Anda di halaman 1dari 42

1

BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Era globalisasi saat ini menuntut adanya efektifitas dan efisiensi organisasi yang tinggi
untuk dapat bertahan hidup di tengah-tengah persaingan bisnis yang ketat. Salah satu aspek
terpenting dalam menciptakan suatu keunggulan bersaing adalah meningkatkan kualitas sumber
daya manusia. Sumber daya manusia merupakan penggerak utama dalam pencapaian visi dan
misi suatu perusahaan, dimana hal ini akan terwujud apabila ditunjang oleh sumber daya
manusia yang berkualitas. Sumber daya manusia yang berkualitas diharapkan mampu merespon
dan menghadapi perubahan di dalam dunia bisnis.
Keinginan untuk hidup layak dan dapat memenuhi semua kebutuhan adalah alasan
mengapa manusia itu bekerja. Manusia adalah motor penggerak dalam perusahaan, peranannya
sangat penting dan tidak bisa dipisahkan dari perusahaan. Mereka akan bekerja dengan baik,
nyaman, dan giat jika mereka merasa puas dengan apa yang mereka terima dari perusahaan.
Selain itu, akan timbul prestasi kerja yang nantinya dapat menguntungkan perusahaan yaitu
dengan adanya pencapaian tujuan atau target perusahan.
Pekerjaan sendiri merupakan hal yang sangat penting bagi individu pekerja, karena
pekerjaan dapat menjadi penentu standar kehidupan seseorang, tempat tinggal, status bahkan
menjadi kebanggan pribadi individu (Wadhwa et al, 2011).
Perubahan fenomena dalam pekerjaan saat ini bergerak dari single career menjadi dual
career couples, dimana suami dan istri sepakat untuk memutuskan untuk bekerja secara bersamasama. Hal ini mengakibatkan tingginya kebutuhan para pekerja untuk menyeimbangkan antara
pekerjaan dan rumah tangga.
Tren juga menunjukkan bahwa akses laki-laki dan perempuan ke pekerjaan formal telah
meningkat dari waktu ke waktu. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), partisipasi
perempuan dalam lapangan kerja meningkat signifikan. Selama Agustus 2006 - Agustus 2007
jumlah pekerja perempuan bertambah 3.300.000 orang. Pada bulan Mei 2013 ada 53.200.000
pekerja di sektor formal, dan 35 persennya adalah perempuan, 65 persennya adalah laki-laki.
Begitu pula terdapat 61.400.000 pekerja yang bekerja di sektor ekonomi informal dengan 41

persennya adalah perempuan dan 59 persennya adalah laki-laki. Penambahan terbesar pekerja
perempuan terdapat di sektor pertanian dan perdagangan.
Pemerintah telah menunjukkan upaya dalam mendukung perempuan untuk mengakses
kesempatan kerja di sektor ekonomi formal, seperti kuota gender dalam parlemen serta adanya
jam kerja yang fleksibel, namun upaya lebih lanjut dibutuhkan untuk menjembatani kesenjangan
antar gender, terutama terkait diskriminasi, kualitas pekerjaan di sektor-sektor yang didominasi
perempuan serta peraturan yang membolehkan cuti melahirkan.

Partisipasi angkatan kerja

perempuan muda juga diperkirakan meningkat, dikarenakan oleh adanya akses yang lebih besar
ke

pendidikan dan pelatihan serta

semakin tingginya kebutuhan hidup yang memaksa

perempuan bekerja untuk memenuhi kebutuhan hidup.


Fenomena dual career couples juga terlihat di Indonesia, pada saat ini tidak hanya
suami saja yang harus bekerja untuk memenuhi kebutuhan hidup keluarganya, tetapi banyak istri
yang bekerja juga. Wanita yang pada zaman dahulu hanya berperan sebagai seorang ibu rumah
tangga saja, kini mempunyai peran kedua yaitu sebagai wanita karier.
Salah satu masalah pokok dalam manajemen sumber daya manusia adalah bagaimana
mencari cara yang terbaik untuk mencapai kepuasan kerja karyawan. Menurut Rivai (2004),
setiap individu dalam aktivitas kerjanya mengharapkan pekerjaan yg dilakukan mampu
memenuhi kebutuhannya dan apabila terpenuhi akan menimbulkan perasaan puas.
Kepuasan kerja saat ini diteliti oleh berbagai disiplin ilmu, dimulai dari ilmu psikologi,
ekonomi, manajemen maupun sosiologi. Hal ini dikarenakan banyaknya ahli yang menyatakan
bahwa kepuasan kerja berhubungan erat dengan semangat kerja karyawan, tingkat absensi
maupun turn over karyawan dan yang terakhir tingkat wellbeing karyawan. Kepuasan kerja juga
merupakan suatu prasyarat dari terciptanya performa kerja yang baik (Dantzker, 1994). Hartline
dan Ferrells (1996) dalam penelitiannya juga menemukan bahwa untuk meningkatkan persepsi
pelanggan mengenai kualitas pelayanan yang diberikan oleh suatu perusahaan, maka manajer
harus meningkatkan kepuasan kerja karyawan.
Karyawan dengan level kepuasan kerja yang rendah seringkali menjadi boomerang bagi
perusahaan, karena mereka akan menceritakan hal buruk mengenai perusahaan kepada orang
lain, mengeluh dengan tugas-tugas yang diberikan, menjadi contoh yang buruk bagi karyawan
lainnya serta menjadi karyawan yang tidak produktif dalam bekerja. Karyawan yang tidak puas
dalam bekerja akan terlihat tidak bersemangat dalam menyelesaikan tugasnya, yang akhirnya

mempengaruhi kualitas hasil kerja. Kondisi ini jika dibiarkan terus menerus dalam jangka waktu
panjang akan membawa perusahaan ke dalam kebangkrutan. Rendahnya kepuasan kerja
karyawan merupakan salah satu gejala yang dapat merusak kondisi dalam suatu organisasi
perusahaan.
Rendahnya kepuasan kerja karyawan juga terlihat dari kurangnya kemampuan karyawan
dalam menyelesaikan tugas pekerjaan yang diberikan sehingga mengakibatkan keterlambatan
dalam mengerjakan tugas, serta menurunnya efektifitas dan efisiensi kerja.
Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Bauer (2004) ditemukan bahwa tingkat
kepuasan kerja karyawan di 21 negara cenderung rendah. Seperti di Swiss, Amerika Serikat dan
Rusia dan seluruh negara yang terletak di Eropa Timur seperti Hongaria, Rusia, Slovenia,
Bulgaria dan Republik Czeh . Karyawan di Denmark dinyatakan memiliki tingkat kepuasan kerja
yang paling tinggi, sementara Hongaria merupakan negara dengan tingkat kepuasan kerja paling
rendah.
Survey yang dilakukan oleh Barrington dan Franco (2010) juga menemukan bahwa
tingkat kepuasan kerja pada penduduk di Inggris tergolong rendah. Hal ini sejalan dengan
penelitian yang dilakukan oleh Barrington dan Franco (2010) di Amerika yang menemukan
bahwa para pekerja di Amerika cenderung tidak bahagia dalam melakukan pekerjaannya. Saat
ini, tingkat kepuasan kerja mulai menjadi pusat perhatian. Hal ini dikarenakan oleh semakin
meluasnya pemahaman bahwa pekerja yang puas dengan pekerjaannya akan memberikan
kontribusi positif bagi perusahaan, meningkatkan komitmen kerja, memberikan perasaan aman
dan nyaman kepada karyawan sehingga menurunkan tingkat turn over karyawan.
Berikut ini adalah hasil survei dari JobStreet.com dengan 17,623 karyawan sebagai
koresponden yang hasilnya menunjukkan bahwa 73% karyawan tidak puas dengan pekerjaan
yang dimiliki saat ini. Adapun 54% karyawan saat ini terpaksa harus bekerja pada posisi yang
tidak sesuai dengan latar belakang pendidikan mereka. Ketidaksesuaian lapangan kerja ini juga
berpengaruh

pada

produktifitas

mereka

sebagai

karyawan.

http://lifeblogid.com/2014/12/09/fenomena-kurangnya-kepuasan-kerja-karyawan-saat-ini/
Konsep kepuasan kerja sendiri mulai tercatat dalam literatur American Psychology pada
tahun 1926 (APA, 2007). Hingga saat ini, dalam jurnal APA tercatat 750 artikel penelitian
mengenai kepuasan kerja.

Angka tersebut hanya yang menyatakan jumlah artikel yang

menggunakan konsep kepuasan kerja sebagai judul penelitian, belum yang termasuk yang
menggunakan konsep kepuasan kerja sebagai sub pembahasan. (Suyasa, 2007)
Selanjutnya, penelitian yang sangat terkenal mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi
kepuasan kerja adalah penelitian yang dilakukan oleh Herzberg (1968). Di dalam penelitiannya,
ia menemukan faktor-faktor penentu kepuasan dan ketidakpuasan kerja. Faktor ini kemudian
disebutnya sebagai motivation factor dan hygiene factor.
Saleem et al (2013) menyatakan bahwa sebuah perusahaan seharusnya memiliki strategi
dan kebijakan untuk meningkatkan kepuasan kerja karyawan, karena karyawan yang tidak
puas, tidak akan

melakukan pekerjaannya dengan baik dan tidak akan

perduli dengan

pelanggannya.
Memperhatikan jumlah pekerja wanita yang bertambah setiap tahunnya, maka peneliti
menganggap penting untuk meneliti mengenai kepuasan kerja pekerja wanita di Indonesia,
dimana untuk menjamin keberlangsungan dari suatu perusahaan, maka perusahaan harus
memperhatikan tingkat kepuasan kerja dari seluruh karyawannya.
Mengkaji tingkat kepuasan kerja pada pekerja wanita tentunya berbeda. Oleh karena itu,
peneliti melakukan studi penelitian awal untuk menemukan konsep kepuasan kerja pada pekerja
wanita. Peneliti memberikan kuesioner terbuka kepada 68 pekerja wanita di kota Medan pada
tanggal 10- 15 April 2015. Peneliti menyebarkan kuesioner terbuka dengan tujuan untuk
mengelaborasikan opini dari setiap karyawan mengenai seberapa jauh mereka merasakan
kepuasan terkait pekerjaan mereka saat ini. Peneliti melakukan survey untuk: (1) mengukur
tingkat kepuasan kerja karyawan di kota Medan; dan (2)

mengukur faktor-faktor yang

mempengaruhi kepuasan kerja karyawan. Hasil survey menunjukkan bahwa karyawan


merasakan kepuasan kerja pada nilai 2 dari skala 1 5 sebesar 53%, dimana skala 1 (sangat tidak
puas), skala 2 (tidak puas), skala 3 (netral), skala 4 (puas) dan skala 5 (sangat puas). Sementara
sisanya 27% memilih skala 3, 8% memilih skala 5 dan 12% memilih skala 4.

Tabel 1.1
Penelitian Awal Kepuasan Kerja Pekerja Perempuan di Medan

Dari diagram survey awal tersebut, terlihat bahwa populasi wanita pekerja mengalami
tingkat kepuasan kerja sebesar 15.8%. Berdasarkan data preliminary research yang dilakukan,
ditemukan faktor-faktor yang mempengaruhi karyawan perempuan di Indonesia adalah gaji,
atasan, rekan kerja,

fasilitas yang memadai, jam kerja, lokasi kerja, pengembangan diri

karyawan, pekerjaan itu sendiri dan dukungan sosial.

Tabel 1.2
Faktor-faktor Kepuasan kerja pada pekerja wanita
Dimensi
Sistem Penggajian

Faktor-faktor Kepuasan kerja


1. Gaji tidak mencukupi
2. Gaji minim
3. Gaji tidak sesuai dengan beban kerja
4. Perusahaan tidak memperhatikan kesejahteraan karyawan
5. Hak dan kewajiban karyawan tidak jelas
6. Ada pemberian bonus jika target kerja tercapai
7. Ada jaminan masa tua

2.

Atasan
mendukung

yang

1.
2.
3.
4.
5.
6.

3.

Rekan
baik

yang

1.
2.
3.
4.
5.
6.

4.

Kondisi kerja *

5.

Jam kerja

6.
7.

Lokasi kerja
Pengembangan
karyawan

1.

kerja

diri

Atasan tidak mendukung


Pimpinan tidak memperhatikan kinerja pegawai
Atasan mau menang sendiri
Atasan bersedia mendengarkan keluhan dari bawahanya
Atasan bersikap dingin terhadap bawahan
Atasan terlalu sering complain tetapi tidak diiringi dengan
pujian jika karyawan berbuat benar
7. Pemimpin tidak berkualitas
8. Atasan dapat berbaur dengan baik dengan bawahan
9. Komunikasi lancar antara atasan dan bawahan
10. Hubungan yang baik antara atasan dan bawahan

1.
2.
3.
4.
5.
6.
1.
2.
3.
4.
1.
1.

Rekan kerja tidak dapat diajak bekerjasama


Adanya persaingan tidak sehat dengan rekan kerja
Antara rekan kerja tidak ada satu kesatuan dalam bekerja
Karyawan saling menjatuhkan
Antara rekan kerja tidak akrab
Ada kegiatan untuk mengakrabkan sesama karyawan

Fasilitas kerja kurang memadai


Suasana kerja yang nyaman
Ruang kerja tidak nyaman
Sarana dan prasarana lengkap
Kondisi pencahayaan cukup
Lingkungan kerja yang nyaman, tidak panas
Jam kerja lebih dari 10 jam
Tidak adanya jam istirahat ketika bekerja
Seringkali harus lembur
Jam kerja sangat padat
Lokasi kerja jauh dari tempat tinggal
Karyawan tidak diberikan seminar/ training untuk
meningkatkan skill
2. Diberikan pelatihan sesering mungkin, sesuai dengan

8.

Variabel peran *

9.

Dukungan social

10. Work Life Balance

kebutuhan karyawan
3. Perusahaan membekali karyawan dengan pengetahuan
pengetahuan dan keterampilan
4. Tidak ada promosi jabatan
5. Adanya jenjang karir yang jelas
1. Job Description dari setiap tugas masih tumpang tindih
2. Pekerjaan terlalu sulit untuk dikerjakan sendiri
3. Sistem kerja tidak efektif
4. Tidak ada jenjang karir di dalam perusahaan
5. Ada aturan yang jelas mengenai hak dan kewajiban
karyawan
1. Keluarga yang selalu memberikan support
2. Suami tidak dapat bekerjasama dalam mengasuh anak
1. Jam kerja fleksibel sehingga memiliki waktu untuk
mengurus anak
2. Konflik antara rumah dan tanggung jawab pekerjaan

Sebelumnya telah ada sejumlah peneliti yang tertarik meneliti tentang kepuasan kerja
karyawan dan faktor-faktor yang berkaitan dengan kepuasan kerja karyawan. Studi literature
yang dilakukan oleh peneliti menunjukkan bahwa para ahli telah banyak melakukan kajian
mengenai dampak negatif dari ketidakpuasan kerja yang dialami oleh karyawan. Diantaranya
adalah : (1) Iffaldano dan Muchinsky (1986) menjelaskan bahwa ada korelasi positif tetapi tidak
signifikan antara kepuasan kerja dan kinerja individual. (2) Vroom (1960) dan Strauss (1968)
meneliti tentang kepuasan kerja, dimana hasil pengujian hipotesis menunjukkan ada hubungan
positif dan signifikan antara kepuasan kerja dengan kinerja individual (3) Ostroff (1992) dalam
penelitiannya memberikan bukti empiris bahwa kepuasan kerja tidak mempunyai hubungan
signifikan dengan peningkatan kinerja individual.
Kepuasan kerja merupakan derajad kesukaan seorang karyawan terhadap pekerjaannya
(Spector, 1997). Kepuasan kerja sendiri merupakan issue yang sangat kompleks, sehingga tidak
ada 1 teori khusus yang dapat menjelaskannya secara sempurna. Oleh karena itu, maka penelitian
ini mencoba mengkaji kepuasan kerja melalui perpaduan dari pendapat Robbins (2003),
Munandar (2001), Spector (1996, 1997) dalam mengkaji tingkat kepuasan kerja karyawan
perempuan.
Dari uraian diatas telah dipaparkan mengenai pentingnya perusahaan memperhatikan
kepuasan kerja karyawan. Kepuasan kerja bukanlah konstruk yang sederhana . Untuk

mengukurnya secara akurat, seorang peneliti tidak cukup hanya mengetahui definisi - definisi
kepuasan kerja saja. Seorang peneliti juga perlu pemahaman yang bersifat komprehensif
terhadap proses terbentuknya kondisi kepuasan kerja. Proses terbentuknya kepuasan kerja dapat
dijelaskan dari berbagai pendekatan, antara lain: discrepancy theory, expectancy theory, social
influence theory , dan exchange theory (Wexley dan Yukl, 1977).
Menurut discrepancy theory (Locke,) kepuasan kerja yang dialami seseorang berasal dari
hal-hal yang ia anggap penting, dan sejauh mana hal hal yang ia anggap penting tersebut
terpenuhi. Kepuasan kerja semakin terbentuk pada saat tidak adanya kesenjangan antara hal-hal
yang individu anggap penting dan hal-hal yang individu dapatkan. Individu yang puas adalah
individu yang mendapatkan hal -hal yang ia anggap penting. Sebaliknya, individu yang tidak
puas adalah individu yang tidak berhasil mendapatkan hal hal yang ia anggap penting (Berry,
1997).
Teori ini menerangkan bahwa seorang karyawan akan merasa puas bila tidak ada
perbedaan antara apa yang diinginkan dengan persepsinya atas kenyataan yang ada. Dipelopori
oleh Porter (1961) dengan mengukur kepuasan kerja seseorang dengan menghitung selisih antara
apa yang seharusnya dengan kenyataan yang dirasakan. Selanjutnya Locke (1969) menerangkan
bahwa kepuasan kerja seseorang tergantung kepada discrepancy antara should be (expectation,
need, atau value) dengan apa yang menurut perasaannya telah diperoleh atau dicapai melalui
pekerjaan.
Dalam expectancy theory yang dikemukakan oleh Lawler (Berry, 1997), kepuasan kerja
didasari oleh perbedaan dari apa yang diharapkan oleh individu (what they expected), dan apa
yang didapatkannya (the exact amount a person received). Secara proses, tampak bahwa
kepuasan kerja berdasarkan discrepancy theory dan berdasarkan expectancy theory adalah sama.
Dalam expectancy theory, hal-hal yang dianggap penting oleh individu dinyatakan
sebagai hal -hal yang diharapkan. Individu yang puas adalah individu yang mendapatkan hal-hal
yang ia harapkan. Sedangkan individu yang tidak puas adalah individu yang tidak berhasil
mendapatkan hal-hal yang ia harapkan.
Social influence theory didasarkan pada teori dari Bandura (Berry, 1997). Kepuasan
kerja terbentuk dari persepsi seberapa jauh keinginan -keinginan yang dimiliki karyawan dapat
terpenuhi dari pekerjaannya. Pendekatan social influence theory menyatakan bahwa persepsi

terhadap keinginan -keinginan yang dimiliki karyawan sebagai individu, tidak terlepas dari
pengaruh sosial. Individu mengamati seberapa jauh orang lain memperoleh dan tidak
memperoleh apa yang diinginkannya. Individu mengamati bahwa ada keinginan-keinginan yang
mudah dicapai dan ada keinginan-keinginan yang sulit diperoleh. Teori ini relevan dengan salah
satu aspek dalam

equity theory, yang menyatakan bahwa kepuasan kerja dihasilkan dari

perbandingan individu dengan orang lain. Individu akan membandingkan apa yang diperoleh
dirinya dengan apa yang diperoleh oleh orang lain, baik di dalam lingkungan kerja maupun di
luar lingkungan kerja, dengan pekerjaan yang sama. Individu cenderung lebih puas, bila hasil
perbandingan tersebut menunjukkan bahwa apa yang diperoleh dirinya lebih besar dibandingkan
dengan apa yang diperoleh orang lain, pada pekerjaan yang relatif sama.
Pendekatan terakhir adalah pendekatan exchange theory. Pendekatan ini dikemukakan
oleh Homans (dikutip oleh Mueller & Mulinge, 1998). Dalam pendekatan ini, dijelaskan bahwa
kepuasan kerja terbentuk dari proses timbal balik antara hal-hal yang diberikan karyawan kepada
perusahaan (outcome) dan hal-hal yang diberikan perusahaan kepada karyawan (income).
Seorang karyawan akan membandingkan antara outcome dan income yang diterimanya.
Individu akan merasa puas, bila income yang diterimanya sesuai dengan outcome yang
diberikannya kepada perusahaan.
Pada penelitian ini, dengan didasarkan pada hasil studi empiris melalui penelitian awal
tentang tingkat kepuasan kerja karyawan perempuan (tabel 1.1, hal 5) dan faktor-faktor yang
mempengaruhi kepuasan kerja pada karyawan perempuan (tabel 1.2, hal 5) serta studi literature
yang telah dilakukan oleh peneliti, maka peneliti akan: (1) Membangun model kepuasan kerja (2)
Mengkaji peran

work-life balance

dan

dukungan sosial secara bersama-sama dalam

mempengaruhi kepuasan kerja karyawan. Pengkajian terhadap ketiga variabel tersebut belum
ditemukan peneliti dalam penelitian-penelitian sebelumnya
Yang menjadi kebaruan dalam penelitian ini adalah mengenai kepuasan kerja pada
pekerja wanita, karena berdasarkan telaahan yang dilakukan oleh peneliti, masih minim
penelitian mengenai kepuasan kerja pada wanita pekerja di Asia.

Telaahan yang peneliti

temukan adalah penelitian yang dilakukan oleh Bilgic (1998) di Turki, Bilgic (1998)
menyebutkan bahwa tidak ada perbedaan antara kepuasan kerja antara pria dan wanita.
Sementara Khaleque dan Rahman (1987) menemukan bahwa

wanita yang telah menikah

10

cenderung memiliki kepuasan yang lebih tinggi dibanding pekerja lainnya. Sementara Metle
(2002) menemukan bahwa kebudayaan tradisional memberikan pengaruh terhadap karyawan di
Kuwait. Kebudayaan tradisional ini memberikan pengaruh negatif terhadap kepuasan kerja
pekerja wanita di Kuwait yang menyebabkan rendahnya kepuasan kerja pekerja wanita disana.
1.2. Rumusan Masalah
Adapun permasalahan yang akan dijawab dalam penelitian ini adalah:
1. Bagaimanakah gambaran kepuasan kerja karyawan perempuan di Indonesia?
2. Bagaimanakah pengaruh work-life balance terhadap kepuasan kerja karyawan
perempuan?
3. Bagaimanakah pengaruh dukungan sosial terhadap kepuasan kerja karyawan perempuan?
4. Seberapa besar

work-life balance berpengaruh terhadap kepuasan kerja karyawan

perempuan?
5. Seberapa besar dukungan sosial berpengaruh terhadap kepuasan kerja karyawan
perempuan?
1.3. Tujuan Penelitian
Penelitian ini bermaksud untuk membangun model kepuasan kerja pada pekerja wanita di
Indonesia. Adapun tujuan penelitian ini adalah:
(1) Memperoleh gambaran kepuasan kerja pada karyawan perempuan di Indonesia
(2) Memperoleh model konsep kepuasan kerja pada karyawan perempuan di Indonesia dengan
menyertakan peranan work-life balance dan dukungan sosial
(3) a. Memperoleh gambaran besarnya pengaruh dukungan sosial terhadap kepuasan kerja
karyawan perempuan di Indonesia
b. Memperoleh gambaran besarnya pengaruh work-life balance terhadap kepuasan kerja
karyawan perempuan di Indonesia
1.4. Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi secara teoritis maupun praktis.

11

1) Secara teoritis, penelitian ini akan bermanfaat untuk: (1) memberikan kontribusi terhadap
pengembangan konsep kepuasan kerja pada karyawan perempuan (2) memperoleh model
kepuasan kerja dengan dinamika antara work-life balance, dukungan sosial

fit dengan

kepuasan kerja karyawan perempuan (3) memperkaya pengembangan teori psikologi industri
dan organisasi khususnya teori kepuasan kerja yang dibentuk atas faktor work-life balance
dan dukungan sosial
2) Secara praktis, hasil penelitian ini dapat dijadikan referensi dan rujukan untuk: (1)
memperoleh gambaran tentang kepuasan kerja pada karyawan perempuan beserta dengan
dimensi-dimensi pembentuknya; gambaran ini dapat dijadikan bahan bacaan untuk
memperluas cakrawala pemahaman bagi pembaca; (2) memberikan sumbangan solusi kepada
pihak perusahaan untuk meningkatkan kepuasan kerja karyawan perempuan; (3) dengan
memperhatikan kepuasan kerja karyawan perempuan maka akan meningkatkan partisipasi
perempuan di perusahaan ataupun dalam dunia industri, hal ini akan membantu pemerintah
dalam mengurangi tingkat pengangguran (4) memberikan sumbangan untuk menghasilkan
strategi untuk mendukung akses perempuan dalam dunia organisasi (5) Selain itu, penelitian
ini juga diharapkan mampu memberi masukan dalam bidang ekonomi, kebijakan dan
organisasi khususnya dalam usaha meningkatkan kepuasan kerja pekerja wanita (6)
meningkatkan kualitas hidup karyawan perempuan di Indonesia

12

BAB II
KAJIAN PUSTAKA
2.1. Kajian Teori
2.1.1. Kepuasan Kerja
Locke (1976) mendefinisikan kepuasan kerja sebagai suatu hal yang menyenangkan,
ataupun keadaan emosional yang menyenangkan yang diperoleh dari pengalaman karyawan
selama bekerja. Kemudian Luthans (2007) mendefinisikan kepuasan kerja sebagai keadaan yang
menyenangkan atau emosi positif yang dihasilkan dari penilaian pekerjaan atau pengalaman
kerja seseorang.
Kepuasan kerja dihasilkan dari persepsi karyawan mengenai seberapa baik pekerjaan
mereka menyediakan hal yang dipandang penting. Lima aspek kepuasan kerja diukur dengan
Job Descriptive Index (JDI) yaitu pekerjaan itu sendiri (berhubungan dengan tanggung jawab,
minat dan pertumbuhan); kualitas supervisi (terkait dengan bantuan teknis dan dukungan sosial);
hubungan dengan rekan kerja (berkaitan dengan harmoni sosial dan respek); kesempatan
promosi (terkait dengan kesempatan untuk pengembangan lebih jauh); dan pembayaran (yang
terkait dengan pembayaran yang memadai dan persepsi keadilan) (Luthans, 2006).

13

Kepuasan kerja dapat dipahami melalui tiga aspek. Pertama, kepuasan kerja merupakan
bentuk respon pekerja terhadap kondisi lingkungan pekerjaan. Kedua, kepuasan kerja sering
ditentukan oleh hasil pekerjaan atau kinerja. Ketiga, kepuasan kerja terkait dengan sikap lainnya
dan dimiliki oleh setiap pekerja (Luthans, 1995). Smith et al (1996) lebih rinci mengemukakan
berbagai dimensi dalam kepuasan kerja yang kemudian dikembangkan menjadi instrument
pengukur variable kepuasan terhadap (1) menarik atau tidaknya jenis pekerjaan yang dilakukan
oleh karyawan, (2) jumlah kompensasi yang diterima pekerja, (3) kesempatan untuk promosi
jabatan, (4) kemampuan atasan dalam memberikan bantuan teknis dan dukungan perilaku, dan
dukungan rekan sekerja.
Menurut Wexley and Yukl (1977), kepuasan kerja ditentukan atau dipengaruhi oleh
sekelompok faktor. Faktor-faktor itu dapat dikelompokan ke dalam tiga bagian, yaitu yang
termasuk dalam karakteristik individu, variabel situasional, karakteristik pekerjaan.
1) Karakter individu, yang meliputi: kebutuhan-kebutuhan individu, nilai-nilai yang dianut
individu (values), dan ciri-ciri kepribadian (personality traits).
2) Variabel-variabel yang bersifat situasional, yang meliputi: perbandingan terhadap situasi sosial
yang ada, kelompok acuan, pengaruh dari pengalaman kerja sebelumnya.
3) Karakteristik pekerjaan, yang meliputi: imbalan yang diterima, pengawasan yang dilakukan
oleh atasan, pekerjaan itu sendiri, hubungan antara rekan sekerja, keamanan kerja, kesempatan
untuk memperoleh perubahan status.
2.1.2. Pendekatan dalam kepuasan kerja
Berikut merupakan beberapa pendekatan dalam kepuasan kerja, antara lain:
discrepancy theory, expectancy theory, social influence theory , dan exchange theory (Wexley
dan Yukl (1977)
Menurut discrepancy theory (Locke,) kepuasan kerja yang dialami seseorang berasal dari
hal-hal yang ia anggap penting, dan sejauh mana hal hal yang ia anggap penting tersebut
terpenuhi. Kepuasan kerja semakin terbentuk pada saat tidak adanya kesenjangan antara hal-hal
yang individu anggap penting dan hal-hal yang individu dapatkan. Individu yang puas adalah

14

individu yang mendapatkan hal -hal yang ia anggap penting. Sebaliknya, individu yang tidak
puas adalah individu yang tidak berhasil mendapatkan hal hal yang ia anggap penting (Berry,
1997).

Teori ini menerangkan bahwa seorang karyawan akan merasa puas bila tidak ada

perbedaan antara apa yang diinginkan dengan persepsinya atas kenyataan yang ada. Dipelopori
oleh Porter (1961) dengan mengukur kepuasan kerja seseorang dengan menghitung selisih antara
apa yang seharusnya dengan kenyataan yang dirasakan. Selanjutnya Locke (1969) menerangkan
bahwa kepuasan kerja seseorang tergantung kepada discrepancy antara should be (expectation,
need, atau value) dengan apa yang menurut perasaannya telah diperoleh atau dicapai melalui
pekerjaan.
Dalam expectancy theory yang dikemukakan oleh Lawler (Berry, 1997), kepuasan kerja
didasari oleh perbedaan dari apa yang diharapkan oleh individu (what they expected), dan apa
yang didapatkannya (the exact amount a person received). Secara proses, tampak bahwa
kepuasan kerja berdasarkan discrepancy theory dan berdasarkan expectancy theory adalah sama.
Dalam expectancy theory, hal-hal yang dianggap penting oleh individu dinyatakan
sebagai hal -hal yang diharapkan. Individu yang puas adalah individu yang mendapatkan hal-hal
yang ia harapkan. Sedangkan individu yang tidak puas adalah individu yang tidak berhasil
mendapatkan hal-hal yang ia harapkan.
Social influence theory didasarkan pada teori dari Bandura (Berry, 1997). Kepuasan
kerja terbentuk dari persepsi seberapa jauh keinginan -keinginan yang dimiliki karyawan dapat
terpenuhi dari pekerjaannya. Pendekatan social influence theory menyatakan bahwa persepsi
terhadap keinginan -keinginan yang dimiliki karyawan sebagai individu, tidak terlepas dari
pengaruh sosial. Individu mengamati seberapa jauh orang lain memperoleh dan tidak
memperoleh apa yang diinginkannya. Individu mengamati bahwa ada keinginan-keinginan yang
mudah dicapai dan ada keinginan-keinginan yang sulit diperoleh. Teori ini relevan dengan salah
satu aspek dalam

equity theory, yang menyatakan bahwa kepuasan kerja dihasilkan dari

perbandingan individu dengan orang lain. Individu akan membandingkan apa yang diperoleh
dirinya dengan apa yang diperoleh oleh orang lain, baik di dalam lingkungan kerja maupun di
luar lingkungan kerja, dengan pekerjaan yang sama. Individu cenderung lebih puas, bila hasil
perbandingan tersebut menunjukkan bahwa apa yang diperoleh dirinya lebih besar dibandingkan
dengan apa yang diperoleh orang lain, pada pekerjaan yang relatif sama.

15

Pendekatan terakhir adalah pendekatan exchange theory. Pendekatan ini dikemukakan


oleh Homans (dikutip oleh Mueller & Mulinge, 1998). Dalam pendekatan ini, dijelaskan bahwa
kepuasan kerja terbentuk dari proses timbal balik antara hal-hal yang diberikan karyawan kepada
perusahaan (outcome) dan hal-hal yang diberikan perusahaan kepada karyawan (income).
Seorang karyawan akan membandingkan antara outcome dan income yang diterimanya.
Individu akan merasa puas, bila income yang diterimanya sesuai dengan outcome yang
diberikannya kepada perusahaan.

2.1.3. Dimensi Kepuasan Kerja


Dimensi pengukuran kepuasan kerja cukup bervariasi. Stephen Robbins mengajukan
empat variabel yang mampu mempengaruhi kepuasan kerja seseorang yaitu: (1) Pekerjaan
menantang secara mental; (2) Reward memadai; (3) Kondisi kerja mendukung; dan (4) Kolega
mendukung (Luthans, 2007)
1) Pekerjaan yang menantang secara mental Pekerja cenderung memiliki pekerjaan
yang memberikan kesempatan mereka menggunakan keahlian dan kemampuan serta
menawarkan variasi tugas, kebebasan, dan umpan balik seputar sebaik mana pekerjaan
yang mereka lakukan. Pekerjaan yang kurang menantang cenderung membosankan,
sementara pekerjaan yang terlalu menantang cenderung membuat frustasi dan rasa gagal.
Di bawah kondisi moderat-menantang, sebagian besar pekerja akan mengalami pleasure
and kepuasan.
2) Reward yang memadai Kecenderungan pekerja dalam menginginkan sistem
penghasilan dan kebijakan promosi yang diyakini adil, tidak mendua, dan sejalan dengan
harapannya. Saat pekerja menganggap bahwa penghasilan yang diterima setimpal dengan
tuntutan pekerjaan, tingkat keahlian, dan sama berlaku bagi pekerja lainnya, kepuasan
akan muncul. Tidak semua pekerja mencari uang, dan sebab itu promosi merupakan
alternatif lain kepuasan kerja. Banyak pula pekerja yang mencari kewenangan, promosi,
perkembangan pribadi, dan status sosial.

16

3) Kondisi kerja yang mendukung Perhatian pekerja pada lingkungan kerja, baik
kenyamanan ataupun fasilitas yang memungkinkan mereka melakukan pekerjaan secara
baik. Studi-studi membuktikan bahwa pekerja cenderung tidak memiliki lingkungan kerja
yang berbahaya atau tidak nyaman. Temperatur, cahaya, dan faktor-faktor lingkujngan
lain tidaklah terlampau ekstrim. Mereka juga cenderung berkerja di lokasi yang dekat
rumah, menggunakan fasilitas moderen, serta peralatan kerja yang mencukupi.
4) Kolega yang mendukung Pekerja, selain bekerja juga mencari kehidupan sosial. Tidak
mengejutkan bahwa dukungan rekan kerja mampu meningkatkan kepuasan kerja seorang
pekerja. Perilaku atasan juga sangat mempengaruhi kepuasan kerja seseorang. Studi
membuktikan bahwa kepuasan kerja meningkat tatkala supervisor dianggap bersahabat
dan mau memahami, melontarkan pujian untuk kinerja bagus, mendengarkan pendapat
pekerja, dan menunjukkan minat personal terhadap mereka.

2.1.4. Faktor-faktor yang mempengaruhi Kepuasan Kerja


Kepuasan kerja merupakan dampak dari berbagai anteseden, baik anteseden pribadi
maupun anteseden lingkungan (Spector, 1997). Berikut ini akan diuraikan beberapa anteseden
kepuasan kerja yang didasarkan pada pendapat Robbins (2003), Munandar (2001), Spector
(1996, 1997):
a. Faktor Lingkungan
1. Karakteristik Pekerjaan
Menurut Robbins (2003), karyawan cenderung memilih pekerjaan yang memberikan kesempatan
pada mereka untuk menggunakan keterampilan dan kemampuannya serta menawarkan variasi
tugas, kemandirian, dan umpan balik atas pekerjaan secara mental menantang karyawan dan
menimbulkan kepuasan kerja. Spector (1997) juga menyatakan bahwa adanya kebebasan bagi
karyawan untuk membuat keputusan sendiri atas pekerjaannya serta adanya kesempatan untuk
memberikan masukan terhadap kebijakan organisasi akan meningkatkan kepuasan kerja
karyawan.

17

2. Variabel Peran
Peran merupakan pola tingkah laku yang dituntut organisasi terhadap karyawan. Ada dua
variable peran yang mempengaruhi kepuasan kerja, yaitu ambiguitas peran dan konflik peran.
Beberapa hasil penelitian menunjukkan bahwa semakin tinggi ambiguitas peran dan semakin
tinggi konflik peran maka semakin rendah kepuasan kerja karyawan (Spector, 1997).
3. Sistem Penggajian
Penelitian membuktikan bahwa kepuasan kerja akan meningkat apabila system penggajian
dipersepsikan sebagai sesuatu yang adil, baik pada tingkat kompensasi yang diterima maupun
pada mekanisme yang digunakan untuk menentukan kompensasi tersebut (Greenberg & Baron,
2003). Semakin kuat kepercayaan mereka mengenai gaji yang sepantasnya diterima, dan
semakin kecil kesenjangan antara gaji mereka sebenarnya dengan pemikiran bahwa mereka
berharga, maka semakin puas mereka terhadap pendapatnya.

4. Atasan
Secara spesifik, penelitian telah menemukan bahwa kepuasan kerja cenderung tinggi pada
karyawan

yang

mempersepsikan atasan mereka sebagai seseorang yang

kompeten,

memperhatikan apa yang ada dalam pikiran bawahannya, dan memperlakukan dengan
pengahargaan dan penghormatan, dibandingkan dengan atasan yang memiliki sikap yang
sebaliknya (Greenberg & Baron, 2003)
5. Kondisi Kerja
Penelitian membuktikan bahwa kepuasan kerja dapat berkurang karena kondisi sekitar yang
terlalu penuh, lingkungan yang gelap dan berisik, dengan temperature yang terlalu ekstrim serta
kualitas udara yang rendah (Greenberg & Baron, 2003). Walaupun faktor-faktor tersebut tidak
berhubungan langsung dengan pekerjaan itu sendiri, melainkan dengan konteks dimana
pekerjaan itu dilakukan, namun kondisi kerja yang tidak menyenangkan dapat menimbulkan
gangguan disik dan menurunkan performa kerja karyawan. Munandar (2001) mengatakan bahwa
salah satu faktor yang mempengaruhi kepuasan kerja karyawan adalah kondisi kerja. Kondisi

18

kerja yang tidak menyenangkan seperti ruangan yang gelap, sempit akan menimbulkan
keengganan untuk bekerja
6. Kontrol
Kontrol adalah kebebasan yang dimiliki karyawan untuk membuat keputusan dalam
pekerjaannya. Situasi dimana karyawan diperbolehkan untuk membuat keputusan sendiri dan
ikut serta dalam proses pengambilan keputusan, merupakan situasi mendukung adanya kepuasan
kerja (Greenberg & Baron, 2003)
7. Rekan Kerja
Robbins (2003) menyatakan bahwa individu memperoleh banyak hal dari pekerjaannya. Bagi
sebagian besar karyawan, pekerjaan juga memenuhi kebutuhan akan interaksi sosial. Oleh karena
itu, memiliki rekan kerja yang akrab dan suportif akan mengarah pada peningkatan kepuasan
kerja. Hal ini senada dengan pernyataan Munandar (2001) mengenai faktor-faktor

yang

mempengaruhi kepuasan kerja salah satunya adalah rekan kerja yang mendukung terpenuhinya
kebutuhan untuk bersosialisasi.
b. Faktor Pribadi
Selain dipengaruhi oleh anteseden lingkungan, kepuasan kerja juga dipengaruhi oleh anteseden
pribadi, antara lain adalah:
1. Kepribadian (Personality Trait)
Spector (1997) menyatakan bahwa faktor kepribadian yang banyak diteliti adalah afeksi negative
dan locus of control. Karyawan yang memiliki afeksi negative, seperti cemas atau depresi, akan
cenderung merasa tidak puas dengan pekerjaannya. Di sisi lain, karyawan dengan locus of
control internal akan memiliki kepuasan kerja yang tinggi, hal ini dikarenakan ia memiliki
keyakinan untuk dapat mengontrol lingkungannya
2. Status Pernikahan
Beberapa penelitian menyebutkan bahwa dukungan pasangan hidup atau keluarga sangat
berhubungan positif dengan kepuasan kerja. Tetapi, karyawan yang telah menikah berarti jumlah

19

tanggungannya semakin bertambah, sehingga mengakibatkan semakin rendah kepuasan kerjanya


(Spector, 1997)
3. Usia
Banyak penelitian yang menemuakn bahwa karyawan yang berusia lebih tua memiliki kepuasan
kerja yang lebih tinggi daripada karyawan yang lebih muda. Spector (1996) menyatakan bahwa
kemungkinan hal ini dikarenakan karyawan yang lebih tua memiliki keuntungan yang lebih
banyak dari segi kesesuaian antara apa yang diharapkan dengan apa yang diterima dan juga
memperoleh gaji yang lebih tinggi.
4. Jenis Kelamin
Pengaruh jenis kelamin terhadap kepuasan kerja hingga saat ini masih diperdebatkan. Beberapa
ahli menyatakan bahwa perdebatan kepuasan kerja antara pria dan wanita memang ada, tetapi
sangat sedikit dan tidak terlalu penting (Greenhaus, Pasuraman & Wormley dalam Spector,
1997). Beberapa peneliti lainnya menilai bahwa perbedaan yang muncul lebih diakibatkan
karena adanya perlakuan yang berbeda yang diterima oleh pria dan wanita dalam pekerjaan.
Seperti, pada umumnya kesempatan promosi pada wanita lebih kecil. Sedangkan Mottaz,
Northcott & Lowe (dalam Robbins, 2003) menemukan bahwa karakteristik pekerjaan yang
menimbulkan kepuasan untuk pria ternyata juga memberikan pengaruh yang sama terhadap
wanita.
Berdasarkan uraian diatas, maka antesenden kepuasan kerja terdiri dari faktor lingkungan, faktor
pribadi, serta kesesuaian antara faktor pribadi dan lingkungan. Faktor lingkungan terdiri dari
karakteristik pekerjaan, variabel peran, sistem penggajian, atasan, kondisi kerja, kontrol, serta
rekan kerja. Faktor pribadi terdiri dari kepribadian, status pernikahan, jenis kelamin dan usia.

2.2. Dukungan Sosial


Dukungan sosial (social support) merupakan kenyamanan fisik dan psikologis yang diberikan
oleh orang lain (teman atau anggota keluarga), Sarason (dalam Baron & Bayern, 2005).
Dukungan sosial (social support) didefenisikan sebagai informasi verbal atau non-verbal, saran,
bantuan yang nyata atau tingkah laku yang diberikan oleh orang-orang yang akrab dengan subjek

20

di dalam lingkungan sosialnya atau yang berupa kehadiran dan hal-hal yang dapat memberikan
keuntungan emosional atau berpengaruh pada tingkah laku penerimanya. Dalam hal ini orang
yang merasa memperoleh dukungan sosial, secara emosional merasa lega karena diperhatikan,
mendapat saran atau kesan yang menyenangkan pada dirinya, (dalam Kuntjoro, 2002).
Dukungan sosial menurut Sarafino (2006) adalah perasaan kenyamanan, perhatian, penghargaan,
atau bantuan yang diterima dari orang atau kelompok lain. Sarafino menambahkan bahwa orangorang yang menerima dukungan sosial memiliki keyakinan bahwa mereka dicintai, bernilai, dan
merupakan bagian dari kelompok yang dapat menolong mereka ketika membutuhkan bantuan.
Secara tradisional sosial support berarti individu menerima dukungan sosial dari beberapa orang
di lingkungan kerja seperti atasan, rekan sejawat, dan dukungan sosial yang diperoleh dari
keluarga dan anggota komunitas. Ini menunjukkan bahwa social

support bisa berasal dari

lingkungan kerja (work-based sosial support) dan lingkungan

sosial

(personal

sosial

support), (dalam Marcinkus, 2007).


Work-based social support
Dukungan sosial di tempat kerja dapat berasal dari organisasi. Pada umumnya organisasi
telah memberikan dukungan terhadap keseimbangan antara kehidupan kerja dan kehidupan
keluarga melalui kebijakan mereka, tunjangan, budaya, dan jalur karir.
Dukungan sosial pribadi (personal social support)
Dukungan sosial di luar pekerjaan dapat berasal dari rekan sejawat atau mitra, orang tua,
saudara, anak, keluarga, dan teman-teman. Suami memberikan kontribusi dalam berbagai
bidang, termasuk pendapatan dan pengelolaan keuangan pribadi, rumah dan tanggung
jawab keluarga, serta manajemen karir dan dukungan. Untuk menyeimbangkan berbagai
kebutuhan rumah dan pekerjaan, pasangan bekerja sama untuk mengurus semua
kewajibannya. Keluarga, teman, dan tetangga juga dapat berperan penting bagi wanita
yang aktif menyeimbangkan tuntutan pekerjaan dan rumah. Hubungan ini juga mengurangi
tuntutan waktu dan stress yang dialami oleh pekerja perempuan
Berdasarkan berbagai definisi di atas dapat disimpulkan bahwa dukungan sosial adalah
segala bentuk bantuan yang diberikan pada individu berupa kenyaman, perhatian,
penghargaan, yang dirasakan individu dapat memberi efek positif bagi dirinya yang
diperolehnya melalui interaksi dengan individu atau kelompok lain.

21

Sementara Argyle (1992); House (1981); Wills (1985) dan Cohen (2000) menyebutkan 5
dimensi dari dukungan social yaitu dukungan emosional, dukungan instrumental, dukungan
informasi, dukungan pertemanan, dan penilain/ validasi. Berikut akan dijelaskan masingmasing dimensi tersebut:
1. Dukungan Emosional
Dukungan emosional meliputi tersedianya satu atau lebih orang yang dapat mendengarkan
secara simpatik ketika individu memiliki masalah dan dapat memberikan perhatian dan
penerimaan. Contoh dari dukungan emosional adalah memberikan kesempatan untuk
mendiskusikan perasaan dan mengekspresikan kekuatiran; menunjukkan simpati;
persetujuan, perhatian dan penerimaan atas individu tersebut. Secara teoritis, dukungan
emosional memberikan keuntungan sehingga individu dapat mengubah penilatian atas
ancaman yang ia hadapi, meningkatkan harga diri, mengurangi kecemasan dan depresi
serta memotivasi upaya mengatasi stres
2. Dukungan Instrumental
Dukungan instrumental meliputi bantuan praktis ketika dibutuhkan. Contoh dari dukungan
instrumental adalah memberikan bantuan keuangan, menolong aktivitas di rumah tangga
(memasak, mencuci, membersihkan rumah), memberikan tumpangan mobil dan membantu
mengasuh anak-anak. Secara teoritis, dukungan instrumental memberikan keuntungan
dalam hal mengatasi masalah praktis, memberikan kesempatan untuk memiliki waktu
istirahat dan relaksasi serta usaha untuk mengatasi stres
3. Dukungan Informasi
Dukungan informasi adalah memberikan pengetahuan yang bermanfaat untuk memecahkan
masalah. Contoh dari dukungan informasi adalah memberikan informasi mengenai sumbersumber bantuan dari komunitas, menyarankan alternative aksi yang dapat dilakukan,
memberikan saran mengenai efektifitas suatu cara penyelesaian masalah. Secara teoritis,
dukungan informasi akan meningkatkan jumlah informasi yang bermanfaat bagi individu,
membantu tersedianya layanan yang dibutuhkan, mengarahkan agar dapat melakukan
upaya mengatasi stress yang lebih efektif

22

4. Dukungan Pertemanan
Dukungan pertemanan menjelaskan mengenai adanya individu yang dapat ikut
berpartisipasi dalam aktivitas social dan bersenang-senang, seperti pergi jalan-jalan,
menonton film, pergi berbelanja, makan di restoran. Secara teoritis, dukungan pertemanan
menghasilkan afek positif, memberikan kesempatan untuk meredakan tuntutan dan
menyediakan pengalihan yang bersifat positif atas masalah
5. Penilaian/ Validasi
Validasi didasari konsep bahwa relasi social dapat menyediakan informasi mengenai
ketepatan dan normative atau tidaknya suatu tingkah laku yang ditampilkan individu ketika
menghadapi masalah. Secara teoritis, validasi akan menurunkan kebingungan dan
memberikan kesempatan untuk menerima perasaan dan memberikan perbandingan yang
dapat diterima

2.3. Work-Life Balance


Konsep WLB menarik beberapa perhatian dari komponen masyarakat seperti pengambil
kebijakan,

perusahaan,

keluarga

dan

individu.

WLB

mempunyai

makna

mengkombinasikan pekerjaan dan kehidupan dalam sebuah cara yang bisa dijangkau.
Work-Life Balance adalah kemampuan untuk menjadwalkan jam kehidupan profesional
dan pribadi sehingga dapat menjalani hidup sehat dan damai. WLB menekankan nilai-nilai,
sikap dan keyakinan untuk bekerja dalam mengatur dan menyeimbangkan pekerjaan
mereka dan kehidupan pribadi. Ketika seorang wanita mencapai keseimbangan kerjakehidupan yang sukses, dia memiliki kepuasan kerja dan menjadi sangat berkomitmen dan
produktif dan berhasil dalam kariernya. Namun dalam kasus-kasus tertentu, perempuan
tidak mampu menyeimbangkan pekerjaan dan kehidupan pribadi. Dia tidak mampu untuk
mengatur prioritasnya. Sebagai akibatnya ia menarik diri dari pekerjaan karena alasan
sederhana seperti merawat anak-anaknya, tuntutan orang tua, dan tekanan keluarga lainnya.
Deery (dalam Noor, 2011) mendefinisikan konsep WLB adalah tugas yang kompleks,
karena dapat dilihat dari arti pekerjaan, hidup dan keseimbangan. Sedangkan

23

Greenhaus (dalam Noor, 2011) mendefinisikan WLB sebagai "sejauh mana seorang
individu terlibat dan merasa puas dengan peran pekerjaan dan peran keluarga".
WLB merupakan usaha untuk menyeimbangkan kehidupan pekerjaan dan keluarga, dalam
arti luas WLB didefinisikan sebagai tingkat kepuasan akan keterlibatan atau kecocokan
antara peran ganda dalam kehidupan seseorang. Meskipun definisi dan penjelasan
bervariasi, WLB umumnya terkait dengan keseimbangan, atau mempertahankan rasa
keseluruhan harmoni dalam kehidupan, (dalam Lakshmi, 2013).
Byrne (dalam Pichler, 2009) menggambarkan lima aspek dari WLB yaitu pekerjaan,
keluarga, teman, kesehatan dan self. Suatu keseimbangan terjadi ketika aktivitas dan
inspirasi di satu aspek tidak mempunyai efek yang negatif terhadap aspek yang lain.
WLB secara umum berkaitan dengan waktu kerja, fleksibilitas, kesejahteraan, keluarga,
demografi, migrasi, waktu luang dan sebagainya. Terdapat suatu kecocokan atau
kesesuaian antara tuntutan dari satu domain terhadap domain yang lain seperti antara
pekerjaan dan keluarga atau waktu luang. Sehingga dapat mengurangi munculnya konflik
yang mungkin muncul antara pekerjaan dan keluarga.
Secara individual WLB berkaitan dengan well-being individu.

Seorang yang dapat

mencapai

berprestasi

WLB

dapat

dipandang

sebagai

individu

yang

dalam

mengkombinasikan beberapa wilayah kehidupan dengan cara seimbang. Artinya, penilaian


individu terhadap WLB menjadi suatu gambaran secara menyeluruh, bukan suatu yang
terpisah.
Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa work-life balance terkait dalam
menyeimbangkan antara pekerjaan dan keluarga. Sehingga individu yang memiliki peran
ganda, mampu menyeimbangkan dua wilayah kehidupan secara menyeluruh.

2.4. Model Kepuasan kerja ditinjau dari Dukungan sosial dan Work- life balance pada
wanita pekerja

24

Keberhasilan wanita karier yang merupakan ibu rumah tangga dalam menyeimbangkan
antara pekerjaan dan rumah tangga mengandung makna bahwa individu bisa memainkan dua
peran secara kualitatif dalam dua domain yang berbeda. Kegagalan dalam membangun work life
balance berakibat kelelahan bagi seorang pekerja wanita
keluarga.

dan juga hilangnya teman atau

Dengan kondisi tersebut, dapat dipastikan bahwa para pekerja wanita memiliki

harapan agar dapat menyeimbangkan posisi keduanya. Untuk itulah diperlukan adanya suatu
sikap dari orang-orang sekitar yang diharapkan membantu wanita pekerja untuk mencapai
adanya sebuah keseimbangan. Dukungan sosial di tempat kerja dan keluarga, dapat
mempengaruhi seseorang dalam keseimbangan hidupnya, karena dukungan sosial memiliki sisi
positif yang mampu meningkatkan kinerja, mengurangi stress dan mengurangi konflik baik
dalam kehidupan pekerjaan maupun keluarga (Marcinkus, 2006).

Dukungan sosial suami

menjadi faktor yang tidak kalah penting dalam karir seorang pekerja wanita. Dengan demikian
preposisi I yang diajukan oleh peneliti adalah dukungan social keluarga menjadi salah satu
factor pendukung tercapainya kepuasan kerja seorang pekerja perempuan.
Pekerjaan yang paling dicari oleh karyawan adalah sebuah pekerjaan yang
memungkinkan harmonisasi dua domain yang paling penting dalam kehidupan seseorang, yaitu
pekerjaan dan keluarga. Semakin besarnya peluang untuk menyeimbangkan kedua domain
tersebut turut mempertinggi peluang bagi pekerja perempuan untuk mulai merambah dunia kerja,
yang selama ini cenderung dikuasai oleh pekerja laki-laki. (Bond, Galinsky, Swanberg, 1998;
Gilbert, Hallet, & Eldridge, 1998). Hal ini jugalah yang menjadi pusat perhatian bagi pekerja
perempuan yang telah memiliki keluarga.
Hal ini sejalan dengan hasil penelitian oleh Nadeem dan Abbas (2009) menyampaikan
bahwa karyawan di masa sekarang lebih terlibat dalam pekerjaan mereka dibandingkan dengan
dekade terakhir. Jam kerja yang panjang, tekanan kerja yang tinggi, penggunaan teknologi yang
canggih membuat karyawan merasa sulit untuk menjaga keseimbangan antara pekerjaan dan
keluarga.
Work-life balance merupakan salah satu faktor individu yang mempengaruhi kepuasan
kerja, bagaimana seseorang dapat menyeimbangkan waktu bagi kehidupan pribadinya dan juga
untuk urusan pekerjaan. Work-life balance mempunyai makna kemampuan menyeimbangkan
antara dunia kerja dengan dunia rumah tangga, menjadwalkan jam kehidupan profesional dan

25

pribadi sehingga dapat menjalani hidup sehat dan damai. Kehidupan sehat dan damai merupakan
syarat tercapainya suatu kerja yang inovatif dan produktif.
Di Indonesia sendiri, kepuasan kerja belum menyentuh tingkat optimal (Johan, 2002).
Hal ini didukung oleh penelitian Huffman, dkk (dalam Posig dan Kickul, 2004) yang
menemukan 70 % pekerja mengaku tidak puas terhadap pekerjaannya karena adanya konflik
keseimbangan antara karir dan keluarga.
Sementara hasil penelitian oleh Morgan Redwood di Inggris mengemukakan bahwa
perusahaan yang mengusahakan karyawan untuk memiliki work-life balance akan menghasilkan
pendapatan tahunan 20% lebih baik daripada perusahaan yang tidak mendorong keseimbangan
baik antara pekerjaan dan kehidupan pribadi. http://lifeblogid.com/2014/12/09/fenomenakurangnya-kepuasan-kerja-karyawan-saat-ini/
Di Indonesia pada saat ini tidak hanya suami saja yang harus bekerja untuk memenuhi
kebutuhan hidup keluarganya, tetapi banyak istri yang bekerja juga. Wanita yang pada zaman
dahulu hanya berperan sebagai seorang ibu rumah tangga saja, kini mempunyai peran kedua
yaitu sebagai wanita karier.

Seorang wanita yang telah menikah mempunyai peran dalam

keluarga sebagai istri, sebagai ibu dan sebagai pengurus rumah tangga. Dalam tiga peran
tersebut, wanita memberikan diri sepenuhnya demi kesejahteraan keluarga. Namun dalam
kehidupan modern saat ini wanita dituntut untuk dapat memberikan sumbangan lebih. Banyak
juga wanita yang merasa tidak puas dalam ketiga peran diatas dan ingin meraih aktualisasi diri,
selain itu juga terdapat tuntutan untuk menambah penghasilan keluarga (Munandar, 1985).
Preposisi II yang diajukan oleh peneliti adalah kemampuan seorang pekerja wanita dalam
menyeimbangkan peran didalam keluarga dan pekerjaan akan memudahkannya dalam mencapai
kepuasan kerja.
Penelitian lainnya dilakukan oleh Nadeem dan Abbas (2009) kepada para manager di
organisasi publik dan swasta di Pakistan, ditemukan bahwa kepuasan kerja memiliki hubungan
positif dengan work-family balance. Kepuasan kerja para manager di level menengah dan level
bawah akan menurun ketika work-life conflict meningkat.
Ketika kebutuhan karyawan dalam menciptakan work-life balance sejalan dengan
program yang dilaksanakan oleh perusahaan, maka kepuasan kerja karyawan tersebut akan tinggi
(Gregory and Milner 2009). Hal ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Maren et al.

26

(2013) yang menyarankan pihak perusahaan untuk memberikan fasilitas untuk menurunkan
tingkat work-life conflicts, dimana hal ini akan mengarahkan karyawan kepada kepuasan kerja.
Saat ini sudah banyak perusahaan yang berusaha menerapkan konsep work-life balance
di

dalam

perusahaannya,

dimana

perusahaan

mendapatkan

keuntungan

dengan

mengimplementasikan jam kerja yang fleksibel. Sehingga karyawan dapat mencapai


keseimbangan dan keharmonisan antara dunia kerja dan rumah tangga (Greenhouse et al, 2003).
Work-life balance adalah sebuah konsep yang mendukung upaya karyawan untuk
membagi waktu dan energi antara kerja dan aspek-aspek penting lainnya dalam hidup mereka.
Ini berarti dibutuhkan upaya untuk membuat waktu untuk keluarga, teman, partisipasi
masyarakat, spiritualitas, pertumbuhan pribadi, perawatan diri, dan kegiatan pribadi lainnya,
seimbang dengan tuntutan di tempat kerja. Dengan dibantu oleh pimpinan perusahaan dengan
kebijakan, prosedur, tindakan, dan harapan akan memungkinkan karyawan untuk dengan mudah
mengejar kehidupan yang lebih seimbang. Dengan tercapainya work-life balance dapat
mengurangi pengalaman stres karyawan. Kondisi keseimbangan ini memungkinkan karyawan
untuk merasa seolah-olah mereka memperhatikan semua aspek penting dari kehidupan mereka
(Heatfield, 2012). Hal ini akan berhubungan dengan kepuasan kerja inidvidu dalam perannya
sebagai seorang pekerja. Menurut Beham (2009) tercapainya sebuah work-life balance akan
menciptakan sebuah kepuasan karena terciptanya sebuah harmoni dalam kehidupan. Sebaliknya,
tidak tercapainya sebuah keseimbangan akan mengakibatkan berkurangnya kepuasan kerja pada
karyawan. Ini ditandai dengan meningkatnya ketidakhadiran, menurunnya performance sampai
pengunduran diri (Salzstein, 2001)
Seseorang yang memiliki peran ganda mendapatkan tantangan bagi kehidupannya.
Dimana seorang wanita karier yang sekaligus menjadi ibu rumah tangga, harus mampu
menyeimbangkan antara pekerjaan dan keluarganya. Hal itu bukanlah suatu pekerjaan yang
mudah. Dimana setiap harinya mereka menjalankan tuntutannya sebagai seorang wanita karier
dan bertanggung jawab atas kehidupan keluarganya. Diluar dunia kerjanya (keluarga) pekerja
harus memerankan peran yang baik dengan tetap menjaga agar tidak memunculkan konflik
antara pekerjaan dan keluarga.
Keluarga adalah unit atau satuan masyarakat yang terkecil yang sekaligus merupakan
suatu kelompok kecil dalam masyarakat. Keluarga biasanya terdiri dari suami, istri, dan juga
anak-anak yang selalu menjaga rasa aman dan ketentraman ketika menghadapi segala suka duka.

27

Keluarga merupakan pusat utama dalam kehidupan manusia yang senantiasa mendampingi dan
mengiringi seorang manusia sepanjang hidupnya. Oleh karena itu, keluarga kerap kali menjadi
sorotan saat seseorang berhasil atau gagal dalam menghadapi masalahnya. Keluarga adalah
pendukung utama bagi individu yang mengalami masalah,
Keberhasilan wanita karier dan juga ibu runah tangga dalam menyeimbangkan antara
pekerjaan dan rumah tangga mengandung makna bahwa individu bisa memainkan dua peran
secara kualitatif dalam dua domain yang berbeda. Kegagalan dalam membangun work life
balance berakibat kelelahan dan hilangnya teman atau keluarga. Dengan kondisi tersebut, dapat
dipastikan bahwa para pekerja wanita memiliki harapan agar dapat menyeimbangkan posisi
keduanya. Untuk itulah diperlukan adanya suatu sikap dari orang-orang sekitar yang diharapkan
membantu wanita pekerja untuk mencapai adanya sebuah keseimbangan Dukungan sosial di
tempat kerja dan keluarga, dapat mempengaruhi seseorang dalam keseimbangan hidupnya,
karena dukungan sosial memiliki sisi positif yang mampu meningkatkan kinerja, mengurangi
stress dan mengurangi konflik baik dalam kehidupan pekerjaan maupun keluarga (Marcinkus,
2006). Dukungan sosial suami menjadi faktor yang tidak kalah penting dalam karir seorang
pekerja wanita. Hatton & Emerson (dalam Peter, 2014) juga mengidentifikasi dukungan sosial
yang diperoleh oleh seorang pekerja merupakan suatu predictor penting terhadap kepuasan kerja,
stress kerja dan kecenderungan untuk keluar dari perusahaan (turn over).
Biasanya tanpa dukungan keluarga, akan sulit untuk menjalani hidup sukses didalam
pekerjaan maupun kehidupan keluarganya. Apabila seluruh keluarga mendukung dan
memberikan semangat, segalanya akan berjalan dengan lancar. Tanpa adanya keseimbangan
seorang istri mungkin tidak akan mampu menjadi ibu yang baik bagi anak-anaknya. Tanpa
keseimbangan pula, seorang ibu rumah tangga yang merangkap sebagai wanita karier, belum
tentu mampu menjadi profesional yang baik didalam pekerjaannya. Hanya dengan menjaga
kehidupan yang seimbang (life balance), seorang wanita bisa memerankan kariernya, sekaligus
menjadi istri yang baik di rumah.
Menurut Puspa (dalam artikel perempuan, 2012) menyeimbangkan pekerjaan dengan
urusan rumah tangga adalah impian para ibu yang memiliki peran ganda. Profesi sebagai wanita
karier saja sudah memberi beban pekerjaan yang tidak sedikit, belum lagi sampai di rumah anak
dan suami menuntut perhatian. Belum lagi jika ada konflik dengan atasan atau rekan kerja di

28

kantor, anak bermasalah di sekolah atau sedang bertengkar dengan suami. Jelas beban yang
diterima ibu pekerja dua kali lipat lebih banyak daripada yang harus dipikul wanita karir yang
masih single.
Penelitian lainnya dilakukan oleh Dev (2012) yang menemukan bahwa work-life balance
secara signifikan berhubungan dengan kepuasan kerja di sector perbankan. Ia menyarankan agar
karyawan perempuan sebaiknya diberikan waktu kerja yang fleksibel, job sharing, child care
untuk meningkatkan komitmen mereka terhadap organisasi. Fatima and Sahibzada (2012)
melakukan penelitian mengenai work-life balance di tingkat universitas. Mereka menyimpulkan
bahwa tingginya tingkat workload

menyebabkan staf mengalami ketidakpuasan kerja.

Karenanya, universitas harus mengembangkan suatu strategi untuk menfasilitasi kebutuhan


fakultas dalam meraih work-life balance sehingga target kerja dapat diraih.
Ueda, (2012) menyimpulkan bahwa adanya program work-life balance memiliki efek
yang positif dan signifikan terhadap kepuasan kerja karyawan, baik itu karyawan full time
maupun karyawan part time di Jepang.

Dengan demikian, industri perbankan dapat

meningkatkan kepuasan kerja karyawan dengan cara meningkatkan program Work- life balance
bagi karyawan, sehingga karyawan dapat mengelola pekerjaan dan keluarga secara seimbang.
Penelitian menunjukkan bahwa work-family balance terdiri dari ketiadaan konflik di
antara pekerjaan dan keluarga. Dengan gambaran atau keadaan yang dialami oleh wanita yang
memiliki peran ganda, pastinya dukungan sosial di tempat kerja dan keluarga dapat mepengaruhi
individu dalam keseimbangan hidupnya, karena dukungan sosial memiliki sisi positif yang
mampu meningkatkan kinerja dan mengurangi stress, baik dalam kehidupan pekerjaan maupun
keluarga (dalam Marcinkus, 2007).

2.5. Kajian Penelitian yang Relevan


Penelitian Ahli tentang Kepuasan Kerja, Work-Life Balance, Dukungan Sosial dan Faktor
Lingkungan pada Pekerja Wanita
Berikut adalah paparan analisis peneliti terhadap penelitian para ahli yang terkait dengan
variabel kepuasan kerja, work-life balance dan dukungan sosial. Analisis terhadap penelitian ini
menunjukkan keaslian dari gagasan Peneliti

29

Tabel 2.1
Rangkuman penelitian lain terkait dengan kepuasan kerja
No
1

Penelitian
Penekanan Penelitian
Ahli
Syed
The Influence of Work Life Balance and
Mohammad
Job Satisfacion on Organisational
Azeem,
Commitment of Healthcare Employees
Nadeem
Akhtar
Burley, 1995, Dalam penelitiannya kepada perawat di
Schabracg,
Spanyol
menemukan
bahwa
et. al, 2003
kemampuan untuk menyeimbangkan
faktor pekerjaan dan keluarga menjadi
stressor terbesar dalam kehidupan
seseorang.
Geurts, et al.,
2005;
Kinnunen, et
al.,
2006;
Cinamon,
Rich, 2002
Nadeem dan
Abbas (2009)

Work-family balance merupakan sebuah


proses di mana perilaku karyawan
dalam satu domain (misalnya keluarga)
dipengaruhi oleh (negatif atau positif)
pengalaman
dari
domain
lain
(misalnya .work)
Dilakukan oleh para manager di
organisasi publik dan swasta di
Pakistan, mereka menemukan bahwa
kepuasan kerja memiliki hubungan
positif dengan work-family balance.
Gregory and Ketika kebutuhan karyawan dalam
Milner,
menciptakan work-life balance sejalan
( 2009)
dengan program yang dilaksanakan oleh
perusahaan, maka kepuasan kerja
karyawan tersebut akan tinggi
Hanglberger
Meneliti efek work-life balance,
(2010)
khususnya
mengenai
jam
kerja
karyawan dan kepuasan kerja, ia
menemukan hubungan yang positif di
antara variable tersebut.
Gash et al. Penelitian dilakukan bagi perempuan di
(2010)
Inggris dan Jerman, penelitian yang
mereka hasilkan mendukung hasil
temuan dari penelitian yang dilakukan
oleh Hanglberger, yaitu meningkatnya
kepuasan kerja pada karyawan yang
mengalami penurunan jam kerja.

Evaluasi terhadap Penelitian


Penelitian ini memprediksikan
bahwa WLB dan kepuasan kerja
mengarahkan karyawan kepada
komitmen organisasi
WLB berkaitan erat dengan
tingkat stress individu

Pekerjaan
individu
akan
mempengaruhi tingkat work-life
balance karyawan

Ada hubungan positif antara


kepuasan kerja dengan work
family balance
Kegiatan work life balance yang
diadakan oleh perusahaan akan
meningkatkan kepuasan kerja

Mendukung
Hanglberger

hasil

temuan

30

Malik et al. Penelitian yang dilakukan di Pakistan Ada hubungan positif di antara
(2010)
untuk menyelidiki hubungan antara variable tersebut
work-life balance, kepuasan kerja dan
turnover
intentions
di
kalangan
profesional medis di rumah sakit.

Aybars 2007, Penelitian


kebijakan
perusahaan
Cole 2006
mengenai work-life
balance dan
dukungan sosial keluarga sudah pernah
diteliti di Perancis dan Jepang

10

Mason,
E Penelitian mengenai perbedaan gender
Sharon 1995 dalam kepuasan kerja. Penelitian ini
menggunakan
teori
socialization,
structural dan social role theory untuk
menemukan perbedaan gender dalam
kepuasan kerja
John
T. Polisi wanita membutuhkan lingkungan
Krimmel dan kerja
yang lebih asertif, bekerja
Paula
E. bergantian berdasarkan shift kerja,
Gormley.
memiliki waktu untuk keluarga dan
2003
kebutuhan akan adanya role model.
Manju
Penelitian ini menyusun suatu model
Raisinghani
teoritik work-life balance bagi pekerja
dan
Ranjit di India.
Goswami

11

12

13

Susan Peters,
Teck-Chai
Lau, chingYat Ng

Penelitian ini menemukan bahwa


kepuasan kerja (terhadap gaji, rekan
kerja,
supervise
dan
pekerjaan)
mempengaruhi terhadap komitmen
organisasi karyawan

14

Daljeet Singh Peneliti menemukan 3 faktor yang

Ada banyak aspek dari work-life


balance yang dapat dilakukan
untuk karyawan yaitu jam kerja
yang feksibel, job sharing,
fasilitas
child
care
dan
telecommuting (Hartel et al,
1997).
Penelitian
ini
menemukan ketiadaan faktorfaktor dari work-life balance
akan
meningkatkan
ketidakpuasan karyawan.
Hasil dari penelitian ini adalah
laki-laki dan perempuan tidak
memiliki perbedaan dalam hal
sumber kepuasan kerja
Penelitian ini menyebutkan
bahwa konflik antara rumah dan
pekerjaan menghambat pekerja
perempuan
dalam
meraih
prestasi di tempat kerja
Variable yang dilibatkan adalah
work domain variabel (long and
irregular
working
hours,
tanggung jawab di pekerjaan,
psychological involvement, job
demand) serta family domain
variabel
(mencakup
status
pernikahan, tanggung jawab
sebagai orang tua, usia)
Peneliti
menyarankan
perusahaan
untuk
memperhatikan gaji karyawan,
serta
kepuasan
karyawan
terhadap rekan kerjanya. Hal ini
disebabkan seorang karyawan
akan bertemu dan berinteraksi
dengan rekan kerjanya setiap
hari.
Jika karyawan diperlakukan

31

15

16

17

18

19

20

Wadhwa,
Manoj
Verghese,
Dalvinder
Singh
Wadhwa
Alam Sageer,
Sameena
Rafat, Puja
Agarwal
(2012)
Fatima
Bushra,
Ahmad
Usman, Asvir
Naveed
John
T.
Krimmel,
Paula
E.
Gormley

mempengaruhi kepuasan kerja yaitu


lingkungan, organisasi dan faktor
perilaku (atasan, penggajian). Faktor
organisasi menjadi faktor yang paling
berperan penting bagi kepuasan kerja
(seperti promosi jabatan)
Penelitian ini mengidentifikasi variabel
yang mempengaruhi kepuasan kerja
karyawan

secara adil oleh atasan maka


kepuasan
kerjanya
akan
meningkat

Peneliti
mengemukakan
beberapa
variabel
yaitu
appraisal & reward, komunikasi,
keamanan tempat kerja dan
budaya organisasi yang sehat

Peneliti menemukan bahwa atasan yang


mengadopsi
gaya
kepemimpinan
transformasional akan meningkatkan
kepuasan kerja karyawan

Menemukan bahwa polisi wanita di


America menunjukkan kebutuhan untuk
memperoleh jam kerja berdasarkan shift
agar dapat mengelola waktu untuk
mengurus keluarga dan anak-anak.
Konflik di dalam pekerjaan dapat
mengganggu pencapaian karir pekerja.
Mora
& Menggunakan
kuesioner
yang
Rerrer
mencakup 5 domain kepuasan kerja
Carbonell
(pekerjaan itu sendiri, promosi,
(2009)
pendapatan,
job security dan
kesempatan untuk mengoptimalkan
pengetahuan)

Penelitian ini juga menemukan


bahwa usia, tingkat pendidikan,
dan rekan kerja menunjukkan
hubungan
positif
dengan
kepuasan kerja
Hasil dari penelitian: (1)
kepuasan kerja perempuan lebih
rendah dari laki-laki untuk
domain promosi, pendapatan
dan job security), (2) kepuasan
kerja laki-laki dan perempuan
tergolong sama pada domain
pekerjaan itu sendiri dan
kesempatan
untuk
mengoptimalkan pengetahuan
Penelitian ini dilakukan pada
karyawan bank di Lebanon dan
tidak dapat digeneralisasikan
pada karyawan di bidang
pekerjaan lainnya

Crossman & Menggunakan


Kuesioner
Job
AbouZaki
Description Index (JDI). Kepuasan
(2003)
kerja
berhubungan
dengan
job
insecurity. Gaji menunjukkan pengaruh
positif terhadap kepuasan kerja pekerja
wanita,
sementara
supervise
memberikan pengaruh positif pada pria.
Pekerja pria menunjukkan kepuasan
kerja lebih tinggi dalam hal promosi dan
rekan kerja.
Lai
Chai Penelitian dilakukan pada karyawan Ada hubungan signifikan antara
Hong,
Nik pabrik di Malaysia. Hasilnya tidak ada gaji, lingkungan pekerjaan,
Intan Norhan perbedaan signifikan antara laki- laki promosi dengan kepuasan kerja

32

Abd Hamid, dan perempuan


Norliza
demografi.
Salleh (2013)

dalam

hal

factor

2.6. Kerangka Berpikir


Berdasarkan tinjauan dari telaah pustaka, dapat dibuat kerangka pemikiran teoritis tentang
faktor-faktor yang berpengaruh terhadap kinerja karyawan. Kerangka pemikiran penelitian ini
dapat dilihat pada Gambar 2.1.

Gambar 2.1.
Kerangka Konseptual yang diajukan
Work-Life Balance :
Kuatir
Terlalu lelah
Terhalang
waktu
Ketidaksukaan
keluarga
Sulit

Dukungan
Sosial :
Personal

H
1

Kepuasan
Kerja:
Pekerjaan
itu
sendiri
Gaji
Atasan
Rekan
kerja

Komitmen
Organisasi

H
2

2.7. Hipotesis
Untuk melihat adanya hubungan antara work-life balance dengan kepuasan kerja, dan dukungan
sosial dengan kepuasan kerja, maka diajukan hipotesis sebagai berikut:
H1: Work-life balance memiliki pengaruh positif terhadap kepuasan kerja wanita pekerja

33

H2: Dukungan sosial memiliki pengaruh positif terhadap kepuasan kerja wanita pekerja

BAB III
METODE PENELITIAN
3.1. Rancangan (Desain) Penelitian
Rancangan penelitian ini termasuk dalam penelitian eksplanatori, karena melibatkan
penjelasan kausal dari beberapa variable (yaitu kepuasan kerja, work-life balance dan dukungan
social). Langkah selanjutnya dilakukan pengujian hipotesis untuk mengetahui dan menjelaskan
pengaruh antar variable tersebut. Bentuk data dalam menjelaskan pengaruh antar variable
biasanya berbentuk angka. Data tersebut dianalisis menggunakan teknik statistika tertentu dan
hasilnya disimpulkan untuk menggambarkan populasi peneltiian serta dapat digeneralisasikan
pada populasi hipotetik lainnya. Oleh karena itu, pendekatan yang digunkaan dalam penelitian
ini menggunakan metode kuantitatif (Hadi, 2000; Sudjana, 2005, Arikunto, 2006)
Pengukuran pada semua variable dilakukan secara ex post facto. Artinya, peneliti hanya
mengukur aspek-aspek psikologis yang memang sudah ada dalam diri subjek pada waktu tertentu
(cross-sectional study). Sehingga tidak ada perlakuan tertentu yang diberikan kepada subjek
seperti halnya penelitian eksperimental. Serta pengukuran hanya dilakukan satu kali dan tidak
dibutuhkan melakukan pengukuran ulang dalam kurun waktu tertentu.
3.2. Definisi Konseptual dan Definisi Operasional Variabel

34

Terdapat tiga variable dalam penelitian ini, yaitu: (1) variabel dependen (variable
endogen) yaitu kepuasan kerja; (2) Variabel Independen (variable eksogen) yaitu work-life
balance dan dukungan sosial. Variabel pada penelitian ini dapat dilihat pada tabel berikut:
Tabel 3.1
Variabel Penelitian
Dukungan sosial
Work-life balance
Kepuasan kerja

Variabel Eksogen

Variabel Endogen

Pengumpulan data dalam penelitian ini menggunakan kuesioner, yang disusun mengacu
pada konsep skala likert. Agar ketiga variable tersebut dapat diukur, maka definisi setiap variable
perlu ditetapkan definisi konseptual dan definisi operasional.
3.2.1. Kepuasan Kerja
3.2.1.1. Definisi Konseptual
Kondisi afektif atau kondisi emosi dalam berbagai sikap seseorang terhadap
pekerjaannya, terhadap faktor terkait dengan pekerjaan dan terhadap kehidupan dalam organisasi
secara umum (Gilmer, 1961).
3.2.1.2. Definisi Operasional
Kepuasan kerja adalah tingkat/ derajat sejauh mana karyawan menyenangi pekerjaannya,
ataupun perasaan dan sikap seorang karyawan terhadap pekerjaannya.
Variabel kepuasan kerja diukur dengan menggunakan Job Descriptive Index (JDI) yaitu
pekerjaan itu sendiri (berhubungan dengan tanggung jawab, minat dan pertumbuhan); kualitas
supervise (terkait dengan bantuan teknis dan dukungan sosial); hubungan dengan rekan kerja
( berkaitan dengan harmoni sosial dan respek); kesempatan promosi (terkait dengan kesempatan
untuk pengembangan lebih jauh); dan pembayaran (yang terkait dengan pembayaran yang
memadai dan persepsi keadilan) (Luthans, 2007).
3.2.2. Work-Life Balance
3.2.2.1. Definisi Konseptual

35

Work- Life Balance (Noor, 2011) mendefinisikan WLB sebagai sejauh mana seorang
individu terlibat dan merasa puas dengan peran pekerjaan dan peran keluarga,
3.2.2.2. Definisi Operasional
Work-life balance merupakan suatu proses dimana seorang individu mampu
menyeimbangkan antara dunia pekerjaan dan dunia rumah tangga, pertemanan dan sosial.
Sebuah hubungan kausal antara pekerjaan dan kehidupan didirikan dari lima indikator yaitu,
menilai sejauh mana seorang individu merasa khawatir atau cemas, terlalu lelah

terhadap

pekerjaan, terhalang waktu, kebosanan atas ketidaksukaan keluarga terhadap

kesibukan

dalam bekerja, dan kesulitan berkonsentrasi saat bekerja.


Untuk mengukur keyakinan terhadap Work-life balance, peneliti menggunakan indikator
dari dua survey yang dilakukan oleh International Social Survey Programmed (ISSP) and
Europe Social Survey (ESS) (Pitchler, 2009), terdapat lima indikator dalam WLB yang terdiri
dari 10 item yang menilai sejauh mana seorang individu merasa khawatir atau cemas, terlalu
lelah terhadap pekerjaan, terhalang waktu, kebosanan atas ketidaksukaan keluarga terhadap
kesibukan dalam bekerja, dan kesulitan berkonsentrasi saat bekerja.
3.2.3. Dukungan Sosial
3.2.3.1. Definisi Konseptual
Pemberian pertolongan ketika individu membutuhkan

yang dapat meningkatkan

kesehatan dan kesejahteraan psikologis individu (Cohen, 2000).


3.2.3.1. Definisi Operasional:
Dukungan sosial adalah perasaan kenyamanan, perhatian, penghargaan, atau bantuan yang
diterima dari orang atau kelompok lain
Sarafino

yang dirasakan oleh seorang pekerja perempuan.

menambahkan bahwa orang-orang

yang menerima dukungan sosial memiliki

keyakinan bahwa mereka dicintai, bernilai, dan

merupakan bagian dari kelompok

yang dapat menolong mereka ketika membutuhkan bantuan.


Untuk mengukur keyakinan terhadap Social support, dibuat oleh peneliti berdasarkan teori
Social support dari

Sarafino (2006), yang terdiri dari 16 item yang menilai sejauh mana

individu mendapatkan dukungan emosional, dukungan instrumental, dukungan informasi, dari


keluarga. Pada skala Likert menggunakan nilai (1 = sangat tidak setuju, 5 = sangat setuju).

36

3.3. Subjek Penelitian (Populasi dan Sampling)


3.3.1. Populasi
Populasi dalam penelitian ini adalah karyawan perempuan yang bekerja di Bank Negara
Indonesia (BNI) Provinsi Sumatera Utara).
3.3.1.1. Karakteristik Populasi
Seluruh anggota dalam populasi tidak selalu menjadi target dalam penelitian, tetapi
dibatasi oleh karakteristik (ciri) yang ditentukan. Adapun karakteristik populasi target yang
ditentukan adalah sebagai berikut:
1) Berjenis kelamin perempuan
2) Karyawan Bank Negara Indonesia (BNI) yang memiliki masa kerja di atas 2 tahun,
dengan membagi dalam empat kelompok masa kerja, yaitu : (2 5 tahun); (5 lebih 1
bulan s/d 10 tahun); (10 lebih 1 bulan s/d 15 tahun) dan (di atas 15 tahun).
3) Memiliki tingkat pendidikan : SMA, D3, S1, S2/ S3
4) Telah menikah dan telah memiliki anak
3.3.2. Sampel Penelitian
3.3.2.1. Teknik Sampling
Populasi target penelitian ini adalah karyawan perempuan yang bekerja di Bank
Negara Indonesia (BNI) yang tersebar di Provinsi Sumatera Utara.

Memperhatikan

penyebaran populasi, maka teknik sampling yang paling sesuai adalah metode Cluster atau
area random sampling. Teknik ini digunakan untuk menentukan jumlah sampel jika sumber
data sangat luas. Pengambilan sampel didasarkan daerah populasi yang telah ditetapkan.
Bank Negara Indonesia memiliki beberapa cabang kas di Propinsi Sumatera Utara, dan
kemudian diambil 2 cabang kas secara acak.
Teknik Cluster Sampling digunakan ketika peneliti tidak mendapatkan daftar lengkap
dari seluruh anggota populasi yang akan dijadikan sampel dalam penelitian, tetapi bisa
mendapatkan daftar lengkap dari kelompok (cluster) dari populasi.
Teknik sampling daerah (cluster sampling) digunakan untuk menentukan sampel bila
obyek yang akan diteliti atau sumber data sangat luas, misalnya penduduk suatu negara,
propinsi atau kabupaten. Untuk menentukan penduduk mana yang akan dijadikan sumber

37

data, maka pengambilan sampelnya berdasarkan daerah dari populasi yang telah ditetapkan.
Penelitian ini direncanakan akan mengambil 2 cabang kas yang ada di Propinsi Sumatera
Utara dimana pengambilan 2 kantor cabang ini akan dilakukan secara random dari total
seluruh kantor cabang yang ada di Sumatera Utara. Teknik cluster sampling dilakukan dalam
tiga tahap yaitu: (1) menentukan sampel daerah, dan (2) menentukan unit cabang di Propinsi
Sumatera Utara secara random (3) menentukan orang-orang yang ada pada 2 unit cabang
tersebut secara random.

3.4. Teknik Analisis


Penelitian ini merupakan penelitian kuantitatif, yaitu penelitian deskriptif eksplanatory,
yaitu penelitian yang menguji dan menjelaskan hubungan sebab akibat antar variable. Jenis
penelitian ini adalah penelitian non-eksperimental yang bertujuan untuk mencari hubungan atau
korelasi antara berbagai variabel penelitian yang terdiri dari work-life balance, dukungan sosial
dan kepuasan kerja. Penelitian dilakukan melalui satu kali perolehan data pada satu saat tertentu
pada responden yang dipilih.
Teknik SEM dipilih karena dengan menggunakan SEM peneliti dapat menguji secara
bersama-sama (Bollen, 1989): 1). Model Struktural: hubungan antara konstruk independen dan
dependen.

2). Model pengukuran (measurement): hubungan (loading factor) antara indikator

dengan konstruk (variable laten).


Dengan menggabungkan kedua pengujian strukturan dan pengukuran tersebut, peneliti
dapat: 1).

Menguji kesalahan pengukuran (measurement error) sebagai bagian yang tidak

terpisahkan dari SEM 2). Melakukan analisis factor bersamaan dengan pengujian hipotesis.
Sebagai instrument pengukuran, kuesioner akan diuji terlebih dahulu untuk mendapatkan
kepastian tingkat validitas dan reliabilitasnya. Seluruh prosedur dalam pengujian validitas dan
reliabilitas alat ukur ini akan menggunakan teknik Confirmatory Factor Analysis (CFA) yang
merupakan bagian dari Structural Equation Modeling (SEM). Untuk melakukan CFA, maka
peneliti akan membuat terlebih dahulu model konseptual untuk masing-masing alat ukur yang
mencakup hubungan antara indicator atau item alat ukur dengan masing-masing dimensi serta
variabelnya.

38

3.4.1. Teknik Pengukuran


Sebagai instrument pengukuran, kuesioner akan diuji terlebih dahulu untuk mendapatkan
kepastian tingkat validitas dan reliabilitasnya. Seluruh prosedur dalam pengujian validitas dan
reliabilitas alat ukur ini akan menggunakan teknik Confirmatory Factor Analysis (CFA) yang
merupakan bagian dari Structural Equation Modeling (SEM). Untuk melakukan CFA, maka
peneliti akan membuat terlebih dahulu model konseptual untuk masing-masing alat ukur yang
mencakup hubungan antara indicator atau item alat ukur dengan masing-masing dimensi serta
variabelnya.
Perhitungan validitas dengan

menggunakan SEM, dapat memperlihatkan tingkat

kekuatan relasi structural yang bersifat langsung antara latent variables dengan observed
variable. Perhitungan SEM juga dilakukan untuk mengetahui kekuatan hubungan kausal antar
variable.
3.5. Lokasi dan Waktu Penelitian
Setelah melakukan persiapan dan pemantapan studi literatur, penetapan variabel, model
penelitian, pemilihan alat ukur dan penyusunan kuesioner, dilakukan uji coba alat ukur (pilot tes)
kepada 100 wanita pekerja untuk menguji validitas dan reliabilitas alat ukur. Lokasi penelitian
adalah Bank Negara Indonesia (BNI) di Provinsi Sumatera Utara.

Rancangan kegiatan

penelitian adalah sebagai berikut:


Tabel 3.2.
Rancangan kegiatan penelitian

S E M E S T E R
I
Membaca
literature,
mengkaji
ulang
artikel
yang
relevan
Menyusun
ulang
model
penelitian

II
Bimbingan
usulan
penelitian

III
Seminar
Usulan
Penelitian

IV
Pengambil
an data di
lapangan

V
Bimbingan
disertasi

VI
Ujian
Disertasi
: Ujian
Tertutup

Penyusuna
n alat ukur

Bimbingan
disertasi

Analisis
Data

Seminar
Hasil

Ujian
Disertasi
: Ujian
Terbuka

39
Penulisan
proposal
Disertasi

Ujian
Kualifikasi

Presentasi
ilmiah di
seminar
nasional

Presentasi
ilmiah di
seminar
nasional

Presentasi
ilmiah di
Seminar
Internasiona
l

DAFTAR PUSTAKA
Anafarta, Nilgun., (2010). The relationship between Work-family conflict and Job Satisfaction: A
Structural Equation Modeling (SEM) Approach. International Journal of Business and
Management. Vol.6, No.4; April 2011. Doi: 10.5539/ijbm.v6n4p168
Arikunto. (2006). Prosedur Penelitian: Suatu Pendekatan Praktek. Jakarta: Penerbit Rieneka
Cipta
Azeem, S.M & Akhtar, Nadeem. (2014). The Influence of Work Life Balance and Job
Satisfacion on Organisational Commitment of Healthcare Employees. International of
Journal of Human Resource Studies. ISSN 2162 3058. Vol.4, No.2. Doi:
10.5296/ijhrs.v4i2.5667.
Bauer, K.W. (2004). The front line: Satisfaction of classified employees. New Directions for
Institutional Research, 105, 8797.
Barrington & Franco. (2010). Quarterly Survey Report. Chartered Institute of Personnel and
Development. Diambil dari www.cipd.co.uk
Beham B., & Drobnic S. (2010). Satisfaction with Work-Family Balance. Journal of Managerial
Psychology, Vol. 25, No. 6, pp. 669-689.
Bond, J.T., Galinsky, E., & Swanberg, J.E. (1998). The 1997 National study of the changing
workplace. New York: Families and Work Institute.
Bollen, KA. (1989). Structural equations with latent variables. Wiley; New York.
Bushra, et al. (2011). Effect of Transformasional Leadership on Employees Job Satisfaction and
Organizational Commitment in Banking Sector of Lahore (Pakistan). International
Journal of Business and Social Sciences. Vol.2. No.18.
Cohen, Sheldon., Underwood, Lynn G., Gottlieb, Benjamin H. (2000). Social Support
Measurement and Intervention A guide For Health and Social Scientists. USA: Oxford
University Press

40

Crossman,A., Abu Zaki, B. (2003). Job satisfaction and employee performance of Lebanese
banking staff. Journal of Managerial Psychology 18. 368-376
Dev, G.N., (2012), Employees' perception on work life balance and its relation with job
satisfaction in Indian public sector banks, International Journal of Exclusive
Management Research,2(2), 1-13
E. Sharon, Mason. (1995). Gender differences in job satisfaction. The Journal os Social
Psychology. Vol.135. Pages 143-51. ISSN 00224545. ProQUest document ID 199812789
Fatima:, N., & Sahibzada:, D. S. (2012, April 30). An Empirical Analysis of Factors Affecting
Work Life Balance among University Teachers: the case of Pakistan. Journal of
International Academic Research, 12(1)
Gash, V., Mertens, A., Romeu, G. L., (2010). Women between part-time and full-time work: The
influence of changing hours of work on happiness and life-satisfaction, SOEP Papers No.
268, DIW Berlin
Gilmer, B. (1966). Industrial Psychology (2nd ed): McGraw-Hill. New York.
Greenhaus, J.H., Collins, K.M., & Shaw, J.D. (2003). The relation between work-family balance
and quality of life. Journal of Vocational Behavior, 63, 510-531
Gregory, A. and Milner, S. (2009), Editorial: Work-life Balance: A Matter of Choice, Gender,
Work & Organization.
Hanglberger, D., (2010), Job satisfaction and flexible working hours - Empirical Analysis from
the German Socio-Economic Panel, SOEP Papers No. 304, DI Berlin.
Hartline dan Ferrells (1996). The Management of Customer contact Setvice Employees: An
Emprirical Investigation. Journal of Marketing, 60 (4), 52-81
Hong, Chai.L., Hamid, Nik., Salleh, Norliza. (2013). A Study on the Factors Affecting Job
Satisfaction amongst Employee of a Factory in Malaysia. Journal of Business
Management Dynamics. Vol.3, No.1, pp.26-40
Iaffaldano, M.T. and Muchinsky, P.M. (1985), Job satisfaction and job performance: a metaanalysis. Psychological Bulletin, 97, 251-73.
Krimmel, John & Gormley, Paula E. (2003). Tokenism and Job Satisfaction for Policewoman.
American Journal od Criminal Justice. ACJ: Fall 2003; 28,1; Proquest
Locke, E. A. (1969). What is job satisfaction? Organizational Behavior and Human
Performance, 4, 309-336.
Locke, E. A. (1976). The nature and causes of job satisfaction. In M. D. Dunnette (Ed.),
Handbook of industrial and organizational psychology (pp. 1297-1349). Chicago, IL:
Rand McNally.
Locke, E. (1975). Personnel attitudes and motivation. Annual Review of Psychology, 457 -480.

41

Luthans, F. (2007). Organizational Behavior. New York: McGraw-Hill


Maren, R., Pitarelli, F., and Cangiano, F. (2013), Work-life balance and job satisfaction among
teachers, Interdisciplinary Journal of Family Studies , 18, 51-72
Nadeem dan Abbas (2009) Nadeem & Abbas (2009). The Impact of work life onflict on Job
satisfaction, International journal of business and management, 4,437-488
Mora, Toni & Ferrer-i-Carbonell (2009). The job satisfaction gender gap among young recent
University Graduates. Evidence from Catalonia. The journal of Socio-Economics,
Elsevier,
vol.38(4), 581 - 589
Munandar, A. S. (2001). Psikologi industri & organisasi . Jakarta: UI Press.
Okpara, J.O. (2004). Personal characteristics as predictors of job satisfaction: An exploratory
study of IT managers in a developing economy. Information Technology & People, 17
(3), 327-338
Ostroff, C. (1992). The relationship between satisfaction, attitudes, and performance: An
organizational Level Analysis. Journal of Applied Psychology, 77, 963-974.
Peters, S., Chai Lau-Teck, Yat Ng, Ching. (2014). Determinants of Job Satisfaction and Ethical
Behaviour towards Organisational commitment A Review. International Journal of
Academic Research in Business and Social Sciences. Vol.4, No.7. ISSN: 2222-6990.
DOI: 10.6007/IJARBSS/v.4-i7/1052
Posig, M., Kickul, J. (2004). Work -role expectations and work family conflict: gender
differences
in emotional exhaustion. Women in Management Review.
Bradford: Vol.19, Issue 7/8; p.
373
Raisinghani, Manju
Relationship
Engineering
ISSN 2319

& Goswami, Ranjit. (2014). Model of Work Life Balance Explaining


Constructs. International Journal of Application or Innovationin
& Management. Website: www.ijaiem.org. Vol 3, Issue 2, Februari 2014.
4847

Robbin, Stephen (2002). Prinsip-Prinsip Perilaku Organisasi. Jakarta : Erlangga


Robbin, Stephen. (2003). Perilaku Organisasi. Jakarta : PT INDEKS kelompok GRAMEDIA
Rogers, J. Stasy & May, C. Dee. (2003). Spillover Between Marital Quality and Job
Satisfaction: Long-Term Patterns and Gender Differences. Journal of Marriage and Family.
ProQuest
Sociology, pg.482- 495
Sageer, A., Rafat, S., Agarwal. (2012). Identification of Variables Affecting Employee
Satisfaction and Their Impact on the Organization. Journal of Business and
Management. ISSN: 2278- 487X. Volume 5, Issue 1 (Sept-Okt 2012). Pg 32-39.
www.iosjournals.org

42

Simarmata, Nenny., (2015). Kepuasan Kerja pada Pekerja Wanita di Medan: Suatu penelitian
pendahuluan. Dipublikasikan di Perpustakaan Universitas HKBP Nommensen. Medan
Spector, Paul E. (1997). Job Satisfaction: Application, Assessment, Cause, and Consequences.
Thousand Oaks: Sage Publications, Inc.,
Strauss, G. (1968). Human Relations- 1968 Style Industrial Relations, VII, May, p.264
Sudjana. (2005). Metode Statistika. Bandung: Tarsito
Suyasa,Tommy. (2007). Job Satisfaction Measurement: The Alternative Method, Paper
presented on International Conference of Industrial and Organizational (IC IOP)
Yogyakarta, August 9th-11th, 2007
Ueda, and Yutaka, (2012), The Relationship between Work-life Balance Programs and Employee
Satisfaction: Gender Differences in the Moderating Effect of Annual Income, Journal of
Business Administration 1(1)
Wadha, SD., Verghese, M., Wadhwa, SD. (2011). A study on Factors Influencing Employee Job
Satisfaction- A Study in Cement Industry of Chhattisgarh. International Journal of
Management & Business Studies. ISSN. 2330-9519 (online). IJMBS Vol.1, Issue 3.
Wexley, K.N., Yukl, G.A., (1977). Organizational Behavior and Personal Psychology, Richard
D. Irwin Inc., Homewood, Illinois.
White, L., & Rogers,S.J. (2000). Economic Circumstances and family outcomes: A review of the
1990s. Journal of Marriage and the Family. 62, pg 1035 - 1051
Diakses dari:
http://lifeblogid.com/2014/12/09/fenomena-kurangnya-kepuasan-kerja-karyawan-saat-ini/ pada 2
Mei 2015

Anda mungkin juga menyukai