Anda di halaman 1dari 6

PENGARUH WORK – FAMILY CONFLICT, STRES KERJA, WORK LIFE

BALANCE TERHADAP KINERJA KARYAWAN WANITA


BAB 1
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pola keluarga produktif mulai menggantikan pola keluarga tradisional sebagai model
keluarga dominan model, menyebabkan pergeseran model keluarga (Contzen & Forney,
2017; Vrontis, Bresciani & Giacosa, 2016; Anand & Vohra, 2019; Barnett, Brennan & Lee,
2018). Pola keluarga tradisional, yang ditandai dengan peran laki-laki sebagai pencari nafkah
dan peran perempuan sebagai pengasuh dan ibu rumah tangga. Asumsi tradisional
menganggap seorang wanita tidak membutuhkan menuntut ilmu setinggi-tingginya karena
pada akhirnya perempuan hanya menjadi ibu rumah tangga. Yang seperti itu ketika seorang
wanita mencoba menyalurkan bakatnya dengan bekerja, mereka cenderung dikucilkan oleh
masyarakat sekitar dan dianggap mengesampingkan kewajibannya sebagai ibu rumah tangga.
Seiring dengan perkembangan zaman, stigma yang berkembang di masyarakat perlahan
mulai menjadi tergeser oleh pemikiran yang lebih modern. Dengan persamaan hak dalam
kehidupan sosial antara laki-laki dan wanita, banyak dari wanita yang mulai mengembangkan
bakatnya salah satunya dengan bekerja di luar rumah (Nasir & Lilianti, 2017; Abidin, 2017;
Watie, 2010; Priandi & Roisah, 2019; Asbari, 2015).
Dalam era serba modern seperti sekarang ini, bukan menjadi hal yang tabu jika seorang
wanita turut mengambil alih dalam tugas menghidupi keluarga dan tidak sedikit wanita yang
menjadi pemimpin di suatu organisasi bahkan mampu memimpin negara. Di masa lampau
wanita sering kali dianggap, bahkan menganggap diri sendiri lebih rendah atau bergantung
kepada pria. Sekarang masyarakat harus menerima kenyataan bahwa wanita mampu bekerja
dan mempunyai karir yang memuaskan seperti pria. Beberapa dorongan yang membuat
banyaknya wanita yang menjadi pekerja di antaranya adalah faktor ekonomi,pemenuhan
standar hidup yang layak serta peningkatan permintaan tenaga kerja wanita
(Chayaningdyah,2009). Masuknya wanita ke dalam dunia kerja menyebabkan perubahan baik
dalam masyarakat, keluarga dan kehidupan individu yang bersangkutan. Adanya dua pekerja
dalan satu keluarga (suami istri) menyebabkan peningkatan dalam hal kesejahteran ekonomi
keluarga dan masyarakat. Dua pendapatan diharapkan dapat memenuhi segala kebutuhan
rumah tanggatermasuk biaya pendidikan anak. Bekerja bagi kaum wanita selain menjadi
tuntutan kebutuhan ekonomi juga karena faktor sosial yang diciptakan oleh lingkungan.
Pergeseran peran wanita dari seorang ibu rumah tangga atau seorang istri menjadi wanita
bekerja menjadikan banyak keluarga mempunyai dual career (Wirakristama, 2011). Work-
family conflict timbul karena adanya ketidakseimbangan antara peran sebagai karyawan
dengan peran sebagai anggota keluarga.Ching (dalam Rantika dan Sunjoyo,2011). Hal ini
ditegaskan oleh Burke (dalam Latifah, 2008) yang mengemukakan bahwa tenaga, waktu dan
perhatian diperlukan untuk dapat sukses dalam satu peran (peran pekerjaan atau peran
keluarga) menyebahkan kekurangan tenaga, waktu dan perhatian terhadap peran yang lainnya
sehingga menghasilkan konflik antara dua peran tersebut. Dengan kata lain bahwa waktu dan
tenaga yang dihabiskan untuk mengembangkan pekerjaan adalah waktu dan tenaga yang
tidak dihabiskan untuk mengembangkan kesuksesan dalam kehidupan keluarga.
Work-family conflict juga sering timbul ketika dalam pekerjaan menuntut lebih atau
membutuhkan lebih banyak perhatian daripada peran dalam keluarga. Tidak dipungkiri,
konflik ini menimbulkan berbagai masalah yang mempengaruhi kehidupan keluarga dan
pekerjaan wanita tersebut, di satu sisi wanita dituntut untuk bertanggung jawab dalam
mengurus dan membina keluarga secara baik, di sisi lain sebagai seorang pekerja, wanita
dituntut untuk bekerja sesuai dengan standar kinerja yang baik. Namun, tidak semua dari
mereka bisa menyelaraskan peran dalam pekerjaan dengan peran dalam keluarga, yang
berujung terjadinya work-family conflict. Netmeyer, Mc Murrian & Boles (1996)
mengemukakan terdapat pertentangan tanggung jawab peran dari pekerjaan dan keluarga
yang menyebabkan konflik. Work family conflict memiliki hubungan dengan dampak yang
negatif terhadap pekerjaan dalam hal kepuasan kerja, burnout kerja, dan turnover (Greenhaus,
Parasuraman & Collins, 2001; Howard, Donfrio, & Boles, 2004) yang juga berhubungan
dengan distress kerja, kehidupan, dan kepuasan pernikahan (Kinnunen & Mauno 1998).
Work family conflict terjadi ketika adanya harapan yang bertentangan yang dirasakan oleh
individu terhadap peran-peran yang dimilikinya sehingga pemenuhan kebutuhan sulit untuk
dipenuhi (Newcomb, 1981).
Greenhaus & Beutell (1985) menggambarkan jenis konflik yang terkait dengan dilema
peran perempuan antara rumah tangga dan bekerja. Pertama, konflik berbasis waktu, yaitu
konflik yang terjadi karena penggunaan waktu untuk memenuhi satu peran dan tidak dapat
digunakan untuk memenuhi peran lain, termasuk pembagian waktu, energi dan peluang
antara peran pekerjaan dan rumah tangga (Allen et al, 2019). Kedua, konflik berbasis
ketegangan, yang mengacu pada munculnya ketegangan atau keadaan emosional yang yang
dihasilkan oleh satu peran menyulitkan seseorang untuk memenuhi tuntutan peran lainnya.
Misalnya, seorang ibu yang bekerja seharian akan merasa lelah, dan itu membuatnya sulit
untuk duduk dengan nyaman bersama anak untuk menyelesaikan pekerjaan rumahnya.
Ketiga, konflik berbasis perilaku, adalah konflik yang muncul ketika ekspektasi terhadap
suatu perilaku berbeda dengan ekspektasi dari perilaku peran lainnya. Ketidaksesuaian
perilaku individu saat bekerja dan saat berada di rumah, yang disebabkan oleh perbedaan
perilaku wanita karir biasanya sulit untuk mengubah antara peran yang dia jalani satu sama
lain (Ohu et al, 2019; Prancis & Allen, 2019; Conte dkk, 2019; Bettac & Probst, 2019; Pan &
Yeh, 2019; Khursheed dkk, 2019; Zang, Rasheed & Luqman, 2019; Reimann, Marx &
Diewald, 2019).
Wanita dijadikan sebagai objek penelitian karena wanita yang bekerja dan berkeluarga
dihadapkan pada peran ganda. Dalam menjalani kehidupannya, beberapa wanita tetap
menjalankan tugasnya sebagai ibu rumah tangga yang baik dan menjalankan pekerjaan
domestiknya, seperti mencuci, memasak, menyetrika, memandikan anak dan lain sebagainya.
Tetapi, diluar tugas domestiknya sebagai ibu rumah tangga, ia tetap menjalankan
kewajiibannya sebagai pekerja di sektor,publik. (www.Kompasiana.com).Timbulnya masalah
dalam kedua peran yang dijalaninya itu bisa memicu tingkat stres para wanita tersebut.
Adanya intensitas peran ganda yang tinggi menjadi penyebab menurunnya kinerja karena
wanita bekerja akan mengalami depresi, peningkatan keluhan fisik dan tingkat energi yang
rendah. Dari hasil penelitian Sianturi dan Zulkarnain (2013) menunjukkan banyak
konsekuensi negatif yang disebabkan oleh konflik peran ganda yang dijalani oleh seseorang,
tidak hanya berakibat pada dirinya sendiri tapi juga berakibat pada sikap kerja, keluarga, dan
kehidupan sosialnya. Menurut Gibson (dalam Ilyas 2001), kinerja dipengaruhi oleh beberapa
hal, salah satunya adalah faktor psikologis yang terdiri dari, peran, sikap, kepribadian,
motivasi, dan kepuasan kerja. Faktor psikologis di dalamnya tercakup pula konflik peran,
dalam hal ini peran ganda pada perawat wanita yang sudah menikah. Work-Family Conflict
akan menurunkan kinerja, produktivitas dan kepuasan kerja menurut Rohmah(2015).
Kepuasan kerja merupakan keadaan pikiran yang positif, bahagia dan selalu bekerja keras,
karyawan yang bekerja keras dan memiliki perasaan sengan terhadap pekerjaannya
merupakan aset dalam organisasi, mereka akan menghasilkan kinerja dan citra yang baik bagi
organisasi (Bashir dan Ramay, 2010). Dalam penelitian Churiyah (2011) menyatakan adanya
hubungan negatif antara work-family conflict dan kepuasan kerja yang akan berdampak pada
kinerja. Sedangkan pengertian kinerja menurut Bangun (2012) kinerja karyawan
(performance) adalah hasil pekerjaan yang dicapai seseorang berdasarkan persyaratan-
persyaratan pekerjaan. Penelitian ini diharapkan mampu memperluas wawasan dan
pemahaman tentang work-family conflict serta pengaruhnya terhadap kepuasan kerja yang
berkaitan dengan tingkat kinerja karyawan dalam pekerjaannya.
Menurut De Vries (2011) work family conflict sering timbul karena pekerjaan yang
memiliki jam kerja tidak fleksibel, tidak teratur, jam kerja yang panjang, serta beban kerja
yang tinggi, stres pekerjaan yang dialami, konflik personal di tempat kerja, perjalanan dinas,
perubahan karir, atau atasan organisasi yang tidak supportif dapat berpengaruh terhadap
pelaksanaan tanggung jawab terhadap keluarga. Keadaan ini dapat mengganggu pikiran
maupun mental karyawan saat bekerja pada puncaknya, dapat menimbulkan stres kerja pada
karyawan. Dengan kata lain, tuntutan yang datang dari pekerjaan dan keluarga melebihi
kapasitas yang dimiliki karyawan dapat meningkatkan ketegangan. Sesuai dengan hasil
penelitian yang dilakukan oleh Sudibya (2018) yang menjelaskan ketika work conflict family
meningkat maka hal tersebut akan mempengaruhi peningkatan pada stres kerja karyawan.
Stres kerja adalah pola emonsional perilaku kognitif dan reaksi psikologis terhadap aspek
yang merugikan dan berbahaya dari setiap pekerjaan, organisasi kerja dan lingkungan kerja
(Venalnampy, 2013). Namun menurut Gaol (2014:65), stres kerja merupakan istilah yang
merangkumi tekanan, beban, konflik, keletihan, panik, perasaan gemuruh, anxiety,
kemurungan dan hilangnya daya. Stres kerja merupakan suatu keteganan yang dapat
menciptakan ketidak seimbangan fisik dan psikis yang mempengaruhi emosi, kondisi dan
proses berpikir seorang karyawan. Menurut Lazarus dalam Lumonga (2009:17) bentuk stres
dapat terbagi menjadi dua macam, yaitu: Distress dan Eustress. Secara sederhana, stres yang
terjadi pada karyawan dapat bersifat destruktif (merusak) ataupun konstruktif (membangun)
tergantung dari seberapa besar tingkat stres dan tergantung bagaimana karyan
mempersepsikan, menafsirkan, dan memberikan tanggapan terhadap permasalahan yang
terjadi. Pada penelitian ini indikator stres kerja menggunakan distress dalam pengukuran stres
kerja. Bagi sebagian orang, tingkat kualitas stres yang rendah sampai sedang masih
memungkinkan karyawan untuk bekerja dengan baik, tetapi tingkat stres yang tinggi atau
stres yang berkepanjangan menyebabkan kinerja karyawan menurun (Robbins dan Judge,
2014). Stres kerja merupakan beban kerja yang berlebihan, perasaan susah dan ketegangan
emosional yang dapat menghambat performance atau kinerja individu (Robbins dalam
Almasitoh, 2011). Menurut Mangkunegara (2009:195) Kinerja karyawan adalah hasil kerja
secara kuantitas dan kualitas yang dicapai oleh seseorang karyawan dalam melaksanakan
tugasnya sesuai dengan tanggung jawab yang diberikan kepadanya. Menurut Sinambella
(2017:480), Kinerja karyawan sebagai kemampuan karyawan dalam melakukan sesuatu
keahlian tertentu. Suatu pekerjaan memiliki persyaratan dalam mencapai tujuan yang disebut
sebagai standart pekerjaan (Setyawan, 2016). Kinerja seorang karyawan di tempat kerjanya
adalah menjadi titik terpenting bagi semua organisasi terlepas dari semua faktor dan kondisi.
Akibatnya karyawan dianggap sebagai aset yang penting bagi perusahaan karena faktor
penentu untuk keberhasilan suatu organisasi yang bersangkutan adalah produktivitas tenaga
kerja (Kishori &B.vinothini, 2016). Di zaman yang sangat dinamis ini kinerja yang baik dari
karyawan dapat mengarah pada kinerja perusahaan yang baik sehingga pada akhirnya
membuat perusahaan lebih sukses dan efektif.
Dari penelitian-penelitian yang dilakukan sebelumnya hubungan antara work family
conflict atau konflik peran ganda sangat berpengaruh positif dan signifikan terhadap stres
kerja, yang artinya ketika work family conflict meningkat akan mempengaruhi peningkatan
pada stres kerja karyawan. Menurut penelitian yang dilakukan oleh Ahmed (2013), stres kerja
memiliki hubungan negatif dengan kinerja karyawan perbankan di Pakistan. Sari, dkk (2015)
menyatakan bahwa stres dapat berpengaruh negatif terhadap kinerja karyawan pada PT. Bank
Rakyat Indonesia (Persero Tbk cabang tuban) artinya bahwa semakin rendah stres dapat
meningkatkan kinerja karyawan. Penemuan penemuan ini menyarankan bahwa wanita
terlibat dalam profesi atau pekerjaan yang sama, maka keduanya berkomitmen serupa dengan
pekerjaan dan kehidupan keluarga mereka. Sedangkan menurut Bernadetta (2012)
menunjukkan bahwa terdapat hubungan positif antara work family conflict terhadap kinerja
karyawan PT. Matahari Kahuripan Indonesia. Menurut Pintauli (2018) pada sektor formal
yang dipilih adalah sektor perbankan di mana karyawan di sektor perbankan memiliki
tekanan yang cukup tinggi, karena mereka harus mampu mencapai target yang ditetapkan
setiap periodenya. Para karyawan diminta untuk dapat memberikan pelayanan terbaik bagi
pelanggan untuk bersaing dengan industri serupa lainnya, tetapi karyawan juga memiliki
tanggung jawab yang lebih tinggi dalam hal mengurus rumah tangga. Menurut Hasanah dan
Suharmono (2016) menjelaskan bahwa dalam sektor perbankan dalam menyelesaikan
tugasnya karyawan perlu melakukan lembur ketika ada tugas atau pekerjaan yang harus
diselesaikan pada hari yang sama dan pekerjaan yang perlu dikerjakan terburu buru
(deadline). Dibutuhkan dedikasi tinggi bagi karyawan untuk dapat membagi waktu dan
perhatian mereka untuk keluarga serta untuk pekerjaan sebagai karyawan. Faktor ini cukup
tinggi untuk menyebabkan dan menimbulkan tekanan pada karyawan.
Pekerja yang menghadapi tantangan WFC mengalami ketidakpuasan kerja, kinerja buruk
pada pekerjaan dan peningkatan niat berpindah (Jarrod, 2008; Akintayo, 2010; Allen, 2012;
Eby et al., 2005; Pardo & Alfonso, 2017). Dengan kata lain, WFC mengurangi kinerja dan
kepuasan pekerja dalam suatu organisasi, yang kemungkinan besar menghambat keseluruhan
produksi dan efisiensi organisasi. WFC mungkin bisa membuat beberapa karyawan berpikir
untuk berhenti dari pekerjaan mereka untuk lebih berkonsentrasi pada peran keluarga mereka.
Itu juga bisa membuat beberapa karyawan wanita kehilangan rumah mereka, sementara
beberapa memilih untuk tetap tidak menikah untuk menghadapi tekanan dan tuntutan
komitmen organisasi dan kinerja pekerjaan di organisasi. Sebuah perusahaan dapat
dianalogikan sebagai tubuh manusia. Jika salah satu dari anggota tubuh terganggu, maka akan
menghambat keseluruhan menyebabkan seluruh tubuh merasa sakit dan menyebabkan
individu tidak dapat berfungsi secara normal. Salah satu komponen penting yang pasti ada di
setiap perusahaan adalah karyawan. Berdasarkan pemaparan diatas, maka peneliti tertarik
untuk mengetahui pengaruh antara keeempat variabel yaitu work family conflict atau konflik
peran ganda, stress kerja dan work life balance yang nantinya dapat mempengaruhi kinerja
pada karyawan Wanita.

DAFTAR PUSTAKA
Wirakrisrama, Richardus Chandra. 2011. Analisis Pengaruh Konflik Peran Ganda(Work
Family Conflict) Terhadap Kinerja Karyawan Wanita Pada PT Nyonya Meneer Semarang
Dengan Stress Kerja Sebagai Variabel Intervening.
Bellavia, G., & Frone, M. (2005). Work-family conflict. In J. Barling, E. K. Kelloway, & M.
Frone (Eds.), Handbook of Work Stress, (pp. 113-147). Sage Publications: Thousand Oaks
Greenhaus, Jeffrey H., & Beutell, Nicholas J. 1985. Sources of Conflict between Work dan
Family Roles . The Academy of Management Review,
Aprilia, Lisa Dwi. Dan Hamidahnayati Utami. Pengaruh Work Family Conflict Terhadap
Kepuasan Kerja Dan Kinerja (Studi Pada Karyawan Wanita Rumah Sakit Pertama Bunda
Malang ) Jurnal Administrasi Bisnis (JAB) Vol. 55 No. 2 Febuari 2018.Hal 49
Arianto Yohanes dkk. 2017. Pengaruh Work Family Conflict Terhadap Kinerja Karyawati Pt
Sinta Pertiwi . jurnal kreatif : pemasaran, sumberdaya manusia dan keuangan, vol. 5, no.1
Ariani Silvia dkk. 2017. Pengaruh Konflik Pekerjaan-Keluarga (Work Family Conflict) Dan
Beban Kerja Terhadap Stres Kerja Dan Kinerja Bendahara Wanita Dinas Pekerjaan Umum
Kabupaten/ Kota Se Pulau Lombok) jurnal magister manajemen universitas mataram vol. 6
no.1
Amaliya Riza, 2015. A Literature Review Work Family Conflict and Subjective Well Being
in Working Woman Factors related to both variable. seminar psikologi & kemanusiaan
Adekanye, E.A. & Nduka, S.C. (2017). Work Family Conflict, Job Satisfaction, and Job
Performance of Female Librarians in Nine Selected Federal Academic Libraries in South-
West, Nigeria. Journal of Applied Information Sciences and Technology. 10(2): 216-227.
Jaistonline.org/10vol2/22.pdf
AlAzzam, M., AbuAlRub, R. F., & Nazzal, A. H. (2017). The Relationship between Work-
Family Conflict and Job Satisfaction among Hospital Nurses. Nursing Forum, 52(4), 278–
288. doi:10.1111/nuf.12199
Pramesthi,Riska Ayu, 2018. Pengaruh Konflik Peran Ganda, Kompensasi, Dan Lingkungan
Kerja Terhadap Kinerja Pekerja Wanita Melalui Komitmen Organisasi Pada Bobbin Ptpn X
Jember.Prosiding 4th Seminar Nasional dan Call for Papers
Rajagukguk, Pater. 2016. Pengaruh Motivasi Dan Komitmen Organisasi Terhadap Kinerja
Pegawai (Study Pada Pt Challenger Tanggerang). Ecodemica, Vol. IV No.1
Cao, J., Liu, C., Wu, G., & Zhao, X. (2020). Work – Family Conflict and Job Outcomes for
Construction Professionals : The Mediating Role of A ff ective Organizational Commitment.
1–24.
Dehghan Nayeri, N., Dibaji Forooshani, Z. S., & Arabloo, J. (2018). The study of work-
family conflict and job satisfaction among nurses’ state hospitals in Tehran city. Electronic
Physician, 10(5), 6864–6867.
Liu, C. C., Li, X., Liu, T., & Chen, Y. W. (2016). Influence of work-family conflict on job
involvement and organizational commitment: The moderating effect of perceived supervisor
support and the mediating effect of job satisfaction. IEEE International Conference on
Industrial Engineering and Engineering Management, 2016-December, 1732–1736.

Anda mungkin juga menyukai