File PDF
File PDF
SKRIPSI
AGRIANA ALI
0606069520
SKRIPSI
AGRIANA ALI
0606069520
NPM : 0606069520
Tanda Tangan :
v Universitas Indonesia
Akhir kata, penulis berharap agar skripsi ini dapat berguna dan bermanfaat bagi
perkembangan ilmu pengetahuan.
Penulis
2011
vi Universitas Indonesia
Pengaruh Penyimpanan Biji pada Suhu Ruang, Dingin, dan Beku terhadap Viabilitas
Biji Belimbing (Averrhoa carambola L.) Kultivar ‘Dewa Baru’ Asal Kecamatan
Cimanggis, Depok
beserta perangkat yang ada (jika diperlukan). Dengan Hak Bebas Royalti
Noneksklusif ini Universitas Indonesia berhak menyimpan,
mengalihmedia/format-kan, mengelola dalam bentuk pangkalan data (database),
merawat, dan memublikasikan tugas akhir saya selama tetap mencantumkan
nama saya sebagai penulis/pencipta dan sebagai pemilik Hak Cipta.
Dibuat di : Depok
Pada tanggal : 14 Juli 2011
Yang menyatakan
(Agriana Ali)
viii
Universitas Indonesia
ix Universitas Indonesia
1. PENDAHULUAN .......................................................................................... 1
x Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
xi
DAFTAR TABEL
Universitas Indonesia
xii
Pengaruh penyimpanan ..., Agriana Ali, FMIPA UI, 2011
1
BAB 1
PENDAHULUAN
Belimbing (Averrhoa carambola L.) merupakan salah satu buah tropis asal
Asia Tenggara (Ploetz 2004: 225). Belimbing sering digunakan sebagai konsumsi
segar maupun industri rumah tangga, seperti manisan buah, selai, dan minuman
segar (Narain dkk. 2001: 145; Supriati dkk. 2006: 51). Belimbing sebagai obat
tradisional juga digunakan untuk obat tekanan darah tinggi (Supriati dkk. 2006:
51) dan memiliki kandungan vitamin C yang relatif cukup tinggi (35 mg/100 g
buah) di antara buah-buah lain, seperti apel dan anggur (BAPPENAS 2000: 3).
Belimbing menurut beberapa peneliti berasal dari Sri Langka dan Pantai
Maluku (Indonesia) (Ludders 2004: 117; Oliveira dkk. 2009: 478). Kultivasi
belimbing sudah dilakukan sejak lama di Malaysia (Ludders 2004: 117) dan di
Indonesia (Oliveira dkk. 2009: 478). Kultivasi di Indonesia berasal dari beberapa
wilayah, seperti Depok (Jawa Barat) (Dinas Pertanian Kota Depok 2007: 46).
Wilayah Depok merupakan salah satu daerah yang membudidayakan beberapa
kultivar belimbing unggulan, yaitu ‘Dewa Baru’, ‘Dewi Murni’, ‘Demak Kunir’,
‘Demak Kapur’, dan ‘Simanis’ (Dinas Pertanian Kota Depok 2007: 9).
Program pembudidayaan belimbing di Kota Depok memerlukan
penanganan yang tepat, yaitu tersedianya bibit belimbing unggul dalam jumlah
yang banyak (Supriati dkk. 2006: 51). Penanganan tersebut meliputi penyimpanan
biji pada kondisi yang optimum untuk mempertahankan viabilitas biji pada saat
akan ditanam kembali (Purwanto 2009: 2). Selain itu, diperlukan penyimpanan
biji yang tepat untuk mengetahui kualitas biji sehingga penting untuk konservasi
plasma nutfah (Schdmit 2000: 1).
Konservasi plasma nutfah dibagi ke dalam 2 tipe, yaitu konservasi in situ
dan ex situ. Konservasi in situ merupakan konservasi yang dilakukan di dalam
habitat alami untuk melestarikan organisme berserta lingkungan sekitar, seperti
hutan lindung dan taman nasional. Konservasi ex situ merupakan konservasi yang
dilakukan di luar habitat alami. Salah satu contoh dari konservasi ex situ ialah
kebun raya, kultur jaringan secara in vitro, bank gen, dan penyimpanan biji.
Penyimpanan biji yang sesuai dapat dijadikan jenis konservasi ex situ yang aman,
Universitas Indonesia
tidak mahal dan metode yang dapat diterima dalam konservasi material genetik
(Hong dkk. 1998: 13; Leunufna 2007: 80).
Konservasi plasma nutfah belimbing telah dilakukan di beberapa negara,
seperti Malaysia (Supriati dkk. 2006: 51), Brazil (Oliveira dkk. 2009: 478), dan
Florida, Amerika Serikat (Campbel dkk. 1989: 272). Pengelolaan belimbing
untuk tujuan konservasi di Indonesia masih tertinggal dari negara lain, seperti
Malaysia. Hal tersebut dikarenakan perkebunan belimbing di Indonesia masih
belum intensif karena keterbatasan bibit bermutu (Supriati dkk. 2006: 51).
Ketersediaan bibit dengan kualitas yang baik dan jumlah yang mencukupi menjadi
prioritas dalam pengelolaan budidaya buah untuk memenuhi permintaan pasar
yang cenderung meningkat (Wulandari 2009: 1). Pengelolaan belimbing yang
belum intensif juga dipengaruhi oleh terbatasnya informasi dan pengetahuan
mengenai kualitas biji belimbing (Purwanto 2009: 2). Kualitas biji tersebut
meliputi segi fisik, fisologis (Silomba 2006: 2) dan kemampuan biji dalam
memertahankan viabilitas selama periode penyimpanan tertentu (Purwanto 2009:
2).
Konservasi plasma nutfah belimbing meliputi penyimpanan biji di
berbagai macam kondisi penyimpanan. Salah satu tujuan konservasi tersebut
ialah mengetahui kualitas biji. Kualitas biji dapat dilakukan melalui studi
viabilitas (Smith dkk. 2003: 448) dan daya simpan biji (Hong dkk. 1998: 13).
Studi viabilitas dan daya simpan biji dapat memberikan informasi penting
mengenai kualitas biji belimbing untuk tujuan konservasi plasma nutfah (Smith
dkk. 2003: 448). Studi yang dilakukan oleh Purwanto (2009: 20--22) didapatkan
hasil bahwa biji belimbing masih dapat berkecambah dengan baik pada kadar air
di bawah kadar air minimum, yaitu 12%. Pengeringan biji belimbing dengan
kadar air biji sebesar 11,07% menghasilkan Daya Berkecambah sebesar 47% dan
Potensi Tumbuh Maksimum sebesar 80%. Biji belimbing juga masih dapat
berkecambah dalam suhu penyimpanan pada suhu dingin (± 5 oC). Daya
Berkecambah yang didapatkan sebesar 26,67% pada suhu penyimpanan di lemari
pendingin selama 12 minggu.
Biji belimbing (Averrhoa carambola L.) berdasarkan karakteristik
penyimpanan biji merupakan biji intermediat (Hong dkk. 1998: 618). Biji
Universitas Indonesia
intermediat pada umumnya terdapat di daerah tropis (Hong dkk. 1998: 21;
Djam’an dkk. 2006: 164), sehingga hanya dapat bertahan disimpan selama periode
yang singkat (mingguan sampai bulanan) (Engelmann dkk. 1995: 27). Viabilitas
biji jenis intermediat akan menurun cepat apabila disimpan secara konvensional
(Djama’an dkk. 2006: 164). Teknik penyimpanan biji dalam periode yang
panjang dengan mempertahankan viabilitas biji ialah kriopreservasi atau
penyimpanan material genetik dalam suhu yang ultra rendah (-196 oC).
Kriopreservasi merupakan salah satu bentuk konservasi ex-situ (Effendi Litz
2003: 111; Leunufna 2007: 80). Penyimpanan biji juga dapat dilakukan dalam
suhu yang rendah (cold storage) dengan kisaran suhu 5 sampai 10 oC dan -15
sampai -20 oC. Biji yang disimpan dalam kondisi tersebut harus mencapai kadar
air optimal sehingga selama dalam penyimpanan tidak mengalami kerusakan
akibat suhu dingin (freezing injury) (Schmidt 2000: 27).
Beberapa penelitian mengenai penyimpanan biji dalam suhu rendah telah
banyak dilakukan, antara lain biji tanaman hutan seperti damar (Agathis damara)
(Djama’an 2006: 164--167), biji tanaman industri seperti kopi (Coffea arabica)
(Engelmann dkk. 1995: 27--31), dan biji tanaman pangan berupa buah-buahan
seperti alpukat (Efendi & Litz 2003: 111--114), dan pepaya (Wulandari 2009: 13).
Informasi mengenai penyimpanan biji belimbing belum sampai pada
penyimpanan dalam suhu di bawah 0 oC, hanya sebatas penyimpanan di dalam
lemari pendingin dengan suhu sekitar 5--7 oC (Oliveira dkk. 2009: 477; Purwanto
2009: 20). Penyimpanan biji dalam periode yang panjang merupakan pendekatan
konservasi yang penting untuk plasma nutfah tanaman (Djama’an 2006: 164).
Oleh karena itu, studi mengenai viabilitas biji dan daya simpan biji belimbing
perlu dilakukan untuk menambah informasi mengenai konservasi plasma nutfah
belimbing.
Penelitian dilakukan untuk mengetahui kualitas biji belimbing (Averrhoa
carambola L.) kultivar ‘Dewa Baru’ asal Kecamatan Cimanggis, Depok setelah
penyimpanan biji dalam suhu ruang (27--30 oC), suhu dingin (5 oC) dan suhu beku
(-15 oC) dengan kadar air 40%, 32%, 25%, 18%, 11%, 4%. Hipotesis penelitian
adalah biji belimbing dapat mempertahankan viabilitas dengan kadar air 4% pada
suhu penyimpanan dingin (5 oC).
Universitas Indonesia
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
Belimbing (Averrhoa carambola L.) merupakan salah satu buah tropis asal
Asia Tenggara (Ploetz 2004: 225). Belimbing tumbuh liar di beberapa Pulau
Jawa dengan ketinggian di bawah 500 m, tetapi ada juga yang dibudidayakan
(Hayne 1987: 1073). Buah belimbing mengandung vitamin C yang lebih tinggi
dibandingkan apel dan anggur. Buah belimbing yang dikonsumsi segar berkhasiat
menurunkan tekanan darah tinggi. Industri rumah tangga memanfaatkan
belimbing dalam keperluan, mulai dari buah segar, manisan buah, selai, jeli, dan
minuman dalam bentuk jus. Selain itu, belimbing memiliki tajuk kanopi yang
rimbun dan indah sehingga disukai oleh masyarakat sebagai tanaman hias di
pekarangan (Supriati dkk. 2006: 51).
4 Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
1,25 cm
4 cm
(a) (b)
1,67 cm
4,25 cm
(d)
(c)
Keterangan:
a. Buah belimbing c. Daun belimbing
b. Bunga belimbing d. Biji belimbing
Universitas Indonesia
pohon sebesar 4.553 dengan umur tanaman lebih dari 2 tahun (Dinas Pertanian
Kota Depok 2007: 9).
Universitas Indonesia
dibandingkan kering angin (Purwanto 2009: 19). Hal tersebut dikarenakan biji
mendapatkan aliran udara yang kontinu dibandingkan dengan kering angin. Nilai
daya berkecambah dan potensi tumbuh maksimum dengan metode kipas angin
lebih tinggi dibandingkan dengan kering angin, walaupun tidak berbeda nyata
(Purwanto 2009: 20).
Universitas Indonesia
Viabilitas biji adalah kemampuan biji untuk tetap hidup. Keadaan tersebut
dapat dilihat dari kemampuan biji untuk berkecambah, walaupun dalam keadaan
Universitas Indonesia
abnormal (Smith dkk. 2003: 448). Viabilitas biji dapat dipengaruhi oleh kondisi
penyimpanan biji yang meliputi kelembaban, suhu, dan lama masa penyimpanan.
Viabilitas biji akan mengalami penurunan jika ditempatkan pada kondisi
penyimpanan yang tidak sesuai. Kondisi tersebut meliputi kelembaban dan suhu
yang tinggi atau masa penyimpanan yang sudah lama. Proses metabolisme pada
biji juga dapat menurun apabila dalam kondisi kelembaban dan suhu yang
rendah, dan kandungan karbon dioksida yang cukup tinggi. Faktor penurunan
viabilitas biji berbeda-beda pada setiap spesies. Beberapa spesies hanya dapat
memertahankan viabilitas biji dalam waktu yang singkat. Spesies tersebut
umumnya merupakan biji yang masih segar dan non-dorman. Spesies biji tersebut
cepat mengalami perkecambahan, tetapi tidak dapat bertahan lama apabila dalam
keadaan penyimpanan yang tidak sesuai (Doijode 2001: 6).
Viabilitas biji dipengaruhi oleh 3 faktor, yaitu faktor innate, induced, dan
enforced. Ekstraksi benih merupakan salah satu faktor induced yang
memengaruhi viabilitas biji. Ekstraksi biji dilakukan dengan mengambil biji dari
buah melalui pengupasan atau pemerasan buah (Sadjad 1993 dalam Setyaningrum
2006: 9). Ekstraksi biji dari daging buah atau lendir yang menyelubunginya perlu
ditangani dengan tepat. Ekstraksi biji penting karena biji yang kotor dapat
menginduksi pertumbuhan mikroorganisme sehingga viabilitas biji menurun.
Ekstraksi biji dapat dilakukan dengan berbagai cara, yaitu menggunakan serbuk
gergaji, abu gosok, larutan asam (HCl) atau larutan basa (air kapur, larutan
detergen), atau direndam dalam air (Setyaningrum 2006: 10). Burhanudin (1996:
17) menyatakan bahwa perendaman biji coklat selama 32 jam menghasilkan daya
berkecambah lebih besar sebesar 98% dibandingkan dengan perendaman dalam
air kapur dengan daya berkecambah sebesar 92%. Susilawati (2003: 14) juga
menyatakan bahwa ekstraksi biji mengkudu dengan perendaman dalam air selama
30 menit menghasilkan daya berkecambah lebih tinggi yaitu 25%, dibandingkan
dengan perendaman dalam larutan detergen 1% selama 10 menit dengan daya
berkecambah sebesar 10%.
Paramater viabilitas biji yang biasa diamati ialah Daya Berkecambah (DB)
dan Potensi Tumbuh Maksimum (PTM). Daya Berkecambah adalah parameter
viabilitas potensial dan dihitung berdasarkan persentase kecambah normal yang
Universitas Indonesia
tumbuh pada hari pengamatan pertama dan hari pengamatan kedua (Sadjad 1993
dalam Yullianida & Murniati 2005: 146). Waktu hitungan pertama dan kedua
untuk belimbing belum ada ketentuan yang baku. Berdasarkan studi yang
dilakukan Purwanto (2009: 13), hitungan pertama pada hari ke-22 dan hitungan
kedua pada hari ke-29 hari setelah tanam (hst). Potensi Tumbuh Maksimum
adalah parameter viabilitas total biji dan dihitung berdasarkan persentase
kecambah normal dan abnormal. Daya Berkecambah (DB) dan Potensi Tumbuh
Maksimum (PTM) dihitung dengan rumus:
DB (%) = kecambah normal hari ke-22 + kecambah normal hari ke-29 x 100%
biji yang ditanam
Vigor biji merupakan kemampuan biji untuk tumbuh normal pada kondisi
suboptimum atau menghasilkan pertumbuhan di atas normal pada kondisi
optimum (Sadjad 1993 dalam Zahrok 2007: 34). Biji akan lebih cepat kehilangan
vigor dibandingkan daya berkecambah dalam arti biji masih dapat berkecambah
meskipun vigor biji sudah menurun. Hal tersebut tampak ketika biji
dikecambahkan akan membutuhkan waktu yang relatif lama dan jumlah
kecambah abnormal akan bertambah banyak (Zahrok 2007: 42--43). Vigor biji
berperan penting selama masa penyimpanan biji karena berpengaruh terhadap
kualitas biji ketika ditanam. Kualitas biji tersebut dipengaruhi oleh
perkembangan biji yang sesuai, kondisi lingkungan biji berkecambah, dan nutrisi
yang cukup untuk berkecambah. Vigor biji yang rendah dapat mempengaruhi
kecepatan tumbuh biji dan tumbuhnya kecambah yang abnormal (Doijode 2001:
9--10).
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
Kadar air biji tersebut apabila sebesar 22 persen dapat merusak biji ketika
disimpan dalam suhu -6 oC. Suhu yang rendah efektif dalam menjaga kualitas
biji. Biji tomat, mentimun, dan lada dapat hidup selama 36 bulan pada suhu 20 oC
dan 70 bulan pada suhu 0 oC (Schmidt 2000: 14; Doijode 2001: 12).
Proses pengemasan dalam penyimpanan biji merupakan salah satu faktor
yang penting (Doijode 2001: 13--14). Bahan, metode, dan alat pengemas
ditentukan oleh jenis dan jumlah biji yang dikemas, tipe kemasan, lama
penyimpanan serta kelembapan ruang penyimpanan (Justice & Bass 2002: 154).
Bahan kemasan yang dipakai harus memenuhi syarat, yaitu tidak mudah robek
dan mampu menahan masuknya uap air dan pertukaran gas-gas dari lingkungan
luar (Kuswanto 2003: 45). Oliveira dkk. (2009: 477) menyatakan bahwa biji
belimbing yang disimpan dalam kantung plastik kedap udara dapat
mempertahankan kualitas fisiologis biji. Biji tersebut disimpan selama 90 dan
180 hari pada suhu 10 oC dan 90 hari pada suhu ruang.
Biji intermediat memiliki sifat penyimpanan antara biji ortodoks dan
rekalsitran. Penyimpanan biji intermediat dapat dilakukan dengan
mempertahankan kadar air sekitar 10--12%. Contoh biji tersebut yaitu Averrhoa
carambola dan Carica papaya. Salah satu karakter dalam penyimpanan biji
intermediat ialah relasi negatif antara viabilitas dalam suhu ruang dan kadar air.
Penyimpanan tersebut dalam suhu 20 °C dengan kadar kelembaban 40--50%.
Beberapa biji yang berasal dari daerah tropis dapat bertahan hingga kadar air
sebesar 7--10% (Hong dkk. 1998: 32).
Penyimpanan biji dengan teknik kriopreservasi atau dalam suhu beku
(freeze) (-15 sampai -20 oC) telah dilakukan oleh beberapa peneliti. Beberapa
kriopreservasi biji yang dilakukan, yaitu biji alpukat (Efendi & Litz 2003: 111--
114), damar (Djama’an dkk. 2006: 164--167), kelapa sawit dan kopi (Engelmann
dkk. 1995: 27--31). Biji yang disimpan dalam suhu beku (-20 oC) yang telah
dilakukan, yaitu biji pepaya (Wulandari 2009: 13). Kriopreservasi biji damar
menunjukkan hasil yaitu biji yang berkulit yang divitrifikasi selama 1 jam tanpa
menggunakan krioprotektan PVS2 memiliki persentase rerata kecambah yang
paling tinggi (84,67%). Biji damar yang menggunakan krioprotekan PVS2 pada
vitrifikasi selama 4 minggu meningkatkan viabilitas biji yang dikupas (36,67%)
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
recalcitrant, yaitu Hevea brasiliensis dan Theobroma cacao (Hong dkk. 1998: 4--
6).
Biji intermediat merupakan biji yang dapat dikeringkan dengan kadar air
yang rendah seperti biji ortodoks, tetapi sensitif terhadap suhu rendah (Schmidt
2000: 3). Biji intermediat, akan tetapi, cepat rusak setelah pengeringan mencapai
kurang dari 7--12% tergantung dari spesies masing-masing biji. Kandungan kadar
air tersebut menyebabkan viabilitas menurun dengan cepat selama masa
penyimpanan atau setelah pengeringan dilakukan. Contoh biji yang termasuk
dalam biji intermediat, yaitu Averrhoa carambola, Carica papaya, Citrus spp.,
dan Coffea arabica (Hong dkk. 1998: 21).
Universitas Indonesia
BAB 3
METODOLOGI PENELITIAN
3.2 Alat
3.3 Bahan
Biji belimbing yang digunakan berasal dari buah yang memiliki indeks
kematangan buah senilai 5—6 yaitu bauh sudah berwarna kuning atau orange.
Biji yang telah dipisahkan dari buah kemudian diekstraksi untuk menghilangkan
salut biji yang berlendir. Ekstraksi biji dilakukan dengan direndam dalam air
17 Universitas Indonesia
selama 1--2 jam. Biji yang telah bersih dari salut biji direndam kembali dalam air.
Biji yang abnormal (bulat, pipih dan, mengapung saat direndam) tidak digunakan
dalam penelitian karena akan sulit untuk tumbuh.
Universitas Indonesia
Skala daun 1 memiliki panjang 0--0,9 cm; skala daun 2 memiliki panjang 1--1,9
cm; skala daun 3 memiliki panjang 2--2,9 cm; skala daun 4 memiliki panjang 3--
3,4 cm; skala daun 5 memiliki panjang 3,5--3,9 cm; dan skala daun 6 memiliki
panjang 4--4,4 cm.
a b c
Keterangan:
a. Pengukuran panjang hipokotil
b. Pengukuran panjang epikotil
c. Pengukuran skala daun
Universitas Indonesia
(a) (b)
(b) (c) (d) (e) (f)
Keterangan:
a. Skala daun 1 (0--0,9 cm)
b. Skala daun 2 (1--1,9 cm)
c. Skala daun 3 (2--2,9 cm)
d. Skala daun 4 (3--3,4 cm)
e. Skala daun 5 (3,5--3,9 cm)
f. Skala daun 6 (4--4,4 cm)
Universitas Indonesia
Data hasil penelitian juga dapat dilihat dalam bentuk diagram batang dan
gambar. Selain itu, data hasil penelitian terhadap beberapa parameter persentase
DB, persentase PTM, panjang hipokotil, panjang epikotil, dan skala daun hari ke-
22 dan ke-29. Persentase DB dan PTM dapat dihitung dengan rumus:
DB (%) = kecambah normal hari ke-22 + kecambah normal hari ke-29 x 100%
biji yang ditanam
Universitas Indonesia
BAB 4
HASIL DAN PEMBAHASAN
Parameter
Daya Potensi Tumbuh Panjang Panjang
Perlakuan Berkecambah (%) Maksimum (%) Hipokotil (cm) Epikotil (cm)
Kontrol 90 ± 3,27 92 ± 3,27 2,85 ± 0,12 0,87 ± 0,22
40SR busuk busuk busuk busuk
40SD 75,33 ± 3,4 81,33 ± 1,89 2,96 ± 0,26 1,08 ± 0,06
40SB 1,33 ± 1,89 1,33 ± 1,89 1,17 ± 1,65 0,5 ± 0,71
32SR busuk busuk busuk busuk
32SD 3,33 ± 0,94 6,67 ± 1,89 2,57 ± 0,76 0,83 ± 0,24
32SB 0±0 0±0 0±0 0±0
25SR 75,33 ± 3,4 81,33 ± 4,99 3,24 ± 0,07 0,9 ± 0,03
25SD 16 ± 3,27 22,67 ± 4,99 3 ± 0,54 0,76 ± 0,21
25SB 0±0 0±0 0±0 0±0
18SR 6,67 ± 4,71 25,33 ± 7,54 0,62 ± 0,87 0,05 ± 0,07
18SD 4 ± 5,66 4 ± 5,66 0±0 0±0
18SB dimakan tikus dimakan tikus dimakan tikus dimakan tikus
11SR 2,67 ± 3,77 9,33 ± 6,8 0,62 ± 0,87 0,12 ± 0,17
11SD 56 ± 9,09 61,33 ± 10,5 2,94 ± 0,17 0,94 ± 0,06
11SB 26,67 ± 4,71 36 ± 6,53 2,86 ± 0,46 0,76 ± 0,05
4SR 64,67 ± 10,37 70,67 ± 4,99 2,88 ± 0,15 0,92 ± 0,11
4SD 58 ± 12,96 65,33 ± 10,5 2,94 ± 0,14 0,95 ± 0,11
4SB 58 ± 9,09 66,67 ± 7,54 2,54 ± 0,41 0,87 ± 0,12
22 Universitas Indonesia
Tabel 4.2. Data kumulatif skala daun selama 22 dan 29 hari setelah tanam (hst)
biji belimbing kultivar ‘Dewa Baru’
1 2 3 4 5 6
H-22 H-29 H-22 H-29 H-22 H-29 H-22 H-29 H-22 H-29 H-22 H-29
Kontrol 4 0 7 4 6 4 3 5 1 7 0 2
40SR busuk busuk busuk busuk busuk busuk busuk busuk busuk busuk busuk busuk
40 SD 4 0 5 1 3 2 3 3 2 8 0 2
40 SB 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
32SR busuk busuk busuk busuk busuk busuk busuk busuk busuk busuk busuk busuk
32 SD 0 0 0 0 0 1 0 0 0 0 0 0
32 SB 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
25 SR 5 1 3 1 2 3 1 6 0 9 0 1
25 SD 0 1 0 1 1 1 0 1 0 1 0 1
25 SB 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
18 SR 0 1 0 0 0 0 0 0 0 0 0 1
18 SD 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
18SB dimakan dimakan dimakan dimakan dimakan dimakan dimakan dimakan dimakan dimakan dimakan dimakan
tikus tikus tikus tikus tikus tikus tikus tikus tikus tikus tikus tikus
11 SR 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
11 SD 2 1 6 0 1 4 1 6 0 3 0 1
11 SB 1 2 1 1 2 1 2 2 0 2 0 0
4 SR 5 1 4 0 3 2 0 5 0 8 0 1
4 SD 3 1 5 0 2 2 2 4 0 6 0 2
4 SB 4 1 1 2 1 2 1 3 2 4 0 1
4.1 Pengaruh penyimpanan biji belimbing pada kadar air yang berbeda-beda
Universitas Indonesia
kadar air 11%. Pengeringan biji belimbing dengan kadar air 18% hanya
menunjukkan perkecambahan dengan persentase perkecambahan yang rendah di
suhu ruang dan dingin. Biji belimbing dengan kadar air 18% di suhu beku tidak
tumbuh dikarenakan sebagian besar biji dimakan oleh tikus. Biji belimbing
dengan kadar air 25% menunjukkan adanya perkecambahan di suhu ruang dan
dingin. Perkecambahan biji belimbing di suhu beku tidak menunjukkan adanya
perkecambahan. Biji belimbing dengan kadar air 40% dan 32% menunjukkan
adanya perkecambahan hanya di suhu dingin, sedangkan di suhu ruang biji
menjadi busuk selama penyimpanan dan di suhu beku biji menunjukkan
perkecambahan yang rendah.
Pengeringan biji belimbing dengan kadar air 4% menunjukkan
perkecambahan yang cenderung lebih baik dibandingkan kadar air lain (Gambar
4.1, Gambar 4.2, Gambar 4.3). Penyimpanan biji dengan kadar air rendah untuk
periode waktu yang cukup lama (≥ 1 bulan) tergolong efektif karena mampu
meminimalisir kerusakan yang terjadi pada biji ketika disimpan (Cochrane dkk.
2002: 34). Hal tersebut dikarenakan semakin rendah kadar air biji, laju respirasi
akan semakin rendah, sehingga biji masih dapat berkecambah ketika disimpan
dalam periode waktu yang cenderung lama (Zahrok 2007: 60). Laju respirasi
yang rendah menyebabkan kerja enzim yang berperan dalam merombak cadangan
makanan dalam biji menjadi lambat. Kerja enzim tersebut meliputi enzim β-
amilase, α-amilase dalam merubah pati menjadi glukosa, lipase dalam merubah
lipid menjadi gliserol dan asam lemak, dan protease dalam merubah protein
menjadi asam amino (Mayer & Poljakoff-Mayber 1982: 103--105).
Salah satu faktor yang berperan dalam toleransi biji terhadap kekeringan
adalah protein Late Embryogenic Accumlating/Abundant (LEA). Protein LEA
terbentuk selama masa perkembangan embrio dalam biji. Protein tersebut
berperan dalam resistensi tumbuhan terhadap kondisi sekitar yang kering, salinitas
yang tinggi, dan suhu dingin (Hong-Bo dkk. 2005: 132). Ekspresi gen protein
LEA yang terbentuk berkaitan dengan hormon asam absisat (ABA). Hormon
ABA selain berperan dalam pertumbuhan dan perkembangan tumbuhan, juga
berperan sebagai respons toleransi tumbuhan terhadap stres pada lingkungan,
seperti suhu dingin atau kekeringan (Kobayashi dkk. 2008: 227). Protein LEA
Universitas Indonesia
pada umumnya diinduksi oleh hormon ABA pada kondisi biji yang kering
(Hong-Bo dkk. 2005: 132).
Universitas Indonesia
sampai -5 oC. Hal tersebut dapat diakibatkan karena proses freezing injury pada
biji. Freezing injury atau kerusakan akibat pengkristalan air dalam biji terjadi
karena kandungan air dalam biji masih relatif tinggi dan disimpan pada suhu di
bawah minus nol derajat. Kandungan air tersebut membentuk kristal-kristal es
yang terikat di antara sel dan komponen sel dalam biji (Hong dkk. 1998: 10).
Kristal es tersebut kemudian mencair dan menyebabkan membran sel mengerut
sehingga proses metabolisme dalam sel terganggu dan biji menjadi tidak dapat
berkecambah (Copeland & McDonald 2000 dalam Wulandari 2009: 14).
Pembentukan kristal es tersebut juga merusak jaringan-jaringan di dalam biji
sehingga biji menjadi tidak dapat berkecambah (James 1983: 168). Semua
kerusakan sel dan jaringan saat dibekukan dapat dihindarkan apabila sel mencapai
keadaan tervitrifikasi. Vitrifikasi merupakan peristiwa perubahan zat dari fase
cair ke fase padat atau bentuk seperti gelas (glassy state) tanpa proses kristalisasi
atau nukelasi (Cooper dkk. 1996: 149).
Biji yang tidak dapat berkecambah ketika ditanam juga bisa diakibatkan
oleh peristiwa imbibition injury. Imbibition injury merupakan kerusakan pada biji
ketika proses imbibisi. Kerusakan tersebut terjadi karena penyerapan air ke biji
terlau cepat ketika proses perendaman biji dalam air, sehingga biji menjadi rusak.
Kerusakan biji terjadi karena mucilage pada kulit biji. Mucilage merupakan
bentuk polisakarida yang berperan dalam proses pengangkutan air ke biji atau
hidrasi (Moïse dkk.2005:623). Mucilage pada saat proses imbibisi menjadi
penghalang difusi oksigen pada kulit biji. Selain itu, penyerapan air berlebih
mendukung tumbuhnya mikroorganisme di kulit biji sehingga pertumbuhan dan
perkembangan embrio terhalang karena mikroorganisme yang tumbuh bersaing
untuk mendapatkan oksigen yang tersedia (Mayer & Poljakoff-Mayber 1982: 55).
Berdasarkan hal tersebut penyimpanan di suhu dingin (5 oC) pada biji
belimbing menunjukkan perkecambahan yang lebih baik dibandingkan suhu ruang
dan suhu beku. Hal tersebut dipengaruhi oleh hormon asam absisat (ABA) yang
dapat menginduksi terjadinya toleransi biji terhadap suhu rendah. Hormon ABA
dapat terakumulasi dalam biji ketika biji disimpan dalam kondisi lingkungan yang
dingin (Mohapatra dkk. 1988: 470). Hormon tersebut dapat menginduksi
dormansi biji ketika masa penyimpanan di suhu dingin sehingga biji masih dapat
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
1 cm 1 cm
Keterangan:
a. Biji belimbing pada kadar air 40% disimpan pada suhu ruang (busuk)
b. Biji belimbing pada kadar air 32% disimpan pada suhu ruang (busuk)
c. Biji bellimbing pada kadar air 25% disimpan pada suhu ruang
d. Biji belimbing pada kadar air 18% disimpan pada suhu ruang
e. Biji belimbing pada kadar air 11% disimpan pada suhu ruang
f. Biji belimbing pada kadar air 4% disimpan pada suhu ruang
Universitas Indonesia
10 cm 10 cm 10 cm
(a) (b) (c)
10 cm 10 cm 10 cm
(d) (e) (f)
Keterangan:
a. Biji belimbing pada kadar air 40% disimpan pada suhu dingin
b. Biji belimbing pada kadar air 32% disimpan pada suhu dingin
c. Biji bellimbing pada kadar air 25% disimpan pada suhu dingin
d. Biji belimbing pada kadar air 18% disimpan pada suhu dingin
e. Biji belimbing pada kadar air 11% disimpan pada suhu dingin
f. Biji belimbing pada kadar air 4% disimpan pada suhu dingin
Universitas Indonesia
10 cm 10 cm 10 cm
(a) (b) (c)
10 cm 10 cm 10 cm
(d) (e) (f)
Keterangan:
a. Biji belimbing pada kadar air 40% disimpan pada suhu beku
b. Biji belimbing pada kadar air 32% disimpan pada suhu beku
c. Biji bellimbing pada kadar air 25% disimpan pada suhu beku
d. Biji belimbing pada kadar air 18% disimpan pada suhu beku (dimakan tikus)
e. Biji belimbing pada kadar air 11% disimpan pada suhu beku
f. Biji belimbing pada kadar air 4% disimpan pada suhu beku
Universitas Indonesia
Berdasarkan Gambar 4.4 dan Gambar 4.5, persentase DB dan PTM paling
besar terdapat pada perlakuan 40SD dan 25SR, yaitu sebesar 75,33% untuk nilai
DB dan 81,33% untuk nilai PTM. Hal tersebut menunjukkan bahwa biji
belimbing masih dapat berkecambah walaupun disimpan dalam keadaan kadar air
yang cukup tinggi. Penelitian sebelumnya menggunakan biji rekalsitran Syzigium
cuminii menunjukkan bahwa penyimpanan biji dalam suhu ruang (28--30 oC)
dengan kadar air 24,1% memiliki persentase perkecambahan sebesar 90%. Biji
Syzigium cuminii juga memiliki persentase perkecambahan yang tinggi pada
kadar air yang cukup tinggi, yaitu 24,1% ketika disimpan di suhu 10 oC, sebesar
96,5% (Anandalakshmi dkk. 2005: 571). Hasil penelitian bertolak belakang
dengan teori yang menyebutkan bahwa biji dengan kadar air yang tinggi
cenderung dapat menurunkan viabilitas biji (Carrillo dkk. 2003: 412). Hal
tersebut dikarenakan laju respirasi meningkat sejalan dengan kenaikan kadar air
biji. Respirasi yang berlangsung menyebabkan cadangan makanan berupa
karbohidrat, lemak, dan protein lebih banyak digunakan. Respirasi yang aktif dan
terus-menerus juga menghasilkan alkohol. Senyawa alkohol tersebut dapat
merusak membran sel, sehinga dapat menurunkan viabilitas biji (Syaiful dkk.
2007: 249--250).
Biji masih dapat berkecambah dapat diakibatkan oleh pengaruh hormon
giberelin (GA). Giberelin berperan penting dalam imbibisi air, laju respirasi, dan
aktivitas metabolik. Penyimpanan biji pada perlakuan tersebut bisa dikatakan
memicu kerja hormon GA masih aktif ketika akan dikecambahakan sehingga biji
masih dapat tumbuh (Eira dkk. 2006: 156).
Hasil penelitian menunjukkan bahwa biji belimbing masih dapat
berkecambah dengan kadar air rendah sebesar 4% setelah disimpan selama 4
minggu pada suhu ruang (27--30 oC), suhu dingin (5 oC), dan suhu beku (-15 oC)
dengan nilai berturut-turut yaitu 64,67%, 58%, dan 58%. Penelitian oleh
Purwanto (2009: 22) menunjukkan bahwa biji belimbing juga masih dapat tumbuh
dengan kadar air rendah (6,89%) setelah disimpan selama 4 minggu di suhu ruang
dengan nilai DB sebesar 34,67%. Hasil tersebut menunjukkan biji belimbing
Universitas Indonesia
masih dapat mempertahankan viabilitasnya dengan kadar air rendah. Hal tersebut
dikarenakan laju respirasi biji selama penyimpanan rendah. Semakin rendah
kadar air bij maka semakin rendah laju respirasi biji selama penyimpanan. Hal
tersebut dikarenakan aktivitas enzim yang berperan dalam merombak cadangan
makanan selama pembentukan embrio terhambat sehingga biji masih dapat
berkecambah ketika ingin dikecambahkan (Mayer & Poljakoff-Mayber 1982: 94--
95). Biji dengan kadar air rendah juga dipengaruhi oleh kerja hormon ABA dan
protein LEA. Kedua faktor tersebut berperan dalam respons tumbuhan,
khususnya biji, terhadap kondisi lingkungan yang ekstrim, seperti kekeringan,
atau suhu dingin dan beku. Biji ketika dalam kondisi kering mengaktifkan
hormon ABA yang kemudian menginduksi terbentuknya protein LEA. Aktivasi
hormon ABA dipengaruhi oleh konsentrasi hormon tersebut. Kondisi lingkungan
yang semakin kering akan meningkatkan konsentrasi hormon tersebut. Oleh
karena itu, biji dengan kadar air yang semakin rendah akan mengaktivasi hormon
ABA yang semakin meningkat dan protein LEA yang terbentuk juga meningkat
(Hong-Bo dkk. 2005: 132; Kobayashi dkk. 2008: 227).
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
biji dengan perlakuan 25SR dan 40SD masih dapat mempertahankan vigor biji
dengan kadar air yang relatif tinggi. Pertumbuhan panjang hipokotil dan epikotil
yang baik dan normal juga menunjukkan kualitas biji yang dapat menghasilkan
kecambah yang baik (Syaiful dkk. 2007: 244).
Universitas Indonesia
Skala daun diamati pada hari ke-22 dan ke-29 dengan melihat
pertumbuhan daun. Pertumbuhan diukur dari nodus sampai ujung daun.
Pengamatan dilakukan dengan menghitung jumlah pertumbuhan skala daun 1,
skala daun 2, skala daun 3, skala daun 4, skala daun 5, dan skala daun 6.
Berdasarkan Gambar 4.8 dan Gambar 4.9, pertumbuhan skala daun pada hari ke-
22 tercepat terjadi pada perlakuan 40SD, sedangkan pada hari ke-29 terjadi pada
perlakuan 25SR. Hal tersebut menunjukkan bahwa perlakuan dengan kadar air
tinggi, yaitu 40% dan disimpan pada suhu dingin dan kadar air 25% disimpan
pada suhu ruang masih dapat tumbuh dengan baik.
Pertumbuhan skala daun berhubungan dengan vigor biji yang meliputi
pertumbuhan panjang epikotil dan jumlah daun (Syaiful dkk. 2007: 248). Seiring
dengan pertumbuhan skala daun, maka panjang epikotil dan jumlah daun juga
lebih besar. Pertumbuhan skala daun yang lebih cepat dan besar menunjukkan
pertumbuhan dan kalitas kecambah yang baik (Syaiful dkk. 2007: 245).
Pertumbuhan biji belimbing normal dapat dilihat pada Gambar 4.10.
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
BAB 5
KESIMPULAN DAN SARAN
5.1 Kesimpulan
1. Biji dengan kadar air rendah 4% dapat tumbuh pada suhu simpan ruang
(27--30 oC), suhu dingin (5 oC), dan suhu beku (-15 oC).
2. Kualitas biji belimbing yang paling baik adalah biji yang disimpan selama 4
minggu pada suhu dingin (5 oC) dengan kadar air 40% dan biji yang disimpan
pada suhu ruang (27--30 oC) dengan kadar air 25%.
3. Biji belimbing merupakan biji intermediat.
5.2 Saran
37 Universitas Indonesia
DAFTAR ACUAN
38 Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
Yang, J.C., S.R. Kuo & C.M. Lee. 2008. Germination and storage behavior of
seeds of Litsea coreana Levl. Taiwan J For Science 23(4): 309--321.
Zahrok, S. 2007. Pengaruh kadar air awal dan suhu penyimpanan terhadpa mutu
fisiologis benih kedelai (Glycine max (L.) Merill). Skripsi. Jurusan Biologi
Fakultas Sains dan Teknologi Universitas Islam Negeri Malang, Malang:
79 hlm.
Universitas Indonesia