Putri Novelia
Iman Sukhirman
Gagan Hartana. T.B.
ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk melihat hubungan antara work/life balance dan
komitmen berorganisasi pada pegawai perempuan. Partisipan dalam penelitian ini adalah
pegawai perempuan tetap yang sudah bekerja minimal 1 tahun pada perusahaan X. Untuk
melihat hubungan antara dua variabel, peneliti menggunakan teknik multiple correlation.
Sampel dari penelitian ini berjumlah 87 pegawai perempuan dengan menggunakan accidental
sampling. Hasil uji statistik menunjukkan bahwa tidak terdapat hubungan yang signifikan
antara work/life balance dan komitmen berorganisasi pada pegawai perempuan (r=0.274,
p>0.05).
Kata kunci: komitmen berorganisasi; pegawai perempuan; work/life balance.
Latar Belakang
Berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik DKI Jakarta, jumlah pekerja perempuan
mengalami peningkatan pada Februari 2012 dibandingkan Februari 2011. Menurut Direktorat
Tenaga Kerja dan Olahraga (2011), partisipasi perempuan dalam dunia kerja diprediksi akan
semakin terus meningkat dari tahun ke tahun. Terdapat berbagai alasan yang melandasi
perempuan bekerja. Pertama, adanya tuntutan untuk memenuhi kebutuhan ekonomi keluarga
(Reddy, Vranda, Ahmed, Nirmala, & Siddaramu, 2010), misalnya membantu suami mencari
pemasukan tambahan bagi keluarga, menjadi single parent sehingga harus menjadi tulang
punggung keluarga (Lazăr, Codruţa, & Patricia, 2010), atau untuk memenuhi kebutuhan
pribadi jika belum menikah. Hal ini juga didukung oleh Ford, Heinen, dan Langmaker (2007)
yang menyatakan bahwa tekanan ekonomi yang terjadi pada beberapa dekade terakhir ini
menjadi salah satu penyebab perempuan terjun ke dunia kerja. Kedua, latar belakang
pendidikan yang dimiliki perempuan menjadikan bekerja sebagai bentuk aktualisasi dirinya.
Hal ini sejalan dengan pendapat Matlin (2008) yang menyatakan bahwa salah satu prediktor
terbaik perempuan bekerja adalah latar belakang pendidikan yang ia miliki. Ketiga, adanya
UNIVERSITAS INDONESIA 1
Ada beberapa manfaat yang didapat perempuan ketika bekerja, misalnya adanya
kesempatan untuk mengaktualisasikan diri, meningkatkan self esteem, dan tercapainya
kepuasan hidup (Matlin, 2008). Akan tetapi, hal ini juga memiliki efek negatif yang
berhubungan dengan stress dan ketegangan dalam kehidupan keluarga yang disebabkan oleh
sulitnya memenuhi semua tanggung jawab peran perempuan yang berbeda-beda, baik di
pekerjaan ataupun di luar pekerjaan (Matlin, 2008).
Duffield, Pallas, dan Aitken (2004) mengatakan bahwa hanya perempuan yang
memiliki keseimbangan antara kerja dan kehidupan pribadinya yang dapat melanjutkan
pekerjaannya. Adanya keseimbangan antara kehidupan pekerjaan dan kehidupan di luar
pekerjaan seperti keluarga, sosial, dan komunitas disebut dengan work/life balance. Konsep
work/life balance telah banyak digunakan dalam praktik organisasi, namun untuk penelitian
ilmiahnya sendiri masih relatif sedikit karena alat yang digunakan untuk mengukur work/life
balance baru dikembangkan pada tahun 2001 oleh Fisher. Selain itu, konsep work/life balance
ini pada awalnya dikembangkan untuk mengurangi konflik yang terjadi antara kehidupan
UNIVERSITAS INDONESIA 2
Konsep work/life balance yang digunakan pada penelitian ini adalah konsep dari
Fisher (2001) yang menyatakan bahwa work/life balance merupakan sumber stress bagi
pekerjaan yang memiliki empat isu utama, yaitu waktu, perilaku, ketegangan (strain), dan
energi. Keseimbangan antara kehidupan pekerjaan dan kehidupan di luar pekerjaan terjadi
jika individu mampu mengalokasikan waktu dan energi yang dimiliki tidak hanya untuk
bekerja tetapi juga untuk kehidupan di luar pekerjaannya. Selain itu, adanya pencapaian
tujuan yang diharapkan dalam dunia kerja atau dunia di luar pekerjaan pun juga harus
terpenuhi. Dengan kata lain bahwa keseimbangan dapat terpenuhi ketika individu
mempersepsi bahwa ia mampu memenuhi kebutuhan pekerjaannya tanpa harus mengganggu
pemenuhan kebutuhan di luar pekerjaannya, begitu pula sebaliknya.
Persepsi akan keseimbangan ini juga memiliki implikasi terhadap sikap, perilaku, dan
kesejahteraan pegawai yang juga berpengaruh terhadap efektivitas organisasi. Ketika pegawai
mempersepsikan bahwa tidak ada keseimbangan dalam hidupnya karena banyak waktu yang
tersita oleh pekerjaan, maka hal ini akan membuat pegawai mencoba mempertimbangkan
alternatif pekerjaan lain yang memungkinkan mereka untuk menyeimbangkan peran di
pekerjaan dan rumahnya (Posig & Kickul, 2004). Menurut Kaiser, Ringlstetter, Rindl, dan
Stolz (2010) keseimbangan antara kehidupan pekerjaan dan luar pekerjaan (work/life balance)
menjadi salah satu faktor yang mempengaruhi komitmen berorganisasi pada pegawai.
Hubungan antara dua variabel ini masih belum dapat dinyatakan secara jelas karena masih
sedikit penelitian tentang hubungan dua variabel ini.
Berdasarkan studi yang dilakukan di India, perempuan bekerja yang memiliki anak
memiliki komitmen kerja yang relatif lebih rendah dibandingkan perempuan yang belum
memiliki anak karena adanya konflik peran yang dimiliki perempuan (Reddy, Vranda,
Ahmed, Nirmala, & Siddaramu, 2010). Hal ini juga didukung oleh pendapat Thompson,
Beauvais, dan Lyness (1999) yang menyatakan bahwa konflik peran antara pekerjaan dan
UNIVERSITAS INDONESIA 3
Hasil penelitian sebelumnya lebih banyak dilakukan di Eropa dan Amerika, sementara
untuk Asia sendiri khususnya Indonesia masih relatif sedikit. Hubungan antara work/life
balance dan komitmen berorganisasi yang diuji di India memiliki perbedaan ketika diuji di
Filipina. Ditemukan hasil bahwa tidak terdapat hubungan antara work/life balance dengan
komitmen berorganisasi baik pada pegawai perempuan maupun laki-laki (Evangelista, Lim,
Rocafor, & Teh, 2009) karena adanya persepsi pegawai bahwa work/life balance bukan
merupakan faktor penting dalam memutuskan apakah mereka akan bertahan atau
meninggalkan perusahaan tersebut. Adanya obsesi untuk peningkatan karir, promosi
berdasarkan keterampilan yang dimiliki dan mempertimbangkan jumlah bayaran yang mereka
terima adalah alasan mereka untuk bisa bertahan atau meninggalkan perusahaan tersebut.
Selain itu, adanya perbedaan budaya barat dan luar barat (mis. Asia) mungkin saja
akan menghasilkan penemuan yang berbeda dengan hasil sebelumnya. Menurut Markus dan
Kitayama (1991) budaya luar barat seperti Asia cenderung memiliki konsep diri yang saling
bergantung dengan orang lain. Hal ini berbeda dengan budaya barat yang cenderung lebih
mandiri (independent). Adanya perasaan untuk saling bergantung dengan orang lain akan
mempengaruhi work/life balance perempuan yang bekerja. Ketika perempuan bekerja
mengalami kesulitan dalam rumah tangganya, keterlibatan anggota keluarga lain dalam
menyelesaikan permasalahan perempuan menjadi solusi akan masalah perempuan sehingga
tidak banyak menganggu keseimbangan kehidupan pribadi dan pekerjaan perempuan. Akan
tetapi, tinjauan work/life balance dari sudut budaya masih relatif sedikit diteliti.
UNIVERSITAS INDONESIA 4
Jadi, permasalahan yang ingin dijawab dalam penelitian ini adalah “Apakah terdapat
hubungan antara work/life balance dan komitmen berorganisasi pada pegawai perempuan?”.
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk melihat hubungan antara work/life balance dan
komitmen beroganisasi pada pegawai perempuan dan mengetahui sumbangan dimensi
work/life balance terhadap komitmen berorganisasi.
Tinjauan Literatur
1. Waktu, seberapa banyak waktu yang digunakan untuk bekerja dibandingkan dengan
waktu yang digunakan untuk aktivitas lain di luar kerja.
2. Adanya tindakan untuk mencapai tujuan yang diinginkan. Hal ini didasari oleh keyakinan
seseorang bahwa ia mampu mencapai apa yang ia inginkan dalam pekerjaannya dan
tujuan pribadinya.
3. Ketegangan (strain), yang termasuk dalam komponen ini adalah kecemasan, tekanan,
kehilangan aktivitas penting pribadi, dan sulit mempertahankan atensi.
4. Energi yang digunakan untuk mencapai tujuan yang diharapakan. Energi merupakan
sumber terbatas dalam diri manusia, sehingga ketika terjadi kekurangan energi untuk
melakukan aktivitas kerja maupun di luar kerja akan meningkatkan stress.
UNIVERSITAS INDONESIA 5
Fisher (2001) menggolongkan work/life balance ke dalam tiga dimensi yaitu WIPL
(work interference with personal life) yang mencerminkan sejauh mana pekerjaan individu
dapat mengganggu kehidupan pribadinya, dan PLIW (personal life interference with work)
yang mencerminkan sejauh mana kehidupan pribadi individu mengganggu kehidupan
pekerjaannya, WEPL (work enhancement of personal life) yang mencerminkan sejauh mana
kehidupan pribadi seseorang dapat meningkatkan performa individu dalam dunia kerja. Lalu
pada tahun 2009, Fisher, Smith, dan Burger menambahkan satu dimensi lain untuk mengukur
work/life balance yaitu PLEW (personal life enhancement of work) yang mencerminkan
sejauh mana pekerjaan dapat meningkatkan kualitas kehidupan pribadi individu. Keempat
dimensi ini diperoleh dari pengembangan alat ukur berdasarkan empat komponen work/life
balance seperti waktu, energi, ketegangan, dan perilaku.
Normative commitment didasari oleh adanya perasaan pegawai untuk mematuhi aturan
organisasi, dimana menjadi seorang anggota organisasi merupakan hal yang baik dilakukan.
UNIVERSITAS INDONESIA 6
Pegawai Perempuan. Matlin (2008) menyebutkan ada dua kategori untuk bisa
memahami perempuan bekerja yaitu employed women dan unemployed women. Employed
women merupakan perempuan yang bekerja untuk menerima bayaran atau self-employed.
Sedangkan unemployed women adalah perempuan yang bekerja tetapi tidak dibayar, misalnya
ia bekerja untuk keluarganya, di rumah atau relawan organisasi, tetapi ia tidak menerima
bayaran dari pelayanan yang ia berikan. Pada penelitian ini pegawai perempuan (karyawati)
tergolong dalam employed women karena perempuan tersebut bekerja untuk menerima gaji
dari organisasi/perusahaan tempat ia bekerja.
Metode Penelitian
Tipe Penelitian. Penelitian ini tergolong tipe korelasional karena ingin melihat
hubungan antara work/life balance dan komitmen berorganisasi dan tidak ada manipulasi
dalam pengambilan datanya. Berdasarkan metode pengumpulan data, penelitian ini tergolong
tipe kuantitatif karena sesuai dengan tujuan penelitian ini adalah untuk mengkuantifikasi skor
yang didapatkan dari kuesioner tentang work/life balance dan komitmen organisasi.
Desain Penelitian. Menurut Kumar (2005) terdapat tiga kategori desain penelitian,
yaitu berdasarkan number of contacts, reference period, dan nature of the investigation. Jika
dilihat berdasarkan number of contacts, pengambilan data dalam penelitian ini hanya
berlangsung satu kali atau dapat disebut juga dengan cross-sectional. Sedangkan dari segi
reference period, penelitian ini merupakan penelitian yang retrospective karena menguji
fenomena, situasi, masalah atau isu yang terjadi pada masa lalu. Jika dilihat dari ada atau
tidaknya manipulasi, maka penelitian ini termasuk dalam penelitian non-experimental karena
tidak ada manipulasi yang dilakukan terhadap objek.
Variabel Penelitian. Pada penelitian ini terdapat dua variabel yang diteliti, yaitu
work/life balance dan komitmen berorganisasi. Definisi konseptual dari work/life balance
adalah stressor yang berhubungan dengan pekerjaan yang terdiri dari empat komponen yaitu
UNIVERSITAS INDONESIA 7
Uji Validitas Item, Validitas Alat Ukur, dan Reliabilitas Alat Ukur. Sebelum alat
ukur work/life balance dan komitmen berorganisasi diberikan pada partisipan penelitian ini,
peneliti melakukan adaptasi terhadap alat ukur yang sudah ada agar sesuai dengan budaya
Indonesia dan tidak menimbulkan social desirability yang tinggi. Adaptasi dilakukan melalui
proses terjemahan dan expert judgment. Setelah item-item dinyatakan baik oleh ahli, kedua
alat ukur di uji coba dengan menggunakan teknik contrasted group.
Alat ukur work/life balance diberikan kepada 4 orang yang tergolong dalam work/life
balance tinggi dan 3 orang yang tergolong work/life balance rendah. Dari hasil uji validiasi
diperoleh data bahwa validitas item work/life balance berkisar antara .36 - .93, validitas alat
ukur sebesar .98, dan Cronbach’s alpha sebesar .96.
Pada akhirnya, alat ukur WLBS yang digunakan pada penelitian ini berjumlah 29 item
yang terdiri dari 9 item untuk dimensi WIPL, 11 item untuk dimensi PLIW, 3 item untuk
dimensi WEPL dan 6 item untuk dimensi PLEW. Skala yang digunakan adalah skala sikap
dengan 5 pilihan respon. Respon 1 mengindikasikan bahwa paritisipan tidak sama sekali
merasa pernyataan tersebut menggambarkan dirinya dan respon 5 mengindikasikan bahwa
partisipan hampir setiap waktu merasa pernyataan tersebut menggambarkan dirinya. Berikut
adalah contoh item WLBS.
UNIVERSITAS INDONESIA 8
Alat ukur komitmen berorganisasi diberikan kepada 5 orang yang tergolong dalam
komitmen tinggi dan 5 orang yang tergolong komitmen rendah. Berdasarkan hasil uji validasi,
didapatkan nilai validitas item yang baik berkisar .33 - .85, validitas alat ukur sebesar .64, dan
Cronbach’s alpha sebesar .84. Dari hasil adaptasi didapatkan sejumlah 12 item yang dapat
digunakan, yaitu 3 item untuk affective commitment, 6 item untuk continuance commitment
dan 3 item untuk normative commitment. Ketiga komponen ini merupakan subskala dari
keseluruhan skala komitmen terhadap organisasi dan item-itemnya dengan menggunakan
skala sikap dengan memberikan respon 1 hingga 7. Respon 1 mengindikasikan bahwa
partisipan sangat setuju dengan pernyataan yang digambarkan oleh item dan respon 7
mengindikasikan bahwa partisipan sangat tidak setuju dengan pernyataan yang digambarkan
oleh item. Berikut adalah contoh item dari OCQ:
UNIVERSITAS INDONESIA 9
Jumlah Partisipan dalam Penelitian. Jumlah partisipan dalam penelitian ini adalah
87 pegawai perempuan yang bekerja di perusahaan industri baja milik BUMN. Partisipan
dipilih dengan empat karakteristik. Pertama, pegawai tetap karena pegawai tetap dianggap
memiliki pengetahuan yang baik mengenai lingkungan kerja tempat ia bekerja dan menerima
seluruh fasilitas dan kebijakan yang ditetapkan oleh perusahaan. Kedua, memiliki latar
belakang pendidikan minimal SMA karena peneliti berasumsi bahwa dengan tingkat
pendidikan tersebut partisipan dapat membaca dan memahami instruksi yang diberikan pada
kuesioner penelitian sehingga diharapkan partisipan dapat memberikan jawaban yang sesuai
dengan keadaan dirinya. Ketiga, sudah bekerja di perusahaan tersebut minimal 1 tahun karena
waktu 1 tahun diasumsikan cukup untuk seorang pegawai mengenal lingkungan tempat ia
bekerja sehingga adanya asumsi bahwa pegawai telah mampu beradaptasi dengan pekerjaan
yang ia tekuni. Selain itu menurut Wanous (1992) pada umumnya seseorang akan
memutuskan untuk bertahan atau meninggalkan organisasi setelah bekerja minimal 1 tahun.
Keempat, pegawai perempuan karena fokus penelitian ini partisipannya adalah perempuan
sesuai dengan yang telah disampaikan di latar belakang.
UNIVERSITAS INDONESIA 10
UNIVERSITAS INDONESIA 11
UNIVERSITAS INDONESIA 12
Ketika dilakukan analisis lebih lanjut ditemukan prediktor terbaik dari work/life
balance terhadap komitmen berorganisasi yaitu PLIW (personal life interference with work).
Ketika kehidupan pribadi menganggu pekerjaan pegawai perempuan maka hal ini dapat
mempengaruhi komitmen berorganisasi pegawai tersebut.
Diskusi. Berdasarkan hasil dan analisis hasil penelitian, diketahui bahwa tidak
terdapat hubungan yang siginifikan antara work/life balance dan komitmen berorganisasi. Hal
ini tidak sesuai dengan penemuan dari Kaiser, Ringlstetter, Rindl, dan Stolz (2009) yang
menyatakan bahwa keseimbangan antara kehidupan pekerjaan dan kehidupan di luar
pekerjaan (work/life balance) menjadi salah satu faktor yang mempengaruhi komitmen
berorganisasi pada pegawai. Pada penelitian ini, hanya dimensi PLIW (personal life
interference with work) dari work/life balance yang mempengaruhi komitmen berorganisasi.
Ada berbagai kemungkinan alasan yang dapat menyebabkan penemuan ini memiliki
perbedaan.
Pertama, hubungan antara work/life balance dan komitmen berorganisasi tidak
berhubungan secara langsung. Banyak faktor yang ikut serta mempengaruhi hubungan antara
keduanya, seperti karakteristik pribadi, lingkungan kerja, dukungan organisasi, dan persepsi
pegawai terhadap kebijakan dalam organisasi tempat ia bekerja. Seluruh faktor ini tidak
diukur dalam penelitian ini. sehingga ada kemungkinan jika diikutsertakan hubungan antara
work/life balance dan komitmen berorganisasi menjadi lebih bermakna. Berdasarkan studi
UNIVERSITAS INDONESIA 13
UNIVERSITAS INDONESIA 14
UNIVERSITAS INDONESIA 15
Saran. Perlu adanya penelitian lebih lanjut mengenai hubungan antara work/life
balance dan komitmen berorganisasi di Indonesia dengan karakteristik partisipan dan
perusahaan yang lebih variatif.
Penelitian selanjutnya perlu menambahkan variabel lain untuk menjadi mediator
hubungan antara work/life balance dan komitmen berorganisasi, misalnya persepsi pegawai
terhadap kebijakan organisasi, persepsi akan peningkatan karir. Berdasarkan literatur, variabel
ketiga seperti adanya persepsi akan peningkatan karir dan kebijakan organisasi ini menjadi
salah satu faktor penting yang mempengaruhi hubungan keduanya.
Penelitian selanjutnya juga dapat membedakan hubungan antara work/life balance dan
komitmen pada pegawai perempuan yang berstatus belum menikah, menikah, dan janda.
Berdasarkan hasil yang diperoleh status pernikahan memiliki efek atas hubungan kedua
variabel tersebut.
Jika dilihat secara spesifik interaksi dimensi PLIW memiliki kontribusi yang signifikan
terhadap komitmen berorganisasi pegawai. Ketika kehidupan pribadi mengganggu pekerjaan
pegawai, maka hal tersebut akan mempengaruhi komitmen beroganisasi pegawai. Oleh karena
itu, perusahaan hendaknya dapat ikut serta dalam menangani masalah pribadi pegawai,
misalnya dengan memanfaatkan counseling dalam dunia kerja. Counseling dapat menjadi
sarana bagi pegawai untuk menyelesaikan masalah kehidupan pribadi yang mempengaruhi
performa pegawai tersebut dalam bekerja.
Selain dengan counseling, perusahaan juga dapat membuat kebijakan untuk membantu
pegawai mengatur kehidupan pribadi dan pekerjaannya, khususnya perempuan. Menurut
Robbins dan Judge (2012), ada beberapa strategi yang dapat diaplikasikan oleh organisasi
untuk meningkatkan work/life balance pegawai. Pertama, money-based strategies berupa
insurance subsidies, flexible benefits, beasiswa pendidikan, dan lain-lain. Kedua, direct
service berupa tersedianya tempat untuk penitipan anak, pusat kebugaran, produk organisasi
yang diberikan secara gratis, dan lain-lain. Ketiga, culture-change strategies berupa pelatihan
yang diberikan kepada manajer untuk membantu pegawainya agar dapat mengatur work-life
conflict, memberikan apresiasi atas kinerja pegawai agar tercapai kepuasan kerja, fokus pada
actual performance pegawai, dan lain-lain.
UNIVERSITAS INDONESIA 16
Askandar, Isahdi. (2011). Hubungan antara Employee Engagement dengan Work-Life Balance
pada pegawai. Depok: Skripsi Fakultas Psikologi UI.
BPS Provinsi DKI Jakarta. (2012). Berita Resmi Statistik Provinsi DKI Jakarta No.
23/05/31/Th XIV. Retrieved from
http://jakarta.bps.go.id/fileupload/brs/2012_05_07_13_29_11.pdf.
Clarke, D., & Anne, R. (2002). Work-life balance in an industrial setting: Focus on advocacy.
Nursing & Allied Health Source Journal. 50 (2).
Direktorat Bina Kesehatan Kerja dan Olahraga .(2011). Pemberian penghargaan bagi
perusahaan yang melaksanakan kesehatan kerja (program kesehatan reproduksi &
gizi). Retrieved from
http://kesehatankerja.depkes.go.id/index.php/the_page/pemberian-penghargaan-bagi-
perusahaan-yang-melaksanakan-kesehatan-kerja-program-kesehatan-reproduksi-gizi
Duffield, C., Pallas, O’brien, L, & Aitken, L. M. (2004). Nurses who work outside nursing.
Journal of Advanced Nursing. 47 (6), 664-671.
Evangelista, M., Lim, E., Rocafor, S., & Teh, G. (2009). Worklife balance and organizational
commitment of generation y employees. Theses. Retrieved from
http://www.slideshare.net/guesta4bb5b/worklife-balance-and-organizational-
commitment-of-generation-y-employees.
Fisher, G., Bulger, C., & Smith, C. (2009). Beyond work and family: a measure of
work/nonwork interference and enhancement. Journal of Occupational Health
Psychology. 14(4), 441–456.
Fisher, G.G. (2001). Work/personal life balance: A construct development study. ProQuest
Dissertations and Theses.
Ford, M.T., Heinen, B.A., & Langkamer, K.L. (2007). Work and family satisfaction and
conflict: a meta-analysis of cross-domain relations. Journal of Applied Pyschology. 92
(1), 57-80.
Friedman, S. D., Christensen, P., & DeGroot, J. (1998). Work & life: The end of the zero-sum
game. Harvard Business Review, 119–129.
UNIVERSITAS INDONESIA 17
Kaiser, S., Ringlstetter, M., Reindl, C., & Stolz, M. (2010). The Impact of Corporate Work-
Life Balance Initiatives on Employee Commitment: An Empirical Investigation in The
German Consultancy Sector. Zeitschrift für Personalforschung. 24(3), 231-265.
Kaplan, R. M., & Sacuzzo, D. P. (1993). Psychological Testing: Principles, Applications, and
Issues (3rd Ed.). California: Brooks/Cole Publishing Company.
Kumar, Ranjit. (2005). Research Metdhology: A Step-by-step Guide for Beginners (2nd ed.).
Malaysia: Sage Publications.
Lazăr, I., Osoian, C., & Raţiu, P. (2010). The Role of Work-Life Balance Practices in Order to
Improve Organizational Performance. European Research Studies. 13(1).
Markus, H.R., & Kitayama, S. (1991). Culture and the self: Implications for cognition,
emotion, and motivation. Psychological Review. 98 (2), 224–53. DOI: 10.1037/0033-
295X.98.2.224
Matlin, M.W. (2008). The Psychology of Women (6th ed.). Belmont: Thomson Higher
Education.
Meyer, J.P., & Allen, N.J. (1997). Commitment in the Workplace: Theory, Research and
Application. USA: Sage Publication.
Morrow, P.C., & McElory, J. C. (1987). Work commitment and job satisfaction over three
career stages. Journal of Organizational Behaviour. 30, 330-346.
Nunnally, J. C., & Bernstein, I. H. (1994). Psychometric Theory (3rd Ed.). New York: Mc-
Graw Hill.
Posig, M., & Kickul, J. (2004), Work-role expectations and work family conflict: gender
differences in emotional exhaustion. Women in Management Review. 19 (7), 373-86.
Reddy,N., Vranda, M., Ahmed, A., Nirmala, B., & Siddaramu, B. (2010). Work–Life Balance
among Married Women Employees. Indian Journal of Psychological Medicine. 32.
UNIVERSITAS INDONESIA 18
Schabracq, M.J., Winnubst, J. A.M., & Cooper, C. L. (2003). The Handbook of Work &
Health Psychology (2nd ed.). John Wiley & Sons, Ltd.
Schaufeli, W.B., & Bakker, A.B. (2003). Utrecht Work Engagement Scale Preliminary
Manual. Utrecht University.
Siegel, P.A., Fishman, A.Y., Brockner, J., Post.C., & Garden, C. (2005). The Moderating
Influence of Procedural Fairness on the Relationship Between Work–Life Conflict and
Organizational Commitment. Journal of Applied Psychology. 90 (1), 13–24. DOI:
10.1037/0021-9010.90.1.13.
Thompson, C.A., Beauvais, L.L., & Lyness, K.S. (1999). When Work–Family Benefits Are
Not Enough: The Influence of Work–Family Culture on Benefit Utilization,
Organizational Attachment, and Work–Family Conflict. Journal of Vocational
Behavior. 54, 392–415.
Wang, M.L., Lin, T.M., & Tsai, L.J. (2012). The Relationships between Work-Family
Conflict and Job Performance under Different Sources of Social Support: Nursing
Staffs as Examples. Technology Management for Emerging Technologies.
UNIVERSITAS INDONESIA 19