Anda di halaman 1dari 3

KONSTRUKSI GENDER DALAM BUDAYA KERJA

Daris Salsabilla (180531100050)

Latar Belakang Masalah


Gender merupakan perbedaan jenis kelamin yang bukan disebabkan oleh perbedaan
biologis dan bukan kodrat Tuhan, proses sosial budaya yang panjang. Perbedaan perilaku
antara laki-laki dan perempuan, selain disebabkan oleh faktor biologis sebagian besar justru
terbentuk melalu proses sosial dan kultural. Gender bisa dikategorikan sebagai perangkat
operasional dalam melakukan measure (pengukuran) terhadap persoalan laki-laki dan
perempuan terutama yang terkait dengan pembagian peran dalam masyarakat yang
dikonstruksi oleh masyarakat itu sendiri. Istilah gender telah menjadi isu penting dan sering
diperbincangkan akhir-akhir ini. Banyak orang yang mempunyai persepsi bahwa gender
selalu berkaitan dengan perempuan, sehingga setiap kegiatan yang bersifat perjuangan
menuju kesetaraan dan keadilan gender hanya dilakukan dan diikuti oleh perempuan tanpa
harus melibatkan laki-laki.
Perempuan merupakan sumber daya yang jumlahnya cukup besar, bahkan di seluruh
dunia melebihi jumlah laki-laki. Namun perempuan yang yang berpartisipasi di sektor publik
berada jauh di bawah laki-laki, terutama di bidang politik. Rendahnya partisipasi perempuan
di sektor publik bukan hanya terjadi di Indonesia, tetapi juga di seluruh dunia, termasuk juga
di negara negara maju. Sebagai contoh dalam bidang pendidikan kaum perempuan masih
tertinggal dibandingkan dengan laki-laki.

Pembahasan
Pabrik sebagai salah satu institusi Lapangan kerja memiliki peranan penting dalam
sosialisasi gender. Pabrik sedikit banyak telah mengadopsi nilai-nilai modern seperti
kesetaraan gender. Pekerja di pabrik ini melaksanakan proses produksi di lokasi yang sama.
Namun antara pekerja perempuan dan laki-laki dipisahkan di gedung yang berbeda. Laki-laki
dan perempuan berdiri sendiri dengan tugas masing-masing. Sehingga tidak ada yang
namanya memprioritaskan laki-laki.
Memberikan batasan-batasan terhadap kesetaraan antara laki-laki dan perempuan yang
masih dalam batasan norma agama dan masyarakat patriarki pada umumnya. Dalam posisi
yang demikian, memunculkan konstruksi gender di kalangan Pekerja Perempuan yang
berbeda. Secara teoritis menurut teori konstruksi sosial Peter L. Berger dan Luckmann,
santriwati mulai mengalami proses penerimaan definisi situasi yang disampaikan orang lain,
baik dari media sosialisasi primer seperti keluarga atau orang dekat, maupun media sosialisasi
sekunder seperti pergaulan keseharian, media massa, dan
proses produksi di pabrik.
Pekerja Perempuan pun pada akhirnya bersama dengan para pekerja lainnya menjalin
pendefinisian yang mengarah pada definisi bersama. Di sinilah Pekerja Perempuan
membangun sendiri pengetahuan atas realitas yang dilihatnya berdasarkan pada struktur
pengetahuan yang telah ada sebelumnya. Pekerja Perempuan mulai melakukan proses
eksternalisasi kembali. Para Pekerja Perempuan mulai melakukan pengungkapan subjektivitas
yaitu mengkonstruksi pengetahuan menjadi perempuan menurut kultur pesantren yang
mereka fahami. Hal ini diperoleh dari pengetahuan sebelumnya yang kemudian menjadi suatu
realitas objektif sebagai hasil dari proses eksternalisasi.

• Bagaimanakah wujud diskriminasi berdasarkan konstruksi gender yang terjadi pada Anda?
Ketimpangan upah berdasarkan jenis kelamin
• Kerangka hukum apa yang sudah ada untuk memajukan, menegakkan dan memantau
kesetaraan dan non-diskriminasi berdasarkan jenis kelamin?
Meskipun undang-undang yang berkaitan dengan perlindungan pasca melahirkan bagi
ibu sudah mulai ada, namun diskriminasi terhadap perempuan karena alasan kehamilan
dan persalinan juga terus meluas. Bentukbentuk diskriminasi itu berkisar dari PHK sepihak
hingga uji kehamilan wajib.
• Berapakah proporsi waktu yang dihabiskan oleh laki-laki dalam melakukan pekerjaan rumah
tangga tak berbayar dan pekerjaan pengasuhan?
Hampir tidak Ada
• Bagaimanakah proporsi perempuan dalam posisi kepemimpinan, termasuk dalam serikat
pekerja?
Posisi kepimimpinan masih jauh dibawah rata-rata laki-laki
Simpulan
Konstruksi gender di kalangan pekerja dapat dikategorikan menjadi 3, Pertama pekerja
modernis yang menilai bahwa semua pekerjaan ideal untuk lakilaki dan perempuan. Tidak
mempermasalahkan pertukaran peran antara laki-laki dan perempuan. Kedua, kategori pekerja
tradisionalis-modern, yang menilai tidak semua pekerjaan ideal untuk laki-laki dan
perempuan. Pekerjaan untuk lakilaki menurut mereka lebih bersifat maskulin. Sedangkan
pekerjaan perempuan lebih ideal bersifat feminim. Namun mereka tidak mempermasalahkan
jika terjadi pertukaran peran antara laki-laki dengan perempuan dalam batasbatas tertentu.
Ketiga, kategori pekerja tradisionalis, yang menilai pekerjaan untuk laki-laki lebih bersifat
maskulin. Sedangkan pekerjaan untuk perempuan lebih ideal bersifat feminim. Kategori ini
tidak sepakat dengan pertukaran peran antara laki-laki dan perempuan.

Anda mungkin juga menyukai