Anda di halaman 1dari 8

Pendahuluan

Skizofrenia merupakan gangguan kejiwaan berat dengan prevalensi hidup 1% (WHO, 2016)
yang perjalanan penyakitnya kronis dan cenderung memiliki kemungkinan untuk kambuh (Khan,
Sommer, Murray, & Meyer-Lindenberg, 2015). Skizofrenia adalah penyakit yang menghambat
keberfungsian individu dalam kehidupan sehari-hari (Barbato, 1998) yang menyebabkan sekitar 80%–
90% dari pasien tidak dapat mendukung diri secara ekonomi (Marwaha & Johnson, 2004). Mengikuti
rencana aksi yang telah dirancang oleh World Health Organization (WHO) tahun 2013 – 2020 yaitu
perubahan dari perawatan berbasis rumah sakit menjadi layanan berbasis komunitas. Anggota
keluarga bertanggungjawab untuk merawat orang dengan penyakit mental di tempat tinggal mereka
(WHO, 2013). Anggota keluarga yang telah tinggal bersama pasien atau orang dengan gangguan
mental tertentu selama lebih dari satu tahun dan telah berhubungan erat dengan aktivitas sehari-hari
pasien dikenal dengan istilah family caregiver (Swaroop, Shilpa, Ramakrishna, dkk., 2013). Family
caregiver adalah orang yang biasanya merawat dan memberikan dukungan terhadap anggota keluarga
sedang sakit (Awad & Voruganti, 2008).

Rata-rata family caregiver menghabiskan waktu sebanyak 7 jam dalam satu hari untuk merawat
anggota keluarga yang didiagnosis menderita skizofrenia (Lorenzo, Girone, Panzera, dkk, 2021). Di
satu sisi, hal ini menyebabkan kemajuan besar bagi orang dengan penyakit mental, namun disisi lain
family caregiver menghadapi beban fisik, social dan emosional (Milliken & Nothcott, 2003). Selain
itu, fungsi keluarga sebagai caregiver bagi penderita skizofrenia dapat terganggu dan akan berdampak
pada peningkatan sumber stres. Berdasarkan data Alzheimer’s Association (2010) menunjukkan
bahwa lebih dari 40% caregiver menunjukkan tingkat stres yang tinggi (Adeosun, 2013).

Stres merupakan suatu keadaan yang muncul akibat ketidakcocokan antara kondisi biologis dan
psikologis seseorang dalam menghadapi tuntutan lingkungan, yang kemudian menciptakan perasaan
ketegangan dan ketidaknyamanan (Sarafino & Smith, 2011). Selain itu, Robbins (2016) menyatakan
bahwa stres dapat diartikan sebagai keadaan di mana individu mengalami tekanan pada aspek mental
ketika mereka memiliki peluang, namun menghadapi hambatan dalam mencapai peluang tersebut.
Menurut Sarafino dan Smith (2011) individu yang mengalami stres ditunjukkan dengan dua aspek
yaitu aspek biologis dan psikologis. Aspek biologis merupakan manifestasi dari gejala fisik yang
dirasakan individu berupa pusing, gangguan tidur, gangguan pencernaan, gatal-gatal pada kulit, hilang
nafsu makan, serta keringat berlebih. Gejala fisik lainnya juga dapat ditunjukkan dengan tegang pada
otot, gugup, gelisah, mudah marah dan emosi tidak stabil. Aspek psikologis ditunjukkan dengan
gejala psikis seperti, gejala kognisi, emosi, dan perilaku.

Peneliti melakukan preliminary study dengan observasi dan wawancara awal terhadap 3 orang
anggota komunitas peduli skizofrenia Indonesia yang merupakan family caregiver orang dengan
skizofrenia (ODS) pada tanggal 3 Maret 2023 yang terdiri dari Y (30 tahun), M (47 tahun). Hasil
wawancara menunjukkan bahwa subjek cenderung memiliki aspek-aspek stress. Menurut Sarafino,
dkk (2011) yaitu aspek biologis dan psikologis. Hasil penelitian Rochmawati, Susanto, dan Ediati
(2022) menunjukkan bahwa 60% dari 110 caregiver di Semarang mengalami stress, mulai dari
kategori stres ringan hingga kategori stres sangat parah. Selain itu, Mirza, Raihan dan Hendra (2015)
meneliti 34 keluarga dengan anggota keluarga yang memiliki gangguan skizofrenia mengungkapkan
terdapat 29 individu (85%) berada di kategori stres normal serta 5 individu (15%) berada di kategori
stres ringan. Caregiver berisiko tinggi mengalami stres karena harus menghadapi berbagai stressor
dalam mengurus orang yang diasuhnya.

Tekanan pada individu bisa dipengaruhi oleh berbagai faktor, termasuk lingkungan sekitar,
kondisi kesehatan fisik, keadaan emosional, gaya hidup, dan status ekonomi (Boyaci, 2014). Menurut
Smet (1994), faktor sosial-kognitif, seperti tingkat efikasi diri dan dukungan sosial, memiliki
kemampuan untuk mengubah dan memengaruhi peristiwa stres dalam kehidupan seseorang. Selain
itu, Muhammad, Muflikhati, dan Simanjuntak (2019) menemukan bahwa dimensi religiusitas
memiliki dampak yang signifikan dalam menurunkan tingkat stres individu. Bagian terpenting dari
religiusitas adalah syukur dan sabar (Watkins, dalam Aldyafigama, dkk., 2018). Emmons dan Stern
(2013) menyatakan individu dengan sikap kebersyukuran yang tinggi cenderung mudah saat
menangani stress dan mempunyai kemampuan dalam dihadapkan pada situasi sulit. Penelitian ini
akan berfokus pada rasa syukur (gratitude) dan self-efficacy sebagai faktor yang dapat berhubungan
dengan tingkat stres family caregiver ODS.

Menurut American Heritage Dictionary of the English Language (2009), istilah gratitude atau
bersyukur dari Bahasa Latin, yaitu gratus serta memiliki arti pujian (pleasing) atau berterima kasih
(thankfulness). Rasa syukur (gratitude) merupakan emosi positif seperti perasaan terima kasih dan
kebahagiaan muncul karena suatu respon terhadap kebaikan yang diterima, baik berupa keuntungan
yang berasal dari orang lain atau ketika kedamaian dirasakan melalui keindahan alamiah. (Peterson &
Seligman, 2004). Selain itu, Emmons dan Mccullough (2003) menyatakan bahwa gratitude dapat
diartikan sebagai perasaan terima kasih, takjub, dan penghargaan yang dirasakan oleh individu
terhadap kehidupan yang dimilikinya. Rasa syukur tersebut ditampakkan atau ditunjukkan ke individu
lain maupun objek impersonal (seperti alam, Tuhan, hewan, dan lain lain). Gratitude terdiri dari
aspek-aspek menurut Fitzgerald (1998) dan Watkins (2003) yaitu antara lain mempunyai rasa
apresiasi (sense of appreciation) pada sesama maupun Tuhan, serta dalam hidup secara keseluruhan,
mencakup emosi positif dengan kehidupan yang ada. Selain itu, terdapat indikasi untuk memiliki
perilaku yang positif sebagai bentuk pengungkatan dari emosi positif dan apresiasi yang ada. Secara
praktis beberapa penelitian terdahulu menunjukkan bahwa intervensi terhadap pengembangan rasa
syukur memiliki potensi untuk meningkatkan kapasitas individu dalam mengatasi situasi sulit dan
mungkin mengurangi tingkat stres (Rahmania & Nashori, 2021).
Selain gratitude, ada juga faktor yang diasumsikan dapat berhubungan dengan stres yaitu self-
efficacy sesuai dengan pendapat Bandura (1997) yang menyatakan bahwa self-efficacy memiliki
potensi untuk memengaruhi tingkat stres dan kecemasan pada individu melalui dampaknya pada
perilaku penanganan masalah atau coping behavior. Semakin besar self-efficacy, maka individu akan
makin kuat dan dapat bertahan dalam berusaha menghadapi tanggung jawab atau tugas yang sulit.
Saat dihadapkan pada kesusahan, orang yang ragu dengan kekuatan yang dimilikinya cenderung tidak
berupaya serta tidak berusaha menghadapi masalah yang dimiliki, hal tersebut berbanding terbalik
pada individu dengan self-efficacy tinggi cenderung menunjukkan upaya tinggi saat mengatasi
masalah (Saputri & Sugiharto, 2020). Self-efficacy merupakan hal penting yang perlu dimiliki oleh
family caregiver karena menurut Keefe dkk. (2003) caregiver dengan self-efficacy yang cenderung
rendah memiliki risiko lebih besar terhadap depresi atau gejala psikologis yang negatif selama atau
setelah pengasuhan dan self-efficacy pada caregiver dapat berguna untuk mengembangkan
kemampuan dalam mengontrol rasa tidak nyaman sehingga dapat meningkatkan kualitas hidup baik
untuk caregiver maupun pasien. Bandura (2005) menyebutkan bahwa self-efficacy dapat
dikonsepsikan sebagai keyakinan individu terhadap kapasitasnya untuk mengelola situasi, meraih
hasil yang positif, serta menyelesaikan tugas yang diperlukan guna mencapai tujuan tertentu. Santrock
(2007) mengungkapkan bahwa self-efficacy dapat didefinisikan sebagai keyakinan individu terhadap
kemampuannya untuk menguasai situasi dan menghasilkan sesuatu yang positif. Alwisol (2009) juga
menyatakan bahwa self-efficacy dapat didefinisikan sebagai penilaian diri mengenai sejauh mana
kemampuan individu berfungsi secara efektif dalam suatu konteks tertentu. Konsep self-efficacy
terkait erat dengan keyakinan bahwa individu memiliki kapasitas untuk melaksanakan tindakan yang
diharapkan dalam situasi tersebut. Bandura (1997) mengemukakan tiga dimensi self-efficacy terdiri
dari generalisasi (generality), tingkat (level), dan kekuatan (strength). Adanya tingkat self-efficacy
yang tinggi pada setiap individu dapat memberikan dorongan untuk tetap bersikap proaktif dalam
menghadapi segala permasalahan, bahkan dalam kondisi yang mungkin sulit. Lazarus dan Folkman
(dalam Zajacova, Scott, & Thomas, 2005) menyatakan bahwa self-efficacy dan stres adalah dua
konsep yang berkaitan. Hal ini disebabkan oleh kepentingan self-efficacy dalam menilai tuntutan yang
berasal dari lingkungan sekitar (Zajacova, dkk., 2005).

Berdasarkan paparan di atas, penelitian ini akan menyelidiki dan menganalisis fenomena stres,
gratitude dan self-efficacy secara bersamaan, untuk melihat hubungan antara ketiga variabel tersebut
dengan fokus utama melihat apakah ada hubungan antara gratitude dan self-efficacy dengan stres.
Berdasarkan kajian teori diatas peneliti merumuskan tiga hipotesis dalam penelitian ini, yaitu:

H1 = Terdapat hubungan negatif antara gratitude dengan stres pada family caregiver penderita
Skizofrenia
H2 = Terdapat hubungan negatif antara self-efficacy dengan stres pada family caregiver penderita
Skizofrenia

H3 = Terdapat hubungan antara gratitude dan self-efficacy dengan stres pada family caregiver
penderita Skizofrenia

Metode Penelitian
Penelitian ini merupakan studi kuantitatif korelasional yang bertujuan untuk memberikan bukti
terkait adanya hubungan antara dua atau lebih aspek yang sedang diselidiki (Kumar, 2018). Populasi
dalam penelitian ini adalah family carergiver skizofrenia Penelitian ini menerapkan teknik insidental
sampling, di mana pemilihan subjek didasarkan pada kebetulan. Dengan kata lain, siapa pun yang
secara tidak sengaja bertemu dengan peneliti dan dianggap sesuai sebagai sumber data dapat menjadi
sampel dalam penelitian ini (Sugiyono, 2016). Sampel dalam penelitian ini adalah 60 orang yang
berperan sebagai family caregiver dan berusia dari rentang 20 – 60 tahun.

Instrumen pada penelitian ini yaitu kuesioner. Terdapat tiga alat ukur yang digunakan dalam
penelitian ini. Stres diukur menggunakan Kuesioner Depression Anxiety Stress Scales (DASS)-42
dengan koefisien reliabilitas alpha cronbach = 0,963. Gratitude diukur menggunakan skala gratitude
yang telah diadaptasi menjadi versi Indonesia oleh Listyandini dkk., (2015) berdasarkan komponen
dan ciri-ciri gratitude yang dinyatakan oleh Fitzgerald (1998) dan Watkins (2003) dan memiliki
koefisien reliabilitas Slpha Cronbach= 0,901. Self-efficacy diukur menggunakan skala General Self-
Efficacy berdasarkan dimensi self-efficacy menurut Bandura (2005) dengan koefisien Slpha
Cronbach= 0,782.

Hasil dan Pembahasan

Hasil

Pengumpulan data dilakukan secara daring dengan jumlah sampel sebanyak 60 responden.
Berdasarkan hasil peneltiian didapatkan data sebagai berikut.

Tabel 1. Gambaran Umum Responden

Karakteristik Jumlah (Orang) Persentase (%)

Jenis Kelamin

Laki-laki 18 30%

Perempuan 42 70%
Status Pernikahan

Belum Menikah 44 73,3%

Sudah Menikah 16 26,7%

Berdasarkan Tabel 1, dapat diamati bahwa sebagian besar responden dalam penelitian ini adalah
perempuan dengan status pernikahan mayoritas belum menikah.

Tabel 2. Hasil Uji Multikolinieritas

Variabel Tolerance VIF Status

Gratitude 0.552 1.812 Tidak terjadi Multikolinieritas

Self-Efficacy 0.552 1.812 Tidak terjadi Multikolinieritas

Dari Tabel 2, dapat disimpulkan bahwa tidak terdapat indikasi multikolinieritas antar variabel
penelitian, yang ditandai dengan nilai Tolerance yang lebih besar dari 0,10 dan nilai Variance
Inflation Factor (VIF) yang kurang dari atau sama dengan 10.

Tabel 3. Hasil Analisis Korelasional Antar Variabel

Variabel Pearson Sig.


Correlation

1 Gratitude  Stress -0,631 .000

2 Self-Efficacy  Stress -0,422 .000

Berdasarkan tabel 3 dapat dilihat bahwa gratitude berhubungan negatif signifikan dengan stres
dengan rxy = -0,631 p < 0,000. Begitu pula dengan self-efficacy yang berhubungan negatif signifikan
dengan stres yang ditunjukkan dengan rxy = -0,422 p < 0,000. Hasil tersebut menunjukkan bahwa H 1
dan H2 dalam penelitian ini terbukti.

Tabel 4.Hasil Uji Korelasi Berganda

Model R R Adjusted Sig.


Square R Square

1 .631a .398 .377 .000

a. Predictors: Selfefficacy, gratitude


Berdasarkan tabel 4 diatas dapat diketahui bahwa gratitude dan self-efficacy berhubungan dengan
stres ditunjukkan dengan nilai koefisien korelasi sebesar 0,631 p = 0,000.

Tabel 5. Hasil Uji F

Model Sum of df Mean F Sig.


Squares Square

1 Regression 12097,139 2 6048.570 18.872 .000b

Residual 18268,794 57 320.505

Total 30365,933 59

b. Predictors: Selfefficacy, gratitude

Dalam penelitian ini Ftabel adalah 3,16. Berdasarkan tabel 4 diatas dapat dilihat bahwa F hitung = 18,872
> Ftabel = 3,16 dan p = 0,000. Hal tersebut menunjukkan bahwa gratitude dan self-efficacy secara
simultan atau bersama-sama berhubungan dengan stres. Hasil tersebut menunjukkan bahwa H 3 dalam
penelitian ini terbukti.

Pembahasan

Hasil penelitian ini membuktikan bahwa gratitude dan self-efficacy berhubungan dengan stres
pada family caregiver. Hasil penelitian ini mendukung hasil penelitian Manita, Mawarpuri, Khairani,
dan Sari (2020) yang menunjukkan bahwa gratitude berhubungan negatif dengan stres. Sejalan
dengan pendapat Wood, Maltby, Stewart, Linley, dan Joseph (2008) bahwa individu yang memiliki
tingkat rasa syukur yang tinggi cenderung mengalami tingkat stres yang lebih rendah dan mencapai
tingkat kesejahteraan yang lebih tinggi. Akibatnya, mereka menunjukkan tingkat kepuasan dan
optimisme yang lebih tinggi dibandingkan dengan individu yang cenderung kurang untuk bersyukur.
Dalam konteks penerapannya, rasa syukur terkait dengan penggunaan strategi penanganan berfokus
emosi, seperti perubahan sudut pandang positif (positive reframing), penerimaan, dan metode-metode
lainnya (Lau & Cheng, 2015). Penerapan rasa syukur dapat mengurangi beban caregiving yang
dialami oleh family caregiver, mengurangi konflik yang terkait dengan perawatan ODS dan
meningkatkan kontribusi caregiver dalam merawatnya (Amaron, 2017). Ekspresi gratitude dianggap
dapat membangun hubungan baik di antara keluarga, yang dapat mengurangi beban caregiver.
Frekuensi tinggi dalam mengungkapkan gratitude dapat mengurangi kecemasan dan meningkatkan
kepuasan (Park, MacDonald, Johnson, Impett, 2019). Oleh karena itu dapat disimpulkan bahwa
gratitude dapat berkaitan dengan penurunan tingkat stres pada individu sebagai salah satu coping
stress yang adaptif. Rasa syukur memiliki kapasitas untuk meningkatkan emosi positif pada individu,
termasuk dalam hal sikap memaafkan, memberikan dukungan, dan bersyukur. Sebagai akibatnya, rasa
syukur juga dapat berkontribusi pada pengembangan hubungan interpersonal yang positif bagi orang
lain dan lingkungannya (Bono, 2012).

Selain itu, Lazarus dan Folkman (dalam Zajacova, Scott, & Thomas, 2005) menyatakan
bahwa self-efficacy dan stres adalah dua konsep yang berkaitan. Hal ini disebabkan self-efficacy
sangat berperan dalam menilai tuntutan yang berasal di lingkungan (Zajacova, dkk., 2005). Setiap
permasalahan eksternal akan dievaluasi sebagai ancaman, namun orang-orang dengan self-efficacy
yang tinggi cenderung mengevaluasi hal tersebut sebagai sebuah tantangan. Self-efficacy merupakan
hal penting yang perlu dimiliki oleh family caregiver karena menurut (Keefe, dkk., 2007) caregiver
yang memiliki self-efficacy yang cenderung rendah memiliki risiko lebih besar terhadap depresi atau
gejala psikologis yang negatif selama atau setelah pengasuhan. Self-efficacy pada caregiver dapat
berguna untuk mengembangkan kemampuan dalam mengontrol rasa tidak nyaman sehingga dapat
meningkatkan kualitas hidup baik untuk caregiver maupun pasien.

Self-efficacy muncul sebagai salah satu konsep paling penting dalam memahami bagaimana
individu menyesuaikan diri dengan rasa tidak nyaman (Keefe, dkk., 2007). Selain itu, terdapat
hubungan positif antara self-efficacy caregiver dalam pengelolaan rasa sakit dan mampu
mempertahankan suasana hati positif caregiver. Oleh karena itu, para caregiver yang menilai self-
efficacy tinggi melaporkan tingkat beban dan suasana hati negatif yang lebih rendah, serta tingkat
suasana hati positif yang lebih tinggi (Keefe, dkk., 2003). Self-efficacy tinggi melindungi para
caregiver dari kesulitan yang berkaitan dengan tuntutan emosional dan fisik dalam memberikan
perawatan kepada ODS. Penelitian telah menunjukkan bahwa intervensi seperti pemodelan, penetapan
tujuan, dan pelatihan keterampilan dapat meningkatkan self-efficacy dan menghasilkan penyesuaian
yang lebih baik pada pasien dengan penyakit kronis (Bandura, 1997). Sebagian besar intervensi yang
ditargetkan untuk meningkatkan self-efficacy dalam pengelolaan rasa sakit bisa bermanfaat bagi para
caregiver serta pasien (Keefe, dkk., 2007).

Berdasakan uraian di atas, dari penelitian ini dapat dikonfirmasi bahwa family caregiver yang
memiliki gratitude dan self-efficacy cenderung dapat mengelola permasalahan dengan baik sehingga
dapat terhindar dari stres. Secara keseluruhan, semakin tinggi tingkat rasa syukur (gratitude) dan
keyakinan diri (self-efficacy) yang dimiliki oleh family caregiver, maka tingkat stres yang dialami
cenderung lebih rendah. Sebaliknya, jika tingkat rasa syukur dan keyakinan diri rendah, maka tingkat
stres pada family caregiver cenderung meningkat. Selain itu, hasil penelitian ini juga menunjukkan
bahwa gratitude dan self-efficacy memberikan sumbangan efektif sebesar 39,8% terhadap stres pada
family caregiver. Limitasi dari penelitian ini adalah terbatasnya jumlah partisipan sehingga dalam
penelitian selanjutnya dapat dilakukan dengan sampel yang lebih banyak untuk menggeneralisasi hasil
penelitian.
Simpulan

Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa gratitude dan self-efficacy secara
bersama-sama berhubungan dengan tingkat stres pada family caregiver. Hal tersebut menunjukkan
bahwa semakin tinggi gratitude dan self-efficacy pada family caregiver orang dengan skizofrenia,
maka semakin rendah tingkat stres. Hasil penelitian ini juga menunjukkan bahwa gratitude memiliki
korelasi yang negatif signifikan dengan stres, begitupula pada variabel self-efficacy. Family caregiver
yang menghadapi beban fisik, emosional dan ekonomi dalam mengurus anggota keluarga yang
menderita skizofrenia dapat terhindar dari stres jika memiliki kemampuan untuk bersyukur serta
efikasi diri yang baik. Implikasi dari hasil penelitian ini dapat digunakan oleh para praktisi kesehatan
mental untuk menggunakan intervensi kebersyukuran dalam mengurangi tingkat stres pada family
caregiver. Selain itu, family caregiver juga dapat secara mandiri mengembangkan kemampuan untuk
bersyukur dan berupaya meningkatkan self-efficacy yang dimiliki.

Anda mungkin juga menyukai