Anda di halaman 1dari 15

Gambaran Kualitatif serta Pengembangan Hard Skill dan Soft Skill pada Proses Pendidikan

Kedokteran Mahasiswa FK Universitas Baiturrahmah

BAB I
PENDAHULUA

1.1 Latar Belakang


Tuntutan dunia kerja terhadap lulusan perguruan tinggi semakin berat. Bila sebelumnya
tuntutan dunia kerja hanya menitikberatkan pada knowledge skills, tetapi saat ini selain
memperhatikan knowledge skills juga communication skills, leadership skills, teamwork skills,
dan attitude. Alasan utamanya adalah banyak data empirik yang menunjukkan bahwa
keberhasilan karyawan tidak hanya ditentukan oleh knowledge skills, melainkan communication
skills, leadership skills, teamwork skills, dan attitudenya (Ruben dan De Angelis dalam
Sudaryanto dan Aylianawati, 2007). Mahasiswa akan menghadapi dunia kerja setelah ia lulus
dari perguruan tinggi. Hal yang paling dibutuhkan pada saat itu adalah kemampuan mahasiswa
dalam hard skill dan soft skill. Kondisi kerja saat ini ternyata sangat membutuhkan soft skill di
bandingkan dengan hard skill. Hasil penelitian menunjukkan soft skill yang menentukan
kesuksesan seseorang dalam kepemimpinan suatu bisnis. Seperti penelitian (Arnata &
Surjosepuo, 2014) mengemukakan bahwa di Harvard University Amerika Serikat mengatakan
bahwa 20% kesuksesan seseorang diperkirakan berasal dari intelegensia yaitu kemampuan untuk
belajar dan memahami. Sementara itu, 80% sisanya berasal dari kemampuan untuk memahami
diri sendiri dan berinteraksi dengan orang lain.
Era globalisasi di abad ke-21 dan mobilitas peningkatan profesional di seluruh dunia
telah menempatkan dampak yang luar biasa pada tuntutan pengusaha calon lulusan yang ingin
diperkerjakan diperusahaan tersebut (Patil, 2005). Sarjana di abad 21 tidak hanya diwajibkan
memiliki pengetahuan teknis namun dilengkapi dengan soft skill yang relevan untuk tujuan agar
kemampuan dalam berkomunikasi Pekerja lulusan lembaga pendidikan yang tidak memiliki soft
skill baik, umumnya tidak tahan menghadapi dunia kerja (Irma dalam Sudjimat, 2010). Bahkan
menurut Admin (2008), hampir semua perusahaan lebih mendahulukan kemampuan soft skill
pelamar daripada hard skill. Sementara sistem pendidikan kita, pengembangan kompetensi
dalam hard skill mencapai 90,00%, sedang soft skill hanya 10,00% (Santoso, 2008).
David Cleeland (dalam Herman,2008), mendefinisikan soft skill sebagai ketrampilan
seseorang dalam mengelola dirinya dan berhubungan dengan orang lain. Aribowo (Sailah, 2008),
membagi soft skill menjadi dua bagian yaitu intrapersonal skill dan interpersonal skill, yang
tidak lain adalah kemampuan mengatur dirinya sendiri dan kemampuan berhubungan dengan
orang lain. Kemampuan intrapersonal meliputi kemampuan mengendalikan diri, menguasai
stress, mengatur waktu, berpikir kritis, menentukan tujuan hidup, mengatur diri sendiri, dan
kejujuran. Kemampuan interpersonal meliputi kemampuan mengembangkan orang lain,
melayani pelanggan, empati, kepemimpinan, mempengaruhi orang lain, berkomunikasi,
mengatasi konflik, bekerja dalam tim, memotivasi, dan negosiasi.
Menurut Utama, dkk. (2009), soft skills dapat dipergunakan dan dibutuhkan dalam
berbagai bidang pekerjaan (transferable skills). Dengan demikian dapat dinyatakan bahwa soft
skill adalah kemampuan diluar teknis yang lebih fleksibel terhadap lapangan kerja yang meliputi
kemampuan mengelola diri sendiri dan berhubungan dengan orang lain. Sharma (dalam Utama
dkk., 2009), menunjukkan ada tujuh soft skills yang diidentifikasi dan penting dikembangkan
pada peserta didik di lembaga pendidikan tinggi, meliputi; keterampilan berkomunikasi (com-
municative skills), keterampilan berpikir dan menyelesaikan masalah (thinking skills and
problem solving skills), kekuatan kerja tim (team work force), belajar sepanjang hayat dan
pengelolaan informasi (life-long learning and information management), keterampilan wirausaha
(entrepreneur skill), etika, moral dan profesionalisme (ethics, moral and professionalism), dan
keterampilan kepemimpinan (leadership skills).
Penelitian dilakukan oleh Andreas (dalam Jaedun, 2011), menunjukkan bahwa
kompetensi utama yang diharapkan industri meliputi urutan kejujuran, kedisiplinan, kemampuan
berkomunikasi, kemampuan kerjasama, dan penguasaan bidang keahlian. Pengembangan soft
skills hanya efektif melalui penularan (Widyatmika,2010). Salah satunya dengan menjadikan
dosen role model bagi mahasiswanya. Menurut Khairon (Rahman, dkk., 2011), penanaman nilai-
nilai dapat dilakukan dengan cara indoktrinasi mekanistik, pemaksaan, latihan, dan pengulangan.
Demikian pula menurut Kamrani (Rahman, dkk., 2011). Pembelajaran nilai dapat dilakukan
dengan: (1) strategi teladan, yaitu dengan memberi contoh kepada peserta didik tentang nilai-
nilai yang dianut dan menjelaskannya; dan (2) strategi transinternal, yaitu dengan cara menyimak
cerita yang mengandung nilai, menanggapi suatu perilaku dalam cerita tersebut, mendudukkan
nilai yang tertinggi dari nilai yang ada dalam cerita dan internalisasi (memberi makna) nilai.
Urgensi pengembangan hardskill dan softskill menjadi penting ketika dihubungkan
dengan era revolusi industri 4.0. Tiap lulusan professional harus memiliki kemampuan yang
spesifik dalam bekerja. Sehingga sentuhan teknologi akan menyempurnakan hal tersebut.
Revolusi industri mengelola kemampuan manusia dengan teknologi sehingga dapat
menyempurnakan dan mempermudah tugas manusia sebagai subjek.
Studi empiris menunjukkan bahwa iklim organisasi dapat mempengaruhi motivasi
(Mahal, 2009 & Stringer, 2002) juga membuktikan bahwa tiga kebutuhan teori motivasi
McClelland (kebutuhan untuk pencapaian, kebutuhan untuk afiliasi, dan kebutuhan kekuasaan)
dipengaruhi oleh iklim organisasi. Bukti lain menunjukkan bahwa iklim organisasi (iklim
sekolah) mempengaruhi prestasi belajar (Uline & Moran, 2008; Tajasom & Ahmad, 2011).
Gagasan bahwa soft skill bisa diajarkan dan dipelajari di lingkungan akademik telah
menyebabkan berkembangnya beragam program pendidikan kepemimpinan dalam hal ini
perguruan tinggi dan universitas (Brungardt, Greenleaf, Brungardt & Arensdorf, 2006). Hasil
penelitian Brungardt (2006) menunjukkan bahwa pendidikan untuk lulusan perguruan tinggi ini
berpotensi memiliki dampak positif untuk organisasi bangsa ini. Seiring bergantinya zaman telah
berubah dan bergantinya pengaturan didunia kerja. Jadi untuk para pekerja diminta untuk
melakukan tugas secara professional dalam mengoperasi produksi. (Carnevale, Gainer &
Meltzer, 1990).
Putra dan Pratiwi (2005) menjelaskan bahwa menurut survei dari 457 pengusaha yang
dilakukan oleh National Assocition of Colleges (NACE) tahun 2002 di Amerika Serikat,
diperoleh kesimpulan bahwa Indeks Prestasi (IP) hanya no 17 dari 20 kualitas penting dari
lulusan universitas, sedangkan kualitas yang dianggap lebih penting cenderung bersifat tidak
terlihat wujudnya (intangible) yaitu disebut dengan soft skill. Sehingga lahir dokter-dokter masa
depan berpredikat dokter bintang lima (five stars doctor). Lulusun tersebut berasal dari institusi
pendidikan Indonesia dengan kualitas terbaik khususnya dari Fakultas Kedokteran Universitas
Baiturahmah.

1.2 Tujuan Penelitian


Berdasarkan latar belakang diatas, maka tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut:
a. Untuk mengetahui gambaran tentang kualitas hardskill dan softskill mahasiswa FK
Unbrah.
b. Untuk mengetahui cara pengembangan hard skill dan soft skill pada proses pendidikan
mahasiswa saat ini.
c. Untuk menambah khasanah ilmu pengetahuan yang berhubungan dengan metode dan
konten pembelajara.
1.3 Manfaat Peneitian
a.

Tinjaun Pustaka
Hard Skill
Soft Skill
Sejarah Pendidikan Kedokteran
Dokter Bintang Lima
Metodologi
3.1 RANCANGAN PENELITIAN
3.1.1 Desain Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian eksperimental rancang acak lengkap dengan desain
posttest only control group. Penelitian ini merupakan langkah awal dalam penelitian sebelum
hasil penelitian diterapkan pada manusia (trial clinic). Penelitian memberikan perlakuan
terhadap subyek hewan coba di laboratorium.

Kegiatan September-Oktober November Desember Januari


3.1.
2

Wa
ktu
dan
Lok
asi Penelitian
Tabel 3.1 Jadwal Penelitian

Penyusunan Pen
proposal √ eliti
Seminar an
proposal √ ini
Pembuatan dila
ekstrak √ ksa
Persiapan nak
hewan uji √ an
Uji terhadap √ di
tikus Lab
Pengolahan orat
Data √ oriu
Penyusunan m
laporan √ Bio
kim
ia dan Teknologi Fakultas Kedokteran Universitas Tanjungpura dari bulan September-Desember
2014.

3.2. SUBJEK PENELITIAN


3.2.1 Populasi Penelitian
Populasi pada penelitian ini adalah tikus putih (Rattus norvegicus) jantan galur wistar.

3.2.2 Besar Sampel Penelitian


Besar sampel tiap kelompok didapat dengan rumus Federer, dimana (t) adalah jumlah
kelompok perlakuan dan (n) adalah jumlah ulangan untuk tiap perlakuan.
t(n-1) > 15
3(n-1) > 15
(n-1) > 5
n>6
Hasil perhitungan dengan rumus Federer diperoleh hasil, bahwa dalam tiap kelompok
harus mengandung sampel lebih dari atau sama dengan 6 subyek.
Dua belas ekor Rattus norvegicus galur wistar dibagi secara acak (randomisasi kelompok
subjek) dalam dua kelompok perlakuan yang masing-masing terdiri atas enam ekor Rattus
norvegicus galur wistar. Hal karena penelitian ini terangkai, tiga kelompok perlakuan telah
dilakukan pembedahan dan sudah tersedia jaringan heparnya. Kemudian tikus dipelihara sampai
memenuhi kriteria inklusi, diberikan perlakuan, dan dilakukan pembedahan.

3.2.3 Cara Pembedahan Hepar Tikus


Berikut adalah teknik pembedahan hewan uji:
1. Tikus dianastesi dengan menggunakan eter dalam wadah tertutup, kemudian dibunuh
dengan cara dislokasi leher.
2. Tikus diposisikan pada papan bedah menggunakan pins.
3. Tikus dibedah mulai dari bagian perut menggunakan gunting bengkok.
4. Organ hepar diambil dan dpisahkan menggunakan gunting lurus dan pinset.
5. Hepar dibersihkan dari lemak yang masih menempel atau jaringan lain.
6. Hepar dicuci dengan akuades berulang agar bersih dari darah.
7. Hepar dimasukkan segera dalam pot yang sudah tersedia larutan PBS.
8. Berat masing-masing organ dicatat.

3.2.4 Cara Pengambilan Sampel


Sampel hewan yang digunakan pada penelitian ini adalah tikus yang memenuhi kriteria
inklusi dan tidak memenuhi kriteria eksklusi. Sampel diambil dengan teknik simple random
sampling, yaitu pengambilan sampel dengan cara mengambil anggota populasi yang kebetulan
ada atau tersedia secara acak. Pada penelitian ini sampel diperoleh dengan cara memesan /
membeli sejumlah Rattus norvegicus galur Wistar dari populasi yang kriterianya telah ditentukan
seperti pada subjek penelitian di atas. Besar sampel adalah 14 ekor tikus putih, yang dibagi
menjadi 2 kelompok secara random. Hal ini disebabkan 3 kelompok perlakuan sudah dilakukan
pembedahan dan organ heparnya berbentuk bahan biologi tersimpan.
a. Kriteria Inklusi
1. Tikus putih jantan dewasa Rattus norvegicus (Strain Wistar)
2. Umur 3 bulan
3. Berat badan tikus ± 200 gram
4. Kesehatan umum baik
b. Kriteria Ekslusi
1. Tikus tidak mau makan
2. Tikus yang mati selama diberikan periode penelitian

3.3 VARIABEL PENELITIAN


3.3.1. Variabel Bebas
Variabel bebas dalam penelitian ini adalah dosis ekstrak A. paniculata.
3.3.2. Variabel Terikat
Variabel terikat dalam penelitian ini adalah aktivitas spesifik enzim GPx pada jaringan
hepar tikus.

3.4. DEFINISI OPERASIONAL


3.4.1. Dosis Ekstrak A.paniculata
Ekstrak A.paniculata adalah ekstrak dari tanaman A.paniculata yang di dapat dari
perusahaan herbal swasta di Yogyakarta dibuat melalui proses maserasi. Dosis ekstrak ini dibagi
menjadi 3 kelompok dosis (D1: 500 mg/KgBB ; D2: 1000 mg/KgBB ; D3: 2000 mg/KgBB).
Skala yang digunakan adalah skala ordinal

3.4.2. Aktivitas Spesifik GPx


GPx melakukan detoksifikasi peroksida organik dan anorganik dengan mereduksi GSH.
Cara pemeriksaannya dengan menggunakan reagen RANSEL (Randox ®). Satuan dari variabel
ini adalah Unit Gpx/g (U/g) dengan skala nominal.

3.5 INSTRUMEN PENELITIAN


3.5.1 Alat
Beberapa alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah kandang tikus, spuit
(terumo), sonde lambung, spektrofotometer, tissue lyser II (QIAGEN), sentrifuge,
timbangan analitik, timbangan hewan, mikropipet, evaporator, gelas ukur, alat pengocok,
corong pisah, tabung reaksi, mikrohematokrit, handscun, mikrotube.
3.5.2 Bahan
Beberapa bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah Ekstrak A. Paniculata,
senyawa hepatotoksik berupa parasetamol, aquades, makanan standar, reagen untuk
pemeriksaan GPx.

3.6 JALANNYA PENELITIAN


3.6.1. Persiapan Penelitian
a. Pembuatan Ekstrak A. paniculata
Proses maserasi dimulai dengan mencampurkan serbuk A. paniculata dengan pelarut
metanol sampai terendam di dalam bejana yang terbuat dari gelas atau baja tahan karat. Bejana
ditutup dan dibiarkan selama 5 hari terlindung cahaya sambil sesekali diaduk. Pelarut diganti
setiap 1x24 jam. Hasil maserasi dikumpulkan dan disaring. Pemekatan dilakukan dengan rotary
evaporator hingga diperoleh ekstrak A. paniculata.

c. Pembuatan CMC (Carboxymethylcellulose) 0,5 %


CMC sebanyak 0,5 g ditimbang, kemudian ditaburkan di atas air corpus (aquades)
sebanyak 10 kalinya, dibiarkan hingga mengembang. Setelah mengembang tambahkan akuades
hingga 100 mL, diaduk homogen (jika perlu dilakukan pemanasan).

d. Perhitungan Dosis A. paniculata


Berdasarkan penelitian sebelumnya, dosis ekstrak methanol A. paniculata 500mg/KgBB
menunjukan adanya efek hepatoprotektor. Untuk mendapatkan dosis minimum dan dosis efektif
maka dosis yang digunakan pada penelitian ini ditingkatkan dua kali dari dosis penelitian
sebelumnya. Pada penelitian ini terdapat 3 kelompok perlakuan yang diberikan A. paniculata
dengan dosis bertingkat, yaitu sebagai berikut :

Dosis 1 = 2 × 500mg/KgBB = 1000 mg/ KgBB = 0.2 g


Dosis 2 = 2 × 1000mg/ KgBB= 2000 mg/ KgBB = 0.4 g
Dosis 3 = 2 × 2000mg/ KgBB= 4000 mg/ KgBB = 0.8 g
Pembuatan stok:
1 kelompok = 7 tikus
Pemberian ekstrak A. paniculata 1×1 selama 7 hari = 7 × pemberian Stok CMC 0,5% = 7 x 1 =
7 mL
Ekstrak dosis 1 = 0.2 g × 7 = 1.4 g
Ekstrak dosis 2 = 0.4 g × 7 = 2.8 g
Ekstrak dosis 3 = 0.8 g × 7 = 5.6 g
Artinya:
Dosis 1 = 1.4 g/ 7 mL
Dosis 2 = 2.8 g/ 7 mL
Dosis 3 = 5.6 g/ 7 mL

e. Perhitungan Dosis Parasetamol


Dosis toksik parasetamol terjadi pada pemberian dosis tunggal 10-15 gram. Bila dosis
toksik parasetamol yang digunakan 10 gram, dengan faktor konversi menurut Laurence &
Bacharach 0,018 untuk tikus adalah :
= 0,018 x 10 g
= 0.18 g/200gBB
= 180 mg/200g BB tikus putih
= 900 mg/KgBB
Dosis yang akan diberikan sebesar 900 mg/KgBB tikus putih /hari secara peroral. Parasetamol
diberikan setiap hari selama 7 hari.
Pembuatan stok:
1 kelompok = 7 tikus
Pemberian parasetamol 1×1 selama 7 hari = 7 × pemberian Stok CMC 0,5% = 7 x 1 = 7 mL

Stok Dosis Parasetamol selama 7 hari perlakuan


= 180 mg /200gBB × 7
= 1260 mg
= 1,26 g
Artinya:
Dosis parasetamol total yang diberikan per tikus selama 7 hari = 1260 mg/7 ml

f. Perhitungan Dosis Kurkumin


Dosis Kurkumin yang diberikan pada tikus putih jantan kelompok kontrol positif adalah
500 mg/kgBB. Pemberian kurkumin dosis 500 mg/kgBB merupakan dosis efektif yang dapat
memberikan efek hepatoprotektif berdasarkan penelitian sebelumnya.39
Tikus putih yang digunakan pada penelitian ini adalah 200 gBB. Sehingga dosis
kurkumin yang digunakan sebagai berikut :
Dosis kurkumin yang digunakan = 500 mg/kg BB
= 500 mg/1000gr BB
= 100 mg/200gr BB = 500mg/KgBB

3.6.2 Pengujian Efek Hepatoprotektor


a. Aklimatisasi Hewan Uji
Tikus putih (Rattus norvegicus) jantan galur wistar yang memenuhi kriteria inklusi
diaklimatisasikan dengan lingkungan laboratorium selama 1 minggu dan diberi makan pakan
standar dan minum ad libitum.

b. Uji Efek Hepatoprotektor


Percobaaan mulai dilakukan setelah dilakukan adaptasi selama 7 hari dan percobaan
berlangsung selama 7 hari. Pengelompokan subjek:
K1 : sebagai kelompok kontrol negatif, terdiri dari 7 tikus putih yang diberikan diet standar
selama 7 hari.
K2 : sebagai kelompok kontrol positif, terdiri dari 7 ekor tikus putih yang diberi diet standar dan
kurkumin dosis 100 mg/200g BB selama 7 hari dan parasetamol dengan dosis 180 mg/200g BB
tikus putih/ hari selama 7 hari.
K3 : Jaringan hepar sudah tersedia dengan perlakuan yang sama.
K4 : Jaringan hepar sudah tersedia dengan perlakuan yang sama.
K5 : Jaringan hepar sudah tersedia dengan perlakuan yang sama.

3.7 Pengukuran Aktivitas Spesifik Enzim GPx dalam Jaringan


3.7.1 Pembuatan Homogenat Jaringan Hepar
Jaringan hepar ditimbang seberat 100 mg, kemudian dihomogenisasi menggunakan
mikropestel tissue lyser steril dalam larutan buffer PBS (phosphate buffer saline) 0,1M pH 7,4
steril sebanyak 500 μl. Setelah homogen ditambahkan lagi larutan PBS sebanyak 500 μl dan
dihomogenkan kembali. Kemudian sentrifuse dengan kecepatan 5000g selama 5 menit. Pisahkan
supernatant dan pellet, masukkan supernatant dalam tabung baru. Homogenat dapat disimpan
terlebih dahulu didalam lemari es suhu -20oC sebelum pemeriksaan.
Prosedur dibawah menjelaskan tentang mempersiapkan sampel menggunakan
TissueLyser II:
1. TissueLyser adapter set atau Grinding Jar Set dipastikan terpasang dengan kuat pada
TissueLyser II dan penutup transparannya diturunkan.
2. TissueLyser dipastikan terhubung pada sumber listrik.
3. TissueLyser dihidupkan dengan menekan tombol power.
4. Semua prosedur pembuatan homogenat dijalankan sesuai buku petunjuk penggunaan.

3.7.2 Menetapkan Kadar Protein Total Menurut Metode Biuret


Adanya ikatan peptida pada protein akan bereaksi positif dengan pereaksi Biuret yang
akan membentuk warna lembayung dan dapat diukur pada panjang gelombang 540 nm.
Pemeriksaan kadar protein dapat dibandingkan dengan protein BSA dalam berbagai tingkatan
kadar.
Pemeriksan kadar protein total dengan metode Biuret ini dilakukan dengan cara
menambahkan 2 ml pereaksi Biuret ke dalam 25 μl sampel dan standar disertai blanko.
Kemudian larutan didiamkan selama 30 menit untuk kemudian serapan dibaca pada panjang
gelombang 540 nm. Penentuan kadar protein total homogenat hepar ditentukan berdasarkan
persamaan regresi linier kurva standar BSA. Kadar protein total dinyatakan dalam mg/ mL.

3.7.3 Mengukur Aktivitas Spesifik Enzim GPx Jaringan Hepar

Pengukuran aktivitas enzim GPx menggunakan kit RANDOX. Bahan yang digunakan
berasal dari supernatan homogenat jaringan hepar yang merupakan bahan biologis tersimpan
sejak agustus 2014. Reagen yang digunakan untuk mengukur aktivitas enzim GPx pada
kelompok perlakuan adalah reagen RANSEL dan jaringan yang telah ditambahkan reagen dibaca
pada panjang gelombang 340 nm. Reagen ini memiliki prinsip dalam keadaan GR dan NADPH
yang tersedia, GSSH diubah dengan cepat menjadi GSH dengan bersamaan oksidasi dari
NADPH menjadi NADP+.
Komposisi reagen dalam kit ini terdiri atas reagen (GSH, GR, NADPH), buffer (buffer
phospat, EDTA), cumene hydroperoxide, diluting agent. Prinsip reaksi sebagai berikut :

GPx
2GSH + ROOH → ROH + GSSG + H2O

GR
GSSG + NADPH + H+ → NADP+ + 2GSH
Prosedur pemeriksaan aktivitas spesifik GPx adalah dengan menambahkan 0,05 ml
sampel kedalam kuvet pertama dan 0,02 ml sampel kedalam kuvet 2. Akuades ditambahkan 0,05
ml dalam kuvet blanko pertama dan 0,02 ml dalam kuvet blanko kedua Kemudian tambahkan
reagen 2,50 ml pada semua kuvet pertama dan 1,0 ml pada semua kuvet kedua. Tambahkan 0,1
ml cumene dalam semua kuvet pertama dan 0,04 ml dalam semua kuvet kedua. Larutan tersebut
dicampur dengan baik kemudian diinkubasi pada suhu 37oC. Setelah dicampur dengan baik dan
segera dibaca baca pada serapan 340 nm, serapan dicatat setelah 1 dan 2 menit. Pengukuran
aktivitas spesifik GPx didapatkan dengan membagi aktivitas GPx dengan kadar protein total dan
dinyatakan dalam U/mg protein.
3.8 ALUR PENELITIAN

Tikus putih jantan, Rattus norvegicus Populasi


galur wistar, 3 bulan

Sampel (S)n = 14

Randomisasi
Adaptasi selama 7 hari
Subjek

K1 = Kelompok K2 = Kelompok K3 = Kelompok K4 = Kelompok K5 = Kelompok


Kontrol negatif Kontrol positif n2 Uji Dosis 1 Uji Dosis 2 Uji Dosis 3
n1 = 6 =6 n3 = 6 n4 = 6 n5 = 6

Jaringan hepar Jaringan hepar


Jaringan hepar sudah tersedia
sudah tersedia
Makanan sudah tersedia
standar +
Parasetamol
Pemberian
(7 hari) +
makanan
Kurkumin 500
standar
mg/200 gBB
+CMC 0,5%
(7 hari)

Pengukuran Aktivitas Enzim GPx (BBT)


3.9 ANALISIS DATA
Data yang diperoleh kemudian diolah dengan program komputer SPSS (Statistical
Producct and Service Solution) 22.0 for Windows dengan menggunakan uji parametrik Anova
dan bila ada perbedaan yang bermakna dilanjutkan dengan Post hoc test menggunakan analisa
Least Significance Difference (LSD dengan taraf kepercayaan 95% atau tingkat kemaknaan (α)
0,05.

3.10 ETIKA PENELITIAN


Kaji etik penelitian yang dirangkai sebelumnya telah lulus kaji etik pada tanggal 26
februari 2014 dengan No. 834/UN22.9/DT/2014. Penelitian ini dilakukan setelah lulus kaji etik
dari departeman kaji etik penelitian Fakultas Kedokteran Universitas Tanjungpura.

Anda mungkin juga menyukai