Anda di halaman 1dari 16

SEJARAH POLITIK

Aertikel tentang :

STRUKTUR PEMERINTAHAN KERAJAAN


MAJAPAHIT

Oleh :

MUHARNIS
2007/84568
PENDIDIKAN SEJARAH

JURUSAN SEJARAH
FAKULTAS ILMU-ILMU SOSIAL
UNIVERSITAS NEGERI PADANG
2010
PENDAHULUAN

Masuknya pengaruh budaya India (Hindu-Budha) ke nusantara membawa


perubahan dalam kehidupan sosial masyarakat di nusantara. Dimana pengaruh tersebut
tidak hanya mempengaruhi/mengubah sistim kepercayaan masyarakat indonesia saja,
tapi juga telah masuk kedalam sistem sosial masyarakat nusantara. Dalam sistem
masyarakat pengaruh budaya India (Hindu-Budha) telah mengubah stuktur sosial
/tatanan tradisional masyarakat yang mana sebelum masuknya pengaruh hindu-budaha
ke nusantara pemimpin tradisional dipegang oleh seorang kepala suku yang dipilih
secara musyawarah (bersama-sama), dan memerintah secara demokratis. Namun
setelah masuknya pengaruh hindu-budha struktur soisal masyarakat berubah menjadi
sistem pemerintahan kerajaan yang diperintah oleh seorang raja. Raja memerintah
secara otoriter dan raja\pemimpin tidak lagi dipilih secara demokratis (musyawarah)
melainkan mewariskan kekuasaannya secara turun-temurun. 1
Akibat munculnya sistem pemerintahan kerajaan muncullah kerajaan-kerajaan
yang bercorak hindu-budaha. Beberapa kerajaan yang muncul seperti : kerajaan Kutai,
Sriwijaya , Mataram kuno, Majapahit dan kerajaan-kerajaan lainnya.
Majapahit yang merupakan salah satu kerajaan yang bercorak hindu-budha
dalam perkembangannya menjadi sebuah kerajaan besar, dimana pada puncak kejayaan
nya Majapahit mampu menjadi kerajaan yang menguasai seluruh nusantara pada masa
raja Hayam Wuruk dan patih Gajahmada. Yang mana kejayaan yang berhasil
diperoleh/dicapai oleh Majapahit tidak pernah ada kerajaan lain yang mampu
melakukannya atau mencapainya lagi hingga “ orang Belanda menyempurnakan
penaklukannya”.2 Jika kita ibaratkan wilayah Majapahit itu sekarang meliputi seluruh
wilayah Indonesia ditambah wilayah Singapura, Malaysia, dan Brunei Darussalam.
Pada masa kejayaan Majapahit banyak hal menarik yang dapat kita lihat seperti
Geopolitik (penaklukkan/Perluasan wilayah). Kehidupan masyarakat Majapahit yang
sudah teratur karena adanya sistem politik dan stuktur pemerintahan yang jelas. Dimana
mengenai struktur kerajaan Majapahit tidak akan ada kerajaan lain yang bisa kita lihat

1. Moh. Oemar, Dkk, Sejarah Jawa Tengah, 1994 hal. 62


2. D.G. Hall, Sejarah Asia Tenggara
selengkap kerajaan Majapahit itu. Hal tersebut tidak terlepas dari banyaknya sumber
atau keterangan yang menyebutkan atau menjelaskan mengenai hal tersebut. Birokrasi
atau Struktur kerajaan Majapahit paling jelas terlihat pada masa pemerintahan Hayam
Wuruk yang mana kejayaan yang diperoleh Majapahit tak lepas dari peranan patih
Gajahmada yang berusaha untuk merealisasikan “Sumpah Palapa” yang diucapkannya
yaitu bahwa ia tidak akan melakukan amukti palapa sampai Majapahit menaklukan
seluruh wilayah nusantara, dimana usaha-usaha penaklukannya diakhiri dengan
peristiwa “mandi darah di Bubat”3. Saat itu Majapahit menjadi kerajaan yang disegani
oleh kerajaan-kerajaan tetangga di kawasan Asia Tenggara, seperti kerajaan Siam,
Campa, Burma, dan Kamboja.
Selain hal yang disebutkan di atas salah satu hal yang menarik yang dapat dilihat
dari Majapahit yaitu agama yang dianut oleh penduduk Majapahit. Dimana terdapat
berbagai agama yang ada (hidup) dan berkembang di Majapahit, yaitu hindu-siwa,
budha, dan agama kepercayaan nusantara4. Selain ketiga agama yang disebutkan itu
menurut beberapa ahli, agama islam juga sudah ada di Majapahit pada waktu itu.Hal
tersebut menandakan pada waktu itu di Majapahit sudah ada atau sudah mengenal
”toleransi antar umat beragama”.
Majapahit sebagai kerajaan Hindu-Budha terbesar di nusantara mampu bertahan
atau berdiri selama hampir 200 tahun dengan megah. Namun kemegahan yang telah
diraih majapahit itu telah membuat raja-raja dan para pembesar kerajaan hidup dalam
kemewahan dan berfoya-foya, sehingga tidak mampu mempertahankan kegemilangan
dan kejayaan yang telah diraih sebelumnya oleh Raja Hayam Wuruk dan Patih Gajah
Mada.
“Sirna hilang kertaning bumi” (1400 Saka), demikian Babad Tanah Djawi
melukiskan suasana keruntuhan masyarakat Indonesia, khususnya masyarakat Jawa
dalam lingkungan Kerajaan Majapahit, menjelang akhir abad ke-15 dalam bentuk
candrasangkala tersebut5.

3. D. G. Hall, Sejarah Asia Tenggara, hal. 84-85


4. Moh. Oemar, Dkk, op. cit. hal, 44
5. Moh. Oemar, Dkk, op. cit. hal. 63
Struktur pemerintahan kerajaan Majapahit itulah yang akan saya bahas atau buat
dalam artikel saya ini. Dimana Majapahit menjadi kerajaan yang terbesar di nusantaara
dengan berbagai geopolitiknya (perluasan wilayah). Sehingga pada masa kejayaannya
itu kita dapat melihat birokrasi atau struktur pemerintahan Majapahit yang lengkap
dimana sudah ada pembagian kekuasaan yang jelas antara jabatan yang satu dengan
jabatan yang lain mulai dari raja daerah hingga raja pusat, hal itulah yang mendasari dan
menjadi latar belakang saya dalam membuat artikel ini.
STRUKTUR PEMERINTAHAN KERAJAAN MAJAPAHIT

1. PERKEMBANGAN KERAJAAN MAJAPAHIT


Majapahit didirikan oleh Raden Wijaya. Raden Wijaya yang sedang mengejar
tentara Kediri; terpaksa melarikan diri, setelah ia mendengar bahwa Singasari telah
jatuh ketangan Kediri yang dipimpin oleh Jayakatwang. Dimana dalam serangan itu ia
berhasil membunuh Kertanegara dan petinggi kerajaan. Dengan bantuan lurah desa
Kudadu ia dapat menyebrang ke Madura untuk meminta bantuan dan dukungan kepada
Wiraraja. Melihat sikap Wiraraja Raden Wijaya berjanji jika kelak terkabul maksudnya,
dapat menguasai pulau Jawa, sebagai tanda terima kasih kerajaan akan dibagi dua antara
Wiraraja dan Raden Wijaya6.
Atas nasehat Wiraraja , Raden Wijaya pergi ke Kediri dan menghambakan diri
kepada Jayakatwang. Atas jaminan Wiraraja maka diterimalah pengabdian Raden
Wijaya. Dan ia dianugrahi tarik yang dengan bantuan orang-orang Madura dibuka dan
menjadi desa yang subur dengan nama Majapahit.
Sementara itu diam-diam Wijaya memperkuat diri sambil menunggu saat yang
tepat untuk menyerang Kediri. Di Madura adipati Wiraraja bersiap-siap pula dengan
orang-orangnya untuk membantu Majapahit. Pada tahun 1239 datanglah bala tentara
tentara Tiongkok (Kubhilai-Khan) yang datang dengan 1000 kapal telah mendarat di
Tuban dengan tujuan sebenarnya yaitu untuk membalas penghinaan Kertanegara
terhadap Kubilai Khan. Kedatangan pasukan itu terdengar oleh Wijaya yang merupakan
kesempatan yang baik sekali bagi Wijaya. Raden Wijaya menggunakan kesempatan ini
untuk menghantam Kediri. Ia menggabungkan diri dan bersama-sama menghantam
Jayakatwang. Serangan yang dilancarkan tersebut memaksa Jayakatwang menyerah.
Waktu pulang ke pelabuhan Raden wijaya menimbulkan kekacauan dikalangan
tentara Tiongkok dengan melakukan serangan mendadak. Tentara Tiongkok, yang
merasa sudah selesai tugasnya, segera berlayar pulang meskipun harus banyak
meninggalkan banyak korban (lebih dari 3000 orang) dapat dibinasakan oleh pasukan
Wijaya. Demikianlah maka dengan kedatangan pasukan Kubhilai-Khan tercapailah
cita-cita Wijaya yaitu meruntuhkan Daha (Kediri). Dengan diperkuat oleh sisa-sisa

6. Slametmulyana, Nagarakertagama dan Tafsir Sejarahnya, 1979, hal. 114


pasukan Singasari Raden Wijaya kini menjadi raja pertama Majapahit dengan gelar
Krtajasa Jayawardhana7.
Kertajasa didampingi oleh empat putri Kertanegara sebagai permaisurinya yang
terkenal cuma dua orang putri yaitu Dara Petak (putri Melayu) 8 dan Gayatri yang
merupakan istri kesayangannya. Tak lama setelah Krtarajasa dinobatkan sebagai raja
Majapahit, kembalilah pasukan yang dahulu dikirim oleh raja Kertanegara ke nusantara
dengan membawa hasil yang gemilang. Banyak raja-raja di nusantara tunduk dan
memberi upeti. Dengan Dara Petak Krtajarajasa memperoleh seorang anak laki-laki
bernama Jayanegara yang kelak akan menggantikannya. Sebagai putra mahkota ia
mendapat Kediri (Daha) sebagai daerah tunggulnya. Dengan Gayatri Krtarajasa
memperoleh dua orang putri, yaitu Thribuwanautnggadewi yang menjadi raja di Jiwana
(Bhre Kahuripan) dan yang bungsu bernama Rajadewi Maharajasa. Pengikut-pengikut
Krtarajasa yang setia dan banyak berjasa dalam mendirikan kerajaan Majapahit
diberinya kesempatan untuk menikmati hasil perjuangannya dan diangkat menjadi
pejabat tinggi dalam pemerintahan9.
Krtarajasa wafat dalam tahun 1309 dan digantikan oleh anaknya Jayanagara
yang memerintah selama 19 tahun (1309-1328). Pemerintahan Jayanegara banyak
diwarnai oleh pemberontakan, yang paling membahayakan adalah pemberontakan Kuti
(1319) namun dapat dipadamkan oleh Gajahmada dan pasukan Bhayangkarinya.
Jayanegara wafat pada tanun 1328 dengan tidak meninggalkan seorang keturunan.
Dengan tidak adanya pengganti raja dari keturunan Jayanegara maka semestinya
Gayatrilah yang menggantikannya tetapi Gayatri telah meninggalkan hidup
keduniawian sebagai bhiksuni. Maka anaknyalah, Bhre Kahuripan, yang menggantikan
ibundanya dengan gelar Thribhuanattunggadewi Jayawisnuwardhani. Pemerintahan
Tribhuwanadewi juga diisi oleh pemberontakan tetapi semua itu dapat dipadamkan
berkat kecakapan Gajah Mada, Tribuanadewi mengangkat Gajah Mada sebagai patih
dan Gajah Mada pada saat pelantikannya mengucapkan “Sumpah Palapa”.
Pada tahun 1350 Tribuana turun dari tahta kerajaan dan menyerahkannya kepada
anaknya Hayam Wuruk. Hayam Wuruk memerintah dengan gelar Rajasanegara.

7. Nugroho Notosusanto, Sejarah Nasional Indonesia II, 1984, hal. 423-427


8. Slametmulyana, Runtuhnya Kerajaan Hindu-jawa danTimbulnya Negara-negara Islam Di Nusantara, 2005. hal. 2
9. Nugroho Notosusanto op. cit. hal. 428
Dengan Gajah Mada sebagai patihnya, Majapahit mancapai kejayaan (mengalami masa
keemasan). Sumpah Gajahmada dapat terlaksana, dan seluruh nusantara mengibarkan
panji-panji Majapahit. Masa pemerintahan raja Hayam Wuruk nampak menampilkan
usahanya dalam bidang perekonomian, Hayam Wuruk wafat dalam tahun 1389.
Majapahit sesudah Hayam Wuruk diliputi oleh kegelapan dan banyak mengalami
perang saudara yang sangat melemahkan Majapahit10. Masing-masing ingin duduk
diatas tahta. Keutuhan kerajaan hancur lebur karena perang gerilya antar-daerah, antar-
pangeran, antar-bangsawan, kerajaan-kerajaan daratan disekitar induk kerajaan menolak
tunduk kepada Majapahit dan lenyaplah kerajaan yang semula meliputi seluruh wilayah
pulau Jawa. Kekacauan yang timbul karena peperangan terus-menerus itu, ditambah
dengan kegelisahan rakyat yang sudah terlampau mengabdi (berdharma-bhakti) untuk
kerajaan. Seolah-olah kehancuran alamiah dan kekacauan insaniah belum juga cukup,
pada saat yang genting itu muncullah dari timur laut ancaman-politik : ekspansi
Tiongkok dibawah dinasti Ming. Dari barat daya mulai datang dengan derasnya –justru
karena ancaman politik Ming itu- ancman rohaniah: agama islam. Pada pertemuan
proses-proses alamiah, insaniah, politik dan rohaniah, hancur leburlah Majapahit dalam
proses keruntuhan yang berlarut-larut selama satu abad lebih11.dan akhirnya kekuasaan
Majapahit di Jawa digantikan oleh Demak.

10. Soekmono, Sejarah Kebudayaan Indonesia II, 19 ,hal.


11. R. Moh. Ali, Peranan Bangsa Indonesia Dalam Sejarah Asia Tenggara, 1963, hal. 54.
2. STRUKTUR PEMERINTAHAN KERAJAAN MAJAPAHIT
Dari berbagai sumber dapat diketahui bahwa sistem pemerintahan dan politik
Majapahit sudah teratur dengan baik dan berjalan lancar. Konsep politik ini menyatu
dengan konsep jagat raya, yang melahirkan pandangan cosmoginos. Majapahit sebagai
sebuah kerajaan mencerminkan doktrin tersebut, kekuasaan yang bersifat terotorial dan
desentralisasi dengan birokrasi yang teperinci. Raja yang dianggap sebagai penjelmaan
dewa tertinggi, memegang otoritas politik tertinggi dan menduduki puncak hierarki
kerajaan.
Ada pun wilayah tinggal para dewa lokapala terletak di empat penjuru mata
angin. Untuk terlaksananya kekuasaan, raja dibantu oleh sejumlah pembantu, yang tidak
lain penjabat-penjabat birokrasi kerajaan. Dalam susunan birokrasi demikian, semakin
dekat hubungan seseorang dengan raja maka akan semakin tinggi pula kedudukannya
dalam birokrasi kerajaan. Nagarakretagama pupuh LXXXIX memberitakan bahwa
hubungan negara dengan desa begitu rapat seperti singa dengan hutan. Jika desa rusak,
negara akan kekurangan bahan makanan.
Struktur birokrasi dalam hierarki Majapahit dari tingkat pusat ke jabatan yang
lebih rendah adalah12:
1. Raja;
2. Yuwaraja/kumaraja (Raja Muda)
3. Dewan Pertimbangan Agung (Bhatara Sapta Prabu)
4. Rakryan mahamatri kartini;
5. Rakryan mantri ri pakirakiran;
6. Dharmadhyaksa.
1. Raja
Raja adalah pemegang otoritas tertinggi, baik dalam kebijakan politik mau pun
istana lainnya. Kedudukannya diperoleh dari hak waris yang telah digariskan secara
turun-temurun. Dalm sejarah majapahit kedudukan nraja tidak semata-mata
diperuntukkan bagi laki-laki. Seorang wanita juga dapat menhadi seorang raja.
Tribhuwanatunggadewi adalah raja wanita pertama di Majapahit (1328-1351).

12. Slametmulyana, Nagarakartagam dan Terjamahannya, 1979, hal. 158-162


2. Yuwaraja/Rajakumara/Kumaraja (Raja Muda)
Jabatan ini biasanya diduduki oleh putra mahkota. Dari berbagai prasasti dan
Nagarakretagama diketahui bahwa para putra mahkota sebelum diangkat menjadi raja
pada umumnya diberi kedudukan sebagai raja muda. Misalnya, Jayanagara sebelum
menjadi raja, terlebih dahulu berkedudukan sebagai rajakumara di Daha. Hayam Wuruk
sebelum naik takhta menjadi raja Majapahit, terlebih dahulu berkedudukan sebagai
rajakumara di Kabalan. Jayanegara dinobatkan sebagai raja muda di Kadiri tahun 1295.
Pengangkatan tersebut dimaksud sebagai pengakuan bahwa raja yang sedang
memerintah akan menyerahkan hak atas takhta kerajaan kepada orang yang diangkat
sebagai raja muda, jika yang bersangkutan telah mencapai usia dewasa atau jika raja
yang sedang memerintah mangkat. Raja muda Majapahit yang pertama ialah
Jayanegara. Raja muda yang kedua adalah Dyah Hayam Wuruk yang dinobatkan di
Kahuripan (Jiwana). Pengangkatan raja muda tidak bergantung pada tingkatan usia.
Baik raja Jayanegara mau pun Hayam Wuruk masih kanak-kanak, waktu diangkat
menjadi raja muda, sementara pemerintahan di negara bawahan yang bersangkutan
dijalankan oleh patih dan menteri.
3. Bhatara Sapta Prabu
Di samping raja, ada kelompok yang disebut sebagai Bhatara Sapta Prabu
semacam Dewan Pertimbangan Agung. Dalam Nagarakretagama dewan ini disebut
Pahom Narendra yang beranggotakan sembilan orang; sedangkan dalam Kidung
Sundayana disebut Sapta Raja.
Pada masa Raja Dyah Hayam Wuruk, mereka yang menduduki jabatan tersebut
di antaranya:
1. Raja Hayam Wuruk;
2. Kertawardhana (Ayah Sang Raja);
3. Tribhuwana Tunggadewi (Ibu Suri);
4. Rajadewi Maharajasa (Bibi Sang Raja);
5. Wijayarajasa (Paman Sang Raja);
6. Rajasaduhiteswari (Adik Sang Raja);
7. Rajasaduhitendudewi (Adik Sepupu Sang Raja);
8. Singawardhana (Suami Rajasaduhiteswari);
9. Rajasawardhana (R. Larang, Suami Rajasaduhitendudewi).
4. Rakryan Mahamatri Kartini
Jabatan ini merupakan jabatan yang telah ada sebelumnya. Sejak zaman
Mataram Kuno, yakni pada masa Rakai kayuwangi, jabatan ini tetap ada hingga masa
Majapahit. Penjabat-penjabat ini terdiri dari tiga orang yakni: rakryan mahamantri i
hino, rakryan mahamantri i halu, dan rakryan mahamantri i sirikan. Ketiga penjabat ini
memunyai kedudukan penting setelah raja, dan mereka menerima perintah langsung
dari raja. Namun, mereka bukanlah pelaksana-pelaksana dari perintah raja; titah tersebut
kemudian disampaikan kepada penjabat-penjabat lain yang ada di bawahnya. Di antara
ketiga penjabat itu, rakryan mahamantri i hino-lah yang terpenting dan tertinggi. Ia
memunyai hubungan yang paling dekat dengan raja, sehingga berhak mengeluarkan
piagam (prasasti). Oleh sebab itu, banyak para ahli yang menduga jabatan in dipegang
oleh putra mahkota.
5. Rakryan Mantri ri Pakirakiran13
Jabatan ini berfungsi semacam Dewan Menteri atau Badan Pelaksana
Pemerintah. Biasanya terdiri dari lima orang rakryan (para tanda rakryan), yakni:
1. Rakryan Mahapatih atau Patih Amangkubhumi;
2. Rakryan Tumenggung (Panglima Kerajaan);
3. Rakryan Demung (Pengaturan Rumah Tangga Kerajaan);
4. Rakryan Rangga (Pembantu Panglima);
5. Rakryan Kanuruhan (penghubung dan tugas-tugas protokoler)
Para tanda rakryan ini dalam susunan pemerintahan Majapahit sering disebut
Sang Panca ring Wilwatikta atau Mantri Amancanagara. Dalam berbagai sumber,
urutan jabatan tidak selalu sama. Namun, jabatan rakryan mahapatih (patih
amangkubhumi) adalah yang tertinggi, yakni semacam perdana menteri (mantri mukya).
Jabatan ini pada masa pemerintahan Hayam-Wuruk dipegang oleh Gajahmada. Untuk
membedakan dengan jabatan patih yang ada di Negara daerah (provinsi) yang biasanya
disebut mapatih atau rakryan mapatih, dalam Nagarakretagama jabatan patih
amangkubhumi dikenal dengan sebutan apatih ring tiktawilwadika. Gelar Gajah Mada
sendiri adalah Sang Mahamantri Mukya Rakyran Mapatih.

13. Moh. Oemar, dkk, Sejarah Daerah Jawa Tengah, 1994, hal. 44
6. Dharmadhyaksa14
Dharmadhyaksa adalah pejabat tinggi yang bertugas secara yuridis mengenai
masalah-masalah keagamaan. Jabatan ini diduduki oleh dua orang, yaitu:
1. Dharmadhyaksa ring Kasaiwan untuk urusan agama Siwa
2. Dharmadhyaksa ring Kasogatan untuk urusan agama Buddha.
Masing-masing dharmadhyaksa ini dalam menjalankan tugasnya dibantu oleh
sejumlah pejabat keagamaan yang disebut dharmaupapatti atau upapatti, yang
jumlahnya amat banyak. Pada masa Hayam Wuruk hanya dikenal tujuh upapatti, yakni:
sang upapatti sapta, sang pamget i tirwan, kandhamuni, manghuri, pamwatan, jhambi,
kandangan rare, dan kandangan atuha. Di antara upapatti itu ada pula yang menjabat
urusan sekte-sekte tertentu, misalnya: bhairawapaksa saurapaksa, siddahantapaksa,
7. Paduka Bhatara (Raja Daerah)15
Penjabat lainnya yang berada di bawah raja Majapahit adalah sejumlah raja-raja
daerah (paduka bhatara) yang masing-masing memerintah sebuah negara daerah.
Biasanya mereka adalah saudara-saudara raja atau kerabat dekat. Dalam pelaksanaan
tugas kerajaan, raja-raja daerah tadi dibebani tugas untuk mengumpulkan penghasilkan
kerajaan, menyerahkan upeti kepada perbendaharaan kerajaan, dan pertahanan wilayah.
Mereka dibantu oleh sejumlah penjabat daerah, di mana bentuknya hampir sama dengan
birokrasi di pusat tetapi dalam skala yang lebih kecil. Dalam hal ini raja-raja daerah
memiliki otonomi untuk mengangkat pejabat-pejabat birokrasi bawahannya.
Dalam Prasasti Waringin Pitu (1447 M) disebutkan bahwa pemerintahan
Majapahit dibagi menjadi 14 daerah bawahan, yang dipimpin oleh seorang yang
bergelar bhre. Daerah-daerah bawahan tersebut yaitu: Daha, Jagaraga, Kabalan,
Wengker, Kahuripan, Keling, Kelinggapura, Kembang Jenar, Matahun, Pajang,
Singhapura, Tanjungpura, Tumapel, dan Wirabhumi.
Selain pejabat birokrasi yang telah disebutkan tadi, masih banyak sejumlah
penjabat sipil dan militer lainnya. Mereka adalah kepala jawatan (tanda), nayaka,
pratyaya, drawwayahaji, dan surantani, yang bertugas sebagai pengawal raja dan
lingkungan keraton.

14. Moh. Oemar, op, cit, hal. 44


15. Slametmulyana, op, cit, hal. 157
Mengenai birokrasi kerajaan, menurut berita Cina dari zaman Dinasti Sung
(960-1279), bahwa raja Jawa waktu itu memunyai lebih dari 300 penjabat yang
mencatat penghasilan kerajaan. Selain itu, ada kira-kira 1.000 orang penjabat rendahan
yang mengurusi benteng-benteng, parit-parit kota, perbendaharaan, dan lumbung-
lumbung negara. Sedangkan dalam kitab Praniti Raja Kapa-kapa, diuraikan bahwa ada
150 menteri dan 1.500 penjabat rendahan
Melihat struktur pemerintahannya, sistem pemerintahan di Majapahit bersifat
teotorial dan disentralisasi, dengan birokrasi yang teperinci. Raja yang dianggap sebagai
penjelmaan dewa, memegang otoritas politik tertinggi. Hubungan antara raja dengan
pegawai-pegawainya dalam birokrasi pemerintahan Kerajaan berbentuk clienship, yaitu
ikatan seorang penguasa politik tertinggi dan orang yang dikuasakan untuk menjalankan
sebagian dari kekuasaan penguasa tertinggi. Wilayah kerajaan yang berupa negara-
negara daerah disamakan dengan tempat tinggal para dewa lokapala yang terletak di
empat penjuru mata angin
Tanda16
Di Majapahit para pegawai pemerintahan disebut tanda, masing-masing diberi
sebutan atau gelar sesuai dengan jabatan yang dipangkunya. Dalam hal kepegawaian,
sebutannya mengalami perubahan dari masanya; gelar yang sama Kerajaan Mataram
belum tentu bermakna yang sama dengan masa Majapahit, misalnya gelar rake atau
rakai dan mangkubumi.
Ditinjau dari gelar-sebutannnya seperti yang terdapat pada berbagai piagam,
tanda ini dapat digolongkan yakni: golongan rakryan atau rakean, golongan arya, dan
golongan dang acarya.
A. Rakryan (Rakean)
Beberapa piagam, di antaranya Piagam Surabaya, menggunakan gelar rake yang
maknanya sama dengan rakryan. Jumlah jabatan yang disertai gelar rakryan terbatas
sekali. Para tanda yang berhak menggunakan gelar rakryan atau rake seperti berikut:
1. Mahamantri kartini, yaitu mahamantri i hino, mahamantri i sirikan, dan
mahamantri i halu. Misalnya, pada Piagam Kudadu terdapat: rakryan mantri i hino
untuk Dyah Pamasi; rakryan mantri sirikan untuk Dyah Palisir; rakryan mantri
halu
16. Libid, hal. 163-180

untuk Dyah Pamasi; rakryan mantri sirikan untuk Dyah Palisir; rakryan mantri
halu
untuk Dyah Singlar.
2. Pasangguhan, disamakan dengan hulubalang. Pada zaman Majapahit hanya ada dua
jabatan Pasangguhan, yakni: Pranaraja dan Nayapati. Misalnya, pada Piagam Kudadu,
tarikh 1294: Mapasanggahan sang Pranaraja, Rakrian Mantra….. Mpu Siana (nama
ini ditemukan juga dalam Piagam Penanggungan); Mapasanggahan sang Nayapati,
Mpu Lunggah. Pada zaman awal Majapahit, ada empat orang pasangguhan, yakni dua
orang yang disebutkan di atas ditambah Rakryan Mantri Dwipantara Sang Arya
Adikara dan Pasangguhan Sang Arya Wiraraja.
3. Sang Panca Wilwatikta, yakni lima orang pembesar yang diserahi urusan
pemerintah Majapahit. Mereka itu Rangga dan Tumenggung. Piagam Penanggungan
menyebut: Rakryan Apatih Pu Tambi, Rakryan Demung Pu Rentang, Rakryan
Kanuhunan Pu Elam, Rakryan Rangga Pu Sasi, dan Rakrian Tumenggung Pu Wahana.
4. Juru Pangalasan, yakni pembesar daerah mancanegara. Piagam Penanggungan
menyebutkan raja Majapahit sebagai Rakryan Juru Kertarajasa Jayawardana atau
Rakryan Mantri Sanggramawijaya Kertarajasa Jayawardhana. Piagam Bendasari
menyebut Rake Juru Pangalasan Pu Petul.
5. Para patih negara-negara bawahan. Pada Piagam Sidateka tarikh 1323 disebutkan:
Rakryan Patih Kapulungan: Pu dedes; Rakryan Patih Matahun: Pu Tanu. Piagam
Penanggungan, tarikh 1296, menyebut Sang Panca ri Daha dengan gelar Rakryan,
karena Daha dianggap sejajar dengan Majapahit.
B. Arya
Para Tanda Arya mempunyai kedudukan lebih rendah dari Rakryan, dan disebut
pada piagam-piagam sesudah Sang Panca Wilwatikta. Ada berbagai jabatan yang
disertai gelar Arya. Piagam Sidakerta memberikan gambaran yang agak lengkap, yakni:
1. Sang Arya Patipati: Pu Kapat;
2. Sang Arya Wangsaprana: Pu Menur;
3. Sang Arya Jayapati: Pu Pamor;
4. Sang Arya Rajaparakrama: Mapanji Elam;
5. Sang Arya Suradhiraja: Pu Kapasa;
6. Sang Arya Rajadhikara: Pu Tanga;
7. Sang Arya Dewaraja: Pu Aditya;
8. Sang Arya Dhiraraja: Pu Narayana.
Karena jasa-jasanya, seorang Arya dapat dinaikkan menjadi Wreddhamantri atau
Mantri Sepuh. Baik Sang Arya Dewaraja Pu Aditya maupun Sang Arya Dhiraraja Pu
Narayana mempunyai kedudukan Wreddhamantri dalam Piagam Surabaya.
C. Dang Acary
Sebutan ini khusus diperuntukkan bagi para pendeta Siwa dan Buddha yang
diangkat sebagai Dharmadhyaksa (hakim tinggi) atau Upapatti (pembantu
dharmadhyaksa kesiwaan dan dharmadhyaksa kebuddhaan). Jumlah Upapatti semula
hanya berjumlah lima, semuanya dalam Kasaiwan (kesiwaan); kemudian ditambah dua
Upapatti Kasogatan (kebuddhaan) di Kandangan Tuha dan Kandangan Rahe. Dengan
demikian, semuanya berjumlah tujuh dalam pemerintahan Dyah Hayam Wuruk.
Pembesar-pembesar pengadilan ini biasanya disebut sesudah para arya. Contohnya,
susunan pengadilan seperti yang dipaparkan dalam Piagam Trawulan, tarikh 1358,
sebagai berikut.
1. Dharmadhyaksa Kasaiwan: Dang Acarya Dharmaraja;
2. Dharmadhyakasa Kasogatan: Dang Acarya Nadendra;
3. Pamegat Tirwan: Dang Acarya Siwanata;
4. Pamegat Manghuri: Dang Acarya Agreswara;
5. Pamegat Kandamuni: Dang Acarya Jayasmana;
6. Pamegat Pamwatan: Dang AcaryaWidyanata;
7. Pamegat Jambi: Dang Acarya Siwadipa;
8. Pamegat Kandangan Tuha: Dang Acarya Srigna;
9. Pamegat Kandangan Rare: Dang Acarya Matajnyana.
Tambahan dua orang upapatti yang biasa disebut (sang) Pamegat dilakukan
sesudah tahun 1329, yakni pada zaman pemerintahan Tribhuwana Tunggadewi, karena
pada Piagam Berumbung, pamegat kandangan tuha dan rare belum disebut. Penyebutan
yang pertama didapati terdapat pada Piagam Nglawang, tidak bertarikh.

Struktur Birokrasi Pemerintahan Pusat-Daerah


Negara bawahan maupun daerah, mengambil pola pemerintahan pusat. Raja dan
juru pangalasan adalah pembesar yang bertanggung jawab, sementara pemerintahannya
dikuasakan kepada patih, sama dengan pemerintah pusat. Meski raja Majapahit adalah
orang yang bertanggung jawab terhadap pemerintahan, tetapi pemerintahannya berada
di tangan Patih Amangkubumi (patih seluruh negara). Itulah sebabnya menurut
Nagarakretagama pupuh X, para patih, jika datang ke Majapahit, mengunjungi gedung
kepatihan Amangkubumi yang dipimpin oleh Gajah Mada.
Ada pun masalah administrasi pemerintahan Majapahit dikuasakan kepada lima
pembesar yang disebut Sang Panca ri Wilwatika. Mereka adalah: Patih Amangkubumi,
Demung, Kanuruhan, Rangga, dan Tumenggung. Mereka inilah yang banyak dikunjungi
oleh para pembesar negara bawahan dan negara daerah untuk urusan pemerintahan. Apa
yang direncanakan di pusat, dilaksanakan pula di daerah oleh pembesar bersangkutan.
Dari patih perintah turun ke Wedana, semacam pembesar distrik. Dari Wedana
turun ke Akuwu/akurug, pembesar sekelompok desa (semacam lurah). Dari Akuwu
turun ke Buyut, pembesar desa. Dari Buyut turun kepada penghuni desa. Demikianlah
tingkat organisasi pemerintahan di Majapahit, dari pucuk pimpinan negara sampai
rakyat pedesaan. Apa yang berlaku di Jawa diterapkan pula di Pulau Bali dengan patuh.

Dengan adanya struktur pemerintahan yang relatif tersusun rapi dari tingkat
pusat sampai ke daerah-daerah dan desa, maka penyelenggaraan birokrasi pemerintah
dapat berjalan dengan lancar pula. Kerapian penyelanggaraan pemerintahan ini
berkaitan erat dengan berbagai aspek kehidupan masyarakat, terutama kesejahteraan
umum dan kemakmuran17.

17. Moh. Oemar, op, cit, hal. 45


DAFTAR PUSTAKA

Notosusanto, Nugrho, Sejarah Nasional Indonesia II, PN. Balai Pustaka, jakarta.1984.
Slametmulyana, Prof. Dr, Runtuhnya Kerajaan HINDU-JAWA dan Timbulnya Negara-
negara ISLAM di Nusantara, PT. LKIS Pelangi Aksara, Yogyakarta.
2005.
Moh. Oemar, Sejarah Daerah Jawa Tengah, CV. Dwi Jaya Karya, Jakarta. 1994.
Slametmulyana, NAGARAKRETAGAMA dan Tafsir Sejarahnya, Bhratara Karya Aksara,
Jakarta. 1979.
Soekmono, Sejarah Kebudayaan Indonesia II, Kanisisus, Yokyakarta. 1973.
Hall, D. G, Sejarah Asia Tenggara, Usah Nasional, Surabaya.
Den Berg, Juan, Dari Panggung Peristiwa Sejarah Dunia, Groninges, Jakarta. 1992.
Ali, R. Moh, Peranan Bangsa Indonesia dalam Sejarah Asia Tenggara, Bhratara,
Jakarta. !963.
Djofar, Hasan, Girindrawardhana, Beberapa Masalah Majapahit Akhir, Fakultas Sastra
Universitas Indonesia, Jakarta. 1978.

Anda mungkin juga menyukai