Anda di halaman 1dari 11

Ada tujuh negara yang terletak di Asia bagian selatan yaitu India, Pakistan,Bangladesh, Bhutan,

Maladewa, Nepal dan Srilanka. India adalah negara terbesar di kawasan ini dengan wilayah terluas dan
penduduk terbanyak. Negara-negara di Asia Selatan ini rata-rata adalah negara berkembang dengan
kepadatan penduduk yang tinggi maka tak heran jika kawasan Asia Selatan menjadi salah satu kawasan
terpadat di dunia, kepadatan penduduknya 7 kali rata-rata dunia.

Suasana panas dalam hubungan bertetangga antar negara-negara Asia Selatan sering terjadi antara India
dengan Pakistan, sungguh mengerikan jika dua negara terbesar di Asia Selatan itu sampai terlibat
perang, soalnya India dan Pakistan sama-sama memiliki senjata Nuklir. Sementara negara-negara Asia
Selatan lainnya relatif lebih dingin meski gejolak kerap juga terjadi di Sri Lanka yang sifatnya intern.

Berikut ini daftar selengkapnya negara-negara Asia Selatan beserta ibukota dan jumlah penduduknya
(2009-2012) dan beberapa kèterangan lainnya:

1. India

Ibukota: New Delhi

Luas Wilayah: 3,287,240 km persegi

Jumlah Penduduk: 1,210,193,422 jiwa

Mata Uang: Rupee.

2. Pakistan

Ibukota: Islamabad

Luas Wilayah: 796,095 km persegi

Jumlah Penduduk: 179,800,000 jiwa

Mata Uang: Rupee Pakistan.

3. Bangladesh

Ibukota: Dhaka

Luas Wilayah: 147,570 km persegi

Jumlah Penduduk: 152,518,015 jiwa


Mata Uang: Taka.

4. Bhutan

Ibukota: Thimphu

Luas Wilayah: 38,394 km persegi

Jumlah penduduk: 697,000 jiwa

Mata Uang: Ngultrum, Rupee India.

5. Maladewa

Ibukota: Male

Luas Wilayah: 298 km persegi

Jumlah Penduduk: 396,334 jiwa

Mata Uang: Rufiyaa.

6. Nepal

Ibukota: Kathmandu

Luas Wilayah: 147,181 km persegi

Jumlah Penduduk: 26,620,080 jiwa

Mata Uang: Rupee Nepal.

7. Sri Lanka

Ibukota: Kolombo

Luas Wilayah: 65,610 km persegi

Jumlah Penduduk: 20,238,000 jiwa

Mata Uang: Rupee Srilanka.


http://informasi-daftar.blogspot.com/2012/11/negara-negara-asia-selatan-beserta.html?m=1

Asia Selatan merupakan kawasan di sebelah selatan Asia. Kawasan ini terletak di sebelah timur kawasan
Timur Tengah, di sebelah barat kawasan Asia Tenggara, di sebelah selatan Asia Tengah dan Cina. Kawasan
ini terdiri dari tujuh negara yaitu India, Bangladesh, Buthan, Sri Lanka, Maladewa, Nepal, dan Pakistan
(Dash, 2008).

Regionalisme di Asia Selatan

Kawasan Asia Selatan sepertinya tidak ketinggalan tren global. Setelah lebih dari 8 tahun melakukan
negosiasi, tujuh negara Asia Selatan membentuk South Asian Association for Regional Cooperation
(SAARC) pada bulan Desember 1985. Pada bulan April 2007, Afghanistan resmi bergabung sebagai
anggota kedelapan. Asosiasi regional tersebut merepresentasikan inisiatif diplomatik dari para pemimpin
negara Asia Selatan dalam isu perdamaian dan pengembangan kawasan. Tujuan dibentuknya SAARC
dapat lebih lengkap dilihat dalam SAARC Charter sebagai dasar berdirinya SAARC. Isi dari SAARC Charter
antara lain:

Memajukan kesejahteraan masyarakat di Asia Selatan dan untuk memperbaiki kualitas kehidupan
masyarakat Asia Selatan.

Mempercepat pertumbuhan ekonomi, pertumbuhan sosial dan juga perkembangan dalam bidang
budaya. Serta untuk menyediakan kesempatan bagi setiap individu untuk hidup bermartabat dan
merealisasikan potensi-potensi yang mereka miliki.

Memberikan dan memperkuat rasa saling percaya antar negara di Asia Selatan.

Memajukan kolaborasi dan agar ada saling bantu dalam bidang ekonomi, sosial, budaya, technical dan
pengetahuan antar negara anggota.

Memperkuat kerjasama negara anggota SAARC dengan negara-negara maju.

Memperkuat kerjasama internal SAARC antar anggota dalam forum internasional dalam pencapaian
kepentingan bersama.

Menciptakan rasa saling percaya, saling pengertian dan rasa apresiasi pada masalah-masalah yang terjadi
di salah satu negara anggota.

Untuk ikut bekerja sama dengan organisasi internasional dan organisasi regional lain dengan tujuan dan
maksud yang serupa.
Pada bulan November 1987, diadakan SAARC Regional Convention of Suppression of Terrorism di
Kathmandu. Pertemuan tersebut diadakan untuk membicarakan masalah terorisme yang terjadi
khususnya di kawasan Asia Selatan. Dalam bidang ekonomi, SAARC mendirikan South Asia Free Trade
Area (SAFTA) yang disahkan pada pertemuan di Pakistan. SAFTA ini diharapkan akan mempererat
kerjasama perdagangan antar anggota SAARC. Selain itu, SAARC juga berusaha menjadi fasilitator dalam
konflik-konflik yang terjadi dan menyelesaikan permasalahan-permasalahan pelanggaran hukum yang
terjadi di kawasan Asia Selatan.

Sejak dibentuk, SAARC mengalami pertumbuhan yang terbatas dalam pengembangan institusi dan
implementasi program. Pertumbuhan regionalisme, yaitu usaha untuk membangun institusi untuk
merekatkan kerjasama regional, dianggap belum terjadi di kawasan Asia Selatan. Bahkan, Lyon (1992,
dalam Dash, 2008) berpendapat bahwa Asia Selatan merupakan “a region without regionalism”. Kondisi
apa yang menjadi tantangan bagi perkembangan regionalisme Asia Selatan?

Negara-negara Asia Selatan memiliki karakteristik yang sama. Lebih dari separuh dari orang miskin di
dunia hidup di kawasan ini. Pendapatan per kapita di kawasan ini juga masih tergolong rendah.
Disparitas antara yang miskin dan yang kaya, ketersediaan tenaga medis, obat-obatan, air minum, dan
fasilitas sanitasi yang terbatas menyebabkan masalah kemiskinan semakin besar (Dash, 2008).

Negara-negara Asia Selatan memiliki tingkat pertumbuhan penduduk yang tinggi selama 40 tahun
terakhir. Diperkirakan hingga tahun 2010, jumlah populasi di Asia Selatan akan mencapai seperempat
dari seluruh jumlah populasi dunia (Dash, 2008).

Negara-negara Asia Selatan memiliki tingkat pertumbuhan ekonomi yang rendah jika dibandingkan
dengan Asia Timur dan ASEAN, baik dalam bidang industri maupun agrikultur. Hal ini semakin diperparah
dengan disparitas yang jauh antara kawasan yang berbeda dan strata masyarakat yang berbeda dalam
satu kawasan Asia Selatan (Dash, 2008).

Konflik domestik yang terjadi di negara Asia Selatan. Contohnya adalah perang saudara di Sri Lanka.

Konflik yang terjadi antar negara Asia Selatan, yaitu konflik berkepanjangan antara India dan Pakistan.
Sejarah mencatat bahwa India dan Pakistan selalu terlibat konflik mulai dari sengketa Kashmir antara
Islam Pakistan dan Hindu India hingga saling menyalahkan masalah terorisme dan masalah sumber daya
alam. Konflik lainnya adalah antara Afghanistan dan Pakistan tentang garis batas, India dan Bangladesh
tentang sungai Gangga dan imigrasi illegal Bengalis ke India, Nepal dan Bhutan tentang pengungsi
Bhutan di Nepal, dan sebagainya (Ahmed dan Bhatnagar, 2008).

Negara-negara Asia Selatan tidak memiliki common external threat. Hal ini menyulitkan para pemimpin
kawasan ini untuk bekerja dengan strategi keamanan regional yang sama. Ancaman justru datang dari
tetangga sendiri, yaitu negara sesama kawasan Asia Selatan (Dash, 2008).
Di antara negara-negara Asia Selatan, India adalah negara yang paling besar secara geografi dan juga
secara ekonomi. Negara-negara kawasan tersebut mengkhawatirkan bahwa setiap perjanjian
perdagangan hanya akan memberikan keuntungan bagi India dan barang-barang India akan
mendominasi pasar regional. Hegemoni India, kekurangpercayaan di antara negara Asia Selatan, dan
tentangan Pakistan terhadap dominasi India di Asia Selatan membuat pertumbuhan regionalisme Asia
Selatan semakin sulit (Dash, 2008).

Opini

Penulis melihat bahwa Asia Selatan memiliki peluang untuk menciptakan regionalisme yang mapan.
Sejarah yang panjang, walaupun diwarnai dengan berbagai konflik, seharusnya dapat menjadi pelajaran
berharga dan perekat hubungan di antara negara-negara Asia Selatan. India terutama yang berpeluang
untuk menjadi kekuatan ekonomi yang akan berdampak terhadap negara-negara di sekitarnya. Namun
sepertinya, masih ada pekerjaan rumah yang harus dipenuhi oleh semua negara Asia Selatan, yaitu
kepercayaan.

Daftar Pustaka

Ahmed, Zahid Shahab dan Stuti Bhatnagar. (2008) Interstate Conflicts and Regionalism in South Asia:
Prospects and Challenges. Perceptions, Spring-Summer 2008. [Diakses 27 Mei 2009]
<http://www.sam.gov.tr/perceptions/volume13/Interstate%20Conflicts%20and%20Regionalism%20in
%20South%20Asia,%20Prospects%20and%20Challenges,%20Zahid%20Shahab%20Ahmed%20-%20Stuti
%20Bhatnagar.pdf&gt;

Bailes, Alyson J.K. et al. (2007) Regionalism in South Asian Diplomacy. SIPRI Policy Paper No. 15. [Diakses
27 Mei 2009] <http://books.sipri.org/files/PP/SIPRIPP15.pdf&gt;

logo-kompasiana

DAFTAR

x
Isharyanto Ciptowiyono

Isharyanto Ciptowiyono

pegawai negeri

Pencari Pengetahuan

FOLLOW

POLITIK

Konflik di Kawasan Asia Selatan

11 Oktober 2013 20:10 Diperbarui: 11 Oktober 2013 20:10 8822 0 0

Dunia telah menyaksikan proliferasi perjanjian perdagangan regional (Regional Trading Agreement, RTA)
selama 2 dekade terakhir. Sejak tahun 1990, hampir 250RTA telah disepakati secara resmi. Dalam tahun-
tahun terakhir telah menjadi periode paling produktif dalam sejarah RTA, dengan sebanyak 43RTA yang
dinotifikasi ke WTO. Substansi RTAcukup heterogen yang mencerminkan kekuatan ekonomi, politik,
sosial, dan budaya. Hasil RTA telah membuka peluang pasar dan perdagangan baru, semakin frustrasi
dengan negosiasi perdagangan multilateral (misalnya, WTO). Kerjasama semacam itu juga menjadi upaya
untuk membangun c kekuatan negosiasi atau mengurangi perdagangan ilegal dan penyelundupan.
Berbagai perjanjian regional itu bahkan bisa mencerminkan model ekspor kerjasama regional seperti Uni
Eropa bagi blok regional lainnya. Keragaman perjanjian tersebut menggambarkan dengan jelas bahwa
RTAtelah mempromosikansesuatu lebih dari sekedar perdagangan atau, dalam hal ini, integrasi ekonomi.
RTA harus dilihat secara inklusif sebagai sarana untuk mencapai kesejahteraan sosial-ekonomi dan
stabilitas politik di kawasan tertentu.

Karena pertambahan jumlah RTA maka kesepakatan tersebut kemudian menimbul efek kawasan secara
eksternal dan internal. Mungkin aspek yang paling signifikan dan agak diabaikan adalah hubungan antara
RTA dengan stabilitas politik, yang isu terakhir ini menjadi salah satu penentu utama dari terjadinya
konflik antar dan intra negara dalam suatu wilayah Tulisanini berfokus pada wilayah Asia Selatan dan
menguji konteks politik dan ekonomi strategis RTA dijalankan. Asia Selatan merupakan wilayah strategis
yang penting dimana negara memiliki sejarah integrasi serta konflik. Di era kolonial, sebagian besar
wilayah Asia Selatan berada di bawah kekuasaan Inggris. India, negara terbesar di wilayah ini adalah
ekonomi tunggal yang terintegrasi dengan baik pada saat itu. Dengan pecahnya wilayah kolonial India
menjadi Pakistan dan India (1947), dan kemudian memecah lebih lanjut dari Pakistan ke Bangladesh
(1971), integrasi ekonomi regional melemah . Pada saat yang sama,negara-negara di kawasan ini
mengalami ketegangan dan konflik dalam jangka waktu yang lama.
Asia Selatanmerupakan wilayah yang rawanterhadap konflik ketegangan politik. India, sebagai
negarayang terbesar dan secara geografis telah mengembangkan perbedaan dengan sebagian besar
negara tetangganya yang lebih kecil. Ketegangan cenderung muncul kembali secara periodik dan tidak
mengijinkan suasana saling percaya. Mencerminkan ketegangan ini, sebuah laporan Uni Eropa
menyimpulkan bahwa tingkat risiko politik dalam konteks investasi perdagangan di Asia Selatan termasuk
tinggi. Laporan ini hanya menampilkan dua anggota SAARC (South Asia Agremeent Regional
Cooperation) dengan risiko politik terkecil, yaitu Maladewa dan Bhutan. Negara-negara lain dianggap
rapuh, dengan nilai rata-rata stabilitas jauh di bawah rata-rata global (Komisi Eropa 2005).

Aspekyang perlu dicatat adalah bagaimana ketidakstabilan internal dan eksternal akibat ketegangan dan
konflik menimbulkan efek ketidakstabilan politik dan ekonomi. Pada hakekatnya, jalinan konflik intra dan
antar negara telah menunda reformasi ekonomi dan politik dalam negeri, dan menghambat integrasi
ekonomi dan perdagangan regional. Tulisan ini menyajikan gambaran konflik di wilayah tersebut dengan
fokus pada periode ketika negara-negara Asia Selatan sedang membuat upaya untuk meningkatkan
pengaturan perdagangan regional. Penting untuk dicatat bahwa semua konflik bilateral selama periode
ini telah bersifat India-sentris, yang mencerminkan sebagian besar aspirasi hegemonik India dan
didukung oleh supremasi militer negara ini di wilayah itu.

India dan Pakistan

Hubungan antara India dan Pakistan, 2 negara terbesar di kawasan ini, mewujudkan ketidakstabilan
regional yang permanen. Kedua negara telah terkunci dalam konflik yang berkepanjangan - baik terbuka
atau terselubung, karena perpecahan pada tahun 1947, yang merupakan kendala terbesar untuk
integrasi ekonomi regional. Sejak permulaan tahun 1980-an ditandai konflik terselebung dibandingkan
dengan konflik aktif. Setelah kalah dalam perang yang menentukan ke India pada tahun 1971 yang
mengakibatkan pemisahan Bangladesh dari Pakistan, Pakistan mengambil sikap lebih kalemdan bersedia
kompromi tentang Kashmir, yang memungkinkan kedua negara untuk mengatasi masalah ekonomi dan
perdagangan. Berbagai upaya diplomatik akhirnyamendorong terbentuknya SAARC pada tahun 1985.

Namun,karena watak dasar yang keras dan didorong oleh dinamika agama dan militer dalam sejarah,
menyebabkan penurunan yang signifikan dalam hubungan tersebut pada akhir 1980-an. Gerakan
separatis Kashmir mendapatkan momentum di Kashmir India pada akhir 1980-an. Segera setelah itu,
Pakistan mulai memberikan dukungan politik dan militer kepada pemberontak. Dukungan tersebut terus
membuat kedua belah pihak berselisih sepanjang 1990-an. India terus menerus menyalahkan Pakistan
atas kerusuhan di Kashmir, menuduh memberikan pelatihan dan mengirimkan agen untuk bergabung
dengan pelaku pemberontakan.

Masalah keamanan antara Pakistan dan India mencapai puncaknya pada tahun 1998, ketika kedua belah
pihak melakukan uji coba senjata nuklir, yang kemudian memperkenalkan dimensi yang sangat stabil
dengan paradigma keamanan. Pada tahun 1999, Pakistan dan India terlibat dalam konfrontasi bersenjata
di wilayah Kargil, Kashmir. Meskipun konflik berakhir di jalan buntu, Kargil menandai konflik pertama
antara dua negara yang memiliki senjata nuklir dan membawa banyak orang untuk menyadari potensi
bencana nuklir. Ketegangan mencapai titik tertinggi pada tahun 2002 ketika India menyalahkan Pakistan
karena telah merekayasa serangan teroris pada parlemen India. Kedua belah pihak menemukan diri
mereka di tengah-tengah kebuntuan salama 10 bulan, dengan mengumpulkan jutaan tentara di
perbatasan India-Pakistan, suatu bentuk membuat mobilisasi militer terbesar dalam sejarah di wilayah
ini. Mengingat tekanan internasional yang kuat, pelucutan senjata akhirnya tercapai sebelum konflik
meningkat lebih tidak terkendali.

Di tengah ketegangan tersebut, Pakistan dan India telah melakukan beberapa upaya untuk memulai
proses perdamaian guna menyelesaikan perselisihandiantara mereka. Inisiatif utama dilakukan sebelum
Perang Kargil pada tahun 1999, ketika kedua belah pihak menandatangani "Deklarasi Lahore", dan pada
tahun 2001 ketika Presiden Pakistan Parvez Musharraf membuat sebuah upaya yang gagal untuk
memprakarsai upaya perdamaian. Proses perdamaian merupakan upaya terbaru oleh kedua belah pihak
untuk melakukan perbaikan hubungan. Sementara upaya saat ini telah berlangsung lebih insentif
dibandingkan era sebelumnya tetap saja ketegangan India-Pakistan masih tinggi. Semua berakar pada
kecurigaan antara kedua belah pihak yang tidak berubah dan masalah yang luar biasa besar yang belum
terpecahkan. Bahkan jika tawaran perdamaian saat ini tetap diupayakan, akan membutuhkan puluhan
tahun sebelum Pakistan dan India mulai saling percaya.

India dan Sri Lanka

Pada 1980-an, Sri Lanka perlahan-lahan berada di bawah cengkeraman konflik etnis antara mayoritas
Sinhala dan separatis minoritas Tamil guna memperoleh kemerdekaan dari Utara Sri Lanka. India
memiliki minat alami dalam masalah ini, mengingat populasi Tamil yang cukup besar di India Selatan.
Pada awal 1983 India berusaha, meskipun tidak berhasil, untuk memediasi konflik di Sri Lanka.

Kekerasan etnis di Sri Lanka menyebabkan ketegangan serius antara India-Sri Lanka karena pemerintah
India secara terbuka mulai bersimpati dengan orang Tamil Sri Lanka. Macan Pembebasan Elam Tamil
Elam (LTTE), sebuah organisasi militan, dilaporkan didanai oleh negara bagian Tamil Nadu, fakta yang
ditoleransi oleh New Delhi. Selain itu, pada tahun 1987, ketika pemerintah Sri Lanka berusaha untuk
mendapatkan kembali kontrol atas wilayah utaranya melalui blokade ekonomi, India menyelamatkan
orang Tamil. Pada bulan Juli tahun 1987, India memutuskan untuk mengirim Pasukan Pemeliharaan
Perdamaian India (IPKF) ke Sri Lanka di bawah perjanjian yang berusaha untuk melucuti Tamil dan
mencapai perdamaian.

Perjanjiantersebut menimbulkan kemarahan lebih lanjut antara etnis Sinhala Sri Lanka yang melihat hal
ini sebagai upaya India untuk membangun hegemoninya atas Sri Lanka. Hubungan antara India dan Sri
Lanka mencapai titik nadir pada tahun 1989 ketika pemerintah Sri Lanka menuntut penarikan IPKF.

Mengingat bahwa ketegangan India-Sri Lanka mencapai klimaks pada saat SAARC dalam masa
pertumbuhan, dampak terhadap pengelolaan kawasan menjadi jelas. India memboikot KTT SAARC 1991
di Kolombo, menyebabkan penundaan pertemuan tersebut. Penundaan pertemuan tingkat tinggi
tersebut hanya satu hari sebelum dilaksanakan dan berlangsung tiba-tiba, diselingi ketegangan antara Sri
Lanka dan India.

Sejak awal 1990-an, sementara tetap mendukung gerakan Tamil, India telah menahan diri untuk
melakukan intervensi langsung. India juga mulai resmi mendukung posisi pemerintah Sri Lanka. Selain
itu, kedua belah pihak telah meningkatkan kerjasama di sektor lain, yang mengarah ke peningkatan yang
signifikan dalam hubungan mereka. Sementara gerakan separatis Tamil memang menciptakan iritasi kecil
dari waktu ke waktu, India tampaknya benar-benar tertarik pada solusi damai untuk masalah ini. Secara
keseluruhan, kecurigaan Sri Lanka atasdesain hegemonik India telah berkurang secara substansial,
sehingga hubungan antara kedua negara menjadi lebih ramah.

India dan Bangladesh

Terlepas dari kenyataan bahwa India mendukung separatis Pakistan Timur, yang akhirnya memperoleh
kemerdekaan menjadi negara Bangladesh, hubungan kedua negara tetap terjalin. Meskipun kedua belah
pihak merumuskan perjanjian ekonomi dan perjanjian tahunan terbarukan pada isu pembagian sumber
daya air, sejumlah kekhawatiran tetap muncul. Sebuah kekhawatiran yang dirasakan Bangladeshserupa
dengananggota SAARC lainnya, yaitu kecurigaan atas upaya India untukmemberikan pengaruh langsung
terhadap tetangganya.
Secara khusus, di awal 1990-an, hubungan India-Bangladesh memburuk akibat sengketa Barrage Farakka,
di mana India telah membangun sebuah kanal pengumpan untuk mengalihkan air. Ketegangan muncul di
permukaan karena tidak ada solusi permanen yang ditermukan untuk masalah yang luar biasa besar.
Pada tahun 2001, India dan Bangladesh melakukan konfrontasitentang perbatasan. Konflik berpusat di
sekitar wilayah perbatasan yang disengketakan dekat desa Pyrdiwah tapi tetap dikerahkan pasukan
perbatasan di kedua sisi (Gencatan Senjata 2001). Pulau sungai Muhurichar juga diklaim oleh kedua
negara. Namun, masalah ini tetap mengemuka sejak tahun 1985.

Pada akhir 1980-an, India berusaha untuk membangun pagar di perbatasan internasional India-
Bangladesh untuk menghentikan imigran ilegal yang mengalir ke Benggala Barat. Masalah ini telah
mencapai tingkat yang serius di masa lalu. Akhir-akhir ini, India juga menuduh Bangladesh bersekutu
dengan Pakistan dan bertindak sebagai saluran untuk operasi teroris anti-India. Bangladesh, di sisi lain,
menyalahkan India atas dukungan pemberontak anti-Dhaka, Chakma.

India dan Nepal

Hubungan India-Nepal juga penuh dengan ketegangan meskipun kedua belah pihak tidak membolehkan
hubungan mereka secara keseluruhan untuk dijadikan sandera atas perbedaan mereka. Persamaan
India-Nepal adalah contoh klasik dari manuver politik kekuasaan besar terhadap kekuasaan yang lebih
kecil di mana Nepal, berusaha maksimal untuk mempertahankan postur yang independen, meskipun
secara ekonomi tergantung pada India. Sebagian besar masalah antara kedua belah pihak didasarkan
pada kekhawatiran ekonomi.

Hubungan India-Nepal cukup tegang ketika SAARC dibentuk. India telah menolak tawaran Nepal
mengenai zona keamanan internasional (Murthy 1999). Akuisisi Nepal atas persenjataan Cina
menghasilkann protes resmi yang kuat dari pemerintah India, khawatir akan kehilangan pengaruhnya di
Katmandu. Pada tahun 1988, Nepal menolak untuk mengakomodasi tuntutan India di untuk meninjau
perjanjian diantara kedua negara. Nepal mengambil pendekatan garis keras, dan setelah berakhirnya
perjanjian pada tahun 1989, menghadapi blokade ekonomi dari India, suatu perkembangan yang
menyebabkan eskalasi lebih lanjut ketegangan India-Nepal.

Baru-baru ini, kesepakatan damai dalam hubungan bilateral telah muncul. Meskipun India dan Nepal
juga memiliki perselisihan teritorial yang mencakup wilayah seluas 75 kilometer persegi akan tetapi
masalah itu belum berdampak terhadap hubungan Indo-Nepal ke tingkat yang signifikan.
Sejak awal 1990-an, memburuknya situasi ekonomi dan politik di Nepal telah memaksa untuk melakukan
perbaikan hubungan dengan India. Pada tahun 1990, hubungan keamanan khusus antara kedua negara
dipulihkan dan pada pertengahan 1990-an, perjanjian perdagangan dan transit baru ditandatangani
bersama dengan perjanjian ekonomi lainnya. India juga telah mendukung pemerintah Nepal dalam
memerangi pemberontakan Maois yang sedang berlangsung di negeri ini, sebuah fakta yang telah lebih
meningkatkan hubungan antara kedua negara.

https://www.kompasiana.com/isharyanto/552e1d006ea834473f8b45b8/konflik-di-kawasan-asia-selatan

Anda mungkin juga menyukai