Anda di halaman 1dari 12

WORKING WOMEN; LEGITIMASI ATAS PILIHAN YANG SEIMBANG DI ERA MILENIAL

Paulus Libu Lamawitak


paul.unipamof@gmail.com
Fakultas Ekonomi, Universitas Nusa Nipa
Henrikus Herdi
henrikusherdi@gmail.com
Fakultas Ekonomi, Universitas Nusa Nipa

Abstract

The phenomenon of working women has been widely studied from various scientific disciplines. The
purpose of this study is to see how women who are involved in the world of work must deal with
various aspects outside themselves such as internal conflicts. Career women who enter the world of
work must face dilemmatic conditions; between work at home / family or at work. In situations like
this, conflicts often arise within women themselves. The research method used is the library study
method. The scope of this research is career women, millennial generation and work balance. This
literature study proves that women have a very important role in the family and also in the workplace.
In these conditions, it takes a balance between work at home and at work. By maintaining the balance
of family work, women can excel in careers in the family and also in the workplace.

Keywords: Women Working, Millennial Generation, Work Balance

1. PENDAHULUAN

Pusat kajian dalam studi ini adalah kaum perempuan yang terjun dalam dunia kerja.
Mengapa? Sudah banyak kaum perempuan yang terjun langsung dalam dunia kerja di samping sebagai
ibu rumah tangga dan wanita karir. (Bliss & Garrratt, 2001; Braun, 2010; Karif, 2008). Fenomena ini
menjadi satu alasan yang mendasari studi ini. Bahwa ketika terjun dalam dunia kerja, maka di sana ada
sebuah konsekuensi lurus dari pilihan itu yakni peran ganda (multi role).
Selain peran ganda, kaum perempuan dibenturkan dengan sebuah peradaban hirarkis
paternalistic (Nimra & Sakaria, 2015) Di titik ini, mereka terhempas dalam kungkungan budaya
patriarkis. Betapa tidak! Budaya patriarki yang mengakar di tengah masyarakat Indonesia pada
umumnya telah mengkonstruksikan kaum perempuan sebagai mereka yang menjadi the next class
setelah kaum laki-laki.
Kaum laki-laki menjadi yang pertama dalam semua urusan. Mulai dari kehidupan
berkeluarga, bermasyarakat dan bernegara. Memang dalam dua decade terakhir ini, gerakan feminisme
telah mengangkat kaum perempuan ke atas permukaan sebagai manisfestasi dari gerakan kesetaraan
gender. Tetapi di beberapa sudut bangsa ini, kaum perempuan masih menjadi yang kedua.
Di tengah himpitan budaya patriarkis ini, kaum perempuan menghadapi situasi ekonomi
dimana mereka harus terjun ke dunia kerja. Seperti yang ditunjukkan oleh Arasti, dkk bahwa orientasi
yang pertama adalah untuk tujuan ekonomi (Arasti dkk, 2012). Tuntutan ekonomi menjadi salah satu
alasan mendasar mengapa kaum perempuan juga harus masuk dalam dunia kerja. Dalam beberapa
tahun terakhir ini, peran kaum perempuan dalam dunia kerja menjadi semakin signifikan. Sudah cukup
banyak peran strategis yang sudah diperankan dengan sangat baik oleh kaum perempuan (Arasti, dkk,
2012).
Menurut Barrientos (2008) factor kunci terjunnya kaum perempuan dalam urusan
perekonomian adalah komersialisasi kerja reproduksi. Pendapat ini menjurus pada pekerjaan yang
dilakukan oleh perempuan dari segi produksi rumah tangga. Produksi rumah tangga semakin banyak
digemari seperti menenun, membuat garmen, peralatan rumah tangga lain yang dilakukan oleh kaum
perempuan di rumah mereka masing-masing. Factor ini menjadi satu pencetus kaum perempuan berani
terjun dalam dunia kerja yang lebih besar.
Selain permasalahan ekonomi, ada sejumlah persoalan lain seperti apa yang ditulis oleh
Rosida (2018), yang membahas tentang perempuan dari sudut pandang konsumen. Perempuan menjadi
konsumen yang paling konsumtif. Budaya konsumtif ini kemudian menggeser posisi perempuan pada
titik paling krusial yaitu hanya pada urusan tubuh saja. Berbagai tempat belanja kecantikan dan urusan
mempercantik tubuh menjadi tempat yang paling disukai kaum perempuan. Sepintas, fenomena ini
normal. Tetapi jika ditelisik lebih dalam, sebenarnya ada satu kekhawatiran yang menjurus pada
budaya konsumtif yang tidak seimbang.
Di balik semua fenomena ekonomi perempuan di atas, ada satu permasalah yang juga
melekat dengan kaum perempuan yaitu konflik peran ganda perempuan; peran di dalam rumah
(budaya) dan peran di luar rumah (ekonomi). Konflik ini lebih dikenal dengan work family conflict
(Cascio dalam Astuti, 2014). Ada konflik ini dalam diri kaum perempuan di tengah tuntutan pekerjaan
dan tuntutan sebagai ibu rumah tangga dalam keluarga yang tidak sedikir urusan pekerjaannya. Di
tengah dua tuntutan ini, kaum perempuan tidak diberi dispensasi untuk mengutamakan yang satu dan
mengabaikan yang lain (border blending)
Studi ini mencoba melihat berbagai kemungkinan bagi kaum perempuan untuk tetap
berkontribusi bagi perkembangan ekonomi di era milenial ini tetapi juga tetap menjadi seorang ibu
yang baik untuk keluarga.

2. KAJIAN LETERATUR
2.1. Diskriminasi Gender
Faktor penting ketika berbicara tentang persoalan utama kaum perempuan adalah berbicara
tentang diskriminasi gender. Berkaiatan dengan diskriminasi gender, akan dijelaskan beberapa teori
yang bisa menjadi dasar legitimasi literature berkaitan dengan diskriminasi gender (Kercheval, dkk,
2013)

a. Teori Neoklasik
Teori neoklasik mempunyai pandangan dasar bahwa orang bertindak atas dasar penalaran
yang rasional dan sesuai minat sendiri. Teori neoklasik memberikan pendekatan pada perspektif
rasional dan dapat memberikan paradigma yang melaluinya dapat dianalisis pembedaan jenis kelamin
dalam pekerjaan. Diskriminasi bisa terjadi karena ada perbedaan factor ‘kekuatan fisik’ yang dimiliki
oleh kaum laki-laki dan perempuan. Untuk pekerjaan yang lebih banyak membutuhkan kerja fisik
maka kaum laki-laki akan lebih diutamakan dan dibayar lebih tinggi dari kaum perempuan (Kercheval,
dkk. 2012). Selain itu juga yang menjadi pertimbangan adalah mahalnya biaya jika mempekerjakan
kaum perempuan karena diperhitungkan dengan aspek seperti cuti hamil dan juga produktivitas kerja
(teori modal manusia/human capital).

b. Teori Feminis
Teori feminisme ini memberikan penekanan yang berbeda dengan teori neoklasik. Teori ini
memberikan penekanan pada peran lembaga dan proses sosial. Lembaga dan proses sosial tidak lepas
dari faktor budaya dan kebiasaan sebuah masyarakat. Teori feminis memberikan penegasan tentang
subordinasi yang dialami kaum perempuan adalah sebuah situasi di luar kendali (Kercheval, dkk.
2012). Situasi yang dimaksud adalah proses sosial dan lembaga sosial yang cenderung konservatif.
Proses sosial bisa terbentuk karena konstruksi budaya tertentu yang menggiring pandangan
bahwa kaum perempuan adalah makhluk kelas dua/subordinasi dan menjadi pilihan kedua untuk
berbagai urusan dalam bidang ekonomi, sosial dan budaya masyarakat. Jadi teori feminis ini
memberikan semacam pleidoi bahwa apa yang sudah dan sedang terjadi saat ini bukan merupakan
sebuah kesalahan atau ketidakmampuan kaum perempuan tetapi lebih pada faktor eksternal yang
melingkupi seluruh area kehidupan mereka.
Dampak lebih lanjut dari pandangan ini adalah pada peran rumah tangga yang dikerjakan
oleh kaum perempuan. Bangunan argumentasi ini berasal dari budaya patriarki. Budaya patriarki ini
menjadi penyebab terjadinya diskriminasi dalam pasar tenaga kerja (Kercheval, dkk. 2012).

c. Teori Identitas Sosial


Teori ini lebih bernuansi psikologis. Dalam pandangan dasarnya, teori ini lebih memberikan
penekanan pada posisi kaum perempuan dalam pasar tenaga kerja. Dalam budaya patriarkis, kaum
perempuan tidak menjadi yang pertama (pemimpin). Dan teori identitas sosial ini persis memberikan
sebuah gambaran tentang kekuatan tak kelihatan dalam diri kaum perempuan yang berani masuk
dalam dunia kerja dimana sudah lebih banyak didominasi oleh kaum laki-laki.
Lebih khusus teori ini mengkaji tentang berbagai ancaman yang bisa dialami oleh kaum
perempuan dalam dunia kerja. Ada beberapa pokok penting ketika berbicara tentang teori ini; 1.
Bahwa masing-masing individu dalam satu masyarakat tertentu mampu memahami diri sebagai bagian
dari kelompok masyarakat tertentu. 2). Mereka mempelajari stigma tertentu dalam kelompok
masyarakat tertentu; 3). Mereka menetapkan norma terntentu dalam kelompok masyarakat tertentu
juga (Kercheval, dkk. 2012)

2.2. Working Women


Konsep tentang working women berkaitan dengan teori border (batas). Teori ini pada
dasarnya membahas tentang keseimbangan antara pekerjaan di rumah dengan pekerjaan di luar rumah
yang muncul dari teori sebelumnya seperti spilover dan compensation (Clark, 2000). Berkaitan dengan
pandangan ini, ada beberapa konsep utama; 1) ranah kerja keluarga, 2). Borders, 3). Borders crossers,
4). Borders keepers.
a. Ranah kerja keluarga
Pandangan tentang ranah kerja keluarga ini berangkat dari kesadaran bahwa ada perbedaan
yang mendasar antara kerja dan keluarga. Ada dua hal yang menjadi dasar mengapa aktivitas kerja
menjadi penting selain mengurus keluarga yaitu valued end dan valued means (Clark, 2000).
Pandangan ini mengatakan bahwa seorang individu akan merasakan kepuasan (job satisfaction) ketika
mendapatkan pengakuan atas prestasi kerja yang dicapai (valued end) Sedangkan kepuasan dalam
keluarga dirasakan ketika terbina hubungan personal yang baik dengan anggota keluarga. Ada nilai
yang lebih berarti dari sekedar membina hubungan antarpersonal. Nilai itu diantaranya adalah kasih
sayang (valued means).
b. Border (batas)
Secara makro dapat dipahami bahwa border adalah batas. Batas ini menjadi penting dalam
setiap segi kehidupan manusia dalam sebuah organisasi. Batas memberikan panduan berpikir dan
bertindak. Selalu atas batasan dalam setiap aktivitas manusia dalam sebuah organisasi. Batas ini
semacam panduan bagi individu dalam berprilaku dalam sebuah organisasi. Batas ini mencakup fisik,
temporal dan psikologis. Batas fisik seperti gedung dan bangunan tempat kerja/rumah. Temporal
seperti waktu atau jam kerja atau jam beraktivitas dalam keluarga dan batas psikologis berupa
keputusan atau nilai yang dianut oleh individu dalam bekerja dan juga dalam keluarga. Ketiga garis
demarkasi ini menjadi penting bagi individu atau terutama kaum perempuan dalam membangun
keseimbangan; kinerja yang lebih baik di tempat kerja dan perhatian dan kasih sayang di tengah
keluarga.
c. Border Crosser (Pelintas Batas)
Pelintas batas dapat dimengeri sebagai peretas batas yang memungkinkan individu dapat
mengelaborasi batas tersebut sesuai dengan kebutuhan. Dan individu yang mampu membuat keputusan
yang tepat dengan kebebasan penuh adalah individu yang akan mencapai tingkat kepuasan yang
hakiki; mampu member ruang yang sama antara tugas di luar rumah/tempat kerja dan pekerjaan di
dalam rumah. Dengan menjadi border crosser, akan memberi ruang yang lebih besar terhadap individu
untuk bekerja secara seimbang; di rumah dan di tempat kerja.
d. Border Keeper
Border keeper dalam dunia kerja paling jelas adalah atasan. Peran border keeper sangat penting dalam
memberi batasan (border). Batas harus dibuat agar setiap tenaga kerja bisa membawa diri dalam ranah
yang tepat untuk memberi rasa nyaman karena pekerjaan dapat dilakukan dengan baik. Selain itu,
border keeper yang berkaitan dengan keluarga adalah pasangan hidup. Atasan dan pasangan hidup
dalam keluarga member batas atas pekerjaan di tempat kerja dan pekerjaan dalam keluarga.
Keseimbangan dalam keluarga dan tempat kerja dapat terus dijaga jika ada fleksibilitas antara kedua
penjaga batas ini. Jika ada keseimbangan antara tuntutan di rumah dan di tempat kerja maka setiap
individu dapat menyelesaikan kedua pekerjaan ini dengan unggul (Clark,2000).

Gambar 1: Teori Border (Clark, 2000)


2.3. Keseimbangan Kerja Keluarga
Sebelum melihat faktor keseimbangan kerja dalam keluarga, dijelaskan terlebih dahulu
tentang keluarga dan pekerjaan.
a. Keluarga
Keluarga adalah entitas terkecil dari sebuah masyarakat. Keluarga adalah embrio sebuah
masyarakat. Masyrakat bisa terbentuk dari kumpulan beberapa keluarga yang hidup dan menetap pada
sebuah locus dan tempus tertentu. Salah satu definisi konseptual yang utuh tentang keluarga oleh
Cherpas memberikan gambaran bahwa keluarga sekurangnya terdiri dari satu pasangan dengan satu
orang anak sebagai satu unit domestic (Cerpas dalam Handayani dkk, 2015).
Pergeseran dalam dunia yang semakin berkembangan turut memengaruhi pandangan tentang
keluarga. Keluarga secara konseptual tetap merupakan satu kesatuan antara seorang pria dan wanita
yang secara sadar dan bertanggung jawab membentuk sebuah persekutuan. Tetapi jika ditilik dari sisi
peran dalam keluarga, maka pergeseran ini bisa dikatakan sebagai sebuah tuntutan zaman yang
mengharuskan peran yang ganda yang bisa dilakukan oleh perempuan.
Pergeseran ini sudah terjadi sejak tahun 1970-an dimana terdapat fenomena ibu rumah tangga
bekerja di luar rumah karena pasangan di PHK, sempitnya lapangan pekerjaan, perceraian, fenomena
seks bebas, degradasi moral pada anak remaja, yang semuanya menjurus pada pandangan dan
pemaknaan masing-masing atas keluarga (Conger & Conger dalam Handayani, 2015)
b. Pekerjaan
Tuntutan natural bagi setiap manusia adalah kerja. Kerja mempunyai satu makna yang sangat
dalam karena melekat dengan harga diri manusia. Manusia secara natural harus bekerja untuk bisa
bertahan hidup (makan dan minum). Karena itu, bisa dikatakan bahwa bekerja adalah sebuah aktivitas
sadar manusia untuk bisa bertahan hidup. Pekerjaan yang dilakukan oleh masing-masing individu
berbeda antara satu dengan yang lainnya. Ada yang bekerja untuk mendapatkan uang agar bisa
membeli makanan dan minuman. Ada juga bekerja untuk bisa mendapatkan makanan dari hasil
kerjanya. Petani yang bekerja di sawah untuk bisa menghasilkan beras.
Secara ekonomis pandangan tentang bekerja untuk mendapatkan uang memang masih
menjadi padasaran utama. Tetapi di sisi lain, ada aspek lain yang menjadi dasar bagi individu untuk
bekerja seperti orang bekerja hanya untuk mengisi waktu luang atau sekedar untuk mendapatkan
pengakuan yang berujung pada kepuasan batin.
Beberapa penelitian membuktikan makna dari kerja itu sendiri seperti (Puspita dalam
Handayani dkk, 2015) dengan sampel para perawat diketahui bahwa makna kerja sebagai panggilan
jiwa. Sementara itu, Rusdiana & Affandi (2013), mengatakan bahwa dengan menemukan makna,
seseorang dapat melihat manfaat dari pekerjaannya. Lebih lanjut, hasil penelitian Rusdiana & Affandi
(2013) menunjukkan bahwa makna bekerja sebagai 1) penghasil tambahan keluarga, 2) pengisi waktu
luang, 3) adaptif dengan lingkungan sosial, 4) keterpaksaan, 5) sumber penghasilan utama demi
kelangsungan hidup keluarga, 6) usaha mengumpulkan modal, 7) upaya penunjukkan eksistensi diri.
Dari beberapa pedasaran empiris di atas dapat dilihat bahwa pekerjaan yang dilakukan oleh manusia
(homo faber) tidak selalu karena alasan ekonomi. Ada alasan lain yang memang mengikuti alasan
ekonomis seperti factor kepuasan, harga diri dan tuntutan lingkungan tempat tinggal.
c. Keseimbangan Kerja Keluarga
Tentang keseimbangan kerja keluarga, ada beberapa pendasaran yang bisa digunakan salah
satunya adalah pandangan Clark (2000) yang intinya mengatakan bahwa keseimbangan kerja keluarga
itu adalah satu keadaan di mana seorang pekerja bisa mendapatkan kepuasan di tempat kerja dan juga
bisa memberikan perhatian pada keluarganya tanpa ada konflik yang berarti.
Konsep keseimbangan kerja keluarga ini pertama kali melihat bahwa jika terjadi
keseimbangan maka tidak ada sama sekali konflik yang dialami (Handayani, 2013). Konflik peran
sering terjadi dalam keluarga. Malik dalam Astuti (2014) juga memberikan defenisi dari konflik peran
ganda yaitu, konflik yang terjadi ketika konflik sebagai hasil dari kewajiban pekerjaan yang
mengganggu kehidupan rumah tangga.
Greenhaus & Beutell (1985) mendefinisikan konflik peran ganda sebagai pertentangan antar
peran dalam keluarga dan tempat kerja. Konflik bisa terjadi di sini karena perempuan berada dalam
posisi menjalankan peran dalam keluarga, begitu juga sebaliknya, menjalankan peran dalam keluarga
menjadi lebih sulit karena juga menjalankan peran dalam pekerjaan.
Namun sebenarnya untuk menjaga keseimbangan antara pekerjaan di dalam rumah dengan
pekerjaan di tempat kerja, tidak cukup hanya dengan meminimalisasi konflik. Ada aspek lain yang
perlu mendapat perhatian juga yakni work family facilitation. Konsep ini secara secara singkat dapat
dijelaskan bahwa dibutuhkan kemampuan pada salah satu ranah untuk bisa meningkatkan kemampuan
di ranah yang lain. Dalam arti bahwa kemampuan pada satu bidang pekerjaan sangat dibutuhkan juga
untuk bisa berprestasi di bidang pekerjaan yang lain.

2.4. Generasi Milenial


Generai milenial adalah Generasi milenial telah mendapat perhatian yang serius dari semua
pihak. Generasi milinial telah menempati ruang pokok pembahasan dari berbagai aspek; politik, dari
budaya dan lebih dari itu adalah aspek ekonomi. Badan Pusat Statistik tahun 2018 mengeluarkan satu
ulasan tentang profil generasi milenial sebagai sebuah bonus demografi.
Bonus demografi ini terjadi sebagai sebuah akibat linear dari adanya perubahan struktur umur
penduduk. Menurunnya rasio perbandingan antara jumlah penduduk nonproduktif (usia kurang dari 15
tahun dan lebih dari 65 tahun) dengan jumlah penduduk produktif (usia 15 tahun sampai dengan 65
tahun). Fenomena ini menjadi satu kekuatan luar biasa yang dimiliki oleh sebuah Negara. Bonus
demografi terjadi hanya sekali dalam sejarah sebuah Negara. Indonesia sedang menikmati bonus
demografi ini. Artinya Indonesia berkelimpahan sumber tenaga kerja potensial.
Konsep tentang generasi dan perbedaan generasi pertama kali dilakukan oleh Manheim (BPS,
2018). Menurut Manheim, generasi adalah “suatu konstruksi sosial dimana di dalamnya terdapat
sekelompok orang yang memiliki kesamaan umur dan pengalaman historis yang sama.” Defenisi ini
sebenarnya hendak menegaskan satu kesamaan yang dimiliki oleh sekelompok orang yang hidup
dalam satu jangka waktu yang sama. Mereka yang mengalami masa dan sebuah periode zaman yang
sama.

3. METODE PENELITIAN
a. Rancangan Penelitian
Penelitian dengan metode kepustakaan yang digunakan dalam penelitian ini mencakup
beberapa proses yang dilalui. Ada beberapa langkah penelitian yang dilalui yaitu pemilihan topic,
eksplorasi informasi (berkaitan dengan sumber data dan rujukan), menentukan focus penelitian,
pengumpulan sumber data, persiapan penyajian data, penyusunan hasil penelitian.
b. Ruang Lingkup Penelitian
Objek utama penelitian ini adalah berbagai sumber tentang kaum perempuan yang memilih
untuk bekerja di luar rumah (working women). Untuk menghindari bias dalam penelitian ini maka
penelitian ini fokus pada literature yang berkaitan dengan konsep tentang wanita karir, konflik dalam
pekerjaan, keluarga, keseimbangan dalam pekerjaan, dan juga tentang era milenial yang khusus
melihat generasi milenial. Dan pembahsan ini kemudian akan ditarik hubungan yang linear antara
working women dan keseimbangan pekerjaan di era milenial.
c. Instrumen Penelitian
Instrument penelitian ini adalah daftar bahan acuan, skema dan panduan yang menjadi
pedoman yang digunakan dalam proses penelitian ini. Instrument ini berupa panduan penulisan,
berbagai panduan dan catatan kepustakaan yang relevan untuk digunakan dalam penelitian ini.
d. Teknik Analisis Data
Penelitian ini menggunakan jenis penelitian berupa studi kepustakaan. Studi kepustakaan
merupakan sebuah studi yang dilakukan dengan mengumpulkan data dan informasi dengan berbagai
macam material yang ada di perpustakaan seperti buku, dokumen dan jurnal. Studi kepustakaan juga
dengan melihat berbagai penelitian terkait dengan tema yang relevan. Teknik pengumpulan data yang
dilakukan dalam penelitian ini adalah dokumentasi berupa buku, jurnal dan berbagai informasi
berkaitan dengan variabel yang hendak diteliti.

4. HASIL DAN PEMBAHASAN


a. Working Women dan Keseimbangan Kerja
Konsep working women adalah sebuah konsep yang mau menegaskan peran serta kaum
perempuan dalam proses pembangunan ekonomi dan sosial. Studi tentang keberhasilan kaum
perempuan dalam berkarir entah di ranah public maupun swasta sudah cukup membuktikan bahwa
para wanita karir mampu bekerja dengan baik (Al-Allak & Al-Haddad, 2010). Peran kaum wanita
dalam ranah ekonomi yang berkaitan langsung dengan pekerjaan yang mereka lakoni sudah menjadi
sebuah keniscayaan. (Arasti, 2012; Bliss & Garratt, 2001; Al-Alak & Al-Haddat, 2010) Factor penting
yang harus ditelisik dari aktivitas perempuan pekerja adalah soal keseimbangan (balance)
(Sundaresan, 2014). Keseimbangan antara pekerjaan di rumah dan dengan pekerjaa di luar rumah
harus benar-benar dijaga agar tidak tejadi konflik yang berujung pada frustrasi dalam diri kaum
perempuan.
Faktor keseimbangan ini berkaitan erat dengan apa yang disebut dengan social capital.
Menurut Sappleton (2009) social capital mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap tingkat
keberhasilan perempuan dalam dunia kerja. Social capital ini terdiri dari berbagai aspek yang meliputi
dukungan sosial, norma sosial, sumber daya sosial, partisipasi sosial, jaringan sosial, aktivitas sosial,
kepercayaan antara satu dengan yang lain, pengakuan dan pengaruh sosial.
Aspek-aspek di atas memberikan dua kemungkinan; bisa menjadi peluang untuk berkembang
dalam karir dan juga sebaliknya menjadi penghambat (barrier) dalam karir kaum perempuan. Artinya,
jika sumber daya sosial di atas dikolaborasi dengan baik maka bisa memberikan manfaat atau peluang
bagi kaum perempuan dalam berkarir. Kolaborasi bisa dilakukan dengan mengelaborasi kemampuan
internal dalam diri dengan factor eksternal (social capital) di atas. Usaha untuk mencapai karir yang
gemilang tidak bisa serantak mengabaikan norma dalam lingkungan masyarakat; karir yang gemilang
tidak terlepas dari jaringan sosial yang dibangun secara baik; karir yang gemilang tidak terlepas dari
partisipasi sosial dan sumber daya sosial. Dibutuhkan kecerdasan untuk menjaga keseimbangan dalam
diri kaum perempuan yang berkarir di dalam dalam keluarga dan di tempat kerja.
Hal ini dipertegas oleh Sundaresan (2014) yang memberikan definisi tentang keseimbangan
dalam bekerja. Keseimbangan mendapat perluasan makna dari bukan hanya sekedar keseimbangan
antara pekerjaan rumah dengan pekerjaan di tempat kerja. Keseimbangan lebih jauh dilihat dari
perpektif sosial seperti pekerjaan, waktu luang (leisure), kewajiban sosial (social obligation),
kesehatan (healts), karir dan kehidupan spiritual (spirituality).
b. Working Women adalah bagian dari Generasi Milenial
Menurut David Foot dalam Ng & Jhonson, (2015), generasi milenial adalah kelompok yang
lahir diantara tahun 1980 sampai 1995. Tidak banyak studi yang secara eksplisit memberikan
gambaran tentang angkatan kerja wanita yang secara khusus masuk dalam kategori generasi milenial.
Tetapi jika dilihat dari defenisi generasi milenial dengan angkatan kerja perempuan yang semakin
meningkat maka dapat ditarik hubungan linear antara generasi millennial dengan wanita bekarja.
Working women yang dimaksud di sini adalah wanita karir yang masuk dalam kategori generasi
milenial.
Ada beberapa alasan mengapa generasi milenial perlu mendapat perhatian dari berbagai
pihak menurut Ng & Jhonson (2015); Pertama, generasi milenial setidaknya mempunyai effort kerja
yang tinggi dan bisa memerikan warna berbeda dalam dunia kerja yang mereka geluti. Kedua, mereka
bertumbuh dan memberikan kesan berbeda dari segi sikap dan nilai-nilai yang dianut. Ketiga, jumlah
generasi milenilial sudah lebih banyak. Angkata kerja yang banyak dengan tingkat kualitas yang
memadai menjadi kekuatan utama dunia usaha, ekonomi dan politik.
Masuknya generasi milenial dalam dunia kerja setidaknya memberikan beberapa keuntungan.
Smith & Nichols (2015) memberikan contoh adanya perbedaan generasi dalam sebuah tempat kerja
akan menimbulkan beberapa perbedaan seperti gaya kepemimpinan dan juga nilai yang dianut. Dalam
dunia kerja, kaum milenial lebih gampang beradaptasi dengan lingkungan tempat kerjanya. Hal ini
memudahkan pimpinan organisasi untuk bisa menempatkan mereka di posisi yang dikehendaki
pimpinan. Kaum milenial sangat mengerti tentang teknologi dan juga tentang berbagai regulasi yang
ada dalam sebuah organisasi. Berbagai keunggulan yang dimiliki oleh generasi milenial ini menjadikan
mereka sebagai generasi penting untuk masa depan organisasi. Penguasanaan teknologi dan effort
kerja yang dimiliki generasi milenial ini menjadi modal yang baik untuk organisasi tempat mereka
bekerja.
Implikasi penting berkaitan dengan pentingnya peran generasi milenial seperti bagaimana
membangun atau membentuk gaya kepemimpinan yang baik dalam organisasi untuk memastikan
bahwa kaum milenial merasa termotivasi dengan gaya kepemimpinan yang ada bukan sebaliknya.
Setiap organisasi bisa berharap lebih dari kaum milenial karena mereka memilik daya juang yang
tinggi dan daya tahan yang unggul dalam bekerja demi kesuksesan sebuah organisasi (Smith &
Nichols (2015).
Factor penting lain bagi kaum wanita yang terjun dalam dunia kerja adalah soal hasrat atau
kemauan (desirability). Kemauan untuk masuk dalam dunia kerja tidak terlepas dari adanya dorongan
dari dari dalam diri kaum perempuan untuk turut memberikan andil bagi kehidupan keluarga yang
lebih baik (feasibility). Artinya ada tujuan tertentu yang mau dicapai dari tindakan tertentu (Iswahyudi
& Iqbal, 2018). Dari faktor ini dapat dilihat ada faktor eksternal berupa social capital dan ada factor
internal berupa desirability dan feasibility.

5. KESIMPULAN
Tema tentang working women di era milenial menjadi satu pembahasan yang menarik.
Generasi milenial di Indonesia sekarang telah mendapat tempat yang agung di mata semua pihak
terutama para pengusaha dan juga pemerintah. Dari pembahasan dan studi kepustakaan yang dilakukan
dapat ditarik benang merah antara ketiga variabel di atas yaitu wanita karir, generasi millennial dan
keseimbangan kerja dalam keluarga.
Keseimbangan bukan hanya berkaitan dengan keseimbangan kerja di dalam keluarga dengan
di tempat kerja, tetapi lebih dari itu mencakup factor eksternal dan juga factor internal. Perkembangan
teknologi yang sangat pesat seperti sekarang ini membutuhkan keahlian dan penguasaan yang baik
terhadap berbagai sarana yang mendukung dalam setiap pekerjaan.
Untuk itu, kaum perempuan bukan lagi menjadi kelas yang kedua tetapi sudah harus
disejajarkan dengan kaum laki-laki dalam aspek pekerjaan di luar rumah (segi ekonomi). Yang
menjadi tulang punggung keluarga bukan hanya pria sebagai kepala dalam keluarga tetapi juga kaum
perempuan yang memilih untuk masuk dalam dunia kerja di luar keluarga. Dan dimensi paling penting
yang diperhatikan di sana adalah soal keseimbangan kerja dalam keluarga. Variabel keseimbangan ini
menjadi kunci kesuksesan seorang working women baik di tengah keluarga maupun di tempat kerja.

6. REFERENSI

Al-Alak, Basheer A.M & Fatima Al-Haddad. 2010. Effect of Gender on the Success of Women
Entrepreneurs in Jordan, Interdisiplinary Journal of Contemporary Research in Business,
Vol. 2, No.12

Arasti, Zahra.dkk. 2012. A Qualitative Studi on Indifidual Factor Affecting Iranian Women
Entrepreneuers’ Growth Orientation. Internationa Business Research, Vol. 5 No. 3,
March

Astuti, Anik Wahyu. 2014. Wanita Karir: Sebuah Predikat dalam Dilema. Tesis. Tidak
Diterbitkan, Semarang: Fakultas Ekonomi Universitas Diponegoro

Barrientos, Stephanie Ware. 2008. Women and Work: The Global Dimension. USA: SADAG
SA

Bliss, Richard T & Garratt, Nicole L. 2001. Suporting Women Entrepreneur in Transitioning
Economies. Journal of Small Business Management, Oktober, 39 (4) pp. 334-344
Braun, Patrice. 2010. Going Green: Women Entrepreneurs and the Environment. International
Journal of Gender and Entrepreneurship, Vol.2 No.3, pp. 245-259

Clark, Sue Campbell. 2000. Work/Family Border Theory: A New Theory of Work/Family
Balance. Human Relation, Vol. 53 (6) : 740-770

Handayani, Arri. 2013. Keseimbangan Kerja Keluarga dan Perempuan Bekerja: Tinjauan Teori
Border . Buletin Psikologi, Vol. 21. No. 2, Desember: 90-101.

Handayani, Arri dkk. 2015. Studi Eksplorasi Makna Keseimbangan Kerja Keluarga pada Ibu
Bekerja. Psycologi Forum UMM

Iswahyudi, M & Achmat Iqbal. 2018. Minat Generasi Milenial untuk Berwirausaha. ASSETS:
Jurnal Akuntansi dan Pendidikan, Vol.7, No.2: 95-104

Karcheval, Jacquelyn. 2012. Perempuan dalam Kepemimpinan: Penelitian Mengenai Hambatan


Ketenagakerajaan dan Pekerjaan yang Layak bagi Perempuan. Jakarta: ILO

Kariv, Dakna. 2008. The Relationship Between Stress and Business Performance among Man
and Women Entrepreneurs. Journal of Small Business and Entrepreneurship, 21, No. 4,
pp. 449-476

Mittal, Vivek & Anggarwal Nidhi. 2017. Investment Behavior of Working Women- A Studi of
Ludhiana Districk in Punjab. International Journal of Business Management , Vol. 3
Issue 1

Ng, Eddy S.W. & Jasmin M. Johson. 2015. Millenials: Who are They, How Are They Different
And Why Should We Care?
https://www.researchgate.net/publication/282368010_Millennials_Who_are_they_how_ar
e_they_different_and_why_should_we_care (online) diakses pada hari Kamis, 27 Juni
2019)

Rosida, Ida. 2018. Tubuh Perempuan dalam Budaya Konsumen: Antara Kesenangan Diri, Status
Sosial dan Nilai Patriarki. Jurnal Antropologi: Isu-Isu Sosial Budaya, Vo.20 (1), 85-101

Sappleton, Natalie. 2009. Women Non-Traditional Entrepreneurs and Social Capital.


International Journal of Gender and Entrepreneurship, Vol.1, No. 3, pp. 192-218

Said, Ali dkk. 2018. Statistik Gender Tematik: Profil Generasi Milenial Indonesia. Kerja sama
Kementrian Pemberdayaan Perempuan dan Anak dengan Badan Pusat Statistik

Smith, Travis J dan Tommy Nochols. 2015. Understanding the Millenial Generation. Jornal of
Business Dibersity, Vol. 15 (1).

Sundaresan, Sobha. 2014. Work-Life Balance: Implications For Working Women. Conference
Paper, Available at http://www.ssrn.com/link/OIDA-Intl-Journal-Sustainable-Dev.html
ISSN 1923-6654 (print) ISSN 1923-6662 (online).

Anda mungkin juga menyukai