Anda di halaman 1dari 14

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Manusia dalam hidup selalu tumbuh dan berkembang, dimulai dari masa

dalam kandungan, tahap infancy (kelahiran), tahap balita, tahap kanak-kanak,

tahap pubertas, tahap remaja, tahap dewasa awal, tahap usai madya (middle age)

dan tahap usia lanjut. Manusia cenderung tumbuh dan berkembang baik dari segi

kualitas maupun kuantitas untuk membentuk dirinya menjadi pribadi tertentu.

Dalam tahap tertentu, manusia akan mencapai tahap dimana mnusia mempunyai

ketertarikan dengan lawan jenis dan menjalin ikatan untuk membentuk keluarga

atau menikah. (Jannah, Jacob & Julianto, 2017).

Seiring perkembangan jaman, dalam memenuhi kebutuhan perekonomian

dalam keluarga tidak hanya laki-laki yang berperan menjadi kepala rumah tangga

dan mencari nafkah, wanita sebagai ibu rumah tangga juga cenderung turut

berperan untuk mencari nafkah. Di Indonesia sendiri jumlah tenaga kerja wanita

semakin meningkat. Hal ini sesuai dengan Ihromi (dalam Indriani, 2009) yang

mengatakan jika jumlah wanita pencari kerja akan semakin meningkat di sebagian

wilayah dunia termasuk Indonesia.

1
2

Berdasarkan Berita Resmi Statistik dari Badan Pusat Statistik Indonesia

mengenai Keadaan Ketenagakerjaan Indonesia

No. 42/05/Th.XXI, 07 Mei 2018: Jumlah angkatan kerja pada Februari

2018 sebanyak 133,94 juta orang, naik 2,39 juta orang dibanding Februari 2017.

Komponen pembentuk angkatan kerja adalah penduduk yang bekerja dan

pengangguran. Pada Februari 2018, sebanyak 127,07 juta orang penduduk bekerja

sedangkan sebanyak 6,87 juta orang menganggur. Dibanding setahun yang lalu,

jumlah penduduk bekerja bertambah 2,53 juta orang sedangkan pengangguran

berkurang 140 ribu orang.

Sejalan dengan naiknya jumlah angkatan kerja, Tingkat Partisipasi

Angkatan Kerja (TPAK) juga meningkat. TPAK pada Februari 2018 tercatat

sebesar 69,20 persen, meningkat 0,18 persen poin dibanding setahun yang lalu.

Kenaikan TPAK memberikan indikasi adanya kenaikan potensi ekonomi dari sisi

pasokan (supply) tenaga kerja.

Berdasarkan jenis kelamin, terdapat perbedaan TPAK antara laki-laki dan

perempuan. Pada Februari 2018, TPAK laki-laki sebesar 83,01 persen sedangkan

TPAK perempuan hanya sebesar 55,44 persen. Namun demikian, dibandingkan

dengan kondisi setahun yang lalu, TPAK perempuan meningkat sebesar 0,40

persen poin sedangkan TPAK laki-laki menurun 0,04 persen poin.


3

Data dari Badan Pusat Statistik Indonesia diatas berbanding lurus dengan

keadaan ketenagakerjaan di Provinsi Sumatera Barat. Hal tersebut dapat dilihat

dari Berita Resmi Statistik Badan Pusat Statistik Provinsi Sumatera Barat.

Keadaan Ketenagakerjaan Sumatera Barat Februari 2018, No.

28/05/13/Th XXI, 07 Mei 2018: Jumlah angkatan kerja pada Februari 2018

sebanyak 2,74 juta orang, naik 124,40 ribu orang dibanding Februari 2017

(setahun yang lalu). Komponen pembentuk angkatan kerja adalah penduduk yang

bekerja dan pengangguran. Pada Februari 2018, sebanyak 2,59 juta orang

penduduk bekerja sedangkan sebanyak 152,24 ribu orang menganggur. Dibanding

setahun yang lalu, jumlah penduduk bekerja bertambah sebanyak 124,06 ribu

orang dan pengangguran bertambah 341 orang.

Naiknya jumlah angkatan kerja, diiringi dengan meningkatnya Tingkat

Partisipasi Angkatan Kerja (TPAK). TPAK pada Februari 2018 tercatat sebesar

72,80 persen, naik sebesar 2,38 poin dibanding setahun yang lalu. Peningkatan

TPAK memberikan indikasi adanya kenaikan potensi ekonomi dari sisi pasokan

(supply) tenaga kerja.

Berdasarkan jenis kelamin, terdapat perbedaan TPAK antara laki-laki dan

perempuan. Pada Februari 2018, TPAK laki-laki sebesar 83,30 persen sementara

TPAK perempuan hanya sebesar 64,38 persen. Dibandingkan dengan kondisi

setahun yang lalu, baik TPAK laki-laki maupun perempuan mengalami

peningkatan, masing-masing sebesar 3,25 poin dan 11,45 poin.


4

Dari data diatas dapat dilihat jumlah tenaga kerja wanita di Indonesia

dalam pembahasan ini di Provinsi Sumatera Barat. Dapat disimpulkan pekerjaan

dan usaha yang dilakukan oleh wanita di Sumatera Barat cenderung mengalami

peningkatan.
5

Tenaga kerja di Indonesia terlebih lagi wanita ada yang memiliki status

sebagai seorang istri ataupun seorang ibu. Tenaga kerja tersebut dapat dikatakan

memiliki peran ganda. Menurut Anoraga (dalam Oktarianti, 2012) perempuan

yang berperan ganda adalah mereka yang memiliki peran sebagai perempuan

pekerja secara fisik dan psikis, baik di sektor pemerintahan maupun swasta

dengan tujuan mendatangkan suatu kemajuan dalam kariernya, sekaligus berperan

juga sebagai ibu dan istri yang bertanggung jawab mengurus rumah tangga.

Tuntutan tanggung jawab mereka akan menjadi bertambah dengan adanya

kehidupan baru yang mereka miliki. Sehingga dengan ada dua peran yang

disandang oleh wanita apakah sebagai istri, ibu bagi anak-anak, atau sebagai

petugas pada suatu instansi kesehatan membuat harapan dan tuntutan kerja sering

terabaikan. Kadang kala antara harapan dengan tuntutan dalam bekerja tidak

tercapai dengan baik. Tuntutan atau harapan berbagai peran yang dimainkan

dapat menyebabkan petugas mengalami konflik peran (Henslin, dalam Pakpahan,

2014).

Dalam menjalani dua peran sekaligus, sebagai seorang pekerja sekaligus

sebagai ibu rumah tangga, tidaklah mudah. Karyawan wanita yang telah menikah

dan punya anak memiliki peran dan tanggung jawab yang lebih berat daripada

wanita single. Peran ganda pun dialami oleh wanita tersebut karena selain

berperan di dalam keluarga, wanita tersebut juga berperan di dalam karirnya.

Konflik pekerjaan-keluarga menjelaskan terjadinya benturan antara tanggung

jawab pekerjaan dirumah atau kehidupan rumah tangga (Frone, Russel, & Cooper,

1994, hal: 54).


6

Menurut Putrianti (2007) banyak persoalan yang dialami oleh para wanita

(ibu rumah tangga) yang bekerja di luar rumah, seperti mengatur waktu dengan

suami dan anak hingga mengurus tugas-tugas rumah tangga dengan baik. Ada

yang dapat menikmati peran gandanya, namun ada yang merasa kesulitan hingga

akhirnya persoalan-persoalan rumit kian berkembang dalam kehidupan sehari-

hari.

Pegawai yang bekerja sebagai petugas kesehatan rentan mengalami

konflik peran ganda dan dapat mengalami penurunan pada kinerja akibat beratnya

beban kerja yang dirasakan, dari pekerjaan kantor yang harus segera diselesaikan

dan sampai pekerjaan lembur yang dikerjakan oleh karyawan, hal ini sesuai dari

penelitian (Sorongan, dkk., 2015). Bahwa karyawan mengeluh tentang pekerjaan

yang harus mereka selesaikan sedangkan deadline terlalu cepat, sehingga mereka

harus sering lembur. Kurangnya informasi dan kejelasan peran serta tugas-tugas

bagi orang-orang dalam peranan kerja mereka, beban kerja yang berlebih tersebut

menyebabkan benturan-benturan atau tekanan-tekanan yang terjadi pada dirinya

yang dapat menimbulkan stress bagi karyawan dan cenderung menimbulkan

konflik peran.

Dilema yang dihadapi wanita karir atau ibu bekerja yang mengalami

kesulitan dalam meluangkan waktu untuk dapat mengasuh anak, menjemput anak

disekolah, dan kadang bahkan mengalami kesulitan untuk merawat anak yang

sedang sakit sehingga membuat ibu yang bekerja mengalami dilema dimana

mereka harus tetap mengurus anak dan harus merawat anak yang sedang sakit dan

mendidik anak, tetapi disisi lain mereka juga harus tetap masuk bekerja karena
7

tuntutan pekerjaan dan juga harus tetap menjalankan tugas mereka sebagai

seorang karyawati. hal tersebut membuat ibu yang bekerja mengalami dilema

untuk dapat memprioritaskan mana yang lebih untama sehigga ini dapat memicu

konflik peran ganda pada ibu yang bekerja. Hal ini sesuai dari data menurut

(Apollo & Cahyadi, 2012) perempuan yang aktif bekerja sulit menjalankan tugas

sebagai istri dan berfungsi sebagai ibu dalam hal mengasuh, merawat, mendidik,

dan mencurahkan kasih sayang kepada anak-anaknya secara penuh. Misalnya saja

harus tetap masuk kerja walaupun anak sedang sakit, atau terpaksa mengerjakan

pekerjaan kantor ketika sedang bersantai bersama keluarga.

Menurut Sekaran (dalam Almasitoh, 2011) ada beberapa hal yang

menyebabkan terjadinya konflik peran ganda, yaitu pengasuhan anak dan bantuan

pekerjaan rumah tangga, komunikasi dan interaksi dengan keluarga, waktu untuk

keluarga, penentuan prioritas sebagai seorang istri, dan tekanan karir dan

keluarga.

Menurut Huppert (dalam Purwanto, 2015) mengatakan bahwa

psychological well being adalah mengenai hidup yang berjalan dengan well

(baik), yang merupakan gabungan dari perasaan baik dan bagaimana individu

berfungsi secara efektif. Kurang mampunya ibu yang mengalami konflik peran

ganda dalam menangani tekanan pekerjaan dan tekanan keluarga dapat

dipengaruhi oleh psycholigal well being karena ibu yang memiliki psychological

well being yang baik dan dapat berfungsi secara efektif dapat meringankan koflik

peran ganda yang dirasakan.


8

Ryff (1995) menyatakan bahwa jiwa yang sejahtera menggambarkan

seberapa positif individu menghayati dan menjalani fungsi-fungsi psikologisnya.

Individu yang jiwanya sejahtera tidak hanya sekedar bebas dari tekanan atau

masalah-masalah psikis tetapi memiliki penilaian positif terhadap dirinya mampu

bertindak secara mandiri serta tidak mudah terpengaruh oleh lingkungan.

Ibu yang mengalami konflik peran ganda kemungkinan kurang mampu

dalam menjalankan hal-hal positif dalam hidupnya, karena kurang mampu

menjalankan hal-hal positif tersebut sehingga dapat membuat psychological well

being yang dirasakan rendah dan dapat membuat ibu yang bekerja lebih mudah

mengalami konflik peran ganda, hal ini sesuai dengan penelitian dari (Sianturi &

Zulkarnain, 2013).

Tinggi rendahnya konflik peran ganda perempuan diduga dapat

dipengaruhi oleh berbagai faktor salah satu faktor yang mempengaruhi adalah

Psychological well being. Semakin tinggi tingkat work-family conflict seseorang

maka semakin rendah tingkat kesejahteraan psikologis. Psychological well being

yang dirasakan oleh individu dapat mengurangi konflik peran ganda yang di

rasakan, karena Psychological well being memainkan peranan penting pada proses

konflik peran yang di rasakan dalam pekerjaan baik di luar rumah sebagai

perempuan karir maupun dalam rumah sebagai istri atau ibu. Hasil penelitian dari

(Sianturi & Zulkarnain, 2013) menunjukkan bahwa work-family conflict

merupakan salah satu faktor yang berperan dalam kebahagiaan karyawan.


9

Kesejahteraan Psikologis (Psychological Well-being) (menurut Ryff dan

Singer dalam Yulius, 2014), adalah suatu konsep yang terbentuk dari berbagai

pengalaman dan fungsi-fungsi individu sebagai manusia yang utuh. Well-being

merupakan keinginan semua manusia namun tidak semua manusia dapat

mencapai kesejahteraan psikologisnya (psychological well-being) terutama kaum

minoritas (Schmitt dan Branscombe dalam Dewi, 2014).

Menurut Campbell (dalam Dewi, 2014) psychological well-being adalah

suatu kondisi individu tanpa adanya distress psikologis. Distress merupakan

keadaan sakit secara fisik dan psikologis yang merupakan salah satu indikator

utama dalam kesehatan mental. Distress psikologi dan kesejahteraan dapat

dipengaruhi oleh masyarakat, lingkungan sekitar, dan ketahanan individu secara

mental dalam menghadapi kecemasan dan depresi. Hal ini juga diperkuat dengan

pendapat Ryff & Singer (Papalia, Olds & Feldman, 2009) bahwa kesehatan

mental bukan saja merupakan ketiadaan akan penyakit mental.

Kesehatan mental yang positif melibatkan suatu perasaan sejahtera dari

sisi psikologis, yang berjalan beriringan dengan perasaan sehat. Perasaan subjektif

akan kesejahteraan, atau kebahagiaan, merupakan penilaian seseorang akan

kehidupannya (Diener, dalam Papalia, Olds & Feldman, 2009).


10

Psychological well-being dapat menjadikan gambaran mengenai level

tertinggi dalam fungsi individu sebagai manusia dan apa yang diidam-idamkannya

sebagai makhluk yang memiliki tujuan dan akan berjuang untuk tujuan hidupnya

(Snyder and Lopez dalam Dewi, 2014). Individu yang merasa sejahtera akan

mampu memperluas persepsinya di masa mendatang dan mampu mambentuk

dirinya sendiri (Fredrickson dalam Dewi, 2014). Adanya perasaan sejahtera dalam

diri akan membuat individu untuk mampu bertahan serta memaknai kesulitan

yang dialami sebagai pengalaman hidupnya.

Ryff (dalam Yulius, 2014) menjelaskan bahwa psychological well-being

adalah suatu kondisi seseorang yang bukan hanya bebas dari tekanan atau

masalah-masalah mental saja tetapi, lebih dari itu yaitu kondisi seseorang yang

mempunyai kemampuan penerimaan diri (self-acceptance), pengembangan atau

pertumbuhan diri (personal growth), keyakinan hidup bermakna (purpose in life),

memiliki kualitas hubungan positif dengan orang lain (positive relationship with

other), kapasitas untuk mengatur kehidupannya dan lingkungannya secara efektif

(Environmental Mastery), dan dimensi kemampuan untuk menentukan tindakan

sendiri (Autonomy).
11

Wawancara yang dilakukan dengan beberapa orang petugas di Puskesmas

Unit Biaro Kabupaten Agam pada tanggal 7 Oktober 2019, ditemukan bahwa

dalam melakukan sebuah pekerjaan dibutuhkan kemampuan dan keterampilan,

petugas wanita di Puskesmas Unit Biaro Kabupaten Agam dituntut agar dapat

menyelesaikan pekerjaan, tuntutan pekerjaan berhubungan dengan tekanan yang

berasal dari beban kerja dan pekerjaan yang harus diselesaikan terburu-buru dan

deadline, selain itu pekerjaan yang dilakukan harus memiliki dampak positif bagi

orang lain didalam maupun diluar organisasi. Ditambah dengan adanya tuntutan

dalam keluarga serta menjalankan tugas sebagai istri, dan menjadi ibu bagi anak-

anak, mereka harus membagi waktu untuk bekerja dan keluarga, jika mereka

terlalu lama bekerja maka anak-anaknya akan marah karena merasa tidak

diperhatikan. Bahkan beberapa dari wanita yang bekerja menitipkan anaknya di

rumah orang tua atau mertuanya dan menjemput mereka setelah jam kantor usai.

Karena kesibukan itu, waktu untuk berkumpul dengan keluarga menjadi

berkurang, bahkan komunikasi dalam rumah tangga. Kesibukan-kesibukan yang

dilakukan oleh wanita seperti yang diparkan diatas umumnya akan menyebabkan

konflik peran ganda.


12

Sepengetahuan peneliti, penelitian tentang Hubungan antara Psychological

Well-Being dengan Konflik peran ganda sudah pernah dilakukan oleh peneliti lain

sebelumnya, seperti penelitian oleh Danang dan Nailul (2019) “Hubungan Antara

Kesejahteraan Psikologis Dengan Konflik Peran Ganda Pada Wanita Yang

Bekerja Sebagai Polisi Di Polrestabes Semarang”. Dan Thesis oleh Nur Kumala

Sari pada tahun (2016) “hubungan Psychological Well-Being Dengan Konflik

Peran Ganda Pada Karyawati Yang Bekerja di Bank Kaltim Kota Samarinda”.

Perbedaan penelitian yang akan peneliti lakukan dengan penelitian-penelitian

sebelumnya terletak pada tempat penelitian, subjek penelitian dan tahun

penelitian.

Berdasarkan latar belakang masalah yang telah peneliti kemukakan di atas

maka peneliti tertarik untuk melakukan penelitian dengan judul “Hubungan antara

Psychological Well-Being dengan Konflik Peran Ganda pada Petugas Kesehatan

Wanita di Puskesmas Unit Biaro Kabupaten Agam.


13

B. Rumusan Masalah

Dari latar belakang masalah yang dipaparkan di atas, maka rumusan

masalah yang diajukan dalam penelitian ini adalah Apakah terdapat hubungan

antara Psychological Well-Being dengan konflik peran ganda pada petugas

wanita di Puskesmas Unit Biaro Kabupaten Agam ?

C. Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk, mengetahui hubungan antara Psychological

Well-Being dengan konflik peran ganda pada petugas wanita di Puskesmas Unit

Biaro Kabupaten Agam.

D. Manfaat Penelitian

1. Manfaat Teoritis

Secara teoritis diharapkan penelitian ini dapat memperkaya

pengetahuan dan perluasan teori untuk ilmu psikologi, khususnya di

bidang psikologi kesehatan, psikologi industri dan organisasi yang

berfokus pada hubungan Psychological Well-Being dengan konflik

peran ganda pada petugas. Dapat memperkaya wawasan mengenai

Psychological Well-Being dengan konflik peran ganda dan bagaimana

hubungan antara keduanya. Selain itu penelitian ini diharapkan dapat

menjadi sumber referensi baru untuk bahan penelitian selanjutnya.


14

2. Manfaat Praktis

a. Bagi Petugas wanita yang memiliki peran ganda

penelitian ini dapat menjadi bahan masukan yang bermanfaat untuk

wanita yang memiliki peran ganda bisa lebih mengerti mengenai

hubungan kesejahteraan psikologis (Psychological Well-Being) dengan

konflik peran ganda (work family conflict) pada petugas yang bekerja di

di Puskesmas Unit Biaro Kabupaten Agam. Selain itu dapat diperoleh

mengenai tingkat dari psychological well-being dan tingkat work family

conflict yang dapat disampaikan pada intsansi yang bersangkutan.

b. Bagi instansi yang bersangkutan

Bagi intansi yang bersangkutan untuk dapat mempertahankan

karakteristik pekerjaan dengan baik, sehingga petugas dapat bekerja

dengan baik dan produktif.

c. Bagi peneliti selanjutnya

bagi peneliti selanjutnya yang berminat mengambil tema yang sama

diharapkan dapat mempertimbangkan variabel-variabel lain yang yang

lebih mempengaruhi dan dapat menggunakan teori- teori yang lebih

terbaru dan dapat membantu peneliti selanjutnya dalam melakukan

penelitian dengan judul yang sama dan sebagai referensi agar dapat

mempermudah bagi peneliti selanjutnya.

Anda mungkin juga menyukai