarana air
yang baik dapat mengurangi penyebaran penyakit ini. Seseorang dapat tertular tifus
apabila terjadi kontak langsung dengan penderita, lewat kotoran, urine, atau
muntahannya yang mengandung bakteri salmonella typhi sebagai organisme yang
menjadi sumber infeksinya.7

Kesimpulan
Pasien laki-laki 18 tahun tahun memiliki keluhan demam sejak 3 hari yang lalu.
Pada pemeriksaan tourniquet test didapati 12 petichiae. Pasien tersebut didiagnosis

21
menderita Demam Berdarah Dengue (DBD). DBD disebabkan oleh virus dengue. Virus
dengue masuk melalui vektor utamanya yaitu nyamuk kebun betina yang disebut Aedes
aegypti. Gejala awalnya dapat berupa nyeri kepala, nyeri retro-orbital, mialgia /
artalgia, ruam kulit, manifestasi perdarahan (petechiae atau uji bending positif), serta
leucopenia. Sering kali komplikasi yang terjadi pada pasien yang menderita DBD
adalah manifestasi sistem saraf pusat kejang, spastisitas, perubahan kesadaran dan
paresis transien, dan beberapa komplikasi lain yang bahkan bisa mengakibatkan
kematian. Penatalaksanaan DBD ada dari yang paling sederhana seperti tirah baring
dan makan makanan lunak, mengkonsumsi obat dan antibiotik, namun ada juga yang
membutuhkan penangan lebih dari pihak medis Pada prognosis orang dewasa,
perjalanan penyakit umumnya lebih ringan daripada anak-anak. Indonesia merupakan
daerah endemik, namun mortalitas DBD cenderung menurun. Sedangkan peningkatan
kasus setiap tahunnya berkaitan dengan sanitasi lingkungan dengan tersedianya tempat
perindukan bagi nyamuk betina yaitu bejana yang berisi air jenih.

Daftar Pustaka
1. Welsby PD. Pemeriksaan fisik dan anamnesis klinis. Jakarta: EGC; 2010.h.181-3.
2. Gleadle Jonathan. At a glance anamnesis dan pemeriksaan fisik. Jakarta: Penerbit
Erlangga; 2007.h.12-21.
3. World Health Organization. Demam berdarah dengue. Jakarta: EGC; 1998.h.17-33.
4. Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, K Simadibrata M, Setiati S. Buku ajar ilmu
penyakit dalam. Jakarta: Interna Publishing; 2009.h.2773-9, 2797-805.
5. Santoso M. Kapita selekta ilmu penyakit dalam. Jakarta: Bidang Penerbitan Yayasan
Diabetes Indonesia; 2004.h.4-8.
6. Sutanto I, Ismid IS, Sjarifuddin PK, Sungkat S. Buku ajar parasitologi kedokteran.
Jakarta: Badan Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia; 2011.h.265-8.
7. Soedarmo SPS, Garna K, Hadinegoro SRS, Satari HI. Buku ajar infeksi dan
pediatri tropis. Jakarta: Ikatan Dokter Anak Indonesia; 2008. h.338-45.
8. Behrman RE, Kliegman RM. Nelson esensi pediatri. Jakarta: EGC; 2010.h.500-1.
9. Gama H. Infeksi dan pediatric tropis. Jakarta: Bagian Ilmu Kesehatan Anak FKUI;
2008.h.338.
10. Ganiswara SG. Farmakologi dan terapi. Jakarta: Bagian Farmologi FKUI;
2007.h.655-60

22

Anda mungkin juga menyukai