Anda di halaman 1dari 70

PERCOBAAN 3

SOLIDS HANDLING STUDY BENCH

A. DISTRIBUSI UKURAN CAMPURAN

3.A.1 PENDAHULUAN

3.A.1.1 Tujuan Percobaan


Tujuan dari percobaan ini adalah menghitung dan menganalisis distribusi
ukuran dari padatan dengan menggunakan sieve dan vibrator shaker.

3.A.1.2 Latar Belakang


Screening atau penyaringan campuran adalah cara untuk memisahkan
partikel menurut ukuran yang digunakan. Bahan baku yang digunakan dalam
industri biasanya berupa padatan yang mempunyai ukuran tertentu dan seragam.
Namun bila ukuran yang ada pada padatan tersebut tidak sesuai dengan apa yang
diharapkan, maka dilakukan screening untuk memperoleh ukuran yang sesuai.
Percobaan distribusi ukuran partikel ini bertujuan untuk mengetahui cara-
cara pengayakan dan menggunakan ukuran ayakan yang berbeda. Tujuan dari
pengayakan ini juga untuk mengetahui serta menganalisis ukuran dari padatan.
Pada proses ini akan diperoleh padatan berukuran tertentu dan seragam.
Pengayakan dengan berbagai rancangan telah banyak digunakan dan
dikembangkan di industri dalam proses pemisahan bahan-bahan pangan
berdasarkan ukuran yang ada pada industri farmasi. Ukuran partikel mempunyai
pengaruh besar dalam pembuatan persediaan obat. Oleh karena itu, percobaan ini
penting untuk dilakukan.

III-1
3.A.2 DASAR TEORI

Pengayakan adalah penyempurnaan dengan melewatkan material ke


suatu permukaan dengan permukaan yang diinginkan. Pengayakan terdiri dari
pemisahan dari suatu campuran berbagai partikel ke dalam dua atau lebih porsi
yang mana yang tiap dari masing-masingnya lebih seragam dalam ukuran partikel
aslinya. Pengayakan kering menuju ke perawatan dari material yang hampir
selesai diayak (Brown, 1950).
Pengayakan (screening) adalah suatu metode untuk memisahkan partikel
menurut ukuran semata. Dalam proses pengayakan disini yang digunakan dalam
industri, zat padat tersebut dijatuhkan atau dilemparkan ke permukaan pengayak.
Partikel yang dibawah ukuran atau yang kecil (undersize) atau halusan (fines),
lolos melewati bukaan ayakan dan yang di atas ukuran atau yang besar (oversize)
atau fails, satu ayakan tunggal hanya dapat memisahkan dua fraksi saja tiap kali
pengayakan. Ketika fraksi disebut fraksi yang belum berukuran (undersize
fraction), karena baik ukuran besar maupun kecil daripada partikel yang diketahui
tidak diketahui. Pengayakan kadang dilakukan pada keadaan basah, tetapi lebih
lazim dalam keadaan kering (McCabe, 1999).
Sieve atau screen digunakan untuk pemisahan partikel berdasarkan ukuran
dan dalam skala kecil digunakan untuk menghasilkan ukuran tertentu, material
untuk analisis. Sieve analisis mungkin dilakukan mengunakan kumpulan sieve,
dimana masing-masing sieve semakin rendah memiliki lubang yang semakin
kecil. Biasanya rangkaian ayakan disusun sehingga perbandingan lubang sesuai
dengan ukuran yang diinginkan. Sieve dapat diletakkan di atas vibrator yang
dirancang untuk memberi pergerakan secara vertikal atau dengan hand shaker
(Coulson dkk, 2002).
Ada beberapa jenis ayakan yang digunakan untuk berbagai tujuan tertentu
(McCabe, 1985):
1. Ayak stasioner dan grizli

III-2
III-3

Grizli (grizzly) yaitu suatu kisi yang terbuat dari batangan logam sejajar yang
dipasang pada rangkai stastioner yang miring.
2. Ayak girasi
Hampir semua ayak menghasilkan fraksi berukuran, bahan-bahan yang
kosong dikeluarkan lebih dahulu. Mesin ini biasanya terjadi dari beberapa
tingkat ayak, satu di atas yang lain dan ditempatkan paling atas sedang yang
paling halus paling bawah.
3. Ayak vibrasi
Ayak yang digetarkan dengan cepat, amplitudo kecil lebih sulit daripada ayak
girasi. Vibrasi atau getaran dapat dibuat secara mekanik atau litrik, getarannya
besarnya 1800-3600.
4. Penapis sentrifugal
Ayaknya berupa silinder anyaman logam atau plastik. Dayung-dayung helix
berkecepatan tinggi yang terpasang pada suatu poros sentral melemparkan zat
padat terhadap bagian dalam ayak stationer, partikel akan lolos melewatinya
dan ukurannya terlalu besar dibawa ke pengeluaran.
Screening dapat dilakukan terhadap material kering maupun basah. Pada
screening material basah, material dicuci secara merata diatas ayakan dan
penyumbatan ayakan dapat dihindari. Partikel-partikel kecil juga lepas daripada
permukaan partikel-partikel yang besar. Ini jelas merupakan kerugian, karena
perlu dilakukan pengeringan material setelahnya. Pada screening material kering,
terkadang material tersapu dipermukaan ayakan sehingga membentuk suatu film
yang merata. Penting untuk diingat agar agitasi apapun tidak terlalu keras
sehingga terjadi size reduction (pengecilan), karena biasanya ayakan cukup rapuh
dan mudah rusak karena penanganan yang kasar. Secara umum, semakin besar
dan abrasif padatan, maka semakin kuat ayakan yang dibutuhkan
(Coulson dkk, 2002).
Keefektifan suatu screen didasarkan pada tingkat recovery produk dari
material yang diinginkan dalam feed produk. Sebagai contoh, spesifikasi untuk
hydraulic hydrated line (ASTM (ASTM (141-142) mengharuskan bahwa
III-4

mengandung material yang lebih kasar dari 200 mesh maksimal 10 % per beratnya
jika:
Xp = fraksi massa material yang diinginkan dalam suatu produk
Xf = fraksi massa material yang diinginkan dalam feed
XR = fraksi massa material yang diinginkan dalam reject
P = total massa produk
F = total massa feed
R = total massa reject
Maka

XP . P
Recovery = 𝑋𝐹 . ...(3.A.1)
𝐹

Keefektifan 𝑟𝑒𝑐𝑜𝑣𝑒𝑟𝑦 (1−𝑋𝑝)𝑃


Rejection= (1 − ) = 1 − (1−𝑋𝐹)𝐹 ...(3.A.2)
𝑀𝑎𝑡𝑒𝑟𝑖𝑎𝑙 𝑡𝑎𝑘 𝑑𝑖𝑖𝑛𝑔𝑖𝑛𝑘𝑎𝑛

𝑋𝑝 . 𝑃 (1−𝑋𝑝)𝑃
Keefektifan = = 1 − (1−𝑋𝐹)𝐹 ...(3.A.3)
𝑋𝐹 . 𝐹

Menimbang keseluruhan feed tidak dapat dilakukan, sehingga neraca massa pada
screen adalah:

F = P + R ...(3.A.4)

Substitusikan nilai R dengan

Xf . F = Xp . P. Xr . F − Xr . P ...(3.A.5)

Sehingga

F(XF − XR) = P (XP − XR) ...(3.A.6)


III-5

𝑃 (𝑋𝐹−𝑋𝑅)
= (𝑋𝑃−𝑋𝑅) ...(3.A.7)
𝐹

Substitusikan untuk P/F (Brown, 1956):

𝑋𝑝(𝑋𝐹−𝑋𝑅)
Recovery = = 𝑋𝐹(𝑋𝑝−𝑋𝑅) ...(3.A.8)

(1−𝑋𝑝)(𝑋𝐹−𝑋𝑅)
Rejection = 1 − (1−𝑋𝑝)(𝑋𝑝−𝑋𝑅) ...(3.A.9)

𝑋𝑝(𝑋𝐹−𝑋𝑅) (1−𝑋𝑝)(𝑋𝐹−𝑋𝑅)
Keefektifan * (recovery x rejection) = 𝑋𝐹(𝑋𝑝−𝑋𝑅) [1 − (1−𝑋𝑝)(𝑋𝑝−𝑋𝑅)] . ..(3.A.10)

Partikel zat padat serta dikarakterisasikan dengan ukuran, bentuk dan


densitasnya. Partikel zat padat homogen mempunyai densitas yang sama dengan
memecahkan zat padat campuran. Misalnya bijih yang mengandung logam,
mempunyai banyak densitas yang berbeda dari bahan lindaknya. Untuk partikel
yang berbentuk beraturan, misalnya yang berbentuk bola dan kubus. Ukuran dan
bentuknya dapat diayakan dengan mudah. Tetapi partikel yang bentuknya tidak
beraturan (seperti butiran pasir dan serpih mika), istilah ukuran (size) dan bentuk
(shape) tidak begitu jelas dan harus didefinisikan secara acak (McCabe, 1985).
Pengayakan biasanya dilakukan dalam keadaan kering suatu material
kasar, dapat optimal sampai ukuran 10 mesh. Sedangkan pengayakan dalam
keadaan basah biasanya untuk material yang harus dimulai dari ukuran 20 mesh
sampai 35 mesh. Permukaan ayakan yang digunakan pada screen bervariasi yaitu
(Brown, 1956):
a. Plat yang berlubang, bahan dapat berupa baja ataupun karet keras
b. Ayakan kawat, bahan dapat berupa baja, nikel, perunggu, tembaga atau logam
lainnya
c. Susunan batangan logam biasanya digunakan batang baja.
Mesin pengayakan dapat dibagi dalam 5 kelas yaitu grizzlies, revolving
screens, shaking screens, vibrating screens, osciating screens. Grizzlies screens
III-6

terdiri dari stationary grizzlies, flat grizzlies, dan vibrating grizzlies. Revolving
screens atau tromer screens. Mechanical shaking screens terdiri dari sebuah
bigkai (frame) yang dijaga oleh wine cloth atau persorated flate. Vibrating
screens banyak dijumpai di pasaran (Perry, 1997).

Tabel 3.A.1 Daftar Konversi Ayakan dari Mesh ke Mikron


US Mesh Inches Microns Millimeters
3 0,2650 6730 6,730
4 0,1870 4760 4,760
5 0,1570 4000 4,000
6 0,1320 3360 3,360
8 0,0937 2380 2,380
10 0,0787 2000 2,000
12 0,0661 1680 1,680
14 0,0555 1410 1,410
16 0,0469 1190 1,190
18 0,0394 1000 1,000
20 0,0331 841 0,841
25 0,0280 707 0,707
30 0,0232 595 0,595
35 0,0197 500 0,500
40 0,0165 400 0,400
45 0,0138 354 0,354
50 0,0117 297 0,297
60 0,0098 250 0,250
70 0,0083 210 0,210
80 0,0070 177 0,177
100 0,0059 149 0,149
120 0,0049 125 0,125
140 0,0041 105 0,105
III-7

170 0,0035 8 0,088


200 0,0029 74 0,077
230 0,0024 63 0,063
270 0,0021 53 0,053
(Purworini, 2013)
3.A.3 METODOLOGI PERCOBAAN

3.A.1.1 Alat dan Deskripsi Alat


Alat-alat yang digunakan dalam percobaan ini adalah
- Sieve (ayakan)
- Shaker
- Stopwatch
- Neraca analitik

Deskripsi Alat:

Gambar 3.A.1 Rangkaian Alat Percobaan Distribusi Ukuran Campuran

3.A.3.2 Bahan
Bahan yang digunakan dalam percobaan ini adalah serpihan batu bata
merah.

3.A.3.3 Prosedur Percobaan


1. Alat dirangkai seperti Gambar 3.A.1. Perhatikan susunan ukuran ayakan dari
yang paling besar (berada di atas) sampai yang paling kecil dan tempat
penampung pada bagian bawah (receiver).

III-8
III-9

2. Serpihan batu gunung ditimbang sebanyak 100 gram dengan neraca analitk
sebelum dimasukkan pada ayakan bagian atas. Pastikan lid dan clamp
terpasang dengan sempurna.
3. Kecepatan ayakan di set pada 35 dan 80 rpm, power shaker ditekan. Proses
pengayakan dibiarkan berlangsung selama 1 menit.
4. Sampel yang berada disetiap ayakan maupun tempat penampungan ditimbang
menggunakan neraca analitik untuk keakuratan perhitungan, berat sampel
mula-mula sama dengan jumlah sampel yang dihitung pada setiap ayakan dan
kolom penampung ayakan.
5. Data hasil pengamatan ditulis pada tabel pengamatan.
6. Grafik dibuat dari data yang diperoleh.
III-11

3.A.4 HASIL DAN PEMBAHASAN

3.A.4.1 Hasil Pengamatan


Tabel 3.A.2 Hasil Pengamatan Analisis Distribusi Ukuran Campuran
Massa sampel (gram)
Ukuran ayakan (mikron)
40 rpm 80 rpm
2000 26,8 22,6

1000 25,2 15,5


710 22,3 11,6
500 14,2 10,9

355 5,3 11,7

250 3,7 8,0


Receiver 2,5 19,7

3.A.4.2 Hasil Perhitungan


Tabel 3.A.3 Hasil Perhitungan Analisis Distribusi Ukuran Campuran
Massa sampel Fraksi massa Cumulative Cumulative
Ukuran
(gram) (%) oversize (%) undersize (%)
ayakan
40 80 40 80 40 80 40 80
(mikron)
rpm rpm rpm rpm rpm rpm rpm rpm
2000 26,8 22,6 26,8 22,6 26,8 22,6 73,2 77,4
1000 35,2 15,5 25,2 15,5 52 38,11 48 61,9
710 22,3 15,5 25,2 11,6 74,3 80,3 25,7 19,7
500 14,2 10,9 14,2 10,9 88,5 57 11,5 43
355 5,3 11,7 5,3 11,7 93,8 68,7 6,2 31,3
250 3,7 8,0 3,7 8 97,5 96,1 2,5 53,9
Receiver 2,5 19,7 2,5 19,7 100 100 0 0
III-11

3.A.3 Pembahasan
Pengayakan adalah sebuah cara pengelompokkan butiran yang akan
dipisahkan menjadi satu atau beberapa kelompok. Proses pemisahan didasari oleh
perbedaan ukuran partikel di dalam campuran tersebut (McCabe, 1999).
Percobaan ini menggunakan bahan pasir karena memiliki ukuran partikel yang
bervariasi dan mudah dipisahkan. Spesifikasi ukuran ayakan yang digunakan
adalah 2000 mikro, 1000 mikro, 710 mikron, 500 mkron, 355 mikron, 250 mikron
dan receiver dengan variasi kecepatan 35 rpm dan 80 rpm. Prinsip kerja dari sieve
atau ayakan adalah dengan vibrasi (getaran) dan gravitasi. Adanya vibrasi
dimaksud untuk meningkatkan getaran dan tumbukan antar partikel. Adanya
variasi ayakan dimaksudkan agar diperoleh perbedaan distribusi ukuran campuran
yang merupakan hasil pengayakan. Adapun grafik hubungan antara fraksi massa
yang tertahan pada ayakan dengan ukuran ayakan dapat dilihat pada Gambar
3.A.2 berikut:

45
40
35
Fraksi Massa (%)

30
25
20 35 rpm
15 55 rpm
10
5
0
0 500 1000 1500 2000 2500
Ukuran Ayakan (mikron)

Gambar 3.A.2 Grafik Hubungan antara Ukuran Ayakan terhadap Fraksi Massa
yang Tertahan pada Ayakan.

Berdasarkan Gambar 3.A.2 menunjukkan bahwa kecepatan vibrasi dapat


mempengaruhi fraksi massa yang dihasilkan disetiap ayakan. Nilai fraksi massa
III-12

yang tertinggi pada kecepatan 40 rpm adalah 26,8% dengan ukuran ayakan 2000
mikron. Sedangkan nilai terendah adalah 3,7% dengan ukuran ayakan 250
mikron. Nilai fraksi massa tertinggi pada kecepatan 80 rpm adalah 22,6% dengan
ukuran ayakan 2000 mikron. Sedangkan nilai fraksi massa terendah adalah 8%
dengan ukuran ayakan 250 mikron. Fraksi massa pada ayakan teratas (2000
mikron) pada kecepatan 80 rpm lebih sedikit dibandingkan pada kecepatan 40
rpm, yaitu 26,8% pada kecepatan 80 rpm dan 22,6% pada kecepatan 40 rpm. Hal
ini terjadi karena semakin besar kecepatan vibrasi, maka semakin banyak partikel
yang bergerak dan bertumbukan antar partikel sehingga banyak partikel yang
dapat lolos melewati ayakan (Coulson dkk, 2002).
Berdasarkan data pengamatan diperoleh grafik perhitungan untuk
hubungan cumulative oversize dengan ukuran ayakan dapat dilihat pada Gambar
3.A.3 berikut ini:

120

100
Cumulative Oversize (%)

80

60
55 rpm
40 35 rpm

20

0
0 500 1000 1500 2000 2500
Ukuran Ayakan (mikron)

Gambar 3.A.3 Grafik Hubungan antara Ukuran Ayakan terhadap Cumulative


Oversize

Berdasarkan Gambar 3.A.3 menunjukkan bahwa semakin besar ukuran ayakan,


maka sampel yang tertahan (cumulative oversize) untuk suatu ukuran ayakan itu
merupakan penjumlahan massa-massa sampel yang tertahan pada ayakan dan
pada ayakan-ayakan sebelumnya. Persentase terbesar pada kecepatan 40 rpm dan
III-13

80 rpm terdapat pada receiver yaitu 100% pada keduanya. Hal ini terjadi karena
semakin besar kecepatan ayakan, menyebabkan semakin banyak yang lolos pada
ayakan atau semakin sedikit partikel yang tertahan (Coulson dkk, 2002). Hasil
percobaan dengan kecepatan 40 rpm diperoleh cumulative oversize secara
berturut-turut yaitu 26,8%; 52%; 74,3%; 88,5%; 93,8%; 97,5% dan 100%.
Sedangkan kecepatan 80 rpm diperoleh cumulative oversize secara berturut-turut
yaitu 22,6%; 38,11%; 80,3%; 57%; 68,7%; 96,1% dan 100%.

70

60
Cumulative Undersize (%)

50

40

30 35 rpm
55 rpm
20

10

0
0 500 1000 1500 2000 2500
Ukuran Ayakan (mikron)

Gambar 3.A.4 Grafik Hubungan antara Ukuran Ayakan terhadap Cumulative


Undersize

Berdasarkan Gambar 3.A.4 tersebut menunjukkan bahwa cumulative undersize


berbanding lurus dengan ayakan yaitu dimana semakin besar ukuran ayakan maka
massa cumulative undersize akan semakin besar pula. Perhitungan cumulative
undersize merupakan penjumlahan massa sampel yang lolos pada tiap ayakan.
Hasil percobaan dengan kecepatan 40 rpm diperoleh cumulative undersize secara
berturut-turut yaitu 73,2%; 48%; 25,7%; 11,5%; 6,2%; 2,5% dan 0%. Sedangkan
pada kecepatan 80 rpm diperoleh cumulative undersize secara berturut-turut yaitu
73,4%; 61,9%; 19,7%, 43%; 31,3%; 53,9% dan 0%. Cumulative undersize
terbesar pada kecepatan 40 rpm dan 80 rpm terdapat pada ayakan 2000 mikron,
III-14

yaitu pada kecepatan 40 rpm sebesar 73,2% dan pada kecepatan 80 rpm sebesar
77,4%.
Berdasarkan hasil percobaan, perbandingan antara cumulative undersize
dengan cumulative oversize adalah berbanding terbalik. Hal ini dikarenakan
cumulative undersize berdasarkan banyaknya partikel yang tertahan pada ayakan
(McCabe, 1999). Faktor yang mempengaruhi ayakan adalah kecepatan
pengayakan, massa sampel, karakteristik sampel, ukuran ayakan dan waktu
pengayakan. Semakin besar kecepatan pengayakan, maka semakin besar pula
partikel yang lolos pada ayakan. Massa sampel, jika sampel terlalu banyak maka
sampel sulit terayak. Jika sampel sedikit akan lebih mudah untuk turun dan
terayak. Waktu atau lama pengayakan, jika pengayakan terlalu lama akan
menyebabkan hancurnya serbuk sehingga serbuk yang seharusnya tidak terayak
akan menjadi terayak. Jika waktunya terlalu lama maka tidak terayak sempurna.
Ukuran ayakan, semakin kecil ukuran ayakan maka rendamen sampel yang
dihasilkan semakin banyak. Karakteristik sampel, misalnya kandungan air yang
banyak akan sangat membantu tapi bila hanya sedikit akan menyumbat screen
(Coulson dkk, 2002).
3.A.5 PENUTUP

3.A.5.1 Kesimpulan
Kesimpulan dari percobaan ini adalah:
1. Persentase fraksi massa tertinggi pada kecepatan 40 rpm adalah 26,8% pada
ayakan 2000 mikron dan pada kecepatan 80 rpm dengan nilai fraksi massa
tertinggi sebesar 22,6% pada ayakan 2000 mikron.
2. Cumulative oversize tertinggi pada 40 rpm dan 80 rpm adalah masing-
masing 100% pada receiver.
3. Cumulative undersize teringgi pada 40 rpm dan 80 rpm adalah masing-
masing 73,2% dan 77,4% pada ayakan 2000 mikron.
4. Faktor-faktor yang mempengaruhi ayakan antara lain ukuran partikel,jumlah
partikel, waktu pengayakan dan kecepatan pengayakan semakin besar
kecepatan pengayakan, semakin besar pula partikel yang lolos pada ayakan.

3.A.5.2 Saran
Saran yang dapat diberikan pada percobaan ini adalah menambah variasi
bahan seperti semen agar dapat mengetahui perbedaan cumulative oversize dan
cumulative undersize pada berbagai variasi.

III-15
B. SUDUT RESPON ALAMI (NATURAL ANGLE OF REPOSE)

3.B.1 PENDAHULUAN

3.B.1.1 Tujuan Percobaan


Tujuan dari percobaan ini adalah menghitung sudut respon alami untuk
berbagai material dan mengkaji pengaruh kandungan material terhadap sudut
respon alami.

3.B.1.2 Latar Belakang


Sudut respon alami (angle of repose) adalah sudut tercuram dari sebuah
tumpukan bahan relatif terhadap bidang horizontal bahan. Sudut respon alami ini
teragntung pada jenis material termasuk bentuk dan kelembutan partikel dan
keseragaman partikel. Sudut respon alami berguna untuk mengetahui kapasitas
penampung sementara seperti bin atau silo.
Sudut respon adalah sudut yang dibentuk antara tumbukan partikel padat
yang berbentuk kerucut dengan permukaan horizontal. Nilai dari sudut respon
alami akan menunjukkan aliran material tersebut, semakin kecil nilai sudut respon
alami maka aliran semakin baik. Sebaliknya jika nilai sudut respon alami besar
makan alirannya kurang baik. Kandungan atau komposisi dari material sering
menjadi faktor pengontrol dalam menentukan sudut respon alami.
Penerapan sudut respon alami (angle of repose) adalah proses
penumpukan material hasil dari penimbangan. Penumpukan dilakukan dengan
cara mempertahankan sudut respon alami material, sehingga dapat dihitung atau
memperkirakan berapa jumlah tumpukan maksimal. Selain itu, dapat digunakan
untuk mendesain alat hopper atau silo untuk menentukan belt conveyor sebagai
alat transportasi material. Oleh karena itu, percobaan ini penting untuk dilakukan.

III-16
3.B.2 DASAR TEORI

Angle of slide adalah sudut dari ukuran minimum slope horizontal dimana
material padat dapat bebas mengalir. Angle of repose adalah sudut dari ukuran
maksimum slope horizontal dimana sebuah tumpukan material padat dapat bebas
berdiri tanpa meluncur ke bawah. Kira-kira 17° untuk lumpur basah, 27° untuk
batubara antrasit, 31° untuk pasir, 35° untuk batu bara muda, 39° untuk tanah
kering, 39-48° untuk kerikil (Brown, 1956).
Sudut respon alami (angle of repose) adalah sudut dimana material akan
diam dibak penampung. Nilai sudut respon alami penting dalam menentukan
kapasitas suatu bin. Sudut kerucut material pada puncak tumpukan ketika bin diisi
akan lebih datar dibandingkan sudut respon alami karena adanya efek tumbukan
(Perry, 1997).
Metode cepat untuk menaksir sifat particle mass adalah mengukur angle
of repose. Jika solid dituangkan dari nozzle ke atas plane surface membentuk
suatu conical head dan angle di antara sloping slide of the cone dan bidang
horizontal disebut angle of repose. Cara ini kadang dikenal sebagai dynamic angle
of repose atau poured angle. Dalam praktek, tumpukan tidak akan persis
membentuk kerucut dan akan terbentuk sloping surface yang tidak teratur.
Sebagai tambahan, akan ada kecendrungan partikel besar yang mengelinding
turun dari atas dan berkumpul di dasar. Sudut respon alami dapat diukur
menggunakan plane sheet yang menempel lapisan partikel dari powder. Powder
yang lolos kemudian dituangkan di atas sheet yang kemudian dimiringkan sampai
powder meluncur. Sudut peluncuran diketahui sebagai static angle of repose atau
drained angle (Coulson dkk, 2002).
Angle of repose juga didefinisikan sebagai sudut yang dibentuk meterial
pada gundukan. Biasanya dapat dimanfaatkan untuk menentukan kapasitas dari
suatu bin diisi, akan menjadi lebih sedikit datar daripada sudut respon alami
karena efek dari tumbukkan (impact). Dalam karakteristk pada aliran angle of
repose dan kemampuan dari pengaliran adalah karakteristik terukur untuk tes
standar yang disediakan. Seuah angle of repose (sudut respon) yang curam akan

III-17
III-18

dibagikan dengan kemampuan aliran lebih kecil. Istilah lubricity terkadang


digunakan untuk padatan yang partikel-partikel untuk mengkorespondesikan
secara kasar dari suatu fluida tersebut. Berikut merupkan hubungan antara angle
of repose dengan aliran (Perry, 1997).

Tabel 3.B.1Hubungan antara angle of repose dengan aliran


Angle of repose (°) Aliran
<25 Sangat baik
25-30 Baik
30-40 Cukup
>40 Kurang baik

Angle of repose berubah-ubah dari sekitar 20 dengan free flowing solid.


Sekitar 60, dengan poor flow characteristic solid, dalam keadaan ekstrim di mana
kumpulan solid sangat tinggi, dapat diperoleh angle of repose hampir mendekati
90. Biasanya material yang terdiri dari partikel yang tidak lebih dari 100 μm
mempunyai angle of repose kecil (Coulson dkk, 2002).
Sudut gesekan dalam dan sudut geming αm adalah sudut gesek dalam
(angle of internal friction) bahan yang bersangkutan. Tangen sudut ini ialah
koefisien gesek antara kedua lapisan partikel. Bila zat padat bijian ditumpukkan
pada permukaan datar, sisi tumpukan itu akan membentuk sudut tertentu dengan
horizontal, dan sudut ini selalu berulang. Sudut ini (xr) disebut sudut geming atau
sudut geletak (angle of repose) bahan yang bersangkutan. Secara ideal, jika massa
itu benar-benar homogen, xr akan sama dengan xm. Dalam praktek, sudut geming
selalu lebih kecil dati sudut gesekan dalam karena butir-butir yang terdapat pada
permukaan lebih longgar daripada masa yang di dalam dan biasanya juga lebih
kering dan lebih lengket (McCabe, 1985).
Sudut respon alami adalah sudut paling curam dari kemiringan relatif
terhadap bidang yang horizontal ketika bahan di muka lereng berada pada ambang
geser sudut respon. Berikut adalah gambar dari sudut respon alami:
III-19

Gambar 3.B.1 Natural Angle of Repose

Sudut ini diberikan dengan jumlah 0◦-90°. Ketika bahan butiran curah yang
dituangkan ke permukaan horizontal, sebuah kawat akan terbentuk. Sudut internal
antara permukaan dari tumpukan dan permukaan horizontal dikenal dengan angle
of repose (Coulson dkk, 2002).
Sudut respon dinamik adalah jika padatan dituang pada nozzle di atas
permukaan datar akan membentuk tumpukan berbentuk kerucut. Pada praktiknya,
tumpukan tidak dapat terbentuk kerucut dan akan ada ketidakteraturan pada
permukaan dari padatan yang miring. Sebagai tambahan, akan ada sifat
kecenderungan partikel besar untuk jatuh dari atas ke bawah dan terkumpul di
dasar. Sehingga akan membentuk sudut yang lenih besar di atas dan sudut yang
lebih kecil pada bagian (Coulson dkk, 2002).
3.B.3 METODOLOGI PERCOBAAN

3.B.3.1 Alat dan Deskripsi Alat


Alat-alat yang digunakan dalam percobaan ini adalah seperangkat alat
repose angle chamber.

Deskripsi Alat:
Keterangan :
Keterangan:
1. Material
1. Material
3 2. Repose
2. Repose angle
angel chamber

1 3. Sudutchamber
respon alami

2
1

Gambar 3.B.1 Rangkaian Alat Angle of Repose

3.B.3.2 Bahan
Bahan yang digunakan pada percobaan ini adalah
1. Pasir 500 mikron
2. Pasir 355 mikron
3. Lada

3.B.3.3 Prosedur Percobaan


1. Repose angle chamber diisi dengan sampel, kemudian sampel diratakan
sampai tanda tera pada repose angle chamber.
2. Chamber diputar secara perlahan sampai partikel mulai bergerak atau
tergelincir dan sudut protaktor dicatat. Kemudian sampel diratakan lagi
sampai tanda tera untuk penggambilan sudut protaktor kedua.
3. Langkah 1-2 diulang sampel yang berbeda. Hasil yang diperoleh dicatat pada
Tabel 3.B.2
4. Repose angle chamber kemudian dikosongkan.

III-20
3.B.4 HASIL DAN PEMBAHASAN

3.B.4.1 Hasil Pengamatan


Tabel 3.B.2 Hasil Pengamatan Sudut Respon Alami
Nilai protaktor (°)
Jenis sampel
1 2
Biji Kopi 14 19
Pasir 355 mikron 40 40
Silika 1000 mikron 30 30

3.B.4.2 Hasil Perhitungan


Tabel 3.B.3 Hasil Perhitungan Sudut Respon Alami
Nilai protaktor (°) Nilai protaktor
Jenis sampel
1 2 rata-rata (o)
Biji Kopi 18 19 18,5
Pasir 355 mikron 40 40 40
Silika 1000 mikron 30 30 30

3.B.4.3 Pembahasan
Sudut respon alami adalah besarnya sudut yang dbentuk oleh suatu
material terhadap bidang horizontal. Sudut respon alami terhubung dengan
densitas, area permukaan dan koefisien fraksi dari material tersebut. Sudut respon
alami tergantung pada jenis material, termasuk bentuk dan kelembutan partikel
serta keseragaman partikel (McCabe, 1999). Percobaan ini menggunakan tiga
sampel, yaitu biji kopi, pasir 355 mikron dan silika 1000 mikron. Tujuan
pemakaian sampel yang berbeda adalah untuk mengetahui pengaruh ukuran
sampel terhadap besarnya sudut respon alami. Masing-masing dilakukan
pembacaan protaktor sebanyak dua kali. Berdasarkan pengamatan yang dilakukan
diperoleh sudut respon alami biji kopi sebesar 18,5°, pasir 355 mikron sebesar 40°
dan silika 1000 mikron sebesar 30°.

III-25
Hasil tersebut dapat dilihat bahwa sudut respon alami terbesar terdapat
pada pasir 355 mikron. Hal ini terjadi karena luas permukaan pasir 355 mikron
yang besar serta ukuran partikel yang kecil, sehingga kerapatan molekul antar
partikelnya sangat rapat dengan gaya kohesi yang besar yang mengakibatkan
partikel saling menutupi satu sama lain sehingga tidak mudah jatuh dan
tergelincir. Berbeda dengan pasir biji kopi dan silika 1000 mikron yang ukuran
partikelnya lebih besar sehingga kecepatannya kurang dan mudah tergelincir. Dari
hasil yang didapat dapat disimpulkan bahwa hasil percobaan telah sesuai dengan
teori Coulson dkk (2002), semakin besar luas permukaan sampel maka fraksi yang
terjadi besar sehingga pergerakan tergelincirnya sulit. Dilihat dari sudut respon
alami yang diperoleh, pasir 355 mikron dikategorikan ke dalam aliran cukup baik
karena berada pada kisaran sudut respon alami > 40°. Sedangkan pada biji kopi
dan silika 1000 mikron dikategorikan ke dalam aliran baik karena berada pada
kisaran sudut respon alami 25°-30° (Perry, 1997).
Faktor-faktor yang mempengaruhi sudut respon alami adalah
(McCabe, 1999):
1. Kelembutan
Semakin lembut maka semakin besar sudut responnya.
2. Keseragaman bentuk
Partikel yang seragam akan mempersulit jatuhnya sampel.
3. Densitas
Semakin besar densitas maka massanya semakin besar sehingga lebih
mudah mengalir.

III-22
3.B.5 PENUTUP

3.B.5.1 Kesimpulan
Kesimpulan yang didapat dari percobaan ini adalah:
1. Biji kopi memiliki nilai sudut respon alami rata-rata 18,5o. Pasir 355 mikron
memiliki sudut respon alami rata-rata 40o dan silika 1000 mikron memiliki
sudut respon alami rata-rata sebesar 30o.
2. Semakin besar ukuran partikel suatu bahan maka sudut respon alaminya akan
semakin kecil.
3. Faktor-faktor yang mempengaruhi sudut respon alami adalah ukuran partikel,
gaya kohesi antar partikel dan kelembapan.

3.B.5.2 Saran
Saran yang dapat diberikan adalah untuk percobaan berikutnya adalah
variasi sampel diperbanyak agar lebih mengetahui lagi bagaimana sudut respon
alami pada tiap sampel. Variasi sampel yang dapat digunakan yaitu biji kopi dan
biji selasih.

III-23
III-25

C. BULK DENSITY

3.C.1 PENDAHULUAN

3.C.1.1 Tujuan Percobaan


Tujuan dari percobaan ini adalah menghitung bulk density dari berbagai
macam padatan dan menganalisis pengaruh kadar air dan derajat pemampatan.

3.C.1.2 Latar Belakang


Bulk density merupakan berat suatu massa per volume. Satuannya adalah
g/cm3. Volume yang dimaksudkan adalah density merupakan petunjuk kepadatan
suatu solid. Bulk density merupakan petunjuk kepadatan suatu solid dan
bergantung pada ukuran relatif partikel.
Densitas bulk ditentukan dengan berat wadah atau tempat yang telah
diketahui volumenya dan merupakan basis pembagian dari besar sampel yang
digunakan memiliki berbagai ukuran. Hal ini dilakukan untuk mengghitung bulk
density dengan berbagai variasi sampel. Melaui bulk density dapat ditentukan zat
padat mana yang dapat digunakan dalam suatu proses industri.
Aplikasi bulk density pada proses industri salah satunya pada industri
pakan ternak yaitu pada pengemasan dari suatu material untuk menghindari
kontak padatan dengan udara luas, karena hal itu akan berpengaruh pada bulk
density suatu material jika mengandung sejumlah air. Sifat fisik yang penting
adalah berat jenis dan kerapatan material. Maka dari itu praktikum ini penting
dilakuka agar praktikan dapat menentukan bulk density sehingga mampu
mengaplikasikannya dalam dunia industri luas terutama dalam bidang industri
kimia.

III-24
3.C.2 DASAR TEORI

Bulk density (b) adalah total massa per unit total volume. Sebagai contoh,
densitas kuarsa sebenarnya adalah 2,65 gram/cc, tetapi 2,65 gram massa pasir
kuarsa memiliki bulk density bukan karakteristik intrinsik dan materialnya karena
bulk density berubah sesuai dengan distribusi ukuran partikel-partikelnya dan
lingkungan (Brown, 1956).
Pengukuran bulk density berguna untuk industri yaitu menyesuaikan
kondisi penyimpanan, pemrosesan, packaging dan distribusi. Bulk density adalah
salah satu properti yang digunakan sebagai bagian dari spesifikasi produk akhir
dari hasil pengeringan. Contohnya adalah deviasi umum yang dapat terjadi ketika
pengemasan ground coffee, bulk density produk melebihi range spesifikasi.
Kemudian bubuk akan mengisi volume yang lbeih kecil daripada volume yang
diperhitungkan. Sehingga meskipun berat bersihnya telah sesuai, namun volume
isinya terlihat sedikit. Setelahn bertahun-tahun untuk meningkatkan valve ada tiga
kelas, yaitu bulk densityaerated, poured dan tap. Aurated adalah kondisi saat
volume zat tidak memadat. Poured adalah kondisi pengukuran yang tergantung
pada kondisi industri. Tap adalah kondisi saat partikel itu dipadatkan
(Barbosa, 2005).
Karakteristik yang paling bisa dipelajari tentang padatan antara lain:
1. Ukuran distribusi.
2. Bulk density, ini adalah berat per unit volume kuantitas dari padatan.
Biasanya ditunjukkan dalam kilogram (kg) per kubik meter (kg/m3).
3. True density, densitas dari zat padatan yang biasanya ditunjukkan dalam
kilogram per meter kubik (kg/m3).
4. Bentuk partikel.
5. Karakteristik permukaan padatan.
6. Karekteristik aliran.
7. Friliability.
8. State of aglomerations.

III-25
III-26

9. Moisture of liquid content of solids.


10. Densitas, viskositas dan tegangan permukaan.
11. Temperature limition of ingredients
12. Tegangan permukaan
Properti penting dari suatu material adalah densitas. Suatu materi homogen seperti
es atau besi mempunyai densitas keseluruhan sama. Besarnya densitas suatu
material tergantung pada faktor-faktor lingkungan seperti suhu dan tekanan. Berat
jenis suatu bahan adalah perbandingan rapat massa itu terhadap rapat massa air
dan sebab itu berupa bilangan semata. Kerapatan juga dapat digunakan untuk
menentukan kemurnian suatu zat, meramalkan suatu zat cair lainnya karena
adanya hubungan massa dan volume yang menunjukkan ukuran dan bobot
molekul. Serta gaya-gaya yang mempengaruhi karkteristik pemadatan
(Perry,1997).

Tabel 3.C.1 Data Bulk density Untuk Berbagai Macam Material


Bulk density
Material
(lb/ft3) (gram/cc)
Sage leaves 81 0,29
Salt, fine table 86 1,38
Salt, clay 38 0,61
Salt, granulated 80 1,28
Salt, (flake) 42 0,67
Salt, (flour) 64 1,03
Salt, and myverol 54 0,86
Sand 99 1,59
Sand (dry) 110 1,76
Sand (fine) 125 2,00
Sand (moist) 130 2,08

Sand (molding) 78 1,25

(Brown,1950).
III-27

Densitas didefinisikan sebagai massa per volume. Dalam satuan SI rapatan


dinyatakan sebagai kg/m2. Bulk density diambil dari perhitungan antara
kekosongan alami padatan dan setiap partikel padatan. Pengemasan suatu material
untuk menghindari kontak padatan dengan udara luar. Karena hal ini akan
berpengaruh pada nilai bulk density karena material telah mengandung air di
dalamnya. Properti ini juga ditunjukkan atau dimaksudkan berapa banyak
maksimal yang muat pada silo, tail air, dan gaylord (Brown, 1956).
Metode pemisahan tergantung perbedaan sifat partikel dalam perpindahan,
dan dalam hal ini adalah ukuran dan densitas partikel adalah faktor terpenting dan
shape yang kedua lebih penting. Sebagai contoh untuk memisahkan relatively
dense material A dengan densitas (A) dari partikel dari less dense material B dan
range ukuran luas, kecepatan jatuh terminal dari partikel besar dari B dengan
densitas (B) dapat lebih besar dari partikel A yang lebih kecil, dan oleh karena itu
pemisahan sempurna mungkin tidak terjadi. Daerah maksimum ukuran yang yang
dapat dipisahkan dihitung berdasarkan rasio ukuran partikel kedua materi yang
mempunyai kecepatan jatuh terminal hampir sama (Coulson, 2002).
Volume pada bulk density dipengaruhi oleh partikel padatan yang
bersangkutan dan pori-porinya. Bulk density berbeda dengan densitas partikel,
karena densitas partikel hanya memperhitungkan volume partikel, namun tidak
memperhitungkan volume pori-porinya. bulk density dan densitas partikel
digunakan untuik memperhitungkan ruang pori dengan persamaan:

b
% 𝑃𝑢𝑟𝑒 − 𝑆𝑝𝑎𝑐𝑒 = 100 − 𝑥 100% ...(3.C.1)
p

Dimana b adalah bulk density dan p adalah densitas partikel. Pengaplikasian


bulk density yang lain adalah untuk perhitungan coefficient of interval extensibility
tanah sebagai parameter tanah (Chesworth, 1975).
Berat jenis suatu bahan bermacam-macam yang bergantung pada tingkat
pemampatan butir yang bersangkutan. Densitas fluida, dilain pihak merupakan
fungsi unik daripada suhu dan tekanan, sebagaimana juga masing-masing partkel
III-28

itu secara sendiri-sendiri. Tekanan didalam zat padat adalah minimum


pada arah tegak lurus terhadap tekanan yang bersangkutan. Konstanta bergantung
pada bentuk dan kecenderungan pada partikel-partikel untu saling berkait,
kelengketan permukaan butiran dan derajat bahan (McCabe, 1999).
Zat padat mempunyai sifat-sifat khusus sebagai berikut (Mc Cabe,1999):
1. Tekanan tidak sama ke segala arah. Pada arah-arah lain, nilainya lebih kecil
dari tekanan yang diberikan. Nilainya adalah minimum pada arah tegak lurus
terhadap tekanan yang diberikan.
2. Tegangan geser yang diperlakukan pada permukaan suatu massa
ditransmisikan kepada seluruh massa partikel itu kecuali bila terjadi
kegagalan.
3. Densitas massa zat padat bisa bermacam-macam, terhgantung pada tingkat
pemampatan partikel yang ada. Densitas fluida dilain pihak adalah fungsi
untuk suhu dan terkanan sebagaimana juga masing-masing partikel itu.
Densitas adalah minimum bila massa iu didapatkan dengan cara menumbuk.
3.C.3 METODOLOGI PERCOBAAN

3.C.3.1Alat dan Deskripsi Alat


Alat-alat yang digunakan dalam percobaan ini adalah neraca analitik, gelas
beker 100 mL, penggaris, botol semprot dan jangka sorong.

Deskripsi Alat:

Gambar 3.C.1 Rangkaian Alat Bulk density

3.C.3.2Bahan
Bahan-bahan yang digunakan pada percobaan ini adalah sebagai berikut:
- Pasir 710 mikron
- Pasir receiver
- Air.

3.D.3.3Prosedur Percobaan
1. Gelas beker 100 mL kosong ditimbang dan diameternya diukur
menggunakan jangka sorong.
2. Gelas beker 100 diisi dengan pasir bangunan 710 mikron, massa sampel
dicatat.
3. Sampel dipadatkan sampai ukuran 100 mL, tinggi dari sampel diukur dan
dicatat.

III-29
4. Air ditambahkan pada jenis sampel yang sama sampai keadaan saturated.
Lalu sampel ditimbang, dan diuukur tigginya.
5. Langkah 2-4 diulangi untuk pasir kuarsa 250 mikron.

III-25
3.C.4 HASIL DAN PEMBAHASAN

3.C.4.1 Hasil Pengamatan


Tabel 3.C.2 Hasil Pengamatan Bulk density
Volume (cc) Massa sampel (g) Tinggi sampel (cm)
Jenis sampel
Kering Basah
(mikron) Kering basah Kering Basah
(m1) (m2)
Pasir
100 92,35 153,8 86,3 5,2 5
Receiver
Pasir 710 100 88,93 145 175,8 5 4,9

3.C.4.2 Hasil Pengamatan


Tabel 3.C.3 Hasil Perhitungan Bulk density
Volume (cc) Massa sampel (g) Bulk density (g/cc)
Jenis sampel
Kering Basah
(mikron) Kering basah Kering Basah
(m1) (m2)
Pasir
100 92,35 153,8 189,3 1,538 2,017
receiver
Pasir 710 100 88,93 145 175,8 1,450 1,977

3.C.4.3 Pembahasan
Percobaan ini menggunakan sampel pasir receiver dan pasir 710 mikron.
Penambahan air dilakukan agar dapat mengetahui tingkat kepadatan dari bulk
density. Semakin padat pasir yang telah dimampatkan dan ditambahkan air maka
semakin besar bulk density pada pasir receiver dan pasir 710 mikron. Sampel
receiver terdapat perubahan massa dari 153,8 gram menjadi 186,3 gram serta
pada pasir 710 mikron yaitu dari 145 gram menjadi 175,8 gram. Hal ini terjadi
karena saat proses pemampatan, pasir menyerap air pada pori-porinya sehingga
membuat partikel-partikel pasir memadat serta massa partikel menjadi bertambah.
Nilai bulk density pada pasir basah lebih besar dari pasir kering karena semakin
besar ukuran pasir menyebabkan semakin banyak kadar air yang diperlukan untuk

III-30
III-39

membasahi seluruh partikel. Nilai bulk density untuk pasir receiver pada keadaan
basah dan kering secara berturut-turut 1,538 g/cc dan 2,017 g/cc. Sedangkan pada
pasir 710 mikron nilai bulk density saat basah dan kering adalah 1,450 g/cc dan
1,977 g/cc. Nilai bulk density bergantung pada particle density, semakin besar
massa sampel maka nilai density semakin besar juga. Hal ini sesuai teori (Brown,
1956) dimana bulk density pada pasir basah lebih besar dari pasir kering.
Faktor-faktor yang mempengaruhi nilai bulk density adalah jenis partikel
,kuran partikel dan kelembaban partikel. Semakin kecil ukuran partikel membuat
rongga udara pada material tersebut akan semakin kecil juga dan memperbesar
buk density. Jenis partikel mempengaruhi pengukuran nilai bulk density, jika jenis
partikel berbentuk bubuk, maka yang rongga udara pada materi tersebut akan
semakin kecil juga dan memperbesar bulk density. Semakin basah partikel maka
akan semakin besar bulk density yang didapat, dibandingkan dengan yang kering
(Sears dan Zemansky, 2004).
3.C.5 PENUTUP

3.C.5.1 Kesimpulan
Kesimpulan yang didapat dari percobaan ini adalah:
1. Nilai bulk density pada pasir 710 mikron kering dan basah berturut-turut
adalah 1,429 g/cc dan 1,824 g/cc sedangkan pada pasir 250 mikron kering
dan basah berturut-turut sebesar 1,586 g/cc dan 1,585 g/cc.
2. Bulk density berbanding lurus dengan particle density, semakin besar partikel
density maka bulk density semakin besar.
3. Faktor-faktor yang mempengaruhi nilai bulk density adalah jenis partikel,
ukuran partikel dan kelembaban partikel.

3.C.5.2 Saran
Saran yang dapat diberikan pada percobaan ini adalah memvariasikan
sampel yang digunakan. Misalnya seperti serbuk kayu. Sehingga, hasil yang
didapatkan lebih beragam.

III-32
D. LAJU PENGELUARAN PADATAN DARI HOPPER

3.D.1 PENDAHULUAN

3.D.1.1 Tujuan Percobaan


Tujuan dari percobaan ini adalah mengetahui bagaimana laju pengeluaran
padatan dari hopper yang berhubungan dengan diameter orifice pengeluaran dan
apakah head dari material di atas orifice mempunyai efek terhadap laju
pengeluaran material.

3.D.1.2 Latar Belakang


Hopper ialah bin kecil dan memiliki dasar agak miring serta digunakan
untuk menumpuk sementara bahan baku yang berupa material padatan sebelum
padatan diumpankan ke dalam proses. Laju pengeluaran padatan dari hopper
tergantung besarnya bukaan orifice. Pengeluaran biasanya dari bawah hopper juga
digunakan sebagai tempat campuran bahan baku.
Laju pengeluaran padatan dari hopper dipengaruhi oleh besarnya diameter
pengeluaran orifice. Adanya pilihan ukuran diameter maka itu memudahkan kita
untuk menentukan pengeluaran mana yang lebih cepat. Bahan padat yang
disimpan pada alat penyimpanan adalah bahan yang harus diperkirakan tetap
kering dan bahan yang memerlukan perlindungan terhadap udara luar pada musim
tertentu.
Laju pengeluaran padatan dari hopper dalam industri digunakan untuk
penyimpanan bahan baku semen dengan perbandingan tertentu dimana isi dari
masing-masing hopper dikeluarkan dengan kecepatan tertentu, kemudian
ditumpahkan pada konveyor. Penggunaan hopper dalam industri sangat penting
yaitu sebagai alat yang mengontrol bahan yang akan ditransportasikan ke dalam
vessel. Maka dari itu, percobaan ini mengenai hopper penting untuk dilakukan
agar praktikan dapat memahami laju pengeluaran padatan dari hopper dan dapat
mengaplikasikannya di dunia industri.

III-33
III-39

3.D.2 DASAR TEORI

Hopper adalah bin kecil dengan dasar agak miring dan digunakan untuk
menumpuk sementara, sebelum zat padat diumpankan ke dalam proses. Semua
kemasan itu dimuat dari atas dengan elevator atau sejenisnya dan pengeluaran dari
bawah. Bila zat padat ditimbun dalam bin atau hopper tekanan lateral yang
bekerja pada dinding lebih kecil dari tinggi tekan(head) bahan yang berada pada
titik itu. Gaya gesek pada dinding akan cenderung mengimbangi bobot zat padat
dan mengurangi tekanan yang diberikan oleh massa itu pada dasar bejana. Dalam
kasus ekstrim, gaya ini menyebabkan massa itu melengkung sehingga tidak dapat
jatuh padahal bahan yang dibawahnya sudah dikeluarkan (McCabe, 1999).
Properti solid in bulk adalah fungsi dari properti masing-masing partikel
termasuk bentuk, ukuran dan distribusi ukuran dan tentang hubungan antara 1
partikel dengan yang lain. Partikel solid menunjukkan masalah yang lebih besar
dari fluid dalam storage, pemindahan kontrol kecepatan dari storage dan saat
masuk ke dalam vessel atau reaktor di mana mereka dilibatkan dalam proses
(Coulson, 2002).
Material padat dapat disimpan dengan ditumpuk atau dalam karung,
meskipun akan jadi masalah serius pada operasi berskala besar. Material padat
lebih sering disimpan didalam hopper yang biasanya berbentuk persegi atau
melingkar dan diletakkan mendatar yang dibawahnya terdapat bagian lancip atau
keucut. Hopper diisi dari atas dan harus dicatat bahwa apabila ada distribusi
ukuran partikel, maka ada kemungkinan terjadi degradasi selama pengisian dan
partikel-partikel berukuran besar dapat menggelinding keluar dari tumpukan pada
hopper (Coulson, 2002).
Karakteristik aliran dengan material pada dua definisi yang ada
hubungannya dengan karakteristik vessel penyimpanan adalah mass flow yang
berarti adalah semua material dalam vessel yang berpindah kapanpun tanpa
peminajaman dan funnel-flow, terjadi ketika sebuah proporsi dari aliran-aliran
III-39

material ketika sedikit material dapat tergantikan. Walaupun mass-flow aliran


massa bin berlebih untuk sebuah funnel-flow vessel. Sebagi tambahan investasi
umumnya diminta lebih rata. Seringkali ini bisa dilakukan dengan menyaring
biaya operasi. Tetapi ketika instalasi terbatas atau dibatasi, sebuah rencana harus
dibuat, seperti menyediakan sebuah desain hopper yang spesial dan kadang-
kadang bahkan umpan. Tentu saja dengan aliran massa bin umpan yang tidak
diminta untuk aliran, tetapi tetap harus dengan alasan lain seperti mengantarkan
material untuk tahap proses berikutnya (Perry,1997).
Kemasan untuk bulk yang besar biasanya terbentuk bujur sangkar atau
persegi panjang, terbuat dari baja, aluminium, kayu atau beton. Apabila isi
kemasan tidak dikosongkan secara manual, maka biasanya denmgan cara mekanik
yaitu isi dikeluarkan melalui ujung suatu bentuk kerucut atau piramida yang
dikenal dengan hopper. Pencampuran berbagai macam bahan baku sering
dilakukan dengan menggunakan hopper (Cook, 1986).
Tempat penampungan sementara ini terbagi menjadi dua yaitu,
penyimpanan bahan secara terbuka (outdoor) dan penyimpanan bahan secara
tertutup (indoor). Bahan yang tersimpan secara tebuka ini adalah bahan yang tidak
dipengaruhi oleh udara, hujan, panas dan lainnya. Misalnya batubara, kayu, batu
dan belerang. Tergantung dari sifat bahan, bila bahan yang disimpan dan cara
penanganan bahan. Metode penyimpanan bahan secara terbuka ini berupa
penyimpanan di bawah traveling bridge, penimbunan di kiri-kanan jalan, ovehead
system dan drag scrapper system. Penyimpanan bahan secara tertutup dibagi
menjadi 2 cara yaitu penyimpanan dalam bentuk timbunan dan penyimpanan
dalam bin/bunker atau silo. Bahan yang disimpan adalah bahan yang harus
dipertahankan tetap kering dan bahan yang memerlukan perlindungan terhadap
atmosfer pada musim tertentu(Perry, 1997).
Solid mungkin disimpan dalam heaps atau dalam sacks, walaupun masalah
penanganan berikutnya menjadi serius dengan skala operasi besar padatan lebih
sering disimpan dalam hopper yang biasanya circular atau rectangular dalam
cross section dengan bagian kerucut atau runcing pada dasar. Hopper diisi dari
atas dan harus dicatat bahwa bila ada size distribution dari partikel, beberapa
III-39

pemisahan mingkin terjadi selama pengisian dengan partikel besar menggulung ke


outside dari piles dalam hopper (Coulson, 2002).
Ketika padatan keluar dari hopper melalui orifice partikel cenderung
bergerak secara perlahan kebagian bawah menuju ke tengah dimana terjadi
pengeluaran padatan yang cepat dan melewati orifice. Laju pengeluaran (Q)
tergantung dari diameter orifice (D) dengan persamaan:

Q = k Dn …(3.D.1)

dimana k = konstanta proporsional


n = ukuran powder
Secara umum telah ditemukan bahwa head material di atas orifice tidak
mempunyai efek terhadap laju pengeluaran padatan (Perry, 1997).
Secara umum hopper tall-thin memberi karakteristik aliran yang lebih baik dari
yang short-wide dan penggunaan long small angle conical section adalah dasar
yang menguntungkan. Permukaan hopper penting dan permukaan yang lembut
memberi discharge characteristic. Kecepatan pengeluaran partikel solid, biasanya
dikendalikan oleh ukuran orifice atau lubang didasar hopper meskipun kadang-
kadang screw feeders atau rotating table feeders mungkin disatukan untuk
mendorong flow rate. Kecepatan pengeluaran solid melalui orifice tergantung
kedalaman solid dalam hopper. Memberikan lebih dari 4 kali diameter hopper dan
proporsional untuk diameter efektif orifice. Diameter efektif adalah diameter
orifice sebenarnya dari diantara 1 dan 1,5 kali diameter partikel (Coulson, 2002).
3.D.3 METODOLOGI PERCOBAAN

3.D.1.1 Alat dan Deskripsi Alat


Alat-alat yang digunakan dalam percobaan ini adalah
- hopper
- stopwatch,
- neraca analitik.

Deskripsi Alat:

Gambar 3.D.1 Rangkaian Alat Laju Pengeluaran Padatan dari Hopper

3.D.3.2 Bahan
Bahan yang digunakan pada percobaan ini adalah sebagai berikut:
- Pasir bangunan 500 mikron
- Pasir bangunan 1000 mikron

III-37
III-39

3.D.3.3 Prosedur Percobaan


1. Hopper diisi dengan sampel setinggi 200 mm.
2. Orifice yang dipilih berada pada bagian bawah hopper dengan ukuran 12 mm
dan sampel ditampung sampai habis, kemudian waktu pengeluaran dicatat.
3. Sampel yang keluar dari hopper ditampung menggunakan pan, lalu ditimbang
dengan neraca analitik dan dicatat massanya.
4. Waktu yang diperlukan untuk mengosonggkan hopper dicatat.
5. Langkah 1-4 diulangi untuk diameter orifice 15 mm pada ketinggian yang
sama.
3.D.3 HASIL DAN PEMBAHASAN

3.D.4.1 Hasil Pengamatan


Tabel 3.D.1 Hasil Pengamatan Laju Pengeluaran Padatan pada Hopper
Tinggi material
Ukuran material Orifice diameter Waktu Massa sampel
pada hopper
(mikron) (mm) (s) (kg)
(mm)
12 62,98 1,152
Pasir 1000 200
15 22,89 1,200
12 46,62 1,318
Pasir 500 200
15 19,19 1,294

3.D.4.2 Hasil Perhitungan


Tabel 3.D.2 Hasil Perhitungan Laju Pengeluaran Padatan pada Hopper
Tinggi
Ukuran Massa Laju
material Orifice Waktu
material sampel pengeluaran
pada hopper diameter(mm) (s)
(mikron) (gram) (kg/s)
(mm)
12 62,48 1,152 0,0182
Pasir 1000 200
15 22,89 1,200 0,0524
12 46,62 1,318 0,0282
Pasir 500 200
15 19,19 1,294 0,0674

3.D.4.3 Pembahasan
Percobaan ini menggunakan pasir 1000 mikron dan pasir 500 mikron
dengan ketinggian 200 mm serta diameter orifice 12 mm dan 15 mm. Laju
pengeluaran material dengan orifice memiliki hubungan seperi pada Gambar
3.D.2 berikut ini:

III-
III-40

0.08
0.07
Laju Pengeluaran (kg/s)

0.06
0.05
0.04
Receiver
0.03
Pasir 250 mikron
0.02
0.01
0
6 15
Orifice Diameter (mm)

Gambar 3.D.2 Hubungan Antara Diameter Orifice (mm) dengan Laju


Pengeluaran dari Hopper (Kg/s)
Berdasarkan Gambar 3.D.2 dapat dilihat bahwa pengaruh diameter orifice
terhadap laju pengeluaran material dari hopper. Laju pengeluaran pada diameter
12 mm untuk pasir 1000 mikron sebesar 0,0182 kg/s dengan waktu 62,98 s dan
pada pasir 500 mikron sebesar 0,0282 kg/s dengan waktu 46,62 s. Sedangkan laju
pengeluaran pada diameter 15 mm untuk pasir 1000 mikron sebesar 0,0524 kg/s
dengan waktu 22,89 s dan pada pasir 500 mikron sebesar 0.0674 kg/s dengan
waktu 19,19 s.
Berdasarkan data tersebut dapat diketahui bahwa diameter orifice
berukuran 12 mm memiliki lau pengeluaran yang lebih kecil dibandingkan dengan
lau pengeluaran pada diameter orifice 15 mm. Laju pengeluaran tercepat terdapat
pada pasir 500 mikron dengan diameter orifice 15 mm, sedangkan laju
pengeluaran terkecil terdapat pada pasir 1000 mikron dengan diameter orifice 12
mm. Ukuran orifice mempengaruhi laju pengeluaran dimana semakin besar
diameter orifice maka semakin besar pula laju pengeluaran materialnya. Laju
pengeluaran pasir 500 mikron lebih besar dibandingkan dengan pasir 1000
mikron dikarenakan ukuran partikel pasir 500 mikron leebih kecil dibandingkan
dengan ukuran pastikel pasir 1000 mikron.
Faktor-faktor yang mempengaruhi besarnya laju pengelolaan padatan pada
hopper adalah diameter orifice, ukuran partikel, kelembapan bahan dan gaya
III-40

gesek. Semakin besar ukuran diameter orifice maka semakin besar pula laju
pengeluarannya begitu pula sebaliknya. Semakin kecil ukuran partikel material
maka semakin besasr pula laju pengeluarannya. Hal ni dikarenakan partikel yang
kecil akan mengurangi nilai hambatan pada partikel di atasnya. Kelembapan
bahan akan membuat partikel sulit untuk keluar. Gaya gesek yang besar akan
memperlambat laju pengeluaran partikel dari hopper.
3.D.5 PENUTUP

3.D.5.1 Kesimpulan
Kesimpulan yang diperoleh dari percobaan ini adalah:
1. Laju pengeluaran hopper pada pasir ukuran 1000 mikron dengan diameter orifice
12 mm dan 15 mm berturut-turut adalah 0,0182 kg/s dan 0,0524 kg/s. Sedangkan
laju pengeluaran pasir ukuran 500 mikron pada orifice 12 mm dan 15 mm
berturut-turut adalah 0,0202 kg/s dan 0,0674 kg/s.
2. Semakin besar nilai diameter orifice maka laju pengeluaran padatan dari hopper
akan semakin kecil.
3. Faktor-faktor yang mempengaruhi laju pengeluaran pada hopper adalah diameter
orifice, ukuran partikel, jenis bahan, kelembapan bahan, material dan gaya gesek.

3.D.5.2 Saran
Saran yang dapat iberikan pada percobaan ini adalah dengan
menkombinkasikan ukuran bahan. Misalnya, pasir receiver dengan pasir 1000
mikron. Agar mahasiswa mengetahui pengaruh ukuran partikel terhadap laju
pengeluaran padatan dari hopper.

III-41
E. PNEUMATIC CONVEYING

3.E.1 Tujuan Percobaan

Tujuan dari percobaan ini adalah mendemonstrasikan pemindahan padatan


yang free-flowing dengan mensuspensikan dalam aliran udara kecepatan tinggi dan
meunjukkan pemisahan campuran padat gas menggunakan siklon.

3.E.1.2 Latar Belakang

Pneumatic conveying adalah alat transportasi dalam proses industri. Material


yang diangkut harus berbentuk serbuk yang halus dan ringan. Tujuannya agar
kompresi gas terjalin maksimal dan material dapat berpindah dengan lancar.
Pneumatic conveyor dikembangkan untuk memindahkan bahan-bahan nerupa
bubuk halus. Pneumatic conveying system dapat digunakan untuk partikel bubuk
halus sampai pellet dengan bulk densitynya dari 16 sampai 3200 kg/m3. Penggunaan
Pneumatic conveying system dapat dipilih karena kepraktisan pengoperasiannya dan
juga relatif ekonomis.
Aplikasi pneumatic conveying dalam dunia industri yaitu pada pengumpulan
serbuk gergaji dalam industri kayu. Serta pada industri produk yang berbentuk
powder atau dalam proses produksi yang menggunakan bahan bongkahan kecil
seperti bit pulp kering dan bahan sejenis lainnya. Oleh karena itu, percobaan ini
penting untuk dilakukan oleh praktikkan agar dapat memahami konsep dasar operasi
dan pneumatic conveying dan menerapkannya dalam dunia industri.

III-42
3.E.2 DASAR TEORI

Pneumatic conveyor adalah salah satu teknik material handling yang penting
dalam industri, yaitu perpindahan campuran materi dalam arus udara secara vertikal
dan horizontal. Berkisar antara sedikit sampai beberapa ratus feet. Kisaran materi fine
powders antara 6,35 mm (1/4 in) pellets dan bulk density dari 16 sehingga lebih dari
3200 kg/m3 (1 sampai lebih dari 200 lb/ft3) dapat ditangani. Kapasitas pneumatic
conveying tergantung pada
1. Hasil bulk density (ukuran partikel, shape).
2. Energi pengangkutan udara melalui semua sistem.
3. Diameter garis pengangkutan.
4. Panjang equivalent dari garis pengangkutan.
Secara umum pneumatic conveyor diklasifikasikan berdasarkan 5 macam dasar yaitu
tekanan, vakum, kombinasi tekanan dan vakum, fluidzing dan blow tank (Perry,
1997).
Variasi kebutuhan dalam penghubungan menggunakan conveying of solid
telah mendorong pengembangan alat yang luas. Itu meliputi (Coulson, 2002):
a. Gravity chutes down yang mana solid jatuh di bawah gaya gravitasi.
b. Air slides, dimana partikel dijaga secara parsial dalam channel dengan arus udara
yang menarik melalui poros distribusi, mengalir pada sudut kecil sampai
horizontal.
c. Belt conveyor, dimana solid dipisahkan secara horizontal atau pada sudut kecil
sampai horizontal dalam continous moving belt.
d. Screw conveyor, dimana solid berpindah sepanjang pipa atau channel dengan
rotating helical impeller sebagai screw lift elevator.
e. Bucket elevator, dimana partikel dibawa naik dalam bucket yang bergerak vertikal
secara terus menerus.
f. Vibrating conveyor, dimana partikel diperlakukan untuk vibrasi asimetris dan
perjalanan dalam step by step.

III-43
g. Pneumatic conveying, dimana partikel diangkut dalam arus udara atau air.
Sistem pneumatic conveyor dikembangkan untuk memindahkan bahan-bahan
berupa bubuk yang sangat ringan dan serbuk lain sejenis dari tangki pengiriman
untuk disimpan dengan cara curah ke dalam penyimpanan silo, dari sini kemudian
didistribusikan melalui pipa-pipa ke berbagai tempat di bangsal atau pabrik tersebut.
Udara kering digunakan dalam sistem ini untuk menjaga agar bahan tetap kering dan
mengalir dengan lancar (Cook, 1986).
Pneumatic conveyor digunakan untuk material kering yang dapat bebas
bergerak dalam suatu campuran dalam pipa artinya mengunakan aliran udara dengan
kecepatan tinggi atau dengan ekspensi energi dari kompresor. Pada prinsip alat ini
digunakan untuk mengumpulkan debu,untuk material halus seperti pasir halus,
tepung dan serbuk gergaji dan material halus seperti pasir halus, tepung dan serbuk
gergaji dan material keras adalah abu dan semen. Alat yang paling banyak digunakan
untuk mengumpulkan debu adalah siklon, dimana debu-gas masuk dalam sebuah
ruang sekunder atau conical yang tangensial. Siklon sebenarnya adalah sebuah ruang
pengendapan dimana percepatan gravitasi dirubah menjadi gaya sentrifugal, padatan
kemudian secara perlahan turun dengan gerakan spiral akibat dari pengaruh gaya
gravitasi dan kemudian terkumpul dibawah, sedangkan udara keluar dari siklon pada
aliran tengah vortex. Kapasitas dari sebuah pneumatic conveyor sistem adalah sebagai
berikut (Brown,1956) :
1. Produk bulk density (ukuran partikel serta pengeluarannya).
2. Energi untuk mengalirkan udara dengan kecepatan tinggi.
3. Diameter conveying.
4. Panjang ekuivalen konveyor.
Jenis-jenis conveyor yang digunakan untuk memindahkan bahan-bahan padat
tergantung pada (Cook, 1986):
a. Sifat fisik bahan
Misalnya bahan berupa bubuk atau serbuk, lembab atau kering, berat atau ringan
dan sebagainya.
III-45

b. Jumlah bahan
Bahan diberikan secara terus menerus akan penjumlah tertentu dan biasa disebut
batch.
c. Apakah termasuk bahan berbahaya, seperti bahan mudah meledak, mudah
terbakar, bersifat racun dan sebagainya.
d. Arah (vertikal atau horizontal).
e. Jarak yang dilalui
f. Pengemas yang digunakan
Bahan tidak dilengkapi dengan pengeras ataupun bahan dikemas dengan drum
atau karung.
Biasanya dalam menentukan suatu sistem pneumatic conveying memilili tiga
pilihan, yaitu :
a) Dilute phase vacum operation
b) Dilute phase pressure operation
c) Dilute phase pressure vacum operation
Alat pemisahan sentrifugal yang paling banyak digunakan adalah cyclone
separator untuk memisahkan debu atau kabut dari gas. Umpan dimasukkan secara
tangensial ke dalam siklon dekat puncak dan memberikan gerakan memutar saat
masuk ke dalam chamber. Kecepatan tangensial partikel cenderung membawa
mereka ke arah memutar chamber. Gerakan spiral dari fluida menghasilkan kecepatan
radial dari partikel dan bersama gaya gravitasi memberikan kecepatan penurunan
(Foust, 1980).
3.E.3 METODOLOGI PERCOBAAN

3.E.3.1 Alat dan Deskripsi Alat


Alat-alat yang digunakan dalam percobaan ini adalah:
- Neraca analitik
- Stopwatch
- Rangkaian alat pneumatic conveying

Deskripsi Alat:

Air out
1 2
3 Ejektor

Compressor witch Cyclone


4
Suction
Air suplay

Solids delivery

5
Hopper
11
7
Ball valve

6
Presure gauge Filter

12 Orificas closed
Rotary compresor
8
9
Solids colacting pan

Digital balance
10

Keterangan:
1. Cyclone 7. Filter
2. Ejector 8. Rotary compressor
3. Air out 9. Simple pan
4. Compressor switch 10. Neraca analitik
5. Ball valve 11. Hopper
6. Pressure gauge 12. Orifices closed

Gambar 3.E.1 Rangkaian Alat Pneumatic Conveying

III-46
III-47

3.E.3.2 Bahan
Bahan yang digunakan dalam percobaan ini adalah :
- Pasir bangunan 2000 mikon
- Pasir receiver

3.E.3.3 Prosedur Percobaan


1. Hopper diisi dengan pasir receiver, aliran yang keluar dari siklon dipastikan
berada pada bak penampung.
2. Compressor dinyalakan dan tekanan udara diatur sesuai kebutuhan.
3. Ball valve dibuka untuk mengalirkan udara ke siklon dan bahan yang keluar
dari siklon ditampung selama 2 menit.
4. Bahan yang tertampung ditimbang dan dicatat massanya di tabel pengamatan.
5. Ulangi langkah 1-4 dengan sampel yang berbeda.
3.E.4 HASIL DAN PEMBAHASAN

3.E.4.1 Hasil Pengamatan


Tabel 3.E.1 Hasil Pengamatan Laju Pengeluaran Padatan
Jenis Sampel Tekanan ( Psi) Waktu (s) Massa (g)
5 120 274,4
Pasir 250 mikron
13 120 45,9
5 120 324,1
Pasir receiver
13 120 145

3.E.4.2 Hasil Pengamatan


Tabel 3.E.2 Hasil Perhitungan Laju Pengeluaran Padatan
Jenis Sampel Tekanan (Psi) Waktu (s) Massa (g) Laju Pemindahan
(g/s)
5 120 272,4 2,2700
Pasir 250 mikron
13 120 45,9 0,3825
5 120 324,1 2,700
Pasir receiver
13 120 145 1,2083

3.E.4.3 Pembahasan
Percobaan pneumatic conveying menggunakan tiga alat utama yaitu
hopper, tempat penampung bahan (pan), siklon, pemisah padatan dan compressor
sebagai pemberi aliran udara. Sampel yang digunakan adalah pasir receiver dan
pasir bangunan 250 mikron. Variasi tekanan dalam percobaan ini adalah 5 psi dan
13 psi. Lama pemindahan yang digunakan pada percobaan ini adalah 120 detik.
Berdasarkan hasil perhitungan yang diperoleh, nilai laju pemindahan pasir
receiver lebih besar daripada pasir 250 mikron. Hal ini dikarenakan semakin kecil
ukuran partikel maka semakin cepat laju pemindahan.
Berdasarkan data pengamatan dapat dibuat grafik hubungan tekanan
terhadap laju pemindahan. Grafik hubungan tersebut dapat dilihat pada Gambar
3.E.2 di bwah ini:

III-48
III-49

Gambar 3.E.1 menunjukkan tekanan berbanding terbalik terhadap laju


pemindahan padatan. Hal ini dapat dilihat dari grafik di atas yang menunjukkan
bahwa laju pemindahan padatan tertinggi berada pada tekanan 5 psi. Nilai laju
pemindahan padatan pada pasir 250 mikron dan receiver berturut-turut adalah
2,27 g/s dan 2,7 g/s. tingginya laju pemindahan ini disebabkan karena semakin
rendah tekanannya maka laju pemindahan padatan akan semakin tinggi.
Kapasitas dari pneumatic conveying dipengaruhi oleh produk bulk density,
energy untuk mengalirkan udara kecepatan tingi, diameter conveying dan panjang
equivalent conveyor. Semakin besar bulk density, maka semakin lambat laju alir
bahan atau sampel yang digunakan. Energy dan diameter conveying yang semakin
besar akan mempercepat laju alir. Panjang equivalent conveyor berpengaruh
untuk memperlambat laju alir pada pneumatic conveying (Brown, 1956).
Prinsip kerja siklon pada percobaan ini adalah memisahkan partikel-
partikel padatan dan gas yang berasal dari hopper dengan tenaga yang diberikan
dari compressor sehingga padatan terperangkap di dalam dan bergerak karena
gaya sentrifugal, lalu padatan pada outlet bagian bawah ditampung dalam suatu
wadah untuk ditimbang dan mengeluarkan gas pada outlet yang berada pada
bagian atas siklon (Brown, 1956). Faktor-faktor yang mempengaruhi laju
pemindahan pada pneumatic conveying adalah jumlah bahan, semakin banyak
jumlah bahan maka laju pemindahannya semakin kecil karena massa yang
berkumpul lebih banyak sehingga waktu yang diperlukan lebih lama. Ukuran
partikel, semakin kecil ukuran partikel, maka semakin tinggi laju permindahan
padatan pada pneumatic conveying. Kelembapan bahan, partikel dalam keadan
yang lembab atau basah akan membuat bahand menjadi lebih berat sehingga
membuat laju pemindahan akan menjadi rendah dan berkurang (Perry, 1997).
3.E.5 PENUTUP

3.E.5.1 Kesimpulan
Kesimpulan pada percobaan ini adalah :
1. Laju pemindahan padatan dari pneumatic conveyor pada pasir ukuran 250
mikron dan pasir receiver pada tekanan 5 psi dan 13 psi adalah 2,27 g/s;
0,3825 g/s; 2,7 g/s dan 1,2083
2. Semakin kecil tekanan, maka akan semakin cepat laju perpindahan padatan
dari pneumatic conveyor.
3. Factor-faktor yang mempengaruhi laju perpindahan padatan adalah tekanan,
kelembapan dan ukuran partikel.

3.E.5.2 Saran
Saran yang dapat diberikan pada percobaan ini adalah dengan
menggunakan bahan dalam keadaan yang lembab. Misalnya pasir 100 mikron
yang sedikit dibasahi dengan air. Agar mahasiswa dapat mengetahui pengaruh
kelembapan terhadap laju perpindahan padatan pada pneumatic conveyor.

III-50
F. BALL MILL SIZE REDUCTION

3.F.1 PENDAHULUAN

3.F.1.1 Tujuan Percobaan


Tujuan dari percobaan ini adalah mengecilkan ukuran material dengan
ball mill.

3.F.1.2 Latar Belakang


Ball mill merupakan mesin giling dengan bola-bola, sehingga akan
didapatkan padatan yang yang berukuran lebih kecil akibat adanya pukulan pada
saat bola jatuh dari dekat puncak ball mill-nya. Material padatan yang akan
digunakan dalam proses industri biasanya memiliki ukuran yang besar dan bentuk
yang beraga. Bahan baku itu tidak hanya memiliki ukuran yang besar atau dalam
bentuk bongkahan, akan tetapi juga kebanyakan digunakan bahan yang berukuran
lebih kecil atau halus.
Ball mill merupakan alat pemecah yang dapat memperkecil ukuran
material. Sehingga dapat diproses dan besar padatan dapat diperkecil dengan
menggunakan ball mill. Sehingga sebelum digunakan, padatan tersebut harus
dikecilkan ukurannya sesuai dengan kebutuhan dalam proses industri agar dapat
dihasilkan produk dengan ukuran yang diinginkan.
Aplikasi ball mill dalam dunia industri digunakan untuk proses lain pada
tahapan selanjutnya. Contohnya pada pabrik pengolahan semen, pabrik dengan
produk silika, bahan tahan api dan pupuk kimia serta lain sebagainya. Oleh karena
itu, percobaan ball mill penting dilakukan agar praktikkan dapat memahami
konsep ball mill dan dapat mengaplikasikannya dalam dunia industri.

III-51
3.F.2 DASAR TEORI

Ball mill terdiri dari sebuah selongsong berbentuk yang berputar dengan
kecepatan rendah pada sumbu horizontalnya yang berisi kira-kira setengah
volumenya dengan medium penggiling padat. Selongsong itu biasanya terbuat
dari baja dan dilapisi dengan plat baja tinggi karbon, porselin, batuan silika atau
karet. Medium penggiling itu adalah batangan logam, karet atau kayu pada ball
mill pakai bola, dan dengan kerikil batuan atau bola perselen atau zirkon pada ball
mill. Dalam setiap mesin giling, elemen-elemen penggiling di bawah naik pada
pinggir selongsong itu sampai hampir ke puncaknya, dan dari situ jatuh menimpa
partikel di bawah. Energi yang dipakai untuk mengangkut unit-unit penggiling
lalu dimanfaatkan untuk memecah partikel itu.dalam beberapa mesin-mesin
guling seperti pada mesin giling batangan, sebagai besar parkecilan dilaksanakan
dengan kompresi rol dan dengan antirisi pada waktu batangan itu mengelinding
pada batu sebagian besar pemecah terjadi karena pukulan pada waktu bola itu
jatuh dari dekat puncak selongsong (McCabe, 1999).
Mesin giling pakai bola (mesin giling bola) dan (mesin giling pakai batu)
sebagian besar pemecahan dilaksanakan karena adanya umpak pada waktu bola
atau batu itu jatuh dari dekat puncak selongsong. pada mesin giling bola ukuran
besar, diameternya bisa sampai 20ft (3m) dan panjangnya 14ft (4,25m). Serta
diameter nya bisa sampai 1 sampai 5 in ( 25 sampai 175 ) (McCabe, 1999).
Ball mill adalah alat yang cocok untuk mengecilkan ukuran material. Alat
ini lebih bergantung pada tumbukan dibandingkan pada kekuatan pemotongan.
Operasi mengecilkan ukuran ini terbagi ke dalam penghancur dan penggiling yang
tidak didiskriftifkan jatuh pada operasi yang digunakan untuk mengecilkan ukuran
material yang kasar (Brown, 1950).
Ball mill digunakan untuk grinding dari banyak materi seperti batubara,
pigment, felspar untuk pottery dan ini menyelesaikan dengan ukuran umpan
sampai sekitar 50 mm. Bola pada umumnya dibuat dari flat atau baja dan meliputi
30-50% dan volume penggilingan. Diameter bola yang digunakan berbeda-beda

III-52
III-53

antara 12 mm dan 125 mm. Faktor yang mempengaruhi ukuran produk adalah
(McCabe, 1985):
a. Kecepatan umpan
b. Properti materi umpan
c. Berat bola
d. Diameter bola
e. The slope of the mill
f. Discharge freedom
g. Kecepatan perputaran mill
h. Level materi dalam mill
Pengecilan ukuran menjadi partikel berukuran halus dinamakan grinding.
Ini karena peralatan yang lebih tua digunakan untuk proses ini terdiri dari dua
bagian, yaitu permukaan yang diam dan permukaan lain yang akan mengenai
permukaan yang diam. Millstone yang akan digunakan untuk menggerus biji-
bijian menjadi tepung serupa dengan hal ini. Mesin-mesin seperti ini dapat
menimbulkan disintegrasi karena pengapliikasian beban geser. Mesin giling baru
dalam pengecilan ukuran darin material, seperti ball mill lebih bergantung pada
tumbukan dibanding gaya geser. Ball mill adalah silinder yang berotasi secara
horizontal atau lancip dari logam, yang berisi bola-bola baja atau batu flint hingga
setengah penuh. Panjang silinder itu biasanya sama dengan diameternya.
Kebanyakan ball mill beroperasi secara berkelanjutan, umpan masuk pada suatu
ujung yang berlawanan. Ball mill dapat beroperasi secara kering atau basah.
Komponen ball mill terdiri dari dua sampai empat ruangan yang masing-masing
ruang dipisahkan oleh grate. Setiap ruangan memiliki ukuran bola yang berbeda
dan bola dengan diameter dan ukuran yang semakin kecil akan menggerus
material menjadi semakin halus (Brown, 1956).
Fitur ball mill adalah tertinggi konsumsi energi yang spesifik. Sebuah ball
mill diisi dengan bola, kerja diam, akan mengonsumsi energi sama banyaknya saat
sedang beroperasi penuh, yaitu seperti saat penggerusan bahan. Sehingga
pengoperasian ball mill tidak memenuhi kapasitas maksimum hanya akan
III-54

menghasilkan kerugian. Namun, ball mill memiliki beberapa keuntungan yaitu


(Cook, 1986):
1. Universal dan kapasitasnya besar
2. Kehalusan penggilingan yang permanen dengan beberapa kapasitas tertentu
untuk rentang waktu yang lama (dengan penambahan bola-bola secara
periodik seiring lama penggunaan).
Kekurangan ball mill adalah (Cook, 1986):
1. Tidak mudah ditangani dan berat.
2. Menumbuk material dengan energi konsumsi spesifik yang besar energi
sebagian besar dihabiskan dari pemakaian bola-bola pemanasan material dan
lain-lain.
3.F.3 METODOLOGI PERCOBAAN

3.F.3.1 Alat dan Deskripsi Alat


Alat-alat yang digunakan dalam percobaan ini adalah:
1. Ball mill
2. Sieve atau ayakan
3. Shaker
4. Stopwatch
5. Neraca analitik
6. Bola keramik

Deskripsi Alat:

Keterangan :
1. On/off switch
2. Speed control
3. Ball mill

Gambar 3.F.1 Rangkaian Alat Ball Mill Size Reduction

3.F.3.2 Bahan
Bahan yang digunakan dalam percobaan ini adalah batu bata merah.

III-55
III-56

3.F.3.3 Prosedur Percobaan


1. Alat dirangkai seperti Gambar 3.F.1.
2. Ball mill diisi dengan pecahan batu bata merah ukuran di atas 2000 mikron
dan bola keramik dengan skala
3. Ball mill dinyalakan dengan skala 4 selama 2 menit.
4. Sampel yang keluar ditampung dalam suatu wadah dan dipisahkan dari
bola keramik.
5. Massa sampel yang telah ditampung lalu ditimbang dengan menggunakan
neraca analitik.
6. Langkah 2-5 diulangi dengan skala yang berbeda yaitu skala bola keramik
B= 4; S= 3 dan K= 3.
3.F.4 HASIL DAN PEMBAHASAN

3.F.4.1 Hasil Pengamatan

Tabel 3.F.2 Hasil Pengamatan Ball Mill Size Reduction

Skala Ball Variasi Bola Massa Awal Massa Akhir Massa Size
Mill (gram) (gram) Reduction
(gram)
B=3; S=2; K=2 100 96,4 3,6
4
B=4; S=3; K=3 100 92,8 7.2
B=3; S=2; K=2 100 90,9 9,1
7
B=4; S=3; K=3 100 86 14

3.F.4.2 Hasil Perhitungan

Skala Variasi Bola Massa Awal Massa Akhir Massa Size Persentase
Ball Mill (gram) (gram) Reduction Size
(gram) Reduction
(%)
B=3; S=2; 100 96,4 3,6 3,6
K=2
4
B=4; S=3; 100 92,8 7,2 7,2
K=3
B=3; S=2; 100 90,9 9,1 9,1
K=2
7
B=4; S=3; 100 86 14 14
K=3

3.F.4.3 Pembahasan

Percobaan ini menggunakan samper batu bata merah dengan skala yang
berbeda yaitu 4 dan 7 dan variasi bola (I) yaitu 3 bola besasr, 2 bola sedang, 2
bola kecil dan variasi bola (II) yaitu 4 bola besar, 3 bola sedang dan 3 bola kecil.
Tujuan digunakannya variasi skala ball mill yang berbeda agar dapat mengetahui
pengaruh kecepatan terhadap pengecilan ukuran material oleh ball mill pada skala
4 dan 7. Penambahan bola keramik bertujuan untuk memperoleh material yang
lebih halus, maka dibutuhkan suatu bola kermaik untuk menumbuk material yang
ada di dalam ball mill. Pada skala 4 variasi bola (I) diperoleh massa size
reductionnya sebesar 3,6 gram dengan persentase sebesar 3,6%, sedangkan pada
skala 7 variasi bola (I) diperoleh massa size reductionnya sebesar 9,1 gram

III-57
III-58

dengan persentase size reductionnya sebesar 9,1%. Pada skala 4 variasi bola (II)
diperoleh massa size reductionnya sebesar 7,2 gram dengan persentase size
reductionnya sebesar 7,2%, sedangkan pada skala 7 variasi bola (II) diperoleh
massa size reductionnya sebesar 14 gram denga persentase size reductionnya
sebesar 14%. Hasil yang diperoleh dari percobaan ini sudah ssuai dengan teori.
Menurut (Coulson, 2002) semakin cepat ball mill berputar maka ukuran material
yang diperoleh akan semakin halus dan massa size reductionnya juga akan
semakin besar.

Faktor-faktor yang mempengaruhi ukuran material pada ball mill adalah


keepatan ball mill berputar, semakin cepat ball mill berputar maka ukuran
material yang diperoleh akan semakin halus. Berat dari bola (balls), semakin berat
bola yan g digunakan maka semakin halus ukuran partikel yang akan dihasilkan.
Hal ini dikarenakan pada saaat ball mill berputar menyebabkan bola menumbuk
material yang berada di dalam ball mill (Coulson, 2002).
3.5.5 PENUTUP

3.F.5.1 Kesimpulan

Kesimpulan yang diperoleh dari percobaan ini adalah :

1. Persentase size reduction pada skala 4 variasi bola (I) dan variasi bola (II)
masing-masing sebesar 3,6% dan 7,2% dan untuk skala 7 variasi bola (I)
dan variasi bola (II) masing-masing sebesar 9,1% dan 14%.
2. Semakin cepat kecepatan ball mill dan semakinbanyak bola dalam ball
mill maka semakin besar efisiensi penghalusan dari ball mill.
3. Faktor-faktor yang mempengaruhi ukuran material pada ball mill yaitu
properti dan umpan material, berat dari bola (balls), diameter dari bola
(balls) dan kecepatan rotasi dari mill.

3.6.5.2 Saran
Saran yang dapat diberikan untuk percobaan selanjutnya adalah
dengan menggunakan dua bahan yang satu dalam keadaan kering dan satunya
dalam keadaan kering dan satunya dalam keadaan kering dan satunya dalam
keadaan agak lembab. Agar didapatkan data yang menunjukkan pengaruh
kelembapan terhadap efisiensi pencampuran pada ball mill.

III-59
III-6

G. V-BLENDER

3.G.1 PENDAHULUAN

3.G.1.1 Tujuan Percobaan

Tujuan dari percobaan ini adalah menghitung efisiensi pencampuran


partikel material di dalam v-blender.

3.G.1.2 Latar Belakang

V-blender adalah alat yang sangat membentuk proses bahan,


terutama bahan kimia seperti obat-obatan, kosmetik dan plastic. V-blender
merupakan salah satu alat yang menggunakan metode pengadukan dengan prinsip
difusi V-blender tersebut berfungsi untuk mencampurkan dua macam material
yang berbeda ukuran partikelnya v-blender juga menggunakan freefall.

V-blender pada percobaan ini digunakan untuk mencampurkan


bahan berupa pasir dua variasi ukuran yang berbeda. Massa partikel akan berubah
dan bercampur dengan adanya perputaran dari v-blender. V-blender hamper
konsisten digunakan untuk campuran bahan yang dapat memenuhi spesifikasi
produk. V-blender mudah untuk dibersihkan dan sangat praktis.

V-blender pada bidang industri biasanya digunakan dalam industri


obat-obatan dan pengolahan makanan. Material yang digunakan biasanya dalam
bentuk granular atau bubuk. Percobaan ini dimaksudkan agar praktikan mampu
menentukan efesiensi pencampuran v-blender. Oleh karena itu, percobaan ini
penting dilakukan agar dapat diaplikasikan pada skala industri.

III-60
3.G.2 DASAR TEORI

V-blender merupakan sebuah mesin yang digunakan untuk mencampur


suatu material yang terdiri dari dua buah silinder yang dapat berputar seperti huruf
v. Sehingga menyebabkan material turun dan jatuh kemudian tercampur secara
seragam dan bercampur dengan cepat jika dibandingkan dengan cara standar.
Permukaan internal yang lembut dari suatu mesin pencampur dengan tidak ada
dinding antar interval batang. Mesin pencampur ini hanya digunakan untuk
material yang kecil dan kering misalnya pasir (Coulson, 2002).

V-blender adalah mesin pencampuran yang efisien dan serba guna untuk
proses pencampuran dan untuk menghomogenkan serbuk kering, kurang lebih dua
per tiga dari volume blender harus terisi untuk dapat memastikan pencampuran.
Di dalam v-blender, serbuk berasal dari semua sisi yang disebabkan oleh
bentuknya yang berbentuk v, yang diputar dengan kecepatan menengah dan
konstan. Blender ini cocok untuk material dengan jenis berupa serbuk dan granul
(Perry, 1997).

Mekanisme utama dari pencampuran dalam v-blender adalah difusi. Difusi


blending ditandai dengan gerakan acak skala kecil partikel padat. Gerakan blender
meningkat mobilitas partikel individu dan dengan demikian dapat memasukkan
pencampuran difusi. Difusi pencampuran terjadi antara muka baru dikembangkan.
Dengan tidak adanya efek memisahkan pencampuran difusi pada saatnya akan
mengakibatkan tingkat tinggi homogen. Oleh karena itu, v-blender lebih disukai
ketika formasi campuran yang tepat diperlukan. Campuran saat normal biasanya
dalam kisaran lima sampai lima belas menit tergantung pada sifat bahan yang
akan dicampur. Pengisian bahan pada v-blender adalah melalui salah satu dari dua
ujung atau melalui bagian puncak. Efesiensi blending dipengaruhi oleh volume
bahan yang dimuat ke dalam blender. Direkomendasikan volume mengisi untuk
v-blender adalah 50% sampai 60% dari total volume blender (Teckhandaney,
2009).

III-61
III-62

V-blender dirancang untuk mengaduk secara intensif. V-shell berputar


mengaduk butiran dengan kecepatan yang telah ditentukan dan akan tercampur.
Daya tampung suatu v-blender yang hanya dapat menampung hingga 1000 liter.
V-blender dibedakan menjadi dua macam yaitu:

1. Single plinth design


2. Double plinth design
V-blender dari dua buah silinder-shell dengan sudut 75o-90o wadah terbesar
dipasang pada trunnions untuk memungkinkan agar gesekan dan material vessel
yang mengakibatkan pencampuran menjadi lebih homogen (Zemansky, 2004).

Campuran seragaman bisanya dalam waktu 5 sampai 15 menit dengan


efisiensi yang sama pada saat mengisi volume 100% menjadi 25% dari kapasitas
yang terukur, tergantung dari sampel atau material yang digunakan, yang penting
dalam kesederhanaan efekstabilitas blender ini banyak digunakan pada industri
farmasi, industri logam, makanan kimia, plastik, keramik, dan bubur. Pharmetech
manufaktur komprensif dibangun dengan jangkauan v-blender juga dikenal
dengan nama v-shell, vee-cone atau v-blender. V-blender ini merupakan yang
ideal untuk campuran pada bubuk dan butiran. Pharmatech v-blender dirancang
dengan sedemikian rupa sehingga memberikan tindakan pencampuran intensif. V-
blender diputar dengan materi yang berulang kali dan kemudian akan bercampur
bersama-sama. Setiap ukuran sampai 6000 L dengan desain single atau double.
Terdapat kekurangan dari v-blender yaitu (Coulson, 2002).

1. Membutuhkan ruang kepala yang tinggi untuk instalasi dan operasi.


2. Tidak cocok untuk partikel campuran berbagai ukuran dan kepadatan yang
dapat dilakukan saat pemisahan pada saat debit.
Beberapa keuntungan dari menggunakan v-blender antara lain adalah
(Zemansky, 2004):

1. Pengurangan ukuran partikel dan juga gesekan dapat diminimalkan karena


tidak adanya pisau yang bergerak. Oleh karena itu dapat digunakan untuk
bahan-bahan yang rapuh.
III-63

2. Pengisian dan pemakaian yang mudah serta juga efisien.


3. Bentuk tubuh menghasilkan v-blender dalam debit lengkap dengan produk,
hal ini merupakan keuntungan tambahan atas blender horizontal.
4. Tidak adanya proyeksi proses menghilangkan kontaminasi produk v-blender
mudah dibersihkan.
5. Bejana didorong dengan bantuan worm reduction yang dihubungkan dalam
muatan listrik.
Desain v-blender yang paling sering digunakan adalah pencampuran
padatan yang kering yang dapat mengalir bebas. Blender ini sering digunakan
untuk obat-obatan tetapi tindakan ini sedikit dibatasi pada saat penggunaan
v-blender untuk beberapa serbuk ataupun butiran yang sangat lembut. V-blender
biasanya digunakan untuk hal-hal berikut (Teckhandaney, 2009):
1. Produk makanan
2. Keramik
3. Bubuk plastik
4. Animal feed
Hanya sedikit pengetahuan mengenai detail pada aliran partikel dan batsan
mixing secara praktek yakni geometri blender 3 dimensi, meskipun ada waktu
yang kuat yang dapat mengidikasikan bahwa aliran dapat aliran yang bifucation
analog terhadap aliran fluida ataupun terdapat dalam tumbler granular. Pada suatu
contoh terlihat bahwa dari tempat atas dapat diketahui bahwa tidak seperti desain-
desain tertentu, konveksi pada pencampuran ini mengendalikan butiran secara
aksial. Dari luar menuju bagian tengah. Aliran aksial ini sangat mempengaruhi
pencampuran butiran, sementara tampak bawah mengindikasikan bahwa
perpindahan di dominasi oleh aliran spiral yang juga terlihat pada drum maupun
pada blender lain (Perry, 1997).
Difusi pencampuran terjadi dimana partikel didistribusikan melalui antar
muka yang dikembangkan dengan tidak adanya satu efek pemisahan.
Pencampuran difusi pada saatnya mengakibatkan tingkatan yang tinggi pada
homogenitas. Oleh karena itu, v-blender lebih disukai dari pada formulasi
campuran yang tepat diperlukan. Mereka juga cocok untuk aplikasi dimana
beberapa bahan mungkin serendah 5% dari ukuran campuran total. Campuran
pada saat normal biasanya berada dalam kisaran 5 sampai 15 menit tergantung
pada sifat bahan yang akan dicampurkan (McCabe, 1999).
III-63

3.G.3 METODOLOGI PERCOBAAN

3.G.3.1 Alat dan Rangkaian Alat

Alat-alat yang digunakan dalam percobaan ini adalah:

- Neraca analitik
- Sieve
- Stopwatch
- V-blender
- Gelas ukur 100 mL

Rangkaian Alat

1. Fill to this level

2 2. Speed control
3
4 3. On-off switch
4. V-blender

Gambar 3.G.1 Rangkaian Alat V-blender

3.G.3.2 Bahan

Bahan yang digunakan pada percobaan ini adalah sebagai berikut:

- Pasir bangunan 250 mikron


- Pasir bangungan 1000 mikron

III-64
III-65

3.G.3.3 Prosedur Percobaan

1. Alat dirangkai seperti pada Gambar 3.G.1.


2. Sampel pasir bangunan 250 mikron diambil sebanyak 100 mL dan pasir
bangunan 1000 mikron diambil sebanyak 100 mL serta dicatat masing-
masing massanya.
3. Pasir bangunan 250 mikron dimasukkan ke dalam v-blender sebelah kanan
dan pasir bangunan 1000 mikron sebelah kiri.
4. Kecepatan pencampuran diatur pada skala 5 dengan waktu 2 menit.
5. Massa akhir ditimbang serta massa campuran yang telah diayak
menggunakan sieve.
6. Langkah 2-5 dilakukan kembali pada kecepatan 10.
III-67

3.G.4 HASIL DAN PEMBAHASAN

3.G.4.1 Hasil Pengamatan

Tabel 3.G.1 Hasil Pengamatan V-blender

Massa
Skala Ukuran partikel Massa awal Massa akhir
mixing
blender (mikron) (gram) (gram)
(gram)
Pasir 250 148,9 112,9 36
5
Pasir 1000 138,7 105 33,7
Pasir 250 148,9 106,4 45,6
9
Pasir 1000 138,7 77,2 56,4

3.G.4.2 Hasil Perhitungan

Tabel 3.G.2 Hasil Perhitungan V-blender

Massa Massa Massa


Skala Ukuran partikel Persentase
awal akhir mixing
blender (mikron) mixing (%)
(gram) (gram) (gram)
Pasir 250 148,9 112,9 36 24,17
5
Pasir 1000 138,7 105 33,7 24,29
Pasir 250 140,7 106,4 45,6 30
9
Pasir 1000 147,5 77,2 56,4 42,21

3.G.4.3 Pembahasan

Percobaan ini menggunakan sampel pasir bangunan 250 mikron


dan 1000 mikron dengan skala v-blender yang berbeda yaitu 5 dan 10. Tujuan
digunakannya pasir yang berbeda ukuran agar saat pencampuran di dalam v-
blender dapat terlihat dengan jelas. Variasi skala pemcempuran yang berbeda
bertujuan agar dapat mengetahui pengaruh kecepatan terhadap massa awal untuk
III-65

pasir 250 mikron dan 1000 mikron pada skala 5 dan 10. Pada skala 5 yaitu massa
awal pada pasir 250 mikron adaah 148,9 gram dan pasir 1000 mikron adalah
138,7 gram, begitu pula denga skala 10. Massa pasir 250 lebih besar daripada
pasir 1000 mikron disebabkan karena bentuk-bentuk tiap partikel pasir yang
berbeda sehingga massa pasit yang mengisi gelas beker tidak selalu sama. Setelah
pencampuran terdapat massa pencampuran. Pada skala 5 untuk pasir 250 mikron
dan 1000 mikron massa mixing masing-masinh adalah 36 gram dan 33,7 gram.
Sedangkan pada skala 10 untuk pasir 250 mikron 1000 mikron massa mixing
masing-masing adalah 45,6 gram dan 56,4 gram. Massa campuran adalah
banyaknya pasir dari ukuran yang berbedayang tercampur setelah mengalami
perputaran dalam v-blender. Selain itu, diperoleh juga persentase mixing setelah
dilakukan pencampuran. Pada skala 5 diperoleh persentasi mixing sebesar 24,17%
untuk pasir 250 mikron dan 24,29 untuk pasir 1000 mkron. Pada skala 10
diperoleh persentase mixing sebesar 30% untuk pasir 250 mikron dan 42,21%
untuk pasir 1000 mikron. Persentase mixing pada skala 10 lebih besar
dibandingkan dengan skala 5 pada kedua jenis pasir. Hal ini telah sesuai dengan
teori yang menyatakan apabila semakin cepat putaran V-blender, maka semakin
besar pula massa yang tercampur di dalamnya (Perry, 1997).
Faktor-faktor yang mempengaruhi pencampuran v-blender adalah
kecepatan putaran, kecepatan putaran yang tinggi akan menghasilkan massa
mixing yang lebih banyak. Ukuran partikel atau luas permukaan, semakin luas
permukaan kontak bahan-bahan yang harus dicampur berarti semakin kecil
partikel dan semakin mudah gerakannya di dalam cammpuran, maka proses
pencampuran akan semakin baik. Bentuk material, apabila bentuk material
berbentuk bola (spherical) dan lebih halus, maka lebih mudah dicampur daripada
material yang memiliki bentuk yang tidak beraturan dan kasar (Cook, 1986).
III-67

3.G.5 PENUTUP

3.G.5.1 Kesimpulan

Kesimpulan yang diperoleh dari percobaan ini adalah:

1. Nilai persentase mixing pada skala 5 untuk pasir 250 mikron adalah 24,17 %
dan untuk pasir 1000 mikron adalah 24,29 %. Sedangkan pada skala 10
untuk pasir 250 mikron adalah 30% dan untuk pasir 1000 mikron adalah
42,21 %.
2. Semakin cepat kecepatan putaran v-blender maka akan menghasilkan
persentase mixing yang lebih besar.
3. Faktor-faktor yang mempengaruhi v-blender adalah skala kecepatan, sifat
bahan, bentuk material, jenis bahan, gaya molekul bahan dan kelembapan.

3.G.5.2 Saran

Saran yang dapat diberikan pada percobaan ini yaitu sebaiknya bahan yang
digunakan untuk mixing divariasikan. Seperti menggunakan pasir 1000 mikron
dan semen. Hal ini agar dapat mengetahui efisiensi pencampuran partikel dalam
ukuran dan bahan yang berbeda dan didapat pengaruh bentuk material terhadap v-
blender.

III-68

Anda mungkin juga menyukai