Anda di halaman 1dari 7

BAB I

PENDAHULUAN

Latar Belakang Penelitian

Seiring dengan kemajuan peradaban, kerap kali ditemui wanita dewasa


berpartisipasi dalam bekerja. Wanita dapat bekerja sebagai karyawan atau bahkan
menjadi CEO di suatu perusahaan. Badan Pusat Statistik menyatakan bahwa pada
tahun 2019 persentase tenaga kerja formal perempuan sudah berjumlah 39,19%. Nilai
tersebut mengalami peningkatan dibanding tahun 2018 yang hanya berjumlah
38,10%. Angka tersebut menunjukkan adanya peningkatan minat kerja bagi wanita.

Perubahan yang terjadi di masyarakat tidak luput dari peran R.A Kartini
dalam memperjuangkan emansipasi. Beliau melahirkan pandangan mengenai
kesetaraan gender dalam berbagai aspek, salah satunya dalam memperoleh
pendidikan. Dahulu, perempuan identik dengan tugas rumah tangga. Bahkan
perempuan tidak diperbolehkan mengenyam pendidikan. Kini baik laki-laki maupun
perempuan memiliki hak yang sama dalam memperoleh pendidikan. Hal ini yang
kemudian membuka kesempatan kerja bagi setiap individu, sehingga ditemui banyak
wanita dewasa yang bekerja.

Meski dengan adanya perubahan yang terjadi, wanita tetap dihadapkan


dengan dua peran. Sejalan dengan yang diungkapkan oleh Indriyani (2009), ia
menyatakan bahwa wanita memiliki peran tradisi dan peran transisi. Peran tradisi
menempatkan wanita untuk berfungsi dalam keluarga. Wanita diharapkan dapat
mengelola rumah tangga dengan baik. Mereka harus memenuhi kebutuhan untuk
suaminya. Jika mereka sudah memiliki anak, mereka pula dituntut untuk memenuhi
kebutuhan anak-anaknya. Sementara peran transisi menekankan wanita sebagai
anggota masyarakat. Wanita dapat berperan aktif dalam kegiatan ekonomi, sehingga

1
2

mereka dapat bekerja juga mengembangkan karier. Karier dalam KBBI diartikan
sebagai pekerjaan yang memberikan harapan untuk maju. Munandar (2010 dalam
Ermawati, 2016) mendefinisikan wanita karier adalah wanita yang berkecimpung
dalam kegiatan profesi. Tidak jarang ditemui wanita yang menjalani peran tradisi
(berfungsi dalam keluarga) sekaligus berkarier untuk menjalani peran transisi.

Dilansir dari IDN Times yang merangkum alasan-alasan wanita bekerja, yaitu
membantu keuangan keluarga, masih ingin menggapai mimpinya, ingin
mengamalkan ilmu yang dimiliki, memberikan contoh sikap kerja keras dan tanggung
jawab untuk anaknya, dan menjadi manusia yang berdaya (Islamiyati, 2019). Putu et
al. (2012) juga menemukan bahwa alasan wanita bekerja ialah untuk menambah
penghasilan, mengembangkan kemampuan diri, dan menghilangkan rasa bosan.
Adapula peneliti lain yang menemukan bahwa selain faktor ekonomi, seorang ibu
bekerja karena adanya desakan dalam tuntutan hidup, dan juga dorongan dari orang
lain (Rizky & Santoso, 2018). Dari temuan tersebut membuktikan bahwa terdapat
berbagai faktor yang mendorong wanita untuk tetap bekerja.

Ketika memutuskan untuk berkarier saat berkeluarga, wanita kerap kali


dihadapkan dengan berbagai tuntutan yang menjadi tantangan baginya. Penelitian
yang dilakukan oleh Mayangsari dan Amalia (2018) menemukan bahwa
respondennya yang merupakan ibu bekerja menyatakan dirinya kurang memiliki
kualitas waktu untuk bersama keluarga. Hal tersebut dapat disebabkan oleh jam kerja
yang cukup panjang, jarak tempuh yang jauh, atau jadwal pekerjaan yang padat.
Selain itu, ditemukan pula bahwa masalah yang dihadapi wanita ketika bekerja adalah
beratnya tuntutan beban pekerjaan, tugas rumah tangga yang cukup banyak, serta
rekan kerja yang kurang mendukung (Alteza & Hidayati, 2008). Masalah lain ketika
wanita bekerja juga dikemukakan oleh Handayani, (2013), ia menemukan bahwa
permasalahan pekerjaan dapat mempengaruhi peran wanita dalam keluarga, dan
permasalahan keluarga juga dapat mempengaruhi kinerja wanita. Dengan demikian,
permasalahan yang dihadapi ketika wanita bekerja tidaklah mudah.
3

Penelitian ini berfokus pada wanita karier yang sudah berkeluarga. Menjalani
tugas profesi sekaligus tugas rumah tangga tidaklah mudah, tidak jarang ditemukan
konflik peran. Menurut Waskito dan Irmawati (2007) wanita lebih mementingkan
kehidupan rumah tangga daripada tempat kerjanya dibanding laki-laki, hal tersebut
yang memicu konflik lebih banyak muncul pada wanita bekerja dibanding laki-laki.
Sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Carlson et al. (2000) yang menemukan
bahwa wanita merasakan lebih banyak konflik daripada laki-laki.

Ketidaksesuaian antara peran wanita dalam pekerjaan dan dalam rumah


tangga dapat memicu work-family conflict. Greenhaus dan Beutell (1985)
menjelaskan bahwa work-family conflict adalah konflik antarperan yang timbul
karena adanya tuntutan satu peran yang tidak cocok dengan peran lain. Tuntutan dari
domain pekerjaan tidak sesuai dengan tuntuan peran dari domain keluarga akan
menghadirkan konflik antarperan, dalam hal ini menjadi work-family conflict.

Greenhaus dan Beutell (1985) mengidentifikasikan tiga dimensi dari work-


family conflict, yaitu konflik berbasis waktu (time-based conflict), konflik berbasis
tegangan (strain-based conflict), dan konflik berbasis perilaku (behavior-based
conflict). Time-based conflict muncul ketika tekanan waktu dari satu peran tidak
cocok dengan permintaan waktu dari peran lain. Selanjutnya, strain-based conflict
muncul ketika tuntutan dari satu peran membuat individu sulit untuk memenuhi
tuntutan peran yang lain. Dan yang terakhir, behavior-based conflict hadir ketika
perilaku dari suatu peran tidak sesuai dengan harapan yang ada pada peran lain.

Work-family conflict dapat berdampak bagi diri wanita karier. Penelitian dari
Indriani dan Sugiasih, (2016) mengatakan bahwa work-family conflict memiliki
hubungan negatif yang signifikan terhadap kesejahteraan psikologis. Artinya, jika
tingkat work-family conflict maka kesejahteraan psikologisnya menjadi rendah, begitu
pula sebaliknya. Dampak work-family conflict bagi organisasi terlihat dari penelitian
Tewal dan Tewal (2014) yang menyatakan bahwa work-family conflict memiliki
pengaruh negatif yang signifikan terhadap kinerja wanita karir. Artinya, ketika
4

tingkat work-family conflict tinggi maka akan mempengaruhi tingkat kinerja wanita
karier menjadi rendah. Selain terhadap kinerja, work-family conflict juga memiliki
hubungan yang signifikan terhadap kepuasan kerja karyawan (Boles et al., 2001).
Selain itu Work-family conflict juga memiliki dampak terhadap keluarga wanita
karier. Penelitian yang dilakukan oleh Trifani dan Hermaleni (2019) menemukan
bahwa work-family conflict berkolerasi signifikan terhadap kepuasan pernikahan.
Penelitian tersebut menunjukkan arah korelasi yang negatif, hal tersebut diartikan
bahwa semakin tinggi tingkat work-family conflict maka semakin rendah kepuasan
pernikahan yang dirasakan, begitu pula sebaliknya. Terdapat pula penelitian yang
dilakukan oleh Alteza dan Hidayati (2008) terhadap wanita bekerja menemukan
bahwa work-family conflict menyebabkan gangguan psikologis dan gangguan
kesehatan. Dari penelitian yang sama juga ditemukan bahwa anggota keluarga merasa
diabaikan oleh wanita bekerja, dan menurunnya produktivitas kerja dalam organisasi.
Dampak Work-family conflict tidak hanya dirasakan oleh wanita karier, tetapi juga
dapat dirasakan oleh lingkungan sosialnya

Beberapa penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa tingkat work-family


conflict yang tinggi dapat menganggu kehidupan wanita karier. Meski demikian,
work-family conflict dapat ditangani. Kalliath dan Kalliath, (2014) menemukan
bahwa terdapat beberapa strategi koping yang bisa dilakukan oleh karyawan dalam
menghadapi work-family conflict. Strategi koping tersebut antara lain adalah
dukungan sosial, cognitive reframing, melakukan komunikasi pada waktu yang tepat,
tidak menempatkan ekspektasi yang tinggi untuk pekerjaan, manajemen waktu,
fleksibilitas kerja, dan mengembangkan hobi. Dari jurnal yang sama dinyatakan
bahwa dukungan sosial teridentifikasi sebagai koping pemecahan masalah yang
penting.

Dukungan sosial memiliki penekanan pada peran hubungan sosial yaitu


hadirnya individu lain yang mendukung individu dalam menghadapi tekanan dapat
meredakan tekanan itu sendiri (House, 1989 dalam Utami et al., 2018). Vaux et al
(dalam Ayman & Antani, 2008) mengungkapkan bahwa dukungan sosial adalah
5

persepsi atau keyakinan bahwa individu diperhatikan, dilibatkan, dihormati, dan


kebutuhan sosialnya dipenuhi oleh orang lain. Dari sumber lain, dukungan sosial
didefinisikan sebagai pertukaran sumber daya setidaknya dari dua individu sebagai
upaya untuk meningkatkan kesejahteraan (Shumaker & Brownell dalam Zimet et al.,
1988). Terdapat beberapa individu yang dianggap dapat berperan sebagai pemberi
dukungan, Zimet et al. (1988) menyatakan bahwa sumber dukungan sosial terdiri dari
keluarga, teman, dan orang terdekat lainnya (significant others). Dengan demikian,
dukungan sosial dapat diartikan sebagai peran dari orang lain yang diyakini menjadi
bantuan bagi individu.

Greenhaus dan Beutell (1985) menyatakan bahwa dukungan sosial berperan


penting dalam work-family conflict.. Dukungan sosial dapat mengurangi stres kerja
yang nantinya dapat mengurangi konflik peran ganda (Carlson & Perrewé, 1999).
Penelitian yang dilakukan oleh Julianti dan Prasetya (2016); Larasati (2015); dan
Utami et al. (2018) menunjukkan adanya hubungan antara dukungan sosial dan work-
family conflict. Namun, berbagai penelitian sebelumnya hanya membahas hubungan
antar variabel, bukan pengaruh dari dukungan sosial terhadap work-family conflict.
Berdasarkan uraian tersebut, peneliti tertarik untuk melakukan penelitian tentang
bagaimana pengaruh dukungan sosial terhadap work-family conflict pada wanita
karier berkeluarga.

Identifikasi Masalah

Merujuk pada latar belakang masalah di atas, maka masalah yang dapat
teridentifikasi adalah:

1. Bagaimana gambaran dukungan sosial pada wanita karier berkeluarga?


2. Bagaimana gambaran work-family conflict pada wanita karier berkeluarga?
6

3. Bagaimana pengaruh antara dukungan sosial dengan work-family conflict


pada wanita karier berkeluarga?

Pembatasan Masalah

Terdapat berbagai masalah yang berkaitan dengan pekerjaan-keluarga. Terdapat


pula berbagai pemecahan masalahnya. Masalah pada penelitian ini terfokus pada
bagaimana pengaruh dukungan sosial terhadap work-family conflict pada wanita
karier berkeluarga.

Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang, identifikasi masalah, dan batasan masalah tersebut


maka rumusan masalah pada penelitian ini adalah apakah terdapat pengaruh antara
dukungan sosial terhadap work-family conflict pada wanita karier berkeluarga?

Tujuan Penelitian

Merujuk pada rumusan masalah tersebut, penelitian ini bertujuan untuk


melihat bagaimana pengaruh dukungan sosial terhadap work-family conflict pada
wanita karier berkeluarga.
7

Manfaat Penelitian

Manfaat teoritis
Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat memberikan pemahaman dan
sumbangsih ilmu mengenai dukungan sosial dan work-family conflict bagi
perkembangan ilmu psikologi industri/organisasi dan psikologi keluarga. Selain itu,
penelitian ini diharapkan dapat referensi untuk mengembangkan penelitian
selanjutnya yang berkaitan dengan dukungan sosial dan work-family conflict.

Manfaat praktis
Penelitian ini diharapkan dapat membantu wanita karier dalam memilih strategi
koping yang tepat saat mengalami work-family conflict. Selain itu, hasil penelitian ini
diharapkan memberikan ilmu bagi lingkungan sekitar (keluarga, teman, dan orang
terdekat lainnya) agar memberi dukungan sosial kepada wanita karier guna
mengurangi work-family conflict. Yang terakhir, penelitian ini diharapkan dapat
menjadi referensi bagi perusahaan dalam memperhatikan kesejahteraan karyawannya.

Anda mungkin juga menyukai