Aertikel tentang :
Oleh :
MUHARNIS
2007/84568
PENDIDIKAN SEJARAH
JURUSAN SEJARAH
FAKULTAS ILMU-ILMU SOSIAL
UNIVERSITAS NEGERI PADANG
2010
PENDAHULUAN
13. Moh. Oemar, dkk, Sejarah Daerah Jawa Tengah, 1994, hal. 44
6. Dharmadhyaksa14
Dharmadhyaksa adalah pejabat tinggi yang bertugas secara yuridis mengenai
masalah-masalah keagamaan. Jabatan ini diduduki oleh dua orang, yaitu:
1. Dharmadhyaksa ring Kasaiwan untuk urusan agama Siwa
2. Dharmadhyaksa ring Kasogatan untuk urusan agama Buddha.
Masing-masing dharmadhyaksa ini dalam menjalankan tugasnya dibantu oleh
sejumlah pejabat keagamaan yang disebut dharmaupapatti atau upapatti, yang
jumlahnya amat banyak. Pada masa Hayam Wuruk hanya dikenal tujuh upapatti, yakni:
sang upapatti sapta, sang pamget i tirwan, kandhamuni, manghuri, pamwatan, jhambi,
kandangan rare, dan kandangan atuha. Di antara upapatti itu ada pula yang menjabat
urusan sekte-sekte tertentu, misalnya: bhairawapaksa saurapaksa, siddahantapaksa,
7. Paduka Bhatara (Raja Daerah)15
Penjabat lainnya yang berada di bawah raja Majapahit adalah sejumlah raja-raja
daerah (paduka bhatara) yang masing-masing memerintah sebuah negara daerah.
Biasanya mereka adalah saudara-saudara raja atau kerabat dekat. Dalam pelaksanaan
tugas kerajaan, raja-raja daerah tadi dibebani tugas untuk mengumpulkan penghasilkan
kerajaan, menyerahkan upeti kepada perbendaharaan kerajaan, dan pertahanan wilayah.
Mereka dibantu oleh sejumlah penjabat daerah, di mana bentuknya hampir sama dengan
birokrasi di pusat tetapi dalam skala yang lebih kecil. Dalam hal ini raja-raja daerah
memiliki otonomi untuk mengangkat pejabat-pejabat birokrasi bawahannya.
Dalam Prasasti Waringin Pitu (1447 M) disebutkan bahwa pemerintahan
Majapahit dibagi menjadi 14 daerah bawahan, yang dipimpin oleh seorang yang
bergelar bhre. Daerah-daerah bawahan tersebut yaitu: Daha, Jagaraga, Kabalan,
Wengker, Kahuripan, Keling, Kelinggapura, Kembang Jenar, Matahun, Pajang,
Singhapura, Tanjungpura, Tumapel, dan Wirabhumi.
Selain pejabat birokrasi yang telah disebutkan tadi, masih banyak sejumlah
penjabat sipil dan militer lainnya. Mereka adalah kepala jawatan (tanda), nayaka,
pratyaya, drawwayahaji, dan surantani, yang bertugas sebagai pengawal raja dan
lingkungan keraton.
untuk Dyah Pamasi; rakryan mantri sirikan untuk Dyah Palisir; rakryan mantri
halu
untuk Dyah Singlar.
2. Pasangguhan, disamakan dengan hulubalang. Pada zaman Majapahit hanya ada dua
jabatan Pasangguhan, yakni: Pranaraja dan Nayapati. Misalnya, pada Piagam Kudadu,
tarikh 1294: Mapasanggahan sang Pranaraja, Rakrian Mantra….. Mpu Siana (nama
ini ditemukan juga dalam Piagam Penanggungan); Mapasanggahan sang Nayapati,
Mpu Lunggah. Pada zaman awal Majapahit, ada empat orang pasangguhan, yakni dua
orang yang disebutkan di atas ditambah Rakryan Mantri Dwipantara Sang Arya
Adikara dan Pasangguhan Sang Arya Wiraraja.
3. Sang Panca Wilwatikta, yakni lima orang pembesar yang diserahi urusan
pemerintah Majapahit. Mereka itu Rangga dan Tumenggung. Piagam Penanggungan
menyebut: Rakryan Apatih Pu Tambi, Rakryan Demung Pu Rentang, Rakryan
Kanuhunan Pu Elam, Rakryan Rangga Pu Sasi, dan Rakrian Tumenggung Pu Wahana.
4. Juru Pangalasan, yakni pembesar daerah mancanegara. Piagam Penanggungan
menyebutkan raja Majapahit sebagai Rakryan Juru Kertarajasa Jayawardana atau
Rakryan Mantri Sanggramawijaya Kertarajasa Jayawardhana. Piagam Bendasari
menyebut Rake Juru Pangalasan Pu Petul.
5. Para patih negara-negara bawahan. Pada Piagam Sidateka tarikh 1323 disebutkan:
Rakryan Patih Kapulungan: Pu dedes; Rakryan Patih Matahun: Pu Tanu. Piagam
Penanggungan, tarikh 1296, menyebut Sang Panca ri Daha dengan gelar Rakryan,
karena Daha dianggap sejajar dengan Majapahit.
B. Arya
Para Tanda Arya mempunyai kedudukan lebih rendah dari Rakryan, dan disebut
pada piagam-piagam sesudah Sang Panca Wilwatikta. Ada berbagai jabatan yang
disertai gelar Arya. Piagam Sidakerta memberikan gambaran yang agak lengkap, yakni:
1. Sang Arya Patipati: Pu Kapat;
2. Sang Arya Wangsaprana: Pu Menur;
3. Sang Arya Jayapati: Pu Pamor;
4. Sang Arya Rajaparakrama: Mapanji Elam;
5. Sang Arya Suradhiraja: Pu Kapasa;
6. Sang Arya Rajadhikara: Pu Tanga;
7. Sang Arya Dewaraja: Pu Aditya;
8. Sang Arya Dhiraraja: Pu Narayana.
Karena jasa-jasanya, seorang Arya dapat dinaikkan menjadi Wreddhamantri atau
Mantri Sepuh. Baik Sang Arya Dewaraja Pu Aditya maupun Sang Arya Dhiraraja Pu
Narayana mempunyai kedudukan Wreddhamantri dalam Piagam Surabaya.
C. Dang Acary
Sebutan ini khusus diperuntukkan bagi para pendeta Siwa dan Buddha yang
diangkat sebagai Dharmadhyaksa (hakim tinggi) atau Upapatti (pembantu
dharmadhyaksa kesiwaan dan dharmadhyaksa kebuddhaan). Jumlah Upapatti semula
hanya berjumlah lima, semuanya dalam Kasaiwan (kesiwaan); kemudian ditambah dua
Upapatti Kasogatan (kebuddhaan) di Kandangan Tuha dan Kandangan Rahe. Dengan
demikian, semuanya berjumlah tujuh dalam pemerintahan Dyah Hayam Wuruk.
Pembesar-pembesar pengadilan ini biasanya disebut sesudah para arya. Contohnya,
susunan pengadilan seperti yang dipaparkan dalam Piagam Trawulan, tarikh 1358,
sebagai berikut.
1. Dharmadhyaksa Kasaiwan: Dang Acarya Dharmaraja;
2. Dharmadhyakasa Kasogatan: Dang Acarya Nadendra;
3. Pamegat Tirwan: Dang Acarya Siwanata;
4. Pamegat Manghuri: Dang Acarya Agreswara;
5. Pamegat Kandamuni: Dang Acarya Jayasmana;
6. Pamegat Pamwatan: Dang AcaryaWidyanata;
7. Pamegat Jambi: Dang Acarya Siwadipa;
8. Pamegat Kandangan Tuha: Dang Acarya Srigna;
9. Pamegat Kandangan Rare: Dang Acarya Matajnyana.
Tambahan dua orang upapatti yang biasa disebut (sang) Pamegat dilakukan
sesudah tahun 1329, yakni pada zaman pemerintahan Tribhuwana Tunggadewi, karena
pada Piagam Berumbung, pamegat kandangan tuha dan rare belum disebut. Penyebutan
yang pertama didapati terdapat pada Piagam Nglawang, tidak bertarikh.
Dengan adanya struktur pemerintahan yang relatif tersusun rapi dari tingkat
pusat sampai ke daerah-daerah dan desa, maka penyelenggaraan birokrasi pemerintah
dapat berjalan dengan lancar pula. Kerapian penyelanggaraan pemerintahan ini
berkaitan erat dengan berbagai aspek kehidupan masyarakat, terutama kesejahteraan
umum dan kemakmuran17.
Notosusanto, Nugrho, Sejarah Nasional Indonesia II, PN. Balai Pustaka, jakarta.1984.
Slametmulyana, Prof. Dr, Runtuhnya Kerajaan HINDU-JAWA dan Timbulnya Negara-
negara ISLAM di Nusantara, PT. LKIS Pelangi Aksara, Yogyakarta.
2005.
Moh. Oemar, Sejarah Daerah Jawa Tengah, CV. Dwi Jaya Karya, Jakarta. 1994.
Slametmulyana, NAGARAKRETAGAMA dan Tafsir Sejarahnya, Bhratara Karya Aksara,
Jakarta. 1979.
Soekmono, Sejarah Kebudayaan Indonesia II, Kanisisus, Yokyakarta. 1973.
Hall, D. G, Sejarah Asia Tenggara, Usah Nasional, Surabaya.
Den Berg, Juan, Dari Panggung Peristiwa Sejarah Dunia, Groninges, Jakarta. 1992.
Ali, R. Moh, Peranan Bangsa Indonesia dalam Sejarah Asia Tenggara, Bhratara,
Jakarta. !963.
Djofar, Hasan, Girindrawardhana, Beberapa Masalah Majapahit Akhir, Fakultas Sastra
Universitas Indonesia, Jakarta. 1978.