PILEK BERBAU
BELAJAR BERTOLAK DARI MASALAH
DIAJUKAN SEBAGAI PEMENUHAN TUGAS PADA MODUL 5.2
BBDM KELOMPOK 7
A. Terminologi
1. Deviasi septum
Peralihan posisi dari septum nasi yang seharusnya di garis median tubuh
2. Udem Konka
Pembengkakan pada tulang rawan yang membagi rongga hidung menjadi meatus
3. Discharge mukopurulen
Sekret mukus kental bercampur pus
B. Rumusan Masalah
1. Mengapa hidung tersumbat secara bergantian?
2. Mengapa keluhan terjadi 1 tahun dan muncul kekambuhan?
3. Mengapa pilek berbau dan discharge mukopurulen?
4. Mengapa penderita bersin saat bangun tidur?
5. Penyebab septum deviasi ke kanan?
6. Mengapa timbul rasa penuh di pangkal hidung?
7. Apa diagnosis sementara?
C. Brainstorming
1. Terdapat proses nasal cycle yang merupalan proses fisiologis untuk meningkatkan
fungsi penciuman dan melindungi rambut hidung. Bila pasien tidak sadar bila satu
lubang tersumbat maka normal. Bila sadar tidak normal.
2. Kemungkinan etiologinya viral atau alergi karena bersifat self limitting maka
mudah sembuh namun mudah untuk kambuh.
3. -Septun deviasi menyebabkan penyumbatan ostium sinus sehingga terhadi
penumpukan cairan pada sinus. Dapat terjadi infeksi pada rongga hidung hingga
menyebabkan sinusitis, sehingga pilek berbau.
-Penyumbatan ostium sinus menyebabkan udara menurun dan tekanan negatif,
ketika pasien inspirasi, bakteri akan masuk ke sinus dan menyebabkan sinusitis.
-Penumpukan sekret menyebabkan rambut hidung tidak dapat bergerak sehingga
benda asing mudah masuk sehingga menyebabkan infeksi
4. Saat tidur, proses fisiologis tubuh untuk mengeluarkan benda asing menurun, akan
tetapi aktivitas mikroorganisme meningkat, sehingga baru terjadi bersin saat
bangun tidur di pagi hari
5. Deviasi septum dapat disebabkan oleh kelainan kongenital, trauma hidung,
penuaan (memperparah deviasi yang sudah ada)
6. Karena inflamasi, terdapat peningkatan aktivitas sel goblet. Namun, terdapat edem
konka sehingga terjadi obstruksi sinus paranasal sehingga terjadi penumpukan
mukus..
7. Dx sementara : rhinosinusitis, rhinitis alergika
D. Peta Konsep
E. Sasaran Belajar
1. Etiologi, faktor resiko dan definisi Rhinosinusitis
2. Patofisiologi, gejala dan tanda Rhinosinusitis
3. Diagnosis banding Rhinosinusitis
4. Pemeriksaan penunjang Rhinosinusitis
5. Tatalaksana Rhinosinusitis
6. Edukasi dan pencegahan Rhinosinusitis
7. Penulisan resep Rhinosinusitis
F. Belajar Mandiri
1. ETIOLOGI, FAKTOR RESIKO DAN DEFINISI RHINOSINUSITIS
Infeksi Jamur
Jamur mengandung protease intrinsik yang dapat menginduksi sitokin via aktivasi
reseptor PAR pada berbagai jenis sel, mungkin melalui respon T Helper ( Th) tipe 2.
Ekstrak jamur dapat menghambat sinyal JAK-STAT1 pada epitel, efek yang dapat
menghambat Th1 dan meningkatkan respons Th2. Jamur juga kemungkinan
memainkan peran kunci dalam sinusitis jamur alergi klasik. Terakhir, dinding sel jamur
mengandung chitin, yang telah terbukti menginduksi respons Th2 pada beberapa model
manusia dan hewan, namun peran rhinosinusitis kronis yang masih belum jelas. Saat
ini, sebagian besar peneliti menduga bahwa jamur kemungkinan berperan penting
dalam etiologi rhinosinusitis
Infeksi Bakteri
Berdasarkan teknik kultur, telah lama menemukan peranan penting dari bakteri
Staphylococcus aureus pada rhinosinusitis kronis. Selain kolonisasi permukaan,
Staphylococcus juga mampu berada di dalam sel epitel dan makrofag pasien
rhinosinusitis. Dalam keadaan normal, bakteri termasuk Staphylococcus menerima
respons pertahanan inang inflamasi Th17. Salah satu kesulitan untuk mendukung
hipotesis bakteri sebagai salah etiologi terjadinya rhinosinusitis kronis adalah kesulitan
dalam menjelaskan respons Th2 yang terlihat pada jaringan pasien yang refrakter.
Namun demikian, tiga hipotesis berbasis bakteri telah diusulkan sebagai berikut: (1)
hipotesis superantigen, (2) hipotesis biofilm, dan (3) hipotesis mikrobiom.
a) Polip hidung
Merupakan massa lunak yang mengandung banyak cairan di dalam rongga hidung,
berwarna putih keabu-abuan, yang terjadi akibat inflamasi mukosa. Bentuk menyerupai
buah anggur, lunak dan dapat digerakkan. Polip timbul dari dinding lateral hidung.
Polip yang diakibatkan proses inflamasi biasanya bilateral.
Polip hidung biasanya diderita oleh orang dewasa usia 30-60 tahun. Laki-laki lebih
dominan dengan perbandingan 2:1 sampai 4:1. Prevalensi polip hidung dari seluruh
orang dewasa Thailand sekitar 1-4%. Prevalensi pada anak-anak jauh lebih rendah.
Prevalensi polip hidung di Swedia sekitar 2,7% dengan laki-laki lebih dominan 2,2:1.
Di Finlandia, prevalensi polip hidung sekitar 4,3%. Di Amerika Serikat dan Eropa,
prevalensi polip 2,1-4,3. Di Indonesia, Sardjono Soejak dan Sri Herawati melaporkan
penderita polip hidung sebesar 4,63% dari semua pengunjung poliklinik THT-KL
RS.Dr. Soetomo Surabaya. Rasio pria dan wanita 2-4:1. Di RSUP H.Adam Malik
Medan selama Maret 2004 sampai Februari 2005, kasus polip hidung sebanyak 26
orang terdiri dari 17 pria (65%) dan 9 wanita (35%). Selama Januari sampai Desember
2010 didapatkan kasus polip hidung sebanyak 43 orang terdiri dari 22 pria (51,2%) dan
21 perempuan (48,8%). Indrawati (2011) melakukan penelitian di RS DR. Sardjito
Yogyakarta, melaporkan terdapat 24 penderita polip dimana tipe 1 sekitar 20,8%, tipe
2 sekitar 58,3%, tipe 3 sekitar 16,7% dan tipe 4 sekitar 4,2%. Faktor genetik dianggap
berperan dalam etiologi polip hidung. Sekitar 14% penderita polip memiliki riwayat
keluarga menderita polip hidung. Etnis dan geografis memiliki peranan dalam
patofisiologi polip. Pada populasi Caucasian dominan polip eosinofilik sementara di
Asia dominan neutrofilik.
Alergi ditengarai sebagai salah satu faktor predisposisi polip hidung karena
mayoritas polip hidung mengandung eosinofil, ada hubungan polip hidung dengan
asthma dan pemeriksaan hidung menunjukkan tanda dan gejala alergi. Suatu meta-
analisis menemukan 19% dari polip hidung mempunyai Ig E spesifik yang merupakan
manifestasi alergi mukosa hidung. Ketidakseimbangan vasomotor dianggap sebagai
salah satu faktor predisposisi polip hidung karena sebagian penderita polip hidung tidak
menderita alergi dan pada pemeriksaan tidak ditemukan alergen yang dapat
mencetuskan alergi. Polip hidung biasanya mengandung sangat sedikit pembuluh darah.
Regulasi vaskular yang tidak baik dan meningkatnya permeabilitas vaskular dapat
menyebabkan edema dan pembentukan polip hidung. Fenomena Bernouilli terjadi
karena menurunnya tekanan akibat konstriksi. Tekanan negatif akan mengakibatkan
inflamasi mukosa hidung yang kemudian memicu terbentuknya polip hidung. Ruptur
epitel mukosa hidung akibat alergi atau infeksi dapat mengakibatkan prolaps lamina
propria dari mukosa. Hal ini akan memicu terbentuknya polip hidung. Infeksi
merupakan faktor yang sangat penting dalam pembentukan polip hidung. Hal ini
didasari pada percobaan yang menunjukkan rusaknya epitel dengan jaringan granulasi
yang berproliferasi akibat infeksi bakteri Streptococcus pneumoniae, Staphylococcus
aureus atau Bacteroides fragilis (merupakan bakteri yang banyak ditemukan pada
rhinosinusitis) atau Pseudomonas aeruginosa yang sering ditemukan pada cystic
fibrosis.
b) Rinitis alergi
Merupakan penyakit inflamasi yang disebabkan oleh reaksi alergi pada pasien atopi
yang sebelumnya sudah tersensitisasi dengan alergen yang sama serta dilepaskannya
suatu mediator kimia ketika terjadi paparan ulangan dengan alergen spesifik tersebut
(von Pirquet, 1986). Menurut WHO ARIA (Allergic Rhinitis and its Impact on Asthma)
tahun 2001, rinitis alergi adalah kelainan pada hidung dengan gejala bersin-bersin,
rinore, rasa gatal dan tersumbat setelah mukosa hidung terpapar alergen yang
diperantarai oleh IgE.
Pada kontak pertama dengan alergen atau tahap sensitisasi, makrofag atau monosit
yang berperan sebagai sel penyaji (Antigen Presenting Cell/APC) akan menangkap
alergen yang menempel di permukaan mukosa hidung. Setelah diproses, antigen akan
membentuk fragmen pendek peptide dan bergabung dengan molekul HLA kelas II
membentuk komplek peptide MHC kelas II (Major Histocompatibility Complex) yang
kemudian dipresentasikan pada sel T helper (Th0). Kemudian sel penyaji akan melepas
sitokin seperti interleukin 1 (IL-1) yang akan mengaktifkan Th0 untuk berproliferasi
menjadi Th1 dan Th2. Th2 akan menghasilkan berbagai sitokin seperti IL-3, IL-4, IL-
5, dan IL-13.
IL-4 dan IL-13 dapat diikat oleh reseptornya di permukaan sel limfosit B, sehingga
sel limfosit B menjadi aktif dan akan memproduksi imunoglobulin E (IgE). IgE di
sirkulasi darah akan masuk ke jaringan dan diikat oleh reseptor IgE di permukaan sel
mastosit atau basofil (sel mediator) sehingga kedua sel ini menjadi aktif. Proses ini
disebut sensitisasi yang menghasilkan sel mediator yang tersensitisasi. Bila mukosa
yang sudah tersensitisasi terpapar alergen yang sama, maka kedua rantai IgE akan
mengikat alergen spesifik dan terjadi degranulasi (pecahnya dinding sel) mastosit dan
basofil dengan akibat terlepasnya mediator kimia yang sudah terbentuk (Performed
Mediators) terutama histamin. Selain histamin juga dikeluarkan Newly Formed
Mediators antara lain prostaglandin D2 (PGD2), Leukotrien D4 (LT D4), Leukotrien
C4 (LT C4), bradikinin, Platelet Activating Factor (PAF), berbagai sitokin (IL-3, IL-
4, IL-5, IL-6, GM-CSF (Granulocyte Macrophage Colony Stimulating Factor) dan
lain-lain. Inilah yang disebut sebagai Reaksi Alergi Fase Cepat (RAFC).
Histamin akan merangsang reseptor H1 pada ujung saraf vidianus sehingga
menimbulkan rasa gatal pada hidung dan bersin-bersin. Histamin juga akan
menyebabkan kelenjar mukosa dan sel goblet mengalami hipersekresi dan
permeabilitas kapiler meningkat sehingga terjadi rinore. Gejala lain adalah hidung
tersumbat akibat vasodilatasi sinusoid. Selain histamin merangsang ujung saraf
Vidianus, juga menyebabkan rangsangan pada mukosa hidung sehingga terjadi
pengeluaran Inter Cellular Adhesion Molecule 1 (ICAM1).
Pada RAFC, sel mastosit juga akan melepaskan molekul kemotaktik yang
menyebabkan akumulasi sel eosinofil dan netrofil di jaringan target. Respons ini tidak
berhenti sampai disini saja, tetapi gejala akan berlanjut dan mencapai puncak 6-8 jam
setelah pemaparan. Pada RAFL ini ditandai dengan penambahan jenis dan jumlah sel
inflamasi seperti eosinofil, limfosit, netrofil, basofil dan mastosit di mukosa hidung
serta peningkatan sitokin seperti IL-3, IL-4, IL-5 dan Granulocyte Macrophag Colony
Stimulating Factor (GM-CSF) dan ICAM1 pada sekret hidung. Timbulnya gejala
hiperaktif atau hiperresponsif hidung adalah akibat peranan eosinofil dengan mediator
inflamasi dari granulnya seperti Eosinophilic Cationic Protein (ECP), Eosiniphilic
Derived Protein (EDP), Major Basic Protein (MBP), dan Eosinophilic Peroxidase
(EPO). Pada fase ini, selain faktor spesifik (alergen), iritasi oleh faktor non spesifik
dapat memperberat gejala seperti asap rokok, bau yang merangsang, perubahan cuaca
dan kelembaban udara yang tinggi (Irawati, Kasakayan, Rusmono, 2008).
Secara mikroskopik tampak adanya dilatasi pembuluh (vascular bad) dengan
pembesaran sel goblet dan sel pembentuk mukus. Terdapat juga pembesaran ruang
interseluler dan penebalan membran basal, serta ditemukan infiltrasi sel-sel eosinofil
pada jaringan mukosa dan submukosa hidung. Gambaran yang ditemukan terdapat
pada saat serangan. Diluar keadaan serangan, mukosa kembali normal. Akan tetapi
serangan dapat terjadi terus-menerus (persisten) sepanjang tahun, sehingga lama
kelamaan terjadi perubahan yang ireversibel, yaitu terjadi proliferasi jaringan ikat dan
hiperplasia mukosa, sehingga tampak mukosa hidung menebal. Dengan masuknya
antigen asing ke dalam tubuh terjadi reaksi yang secara garis besar terdiri dari:
1. Respon primer
Terjadi proses eliminasi dan fagositosis antigen (Ag). Reaksi ini bersifat non
spesifik dan dapat berakhir sampai disini. Bila Ag tidak berhasil seluruhnya
dihilangkan, reaksi berlanjut menjadi respon sekunder.
2. Respon sekunder
Reaksi yang terjadi bersifat spesifik, yang mempunyai tiga kemungkinan ialah
sistem imunitas seluler atau humoral atau keduanya dibangkitkan. Bila Ag berhasil
dieliminasi pada tahap ini, reaksi selesai. Bila Ag masih ada, atau memang sudah ada
defek dari sistem imunologik, maka reaksi berlanjut menjadi respon tersier.
3. Respon tersier
Reaksi imunologik yang terjadi tidak menguntungkan tubuh. Reaksi ini dapat
bersifat sementara atau menetap, tergantung dari daya eliminasi Ag oleh tubuh.
Gell dan Coombs mengklasifikasikan reaksi ini atas 4 tipe, yaitu tipe 1, atau reaksi
anafilaksis (immediate hypersensitivity), tipe 2 atau reaksi sitotoksik, tipe 3 atau reaksi
kompleks imun dan tipe 4 atau reaksi tuberculin (delayed hypersensitivity). Manifestasi
klinis kerusakan jaringan yang banyak dijumpai di bidang THT adalah tipe 1, yaitu
rinitis alergi (Irawati, Kasakayan, Rusmono, 2008).
2. Pemeriksaan Fisik
Pada muka biasanya didapatkan garis Dennie-Morgan dan allergic shinner,
yaitu bayangan gelap di daerah bawah mata karena stasis vena sekunder akibat
obstruksi hidung (Irawati, 2002). Selain itu, dapat ditemukan juga allergic
crease yaitu berupa garis melintang pada dorsum nasi bagian sepertiga bawah.
Garis ini timbul akibat hidung yang sering digosok-gosok oleh punggung tangan
(allergic salute). Pada pemeriksaan rinoskopi ditemukan mukosa hidung basah,
berwarna pucat atau livid dengan konka edema dan sekret yang encer dan banyak.
Perlu juga dilihat adanya kelainan septum atau polip hidung yang dapat
memperberat gejala hidung tersumbat. Selain itu, dapat pula ditemukan
konjungtivis bilateral atau penyakit yang berhubungan lainnya seperti sinusitis
dan otitis media.
a) Transiluminasi
Untuk pemeriksaan sinus maksila, pasien diminta untuk duduk dan mendongakkan
kepalanya ke belakang sambil membuka mulut. Pemeriksa menempelkan penlight/
otoskop/ transiluminator pada bagian pipi di area sinus maksila. Cahaya yang tembus
dan terang pada bagian palatum merupakan pemeriksaan yang normal. Bila cahaya
redup atau tidak tampak sama sekali dapat dicurigai adanya cairan yang kental (pus),
penebalan mukosa, atau bisa juga massa yang mengisi rongga sinus. Bandingkan hasil
pemeriksaan sinus maksila kanan dan kiri.
b) Endoskopi Nasal
Endoskopi nasal dapat menilai kondisi rongga hidung, adanya sekret, patensi
kompleks ostiomeatal, ada tidaknya polip, ukuran konka nasi, udem disekitar orifisium
tuba, hipertrofi adenoid dan penampakan mukosa sinus, ada tidaknya jaringan parut
ataupun krusta (evaluasi pasca operasi). Endoskopi nasal memberikan visualisasi yang
lebih baik untuk mengevaluasi meatus medial dan superior serta area nasofaring.
Endoskopi nasal dapat dilakukan pada pasien anak-anak maupun dewasa tetapi belum
tentu tersedia di fasilitas kesehatan tingkat pertama. Endoskopi nasal dapat dilakukan
dengan atau tanpa pemberian dekongestan. Indikasi endoskopi nasal yaitu evaluasi bila
pengobatan konservatif mengalami kegagalan. Untuk rinosinusitis kronik, endoskopi
nasal mempunyai tingkat sensitivitas sebesar 46 % dan spesifisitas 86 %.
c) Radiologi
Pemeriksaan rontgen dapat dilakukan pada posisi Waters (evaluasi sinus maksila
dan frontal), posisi Caldwell (visualisasi etmoid), dan posisi lateral (untuk evaluasi
adenoid dan sfenoid). Sinusitis ditandai dengan gambaran opak difus pada rongga
sinus, penebalan mukosa (>4 mm), atau adanya air fluid level.
- Ultrasonografi :
- MRI :
- CT Scan :
e) Lain-lain
- biopsy
5. TATALAKSANA RHINOSINUSITIS
- Menghindari konsumsi produk susu yang berlebihan seperti yoghurt, es krim, keju
dan masih banyak lagi, karena hal ini akan membuat penimbunan lendir dalam sinus
menjadi lebih banyak dan semakin parah.
- Buat lingkungan menjadi bersih, infeksi yang terjadi pada penderita penyakit sinus
karena lingkungan yang kurang steril atau kurang bersih, nah agar infeksi tidak semakin
parah, Anda harus rajin membersihkan lingkungan seperti dari debu, polusi dan masih
banyak lagi.
- Hindari merokok, asap dari rokok mengandung toksin atau racun yang sangat
membahayakan saluran pernapasan terutama untuk penderita sinusitis, maka dari itu
jika menderita sinusitis hindari rokok mulai sekarang juga.
- Konsumsi makanan higienis, makanan yang higienis atau bersih akan sangat penting
untuk mendukung proses penyembuhan dari penyakit sinusitis ini, konsumsilah
makanan yang higienis seperti makanan yang telah terjamin mutunya.
- Bersihkan gigi secara rutin, lendir yang terdapat pada gigi juga akan ikut menyokong
pengendapan yang terjadi pada tulang sinus, untuk menghindari hal tersebut terjadi,
rutinlah membersihkan gigi dengan cara gosok gigi ataupun berkumur dengan cairan
pembersih gigi.
- Jangan mengonsumsi makanan penyebab lendir menjadi banyak seperti es, makanan
yang terlalu pedas, makanan yang terlalu asin dan masih banyak lagi, karena hal
tersebut akan memicu lendir menjadi banyak dan menyebabkan pengendapan yang
lebih besar.
Lakukanlah terapi non medikamentosa secara rutin setiap hari, namun apabila tidak ada
perubahan, lebih baik penderita dibawa ke dokter atau rumah sakit terdekat, karena jika
dibiarkan akan sangat berbahaya bisa mengakibatkan infeksi organ yang lain seperti
paru-paru, jantung, tenggorokan (faringitis) dan masih banyak lagi.
Pencegahan Primer
o Koreksi kelainan anatomi hidung sedini mungkin.
o Meminimalkan kontak dengan penderita penyakit saluran pernapasan.
o Menghindari factor pencetus alergi.
o Meminimalka terpapar polutan atau debu lingkungan.
o Menghindari paparan asap rokok.
Pencegahan Sekunder
o Penggunaan obat meliputi obat anti alergi dan dekongestan.
o Bila pengobatan konservatif gagal, dilakukan operasi atau bedah.
Pencegahan Tersier
o Makan makanan yang bergizi untuk meningkatkan daya tahan tubuh untuk.
mempercepat penyembuhan pasca operasi dan pengobatan dengan
antibiotik..
7. PENULISAN RESEP RHINOSINUSITIS
Alamat :……………………………………………………………………….
G. DAFTAR PUSTAKA
Irawati N, Kasakeyan E, Rusmono, N, 2008. Alergi Hidung dalam Buku Ajar Ilmu
Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala Leher. Edisi keenam. Jakarta: FKUI,.
Harmadji S, 1993. Gejala dan Diagnosa Penyakit Alergi THT. Dalam : Kumpulan Makalah
Kursus Penyegar Alergi Imunologi di Bidang THT, Bukit Tinggi.
Irawati N, 2002. Panduan Penatalaksanaan Terkini Rinitis Alergi, Dalam : Kumpulan
Makalah Simposium “Current Opinion In Allergy andClinical Immunology”, Divisi
Alergi- Imunologi Klinik FK UI/RSUPN-CM, Jakarta:55-65.
Kaplan AP dan Cauwenberge PV, 2003. Allergic Rhinitis In : GLORIA Global Resources
Allegy Allergic Rhinitis and Allergic Conjunctivitis, Revised Guidelines, Milwaukeem
USA:P, 12
Adams G., Boies L., Higler P., 1997. Buku Ajar Penyakit THT. Edisi ke enam. Penerbit
Buku Kedokteran EGC. Jakarta: 135-142.
Becker, W., Naumann, H., Pfaltz, C., 1994. Ear, Nose, and Throat Disease. Edisi kedua.
Thieme. New York: 242-260
Wardana I, 2017. Rhinosinusitis Kronik. Denpasar : Universitas Udayana
Mustafa, Murtaza & Patawari, P. 2015. Acute and Chronic Rhinosinusitis,
Pathophysiology, and Treatment. International Journal of Pharmaceutical Science
Invention 4. 30-36