Anda di halaman 1dari 13

WORK FAMILY-CONFLICT DAN PSYCHOLOGICAL WELL-

BEING PADA IBU BEKERJA


1
Pratiwi Isti Anggarwati, 2Winny Puspasari Thamrin
1,2,3
Fakultas Psikologi Universitas Gunadarma
Jl. Margonda Raya No 100, Depok 16424, Jawa Barat
2
winny.puspasari@yahoo.com

Abstrak
Penelitian ini bertujuan untuk menguji hubungan work family conflict dan psychological well
being pada ibu bekerja. Responden dalam penelitian ini adalah sebanyak 96 orang ibu yang
bekerja pada perusahaan swasta di Kota Tangerang. Penelitian ini menggunakan pendekatan
atau metode kuantitatif. Alat ukur yang digunakan dalam penelitian ini menggunakan skala
psychological well-being yang diadaptasi modifikasi dari Juita (2017) dan skala work family
conflict yang diadaptasi dari Thamrin (2018). Teknik pengambilan sampel yang digunakan
pada penelitian ini menggunakan purposive sampling. Uji hipotesis menggunakan uji korelasi
product pearson. Hasil uji korelasi Pearson menunjukkan bahwa terdapat hubungan negatif
work family conflict dan psychological well-being pada ibu bekerja. Hal ini memiliki arti
bahwa semakin tinggi tingkat work family conflict individu maka semakin rendah tingkat
psychological well-being, sehingga hipotesis pada penelitian ini diterima.

Kata kunci: ibu bekerja, psychological well-being, work-family conflict

Abstract
This study aims to examine the relationship of work family conflict and psychological well being
in working mothers. Respondents in this study were 96 mothers who worked at private
companies in the city of Tangerang. This research uses a quantitative approach or method. The
measuring instrument used in this study uses a psychological well-being scale adapted to a
modification from Juita (2017) and a work family conflict scale adapted from Thamrin (2018).
The sampling technique used in this study used purposive sampling. Hypothesis testing uses
Pearson product correlation test. Pearson correlation test results show that there is a negative
relationship between work family conflict and psychological well-being in working mothers.
This means that the higher the level of individual work family conflict, the lower the level of
psychological well-being, so the hypothesis in this study is accepted.

Keywords: psychological well-being, work-family conflict, working mother

PENDAHULUAN 2009). Kini wanita Indonesia dapat


Seiring perkembangan zaman, dunia menyetarakan diri dengan kaum pria dalam
industri dituntut untuk mengutamakan berbagai bidang, baik dalam bidang politik,
kesetaraan gender antara kedudukan pekerja bidang ekonomi maupun bidang sosial. Peran
pria dan pekerja wanita. Pandangan lama wanita dinilai semakin profesional dalam
yang menyebutkan peran wanita hanya berkarya dan berkontribusi dalam lingkungan
sebatas mengerjakan berbagai kegiatan kerja (Asyari, 2007).
domestik, mencakup peran wanita sebagai Di dalam beberapa tahun terakhir,
istri, ibu, dan pengelola rumah tangga telah banyak perusahaan memiliki kecenderungan
terganti oleh pandangan baru (Indriyani, untuk lebih memilih memperkerjakan wanita

200 Jurnal Psikologi Volume 12 No.2, Desember 2019


dibandingkan pria. Hal tersebut dikarenakan mereka termotivasi untuk mencari alternatif
wanita adalah pekerja yang tekun, teliti, hati- kegiatan lain terutama saat anak mulai
hati, tidak senang protes, dan menerima apa memasuki usia sekolah, dan memenuhi
adanya, bahkan prestasi wanita jauh lebih kebutuhan psikologis, seperti status dan
baik dibanding pria untuk jenis pekerjaan kontak sosial, realisasi potensi serta hasrat
tertentu (Goldsmith, 1990). Adanya untuk berguna bagi masyarakat.
kecenderungan perusahaan masa kini yang Beberapa faktor penyebab ibu bekerja
lebih memilih memperkerjakan wanita dari yang dijelaskan oleh Javiland (2000) sejalan
pada pria menimbulkan peningkatan terhadap dengan konsepsi well-being menurut
jumlah pekerja wanita di Indonesia. pendekatan eudaimonic atau yang lebih
Berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik dikenal dengan psychological well-being.
(BPS) pada tahun 2017, menurut Tingkat Waterman (1993) mengemukakan bahwa
Partisipasi Angkatan Kerja (TPAK) pekerja konsepsi well-being dalam pandangan
perempuan pada bulan Februari 2017, jumlah eudaimonic menekankan pada bagaimana
pekerja perempuan mengalami peningkatan cara individu hidup dalam daimon atau diri
sebesar 2.33% yaitu dari sebelumnya 52.71% sejatinya (true self). Daimon mengacu pada
menjadi 55.04%. potensi yang dimiliki tiap individu, berupa
Kesetaraan gender bagi wanita dan realisasi diri yang diwujudkan dengan
ditambah dengan peningkatan tenaga kerja pemenuhan hidup. Pandangan eudaimonic
wanita memberikan dampak pada banyaknya mengenai well-being berfokus pada realisasi
jumlah wanita yang memilih bekerja di luar diri, ekspresi pribadi, dan sejauh mana
rumah, tidak terkecuali bagi wanita yang seseorang mampu mengaktualisasikan potensi
sudah menikah, banyak diantara mereka yang dirinya.
memilih untuk menjadi wanita karier. Wanita Lebih lanjut, Ryff (1995) menjelaskan
karier adalah wanita yang menekuni sesuatu bahwa psychological well-being diartikan
atau beberapa pekerjaan yang dilandasi oleh sebagai suatu usaha pencapaian kesempurnaan
keahlian tertentu yang dimilikinya untuk yang mewakili potensi diri seseorang. Well
mencapai suatu kemajuan dalam hidup. being tidak terbatas hanya pada pencapaian
Terdapat banyak faktor yang meny- kepuasan tetapi sebagai usaha untuk mencapai
ebabkan seorang wanita memilih untuk kesempurnaan yang merepresentasikan potensi
menjadi wanita karier. Menurut Javiland yang dimiliki oleh individu. Menurut Ryff
(2000), wanita termotivasi untuk bekerja (1989), ketika individu memiliki psychological
karena tiga alasan, yaitu kebutuhan ekonomi, well-being yang baik, individu dapat ber-
adanya peran dalam keluarga yang fungsi dengan baik. Psychological well-being
memunculkan perasaan bosan sehingga meng-gambarkan keadaan mental yang sehat

Anggarwati, Thamrin, Work-Family Conflict dan,... 201


https://doi.org/10.35760/psi.2019.v12i2.2444
sehingga dapat mempengaruhi aspek-aspek tersebut, Marettih (2013) menyebutkan bahwa
lain dalam kehidupan. Untuk itu psychological perempuan yang menjadi istri dan ibu sekaligus
well-being penting untuk dicapai bagi ibu pekerja, cenderung membawa mereka pada
bekerja. Sebab bagi ibu bekerja, dengan situasi work-family conflict meskipun laki-
bekerja mampu mening-katkan harga diri dan laki juga dapat mengalami work-family
mampu merepresentasi potensi yang mereka conflict, namun perempuan lebih mendapat
miliki (Betz, Cleveland, Rogers & Deboer sorotan karena masyarakat masih menganggap
dalam Matlin, 2012). tugas perempuan adalah mengerjakan pekerjaan
Memilih untuk bekerja bagi wanita domestik.
dapat menimbulkan beberapa dampak, baik Work-family conflict adalah salah satu
bagi pekerjaan maupun bagi keluarga. dari bentuk interrole conflict, yaitu tekanan
Terlebih bagi wanita yang sudah menikah. atau ketidakseimbangan peran antara peran di
Ibu yang memutuskan bekerja mungkin akan pekerjaan dengan peran di dalam keluarga.
merasakan hilangnya kebebasan, peningkatan Hal ini biasanya terjadi pada saat individu
tanggung jawab, dan perubahan dalam berusaha memenuhi tuntutan peran dalam
hubungan suami-istri. Terlebih perasaan pekerjaan dan usaha tersebut dipengaruhi oleh
khawatir yang akan dirasakan oleh ibu yang kemampuan individu untuk memenuhi tuntutan
meninggalkan anaknya untuk waktu yang keluarganya atau sebaliknya. Pemenuhan
cukup lama disaat ibu harus bekerja. Selain tuntutan peran dalam keluarga dipengaruhi
itu, berbagai tekanan yang ditimbulkan dari oleh kemampuan orang tersebut dalam
ketidakmampuan ibu untuk mengasuh anak memenuhi tuntutan dengan tekanan yang
dan tekanan di tempat kerja dapat berasal dari beban kerja yang berlebihan dan
mengakibatkan kelelahan, emosi yang tidak waktu seperti pekerjaan yang harus di-
stabil, dan perasaan bersalah (Hansen & selesaikan terburu-buru dan deadline, sedang-
Cramer, 1984). Sejalan dengan penelitian kan tuntutan keluarga berhubungan dengan
yang dilakukan oleh Galinsky, Bond, dan waktu yang dibutuhkan untuk menangani
Friedman (1996) menyebutkan bahwa 58% tugas-tugas rumah tangga. Tuntutan keluarga
karyawan yang telah berumah tangga dan ditentukan oleh sebagian besar keluarga,
memiliki anak merasa cemas dengan tuntutan komposisi keluarga dan jumlah anggota
pekerjaan yang dapat mengganggu kehidupan keluarga yang memiliki ketergantungan ter-
keluarga. Menurut Robbins (2003) berbagai hadap anggota yang lain (Greenhaus &
konflik yang dapat terjadi pada ibu bekerja Beutell, 1985).
disebabkan karena ibu yang bekerja memiliki Grandey, Bryanne, dan Ann (2005)
dua peran utama, yaitu sebagai ibu dan juga menyatakan bahwa work -family conflict
sebagai karyawan. Sejalan dengan hal dapat menghabiskan waktu dan energi

202 Jurnal Psikologi Volume 12 No.2, Desember 2019


seseorang sehingga menyebabkan munculnya terhadap fenomena tersebut pada karyawati di
perasaan terancam pada diri seseorang serta sebuah perusahaan swasta.
perilaku negatif dalam pekerjaannya. Penelitian terkait work-family conflict
Greenhaus dan Beutell (1985) menjelaskan dan psychological well-being pada karyawan
bahwa konflik dapat muncul ketika waktu dilakukan oleh Ayo, Henry, dan Adebukola
yang digunakan individu untuk memenuhi (2009) pada 300 orang staff sekolah (guru dan
suatu peran menghambat pemenuhan peran non-guru) di Nigeria. Hasil menunjukkan
lainnya, tuntutan suatu peran yang mengarah bahwa terdapat hubungan negatif signifikan
pada ketegangan, kelelahan dan mudah marah antara work-family conflict dan psychological
akan mempengaruhi kemampuan seseorang well-being pada karyawan staff sekolah.
untuk menjalankan peran lainnya, dan Penelitian lain juga dilakukan oleh Lumbangaol
tuntutan perilaku di suatu peran bertentangan dan Ratnaningsih (2018) menggunakan 63
dengan harapan berperilaku di peran yang sampel wartawati radio menjelaskan bahwa
lainnya. Adanya peran ganda ini membuat terdapat hubungan yang signifikan antara
para ibu sering kali tidak memiliki waktu konflik pekerjaan-keluarga dan kesejahteraan
yang cukup untuk menghabiskan waktu psikologis.
dengan anak-anak. Sehingga beberapa ibu Dengan jam kerja yang terikat, tuntutan
memilih bekerja paruh waktu sehingga target kerja perusahaan yang tinggi serta
pekerjaan memiliki waktu yang fleksibel, agar beberapa aturan perusahaan yang ketat,
ibu tetap dapat mengakomodasi tanggung jumlah jam tambahan (lembur) yang cukup
jawab dalam keluarga (Hansen & Cramer, tinggi dan tidak adanya bantuan asisten rumah
1984). Di sisi lain, tidak semua ibu bekerja tangga untuk membantu ibu dalam men-
dapat memilih pekerjaan yang memiliki jalankan kegiatan domestik, ibu yang bekerja
waktu yang fleksibel. Seperti karyawan pada sebagai karyawati pada sebuah perusahaan
suatu instansi, baik pemerintah ataupun swasta lebih berpotensi untuk mengalami
swasta. Terlebih pada karyawan swasta yang konflik kerja keluarga (work-family conflict).
memiliki jam kerja terikat, tuntutan target Dengan demikian psychological well-being
kerja perusahaan yang tinggi, serta aturan dirasa penting untuk dimiliki bagi setiap
perusahaan yang ketat, ditambah jam kerja wanita yang sudah menikah dan memutuskan
tambahan yang tinggi (lembur) dan tidak untuk berkarier. Oleh karena itu peneliti
adanya bantuan asisten rumah tangga untuk tertarik untuk melakukan penelitian secara
membantu ibu dalam menjalankan kegiatan empiris apakah terdapat hubungan antara
domestik seorang ibu bekerja, menjadikan psychological well-being dan work-family
peneliti tertarik untuk melakukan penelitian conflict pada wanita bekerja.

Anggarwati, Thamrin, Work-Family Conflict dan,... 203


https://doi.org/10.35760/psi.2019.v12i2.2444
METODE PENELITIAN family conflict yang disusun berdasarkan 3
Partisipan penelitian ini adalah ibu bentuk work-family conflict milik Greenhaus
bekerja sejumlah 96 orang yang tinggal di dan Beutell (1985) yang telah dimodifikasi
Tangerang. Beberapa kriteria partisipan yang oleh Thamrin (2018). Adapun bentuk-bentuk
dipegang adalah (1) memiliki anak di bawah work-family conflict yang diukur adalah time-
usia 18 tahun, (2) tinggal serumah dengan based conflict, strain-based conflict, dan
anak, dan (3) tidak memiliki asisten rumah behavior-based conflict. Skala ini memiliki
tangga. aitem dengan daya diskriminasi baik sejumlah
Psychological well-being adalah bentuk 17 butir dengan reliabilitas sebesar 0.856.
pencapaian yang berasal dari potensi diri yang Pengujian hipotesis pada penelitian ini
direalisasikan dalam bentuk penerimaan menggunakan metode product moment
terhadap diri dan dalam bentuk perilaku yang Pearson. Hal ini berguna untuk mengungkap
mencerminkan adanya ketertarikan aktif pada korelasi psychological well-being dan work-
aktivitas sehari-hari dan perasaan hidup lebih family conflict ditunjukkan oleh nilai korelasi
baik yang dirasakan oleh individu. Untuk dengan bantuan program SPSS versi 20.0.
mengetahui psychological well-being diguna-
kan skala psychological well-being yang HASIL DAN PEMBAHASAN
disusun berdasarkan 6 dimensi psychological Penelitian ini bertujuan untuk menguji
well-being milik Ryff (1989) yang diadaptasi apakah terdapat hubungan antara work-family
modifikasi dari Juita (2017). Adapun dimensi- conflict dan psychological well-being pada
dimensi psychological well-being yang diukur ibu bekerja. Berdasarkan hasil penelitian,
adalah penerimaan diri, hubungan positif diketahui bahwa hipotesis yang diajukan pada
dengan orang lain, otonomi, penguasaan penelitian ini diterima dengan nilai korelasi
lingkungan, tujuan hidup, dan pertumbuhan Pearson sebesar -0.434 (p < .01) yang
pribadi. Pada skala ini, aitem dengan daya menunjukkan ada hubungan negatif work
diskriminasi yang baik tersisa 17 butir dengan family conflict dan psychological well-being
reliabilitas sebesar 0.790. pada ibu bekerja. Hal ini memiliki arti bahwa
Work-family conflict adalah ketidak- semakin tinggi tingkat work family conflict
seimbangan antara tuntutan peran pekerjaan maka semakin rendah tingkat psychological
dan peran keluarga yang menyebabkan well-being individu. Hasil analisis pada
adanya konflik dalam diri individu, sehingga penelitian ini menunjukkan bahwa konflik
individu akan lebih aktif berpartisipasi pada waktu (time-based conflict) menjadi penentu
salah satu peran dan akan sulit untuk paling tinggi bagi psychological well-being
memenuhi peran yang lain. Untuk mengetahui pada ibu bekerja. Hal ini disebabkan karena
work-family conflict digunakan skala work- beberapa hal diantaranya, ibu bekerja

204 Jurnal Psikologi Volume 12 No.2, Desember 2019


memiliki waktu kerja yang tidak fleskibel bekerja dalam memenuhi berbagai tuntutan
(sesuai dengan peraturan perusahaan), selain peran menandakan bahwa ibu bekerja
itu terdapat waktu kerja tambahan (lembur) memiliki ketidakmampuan dalam mengen-
yang terlalu lama sehingga ibu yang bekerja dalikan lingkungan yang begitu kompleks.
sulit untuk memenuhi kebutuhan keluarga Penguasaan lingkungan merupakan dimensi
termasuk menyelesaikan berbagai kegiatan dari psychological well-being, sehingga
domestik rumah tangga, serta ibu yang individu yang tidak dapat mengendalikan
menjadi sampel dalam penelitian ini memiliki lingkungan dengan baik terindikasi memiliki
anak dibawah usia 18 tahun, sehingga psychological well-being yang rendah.
pengawasan orang tua (terutama ibu) dirasa Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa
masih sangat dibutuhkan. individu dengan work-family conflict yang
Jika menjalani profesi sebagai tinggi pada penelitian ini disebabkan karena
karyawan dibutuhkan kerja keras, maka bagi ketidakmampuan individu dalam mengatur
ibu bekerja dibutuhkan kerja keras dua kali berbagai peran serta tuntutan dalam
lipat. Ibu bekerja harus membagi atensi pada lingkungan yang disebabkan oleh waktu kerja
pekerjaan dan keluarga. Pemenuhan tuntutan yang tidak fleksibel, jam kerja (lembur) yang
peran yang dialami oleh ibu bekerja dapat tinggi, tidak adanya bantuan asisten rumah
mengarahkan ibu bekerja kepada situasi yang tangga serta usia anak yang kurang dari 18
menekan (work-family conflict), terlebih bagi tahun, sehingga kesulitan dalam mengatur
ibu bekerja yang memiliki anak dibawah usia peran serta tuntutan yang dialami individu
18 tahun dan tidak memiliki asisten rumah tersebut dapat menurunkan tingkat
tangga. Konflik peran akan menghadapkan psychological well-being pada individu.
ibu bekerja pada sebuah pilihan yang sulit. Huppert (2009) menjelaskan bahwa individu
Mereka akan dihadapkan pada situasi dimana dengan psychological well-being yang tinggi
bila ingin pekerjaan atau karier berjalan memiliki pemikiran yang fleksibel, kreatif,
dengan baik dan sukses, maka keberadaan dan kesehatan fisik yang prima. Sehingga
individu tersebut dalam keluarga akan lebih individu dengan psychological well-being
sedikit dan secara langsung peran di dalam yang tinggi mampu mengelola diri serta
keluarga tidak dapat berfungsi secara lingkungannya pada hal-hal yang lebih
maksimal. Hal tersebut dapat terjadi karena positif.
tidak mungkin bagi individu untuk fokus Hasil penelitian ini sejalan dengan
memenuhi semua harapan pekerjaan dan penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh
peran keluarga mereka, karena setiap peran Idriani dan Sugiasih (2016) menyatakan
membutuhkan waktu, energi, dan komitmen. bahwa ada hubungan yang signifikan antara
Perasaan tertekan yang dirasakan oleh ibu work-family conflict dan psychological well-

Anggarwati, Thamrin, Work-Family Conflict dan,... 205


https://doi.org/10.35760/psi.2019.v12i2.2444
being pada karyawati PT. SC Enterprises tersebut menunjukkan hasil bahwa, saat ibu
Semarang. Work-family conflict karyawati bekerja berusaha untuk menyeimbangkan
tersebut berada pada kategori tinggi dan waktu, seringkali membuat ibu bekerja
psychological well-being yang ada termasuk menghadapi dilema dan atau konflik dalam
dalam kategori rendah. Hal ini bisa dilihat melakukan peran sebagai ibu dan sebagai
bahwa work-family conflict merupakan salah perempuan bekerja. Di satu sisi ada keinginan
satu hambatan bagi wanita yang telah ibu bekerja untuk mengembangkan diri,
menikah, memiliki anak, dan bekerja, dalam meniti karier, dan memanfaatkan kesempatan
mengaktualisasikan kemampuannya, sehingga yang ada untuk mengaktualisasikan potensi
wanita rentan mengalami kesejahteraan yang dimiliki. Di sisi lain, ibu bekerja juga
pskologis yang rendah. Work-family conflict mempunyai peran sebagai ibu dan istri yang
membuat wanita dilema antara kepentingan memiliki tanggung jawab untuk merawat
keluarga dan kebutuhan untuk bekerja, wanita anak, memasak, dan merapikan rumah.
merasa sangat lelah karena dituntut untuk Berdasarkan hasil deskriptif dua
menjalankan perannya secara seimbang variabel dengan melihat mean empirik pada
sebagai wanita karir dan juga ibu rumah psychological well-being sebesar 64.63, hal
tangga. Dari masalah anak hingga tidak bisa ini menunjukkan psychological well-being
mengurus pekerjaan rumah secara total, berada pada kategori tinggi. Pada mean
kurangnya waktu bersama suami, dan empirik work-family conflict sebesar 42.82
kemungkinan terjadi perselingkuhan yang dan menunjukkan work-family conflict pada
dilakukan suami karena suami merasa kategori sedang. Dari data yang diperoleh
dinomor duakan dengan pekerjaan. Kondisi dapat disimpulkan bahwa responden memiliki
demikian terjadi pada wanita mengalami psychological well-being yang tinggi serta
work-family conflict dan wanita memiliki memiliki work-family conflict yang sedang.
kesejahteraan psikologis yang rendah. Hasil ini memperlihatkan bahwa dengan
Untuk mengaktualisasikan diri, baik tingginya psychological well-being yang
secara publik maupun domestik, ibu bekerja dimiliki akan menurunkan tingkat work-
berusaha untuk selalu menjaga keseimbangan family conflict pada ibu bekerja. Sebagai
anatara pekerjaan dan keluarga (Thompson & wanita, ibu bekerja tetap menjalankan peran
Bunderson, 2011). Hal ini sejalan dengan tradisional yang melekat pada diri mereka.
penelitian yang dilakukan oleh Marretih Hal ini dapat terlihat bahwa ibu bekerja
(2013). Bahwa sedapat mungkin, ibu bekerja memiliki keyakinan yang dapat memberikan
akan mengatur waktu dan menyeimbangkan makna dan arah bagi kehidupannya. Ibu
waktu antara pekerjaan diluar dan pekerjaan bekerja yang menjadi sampel dalam
rumah tangga. Namun pada penelitian penelitian ini memiliki anak dibawah usia 18

206 Jurnal Psikologi Volume 12 No.2, Desember 2019


tahun. Selain karena dorongan akan yang dijalankan, yaitu sebagai anggota
kebutuhan aktualisasi diri, ibu yang memilih karyawan dan juga sebagai ibu rumah tangga.
bekerja pada penelitian ini juga di dorong Pada penelitian ini, deskripsi subjek
dengan keinginan yang kuat akan banyaknya berdasarkan usia yang terdiri dari usia 18-29
kebutuhan yang diperlukan oleh anak, seperti tahun berjumlah 24 orang, dan usia 30-64
keinginan ibu agar dapat memberikan tahun berjumlah 72 orang. Pada hasil yang
pendidikan yang tinggi bagi anak, bahkan diperoleh dapat dijelaskan bahwa ibu bekerja
beberapa ibu dalam penelitian ini mengaku pada usia 18-29 tahun memiliki mean empirik
bahwa suami mereka tidak bekerja karena psychological well-being pada kategori tinggi
sulitnya mencari pekerjaan bagi laki-laki. dengan nilai 64.04, dan pada usia 30-64 tahun
Dengan berbagai permasalahan tersebut memiliki mean empirik psychological well-
memunculkan suatu tujuan bahwa hidup being pada kategori tinggi dengan nilai 64.83.
harus tetap berjalan dan ketika ibu bekerja, Pada mean empirik work-family conflict usia
hasil dari kerja kerasnya akan sangat 18-29 tahun memiliki mean empirik work-
bermakna bagi keberlangsungan hidup family conflict pada kategori sedang dengan
keluarga individu tersebut. nilai 43.08, pada usia 30-64 tahun memiliki
Tujuan hidup yang dimiliki ibu bekerja mean empirik work-family conflict pada
dalam menjalankan peran gandanya dengan kategori sedang dengan nilai 42.74.
seimbang menunjukkan ibu bekerja memiliki Dilihat dari hasil tersebut ternyata
psychological well-being yang tinggi. Sejalan semakin bertambahnya usia tidak menjamin
dengan hal tersebut, penelitian yang di- akan semakin tinggi pula psychological well-
lakukan oleh Pangastuti dan Sawitri (2015) being ibu bekejra pada hasil tersebut
menunjukkan bahwa ada hubungan negatif menunjukan bahwa baik pada usia 18-29
antara work-family conflict dan psychological tahun maupun 30-64 tahun ibu bekerja
well-being pada KOWAD di KODIM memiliki psychological well-being dengan
IV/Diponegoro. Hal ini menggambarkan bahwa kategori tinggi. Hal ini sejalan dengan
anggota ibu bekerja mampu menyeimbangkan penelitian Tanujaya (2014) yang menyatakan
peran di ranah keluarga dalam dimensi waktu, bahwa usia tidak berhubungan dengan
ketegangan dan perilaku secara baik, sehingga kesejahteraan psikologis. Hal ini tidak sesuai
berdampak pada rendahnya konflik peran dengan pernyataan yang dikemukakan Ryff
pekerjaan-keluarga. Psychological well-being dan Singer (1996) bahwa penguasaan
pada ibu bekerja tersebut termasuk dalam lingkungan dan otonomi diri cenderung
kategori tinggi. Hasil tersebut dapat dimaknai meningkat seiring bertambahnya usia, khusus-
bahwa anggota ibu bekerja cenderung nya saat beranjak dari masa dewasa awal
memaknai hidup secara positif atas dua peran menuju dewasa madya. Namun pada

Anggarwati, Thamrin, Work-Family Conflict dan,... 207


https://doi.org/10.35760/psi.2019.v12i2.2444
psychological well-being baik pada usia 18- kesejahteraan psikologis pada karyawan.
29 tahun dan 30-64 tahun berada pada Artinya semakin meningkat gaji yang diterima
kategori tinggi, sedangkan pada work-family oleh karyawan cleaner, akan semakin
conflict baik pada usia 18-29 tahun dan 30-64 meningkatkan kesejahteraan psikologis mereka.
tahun berada pada kategori sedang. Hal ini Pada hasil deskripsi subjek berdasarkan
dapat disimpulkan bahwa psychological well- pendidikan menunjukan bahwa mean empirik
being yang tinggi mampu menurunkan tingkat psychological well-being tidak terdapat
work-family conflict pada ibu bekerja. perbedaan pada kategori subjek berdasarkan
Pada hasil deskripsi subjek berdasarkan lulusan Sekolah Dasar (SD), Sekolah
jabatan menunjukan bahwa baik jabatan Menengah Pertama (SMP), maupun Sekolah
operator atau leader memiliki hasil kategori Menengah Atas (SMA) termasuk pada
psychological well-being yang tinggi dan kategori tinggi. Namun pada subjek dengan
work-family conflict yang rendah. Berdasar- lulusan Sekolah Menengah Atas (SMA)
kan mean empirik work-family conflict, total memiliki nilai skor mean empirik
skor untuk jabatan leader memiliki skor psychological well-being yang paling tinggi
sebesar 42.33. Sedangkan hasil mean empirik yaitu 65.93. Sementara pada subjek dengan
work-family conflict untuk jabatan operator lulusan Sekolah Dasar (SD) memiliki nilai
memiliki skor sebesar 42.89. Dari hasil skor mean empirik psychological well-being
tersebut dapat disimpulkan bahwa posisi yang sebesar 62.75, dan subjek dengan lulusan
dijalankan ibu bekerja pada perusahaan tidak Sekolah Menengah Pertama (SMP) memiliki
mempengaruhi work-family conflict. nilai skor mean empirik psychological well-
Pada hasil deskripsi subjek berdasarkan being sebesar 63.12. Berdasarkan temuan ini
gaji yang menunjukan bahwa mean empirik dapat disimpulkan bahwa pendidikan terakhir
psychological well-being dari subjek dengan mempengaruhi psychological well-being pada
gaji 3-6 juta per bulan memiliki kategori ibu bekerja. Adanya variasi psychological
tinggi dengan nilai sebesar 66. Sementara itu, well-being ditinjau dari tingkat pendidikan
mean empirik psychological well-being dari sesuai denga hasil dari penelitian yang
subjek dengan gaji 1-3 juta perbulan memiliki dilakukan oleh Lianawati (2008) yang
kategori sedang dengan nilai sebesar 61.63. menyebutkan bahwa pendidikan yang tinggi
Hal ini dapat disimpulkan bahwa besaran gaji menuntut individu untuk menampilkan aspek-
yang diterima mempengaruhi tingkat aspek kesejahteraan psikologis yang
psychological well-being. Hal ini sejalan dikemukakan oleh Ryff (1989). Misalnya
dengan hasil dari penelitian yang dilakukan otonomi dan pengusaan lingkungan, dua
oleh Tanujaya (2014), bahwa terdapat aspek yang harus tampil pada seorang
korelasi positif antara gaji dengan mahasiswa namun belum banyak dituntut dan

208 Jurnal Psikologi Volume 12 No.2, Desember 2019


dipelajari oleh murid SD. Selanjutnya subjek anak memiliki nilai skor mean empirik
dengan pendidikan tinggi lebih dapat psychological well-being dengan nilai 61.39
memahami isi kuesioner dan subjek dengan dan masuk pada kategori sedang. Sementara
pendidikan tinggi lebih mungkin mendapat- subjek yang memiliki 1 anak memiliki skor
kan pekerjaan yang lebih memungkinkan mean empirik psychological well-being
individu untuk lebih otonom, menguasai dengan nilai 64.21 dan masuk pada kategori
lingkungan, menjalin hubungan positif tinggi. Sedangkan subjek yang memiliki 2
dengan orang lain, dan sebagainya. anak memiliki skor mean empirik
Pada hasil deskripsi subjek berdasarkan psychological well-being dengan nilai 65.72
pendidikan menunjukan bahwa mean empirik dan masuk pada kategori tinggi. Berdasarkan
work-family conflict dari subjek dengan hal tersebut dapat disimpulkan bahwa jumlah
lulusan Sekolah Dasar (SD) termasuk dalam anak dapat menurunkan psychological well-
kategori sedang namun memiliki skor paling being pada ibu bekerja. Sejalan dengan hal
tinggi sebesar 45.75. Sementara itu, mean tersebut, penelitian yang di lakukan oleh
empirik work-family conflict dari subjek Rahayuningsih (2013) menyebutkan bahwa
dengan lulusan Sekolah Menengah Pertama sebuah keluarga yang memiliki jumlah anak
(SMP) termasuk dalam kategori sedang lebih dari 3 merupakan kelompok dengan
dengan skor sebesar 44.77, dan mean empirik skor kesejahteraan psikologis yang terendah.
work-family conflict dari subjek dengan Bahkan pada kelompok keluarga yang tidak
lulusan Sekolah Menengah Akhir (SMA) atau belum memiliki anak justru memiliki
termasuk dalam kategori sedang dengan skor skor kesejahteraan yang paling tinggi. Hal ini
sebesar 41.02. Berdasarkan hsil skor mean disebabkan karena keluarga yang tidak
empirik menunjukkan bahwa tingkat memiliki anak memberikan lebih banyak
pendidikan dapat menetukan tinggi rendahnya waktu luang bagi pasutri untuk lebih otonom
work-family conflict. Hal ini sejalan dengan dan mampu menangani aktivitas-aktivitas
penelitian yang dilakukan oleh Ammons dan tanpa terganggu oleh urusan pengasuhan
Kelly (2008) yang menyatakan bahwa subjek anak.
dengan pendidikan yang rendah cenderung Pada hasil deskripsi subjek berdasarkan
mengalami konflik dari keluarga kemudian jumlah anak menunjukan bahwa mean
mengganggu pekerjaan sedangkan subjek empirik work-family conflict tidak terdapat
yang memiliki pendidikan tinggi cenderung perbedaan pada kategori subjek yang
mengalami konflik dari pekerjaan yang memiliki anak 1 orang dengan nilai skor
mengganggu keluarga. Pada hasil deskripsi mean empirik 41.50, lalu 2 orang dengan nilai
subjek berdasarkan jumlah anak menunjukan skor mean empirik 41.13, bahkan ≥ 3 orang
bahwa subjek yang memiliki anak ≥ 3 orang anak dengan nilai skor mean empirik 49.50.

Anggarwati, Thamrin, Work-Family Conflict dan,... 209


https://doi.org/10.35760/psi.2019.v12i2.2444
Hasil deskripsi subjek berdasarkan jumlah being yang baik seperti belajar untuk lebih
anak pada hasil keseluruhan menunjukkan mengenal diri, menggunakan kelebihan yang
kategori sedang. Namun pada subjek yang dimiliki dengan lebih efektif, guna
memiliki anak ≥ 3 orang memiliki skor meminimalisir work-family conflict yang
paling tinggi sebesar 49.50. Sehingga dapat rentan dialami oleh ibu yang memilih bekerja.
disimpulkan bahwa jumlah anak menentukan Bagi instansi, diharapkan mampu mengetahui
tinggi rendahnya work-family conflict pada faktor-faktor yang dapat menyebabkan tinggi
ibu bekerja. Hal ini sejalan dengan penelitian rendahnya work-family conflict pada ibu
yang dilakukan oleh Rahayuningsih (2013) bekerja seperti faktor jabatan yang lebih tinggi,
bahwa jumlah anak serta usia anak gaji yang lebih rendah, tingkat pendidikan
mempengaruhi tingkat konflik peran pada yang lebih rendah, serta jumlah anak yang
perempuan yang memilih untuk bekerja. lebih banyak.
Semakin banyak jumlah anak tentu
menambah beban tugas seorang ibu sehingga DAFTAR PUSTAKA
kemungkinan mengalami konflik peran akan Ammons, S. K., & Kelly, E. L. (2008). Social
semakin tinggi. Selain itu, usia anak juga class and the experience of work family
mempengaruhi semakin anak berusia balita, conflict during the transition to
maka akan semakin membutuhkan perhatian adulthood. New Dirrection for Child and
dan perawatan yag fisik lebih banyak jika Adolecent Development, 119, 71-84.
dibandingkan dengan anak-anak dengan usia Asyari, Y. (2017, november 30).
yang lebih besar. Jawapos.com. Retrieved 06 29, 2018,
from
KESIMPULAN DAN SARAN https://www.jawapos.com/ekonomi/3011
Berdasarkan hasil penelitian, pene- /2017/kesetaraan-gender-di-dunia-
litian ini membuktikan secara empirik bahwa industri-jumlah-pekerja-perempuan-naik
terdapat hubungan yang signifikan work- Ayo, H. T., Henry, A. S., Adebukola, K. T.
family conflict dan psychological well-being (2009). Psychological variables as
pada ibu bekerja. Berdasarkan analisis rerata predictors of work-family conflict among
empirik, work-family conflict pada ibu bekerja secondary school teachers in irele local
di kota Tangerang masuk dalam kategori goverment area ondo state nigeria.
sedang, sementara psychological well-being Pakistan Journal of Sosial Sciences,
pada ibu bekerja di kota Tangerang termasuk 6(1), 11-18
dalam kategori tinggi. Galinsky, E., Bond, J. T., Friedman, D. E.
Bagi ibu bekerja, diharapkan untuk (1996). The role of employee in
tetap mempertahankan psychological well- addressing the needs of employed

210 Jurnal Psikologi Volume 12 No.2, Desember 2019


parents. Journal of Social Issue, 52(3), Javiland, M. (2000). Married women, work,
111-136 and values. Monthly Labour Review , 26-
Goldsmith, T. R. (1990). Secretary must 31.
know. London: Penguin Book. Juita, Y. R. (2017). Hubungan antara
Grandey, A. A., Bryanne, L. C., & Ann, C. C. hardiness dengan psychological well-
(2005). A longitudinal a multisource test being pada mahasiswa. Skripsi (tidak
of the work-family conflict and job terbitkan) .
satisfaction relationship. Journal of Lianawati, E. (2008). Kesejahteraan
Occupational and Arganizational psikologis istri ditinjau dari sikap peran
Psychology, 78, 305-323. gender pada pasutri muslim. Jurnal
Greenhaus, J. H., & Beutekk, N. J. (1985). Pskologi, 2(1), 29-41.
Sources of conflict between work and Lumbangaol, E. E., & Ratnaningsih, I. Z.
family roles. Academy of Management (2018). Hubungan antara konflik peran
Review, 76-88. ganda dan kesejahteraan psikologis pda
Hansen, J. C., & Cramer, S. H. (1984). wartawati radio. Jurnal Empati, 7(1),
Perspective on work and the family: The 221-226.
family therapy collection. Maryland: Marretih, E. (2013). Work family conflict
Aspen system corporation. pada ibu bekerja (studi fenomenologi
Huppert, F. A. (2009). Psychological well- dalam perspektif gender dan mental).
being: Evidence regarding its causes and Jurnal Sosial Budaya, 10(1), 27-37.
consequence. Journal of Health and Matlin, M. W. (2012). The psychology of
Well-being, 1, 137-164. women (ed 7). Canada: Cengange
Indriani, D., & Sugiasih, I. (2016). Dukungan Learning.
sosial dan konflik peran ganda terhadap Pangastuti, B., & Sawitri, D. R. (2015).
kesejahteraan psikologis karyawan PT Hubungan antara konflik peran
SC Enterprises semarang. Proveksi, pekerjaan-keluarga dengan kesejahteraan
11(1), 46-54. psikologis pada anggota kowad di
Indriyani, A. (2009). Pengaruh konflik peran Kodim IV Diponegoro. Jurnal empati ,
ganda dan stres kerja terhadap kinerja 4(2), 203-208.
perawat rumah sakit (studi kasus pada Rahayuningsih, I. (2013). Konflik peran
Rumah Sakit Roemani Muhammadiyah ganda pada tenaga kerja perempuan.
Semarang). Tesis (tidak diterbitkan). Jurnal Psikosains, 5(2), 73-85.
Semarang: Program Studi Magister Robbins, S. P. (2003). Perilaku organisasi.
Manajemen Universitas Diponegoro. Jakarta: Gramedia.

Anggarwati, Thamrin, Work-Family Conflict dan,... 211


https://doi.org/10.35760/psi.2019.v12i2.2444
Ryff, C. D. (1989). Happiness is everything, Thamrin, W. P. (2018). Pengaruh konflik
or is it? exploration on the meaning of pekerjaan keluarga dan job crafting
psychological well-being. Journal of terhadap keterikatan kerja dengan
Personality and Social Psychology, kepuasan kerja sebagai variabel
57(6), 1069-1081. pemediasi pada karyawan yang bekerja
Ryff, C. D. (1995). Psychological well-being di bidang teknologi informasi. Disertasi
in adult life. Current Directions in (tidak diterbitkan). Jakarta: Fakultas
Psychological Science, 4(4), 99-104. Psikologi Universitas Gunadarma.
Ryff, C. D., & Singer, B. (1996). Thompson, J. A., & Bunderson, J. S. (2001).
Psychological well being meaning Work non work conflict and the
meansurement and implication for phenomenology of time. Work and
psychotherapy reserch. Psychosomatic, Occupation, 28(1), 17-39.
65, 14-23. Waterman, A. S. (1993). Two conceptions of
Tanujaya, W. (2014). Hubungan kepuasan happiness: contrasts of personal
kerja dengan kesejahteraan psikologis expressiveness (eudaimonia) and
(psychological well being) pada hedonic enjoyment. Journal of
karyawan cleaner (studi pada karyawan Personality and Social Psychology,
cleaner yang menerima gaji tidak sesuai 64(4), 678-691.
standar UMP) di pt sinergi integra
services. Jurnal Psikologi, 12(2), 67-79.

212 Jurnal Psikologi Volume 12 No.2, Desember 2019

Anda mungkin juga menyukai