Anda di halaman 1dari 3

IA_Assel_Topik 10_Kurnia Puspa Yuliani_071511233046

SAARC sebagai Bentuk Integrasi Kawasan di Asia Selatan


Dalam suatu kawasan, selalu muncul permasalahan yang tidak dapat diselesaikan
sendiri oleh satu negara sehingga harus dilakukan kerjasama untuk mengatasi permasalahan
yang ada. Kerjasama ini diwujudkan suatu adanya integrasi kawasan dengan dibentuknya
organisasi regional yang bertujuan untuk mengatasi permasalahan dalam lingkup kawasan
seperti contohnya ASEAN. Begitu pula dengan negara-negara di kawasan Asia Selatan yang
melakukan integrasi kawasan untuk menyelesaikan masalah yang ada dan membangun
perdamaian dikarenakan juga ada beberapa negara di Asia Selatan yang saling berseteru
contohnya adalah India dan Pakistan. Dalam tulisan ini akan dibahas mengenai kerjasama
dan integrasi kawasan di Asia Selatan serta relevansinya dalam memberikan solusi untuk
permasalahan yang terjadi di kawasan.
Sebagaimana yang telah dijelaskan sebelumnya bahwa kawasan Asia Selatan rawan
terjadi konflik. Menurut Shahab & Bhatnagar (2008), konflik internal yang terjadi antar
negara kawasan Asia Selatan terbagi menjadi empat yaitu konflik wilayah, terorisme lintas
perbatasan, isu pengungsi dan konflik imigran, dan nuklir. Pertama, konflik wilayah yang
terjadi di Asia Selatan antara lain (1) konflik gletser Siachen, Kargil, Sir Creek, dan Kashmir
antara Pakistan dan India; (2) konflik garis batas Durand antara Pakistan dan Afghanistan; (3)
konflik wilayah New Moor Island atau South Talpatty antara India dan Bangladesh. Kedua,
terorisme lintas perbatasan, isu ini sering terjadi di Pakistan yaitu di perbatasan India dan
Pakistan serta Afghanistan dan Pakistan. Ketiga, isu pengungsi dan konflik imigran
diantaranya yaitu (1) imigran illegal dari Bangadesh yang menyusup ke wilayah India; (2)
penutupan kamp pengungsi oleh Pakistan terhadap pengungsi dari Afghanistan dikarenakan
militansi lintas batas yang tinggi; (3) pengungsi dari Bhutan yang masuk ke Nepal. Keempat
adalah mengenai isu nuklir antara India dan Pakistan dimana kedua negara ini saling bersaing
dan akhirnya memicu nuclear deterrence.
Dikarenakan adanya permasalahan yang cukup krusial ini, negara kawasan Asia
Selatan akhirnya mendirikan sebuah institusi kerjasama regional yaitu SAARC (South Asian
Assocciation for Regional Cooperation). SAARC ini diusulkan oleh Presiden Bangladesh,
Ziaur Rahman pada 2 Mei 1980. Pertemuan pertama SAARC dihelat di Dhaka, Bangladesh
pada 7-8 Desember 1985. Lalu piagam SAARC ditandatangani pada 8 Desember 1985
dengan anggota awal Bhutan, India, Maladewa, Bangladesh, Nepal, dan Pakistan.
Didirikannya SAARC ini dinilai sebagai breakthrough dari usaha diplomasi negara kawasan
Asia Selatan yang mana sering terjadi konflik. Keputusan untuk mendirikan SAARC ini
dinilai tepat dikarenakan negara-negara Asia Selatan membutuhkan wadah untuk berinteraksi
IA_Assel_Topik 10_Kurnia Puspa Yuliani_071511233046

di dunia internasional. Agenda keamanan dari SAARC adalah berfokus pada terorisme dan
upaya membentuk ‘polisi’ bersama serta berprinsip tidak diperbolehkan membicarakan isu
bilateral di SAARC. Hal ini dilakukan sebab stabilitas di Asia Selatan bermasalah karena
tidak ada mekanisme institusi keamanan meskipun sebenarnya SAARC didirikan bukan
untuk berfokus pada isu keamanan (Shahab & Bhatnagar, 2008). Selain itu SAARC juga
telah berusaha untuk menyelesaikan permasalahan kawasan seperti isu perdagangan narkoba
dan terorisme (Shahab & Bhatnagar, 2008).
SAARC juga mendirikan tempat kerjasama dalam bidang ekonomi yaitu SAFTA
(South Asian Free Trade Agreement) yang didirikan dengan tujuan untuk menciptakan
integrasi kawasan dalam bidang ekonomi. SAFTA ditandatangani oleh para menteri luar
negeri negara-negara Asia Selatan pada Januari 2004 dan diratifikasi pada tahun 2006.
Tujuan dibentuknya SAFTA yaitu (1) menghapuskan hambaan dalam perdagangan; (2)
mempromosikan kompetisi yang sehat, bebas dan adil sehubungan dengan kondisi ekonomi
yang memberi manfaat; dan (3) membangun institusi untuk mempromosikan dan
memperluaskan kerjasama regional (Shahab & Bhatnagar, 2008).
Selain mencoba untuk memaksimalkan integrasi ekonomi, SAARC juga
memfokuskan pada kerjasama di aspek sosial budaya. Piagam sosial SAARC telah
ditandatangani pada tahun 2004 di Islamabad. Kerjasama ini bertujuan untuk mengatasi
masalah-masalah seperti sumber daya manusia, pemberdayaan perempuan, stabilisasi
populasi, kesehatan gizi dan perlindungan anak, serta mobilisasi pemuda (Shahab &
Bhatnagar, 2008). Tujuan yang telah disebutkan semuanya adalah isu kunci untuk
meningkatkan kesejahteraan populasi di Asia Selatan. Kerjasama dalam bidang sosial budaya
ini juga berperan penting dalam membangun rasa percaya antara negara anggota SAARC.
Namun, dalam perjalanannya, perkembangan regionalisasi di SAARC tergolong
minim dikarenakan adanya perbedaan sistem politik negara satu dengan yang lainnya bahkan
negara-negara anggota juga menolak positive-sum games (Dubey, 2007). Seperti contohnya
konflik wilayah Kashmir antara Pakistan dan India dimana kedua negara tersebut menolak
berpartisipasi dalam positive sum-games. Negara kawasan Asia Selatan khususnya dua
negara ini otomatis membiarkan hubungan bilateral dan hubungan di forum SAARC
menggantung (Dubey, 2007). Dikarenakan hal tersebut, negara-negara anggota menjadi lebih
terobsesi pada keamanan negara. Minimnya perkembangan regionalisasi di SAARC juga
disebabkan oleh ketidakseimbangan kepentingan negara anggota dengan kepentingan
regional (kawasan). Hal ini dapat dilihat dari negara India yang mana berstatus sebagai
negara dominan di Asia Selatan tidak menjalankan kepentingan kawasan. Begitupun dengan
IA_Assel_Topik 10_Kurnia Puspa Yuliani_071511233046

negara lain di SAARC yang tidak menjalankan komitmen yang telah disepakati bersama di
piagam SAARC (Dubey, 2007).
Akan tetapi dilihat dari relevansinya, tingkat regionalisasi SAARC ini dinilai kurang.
Hal ini dapat dilihat dalam kerjasama di tiga aspek yaitu pertama, keamanan yang mana
SAARC hanya melakukan kerjasama di isu terorisme dalam prosesnya namun dalam
perkembangannya, tindakan terorisme ini tidak berkurang dan justru bertambah sehingga
output-nya, isu keamanan lain tidak dibahas. Selain itu juga dikarenakan oleh prinsip SAARC
yang melarang negara anggota untuk membicarakan permasalahan bilateral di forum SAARC
yang mana sebenarnya penting untuk melihat stabilitas kawasan Asia Selatan. Inefisiensi di
aspek keamanan juga dapat diliat dari tingginya kompleksitas hubungan antar negara Asia
Selatan dalam dinamika keamanan (Hettne & Inotai, 1994). Kedua, dalam aspek ekonomi
pada kenyataannya pertumbuhan ekonomi terhambat dan terhalang pada negative list,
ketergantungan minim serta dominasi oleh India. Ketiga, dalam aspek sosial budaya,
sebenarnya terjadi peningkatan pada konektivitas antar civil society namun lambat.
Dari paparan diatas dapat disimpulkan bahwa integrasi kawasan di Asia Selatan dapat
dilihat dari pendirian SAARC yang mana dibentuk dengan tujuan untuk mewadahi dan
menyelesaikan masalah regional baik dalam aspek ekonomi, keamanan, maupun sosial
budaya. Akan tetapi integrasi kawasan di Asia Selatan ini dapat dikatakan masih minim yang
terlihat dari banyaknya tujuan yang tidak tercapai. Hal ini dikarenakan perbedaan sistem
politik dan permasalahan yang terjadi antar negara, dominasi negara besar seperti India yang
membuat tingkat regionalisme menjadi rendah.

Referensi:
Dubey, Muchkund. 2007. “SAARC and South Asian Economic Integration”, Economy and
Political Weekly, 42, pp. 1238-40.
Hettne, Bjorn & Inotai, Andras. 1994. “The New Regionalism: Implications for Global
Development and International Security”. UNU World Institute for Development
Economic Research.
Shahab, Zahid & Bhatnagar, Stuti. 2008. “SAARC and Interstate Conflicts in South Asia
Prospects and Challenges for Regionalism”. Pakistan Horizon, 61, pp. 69-87.

Anda mungkin juga menyukai