Anda di halaman 1dari 21

Hubungan Work-Family Conflict Dengan

Psychological Well-Being Pada Ibu Bekerja

Proposal

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Masalah
Perkembangan
zaman &
emansipasi
wanita

Pandangan
atas peran
wanita

Definisi VT
(Psychological
Well-Being)

Contoh
Kasus

Faktor VT

Definisi VB

(Sianturi dan
Zulkarnain, 2013)

(Work-Family
Conflict)

Perang
Dunia II

Jumlah ibu
pekerja
semakin
meningkat.

Peran
ganda

Alasan
partisipasi
Ibu dalam
dunia kerja.

Lanjutan...
Penelitian terdahulu
tentang VB (WorkFamily Conflict)
dengan VT
(Psychological WellBeing) :
1. Kalliath T., dkk.,
(2013)
2. Grant-Vallone &
Donaldson (2001)

Dinamika VB (WorkFamily Conflict)


dengan VT
(Psychological WellBeing) :

1. Hasnain, dkk.,
(2014)
2. Sood & Bakhshi
(2012)

Lanjutan...
B. Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk
mengetahui hubungan antara workfamily
conflict
dengan
psychological well-being pada ibu
bekerja di CV. Unlu Teknik Medan.
C. Manfaat Penelitian
1. Manfaat Teoritis
Penelitian ini diharapkan dapat
memberikan sumbangan kepada
ilmu psikologi pada umumnya, ilmu
psikologi sosial serta psikologi
industri pada khususnya.

2. Manfaat Praktis
a. Bagi ibu bekerja
Hasil penelitian ini diharapkan dapat
mengetahui dimensi-dimensi work-family
conflict yang mana sajakah yang paling
dominan dirasakan oleh ibu yang bekerja,
sehingga diharapkan dapat menjadi acuan
untuk
menemukan
cara
yang
dapat
meminimalisir efek negatif dari adanya konflik
tersebut.
b. Bagi perusahaan
Penelitian ini diharapkan dapat mengetahui
bagaimana kondisi psychological well-being
ibu yang bekerja di perusahaan dan apakah
dipengaruhi oleh adanya work-family conflict
yang muncul dari kondisi pekerjaan, dan
dimensi-dimensi mana saja yang paling tinggi
dan rendah, sehingga diharapkan dapat
ditemukan usaha-usaha yang dapat dilakukan
oleh
perusahaan
dalam
meningkatkan
psychological well-being dari karyawannya
yang khususnya ibu yang bekerja.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA


A. Psychological Well-Being
1. Definisi Psychological Well-Being
Menurut Felce, dkk., (dalam Waddell & Burton, 2006), Psychological wellbeing adalah keadaan subjektif dari menjadi sehat, bahagia, nyaman dan puas
dengan kualitas hidup seseorang. Ini mencakup fisik, materi, sosial, emosional
(kebahagiaan), dan dimensi pengembangan dan kegiatan .
2. Dimensi Psychological Well-Being
Penelitian yang dilakukan oleh Abbott, dkk., (2006), menjelaskan enam dimensi
psychological well-being, yakni:
a. Autonomy (Otonomi)
b. Environmental mastery (Penguasaan lingkungan)
c. Personal growth (Pertumbuhan pribadi)
d. Positive relations with others (Hubungan positif dengan orang lain)
e. Purpose in life (Tujuan hidup)
f. Self-acceptance (Penerimaan diri)

Lanjutan...
3. Faktor-faktor yang mempengaruhi Psychological Well-Being
a. Work-family conflict
Sianturi dan Zulkarnain (2013)
Work-family conflict berkolerasi negatif dengan psychological well-being. Hal ini berarti bahwa semakin
tinggi tingkat work-family conflict seseorang maka semakin rendah tingkat psychological well-being, dan
sebaliknya.
b. Optimisme
Padhy, dkk., (2015)
Korelasi positif signifikan yang ditemukan antara optimisme dan psychological well-being, hal ini
menunjukkan bahwa dengan peningkatan optimisme, ada peningkatan di psychological well-being
c. Tekanan psikologis
Winefield, dkk., (2012)
Penelitian ini menunjukkan variabel yang berhubungan secara positif dengan psychological well-being
berhubungan negatif dengan tekanan psikologis dan sebaliknya.
d. Dukungan sosial yang dirasakan (Perceived Social Support)
Sood dan Bakhshi (2012)
Perbedaan yang signifikan terungkapkan untuk tinggi dan rendah dukungan sosial yang dirasakan pada
psychological well-being.
e. Forgiveness (memaafkan)
VanDerWal, dkk., (2016)
Forgiveness antara rekan-rekan memang terkait dengan peningkatan psychological well-being

Lanjutan...
B. Work-Family Conflict
1. Definisi Work-Family Conflict
Menurut Greenhaus dan Beutell, (dalam Barling, 2004), bahwa work-family
conflict adalah suatu bentuk konflik interrole di mana tekanan peran dari
pekerjaan dan keluarga yang saling bertentangan dalam beberapa hal.
Artinya, partisipasi dalam peran pekerjaan (keluarga) dibuat lebih sulit
berdasarkan partisipasi dalam peran keluarga (pekerjaan).
2. Dimensi Work-Family Conflict
Menurut Carlson, dkk., (2000), ada enam dimensi work-family conflict, yakni:
a. Time-based work interference family
b. Time-based family interference work.
c. Strain-based work interference family.
d. Strain-based family interference work
e. Behavior-based work interference family
f. Behavior-based family interference work

Lanjutan...

3. Dampak Work-Family Conflict


Menurut Miller, dkk., (2003), dampak yang terjadi jika seseorang mengalami
work-family conflict adalah:
a. Burnout
b. Turnover
c. Tekanan psikologis
d. Kurangnya produktivitas kerja
e. Kerugian biaya keuangan yang dikeluarkan oleh sebuah organisasi

Lanjutan...
C. Hubungan Work-Family Conflict dengan Psychological
Well-Being pada Ibu Bekerja
Dubeck & Borman (1996) mengungkapkan bahwa dengan masuknya perempuan
menikah ke dalam dunia kerja, maka bertambah pula perannya menjadi karyawati
selain juga tetap berperan sebagai seorang istri, ibu dan peran-peran lainnya.
Adanya multi peran yang dimiliki oleh ibu bekerja dapat memberikan efek yang
positif dan juga negatif.
A. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Sianturi & Zulkarnain (2013), ini menunjukkan

bahwa ada hubungan negatif antara work-family conflict dengan kesejahteraan psikologis
(r= -0.329, p< 0.01). Hal ini berarti bahwa semakin tinggi tingkat work-family conflict
seseorang maka semakin rendah tingkat kesejahteraan psikologis.

B. Penelitian yang dilakukan oleh Zirwatul, dkk., (2014), yang menyatakan baik WorkFamily Conflict (WFC) dan Family-Work Conflict (FWC) adalah prediktor negatif
kesejahteraan karyawan dalam penelitian ini (r= 0.20, p< 0.01 dan r= 0.21, p< 0.01). Hasil
penelitian menunjukkan bahwa konflik keluarga pekerjaan adalah stressor yang signifikan.
Dalam penelitian ini ada beberapa konflik yang dirasakan oleh karyawan yaitu antara
pekerjaan dan keluarga seperti mengelola waktu antara pekerjaan dengan keluarga
mereka, dan sebaliknya. Hal ini mempengaruhi kesejahteraan mereka.

Lanjutan...

Gambar 1. Bagan Hubungan Antara Work-family Conflict


dengan Psychological Well-Being

Lanjutan...
D. Hipotesis Penelitian
Berdasarkan penjelasan yang telah dikemukakan di atas,
maka dapat diajukan hipotesis sebagai berikut ; Ada
hubungan negatif antara work-family conflict dengan
psychological well-being pada ibu bekerja. Diasumsikan
bahwa semakin tinggi work-family conflict, maka
psychological well-being pada ibu bekerja semakin rendah,
atau sebaliknya semakin rendah work-family conflict, maka
psychological well-being pada ibu bekerja semakin tinggi.

BAB III METODE


PENELITIAN
A. Identifikasi Variabel Penelitian
Identifikasi variabel diperlukan untuk menentukan metode dan alat yang dipakai
dalam pengumpulan data. Adapun variabel pada penelitian ini adalah :
1. Variabel terikat
:
Psychological Well-being
2. Variabel bebas
:
Work-family Conflict
B. Definisi Operasional Variabel Penelitian
1. Psychological Well-Being
Psychological well-being adalah keadaan dimana kehidupan manusia berjalan baik. Mereka
juga mampu mengevaluasi kehidupan mereka dengan baik, serta mampu mengejar tujuan
hidupnya, untuk berkembang dan merasa puas dengan kehidupan mereka. Kesejahteraan ini
mengacu pada kehidupan yang baik bagi orang yang hidup dalam kehidupan tersebut.
Alat ukur psychological well-being yang digunakan dalam penelitian ini adalah skala
Psychological Well-being Scale (SPWB). Terdapat enam dimensi pendukung SPWB yaitu
penerimaan diri (Self Acceptance), Hubungan positif dengan orang lain (Positive Relations
to Other), Otonomi (Autonomy), Penguasaan Lingkungan (Environmental Mastery), Tujuan
Hidup (Purpose in Life), dan Pertumbuhan diri (Personal Growth).

Lanjutan...

2. Work-family Conflict
Work-family conflict adalah sebuah konflik peran yang terjadi apabila tekanan
dari peran seseorang di pekerjaan tidak sesuai dengan tekanan dari peran yang ia
jalani di keluarga sehingga pemenuhan tuntutan pada satu peran menyulitkan
pemenuhan tuntutan pada peran lainnya.
Alat ukur pada penelitian ini menggunakan skala work-family conflict dimana
terdapat tiga dimensi dalam alat ukur work-family conflict ini dan setiap dimensi
memiliki dua arah sehingga dalam alat ukur ini terdapat enam subskala. Tiga
dimensi tersebut adalah time-based conflict, strain-based conflict dan behaviorbased conflict. Arah dari setiap dimensi adalah work interference with family
(WIF) dan family interference with work (FIW).

Lanjutan...
C. Populasi dan Sampel
1. Populasi

Populasi menurut Martono (2011) adalah keselurahan objek atau subjek yang berada
pada suatu wilayah dan memenuhi syarat-syarat tertentu berkaitan dengan masalah
penelitian, atau keseluruhan unit atau individu dalam ruang lingkup yang akan diteliti.
Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh karyawati di CV. Unlu Teknik dan total
seluruhnya ada sebanyak 94 orang.
2. Sampel

Trijono (2015), mendefinisikan sample sebagai sebagian unit populasi yang menjadi
objek penelitian untuk memperkirakan karakteristik suatu populasi.
Pengambilan sampel untuk penelitian menurut Arikunto (2013), Jika peneliti
mempunyai beberapa ratus subjek dalam populasi, mereka dapat menentukan kurang
lebih 25-30% dari jumlah subjek tersebut. Jika jumlah anggota subjek dalam populasi
hanya meliputi antara 100 hingga 150 orang, dan dalam pengumpulan data peneliti
menggunakan angket, sebaiknya subjek sejumlah itu diambil seluruhnya. Jumlah
sampel yang diambil dalam penelitian ini adalah sebanyak 94 orang karyawati .

Lanjutan...

3. Teknik Pengumpulan Sampel


Metode pengambilan sampel pada penelitian ini adalah purposive sampling.
Menurut Trijono (2015), Purposive sampling merupakan teknik penentuan
sampel dengan pertimbangan tertentu. Kita memilih orang sebagai sampel
dengan memilih orang yang benar-benar mengetahui atau memiliki kompetensi
dengan topik penelitian kita.
Karakteristik subjek dalam penelitian ini adalah ibu yang bekerja di luar rumah
(penuh waktu) yang memiliki karakteristik sebagai berikut:
a.
b.
c.
d.
e.

Wanita
Sudah Menikah dan mempunyai anak
Pekerja tetap
Usia (18- 60 tahun)
Masa kerja (1 tahun ke atas)

Lanjutan...
D. Teknik Pengumpulan Data

Metode penelitian yang digunakan untuk mendapatkan data yang diperlukan


dalam penelitian ini adalah metode skala.
Menurut Shaughnessy, dkk., (2012), skala pengukuran memiliki skala empat
tingkatan pengukuran fisis atau psikologis: nominal (kategorisasi), ordinal
(pengurutan), interval (penentuan jarak antara strimulus), dan rasio (memiliki
nilai nol absolut).
Adapun jenis skala yang digunakan dalam penelitian ini adalah skala Likert.
Kriteria penilaian aitem favorable berdasarkan skala Likert adalah nilai (1) untuk
jawaban Sangat Tidak Setuju (STS), nilai (2) untuk jawaban Tidak Setuju (TS),
nilai (3) untuk jawaban Setuju (S), dan nilai (4) untuk jawaban Sangat Setuju
(SS). Sedangkan kriteria penilaian untuk aitem unfavorable adalah nilai (1) untuk
jawaban Sangat Setuju (SS), nilai (2) untuk jawaban Setuju (S), nilai (3) untuk
jawaban Tidak Setuju (TS), dan nilai (4) untuk jawaban Sangat Tidak Setuju
(STS). Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini dilakukan dengan cara
pembagian skala.

Lanjutan...

Skala Psychological Well-Being yang terdiri dari 42 butir pernyataan,


dengan 21 butir pernyataan favorable dan 21 butir pernyataan
unfavorable.

Lanjutan...

Skala work-family conflict yang terdiri dari 60 butir pernyataan, dengan


30 butir pernyataan favorable dan 30 butir pernyataan unfavorable.

Lanjutan...
E. Validitas dan Realibilitas Alat Ukur

1. Validitas
Validitas adalah kebenaran dari ukuran; ukuran yang valid adalah ukuran yang
mengukur apa yang diklaim ingin diukuranya (Shaughnessy, dkk., 2012).
Validitas yang digunakan dalam penelitian ini adalah validitas isi. Validitas isi
mengukur sejauh mana aitem-aitem tes mewakili komponen-komponen dalam
keseluruhan kawasan isi objek yang hendak diukur dan sejauhmana aitem-aitem
tes mencerminkan ciri perilaku yang hendak diukur.
Besarnya koefisien validitas bergerak dari 0 sampai dengan 1,00. Daya
diskriminasi aitem yang baik adalah mempunyai koefisien validitas yang
mendekati angka 1,00. Azwar (2010), menyatakan bahwa koefisien validitas
aitem minimal mencapai 0,30. Teknik yang digunakan untuk menguji daya
diskriminasi aitem adalah dengan menggunakan rumus Corrected Item-Total
Correlation dengan bantuan program SPSS 21.

Lanjutan...

2. Reliabilitas
Menurut Prasetyo dan Jannah (2005), reliabitas artinya berkaitan
dengan keterandalan suatu indikator. Informasi yang ada pada indikator
ini tidak berubah-ubah, atau yang disebut dengan konsisten.
Reliabilitas dinyatakan dalam koefisien, dengan angka antara 0 sampai
1,00 (satu). Semakin tinggi koefisien mendekati angka 1,00 (satu) berarti
reliabilitas alat ukur semakin tinggi. Sebaliknya reliabilitas alat ukur yang
rendah ditandai oleh koefisien reliabilitas yang mendekati angka 0 (nol)
(Azwar, 2005). Dalam penelitian ini uji reliabilitas menggunakan teknik
Alpha Cronbach dengan menggunakan bantuan program SPSS 21 for
Windows.

Lanjutan...
F. Teknik Analisis Data
Teknik analisis yang digunakan untuk menganalisis data hasil penelitian ini
adalah dengan menggunakan metode korelasi Product Moment dengan bantuan
program SPSS 21 for Windows.
1. Uji Normalitas
Uji normalitas digunakan untuk mengetahui apakah distribusi sebuah data mengikuti atau
mendekati distribusi normal (Santoso, 2015). Korelasi Product Moment mensyaratkan
bahwa data harus terdistribusi dengan normal, dan dalam hal ini digunakan Kolmogorov
Smirnov Z. Menurut Santoso (2015), adapun kriteria yang digunakan adalah apabila P >
0,05 maka data berdistribusi normal dan sebaliknya jika P < 0,05 maka tidak berdistribusi
normal.
2. Uji Linieritas
Santoso (2015), menyatakan bahwa linieritas adalah keadaan di mana hubungan antara
variabel dependen dengan variabel independen bersifat linier (garis lurus) dalam range
variabel independen tertentu. Uji linieritas bertujuan untuk mengetahui apakah dua
variabel yang akan dikenai prosedur analisis statistik korelasional menunjukkan hubungan
yang linier atau tidak. Menurut Santoso (2015), jika P < 0,05 maka hubungan antara kedua
variabel yaitu psychological well-being dan work-family conflict dikatakan linier, dan
sebaliknya jika P > 0,05 maka hubungan kedua variabel dikatakan tidak linier.

Anda mungkin juga menyukai