Anda di halaman 1dari 19

HUBUNGAN ANTARA WORK/LIFE BALANCE DAN KOMITMEN

BERORGANISASI PADA PEGAWAI PEREMPUAN


(THE RELATIONSHIP BETWEEN WORK/LIFE BALANCE AND ORGANIZATIONAL
COMMITMENT AMONG WOMEN EMPLOYEE)

Putri Novelia
Iman Sukhirman
Gagan Hartana. T.B.

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk melihat hubungan antara work/life balance dan
komitmen berorganisasi pada pegawai perempuan. Partisipan dalam penelitian ini adalah
pegawai perempuan tetap yang sudah bekerja minimal 1 tahun pada perusahaan X. Untuk
melihat hubungan antara dua variabel, peneliti menggunakan teknik multiple correlation.
Sampel dari penelitian ini berjumlah 87 pegawai perempuan dengan menggunakan accidental
sampling. Hasil uji statistik menunjukkan bahwa tidak terdapat hubungan yang signifikan
antara work/life balance dan komitmen berorganisasi pada pegawai perempuan (r=0.274,
p>0.05).
Kata kunci: komitmen berorganisasi; pegawai perempuan; work/life balance.

Latar Belakang

Berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik DKI Jakarta, jumlah pekerja perempuan
mengalami peningkatan pada Februari 2012 dibandingkan Februari 2011. Menurut Direktorat
Tenaga Kerja dan Olahraga (2011), partisipasi perempuan dalam dunia kerja diprediksi akan
semakin terus meningkat dari tahun ke tahun. Terdapat berbagai alasan yang melandasi
perempuan bekerja. Pertama, adanya tuntutan untuk memenuhi kebutuhan ekonomi keluarga
(Reddy, Vranda, Ahmed, Nirmala, & Siddaramu, 2010), misalnya membantu suami mencari
pemasukan tambahan bagi keluarga, menjadi single parent sehingga harus menjadi tulang
punggung keluarga (Lazăr, Codruţa, & Patricia, 2010), atau untuk memenuhi kebutuhan
pribadi jika belum menikah. Hal ini juga didukung oleh Ford, Heinen, dan Langmaker (2007)
yang menyatakan bahwa tekanan ekonomi yang terjadi pada beberapa dekade terakhir ini
menjadi salah satu penyebab perempuan terjun ke dunia kerja. Kedua, latar belakang
pendidikan yang dimiliki perempuan menjadikan bekerja sebagai bentuk aktualisasi dirinya.
Hal ini sejalan dengan pendapat Matlin (2008) yang menyatakan bahwa salah satu prediktor
terbaik perempuan bekerja adalah latar belakang pendidikan yang ia miliki. Ketiga, adanya

UNIVERSITAS INDONESIA 1

hubungan antara..., Putri Novelia, FPsi-Ui, 2013


perubahan komposisi lingkungan kerja yang cukup drastis karena organisasi mulai
berkembang secara global dan memanfaatkan teknologi yang canggih untuk meningkatkan
produktifitas (Hitt, dalam Clarke & Anne, 2002). Perubahan ini membuat organisasi
membutuhkan sumber daya yang dapat menampilkan performa kerja yang baik dan
berkomitmen terhadap organisasi (Hughes & Bozionelos, 2007). Hal ini tentu saja berdampak
pada semakin tingginya kebutuhan sumber daya manusia di dalamnya dan membuat
organisasi tidak lagi memberikan batasan yang jelas antara pekerjaan yang harus dilakukan
oleh laki-laki dan pekerjaan yang harus dilakukan oleh perempuan, oleh karena itu jenis
kelamin bukan lagi menjadi pertimbangan utama bagi organisasi untuk menempatkan
seseorang pada pekerjaan tertentu.

Ada beberapa manfaat yang didapat perempuan ketika bekerja, misalnya adanya
kesempatan untuk mengaktualisasikan diri, meningkatkan self esteem, dan tercapainya
kepuasan hidup (Matlin, 2008). Akan tetapi, hal ini juga memiliki efek negatif yang
berhubungan dengan stress dan ketegangan dalam kehidupan keluarga yang disebabkan oleh
sulitnya memenuhi semua tanggung jawab peran perempuan yang berbeda-beda, baik di
pekerjaan ataupun di luar pekerjaan (Matlin, 2008).

Sulitnya memenuhi permintaan yang sesuai dengan peran menyebabkan munculnya


konflik dalam kehidupan perempuan (Posig & Kickul, 2004) sehingga dapat meningkatkan
pengalaman terjadinya work/life conflict (Friedman, Christensen, & DeGroot, 1998).
Work/life conflict merupakan kondisi ketika seseorang mengalami tekanan di saat harus
memilih menjalankan perannya dalam dunia kerja atau perannya di luar pekerjaan (Greenhaus
& Beutell dalam Schabracq, Winnubst, & Coope, 2003). Tekanan dan konflik yang terjadi ini
merupakan akibat dari adanya ketidakcocokkan antara pekerjaan dan kehidupan pribadi yang
menjadi salah satu penyebab utama perempuan melepaskan jabatannya (Wang, Lin, & Tsai,
2012).

Duffield, Pallas, dan Aitken (2004) mengatakan bahwa hanya perempuan yang
memiliki keseimbangan antara kerja dan kehidupan pribadinya yang dapat melanjutkan
pekerjaannya. Adanya keseimbangan antara kehidupan pekerjaan dan kehidupan di luar
pekerjaan seperti keluarga, sosial, dan komunitas disebut dengan work/life balance. Konsep
work/life balance telah banyak digunakan dalam praktik organisasi, namun untuk penelitian
ilmiahnya sendiri masih relatif sedikit karena alat yang digunakan untuk mengukur work/life
balance baru dikembangkan pada tahun 2001 oleh Fisher. Selain itu, konsep work/life balance
ini pada awalnya dikembangkan untuk mengurangi konflik yang terjadi antara kehidupan

UNIVERSITAS INDONESIA 2

hubungan antara..., Putri Novelia, FPsi-Ui, 2013


pekerjaan dan keluarga (work/family conflict) karena konflik tersebut dapat berdampak bagi
efektivitas organisasi.

Konsep work/life balance yang digunakan pada penelitian ini adalah konsep dari
Fisher (2001) yang menyatakan bahwa work/life balance merupakan sumber stress bagi
pekerjaan yang memiliki empat isu utama, yaitu waktu, perilaku, ketegangan (strain), dan
energi. Keseimbangan antara kehidupan pekerjaan dan kehidupan di luar pekerjaan terjadi
jika individu mampu mengalokasikan waktu dan energi yang dimiliki tidak hanya untuk
bekerja tetapi juga untuk kehidupan di luar pekerjaannya. Selain itu, adanya pencapaian
tujuan yang diharapkan dalam dunia kerja atau dunia di luar pekerjaan pun juga harus
terpenuhi. Dengan kata lain bahwa keseimbangan dapat terpenuhi ketika individu
mempersepsi bahwa ia mampu memenuhi kebutuhan pekerjaannya tanpa harus mengganggu
pemenuhan kebutuhan di luar pekerjaannya, begitu pula sebaliknya.

Persepsi akan keseimbangan ini juga memiliki implikasi terhadap sikap, perilaku, dan
kesejahteraan pegawai yang juga berpengaruh terhadap efektivitas organisasi. Ketika pegawai
mempersepsikan bahwa tidak ada keseimbangan dalam hidupnya karena banyak waktu yang
tersita oleh pekerjaan, maka hal ini akan membuat pegawai mencoba mempertimbangkan
alternatif pekerjaan lain yang memungkinkan mereka untuk menyeimbangkan peran di
pekerjaan dan rumahnya (Posig & Kickul, 2004). Menurut Kaiser, Ringlstetter, Rindl, dan
Stolz (2010) keseimbangan antara kehidupan pekerjaan dan luar pekerjaan (work/life balance)
menjadi salah satu faktor yang mempengaruhi komitmen berorganisasi pada pegawai.
Hubungan antara dua variabel ini masih belum dapat dinyatakan secara jelas karena masih
sedikit penelitian tentang hubungan dua variabel ini.

Komitmen berorganisasi diartikan sebagai kondisi psikologis yang dikarakteristikkan


oleh adanya hubungan antara individu dengan organisasi yang memiliki implikasi atas
keputusan individu untuk bertahan atau meninggalkan organisasi (Meyer & Allen,1997).
Kebertahanan individu dalam organisasi mencerminkan keinginan, kebutuhan, dan keharusan
untuk menjaga keberanggotaanya dalam sebuah organisasi.

Berdasarkan studi yang dilakukan di India, perempuan bekerja yang memiliki anak
memiliki komitmen kerja yang relatif lebih rendah dibandingkan perempuan yang belum
memiliki anak karena adanya konflik peran yang dimiliki perempuan (Reddy, Vranda,
Ahmed, Nirmala, & Siddaramu, 2010). Hal ini juga didukung oleh pendapat Thompson,
Beauvais, dan Lyness (1999) yang menyatakan bahwa konflik peran antara pekerjaan dan

UNIVERSITAS INDONESIA 3

hubungan antara..., Putri Novelia, FPsi-Ui, 2013


kehidupan pribadi memiliki hubungan dengan absenteeism, turnover, menurunkan performa
kerja, dan rendahnya komitmen berorganisasi.

Hasil penelitian sebelumnya lebih banyak dilakukan di Eropa dan Amerika, sementara
untuk Asia sendiri khususnya Indonesia masih relatif sedikit. Hubungan antara work/life
balance dan komitmen berorganisasi yang diuji di India memiliki perbedaan ketika diuji di
Filipina. Ditemukan hasil bahwa tidak terdapat hubungan antara work/life balance dengan
komitmen berorganisasi baik pada pegawai perempuan maupun laki-laki (Evangelista, Lim,
Rocafor, & Teh, 2009) karena adanya persepsi pegawai bahwa work/life balance bukan
merupakan faktor penting dalam memutuskan apakah mereka akan bertahan atau
meninggalkan perusahaan tersebut. Adanya obsesi untuk peningkatan karir, promosi
berdasarkan keterampilan yang dimiliki dan mempertimbangkan jumlah bayaran yang mereka
terima adalah alasan mereka untuk bisa bertahan atau meninggalkan perusahaan tersebut.

Masih terbatasnya penelitian mengenai hubungan work/life balance dan komitmen


berorganisasi khususnya di Indonesia membuat peneliti tertarik untuk melakukan penelitian
tentang hal ini. Penelitian yang ada tentang work/life balance di Indonesia hanya mencoba
melihat hubungan antara work/life balance dan employee engagement yang diteliti oleh
Askandar (2011) dan ia menyatakan bahwa terdapat hubungan antara kedua variabel tersebut.
Employee engagement dapat diartikan sebagai kondisi psikologis positif yang berhubungan
dengan pekerjaan, dan memiliki tiga karakteristik yaitu kekuatan, dedikasi, dan absorpsi
(Schaufeli & Bakker, 2003). Berdasarkan penjelasan tersebut, komitmen (dedikasi)
merupakan bagian dari engagement, akan tetapi belum ada satupun penelitian di Indonesia
yang menyatakan secara secara jelas hubungan antara work/life balance dan komitmen
berorganisasi.

Selain itu, adanya perbedaan budaya barat dan luar barat (mis. Asia) mungkin saja
akan menghasilkan penemuan yang berbeda dengan hasil sebelumnya. Menurut Markus dan
Kitayama (1991) budaya luar barat seperti Asia cenderung memiliki konsep diri yang saling
bergantung dengan orang lain. Hal ini berbeda dengan budaya barat yang cenderung lebih
mandiri (independent). Adanya perasaan untuk saling bergantung dengan orang lain akan
mempengaruhi work/life balance perempuan yang bekerja. Ketika perempuan bekerja
mengalami kesulitan dalam rumah tangganya, keterlibatan anggota keluarga lain dalam
menyelesaikan permasalahan perempuan menjadi solusi akan masalah perempuan sehingga
tidak banyak menganggu keseimbangan kehidupan pribadi dan pekerjaan perempuan. Akan
tetapi, tinjauan work/life balance dari sudut budaya masih relatif sedikit diteliti.

UNIVERSITAS INDONESIA 4

hubungan antara..., Putri Novelia, FPsi-Ui, 2013


Lalu, banyaknya dampak yang ditimbulkan oleh ketidakseimbangan antara kehidupan
pribadi dan pekerjaan terhadap efektivitas organisasi juga menjadi alasan peneliti tertarik
untuk melakukan penelitian tentang hal ini serta melihat bagaimana hubungan antara kedua
variabel tersebut jika dilakukan di Indonesia.

Jadi, permasalahan yang ingin dijawab dalam penelitian ini adalah “Apakah terdapat
hubungan antara work/life balance dan komitmen berorganisasi pada pegawai perempuan?”.
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk melihat hubungan antara work/life balance dan
komitmen beroganisasi pada pegawai perempuan dan mengetahui sumbangan dimensi
work/life balance terhadap komitmen berorganisasi.

Tinjauan Literatur

Work/Life Balance. Work/life balance didefinisikan sebagai tingkat kepuasan


seseorang atas keterlibatan dirinya untuk “fit” dengan peran ganda yang dimilikinya dalam
kehidupan (Lazăr, Codruţa, & Patricia, 2010). Meskipun definisinya masih sangat luas,
work/life balance berhubungan dengan adanya kesesuaian antara waktu dan usaha untuk
bekerja dan menjalani aktivitas di luar pekerjaan agar mencapai kehidupan yang harmonis
(Clarke, dalam Lazăr, Codruţa, & Patricia, 2010). Hal ini sejalan dengan pendapat Fisher
(2001) yang menyatakan bahwa work/life balance merupakan stressor kerja yang meliputi
empat komponen penting yaitu:

1. Waktu, seberapa banyak waktu yang digunakan untuk bekerja dibandingkan dengan
waktu yang digunakan untuk aktivitas lain di luar kerja.
2. Adanya tindakan untuk mencapai tujuan yang diinginkan. Hal ini didasari oleh keyakinan
seseorang bahwa ia mampu mencapai apa yang ia inginkan dalam pekerjaannya dan
tujuan pribadinya.
3. Ketegangan (strain), yang termasuk dalam komponen ini adalah kecemasan, tekanan,
kehilangan aktivitas penting pribadi, dan sulit mempertahankan atensi.
4. Energi yang digunakan untuk mencapai tujuan yang diharapakan. Energi merupakan
sumber terbatas dalam diri manusia, sehingga ketika terjadi kekurangan energi untuk
melakukan aktivitas kerja maupun di luar kerja akan meningkatkan stress.

Berdasarkan pemaparan di atas, maka dapat disimpulkan bahwa work/life balance


merupakan persepsi individu atas kemampuannya untuk bisa mengalokasikan waktu dan
energi mereka di dua domain yaitu lingkungan kerja dan lingkungan di luar kerja (misalnya

UNIVERSITAS INDONESIA 5

hubungan antara..., Putri Novelia, FPsi-Ui, 2013


keluarga, komunitas, agama, politik, dan pendidikan) dengan mengurangi konflik peran antar
dua domain tersebut.

Fisher (2001) menggolongkan work/life balance ke dalam tiga dimensi yaitu WIPL
(work interference with personal life) yang mencerminkan sejauh mana pekerjaan individu
dapat mengganggu kehidupan pribadinya, dan PLIW (personal life interference with work)
yang mencerminkan sejauh mana kehidupan pribadi individu mengganggu kehidupan
pekerjaannya, WEPL (work enhancement of personal life) yang mencerminkan sejauh mana
kehidupan pribadi seseorang dapat meningkatkan performa individu dalam dunia kerja. Lalu
pada tahun 2009, Fisher, Smith, dan Burger menambahkan satu dimensi lain untuk mengukur
work/life balance yaitu PLEW (personal life enhancement of work) yang mencerminkan
sejauh mana pekerjaan dapat meningkatkan kualitas kehidupan pribadi individu. Keempat
dimensi ini diperoleh dari pengembangan alat ukur berdasarkan empat komponen work/life
balance seperti waktu, energi, ketegangan, dan perilaku.

Komitmen Berorganisasi. Komitmen berorganisasi merupakan kondisi psikologis


yang dikarakteristikkan oleh adanya hubungan antara pegawai dengan organisasi dan
memiliki implikasi terhadap keputusan untuk melanjutkan atau mengakhiri keberanggotaanya
dalam organisasi tersebut (Meyer & Allen, 1991). Alasan seorang pegawai dapat bertahan
dalam sebuah organisasi dapat berbeda-beda yang dikenal dengan three-component model,
yaitu affective, continuance, dan normative commitment.

Affective commitment mencerminkan sejauh mana pegawai tersebut


mengidentifikasikan dirinya, setia terhadap organisasinya, dan adanya kelekatan emosional
dengan organisasi. Pegawai yang memiliki affective commitment tinggi bersedia untuk
bertahan di sebuah organisasi karena mereka menginginkannya (want to do).

Continuance commitment didasari oleh persepsi pegawai terhadap relativitas


keuntungan yang mereka dapatkan dalam organiasinya dan membandingkannya dengan
keuntungan yang mereka dapat jika menjadi anggota organisasi lain. Oleh sebab itu, dedikasi
pegawai pada sebuah organisasi yang memiliki continuance commitment karena pegawai
tersebut membutuhkan organisasi sebagai salah satu sumber penghasilannya atau hal yang
menguntungkan baginya (need to do).

Normative commitment didasari oleh adanya perasaan pegawai untuk mematuhi aturan
organisasi, dimana menjadi seorang anggota organisasi merupakan hal yang baik dilakukan.

UNIVERSITAS INDONESIA 6

hubungan antara..., Putri Novelia, FPsi-Ui, 2013


Pegawai yang memiliki tingkat normative commitment yang tinggi merasa bahwa bertahan
dalam sebuah organisasi merupakan sebuah keharusan (ought to). Ketiga komponen ini dapat
berdiri secara independen dan pegawai dapat mengalami ketiga bentuk komitmen ini dalam
derajat yang berbeda-beda.

Pegawai Perempuan. Matlin (2008) menyebutkan ada dua kategori untuk bisa
memahami perempuan bekerja yaitu employed women dan unemployed women. Employed
women merupakan perempuan yang bekerja untuk menerima bayaran atau self-employed.
Sedangkan unemployed women adalah perempuan yang bekerja tetapi tidak dibayar, misalnya
ia bekerja untuk keluarganya, di rumah atau relawan organisasi, tetapi ia tidak menerima
bayaran dari pelayanan yang ia berikan. Pada penelitian ini pegawai perempuan (karyawati)
tergolong dalam employed women karena perempuan tersebut bekerja untuk menerima gaji
dari organisasi/perusahaan tempat ia bekerja.

Metode Penelitian

Hipotesis Penelitian. Terdapat hubungan yang signifikan antara skor dimensi


work/life balance dengan skor total komitmen berorganisasi pada pegawai perempuan.

Tipe Penelitian. Penelitian ini tergolong tipe korelasional karena ingin melihat
hubungan antara work/life balance dan komitmen berorganisasi dan tidak ada manipulasi
dalam pengambilan datanya. Berdasarkan metode pengumpulan data, penelitian ini tergolong
tipe kuantitatif karena sesuai dengan tujuan penelitian ini adalah untuk mengkuantifikasi skor
yang didapatkan dari kuesioner tentang work/life balance dan komitmen organisasi.

Desain Penelitian. Menurut Kumar (2005) terdapat tiga kategori desain penelitian,
yaitu berdasarkan number of contacts, reference period, dan nature of the investigation. Jika
dilihat berdasarkan number of contacts, pengambilan data dalam penelitian ini hanya
berlangsung satu kali atau dapat disebut juga dengan cross-sectional. Sedangkan dari segi
reference period, penelitian ini merupakan penelitian yang retrospective karena menguji
fenomena, situasi, masalah atau isu yang terjadi pada masa lalu. Jika dilihat dari ada atau
tidaknya manipulasi, maka penelitian ini termasuk dalam penelitian non-experimental karena
tidak ada manipulasi yang dilakukan terhadap objek.

Variabel Penelitian. Pada penelitian ini terdapat dua variabel yang diteliti, yaitu
work/life balance dan komitmen berorganisasi. Definisi konseptual dari work/life balance
adalah stressor yang berhubungan dengan pekerjaan yang terdiri dari empat komponen yaitu

UNIVERSITAS INDONESIA 7

hubungan antara..., Putri Novelia, FPsi-Ui, 2013


waktu, energi, pencapaian tujuan, dan ketegangan (Fisher, 2001). Definisi operasional
work/life balance adalah skor dimensi yang didapatkan partisipan pada alat ukur work/life
balance scale. Semakin rendah skor dimensi PLIW dan WIPL yang dimiliki individu dan
semakin tinggi skor dimensi WEPL dan PLEW yang dimiliki individu, semakin tinggi
persepsi individu bahwa kehidupan pekerjaan dan kehidupan di luar pekerjaannya seimbang.
Definisi konseptual komitmen berorganisasi adalah kondisi psikologis yang membuat
seseorang bertahan dalam sebuah organisasi karena adanya kebutuhan (need), keinginan
(want) dan keharusan (ought) yang harus ia penuhi (Meyer & Allen, 1997). Definisi
operasional komitmen organisasi jumlah skor yang didapatkan partisipan pada alat ukur
organizational commitment questionnaire (OCQ). Semakin tinggi skor komitmen yang
didapatkan individu pada alat ukur OCQ, semakin tinggi komitmen berorganisasi yang
dimiliki individu tersebut.

Uji Validitas Item, Validitas Alat Ukur, dan Reliabilitas Alat Ukur. Sebelum alat
ukur work/life balance dan komitmen berorganisasi diberikan pada partisipan penelitian ini,
peneliti melakukan adaptasi terhadap alat ukur yang sudah ada agar sesuai dengan budaya
Indonesia dan tidak menimbulkan social desirability yang tinggi. Adaptasi dilakukan melalui
proses terjemahan dan expert judgment. Setelah item-item dinyatakan baik oleh ahli, kedua
alat ukur di uji coba dengan menggunakan teknik contrasted group.
Alat ukur work/life balance diberikan kepada 4 orang yang tergolong dalam work/life
balance tinggi dan 3 orang yang tergolong work/life balance rendah. Dari hasil uji validiasi
diperoleh data bahwa validitas item work/life balance berkisar antara .36 - .93, validitas alat
ukur sebesar .98, dan Cronbach’s alpha sebesar .96.
Pada akhirnya, alat ukur WLBS yang digunakan pada penelitian ini berjumlah 29 item
yang terdiri dari 9 item untuk dimensi WIPL, 11 item untuk dimensi PLIW, 3 item untuk
dimensi WEPL dan 6 item untuk dimensi PLEW. Skala yang digunakan adalah skala sikap
dengan 5 pilihan respon. Respon 1 mengindikasikan bahwa paritisipan tidak sama sekali
merasa pernyataan tersebut menggambarkan dirinya dan respon 5 mengindikasikan bahwa
partisipan hampir setiap waktu merasa pernyataan tersebut menggambarkan dirinya. Berikut
adalah contoh item WLBS.

UNIVERSITAS INDONESIA 8

hubungan antara..., Putri Novelia, FPsi-Ui, 2013


Tabel 3.1 Contoh Item WLBS
Dimensi Contoh Item
WIPL Jadwal kerja saya tidak memungkinkan saya bisa berekreasi
dengan teman-teman saya.
PLIW Kehidupan pribadi saya menyebabkan saya berangkat kerja
dalam keadaan lelah.
WEPL Setelah bekerja, saya bisa menikmati waktu yang
menyenangkan bersama keluarga.
PLEW Tuntutan kehidupan pribadi saya masih memungkinkan saya
untuk menampilkan hasil kerja yang baik

Alat ukur komitmen berorganisasi diberikan kepada 5 orang yang tergolong dalam
komitmen tinggi dan 5 orang yang tergolong komitmen rendah. Berdasarkan hasil uji validasi,
didapatkan nilai validitas item yang baik berkisar .33 - .85, validitas alat ukur sebesar .64, dan
Cronbach’s alpha sebesar .84. Dari hasil adaptasi didapatkan sejumlah 12 item yang dapat
digunakan, yaitu 3 item untuk affective commitment, 6 item untuk continuance commitment
dan 3 item untuk normative commitment. Ketiga komponen ini merupakan subskala dari
keseluruhan skala komitmen terhadap organisasi dan item-itemnya dengan menggunakan
skala sikap dengan memberikan respon 1 hingga 7. Respon 1 mengindikasikan bahwa
partisipan sangat setuju dengan pernyataan yang digambarkan oleh item dan respon 7
mengindikasikan bahwa partisipan sangat tidak setuju dengan pernyataan yang digambarkan
oleh item. Berikut adalah contoh item dari OCQ:

Tabel 3.2 Contoh Item OCQ


Komponen Contoh Item
Affective Commitment Saya merasa bahagia perusahaan ini menjadi
tempat saya mengakhiri karir saya.
Continuance Commitment Keluar dari perusahaan ini tidak banyak
mengubah penghasilan saya.
Normative Commitment Pindah dari suatu perusahaan ke perusahaan lain
tidak ada kaitannya dengan etika.

UNIVERSITAS INDONESIA 9

hubungan antara..., Putri Novelia, FPsi-Ui, 2013


Menurut Kaplan dan Sacuzzo (1993), nilai validasi di atas 0.3 sudah dianggap valid
dan nilai Cronbach’s alpha di atas 0.7 menunjukkan bahwa alat ukur tersebut sudah reliabel
(Nunnally & Bernstein,1994). Dengan demikian disimpulkan bahwa kedua alat ukur diatas
dapat dinyatakan valid dan reliabel.

Metode Pengambilan Sampel. Teknik pengambilan sampel yang digunakan adalah


accidental sampling (Kumar,2005) dengan cara membagikan kuesioner kepada masing-
masing sekretaris di setiap divisi perusahaan X dan menanyakan kesediaan mereka untuk
mengisi kuesioner.

Jumlah Partisipan dalam Penelitian. Jumlah partisipan dalam penelitian ini adalah
87 pegawai perempuan yang bekerja di perusahaan industri baja milik BUMN. Partisipan
dipilih dengan empat karakteristik. Pertama, pegawai tetap karena pegawai tetap dianggap
memiliki pengetahuan yang baik mengenai lingkungan kerja tempat ia bekerja dan menerima
seluruh fasilitas dan kebijakan yang ditetapkan oleh perusahaan. Kedua, memiliki latar
belakang pendidikan minimal SMA karena peneliti berasumsi bahwa dengan tingkat
pendidikan tersebut partisipan dapat membaca dan memahami instruksi yang diberikan pada
kuesioner penelitian sehingga diharapkan partisipan dapat memberikan jawaban yang sesuai
dengan keadaan dirinya. Ketiga, sudah bekerja di perusahaan tersebut minimal 1 tahun karena
waktu 1 tahun diasumsikan cukup untuk seorang pegawai mengenal lingkungan tempat ia
bekerja sehingga adanya asumsi bahwa pegawai telah mampu beradaptasi dengan pekerjaan
yang ia tekuni. Selain itu menurut Wanous (1992) pada umumnya seseorang akan
memutuskan untuk bertahan atau meninggalkan organisasi setelah bekerja minimal 1 tahun.
Keempat, pegawai perempuan karena fokus penelitian ini partisipannya adalah perempuan
sesuai dengan yang telah disampaikan di latar belakang.

Teknik Pengumpulan Data. Data yang diperoleh dari partisipan dikumpulkan


dengan menggunakan kuesioner dimana didalamnya terdapat dua bagian yaitu kuesioner
komitmen berorganisasi dan kuesioner work/life balance. Kuesioner komitmen berjumlah 12
item yang diadaptasi dari alat ukur Three-component model of Organizational Commitment
Questionnaire (Meyer & Allen, 1997) dan work/life balance berjumlah 29 item yang
diadaptasi dari alat ukur Work/Life Balance Scale (WLBS) (Fisher, Bulger, & Smith, 2009),
jadi total keseluruhan item berjumlah 31 item. Setelah partisipan mengisi kedua bagian
kuesioner tersebut, partisipan diminta untuk mengisi lembar data kontrol.

UNIVERSITAS INDONESIA 10

hubungan antara..., Putri Novelia, FPsi-Ui, 2013


Metode Analisis Data. Ada tiga metode statistik untuk analisis data yang digunakan
dalam penelitian ini. Pertama, analisa statistika deskriptif untuk memperoleh gambaran umum
mengenai karakteristik dari sampel yang penelitian berdasarkan nilai rata-rata, frekuensi dan
presentasi data demografis yang didapat. Kedua, Multiple Regression untuk melihat sejauh
mana dimensi work/life balance memiliki kontribusi terhadap komitmen berorganisasi.
Ketiga, Multiple correlation untuk melihat hubungan work/life balance dan komitmen
berorganisasi. Lebih lanjut, dengan menggunakan teknik multiple correlation peneliti ingin
melihat sejauh mana dimensi work/life balance memiliki korelasi dengan komitmen
berorganisasi.

Hasil dan Analisis Hasil

Gambaran Karakteristik Partisipan. Tabel berikut merupakan gambaran


karakteristik partisipan yang terdiri dari pendidikan terakhir, jam kerja dalam seminggu, status
pernikahan, masa kerja di perusahaan, dan alasan partisipan bekerja di perusahaan X.

Tabel 4.1 Gambaran Karakteristik Partisipan


Karakteristik N Presentase
Pendidikan
SMA 21 24.10%
D3 28 32.20%
S1 30 34.50%
S2 3 3.40%
Tidak mengisi 5 5.70%
Masa Kerja
< 3 tahun 23 26.4%
3-10 tahun 19 21.8%
>10 tahun 45 51.7%
Jam Kerja
< 40 Jam 3 3.4%
40 - 42 Jam 59 67.8%
> 42 Jam 25 28.7%
Status Pernikahan
Janda 6 6.9%
Belum Menikah 26 29.9%
Menikah 55 63.2%
Alasan Bekerja
Physiological needs 43 34.68%
Safety needs 27 21.77%
Belongingness needs 8 6.45%
Esteem needs 13 10.49%
Self actualization needs 33 26.61%

UNIVERSITAS INDONESIA 11

hubungan antara..., Putri Novelia, FPsi-Ui, 2013


Dari hasil diatas dapat diketahui bahwa latar belakang pendidikan partisipan di
Perusahaan X cukup tinggi yang didominasi oleh srata satu (34.5%: 30 orang) dan diploma
tiga (32.2%: 28 orang). Kemudian diketahui juga bahwa masa kerja partisipan di perusahaan
tersebut paling banyak berkisar >10 tahun (51.7%: 51 orang). Pembagian masa kerja ini
dikategorikan berdasarkan tahapan karir dari Morrow dan McElory (1987) yang menyatakan
bahwa masa kerja dalam organisasi dapat dibagi ke dalam tiga kategori, yaitu early stage (<3
tahun), mid stage (3-10 tahun) dan late career stage (>10 tahun).
Jika dilihat dari jumlah jam kerja, 67.8% partisipan (59 orang) bekerja selama 40-42
jam/minggu. Sedangkan untuk status pernikahan 63.2% (55 orang) sudah menikah dan 29.9%
(26 orang) belum menikah. Lalu, diketahui juga bahwa tiga alasan teratas perempuan bekerja
di perusahaan X karena untuk memenuhi kebutuhan fisiologisnya berupa makan, tempat
tinggal, dan lain-lain (34.68%: 43 orang), aktualisasi diri (26.61%: 33 orang), dan memenuhi
kebutuhan akan rasa aman (21.77%: 27 orang). Pada saat pengisian data kontrol ini, partisipan
diperbolehkan untuk memilih jawaban alasan lebih dari satu sehingga jumlah responnya lebih
dari 87 respon.
Hubungan antara Work/Life Balance dan Komitmen Berorganisasi. Peneliti
melakukan uji statistik multiple correlation untuk mengetahui hubungan antara dimensi
work/life balance dan komitmen berorganisasi. Dari hasil tersebut diketahui indeks korelasi
sebesar r=0.274 yang tidak signifikan pada level 0.165 (p>0.05). Hal ini menandakan bahwa
tidak terdapat hubungan yang signifikan antara work/life balance dan komitmen
berorganisasi, sehingga Ha dalam penelitian ini ditolak.

Tabel 4.2 Korelasi Work/Life Balance dan Komitmen Berorganisasi


r p
Dimensi Work/Life Balance 0.274 0.165
Komitmen Berorganisasi

Peneliti kembali melakukan uji statistik dengan menggunakan teknik multiple


regression metode stepwise untuk melihat prediktor terbaik dari work/life balance terhadap
komitmen berorganisasi. Dari hasil tersebut didapatkan dimensi PLIW (personal life
interference with work) sebagai prediktor terbaik komitmen berorganisasi pada karyawati di

UNIVERSITAS INDONESIA 12

hubungan antara..., Putri Novelia, FPsi-Ui, 2013


penelitian ini. Dimensi PLIW (personal life interference with work) memiliki kontribusi
sebesar 5.6% terhadap komitmen berorganisasi.

Tabel 4.3 Sumbangan Dimensi WLB pada Komitmen Berorganisasi


Model p r
(WIPL) 0.240 -0.130
(PLIW) 0.030 0.237*
(WEPL) 0.238 0.130
(PLEW) 0.885 -0.016
LOS 0.05

Kesimpulan, Diskusi dan Saran

Kesimpulan. Berdasarkan interpretasi hasil analisis diketahui bahwa tidak terdapat


hubungan yang signifikan antara work/life balance dan komitmen organisasi pada pegawai
perempuan. Dengan demikian, Ha pada penelitian ini ditolak.

Ketika dilakukan analisis lebih lanjut ditemukan prediktor terbaik dari work/life
balance terhadap komitmen berorganisasi yaitu PLIW (personal life interference with work).
Ketika kehidupan pribadi menganggu pekerjaan pegawai perempuan maka hal ini dapat
mempengaruhi komitmen berorganisasi pegawai tersebut.

Diskusi. Berdasarkan hasil dan analisis hasil penelitian, diketahui bahwa tidak
terdapat hubungan yang siginifikan antara work/life balance dan komitmen berorganisasi. Hal
ini tidak sesuai dengan penemuan dari Kaiser, Ringlstetter, Rindl, dan Stolz (2009) yang
menyatakan bahwa keseimbangan antara kehidupan pekerjaan dan kehidupan di luar
pekerjaan (work/life balance) menjadi salah satu faktor yang mempengaruhi komitmen
berorganisasi pada pegawai. Pada penelitian ini, hanya dimensi PLIW (personal life
interference with work) dari work/life balance yang mempengaruhi komitmen berorganisasi.
Ada berbagai kemungkinan alasan yang dapat menyebabkan penemuan ini memiliki
perbedaan.
Pertama, hubungan antara work/life balance dan komitmen berorganisasi tidak
berhubungan secara langsung. Banyak faktor yang ikut serta mempengaruhi hubungan antara
keduanya, seperti karakteristik pribadi, lingkungan kerja, dukungan organisasi, dan persepsi
pegawai terhadap kebijakan dalam organisasi tempat ia bekerja. Seluruh faktor ini tidak
diukur dalam penelitian ini. sehingga ada kemungkinan jika diikutsertakan hubungan antara
work/life balance dan komitmen berorganisasi menjadi lebih bermakna. Berdasarkan studi
UNIVERSITAS INDONESIA 13

hubungan antara..., Putri Novelia, FPsi-Ui, 2013


yang dilakukan oleh Siegel, Fishman, Post, dan Garden (2005) selama pegawai
mempersepsikan bahwa kebijakan yang dibuat organisasi cukup adil untuk pegawainya, maka
konflik yang terjadi antara pekerjaan dan kehidupan pribadi pegawai tidak memiliki pengaruh
terhadap komitmen organisasi mereka. Artinya, komitmen pegawai terhadap organisasi tidak
ada hubungannya sama sekali dengan konflik yang terjadi selama pegawai tersebut
mempersepsikan bahwa kebijakan di organisasinya cukup adil untuk dirinya. Selain itu, jika
pegawai percaya bahwa tingginya kemungkinan konflik yang terjadi antara pekerjaan dan
kehidupan pribadi di organisasi mereka (misalnya karakteristik pekerjaan, lingkungan
organisasi) adalah sesuatu yang wajar maka hubungan antara work/life balance dan komitmen
berorganisasi menjadi tidak signifikan.
Kedua, alasan utama peneliti tertarik untuk mengangkat tema work/life balance dan
komitmen organisasi pada perempuan karena adanya asumsi bahwa perempuan memiliki
peran yang lebih banyak dibandingkan laki-laki sehingga banyaknya peran yang harus
dijalankan oleh perempuan bekerja terkadang dapat menimbulkan konflik sehingga
mempengaruhi efektivitas organisasi. Akan tetapi, seperti yang telah disebutkan pada latar
belakang bahwa alasan perempuan bekerja adalah untuk mengaktulisasikan diri (Matlin,
2008) dan memenuhi kebutuhan ekonomi keluarga (Reddy, Vranda, Ahmed, Nirmala, &
Siddaramu, 2010). Dari penjelasan diatas dapat disimpulkan bahwa selama dengan bekerja
perempuan dapat mengaktualisasikan diri dan memenuhi kebutuhan ekonomi keluarganya,
maka ia akan tetap bekerja di organisasi tempat ia bekerja tersebut. Hal ini terbukti dari data
demografis partisipan yang mengatakan bahwa alasan mereka bekerja di perusahaan X adalah
untuk memenuhi kebutuhan dasar (34.68%; 43 orang) dan aktualisasi diri (26.61%; 33 orang).
Evangelista, Lim, Rocafor, dan Teh (2009) juga menyatakan bahwa tidak terdapat hubungan
yang signifikan antara work/life balance dan komitmen berorganisasi selama pegawai
mempersepsikan bahwa tujuannya bekerja untuk peningkatan karir dan mendapatkan sumber
penghasilan untuk memenuhi kebutuhan keluarganya. Persepsi akan adanya peningkatan karir
tidak menjadi variabel yang diukur dalam penelitian ini.
Ketiga, penemuan ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan di Filipina yang
memiliki persamaan budaya dengan Indonesia. Markus dan Kitayama (1991) menyatakan
bahwa orang-orang dengan budaya luar barat seperti Asia (Filipina dan Indonesia) cenderung
memiliki konsep diri yang saling bergantung dengan orang lain. Hal ini berbeda dengan
budaya barat yang cenderung lebih mandiri (independent). Adanya perasaan untuk saling
bergantung dengan orang lain akan mempengaruhi work/life balance perempuan yang
bekerja. Ketika perempuan bekerja mengalami kesulitan dalam rumah tangganya, keterlibatan

UNIVERSITAS INDONESIA 14

hubungan antara..., Putri Novelia, FPsi-Ui, 2013


anggota keluarga lain dalam menyelesaikan permasalahan perempuan menjadi solusi akan
masalah perempuan sehingga tidak banyak menganggu keseimbangan kehidupan pribadi dan
pekerjaan perempuan. Adanya persamaan budaya dengan Filipina ini dapat menjadi penyebab
tidak adanya hubungan yang signifikan antara work/life balance dan komitmen berorganisasi.
Keempat, jumlah partisipan yang digunakan dalam penelitian ini relatif kecil dan
homogen. Karakteristik partisipan seperti jumlah jam kerja, karakteristik pekerjaan, dan
lingkungan kerja yang mirip karena masih berada dalam satu perusahaan yang sama. Pada
penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Kaiser, Ringlstetter, Rindl, dan Stolz (2010) di
Perancis, menggunakan partisipan sebanyak 275 pegawai perempuan dan laki-laki. Sementara
pada penelitian ini, partisipan yang digunakan hanya 87 orang dan terbatas pada pegawai
perempuan saja. Oleh karena itu, untuk penelitian selanjutnya jika ingin tetap menggunakan
perempuan sebagai sampel penelitian, sebaiknya lebih dari 87 orang agar variasi antar sampel
menjadi lebih beragam.
Selanjutnya, berdasarkan analisis hasil penelitian, diketahui bahwa hanya dimensi
PLIW yang berkontribusi secara signifikan terhadap komitmen berorganisasi. PLIW
merupakan kondisi ketika kehidupan pribadi seseorang dapat mengganggu pekerjaan dan hal
ini dapat mempengaruhi komitmen berorganisasi pegawai. Penemuan ini juga memiliki
perbedaan dengan teori dari Fisher (2001) yang menyatakan bahwa terdapat empat dimensi
untuk melihat work/life balance. Hanya saja peneliti meyakini bahwa dimensi ini sudah
mewakili work/life balance karena sudah terdapat empat komponen utama yang menjadi dasar
pengukuran work/life balance yaitu waktu, energi, perilaku, dan ketegangan (strain).
Lebih lanjut, perbedaan penemuan ini dapat disebabkan oleh perbedaan individu
berupa karakteristik pribadi, karakteristik pekerjaan, karakteristik keluarga, dan sikap
(Schabracq, Winnubst, & Coope, 2003). Hal ini juga didukung oleh teori dari congruence
model yang menyatakan bahwa ada pengaruh variabel ketiga untuk melihat hubungan antara
domain kerja dan luar kerja, seperti kepribadian individu, faktor genetis, sosial, dan budaya
(Morf dkk., dalam Fisher, 2001). Sehingga hal ini cukup menjelaskan bahwa work/life
balance merupakan konstruk yang sangat kompleks sehingga banyak variabel lain yang ikut
serta mempengaruhi hubungan keduanya.
Peneliti juga menemukan adanya kontribusi dari status pernikahan terhadap hubungan
antara work/life balance dan komitmen berorganisasi. Peneliti berasumsi bahwa status
pernikahan menjadi faktor penting ketika berbicara tentang work/life balance pada perempuan
karena bersinggungan dengan peran perempuan yang ia miliki sehingga akan mempengaruhi
komitmennya terhadap organisasi. Akan tetapi, hal ini masih perlu ditinjau kembali baik

UNIVERSITAS INDONESIA 15

hubungan antara..., Putri Novelia, FPsi-Ui, 2013


secara teoritis maupun secara praktis agar hubungan antara work/life balance dan komitmen
berorganisasi semakin jelas.

Saran. Perlu adanya penelitian lebih lanjut mengenai hubungan antara work/life
balance dan komitmen berorganisasi di Indonesia dengan karakteristik partisipan dan
perusahaan yang lebih variatif.
Penelitian selanjutnya perlu menambahkan variabel lain untuk menjadi mediator
hubungan antara work/life balance dan komitmen berorganisasi, misalnya persepsi pegawai
terhadap kebijakan organisasi, persepsi akan peningkatan karir. Berdasarkan literatur, variabel
ketiga seperti adanya persepsi akan peningkatan karir dan kebijakan organisasi ini menjadi
salah satu faktor penting yang mempengaruhi hubungan keduanya.

Penelitian selanjutnya juga dapat membedakan hubungan antara work/life balance dan
komitmen pada pegawai perempuan yang berstatus belum menikah, menikah, dan janda.
Berdasarkan hasil yang diperoleh status pernikahan memiliki efek atas hubungan kedua
variabel tersebut.

Jika dilihat secara spesifik interaksi dimensi PLIW memiliki kontribusi yang signifikan
terhadap komitmen berorganisasi pegawai. Ketika kehidupan pribadi mengganggu pekerjaan
pegawai, maka hal tersebut akan mempengaruhi komitmen beroganisasi pegawai. Oleh karena
itu, perusahaan hendaknya dapat ikut serta dalam menangani masalah pribadi pegawai,
misalnya dengan memanfaatkan counseling dalam dunia kerja. Counseling dapat menjadi
sarana bagi pegawai untuk menyelesaikan masalah kehidupan pribadi yang mempengaruhi
performa pegawai tersebut dalam bekerja.

Selain dengan counseling, perusahaan juga dapat membuat kebijakan untuk membantu
pegawai mengatur kehidupan pribadi dan pekerjaannya, khususnya perempuan. Menurut
Robbins dan Judge (2012), ada beberapa strategi yang dapat diaplikasikan oleh organisasi
untuk meningkatkan work/life balance pegawai. Pertama, money-based strategies berupa
insurance subsidies, flexible benefits, beasiswa pendidikan, dan lain-lain. Kedua, direct
service berupa tersedianya tempat untuk penitipan anak, pusat kebugaran, produk organisasi
yang diberikan secara gratis, dan lain-lain. Ketiga, culture-change strategies berupa pelatihan
yang diberikan kepada manajer untuk membantu pegawainya agar dapat mengatur work-life
conflict, memberikan apresiasi atas kinerja pegawai agar tercapai kepuasan kerja, fokus pada
actual performance pegawai, dan lain-lain.

UNIVERSITAS INDONESIA 16

hubungan antara..., Putri Novelia, FPsi-Ui, 2013


Daftar Pustaka

Askandar, Isahdi. (2011). Hubungan antara Employee Engagement dengan Work-Life Balance
pada pegawai. Depok: Skripsi Fakultas Psikologi UI.

BPS Provinsi DKI Jakarta. (2012). Berita Resmi Statistik Provinsi DKI Jakarta No.
23/05/31/Th XIV. Retrieved from
http://jakarta.bps.go.id/fileupload/brs/2012_05_07_13_29_11.pdf.

Clarke, D., & Anne, R. (2002). Work-life balance in an industrial setting: Focus on advocacy.
Nursing & Allied Health Source Journal. 50 (2).

Direktorat Bina Kesehatan Kerja dan Olahraga .(2011). Pemberian penghargaan bagi
perusahaan yang melaksanakan kesehatan kerja (program kesehatan reproduksi &
gizi). Retrieved from
http://kesehatankerja.depkes.go.id/index.php/the_page/pemberian-penghargaan-bagi-
perusahaan-yang-melaksanakan-kesehatan-kerja-program-kesehatan-reproduksi-gizi

Duffield, C., Pallas, O’brien, L, & Aitken, L. M. (2004). Nurses who work outside nursing.
Journal of Advanced Nursing. 47 (6), 664-671.

Evangelista, M., Lim, E., Rocafor, S., & Teh, G. (2009). Worklife balance and organizational
commitment of generation y employees. Theses. Retrieved from
http://www.slideshare.net/guesta4bb5b/worklife-balance-and-organizational-
commitment-of-generation-y-employees.

Fisher, G., Bulger, C., & Smith, C. (2009). Beyond work and family: a measure of
work/nonwork interference and enhancement. Journal of Occupational Health
Psychology. 14(4), 441–456.

Fisher, G.G. (2001). Work/personal life balance: A construct development study. ProQuest
Dissertations and Theses.

Ford, M.T., Heinen, B.A., & Langkamer, K.L. (2007). Work and family satisfaction and
conflict: a meta-analysis of cross-domain relations. Journal of Applied Pyschology. 92
(1), 57-80.

Friedman, S. D., Christensen, P., & DeGroot, J. (1998). Work & life: The end of the zero-sum
game. Harvard Business Review, 119–129.

UNIVERSITAS INDONESIA 17

hubungan antara..., Putri Novelia, FPsi-Ui, 2013


Hughes, J., & Bozioneles, N. (2007). Work-life balance as source of job dissatisfaction and
withdrawal attitudes; An exploratory study on the views of male workers. Personnel
Review. 36 (1), 145-154. DOI. 10.1108/00483480710716768.

Kaiser, S., Ringlstetter, M., Reindl, C., & Stolz, M. (2010). The Impact of Corporate Work-
Life Balance Initiatives on Employee Commitment: An Empirical Investigation in The
German Consultancy Sector. Zeitschrift für Personalforschung. 24(3), 231-265.

Kaplan, R. M., & Sacuzzo, D. P. (1993). Psychological Testing: Principles, Applications, and
Issues (3rd Ed.). California: Brooks/Cole Publishing Company.

Kumar, Ranjit. (2005). Research Metdhology: A Step-by-step Guide for Beginners (2nd ed.).
Malaysia: Sage Publications.

Lazăr, I., Osoian, C., & Raţiu, P. (2010). The Role of Work-Life Balance Practices in Order to
Improve Organizational Performance. European Research Studies. 13(1).

Markus, H.R., & Kitayama, S. (1991). Culture and the self: Implications for cognition,
emotion, and motivation. Psychological Review. 98 (2), 224–53. DOI: 10.1037/0033-
295X.98.2.224

Matlin, M.W. (2008). The Psychology of Women (6th ed.). Belmont: Thomson Higher
Education.

Meyer, J.P., & Allen, N.J. (1997). Commitment in the Workplace: Theory, Research and
Application. USA: Sage Publication.

_______. (1991). Three-component conceptualization of organizational commitment. Human


Resource Management Review. 1(1) 61-89.

Morrow, P.C., & McElory, J. C. (1987). Work commitment and job satisfaction over three
career stages. Journal of Organizational Behaviour. 30, 330-346.

Nunnally, J. C., & Bernstein, I. H. (1994). Psychometric Theory (3rd Ed.). New York: Mc-
Graw Hill.

Posig, M., & Kickul, J. (2004), Work-role expectations and work family conflict: gender
differences in emotional exhaustion. Women in Management Review. 19 (7), 373-86.

Reddy,N., Vranda, M., Ahmed, A., Nirmala, B., & Siddaramu, B. (2010). Work–Life Balance
among Married Women Employees. Indian Journal of Psychological Medicine. 32.

UNIVERSITAS INDONESIA 18

hubungan antara..., Putri Novelia, FPsi-Ui, 2013


Robbins, S.P., & Judge, T.A. (2013). Organizatioanl Behavior (15th ed.). England: Pearson
Education Limited.

Schabracq, M.J., Winnubst, J. A.M., & Cooper, C. L. (2003). The Handbook of Work &
Health Psychology (2nd ed.). John Wiley & Sons, Ltd.

Schaufeli, W.B., & Bakker, A.B. (2003). Utrecht Work Engagement Scale Preliminary
Manual. Utrecht University.

Siegel, P.A., Fishman, A.Y., Brockner, J., Post.C., & Garden, C. (2005). The Moderating
Influence of Procedural Fairness on the Relationship Between Work–Life Conflict and
Organizational Commitment. Journal of Applied Psychology. 90 (1), 13–24. DOI:
10.1037/0021-9010.90.1.13.

Thompson, C.A., Beauvais, L.L., & Lyness, K.S. (1999). When Work–Family Benefits Are
Not Enough: The Influence of Work–Family Culture on Benefit Utilization,
Organizational Attachment, and Work–Family Conflict. Journal of Vocational
Behavior. 54, 392–415.

Wang, M.L., Lin, T.M., & Tsai, L.J. (2012). The Relationships between Work-Family
Conflict and Job Performance under Different Sources of Social Support: Nursing
Staffs as Examples. Technology Management for Emerging Technologies.

Wanous, J. P. (1992). Organizational entry: Recruitment, selection, orientation, and


socialization of newcomers. MA: Addison Wesley.

UNIVERSITAS INDONESIA 19

hubungan antara..., Putri Novelia, FPsi-Ui, 2013

Anda mungkin juga menyukai