Anda di halaman 1dari 7

Dosen : Prof.Dr.Soekarno Aburaera, S.H..

PENEMUAN HUKUM

OLEH :

HANRY SETIAWAN NASUTION

B022181007

KENOTARIATAN ‘A’

PROGRAM STUDI MAGISTER KENOTARIATAN


PROGRAM PASCASARJANA FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR
2018
Berangkat dari konsep hukum progresif, penemuan hukum yang progresif, bahwa hukum itu
adalah untuk manusia, yang didalamnya termasuk nilai-nilai akan kebenaran dan keadilan
yang menjadi titik pembahasan hukum, sehingga faktor etika dan moralitas tidak terlepas
dari pembahasan tersebut. Sehingga dapat dikatakan bahwa karakteristik penemuan
hukum yang progresif adalah :

1. Penemuan hukum yang didasarkan atas apresiasi hakim sendiri dengan dibimbing
oleh pandangannya atau pemikirannya secara mandiri, dengan berpijak pada
pandangan bahwa hukum itu ada untuk mengabdi kepada manusia.

2. Penemuan hukum yang bersandarkan pada nilai-nilai hukum, kebenaran dan keadilan,
serta juga etika dan moralitas.

3. Penemuan hukum yang mampu menciptakan nilai-nilai baru dalam kehidupan


masyarakat, atau melakukan rekayasa dalam suatu masyarakat yang sesuai dengan
perkembangan zaman dan teknologi serta keadaan masyarakat.

Dengan mendasarkan pada karakteristik penemuan hukum yang progresif tersebut diatas,
maka dapat dijelaskan metode penemuan hukum yang progresif adalah sebagai berikut:

a. Metode penemuan hukum yang bersifat visioner dengan melihat permasalahan hukum
tersebut untuk kepentingan jangka panjang ke depan dengan melihat case by case.

b. Metode penemuan hukum yang berani dalam melakukan suatu terobosan (rule breaking)
dengan melihat dinamika masyarakat, tetapi berpedoman pada hukum, kebenaran, dan
keadilan serta memihak dan peka pada nasib dan keadaan bangsa dan negaranya.

c. Metode penemuan hukum yang dapat membawa kesejahteraan dan kemakmuran


masyarakat dan juga dapat membawa bangsa dan negara keluar dari keterpurukan dan
ketidakstabilan sosial seperti saat ini

Oleh karena itu secara faktual, tidak dapat ditentukan metode penemuan hukum yang
bagaimanakah yang dapat digunakan hakim dalam melakukan penemuan hukum yang
sesuai dengan karakteristik penemuan hukum yang progresif, karena dalam setiap perkara
atau kasus mempunyai bentuk dan karakteristik yang berlainan atau variatif sifatnya.
Sehingga hakim akan menggunakan metode penemuan hukum yang sesuai dengan kasus
yang dihadapinya (case by case), apakah itu salah satu metode interpretasi hukum ataukah
salah satu dari metode konstruksi hukum atau hanya berupa gabungan dari beberapa
metode interpretasi hukum atau konstruksi hukum, ataukah sekaligus dari metode
interpretasi hukum dan konstruksi hukum sekaligus. Sebagaimana yang disebut tentang
metode penemuan hukum dalam perspektif hukum progresif, maka putusan hakim yang
sesuai dengan metode penemuan hukum yang progresif adalah:

a. Putusan hakim tidak hanya semata-mata bersifat legalistik, yakni hanya sekedar corong
undang-undang (la bouche de la loi) meskipun seharusnya hakim selalu harus legalistik
karena putusannya tetap berpedoman pada peraturan perundang-undangan yang berlaku.

b. Putusan hakim tidak hanya sekedar memenuhi formalitas hukum atau sekadar memelihara
ketertiban saja, tetapi putusan hakim harus berfungsi mendorong perbaikan dalam
masyarakat dan membangun harmonisasi sosial dalam pergaulan

c. Putusan hakim yang mempunyai visi pemikiran kedepan (visioner), yang mempunyai
keberanian moral untuk melakukan terobosan hukum(rule breaking), dimana dalam hal
suatu ketentuan undang-undang yang ada bertentangan dengan kepentingan umum,
kepatutan, peradaban, dan kemanusiaan yakni nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat,
maka hakim bebas dan berwenang melakukan tindakan contra legem, yaitu mengambil
putusan yang bertentangan dengan pasal undang-undang yang bersangkutan dengan
tujuan untuk mencapai kebenaran dan keadilan.

d. Putusan hakim yang memihak dan peka pada nasib dan keadaan bangsa dan negaranya
yang bertujuan pada peningkatan kesejahteraan untuk kemakmuran masyarakat serta
membawa bangsa dan negaranya keluar dari keterpurukan dalam segala bidang kehidupan.

Putusan hakim yang demikian diharapkan dapat mendorong pada perbaikan dalam
masyarakat dan membangun harmonisasi sosial dalam pergaulan antar anggota
masyarakat serta dapat dipergunakan sebagai sumber pembaharuan hukum.
CONTOH KASUS

Putusan hakim secara faktual banyak dihasilkan oleh para hakim, dan untuk itu
dibawah ini adalah beberapa contoh putusan hakim yang dapat diklasifikasikan sebagai
putusan hakim yang sesuai dengan metode penemuan hukum yang bersifat progresif :

1. Putusan MA No. 275 K/Pid/1983 Tanggal 15 Desember 1983, dalam Perkara Atas Nama
Terdakwa : Natalegawa

Dalam putusan ini, Mahkamah Agung mengabulkan permohonan kasasi dari Jaksa
Penuntut Umum terhadap putusan Pengadilan Negeri yang membebaskan terdakwa
Natalegawa. Padahal dalam Pasal 244 KUHAP ditegaskan bahwa : “Penuntut Umum tidak
diberi hak untuk melakukan kasasi”. Namun demikian, pada kenyataannya Mahkamah
Agung memberikan hak kepada Penuntut Umum untuk melakukan kasasi.

Penerimaan kasasi tersebut merupakan contra legem terhadap Pasal 244 KUHAP,
yang melarang pengajuan kasasi atas putusan bebas. Pasal 244 KUHAP menyatakan
bahwa : terhadap putusan perkara pidana yang diberikan pada tingkat terakhir oleh
pengadilan lain selain dari MA, terdakwa atau penuntut umum dapat mengajukan
permintaan pemeriksaan kasasi kepada Mahkamah Agung kecuali terhadap putusan bebas.

Dasar pertimbangan yang dipergunakan oleh Mahkamah Agung antara lain


menyatakan bahwa menurut kepatutan dalam masyarakat, khususnya dalam tindak pidana
korupsi, apabila dalam putusan yang dijatuhkan telah melampaui batas kewenangan, dalam
hal ini putusan didasarkan pada pertimbangan nonyuridis pada satu sisi, dan putusan
pembebasan itu pada sisi yang lain menusuk perasaan hati masyarakat luas, maka
terhadap putusan bebas tersebut dapat dimintakan pemeriksaan kasasi kepada Mahkamah
Agung.

Dengan putusannya tersebut berarti Mahkamah Agung telah menyingkirkan Pasal


244 KUHAP dengan cara menemukan dan menciptakan hukum (case law). Putusan ini
kemudian dikuatkan dengan Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) No.
MA/PEMB/2653/33 tanggal 8 Agustus 1983 dan Surat Keputusan Menteri Kehakiman No.
01/44-PW-07.D.3 tanggal 10 Desember 1983. Beberapa argumentasi yang dapat
disampaikan terkait dengan putusan tersebut, adalah bahwa Mahkamah Agung telah
melakukan suatu langkah terobosan, dengan melakukan interpretasi terhadap ketentuan
Pasal 244 KUHAP, sehingga kasasi dari penuntut umum yang seharusnya tidak
diperbolehkan, akan tetapi dengan pertimbangan kedepan bahwa tindak pidana korupsi
merupakan suatu perbuatan yang tidak patut dilakukan dalam masyarakat dan menusuk
perasaan keadilan masyarakat. Oleh karena itu, MA berusaha untuk memberikan rasa
keadilan bagi masyarakat (social justice) dengan menjatuhkan putusan yang bertujuan
menciptakan rasa keadilan yang bersifat substansial (materiil), sehingga kasasi penuntut
umum diterima dan dengan kewenangannya, MA mengadili sendiri dan menjatuhkan pidana
terhadap terdakwa yang telah diputus bebas oleh Pengadilan Negeri.

2. Putusan Mahkamah Agung No. 2263K/Pdt/1991 dalam Perkara Pembebasan Tanah


untuk Proyek Bendungan Kedungombo, yang Diputuskan oleh Majelis Hakim yang
Diketuai Asikin Kusumaatmaja

Dalam putusannya tersebut, hakim menolak keterangan Tergugat (Pemerintah


Provinsi Jawa Tengah) yang menganggap bahwa rakyat telah bersepakat menerima ganti
rugi berdasarkan musyawarah, karena pada kenyataannya ganti rugi yang diberikan
pemerintah kepada penduduk tidak mencerminkan keadilan dan kebenaran materiil,
sehingga hakim perlu mendefenisikan ulang pengertian musyawarah untuk mufakat.
Kemudian dalam putusan tersebut hakim mengabulkan ganti rugi kepada pemilik tanah yang
besarnya ternyata melebihi dari apa yang diminta dalam gugatannya.

Putusan dalam tingkat kasasi ini menguntungkan penduduk sekitar selaku pemilik
tanah disekitar waduk / bendungan Kedungombo, yang selalu menjadi korban keserakahan
dari kaum powerfull, yang biasanya memanfaatkan kelemahan-kelemahan peraturan
perundangan-undangan.

Sebenarnya dibalik kasus waduk Kedungomobo ini, dapat dilihat sarat dengan
ambisi politik dari Pemerintahan Orde Baru dalam melaksanakan pembangunan agar terlihat
kemakmuran dan kesejahteraan rakyat dapat diwujudkan, tetapi hal tersebut dilakukan
diatas penderitaan rakyat yang diinjak-injak haknya dan perampasan tanah-tanah dengan
cara sewenang-wenang.

Dalam usahanya memberikan putusan yang memenuhi rasa keadilan masyarakat


(social justice) yang didasarkan pada pencairan akan keadilan yang substansial (materiil)
itulah, maka hakim kasasi di MA menilai bahwa ganti kerugian yang dituntut oleh
masyarakat saat itu sudah tidak sesuai lagi dengan harga tanah pada saat saat putusan
kasasi diperiksa oleh hakim, sehingga dengan melakukan terobosan hukum yang progresif,
hakim menjatuhkan putusan yang menurut penulis merupakan putusan yang
mengedepankan sisi kemanusiaan, keadilan, dan kebenaran sebagaimana konsep hukum
progresif itu sendiri.
Hakim dalam perkara ini, telah melakukan penemuan hukum melalui teori atau metode
interpretasi teleologis atau sosiologis, yang mana nilai ganti kerugian yang dituntut oleh
masyarakat disesuaikan dengan nilai uang atau harga tanah pada saat perkara kasasi itu
diputuskan, sehingga nilai tanah itu mengikuti nilai ekonomis tanah dari tahun ke tahun,
yang terus bertambah mahal, hal ini sangat menguntungkan penduduk pemilik tanah
tersebut.

Putusan ini, oleh banyak kalangan termasuk Satjipto Rahardjo, dianggap sebagai
revolusi yang setara dengan putusan Hoge Raad tahun 1919, dengan alasan karena
putusan MA dengan tegas-tegas membela kepentingan rakyat kecil yang lemah
kedudukannya.

3. Penetapan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan dan Barat No. 546/73.P, tanggal 14
November 1973 yang Mengabulkan Permohonan Penggantian Jenis Kelamin dari
Seorang Laki-laki Bernama Iwan Robianto Menjadi Seorang Perempuan dengan Nama
Vivian Rubiyanti

Dilihat dari segi ilmu hukum, seluk beluk ganti kelamin masih merupakan persoalan
baru dibidang perkembangan hukumnya. Adanya kepentingan persoalan hukum muncul
setelah adanya perkembangan di bidang ilmu kedokteran yang disebut dengan operasi
kelamin, sehingga penetapan hakim ini merupakan era baru di bidang praktik peradilan
Indonesia dalam mengisi kekosongan peraturan hukum (rechtvacuum), karena hal ini
memang belum ada pengaturannya dalam peraturan perundang-undangan. Dengan
putusan ini, hakim dipandang telah berhasil melakukan penemuan hukum yang sesuai
dengan kebutuhan nyata masyarakat.

Pertimbangan hukum yang diberikan hakim adalah tepat, yaitu dalam kehidupan di
masyarakat terdapat dua jenis manusia yaitu yang berjenis kelamin laki-laki dan nerjenis
kelamin perempuan, tetapi tidak dapat dipungkiri dalam kenyataannya terdapat pula
segolongan manusia yang hidupnya ada diantara kedua jenis itu, yaitu waria (wanita pria).

Dalam melengkapi kekosongan hukum tentang perubahan kelamin tersebut, hakim


memberikan pertimbangan dengan meninjaunya dari segi agama yang disesuaikan dengan
keyakinan si pemohon, yang tidak keberatan sepanjang perubahan kelamin tersebut
merupakan satu-satunya jalan untuk menolong penderitaan si pemohon, sehingga ia dapat
berkembang sebagai manusia yang wajar.
Jika ditelaah, putusan ini merupakan penemuan hukum yang dilakukan hakim dengan
metode konstruksi hukum, karena ketentuan hukum yang mengatur mengenai penggantian
jenis kelamin, belum diatur dalam suatu peraturan perundang-undangan sehingga terjadi
kekosongan undang-undang (wet vacuum). Hakim melakukan konstruksi dengan
berlandaskan pada metode fiksi hukum, dimana dalam putusan tersebut, dikemukakan
fakta-fakta baru, sehingga tampil suatu personifikasi atau keadaan hukum baru, yaitu
perubahan kelamin dari si pemohon seorang laki-laki yang bernama Iwan Robianto menjadi
seorang perempuan yang bernama Vivian Rubiyanti.

Anda mungkin juga menyukai