Anda di halaman 1dari 10

Stress Kerja pada karyawan

Oleh Fridolin Dapa Dadu

Nim 1921B0015

Program Studi S1 ilmu kesehatan masyarkat

Fakultas fakar

Institut ilmu kesehatan strada indonesia

Kediri 2020/2021
Kasus

Surat kabar Ming pao dihongkong melaporkan bahwa salah satu kerabat dekat insinyur
mengklaim kematian rekan kerjanya itu dikarenakan stress kerja, setelah bekerja 34 jam tanpa
insterahat. Dampak dari laporan surat kabar yang terbit langsung di respon positif oleh
perusahaan dengan mengumumkan pemberian 30% bonus pada karyawannya untuk
meningkatkan dan membantu tercipatanya lingkungan kerja yang lebih baik selain itu kerja
lembur karyawan akan dikurangi sehingga bisa lebih banyak waktu untuk isterhat. Aktivitas
ketenagakerjaan menuduh perusahaan memiliki gaya manajemen yang kaku dan karyawannya
dipaksakan untuk bekerja terlalu keras namun foksonn menyangkal tuduhan ini. Dalam setahun
ini di foksonn company “10 pekerjanya telah bunuh diri dan 3 lainnya melakukan percobaan
bunuh diri, rata-rata mereka tewas karena terjun dari atas bangunan.

Berdasarkan kasus diatas para pekerja mengalami dapak psikologis yang cukup
membahayakan karena sampai melakukan bunuh diri yang karena stress dengan pekerjaannya,
stress yang dialami oleh pekerja tersebut ialah sesuai dengan pengertian menurut wydiastuti
(2003) yang menyatakan bahwa stress merupakan ketegangan yang dengan mudah muncul
akibat kejenuhan yang timbul dari beban kerja yang berlebihan, tuntutan tugas yang mendukung
kerja terjadinya hal tersebut selain itu juga dipengaruhi oleh faktor-faktor penunjangannya sepeti
bertambahnya tanggung jawab tanpa adanya penambahan upah. Sehingga membuat para pekerja
tidak dapat memenuhi kebutuhan hierarkinya berdasarkan teori masslow. Diantaranya mereka
tidak dapat memenuhi kebutuhan biologis mereka seperti halnya pangan, sandang dan papan.
Hal tersebut dikarenakan upah yang mereka terima tidak setimpal atau tidak mencukupi.

Stres kerja yang cukup menurut Handoko (2013) mampu meningkatkan prestasi kerja
namun apabila stress kerja terlalu besar maka akan menghasilkan prestasi kerja yang sangat
rendah. Suatu organisasi perlu memperhatikan stres kerja karyawannya untuk mendapatkan hasil
kerja optimal. Penelitian yang dilakukan oleh Astianto (2014) menunjukkan hubungan terbalik.
Seorang karyawan yang mengalami kenaikan stress kerja sebesar 1 satuan, maka dapat
menurunkan kinerja karyawan sebesar 0,16. Astianto selanjutnya menambahkan stres kerja yang
cukup dapat mendorong karyawan memberikan tanggapan terhadap tantangan-tantangan
pekerjaan. Stres kerja yang cukup dengan tingkat intensitas pembebanan yang optimum, dalam
arti tidak terlalu besar atau terlalu kecil dapat memacu prestasi kerja karyawan.
Organisasi tentunya tidak menginginkan penurunan kinerja perusahaan. Jamal (2011)
menyatakan adanya hubungan linear terbalik antara stres kerja dan kinerja karyawan.
Berdasarkan beberapa penelitian di atas maka penting bagi organisasi untuk memperhatikan
tingkat stres kerja karyawannya. Terlalu sedikitnya stimulus atau tantangan pekerjaan atau tidak
adanya stres kerja maka karyawan tidak akan terpacu menampilkan kinerja terbaik mereka,
namun apabila tingkat stress kerja terlalu tinggi maka akan berpotensi menimbulkan burnout atau
bahkan depresi. Mengacu pada konsep yang dikemukakan Robbins dan Judge (2015) stres
dihubungkan dengan tuntutan dan sumber daya. Tuntutan merupakan tanggung jawab, tekanan,
kewajiban, dan ketidakpastian yang dihadapi oleh para individu di tempat kerja. enelitian oleh
Greenhalgh dan Rosenblatt (1984) yang menunjukkan adanya hubungan antara job insecurity
dengan stress. Ashford, et al., (1989) menyatakan job insecurity sebagai kondisi mental seorang
karyawan di mana karyawan merasa pekerjaannya terancam dan karyawan tidak berdaya untuk
melakukan sesuatu untuk mengatasi masalah. Ganster dan Rosen (2013) mengemukakan job
control berfungsi menghambat laju stres kerja yang disebabkan oleh beban kerja, konflik, dan
lain-lain. Berdasarkan hasil penelitian dan beberapa pendapat diatas kemudian dikaitkan ke
dalam konteks dunia kerja karyawan perum perhutani yang bertugas di lapangan maka stress
kerja dapat berkurang ketika karyawan ditingkatkan kewenangannya dalam merencanakan,
mengontrol pekerjaannya maka diharap kan dapat menurunkan tingkat stress kerja karyawan.
Stress kerja karyawan juga dapat dikurangi melalui peningkatan religiusitas. Penelitian yang
dilakukan oleh Roostaee, Nikmanesh, Sharifi-Rad, Kiani, & Shahnazi (2016) menyatakan
adanya hubungan negatif antara religious coping dengan stress kerja. Semakin tinggi tingkat
religiusitas seseorang dalam menghadapi masalah maka akan semakin rendah tingkat stres dalam
menghadapi masalah kerja. Faktor terbesar yang berhubungan dengan stres kerja adalah aktivitas
religious. Sehingga peningatan aktivitas religious karyawan diharapkan lebih mampu
menurunkan stress kerja.

Stres adalah kondisi ketika sebuah peristiwa yang dialami individu menyebabkan
ketegangan fisik, mental, ataupun emosional (McCormick & Barnett, 2011:278). Lazarus
(Taylor, 2006) menegaskan bahwa stres terjadi ketika kemampuan atau sumber daya yang
dimiliki seseorang dinilai tidak mencukupi untuk mengatasi tuntutan situasi. Sementara itu Baum
(dalam Taylor, 2006:83) mengatakan bahwa stres adalah pengalaman emosi negatif, dan tekanan
untuk beradaptasi dengan kondisi serta norma sosial yang diikuti oleh perubahanperubahan
fisiologis, kognitif, dan perilaku secara langsung terhadap munculnya kejadian yang dianggap
menekan, tidak terkontrol, dan diluar kemampuan individu untuk mengatasinya Berdasarkan
definisi di atas peneliti menyimpulkan bahwa stres adalah kondisi ketika tekanan atau stresor
dipersepsi negatif karena individu tidak memiliki sumber daya yang memadai untuk
mengatasinya sehingga menimbulkan masalah pada aspek fisik, kognitif, emosi, dan perilaku.
Selanjutnya peneliti menurunkan definisi stres tersebut ke dalam beberapa aspek, yaitu:

1. Aspek fisik Aspek ini ditandai adanya gangguan fisik, kelelahan, kualitas makan dan tidur
terganggu. Timbulnya gangguan ini bukan berasal dari penyakit fisik melainkan sinyal
adanya beban yang dirasakan tubuh.
2. Aspek emosi Aspek ini ditandai adanya labilitas perasaan, kecemasan, dan penurunan minat
terhadap aktivitas.
3. Aspek kognitif Aspek ini ditandai adanya persepsi negatif baik terhadap diri sendiri maupun
lingkungan
4. Aspek perilaku Aspek ini ditandai dengan timbulnya perilaku menghindar atau melawan
sebagai bentuk luapan stres.

Hasil penelitian yang dialkukan oleh Muhammad Farid Bashori1 & IJK Sito Meiyanto2
dapat memberikan masukan bagi organisasi perum perhutani mengenai stress kerja karyawan,
dan bagaimana mengelola stress kerja yang diinginkan. Perusahaan dapat menurunkan job
insecurity karyawan dengan memberikan kepastian pekerjaan seperti deskripsi pekerjaan,
bagaimana mekanisme penilaian hasil kerja. Pengelolaan religiusitas karyawan dapat dilakukan
melalui program ritual keagamaan seperti pengajian rutin yang diagendakan. Dimungkinkan
untuk mencoba penelitian sejenis dengan menggunakan subjek pada bagian supporting staff.

Dampak dari beban kerja dan stress kerja dapat menurunkan kepuasan kerja seseorang.
Sesuai penelitian yang dilakukan Chuzaeni (2017) didapati beban kerja dan stress kerja
berpengaruh negatif terhadap kepuasan kerja, dengan artian apabila beban kerja dan stress kerja
meningkat maka akan menyebabkan penurunan kepuasan kerja. Kepuasan berkurang juga
ditandai dengan ketidakpuasan terhadap kompensasi yang belum sesuai dengan Upah Minimum
Kabupaten (UMK). Dikarenakan semakin naiknya harga kebutuhan pokok, ditambah mayoritas
perawat sudah berkeluarga membuat mereka cemas dan memikirkan apakah dengan kompensasi
sedemikian akan cukup untuk memenuhi kebutuhan keluarganya. Beban kerja tidak hanya
berpengaruh secara langsung terhadap kepuasan kerja karyawan, tetapi dapat juga berpengaruh
tidak langsung melalui mediasi stress kerja. Hal ini dibuktikan dengan penelitiannya Susanti, et
al (2015) bahwa beban kerja tidak berpengaruh signifikan terhadap kepuasan kerja, maka dari itu
harus menggunakan mediasi stress kerja agar hasilnya signifikan, dan hasilnya stress kerja
berperan sebagai full mediasi antara beban kerja terhadap kepuasan kerja. Sehingga diartikan
beban kerja yang berlebihan pada individu dapat menyebabkan stress kerja pada pekerjaannya.
Akibatnya yang terjadi yaitu apabila stress kerja terlalu tinggi akan menyebabkan penurunan
kepuasan kerja. Indikator beban kerja yang digunakan menurut Tarwaka (2011) dalam Febriani
(2017) dikategorikan dalam dimensi, antara lain :

1. Beban waktu (time load), menunjukkan jumlah waktu yang tersedia dalam perencanaan,
pelaksanaan dan monitoring tugas atau kerja yang meliputi standar waktu pelaksanaan kerja,
dan waktu istirahat.
2. Beban usaha mental (mental effort load), banyaknya usaha mental atau tugas-tugas yang
harus dikerjakan, volume (ukuran) pekerjaan, tanggung jawab pekerjaan yang besar, tingkat
kesulitan pekerjaan yang dihadapi, dan tingkat resiko pekerjaan.
3. Beban tekanan psikologis (psychological stress load), yang menunjukkan kebingungan,
frustasi dan konsentrasi dalam melaksanakan pekerjaan (fokus/tidak fokus). Menurut
Robbins (2007)
stress kerja ialah kondisi ketegangan yang mempengaruhi emosi, jalan pikiran dan kondisi
fisik seseorang. Menurut Rivai (2009)) stress kerja ialah suatu keadaan yang menciptakan
ketidakseimbangan fisik dan psikis yang berpengaruh pada emosi, proses berpikir, dan kondisi
seseorang. Menurut Mangkunegara (2017) stress kerja ialah perasaan tertekan dalam
menghadapi pekerjaan yang dialami karyawan. Stress yang tidak diatasi dengan baik akan
berakibat pada ketidakmampuan seseorang untuk berinteraksi secara positif dengan
lingkungannya, baik lingkungan internal maupun lingkungan eksternal. Indikator Stress Kerja
menurut Robbins (2008) dibagi menjadi tiga aspek, yaitu:
1. Indikator pada psikologis
2. Indikator pada fisik
3. Indikator pada perilaku
Menurut Milton dalam Nimran & Amirullah (2015) Kepuasan Kerja merupakan keadaan
emosional positif atau menyenangkan yang dihasilkan dari penilaian karyawan berdasarkan
pengalaman kerjanya. Milton juga mengatakan reaksi positif karyawan terhadap pekerjaannya
tergantung pada taraf pemenuhan kebutuhan fisik dan psikologis karyawan tersebut oleh
pekerjaannya. Kesenjangan antara yang diterima karyawan dari pekerjaannya dengan yang
diharapkannya menjadi dasar munculnya kepuasan kerja. Sedangkan menurut Handoko (2008)
kepuasan kerja adalah keadaan emosional yang menyenangkan atau tidak menyenangkan para
karyawan dalam memandang pekerjaan mereka. Kepuasan kerja mencerminkan perasaaan puas
seseorang terhadap pekerjaannya. Hal ini dimunculkan dalam sikap positif karyawan terhadap
pekerjaan dan segala sesuatu yang dihadapi di lingkungan kerjanya. Indikator kepuasan kerja
menurut Smith, Kendall, dan Hulin dalam Nimran & Amirullah (2015), menyebutkan lima
indikator meliputi: 1) Kepuasan terhadap pekerjaan itu sendiri, 2) Kepuasan terhadap
pembayaran/gaji, 3) Kepuasan terhadap promosi, 4) Kepuasan terhadap supervisi/pimpinan, 5)
Kepuasan terhadap teman kerja. Kepuasan kerja dapat dipengaruhi oleh beban kerja sehari-hari,
karyawan lebih merasa puas ketika mereka diberikan beban yang rendah atau sedang. Karena
beban kerja yang berat, besar kemungkinan orang tersebut akan merasakan ketidakpuasan
terhadap pekerjaannya. Seperti yang dikemukakan Spector (1997) yang mengatakan tuntutan
pekerjaan yang berlebihan sering menyebabkan ketidakpuasan kerja, stress dan kelelahan yang
semuanya dapat mempengaruhi absensi. Sehingga bisa disimpulkan banyak yang meneliti bahwa
beban kerja berdampak negatif terhadap kepuasan kerja. Berbagai jenis tugas dalam pekerjaan
merupakan kewajiban yang harus dilaksanakan oleh seseorang. Namun dalam kenyataannya
tidak menutup kemungkinan tugas-tugas tersebut menyebabkan munculnya stress kerja bagi
karyawan. Beban kerja merupakan faktor penyebab stress kerja, sehingga beban kerja yang
tinggi pasti akan menimbulkan stress kerja. Menurut Riggio (2000) menyatakan beban kerja
adalah tugas-tugas pekerjaan yang menjadi sumber stress seperti pekerjaan yang mengharuskan
bekerja lebih cepat, menghasilkan sesuatu dan konsentrasi dari stress kerja. Senada dengan
Munandar (2001), berpendapat bahwa tidak kesesuaian antara tuntutan tugas dengan kapasitas
yang dimiliki, maka akan menimbulkan stress kerja. Sehingga banyak penelitian yang
menemukan bahwa beban kerja bersifat positif terhadap stress kerja. Stress kerja dan kepuasan
kerja saling berhubungan. Seperti yang dikemukakan Robbins (2003), bahwa salah satu dampak
stress secara psikologis dapat menurunkan kepuasan kerja. Kepuasan dalam bekerja dapat
ditemukan apabila ada keseimbangan antara apa yang diharapkan dan apa yang diterimanya
dalam bekerja. Hal ini berarti bahwa stress kerja berdampak negatif terhadap kepuasan kerja
karyawan. Yang sering terjadi adalah tekanan pada kondisi kerja dan rendahnya kompensasi
dapat menimbulkan stress kerja dan penurunan kepuasan kerja. Sesuai dengan pendapat Wibowo
(2011) dalam Putu dan Ida (2015) bahwa stress yang terjadi ditempat kerja menyebabkan :
rendahnya kualitas pelayanan, pergantian staf yang tinggi, reputasi dan citra perusahaan menjadi
buruk, dan ketidakpuasan kerja. Beban kerja dan stress kerja merupakan salah satu faktor yang
menyebabkan menurunnya kepuasan kerja. Beban kerja dapat berpengaruh secara langsung
maupun tidak langsung terhadap menurunnya kepuasan kerja, secara tidak langsungnya yaitu
dengan melalui mediasi stress kerja. Menurut Patricia, et al (2016) jika tuntutan pekerjaan lebih
tinggi daripada kemampuan bekerja, akan memunculkan stress kerja. Jadi disisi lain stress kerja
dapat terjadi akibat dampak dari beban kerja yang tinggi, hal inilah yang menyebabkan kepuasan
kerja menurun. Senada dengan pendapat Mudayana dalam Hannani (2016) bahwa beban kerja
karyawan perlu diperhatikan agar tidak terjadi over yang dapat menimbulkan stress kerja yang
dapat berakibat pada menurunnya kepuasan kerja. Sehingga bisa disimpulkan banyak yang
meneliti bahwa stress kerja memediasi penuh antara beban kerja terhadap kepuasan.
Berdasarkan hasil pengujian yang telah dilakukan oleh Laily Nurida Safitri, Mardi
Astutik menunjukkan adanya pengaruh beban kerja terhadap kepuasan kerja. Beban kerja yang
berlebihan menyebabkan penurunan kepuasan kerja perawat di Rumah Sakit Unipdu Medika
Jombang sehingga semakin banyak pekerjaan yang ditangani, membuat semakin rendah tingkat
kepuasan kerja perawat. Dalam persepsi karyawan, beban kerja adalah penilaian individu atas
sejumlah tuntutan tugas yang membutuhkan kekuatan dan konsentrasi yang kuat. Sedangkan
kepuasan ditemukan apabila ada keseimbangan antara apa yang diharapkannya sesuai dengan
apa yang diterimanya dalam bekerja.
Tekanan yang timbul dan berlangsung terus menerus berpotensi menimbulkan stress bagi
pekerja. Spielberger (dalam Handoyo, 2001:63) menyebutkan bahwa stres adalah
tuntutantuntutan eksternal yang mengenai seseorang, misalnya obyek-obyek dalam lingkungan
atau suatu stimulus yang secara obyektif adalah berbahaya. Stres juga didefinisikan sebagai
tanggapan atau proses internal atau eksternal yang mencapai tingkat ketegangan fisik dan
psikologis sampai pada batas atau melebihi batas kemampuan subyek (Cooper, 1994). Setiap
profesi memiliki tekanan yang berbeda yang pada akhirnya menciptakan tingkat stres kerja
tersendiri. Penelitian-penelitian terdahulu menguatkan argumen yang menyatakan bahwa stres
kerja akan berbeda-beda di tiap profesi. Tewksbury dkk. (2006) menyatakan bahwa stres kerja
para penjaga penjara terbentuk karena isu-isu organisasi seperti halnya konflik peran, emotional
dissonance, dan kontrol tugas. Selanjutnya, Swee dkk. (2007) menyatakan bahwa stres karyawan
di perusahaan tembakau tercipta karena faktor-faktor seperti: kebijakan organisasi, struktur
organisasi, proses organisasi dan lingkungan kerja. Sementara para sales mengalami stres kerja
karena desain pekerjaan yang memaksa mereka mencapai target tertentu dalam periode tertentu.
Selain itu Eres (2011) menyimpulkan bahwa stres kerja yang muncul pada profesi guru ini
disebabkan karena karakteristik sosial dan kondisi kerja. Dari beberapa temuan di atas, dapat
disimpulkan bahwa faktor penyebab stres dari masing-masing profesi itu berbeda sesuai
karakteristik pekerjaan dan lingkungan yang dihadapi. Seperti pekerjaan lain pada umumnya,
pekerja di lembaga permasyarakatan juga memiliki sumber dan tingkat stres tertentu. Hasil
penelitian menjelaskan bahwa profesi ini memiliki tingkat stress yang tinggi dan berasal dari
faktor-faktor yang berbeda. Di Nigeria, stres kerja penjaga pemasyarakatannya lebih disebabkan
karena lingkungan kerja dan fasilitas kerja yang didapatkan oleh petugas pemasyarakatan
dianggap kurang memadai. Seperti halnya kerusuhan yang terjadi di dalam penjara, kekurangan
pasokan air, prosedur yang tidak baik, bangunan yang tidak layak dan lain-lain (Okoza, 2010).
Lain halnya dengan yang terjadi di Indonesia. beban kerja yang terlalu tinggi dan tanpa
pemberian kesejahteraan yang sesuai menjadi sumber stres bagi petugas pemasyarakatan di
Indonesia. Stres kerja yang dialami oleh petugas pemasyarakatan di Indonesia lebih cenderung
diciptakan oleh beban kerja. Selain itu, di Kentucky faktor pembentuk stres kerja di lingkungan
lembaga pemasyarakatan cenderung disebabkan karena konflik peran, disonansi emosional, dan
kontrol tugas. Dari beberapa uraian tersebut dapat disimpulkan bahwa di setiap negara memiliki
pembentuk stres di lingkungan lembaga pemasyarakatan berbedabeda. Oleh karena itu,
memahami sumber stress pada petugas lembaga permasyarakatan menjadi penting karena
berkaitan dengan bagaimana stress tersebut akan dikelola. Pengelolaan stres yang tidak baik
dapat memengaruhi tingkat motivasi seseorang. Stres yang terlalu rendah menyebabkan
karyawan tidak bermotivasi untuk berprestasi namun sebaliknya stres yang berlebihan akan
menyebabkan karyawan tersebut frustrasi dan dapat menurunkan prestasinya. Motivasi
didefinisikan oleh Stanford (dalam Mangkunegara, 2002:93) bahwa motivasi sebagai suatu
kondisi yang menggerakkan manusia ke arah suatu tujuan tertentu. Argumen yang menyatakan
bahwa stres memengaruhi tingkat motivasi seseorang diperkuat oleh adanya penelitian terdahulu.
Kamal dkk. (2009), menyatakan bahwa kinerja secara langsung berhubungan dengan motivasi
kerja. Selain itu, Garniwa (2006) dalam penelitiannya mengenai stres kerja dan motivasi dalam
pengaruhnya dengan stres kerja menyimpulkan bahwa faktor-faktor stres kerja (konflik kerja,
beban kerja, karakteriktik tugas dan pengaruh kepemimpinan) mempunyai pengaruh parsial
terhadap motivasi. Dampak lain dari stres kerja yang tidak dikelola adalah penurunan tingkat
prestasi ataupun kinerja yang dihasilkan oleh seorang karyawan. Suprihanto, dkk (2003:64)
menyatakan stres yang terlalu rendah atau terlalu tinggi dapat menyebabkan tingkat prestasi
(kinerja) yang rendah (tidak optimum). Nuhendari (2007) menyatakan bahwa stres kerja
memengaruhi kinerja seseorang secara signifikan. Oleh sebab itu, stres kerja yang tidak dikelola
dengan baik dapat berdampak pada aspek pekerjaan yang lainnya seperti motivasi dan kinerja.
Seperti penjelasan sebelumnya, stres pada petugas pemasyarakatan bersumber dari faktor-faktor
seperti kebijakan organisasi, struktur organisasi, proses organisasi dan lingkungan kerja harus
benar-benar dipertimbangkan. Selain itu, status sosial sebagai pekerja di penjara dan kondisi fisik
kantor yang kurang memadai menjadi sumber stress lain bagi pekerja ini. Namun, menurut
Okoza dkk. (2009) terdapat faktor lain yang mendominasi stres kerja di lingkungan lembaga
pemasyarakatan di Nigeria, yakni kerusuhan di dalam penjara, penyanderaan staf penjaga
pemasyarakatan, cidera, penyerangan fisik, kepemilikan senjata, dan sebagainya. Hasil lain dari
penelitian Okoza dkk (2009) adalah bahwa 96% penjaga pemasyarakatan memiliki tingkat stress
yang tinggi. Stress ini menjadi sumber penurunan motivasi bagi petugas pemasyarakatan yang
berakhir pada penurunan pencapaian tujuan organisasi.
Daftar Pustaka

Bashori, M. F., & Meiyanto, I. S. (2019). Peran Job Insecurity terhadap Stres Kerja dengan
Moderator Religiusitas. Gadjah Mada Journal of Psychology (GamaJoP), 3(1), 25.
https://doi.org/10.22146/gamajop.42396

Ega A M. (2016). Pengaruh pelatihan berbasis Mind Fulness terhadap tingkat stress pada guru
paud. Jurnal penelitian ilmu pendidikan, Vol.9 No.2.

Safitri, L. N., & Astutik, M. (2019). Pengaruh Beban Kerja Terhadap Kepuasan Kerja Perawat
Dengan Mediasi Stress Kerja. JMD: Jurnal Riset Manajemen & Bisnis Dewantara, 2(1),
13–26. https://doi.org/10.26533/jmd.v2i1.344

Febriana, S. K. T. (2016). Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Stres Kerja. Jurnal Ecopsy, 1(1),
28–32. https://doi.org/10.20527/ecopsy.v1i1.481

Rizkiyani, D., & Saragih, S. R. (2012). Stress Kerja Dan Motivasi Kerja Pada. Jurnal
Manajemen, 12(1), 27–44.

Anda mungkin juga menyukai