Anda di halaman 1dari 20

Tetanus Derajat I Akibat Infeksi

Cinthia
102012148

Mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana


Jalan Arjuna Utara No. 6 Jakarta Barat 11510
Telephone : (021) 5694-2061
Fax : (021)-563 1731
Email: cinro_tsxj@yahoo.com

Pendahuluan
Latar Belakang
Tetanus atau Lockjaw (rahang terkunci) adalah penyakit paralitik spastik akut yang
disebabkan oleh zat tetanospasmin, neurotoksin yang dihasilkan oleh kuman Clostridium tetanii.
Kuman C.tetanii menginfeksi tubuh melalui luka, gigitan serangga, infeksi gigi, infeksi telinga,
bekas suntikan dan pemotongan tali pusat. Dalam tubuh manusia, kuman ini akan berkembang
biak dan menghasilkan eksotoksin, antara lain tetanospasmin yang dapat menyebabkan kekakuan
(spasme) dari otot bergaris. Kekakuan tonus otot ini selalu tampak pada otot masseter dan otot-
otot rangka.1
Insiden dan angka kematian dari penyakit tetanus di negara-negara berkembang seperti
Indonesia, masih cukup tinggi. Oleh karena itu, tetanus masih merupakan masalah kesehatan.
Data statisktik menunjukkan bahwa tetanus neonatorum biasanya terjadi pada 3-14 kelahiran
bayi dengan kondisi non-steril dan ibu yang sebelumnya tidak mendapatkan imunisasi tetanus.
Belakangan ini dengan adanya penyebarluasan program imunisasi di seluruh dunia, maka angka
kesakitan dan angka kematian telah menurun secara drastis.2

1
Isi
Skenario 4
Seorang laki-laki berusia 22 tahun datang ke IGD RS dengan keluhan demam, mulut
terasa kaku, dan nyeri pada tungkai bawah sebelah kanan. Menurut keterangan pasien, 2 minggu
lalu ia mengalami kecelakaan alu lintas dan menderita luka robek pada tungkai bawah kanan.
Luka tersebut dijahit sebanyak 27 jahitan oleh petugas kesehatan di desanya. Saat dilakukan
inspeksi, kulit tungkai bawah kanan didaerah luka tampak kemerahan, teraba panas dan bengkak,
dari sela-sela luka yang dijahit keluar nanah. Pasien juga tidak diberikan antibiotik oleh petugas
kesehatan setelah menjahit lukanya. Pemeriksaan fisik didapatkan tekanan darah 110/70 mmHg,
frekuensi nadi 82x/menit.

Pembahasan
Anamnesis
Anamnesis merupakan tahap awal dalam pemeriksaan untuk mengetahui riwayat
penyakit dan menegakkan diagnosis. Anamnesis harus dilakukan dengan teliti, teratur dan
lengkap karena sebagian besar data yang diperlukan dari anamnesis untuk menegakkan
diagnosis. Anamnesis dapat langsung dilakukan pada pasien (auto-anamnesis) atau terhadap
keluarga atau pengantarnya (allo-anamnesis) bila keadaan pasien tidak memungkinkan untuk
diwawancarai, misalnya dalam keadaan gawat-darurat, afasia akibat strok dan lain sebagainya.3
Anamnesis yang baik terdiri dari identitas, keluhan utama, riwayat penyakit sekarang,
riwayat penyakit dahulu, riwayat obstetri dan ginekologi (khusus wanita), riwayat penyakit
dalam keluarga, anamnesis susunan system dan anamnesis pribadi (meliputi keadaan sosial
ekonomi, budaya, kebiasaan, obat-obatan, lingkungan).3
 Identitas Pasien
Identitas meliputi nama lengkap pasien, umur atau tanggal lahir, alamat,
pendidikan, pekerjaan, suku bangsa, status pernikahan dan agama.
 Keluhan Utama
Keluhan utama adalah keluhan yang dirasakan pasien yang membawa pasien pergi
ke dokter atau mencari pertolongan. Dalam menuliskan keluhan utama harus
disertai dengan indikator waktu, berapa lama pasien mengalami hal tersebut.

2
 Riwayat Penyakit Sekarang
Riwayat perjalanan penyakit merupakan cerita yang kronologis, terperinci dan jelas
mengenai keadaan kesehatan pasien sejak sebelum keluhan utama sampai pasien
datang berobat. Dalam melakukan anamnesis, harus diusahakan mendapatkan data-
data sebagai berikut :
 Waktu dan lamanya keluhan berlangsung
 Sifat dan beratnya serangan, misalnya mendadak, perlahan-lahan, terus
menerus, hilang timbul, cenderung bertambah atau berkurang, dan sebagainya.
 Lokalisasi dan penyebarannya, menetap, menjalar, berpindah-pindah.
 Hubungannya dengan waktu, misalnya pagi lebih sakit daripada siang dan sore,
atau sebaliknya, atau terus menerus tidak mengenal waktu.
 Hubungannya dengan aktivitas, misalnya bertambah berat jika melakukan
aktivitas atau bertambah ringan bila beristirahat.
 Keluhan-keluhan yang menyertai serangan, misalnya keluhan yang mendahului
serangan, atau keluhan yang bersamaan dengan serangan.
 Apakah keluhan baru pertama kali atau sudah berulang kali.
 Faktor risiko dan pencetus serangan, termasuk faktor-faktor yang memperberat
atau meringankan serangan.
 Apakah ada saudara sedarah, atau teman dekat yang menderita keluhan yang
sama.
 Riwayat perjalanan ke daerah endemis untuk penyakit tertentu.
 Perkembangan penyakit, kemungkinan telah terjadi komplikasi atau gejala sisa.
 Upaya yang telah dilakukan dan bagaimana hasilnya, jenis-jenis obat yang telah
diminum oleh pasien; juga tindakan medik lain yang berhubungan dengan
penyakit yang sedang diderita.
 Riwayat Penyakit Dahulu
Bertujuan untuk mengetahui kemungkinan-kemungkinan adanya hubungan antara
penyakit yang pernah diderita dengan penyakitnya sekarang. Tanyakan pula apakah
pasien pernah menderita kecelakaan, menderita penyakit berat dan menjalani
operasi tertentu, memiliki riwayat alergi pada obat-obatan dan makanan tertentu,
dan lain-lain.

3
 Riwayat Keluarga
Penting untuk mencari kemungkinan penyakit herediter, familial atau penyakit
infeksi.
 Riwayat Pribadi
Riwayat pribadi meliputi data-data sosial, ekonomi, pendidikan, dan kebiasaan.
Perlu ditanyakan pula apakah pasien mengalami kesulitan dalam sehari-hari seperti
masalah keuangan, pekerjaan, dan sebagainya. Kebiasaan pasien juga harus
ditanyakan, seperti merokok, memakai sandal saat bepergian, minum alcohol, dan
sebagainya. Selain itu juga pada pasien yang sering bepergian, perlu ditanyakan
apakah baru saja pergi dari tempat endemik penyakit infeksi menular. Dan yang
tidak kalah pentingnya adalah lingkungan tempat tinggal pasien, termasuk keadaan
rumahnya, sanitasi, sumber air minum, tempat pembuangan sampah, ventilasi, dan
sebagainya.

Pemeriksaan Fisik
Beberapa hal yang harus diperhatikan pada pasien adalah :
 Keadaan Umum
Keadaan umum pasien dapat diperhatikan dari ekspresi wajahnya, gaya
berjalannya, dan tanda-tanda spesifik lainnya yang segera tampak begitu kita
melihat pasien.
 Kesadaran
Keadaan pasien dapat diperiksa secara inspeksi dengan melihat reaksi pasien yang
wajar terhadap stimulus visual, auditor maupun taktil.
 Tanda-tanda Vital (Suhu, Tekanan Darah, Nadi, Frekuensi Pernapasan)
Suhu normal tubuh adalah 360-370C.
Tekanan darah normal adalah 120/80 mmHg.
Nadi normal adalah 80-100 kali/menit. Lebih dari 100 disebut takikardia, kurang
dari 80 disebut bradikardia.
Frekuensi pernapasan normal adalah 16-24 kali/menit. Lebih dari 24 disebut
takipneu, kurang dari 24 disebut bradipneu.
 Kulit & Warna Kulit

4
Kualitas kulit pasien harus diperiksa agar dapat membantu menegakkan diagnosis
yang tepat. Diantaranya adalah kelembaban kulit, elastisitas kulit (turgor), atrofi
atau hipertrofi kulit.
Warna kulit juga harus diperiksa, apakah ada eritema (kemerahan akibat
vasodilatasi kapiler), dll..
 Lesi Lain pada Kulit
Apakah terdapat edema (bengkak), atau nanah.
 Kepala dan Wajah
Keadaan wajah, mata, telinga, mulut, rambut, kepala, hidung, mulut, faring,
laring, leher, juga harus diperiksa dengan seksama agar didapatkan data yang
diperlukan.
 Punggung & Pinggang
Pemeriksaan ini harus dilakukan bila ditemukan danya nyeri radikuler, deformitas
tengkuk, punggung dan pinggang, nyeri disekitar vertebra, gangguan miksi dan
defekasi, serta kelemahan lengan dan tungkai.
 Ekstremitas (Otot, Sendi, Sensibilitas, Nyeri)
Perhatikan bentuk otot (eutrofi, hipertrofi, atrofi) dan tonus otot (hipertonus,
hipotonus). Apakah sendi-sendi dapat berfungsi dengan baik.
Pemeriksaan sensibilitas dilakukan dengan tes rasa raba, rasa nyeri, rasa suhu,
rasa gerak, rasa sikap, rasa getar, rasa tekan, rasa nyeri dalam. Dan memeriksa
nyeri dan reaksi terhadap sensasi tersebut. Untuk pemeriksaan ekstremitas,
dilakukan tes refleks.

Pemeriksaan fisik dapat kita lihat dengan adanya luka dan gejala-gejala yang khas pada
penyakit tetanus seperti demam, mulut terasa kaku (trismus), dan nyeri pada tungkai bawah
sebelah kanan. Saatdilakukan inspeksi, kulit tungkai bawah kanan didaerah luka tampak
kemerahan, teraba panas, dan bengkak, dari sela-sela luka yang dijahit keluar nanah. Tekanan
darah pasien 110/70 mmHg, denyut nadi 82x/menit.

5
Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan laboratorium tidak begitu perlu dilakukan. Hal ini disebabkan karena
penyakit tetanus dapat ditegakkan dengan gejala klinis dan anamnesis. Namun dapat dilakukan
pemeriksaan Darah Lengkap, Rontgen pada tungkai bawah sebelah kanan, dan pewarnaan Gram
untuk mengidentifikasi jenis bakteri.

Etiologi
Tetanus disebabkan oleh basil gram positif, Clostridium tetani. Bakteri ini terdapat di
mana-mana dengan habitat alamnya ditanah, tetapi dapat juga diisolasi dari kotoran binatang
peliharaan dan manusia.1
Clostridium tetani merupakan bakteri gram positif berbentuk batang yang selalu
bergerak dan merupakan bakteri anaerob obligat yang menghasilkan spora. Spora yang
dihasilkan tidak berwarna, berbentuk oval, menyerupai raket tenes atau paha ayam. Spora ini
dapat bertahan selama bertahun-tahun pada lingkungan tertentu, tahan terhadap sinar matahari
dan bersifat resisten terhadap berbagai desinfektan dan pendidihan selama 20 menit. Spora
bakteri ini dihancurkan secara tidak sempurna dengan mendidihkan, tetapi dapat dieleminisi
dengan autoklav pada tekanan 1 atmosfir dan 120oC selama 15 menit.
Sel yang terinfeksi oleh bakteri ini dengan mudah dapat diinaktivasi dan bersifat sensitif
terhadap beberapa antibiotik (metronidazol, penicillin dan lainnya).1 Spora tetanus dapat
bertahan hidup dalam air mendidih tetapi tidak di dalam autoklaf, tetapi sel vegetative terbunuh
oleh antibiotic, panas, dan desinfektan baku. C. tetani bukan organisme yang menginvasi
jaringan, malahan menyebabkan penyakit melalui pengaruh toksin tunggal, tetanospasmin yang
lebih sering disebut sebagai toksin tetanus.2
Bakteri ini jarang dikultur, karena diagnosanya berdasarkan klinis. Clostridium tetani
menghasilkan efek-efek klinis melalui eksotoksin yang kuat. Tetanospasmin dihasilkan dalam
sel-sel yang terinfeksi di bawah kendali plasmin. Tetanospasmin ini merupakan rantai
polipeptida tunggal. Dengan autolisis, toksin rantai tunggal dilepaskan dan terbelah untuk
membentuk heterodimer yang terdiri dari rantai berat (100kDa) yang memediasi pengikatannya
dengan reseptorsel saraf dan masuknya ke dalam sel, sedangkan rantai ringan (50kDa) berperan
untuk memblokade perlepasan neurotransmitter.

6
Telah diketahui urutan genom dari Clostridium tetani. Struktur asam amino dari dua
toksin yang paling kuat yang pernah diketemukan yaitu toksin botulinum dan toksin tetanus
secara parsial bersifat homolog. Peranan toksin tetanus dalam tubuh organisme belum jelas
diketahui. DNA toksin ini terkandung dalam plasmid. Adanya bakteri belum tentu
mengindikasikan infeksi, karena tidak semua strain mempunyai plasmid. Belum banyak
penelitian tentang sensitifitas antimikrobial bakteri ini.1

Epidemiologi
Tetanus terjadi secara sporadis dan hampir selalu menimpa individu non imun, individu
dengan imunitas parsial dan individu dengan imunitas penuh yang kemudian gagal
mempertahankan imunitas secara adekuat dengan vaksinasi ulangan.1
Penyakit ini umumnya terjadi di daerah pertanian, di daerah pedesaan, pada daerah
dengan iklim hangat , selama musim panas dan pada penduduk pria. Pada Negara-negara tanpa
program imunisasi yang komprehensif, tetanus terjadi terutama pada neonates dan anak-anak.
Walaupun WHO menetapkan target mengeradikasi tetanus pada tahun 1995, tetanus tetap
bersifat endemik pada negara-negara sedang berkembang dan WHO memperkirakan kurang
lebih 1.000.000 kematian akibat tetanus di seluruh dunia pada tahun 1992, termasuk didalamnya
580.000 kematian akibat tetanus neonatorum, 210.000 di Asia Tenggara dan 152.000 di Afrika.
Penyakit ini jarang dijumpai di negara-negara maju. Di Afrika Selatan, kira-kira terdapat 300
kasus pertahun, kira-kira 12-15 kasus dilaporkan terjadi tiap tahun di Inggris.
Tetanus didapatkan akibat trauma di dalam rumah atau selama bertani, berkebun dan
aktivitas luar ruangan yang lain. Trauma yang menyebabkan tetanus bisa berupa luka besar tapi
dapat juga berupa luka kecil, sehingga pasien tidak mencari pertolongan medis, bahkan pada
beberapa kasus tidak dapat diidentifikasi adanya trauma.
Resiko terjadinya tetanus paling tinggi pada populasi usia tua. Survey serologis skala luas
terhadap antibody tetanus dan differi yang dilakukan antara tahun 1988-1994 menunjukkan
bahwa secara keseluruhan, 72% penduduk Amerika Serikat berusia diantara 6 tahun terlindungi
terhadap tetanus. Sedangkan pada anak 6-11 tahun sebesar 91% , persentasi ini menurun dengan
bertambahnya usia; hanya 30% individu berusia diatas 70 tahun (pria 45%, wanita 21%) yang
mempunyai tingkat antibodi yang adekuat.1

7
Patogenesis
Sering terjadi kontaminasi luka oleh spora C tetani. C tetani sendiri tidak menyebabkan
inflamasi dan port d’entrae tetap tampak tenang tanpa tanda inflamasi, kecuali apabila ada
infeksi oleh mikroorganisme yang lain. Dalam kondisi anaerobik yang dijumpai pada jaringan
nekrotik dan terinfeksi, basil tetanus mensekresi dua macam toksin; tetanospasmin dan
tetanolisin. Tetanolisin mampu secara lokal merusak jaringan yang masih hidup yang
mengelilingi sumber infeksi dan mengoptimalkan kondisi yamg memungkinkan multipliksai
bakteri.1
Tetanospasmin menghasilkan sindroma klinis tetanus. Toksin ini mungkin mencakup
lebih dari 5% dari berat organisme. Toksin ini merupakan polipeptida rantai ganda dengan berat
150.000 Da yang semula bersifat inaktif. Rantai berat (100.000 Da) dan rantai ringan (50.000
Da) dihubungkan oleh suatu ikatan yang sensitif terhadap protease dan dipecah oleh protease
jaringan yang menghasilkan jembatan disulfida yang menghubungkan dua rantai ini. Ujung
karboksil dari rantai berat terikat pada membran saraf dan ujung amino memungkinkan
masuknya toksin ke dalam sel.
Jika toksin yang dihasilkan banyak,ia dapat memasuki aliran darah yang kemudian
berdifusi untuk terikat pada ujung-ujung saraf di seluruh tubuh. Toksin kemudian akan menyebar
dan ditransportasikan dalam akson dan secara retrogred ke dalam badan sel di batang otak dan
saraf spinal.
Transpor terjadi pertama kali pada saraf motorik, lalu ke saraf sensorik dan saraf otonom.
Jika toksin telah masuk ke dalam sel, ia akan berdifusi keluar dan akan masuk dan
mempengaruhi ke neuron di dekatnya. Apabila interneuron inhibitori spinal terpengaruh, gejala-
gejala tetanus akan muncul. Transport intraneuronal retrogred lebih jauh terjadi dengan
menyebarnya toksin ke batang otak dan otak tengah. Penyebaran ini meliputi transfer melewati
celah sinaptik dengan suatu mekanisme yang tidak jelas.
Setelah internalisasi ke dalam neuron inhibitori, ikatan disulfida yang menghubungkan
rantai ringan dan rantai berat akan berkurang, membebaskan rantai ringan. Efek toksin dihasilkan
melalui pencegahan lepasnya neurotransmitter. Sinaptobrevin merupakan protein membran yang
diperlukan untuk keluarnya vesikel intraseluler yang mengandung neurotransmitter. Rantai
ringan tetanoplasmin merupakan metalloproteinase zink yang membelah sinaptobrevin pada
suatu titik tunggal, sehingga mencegah perlepasan neurotransmitter.

8
Toksin ini mempunyai efek dominan pada neuron inhibitori, di mana setelah toksin
menyeberangi sinapsis untuk mencapai presinaptik, ia akan memblokade perlepasan
neurotransmitter inhibitori yaitu glisin dan asam aminobutirik (GABA). Interneuron yang
menghambat neuron motorik alfa yang pertama kali dipengaruhi, sehingga neuron motorik ini
kehilangan fungsi inhibisinya.
Lalu (karena jalur yang lebih panjang) neuron simpatetik preganglionik pada ujung
lateral dan pusat parasimpatik juga dipengaruhi. Neuron motorik juga dipengaruhi dengan cara
yang sama dan perlepasan asetilkolin ke dalam celah neuromuskuler dikurangi. Pengaruh ini
mirip dengan aktivitas toksin botulinum yang mengakibatkan paralisis flaksid. Namun kemudian,
pada tetanus efek disinhibitori neuron motorik lebih berpengaruh dari pada berkurangnya fungsi
pada ujung neuromuskuler. Pusat medulla dan hipotalamus mungkin juga dipengaruhi.
Tetanospasmin mempunyai efek konvulsan kortikal pada penelitian pada hewan. Apakah
mekanisme ini berperan terhadap spasme intermiten dan serangan autonomic, masih belum jelas.
Efek prejungsional dari ujung neuromuskuler dapat berakibat kelemahan di antara dua spasme
dan dapat berperan pada paralisis saraf kranial yang dijumpai pada tetanus sefalik dan myopati
yang terjadi setelah pemulihan. Pada spesies yang lain, tetanus menghasilkan gejala karakteristik
berupa paralisis flaksid.1
Aliran eferen yang tak terkendali dari saraf motorik pada korda dan batang otak akan
menyebabkan kekakuan dan spasme muskuler yang dapat menyerupai konvulsi. Refleks inhibisi
dari kelompok otot antagonis hilang, sedangkan otot-otot agonis dan antagonis berkonstraksi
secara simultan. Spasme otot sangatlah nyeri dan dapat berakibat fraktur atau ruptur tendon. Otot
rahang, wajah dan kepala sering terlibat pertama kali karena jalur aksonalnya lebih pendek.
Tubuh dan anggota tubuh mengikuti, sedangkan otot-otot perifer tangan dan kaki relative jarang
terlibat.
Aliran impuls otonomik yang tidak terkendali akan berakibat terganggunya control
otonomik dengan aktifitas berlebih saraf simpatik dan kadar katekolamin plasma yang
berlebihan. Terikatnya toksi pada neuron bersifat ireversibel. Pemulihan membutuhkan
tumbuhnya ujung saraf yang baru yang menjelaskan mengapa tetanus berdurasi lama.
Pada tetanus lokal, hanya saraf-saraf yang menginervasi otot-otot yang bersangkutan yang
terlibat. Tetanus generalisata terjadi apabila toksin yang dilepaskan di dalam luka memasuki
aliran limfa dan darah dan menyebar luas mencapai ujung saraf terminal; sawar darah otak

9
memblokade masuknya toksin secara langsung ke dalam system saraf pusat. Jika diamsusikan
bahwa waktu transport intraneuronal sama pada semua saraf, serabut saraf yang pendek akan
terpengaruh sebelum serabut saraf yang panjang; hal ini menjelaskan urutan keterlibatan srabut
saraf di kepala, tubuh dan ekstremitas pada tetanus generalisata.1

Manifestasi Klinis
Masa tunas biasanya 5 – 14 hari, tetapi kadang-kadang sampai beberapa minggu pada
infeksi ringan atau kalau terjadi modifikasi penyakit oleh antiserum. Penyakit ini biasanya terjadi
mendadak dengan ketegangan otot yang makin bertambah terutama pada rahang dan leher.
Dalam waktu 48 jam penyakit ini menjadi nyata dengan :
1. Trismus (kesukaran membuka mulut) karena spasme otot-otot mastikatoris
2. Kaku kuduk sampai opistotonus (karena ketegangan otot-otot erektor trunki)
3. Ketegangan otot dinding perut
4. Kejang tonik terutama bila dirangsang (karena toksin yang terdapat di kornu anterior)
5. Risus sardonikus, karena spasme otot muka (alis tertarik ke atas, sudut mulut tertarik ke
luar dan ke bawah, bibir tertekan kuat pada gigi)
6. Kesukaran menelan, gelisah, mudah terangsang, nyeri kepala, nyeri anggota badan
7. Spasme yang khas, yaitu badan kaku dengan opistotonus, ekstremitas inferior dalam
keadaan ekstensi, lengan kaku dan tangan mengepal kuaty. Anak tetap sadar. Spasme
mjula-mula intermiten diselingi periode relaksasi. Kemudian tidak jelas lagi dan serangan
tersebut disertai rasa nyeri. Kadang-kadang terjadi perdarahan intramuskulus karena
kontraksi yang kuat.
8. Asfiksia dan sianosis terjadi akibat serangan pada otot pernapasan dan laring. Retensi
urin dapat terjadi karena spasme otot uretral. Fraktura kolumna vertebralis dapat pula
terjadi karena kontraksi otot yang sangat kuat.
9. Demam biasanya tidak tinggi dan terdapat pada stadium akhir.
10. Biasanya terdapat leukositosis ringan dan kadang-kadang peninggian tekanan
intrakranial.4

10
Ada 3 bentuk tetanus yang dikenal secara klinis, yakni:
1. Localited tetanus (tetanus local)
2. Cephalic tetanus
3. Generalized tetanus (tetanus umum)7
Beberapa jenis tetanus adalah :
 Tetanus Generalisata
Merupakan bentuk yang paling umum dari tetanus, yang ditandai dengan
meningkatnya tonus otot dan spasme generalisata. Masa inkubasi bervariasi,
tergantung dari lokasi luka, dan lebih singkat pada tetanus berat, median
onset setelah trauma adalah 7 hari; 15% kasus terjadi dalam 3 hari dan 10%
terjadi setelah 14 hari. 1
Terdapat trias klinis berupa rigiditas, spasme otot, dan apabila berat disfungsi
otonomik. Kaku kuduk, nyeri tenggorokan, dan kesulitan untuk membuka
mulut, sering merupakan gejala awal tetanus. Spasme otot masseter
menyebabkan trismus ‘rahang terkunci’. Spasme secara progresif meluas ke
otot-otot wajah menyebabkan ekspresi wajah yang khas ‘risus sardonicus’
dan meluas ke otot-otot menelan yang menyebabkan disfagia. Rigiditas otot
leher menyebabkan retraksi kepala. Rigiditas tubuh menyebabkan
opistotonus dan gangguan respirasi dengan menurunnya kelenturan dinding
dada. Refleks tendon dalam meningkat. Pasien dapat demam, walaupun
banyak yang tidak, sedangkan kesadaran tidak terpengaruh. 1
Disamping peningkatan tonus otot, terdapat spasme otot yang bersifat
episodik. Kontraksi tonik ini tampak seperti konvulsi yang terjadi pada
kelompok otot agonis dan antagonis secara bersamaan. Kontraksi ini dapat
bersifat spontan atau dipicu oleh stimulus berupa sentuhan, stimulus visual,
auditori, atau emosional.
Pada bentuk yang paling umum dari tetanus, yaitu tetanus generalisata, otot-
otot diseluruh tubuh terpengaruh. Otot-otot di kepala dan leher biasanya
pertama kali terpengaruh dengan penyebaran kaudal yang progresif keseluruh
tubuh.

11
Sebelum adanya ventilasi buatan, banyak pasien dengan tetanus berat
meninggal akibat gagal napas akut. Seiring dengan perkembangan penelitian,
tetanus terbukti mempengaruhi saraf simpatis sehingga meningkatkan tonus
simpatik menyebabkan takikardia persisten dan hipertensi. Juga dijumpai
vasokonstriksi yang tampak jelas, hiperpireksia, keringat berlebihan.
 Tetanus Neonatorum
Biasanya terjadi dalam bentuk generalisata dan biasanya fatal jika tidak
diterapi. Dijumpai pada bayi yang dilahirkan oleh ibu yang tidak diimunisasi
secara adekuat, terutama setelah perawatan bekas potongan tali pusat yang
tidak steril. Resiko infeksi tergantung pada panjang tali pusat, kebersihan
lingkungan, dan kebersihan saat mengikat dan memotong umbilikus. Onset
biasanya dalam 2 minggu kehidupan pertama. Rigiditas, sulit menelan ASI,
iritabilitas, dan spasme merupakan ciri khas tetanus neonatorum. 90% pasien
meninggal, dan retardasi mental pada yang bertahan hidup. 1
 Tetanus Lokal
Merupakan bentuk yang jarang, dimana manifestasi klinisnya terbatas hanya
di otot-otot sekitar luka. Kelemahan otot dapat terjadi akibat peran toksin
pada tempat hubungan neuromuskuler. Gejala-gejalanya bersifat ringan dan
dapat bertahan sampai berbulan-bulan. Prognosisnya baik.
 Tetanus Sefalik
Merupakan bentuk yang jarang dari tetanus lokal, yang terjadi setelah trauma
kepala dan infeksi telinga. Masa inkubasinya 1-2 hari. Dijumpai trismus dan
disfungsi satu atau lebih saraf kranial, yang tersering adalah saraf ke-7.
Disfagia dan paralisis otot ekstraokular dapat terjadi. Mortalitasnya tinggi. 1

Working Diagnosis
Diagnosis tetanus mutlak didasarkan pada gejala klinis. Tetanus tidaklah mungkin
apabila terdapat riwayat serial vaskinasi yang telah diberikan secara lengkap dan vaksin ulangan
yang sesuai telah diberikan. Secret luka hendaknya dikultur pada kasus yang dicurigai tetanus.
Namun demikian, C. tetani dapat diisolasi dari luka pasien tanpa tetanus sering tidak dapat

12
ditemukan dari luka pasien tetanus, kultur yang positif bukan merupakan bukti bahwa organisme
tersebut menghasilkan toksin dan menyebabkan tetanus.1
Lekosit mungkin meningkat. Pemeriksaan cairan serebrospinal menunjukkan hasil yang
normal. Elektromyogram mungkin menunjukkan impuls unit-unit motorik dan pemendekan atau
tidak adayna interval tenang yang secar normal dijumpai setelah potensial aksi. Perubahan non
spesifik dapat dijumpai pada elektrokardiogram. Enzim otot mungkin meningkat. Kadar antitoksi
serum ≥ 0,15 U/ml dianggap protektif dan pada kadar ini tetanus tidak mungkin terjadi,
walaupun ada beberapa kasus yang terjadi pada kadadar antitoksin yang protektif.1
Diagnosis diferensialnya mencakup kondisi lokal yang dapat menyebabbkan trismus,
miseperti abses alveolar, keracunan striknin, reaksi obat distonik (misalnya terhadap fenotiasin
dan metoklorpramid) tetanus hipokalsemik, dan perubahan-perubahan metabolic dan neurologis
pada neonatal. Kondisi-kondisi lain ydikacaukan dengan tetanus lemiputi meningitis/ensefalitis,
rabies dan proses intraabdominal akut (karena kekakuan abdomen). Meningkatnya tonus pada
otot sentral (wajah, leher, dada, dpunggung, dan perut) yang tumpang tindih dengan spasme
generalisata dan tida terlibatnya tangna dan kaki secara kuat menyokong diagnose tetanus.1

Derajat Keparahan
Terdapat beberapa sistem pembagian derajat keparahan yang dilaporkan. Sistem yang paling
sering dipakai adalah oleh Ablett : 1
 Derajat I (ringan)
Trismus ringan sampai sedang, spastisitas generalisata, tanpa gangguan
pernapasan, tanpa spasme, sedikit atau tanpa disfagia.
 Derajat II (sedang)
Trismus sedang, rigiditas tampak jelas, spasme singkat ringan sampai sedang,
gangguan pernapasan sedang dengan frekuensi pernapasan lebih dari 30x,
disfagia ringan.
 Derajat III (berat)
Trismus berat, spastisitas generalisata, spasme refleks berkepanjangan,
frekuensi pernapasan lebih dari 40x, serangan apnea, disfagia berat dan
takikardia lebih dari 120.

13
 Derajat IV (sangat berat)
Derajat tiga dengan gangguan ototnomik berat melibatkan sistem
kardiovaskular, hipertensi berat dan takikardia terjadi berselingan dengan
hipotensi dan bradikardia, salah satunya dapat menetap.

Selain itu ada pula cara Phillips, dengan menggunakan score (angka) :
No Tolak Ukur Keterangan Nilai
1 Inkubasi <48 jam 5
2-5 hari 4
6-10 hari 3
11-14 hari 2
>14 hari 1
2 Lokalisasi Internal / Umbilikal 5
Infeksi / Port d’ Leher, kepala badan, dinding tubuh 4
entrae Ekstremitas proksimal 3
Ekstremitas distal 2
Tidak diketahui 1
3 Imunisasi Tidak ada 10
Mungkin ada, ibu 8
>10 tahun yang lalu 4
<10 tahun yang lalu 2
Proteksi lengkap 0
4 Faktor yang Penyakit / trauma yg membahayakan jiwa 10
memberatkan Keadaan yg tidak langsung membahayakan 8
jiwa
Keadaan yang tidak membahayakan jiwa 4
Trauma / penyakit ringan 2
ASA- derajat status fisik penderita 1

14
Dari score yang didapatkan, tentukan derajat beratnya penyakit :
Tetanus Ringan : <9
Tetanus Sedang : 9 – 16
Tetanus Berat : > 16

Differential Diagnosis
Meningitis
Meningitis adalah peradangan pada meningia, yang mempunyai gejala-gejala berupa
bertambahnya jumlah dan berubahnya susunan cairan serebro-spinal (CSS).5 Meningitis ditandai
dengan demam, nyeri kepala, kaku leher, dan fotofobia, dan dapat disebabkan oleh bakteri dan
virus.6
1) Meningitis bakterialis, sering dihubungkan dengan sindrom sepsis (demam, takikardia,
hipotensi, atau syok). Diperberat oleh koagulasi intravascular diseminata, yang diinduksi oleh
septicemia. Meningitis biasanya terjadi karena bakteremia yang disebabkan oleh Neisseria
meningitides, walaupun Streptococcus pneumonia dapat muncul pada orang-orang dengan
pneumonoia pneumokokus (lebih sering pada manula dan penyalahguna alkohol) atau kerusakan
dura (fraktur tengkorak, sepsis telinga, atau penyakit sinus).6
2) Meningitis virus ditandai dengan nyeri kepala hebat dan tanda-tanda iritasi meningen yang
kurang jelas dibanding infeksi bakteri.7 Mulainya meningitis akut mempunyai dua pola dominan.
Mulai mendadak, dengan cepat manifestasi syok progresif, purpura, koagulasi intravaskuler
tersebar, dan kadar kesadaran mengurang progresif, dramatis dan sering menunjukkan sepsis
meningokokus mematikan dengan meningitis; manifestasi ini dapat berkembang menjadi
kematian dalam 24 jam.2
Tanda-tanda dan gejala-gejala meningitis yang terkait dengan tanda-tanda nonspesifik
disertai dengan infeksi sistemik atau bakteremia. Tanda-tanda nonspesifik adaah demam,
anoreksia dan makan jelek, gejala infeksi saluran pernapasan atas, mialgia, artralgia, takikardia,
hipotensi, dan berbagai tanda-tadna kulit, seperti petekie, purpura, dan ruam macular
eritematosa. Iritasi meningeal tampak seperti kaku kuduk, nyeri pinggang, tanda Kernig (fleksi
sendi pinggul 90o dengan nyeri pada ekstensi kaki berikutnya), dan tanda Brudzinski (fleksi lutut
dan pinggul yang tidak disengaja setelah fleksi leher saat telentang).2

15
Kejang-kejang (setempat atau menyeluruh) karena serebritis, infark, atau gangguan
elektrolit, ditemukan pada 20-30% penderita dengan meningitis. Mereka lebih sering ditemukan
pada penderita dengan meningitis H. influenza dan pneumokokus daripada mereka dengan
infeksi meningokokus. Kejang-kejang yang terjadi pada saat datang atau dalam hari pertama
dari mulainya biasanya tidak berarti prognostik. Kejang-kejang yang menetap sesudah hari ke-4
sakit dan mereka yang sukar diobati dihubungkan dengan prognosis yang jelek.2

Vulnus Laceratum dengan infeksi sekunder


Vulnus laseratum atau luka robek adalah luka dengan tepi yang tidak beraturan atau
compang camping biasanya karena tarikan atau goresan benda tumpul. Luka ini dapat kita
jumpai pada kejadian kecelakaan lalu lintas dimana bentuk luka tidak beraturan dan kotor,
kedalaman luka bisa menembus lapisan mukosa hingga lapisan otot. Infeksi sekunder adalah
infeksi yang terjadi selama atau setelah pengobatan yang sudah ada infeksi lain.

Penatalaksanaan
Non Medika Mentosa
Tujuan terapi ini berupa mengeliminasi kuman tetani, menetralisirkan peredaran toksin,
mencegah spasme otot dan memberikan bantuan pernafasan sampai pulih.
1. Merawat dan membersihkan luka sebaik-baiknya, berupa: membersihkan luka, irigasi
luka, debridement luka (eksisi jaringan nekrotik), membuang benda asing dalam luka
serta kompres dengan H202.
2. Diet cukup kalori dan protein, bentuk makanan tergantung kemampuan membuka mulut
dan menelan. Bila ada trismus, makanan dapat diberikan personde atau parental.
3. Isolasi untuk menghindari rangsang luar seperti suara dan tindakan terhadap penderita.
4. Oksigen, pernafasan buatan dan trachcostomi bila perlu.
5. Mengatur keseimbangan cairan dan elektrolit.7

Medika Mentosa
 Pengirisan luka bedah dan debridement
Sering diperlukan untuk membuang benda asing atau jaringan yang mati yang menciptakan
pertumbuhan anaerob. Pembedahan harus dilakukan segera, setelah pemberian globulin

16
imun tetanus (GIT) manusia dan antibiotic. Eksisi sisa umbilicus pada tetanus neonatorum
tidak lagi dianjurkan.1
 Antitetanus toksin
Bila toksin tetanus telah memiliki aksonnya pada medulla spinalias, toksin ini tidak dapat
dinetralisasi oleh GIT. Karenanya GIT diberikan sesegera mungkin untuk menetralkan
toksin yang berdifusi dari luka ke sirkulasi sebelum toksin dapat melekat pada kelompok
otot yang jauh. Dosis optimal GIT belum ditentukan. Satu injeksi intramuskuler 500 U GIT
cukup untuk menetralisir toksin tertanus sistemik, tetapi dosis setinggi 3000-6000 U juga
dianjurkan. Infiltrasi GIT kedalam luka sekarang dianggap tidak perlu. Jika GIT tidak ada,
penggunaan globulin imun manusia intravena yang mengandung 4-90 U/ml GIT atau
antitoksin tetanus (ATT) yang berasal dari kuda atau sapi, mungkin diperlukan. GIIV dapat
dipertimbangkan untuk pengobatan tetanus jika GIT tidak ada, tetapi dosis belum diketahui
dan obat ini belum disetujui pemakainnya. Dosis ATT biasanya 50.000-100.000 U, dan
setengahnya diberikan secara intravena dan setengahnya intramuskular, tetapi mungkin
diperlukan sedikit yaitu 10.000 U sudah cukup. Sekitar 15% penderita yang diberikan dosis
biasa ATT akan mengalami penyakit serum. Bila memberikan ATT sangat penting
mencegah untuk kemungkinan sensitifitas pada serum kuda dan desensitasi mungkin juga
diperlukan. Globulin imun yang berasal dari manusia jauh lebih disukai karena waktu
paruhnya lebih lama (30 hari) dan sebenarnya karena tidak adanya alergi dan efek samping
penyakit serum. GIT intratekal yang diberikan untuk menetralisasi toksin tetanus dalam
medulla spinalis tidak efektif.
 Antibiotika
Penisilin G tetap antibiotika pilihan karena kerja klostridiosidnya dan disfungsibilitasnnya
efektif suatu pertimbangan karena aliran darah ke jaringan terjejas dapat terganggu.
Dosisnya adalh 100.000 U/kg/24 jam terbagi dan diberikan pada interval 4-6 jam selama 10-
14 hari. Metronidazol tampak sama efektifnya. Eritromisin dan tetrasiklin (pada penderitaa
usia > 9 tahun) merupakan alternative untuk penderita alergi penisilin.
 Antikonvulsan dan sedative
Semua penderita dengan tetanus menyeluruh memerlukan relaksan otot. Diazepam
memberikan relaksasi maupun pengendalian kejang, dosis inisialnya 0,1-0,2 mg/kg setiap 3
sampai 6 jam diberikan secara intravena kemudian dititrasi untuk menegndalikan spasme

17
tetanus, sesudahnya dipertahankan selama 2-6 minggu sebelum penghentian secara bertahap
(tapered). Juga digunakan magnesium sulfat, benzosiazepin, klorpromazin, dantrolen, dan
baklofen. Baklofen intratekal menghasilkan relaksasi oto sempurna sehingga sering terjadi
apneu; seperti kebanyakan agen lain yang terdaftar, baklofen harus digunakan hanya pada
lingkungan unit perawatan intensif. Angka ketahanan hidup terbaik pada tetanus menyeluruh
dicapai dengan agen penyekat neuromuskuler seperti vekuronium dan pankuronium yang
menghasilkan paralisisflaksid umum yang kemudian ditangani dengan ventilasi mekanik.
Ketidakstabilan autonom diatur dengan agen penyekat alfa dan beta (atau keduanya); morfin
juga terbukti berguna.7

Pencegahan
Mencegah tetanus melalui vaksinasi adalah jauh lebih baik daripada mengobatinya. Pada
anak-anak, vaksin tetanus diberikan sebagai bagian dari vaksin DPT (difteri, pertusis, tetanus).
Dewasa sebaiknya menerima booster pada seseorang yang memiliki luka, jika:
1. Telah menerima booster tetanus dalam waktu 5 tahun terakhir, tidak perlu vaksinasi lebih
lanjut
2. Belum pernah menerima booster dalam waktu 5 tahun terakhir, segera diberikan
vaksinasi
3. Belum pernah menjalani vaksinasi atau vaksinasinya tidak lengkap, diberikan suntikan
immunoglobulin tetanus dan suntikan pertama dari vaksinasi 3 bulanan.
Setiap luka (terutama luka tusukan yang dalam) harus dibersihkan secara seksama karena
kotoran dan jaringan mati akan mempermudah pertumbuhan bakteri Clostridium tetani.9

Komplikasi
Laryngospasm (spasme pita suara) dan / atau kejang otot-otot respirasi menyebabkan
gangguan bernapas. Patah tulang belakang atau tulang panjangyang diakibatkan dari kontraksi
dan kejang-kejang. Hiperaktif dari sistem saraf otonom dapat mengakibatkan hipertensi dan /
atau irama jantung yang abnormal. Infeksi nosokomial karena perawatn di rumah sakit dalam
jangka waktu yang lama. Infeksi sekunder dapat mencakup sepsis, didapatkan dari pemasangan
kateter, pneumonia dan ulkus decubitus.

18
Tabel 1.2 Komplikasi-komplikasi tetanus5
Sistem Komplikasi
Jalan napas Aspirasi
Laringospasme/obstruksi
Obstruksi berkaitan dengan sedatif
Respirasi Apne
Hipoksia
Gagal nafas
ARDS
Komplikasi trakeostomi (stenosis trakea)
Kardiovaskuler Takikardia, hipertensi, iskemia
Hipotensi, bradikardia
Asistol, gagal jantung
Ginjal High output renal failure
Gagal ginjal oligouria
Stasis urin dan infeksi
Gastrointestinal Stasis gaster
Ileus
Diare
Perdarahan
Lain-lain Penurunan berat badan
Tromboembolus
Sepsis dengan gagal organ multipel
Fraktur vertebra selama spasme
Ruptur tendon akibat spasme

Prognosis

Kesimpulan

19
Daftar Pustaka
1. Ismanoe G. Ilmu penyakit dalam. Tetanus. Jilid ke 3. Edisi ke 5. Jakarta : Interna
Publishing, 2009.
2. Behrman, Kliegman, Arvin. Ilmu kesehatan anak. Edisi ke 15. Volume ke 2. Jakarta :
EGC, 2000.
3. Cahyono JBSB, Lusi RA, Verawati, Sitorus R, Utami RCB, Dameria K. Vaksinasi, cara
ampuh cegah penyakit infeksi. Yogyakarta : Penerbit Kanisius, 2010.
4. Pearce EC. Anatomi dan fisiologi untuk paramedis. Jakarta : EGC, 2009.
5. Davey P. At a Glance medicine. Cetakan 8. Jakarta : Penerbit Erlangga, 2011.
6. Wahab AS, penyunting. Ilmu kesehatan anak. Edisi ke-15. Jakarta: EGC, 2000.h.1004-
145.

20

Anda mungkin juga menyukai