Anda di halaman 1dari 12

(Nama Jurnal), Vol.(nomor), No.

(nomor), (tahun)

Hubungan Stres Kerja dengan Work Engagement Karyawan yang


Bekerja dari Rumah

Muhammad Tamar1, Hillman Wirawan2, Nur Fajar Alfitra3


1
Dosen Prodi Psikologi
Univeristas Hasanuddin.
Email: tamarpsikologiuh@gmail.com
2
Dosen Prodi Psikologi
Univeritas Hasanuddin.
Email: hillman@unhas.ac.id
3
Dosen Prodi Psikologi
Universitas Hasanuddin
Email: alfita.nurfajar@gmail.com

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara stres kerja dan work
engagement karyawan yang bekerja dari rumah (WFH) selama pandemi COVID-19.
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah kuantitatif korelasional, dengan
karyawan pada perusahaan pemerintahan maupun swasta di Sulawesi berjumlah 257
orang sebagai subjek penelitian. Alat ukur yang digunakan dalam penelitian ini adalah
skala stres kerja (Salsabilla, 2019) dan UWES (Utrecht Work Engagement Scale) yang
telah diadaptasi oleh Khofiana (2018). Reliabilitas (Cronbach Alpha) alat ukur stres
kerja sebesar 0.852 dan skala work engagement 0.930, yang diuji coba pada 287
responden. Hasil penelitian yang diuji menggunakan teknik korelasi Spearman
menunjukkan bahwa terdapat korelasi negatif antara stres kerja dan work engagement,
dimana semakin tinggi stres kerja maka semakin rendah work engagement, sebaliknya
semakin rendah stres kerja maka semakin tinggi engagement yang dirasakan oleh
karyawan

Kata Kunci: WFH, Stres Kerja, Work Engagement

ABSTRACT

This study intend to determine the relationship between work stress and work
engagement of employees that work from home (WFH) during the COVID-19
pandemic. The method used in this study is quantitative correlation, with employees in
government and private companies in Sulawesi totaling 257 people as the subjects. The
measuring tools used in this study are the work stress scale (Salsabilla, 2019) and the
UWES (Utrecht Work Engagement Scale) which have been adapted by Khofiana
(Nama Jurnal), Vol.(nomor), No.(nomor), (tahun)

(2018). The reliability (Cronbach Alpha) of the work stress measurement tool is 0.852
and the work engagement scale is 0.930, which was tested on 287 respondents. The
results of research tested using the Spearman correlation technique show that there is a
negative correlation between work stress and work engagement, where the higher the
work stress, the lower the work engagement, on the contrary the lower the work stress,
the higher the engagement felt by employees

Keywords: WFH, Work Stress, Work Engagement

PENDAHULUAN

Karyawan merupakan sumber daya manusia yang bekerja dalam suatu institusi baik
pemerintahan maupun swasta (Abdullah 2014). Karyawan yang bekerja di lingkungan yang
mendukung dapat bekerja secara optimal dan memiliki kinerja yang baik, sebaliknya apabila
karyawan bekerja di lingkungan kerja yang tidak memadai dan tidak mendukung untuk bekerja
secara efektif dan optimal, akan membuat karyawan menjadi malas bekerja dan cepat bosan
sehingga kinerjanya akan menurun (Sasono & Purwaningsih, 2015). Hal tersebut dapat
mendorong pada suatu konsep yang disebut dengan work engagement. Work engagement
merupakan keadaan positif, pemenuhan motivasi yang dimiliki oleh karyawan yang
berhubungan dengan pekerjaan (Blanck & Aluja, 2009; Wood, Oh, Park, & Kim, 2020).

Pada era digital ini penggunaan ponsel sangat penting dalam memfasilitasi karyawan
menjalani pekerjaannya. Ponsel pun pada akhirnya mempengaruhi timbulnya batasan temporal
dan tidak jelas antara kehidupan pekerjaan dan kehidupan pribadi karyawan. Dengan merespon
pada panggilan atau pesan yang berhubungan dengan pekerjaan, maka karyawan merasa
memiliki jam kerja yang lebih panjang dari biasanya ketika mereka bekerja di kantor
(Prasopoulou, Pouloudi, & Panteli, 2006). Hal ini disebabkan karena karyawan membawa
permasalahan pekerjaan memasuki kehidupan pribadi mereka sehingga terdapat batas yang
tidak jelas antara pekerjaan dan rumah (Hardill, Green, & Dudleston, 1997).

Keseimbangan yang baik antara pekerjaan dan kehidupan individu merupakan faktor
penentu work engagement pada karyawan (Bushra, 2014; Jaharuddin & Zainol, 2019).
Sementara stres yang dialami karyawan setiap hari dan kepuasannya terhadap pekerjaannya
dapat mempengaruhi keadaan emosionalnya (Kanter, 1977; Crouter, et al., 1989). Hal ini yang
kemudian dapat berujung menjadi stres kerja. Apabila karyawan merasa puas dengan
pekerjaannya, maka dapat memiliki kontrol yang baik terhadap stres sehingga dapat lebih terikat
dengan pekerjaannya (Michelle, 2009; Padula, et al., 2012). Stres kerja dapat dijelaskan sebagai
respon fisiologis dan emosional yang muncul ketika karyawan merasakan ketidakseimbangan
antara tuntutan pekerjaan dan kemampuan atau sumber daya karyawan untuk memenuhi
tuntutan tersebut (Narban, Narban, & Singh, 2016). Karyawan yang dapat mengelola stres kerja
dengan baik maka memiliki work engagement yang baik juga (Schaufeli, 2012). Namun, work
Peneliti dan judul |halaman

engagement memiliki hubungan positif yang relatif lemah dengan tuntutan pekerjaan yang
menyebabkan karyawan dapat merasakan stres (Crawford, LePine, & Rich, 2010; Schaufeli,
2012).

Terlebih pada penghujung 2019, ketika WHO (World Health Organization) menetapkan
COVID-19 (Coronavirus Disease 2019) sebagai pandemi global (WHO, 2020). Maka,
pemerintah Indonesia menerapkan suatu kebijakan yaitu bekerja jarak jauh dari rumah yang
dikenal dengan istilah work from home (WFH). WFH yang diterapkan saat ini merupakan
tindak lanjut atas himbauan langsung Presiden Republik Indonesia agar dapat meminimalisir
penyebaran virus COVID-19 (Kementerian Ketenagakerjaan, 2020). Sehingga, dari kebijakan
ini seluruh kegiatan pekerjaan dilakukan melalui rumah. Hal ini yang membuat peneliti ingin
mengetahui apakah terdapat hubungan antara stres kerja terhadap work engagement karyawan
yang bekerja dari rumah selama pandemi COVID-19 dan bagaimana hubungan antara stres
kerja terhadap work engagement karyawan yang bekerja dari rumah selama pandemi COVID-
19.

Stres kerja adalah kondisi yang muncul dari interaksi antara manusia dan pekerjaan serta
ditandai oleh perubahan manusia yang memaksa mereka untuk menyimpang dari fungsi normal
mereka. Setiap aspek di pekerjaan dapat menjadi pembangkit stres (stressor) (Munandar, 2012).
Stres kerja juga dapat didefinisikan sebagai suatu keadaan dimana tidak seimbangnya
kemampuan fisik dan psikologis karyawan dalam memenuhi tuntutan pekerjaan yang diberikan,
sehingga dapat mempengaruhi aspek-aspek psikologisnya, seperti emosi, kognitif, dan
perilakunya (Priansa, 2017; Paramarta & Darmayanti, 2020). Pada umumnya individu
merasakan stres yang merupakan kondisi negatif. Individu dengan tingkat stres yang tinggi telah
diimplikasikan sebagai faktor penyebab dalam penyakit jantung, stroke, kanker, gangguan
pernapasan, pengeroposan tulang, gangguan lambung, susah tidur (insomnia), gangguan
psikologis (depresi, bunuh diri), penyakit psikosomatis, gangguan pada kulit penyakit-penyakit
kronis, dan rasa nyeri. Namun nyatanya stres diperlukan untuk menghasilkan prestasi yang
tinggi.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa adanya hubungan antara stres dan unjuk-kerja
pekerjaan, baik stres tingkat rendah maupun tinggi dua-duanya dapat menghasilkan unjuk-kerja
pekerjaan yang rendah (Kaswan, 2017). Stres dapat dibedakan menjadi distress yang bersifat
destruktif dan eustress yang merupakan kekuatan positif. Dr. Hans Selye (Munandar, 2012)
memperlihatkan bahwa eustress menopang kekebalan tubuh, meningkatkan angka harapan
hidup dan kenikmatan dalam hidup. Eustres akan memperkuat dan meningkatkan kapasitas
individu. Dalam organisasi terutama di lingkungan kerja, karyawan kemungkinan mengalami
stres dengan tingkat yang rendah sampai menengah tanpa diketahui oleh atasannya, hal tersebut
karena stres dengan tingkat seperti itu bisa bersifat fungsional dan membawa kinerja karyawan
yang lebih tinggi. Dari sudut pandang karyawan, tingkat stress yang rendah sekalipun dapat
dipersepsi sebagai sesuatu yang tidak dikehendaki (Munandar, 2012).

Robbins dan Timothy (2016) menyatakan ada tiga gejala stres meliputi gejala fisiologis,
gejala psikologis dan gejala perilaku. Stres dapat menciptakan perubahan di dalam metabolisme,
(Nama Jurnal), Vol.(nomor), No.(nomor), (tahun)

meningkatkan fungsi jantung dan tingkat pernapasan dan tekanan darah, membawa sakit kepala,
serta menimbulkan serangan jantung. Stres memperlihatkan dirinya sendiri dalam keadaan
psikologis seperti ketegangan, kecemasan, sifat lekas marah, kebosanan, dan penundaan. Dan
gejala stres yang terkait dengan perilaku meliputi penurunan dalam produktivitas,
ketidakhadiran, dan tingkat perputaran karyawan, demikian pula dengan perubahan dalam
kebiasaan makan, meningkatnya merokok atau konsumsi alkohol, pidato yang cepat dan
gelisah, dan gangguan tidur.

Peningkatan stress kerja sendiri dinilai memiliki hubungan dengan work engagement.
Work engagement dapat didefinisikan sebagai suatu keadaan atau kondisi positif, pemenuhan
motivasi well-being yang berhubungan dengan pekerjaan (Blanck & Aluja, 2009; Wood, Oh,
Park, & Kim, 2020). Timms dan kawan-kawan (2015) menjelaskan bahwa individu yang
merasa engaged atau terikat dengan pekerjaannya mengidentifikasikan dirinya melalui
pekerjaannya, misalnya memiliki dedikasi yang tinggi dan nilai-nilai yang dalam terhadap
pekerjaannya (Wood, Oh, Park, & Kim, 2020). Adapun work engagement juga memiliki
karakteristik seperti individu dapat menaruh konsentrasi yang penuh dan ‘tenggelam’ dalam
pekerjaannya, sehingga terkadang waktu terasa berputar lebih cepat dan sulit untuk lepas atau
meninggalkan pekerjaannya (Mauno, dkk, 2007; Wood, Oh, Park, Kim, 2020).

Aspek-aspek dari work engagement (Khofiana, 2018) yang pertama yaitu semangat
(Vigor) yang dapat berarti memiliki tenaga yang penuh, bermental resiliensi (mampu bangkit
dari keterpurukan) dalam bekerja, tidak mudah lelah serta tekun pada saat menghadapi
kesulitan. Beberapa kriteria vigor adalah dapat menyelesaikan masalah yang dihadapi, memiliki
inisiatif, bertanggung jawab, dan bersungguh-sungguh dalam mengerjakan pekerjaannya. Aspek
yang kedua yaitu Dedikasi (Dedication) yang berarti memiliki rasa yang kebermaknaan,
antusias, inspiratif, kebanggaan, dan tantangan untuk menyelesaikan pekerjaan tersebut. Aspek
dedication ini dapat diukur dengan: arti pekerjaan bagi seseorang, antusias terhadap pekerjaan,
selalu ingin bekerja, dapat bekerja dalam waktu yang lama, bangga dengan pekerjaan.
Kemudian aspek yang terakhir adalah Absorpsi (Absorption) atau pengabdian, yang merupakan
kondisi dimana individu memiliki rasa konsentrasi penuh, menjadi gembira karena menikmati
dalam suatu pekerjaan, mengerjakan pekerjaan dengan cepat, dan sulit melepaskan diri dari
pekerjaan. Kriteria pada absorption ditandai dengan adanya konsentrasi penuh dan bahagia
yang terlibat dalam pekerjaannya dimana mengakibatkan waktu terasa cepat saat bekerja dan
sangat sulit untuk memisahkan diri pada pekerjaannya.

Berbagai penelitian telah mengungkapkan hubungan antara stress kerja dengan work
engagement, baik itu hubungan yang negatif (Vandiya & Etikariena, 2018; Rothman, 2008)
maupun yang mengungkapkan adanya hubungan positif (Padula, 2012). Peneliti sendiri ingin
mengetahui kecenderungan hubungan kedua variabel di masa pandemic COVID-19, dimana
karyawan bekerja dari rumah. Adapun hipotesis penelitian ini adalah terdapat hubungan antara
stres kerja dengan work engagement karyawan yang bekerja dari rumah selama pandemi
COVID-19.

METODE
Peneliti dan judul |halaman

Untuk mengetahui hubungan stres kerja dengan work engagement karyawan yang bekerja
dari rumah selama masa pandemi COVID-19, maka digunakan metode penelitian kuantitatif
korelasional. Metode penelitian ini menggunakan metode kuantitatif karena dalam prosedur
pelaksanaannya, penelitian ini menggunakan beberapa cara dan prosedur statistik dan
pengukuran lainnya. Metode penelitian kuantitatif merupakan metode yang digunakan untuk
menguji teori tertentu dengan meneliti hubungan atau pun pengaruh antar variabel tertentu
(Creswell, 2009; Kusumastuti, Khoiron, & Achmadi, 2020). Tujuan dari penelitian korelasional
yaitu memberikan deskripsi mengenai arah dan kekuatan hubungan antar variabel (Duli, 2019).

Stres kerja adalah kondisi yang muncul dari interaksi antara manusia dan pekerjaan serta
ditandai oleh perubahan manusia yang memaksa mereka untuk menyimpang dari fungsi normal
mereka, yang disebabkan oleh stressor atau pembangkit stres dari berbagai macam aspek dalam
pekerjaan. Kemudian variabel yang kedua dalam penelitian ini adalah work engagement yang
merupakan keadaan atau kondisi positif, pemenuhan motivasi well-being yang berhubungan
dengan pekerjaan.

Kriteria subjek dalam penelitian ini adalah pegawai atau karyawan yang menjalani WFH
atau bekerja dari rumah selama pandemi COVID-19. Populasi dari penelitian ini akan dilakukan
pada karyawan yang bekerja dari rumah selama pandemi COVID-19. Adapun sampel dari
penelitian adalah karyawan yang bekerja dari rumah dan berdomisili di Sulawesi. Adapun
teknik sampling yang digunakan yaitu Purposive Sampling. Sampel akan dipilih berdasarkan
ketentuan yang telah ditentukan oleh peneliti (Setiawan, 2005). Penentuan besar sampel pada
penelitian ini menggunakan aplikasi G*Power 3.1.9.7 dengan mengacu pada besaran reliabilitas
skala pada penelitian terdahulu.. Error probability yang digunakan yaitu 0.05 dan effect size
yang digunakan adalah 0.8 sebagaimana yang dinyatakan oleh Cohen bahwa dalam penelitian
psikologi biasanya menggunakan effect size 0.8 (Cohen, 1988; Rice & Harris, 2005). Sehingga,
besar sampel minimal untuk penelitian ini adalah 14 sampel.

Penelitian ini menggunakan metode angket atau yang lebih sering disebut dengan metode
questionnaire untuk mengumpulkan data-datanya. Metode angket meliputi serangkaian daftar
pertanyaan sistematis yang kemudian diisi oleh responden yang kemudian jawaban tersebut
akan diolah oleh peneliti. Adapun kelebihan menggunakan metode angket adalah metode ini
membutuhkan biaya yang relatif lebih murah, pengumpulan data lebih mudah dan lebih cepat,
serta efektif digunakan pada penelitian dengan jumlah sampel yang besar. Namun, dapat pula
dijelaskan beberapa kekurangan dari metode ini, yaitu penyusunan angket membutuhkan
kecermatan yang baik, selain itu dalam mengisi angket responden dapat dipengaruhi oleh
keadaan di sekitarnya dan terkadang dapat menjawab asal-asalan (Bungin, 2005).

Instrumen penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah skala. Skala yang
digunakan merupakan skala psikologi untuk mengukur stres kerja yang disusun oleh Salsabilla
dalam penelitiannya pada tahun 2019. Skala tersebut terdiri dari 30 item pertanyaan dengan
empat alternatif jawaban yang bergerak dari 1-4, yang meliputi gejala fisiologis, gejala
psikologis dan gejala perilaku terdiri. Nilai 4 untuk jawaban Sangat Sesuai (SS), nilai 3 untuk
jawaban Sesuai (S), nilai 2 untuk jawaban Tidak Sesuai (TS), dan nilai 1 untuk jawaban Sangat
(Nama Jurnal), Vol.(nomor), No.(nomor), (tahun)

Tidak Sesuai (STS). Untuk pernyataan Unfavourable mempunyai nilai 1 – 4. Nilai 1 untuk
jawaban Sangat Sesuai (SS), nilai 2 untuk jawaban Sesuai (S), nilai 3 untuk jawaban Tidak
Sesuai (TS), dan nilai 4 untuk jawaban Sangat Tidak Sesuai (STS).

Sementara untuk mengukur work engagement karyawan, kami menggunakan skala


UWES (Utrecht Work Engagement Scale) yang telah diadaptasi dan digunakan dalam penelitian
yang dilakukan oleh Khofiana (2018). Skala ini terdiri dari aspek vigor, dedication, dan
absorption. Respon subjek bergerak dari angka 1-7, yaitu 1 jika tidak pernah merasakan sama
sekali, 2 jika sangat jarang merasakan hal tersebut, 3 jika jarang merasakan hal tersebut, 4 jika
kadang-kadang merasakan hal tersebut, 5 jika sering merasakan hal tersebut, 6 jika sangat sering
merasakan hal tersebut, dan 7 jika selalu merasakan hal tersebut.

Analisis data merupakanproses mencari dan menyusun data yang diperoleh secara
sistematis dengan mengelompokkannya ke dalam kategori-kategori tertentu, kemudian diolah
hingga mencapai kesimpulan sehingga hubungan antar variabel dapat dipahami (Sugiyono,
2014; Maharani & Mustika, 2016). Sehingga, yang dilakukan dalam analisis data adalah
perhitungan data untuk menjawab rumusan masalah dan menguji hipotesis yang diajukan
(Maharani & Mustika, 2016). Adapun serangkaian metode analisis data yang dilakukan pada
penelitian ini adalah uji asumsi yang di dalamnya terdapat uji normalitas dan linearitas, serta uji
hipotesis.

Untuk mengetahui apakah sebaran data populasi yang digunakan pada variabel stres kerja
dan work engagement berdistribusi normal atau tidak maka dilakukan uji normalitas. Adapun
persebarasan data dapat dikatakan normal apabila nilai p > 0.05 (Santoso, 2010; Rahayu, 2019).
Uji normalitas yang digunakan dalam penelitian adalah uji Kolmogorov-Smirnov menggunakan
IBM SPSS 25. Uji asumsi yang kedua ialah uj linearitas. Data diasumsikan linieritasnya
terpenuhi apabila hubungan variabel independen dan variabel dependen membentuk garis lurus
(linier) (Santoso, 2010; Nugraha, 2018), yang berarti terdapat peningkatan atau penurunan pada
suatu variabel akan mempengaruhi variabel lainnya secara linier (Santoso, 2010; Rahayu,
2019). Asumsi linearitas antara variabel semakin kuat apabila nilai signifikansi dari F Deviation
from Linearity lebih besar dari 0.05 (Sig>0.05) (Nugraha, 2018).

Metode untuk menguji hipotesis yang ada adalah menggunakan teknik korelasi yang
merupakan teknik analisis data yang digunakan untuk mengetahui kecenderungan pola pada
variabel berdasarkan kecenderungan pola variabel lain, misalkan apabila suatu variabel
meningkat maka variabel lain juga akan ikut meningkat, menurun, atau tidak menentu (Santoso,
2010; Rahayu, 2019). Metode yang digunakan untuk menguji hipotesis adalah korelasi Product
Moment Pearson jika uji asumsi terpenuhi dan teknik korelasi Spearman akan digunakan
apabila uji asumsi tidak terpenuhi untuk mengetahui hubungan antara variabel-variabel yang
ada menggunakan program IBM SPSS 25. Teknik korelasi menghasilkan koefisien yang
bernilai -1 hingga +1. Tingkat korelasi antara variabel dianggap semakin kuat apabila koefisien
korelasinya mendekati +1, begitu pula sebaliknya, apabila koefisien korelasinya semakin
mendekati 0 maka tingkat korelasinya dianggap semakin lemah. Kriteria koefisien korelasi
produk momen adalah (1) korelasi 0.81-0.99 berarti hubungan sangat kuat, (2) korelasi 0.61-
Peneliti dan judul |halaman

0.80 berarti hubungan kuat, (3) korelasi 0.41-0.60 berarti hubungan sedang, (4) korelasi 0.21-
0.40 berarti hubungan lemah, dan (5) korelasi 0.01-0.20 berarti hubungan sangat lemah.
Koefisien korelasi yang bernilai - (negatif) menunjukkan arah korelasi variabel berlawanan dan
apabila bernilai + (positif) maka arah korelasi searah (Rahayu, 2019).

HASIL DAN PEMBAHASAN

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara stres kerja dengan work
engagement karyawan yang bekerja dari rumah selama pandemi COVID-19 khususnya di
wilayah Sulawesi.

Sig. (2- Pearson


N
Stres Kerja * Work Engagement tailed Correlation

257 0.000 -0.543

Tabel 4.7. Hasil Uji Hipotesis

Pada tabel di atas (tabel 4.7) dapat diketahui nilai signifikansi (sig.) yaitu sebesar 0.000.
Hal ini berarti nilai signifikansi p-value sebesar 0.000 < 0.05. Maka dapat disimpulkan bahwa
Ho ditolak dan Ha diterima. Kesimpulannya, ada hubungan antara stres kerja dengan work
engagement karyawan yang bekerja dari rumah selama pandemi COVID-19. Adapun mengenai
korelasi antara variabel stres kerja dan work engagement diperoleh skor sebesar -0.543. Hal ini
berarti bahwa korelasi antara kedua variabel tergolong sedang. Adapun tanda negatif
menunjukkan mengenai arah hubungan antara kedua variabel tersebut. Nilai pearson
correlation -0.543 yang diperoleh mengindikasikan bahwa korelasi antara kedua variabel
tersebut bersifat berlawanan. Di mana, meningkatnya skor stres kerja akan memengaruhi
penurunan skor work-engagement.

Hasil penelitian ini mendukung pendapat yang diutarakan oleh Vandiya & Etikariena
(2018) stresor (sumber stres) memiliki pengaruh negatif terhadap work engagement (keterikatan
kerja). Karyawan yang memiliki keterikatan kerja akan merasa energik dan efektif bekerja,
memandang pekerjaannya sebagai suatu tantangan dibandingkan dengan merasakan stres dan
tuntutan. Penelitian sebelumya dari Rothmann (2008) juga mengungkapkan bahwa stres
memiliki hubungan yang berbanding terbalik dengan work engagement. Sejumlah penyebab
stres yang sebelumnya telah dibahas masih bisa didapatkan karyawan selama bekerja dari
rumah, berkenaan dengan keadaan rumah dan beban kerja yang tidak rasional, sehingga keadaan
keterikatan karyawan terhadap pekerjaannya juga perlu dipertanyakan. Tingkat stres tertentu
(Nama Jurnal), Vol.(nomor), No.(nomor), (tahun)

memungkinkan karyawan untuk kurang efektif dan tidak berada dalam kondisi optimal selama
bekerja dan pada akhirnya menurunkan work engagement karyawan karena faktor penting dari
work engagement adalah kondisi positif individu.

Pada penelitian ini, subjek dikelompokkan dalam lima kategori sesuai tingkat stres kerja
dan work engagement. Adapun gambaran kategori kedua variabel pada seluruh responden
adalah sebagai berikut:

STRES KERJA
127

54

35

21 20

Sangat Tinggi Tinggi Sedang Rendah Sangat Rendah

Gambar 4.6 Penormaan Skor Stres Kerja Seluruh Responden.


Peneliti dan judul |halaman

Gambar 4.12 Penormaan Skor Work Engagement Seluruh Responden.

Gambar 4.6 dan gambar 4.12 menunjukkan gambaran skor stres kerja dan work
engagement dari responden berdasarkan hasil penormaan yang telah dilakukan. Berdasarkan
gambar, diketahui bahwa karyawan dominan (49.4%) merasakan stres kerja pada kategori
sedang. Sementara untuk skor work engagement, karyawan dominan (36.2%) merasakan work
engagement atau terikat dengan pekerjaannya juga pada kategori sedang.

Penyebab karyawan mengalami stres kerja, terutama dalam kaitannya dengan bekerja dari
rumah biasanya dapat disebabkan oleh faktor internal maupun eksternal. Faktor internal dapat
berasal dari beban kerja, apabila beban kerja karyawan berlebih dari yang seharusnya atau
terlalu sedikit untuk diselesaikan dalam jangka waktu tertentu (Munandar, 2012). Munandar
(2012) menyebutkan bahwa apabila karyawan merasa tidak mampu untuk melakukan suatu
tugas, atau tidak menggunakan potensinya dengan baik akan dapat menyebabkan stres. Faktor
eksternal yang dapat menyebabkan stres kerja juga dapat disebabkan oleh tingkat kebisingan,
vibrasi (getaran), dan higienitas atau kebersihan dari lingkungan kerja (Munandar, 2012).

Gejala-gejala stres kerja yang dijadikan indikator pengukuran stres kerja pada penelitian
ini dilihat dari gejala fisiologis, psikologis, dan perilaku yang dialami karyawan. Apabila
karyawan memperoleh skor yang tinggi, maka menunjukkan tingkat stres kerja yang tinggi.
(Nama Jurnal), Vol.(nomor), No.(nomor), (tahun)

Pada penelitian ini, sebagian besar karyawan memperoleh skor stres kerja yang tergolong pada
kategori “sedang”, yaitu sebanyak 127 karyawan (49,4%). Hal ini menunjukkan bahwa
beberapa gejala tersebut kemungkinan tidak dirasakan oleh karyawan, yang kemudian
mempengaruhi skor stres kerja yang didapatkan.

Sementara untuk work engagement, aspek-aspek yang digunakan dalam pengukuran


adalah vigor, dedication dan absorption. Keadaan work engagement karyawan mengindikasikan
beberapa kriteria yang dirasakan, misalnya pada aspek vigor, karyawan dapat menyelesaikan
masalah yang dihadapi dan bertanggung jawab. Aspek dedication, mengenai arti pekerjaan bagi
seseorang dan antusiasme terhadap pekerjaan. Kriteria pada absorption ditandai dengan adanya
konsentrasi penuh mengakibatkan waktu terasa cepat saat bekerja dan sangat sulit untuk
memisahkan diri pada pekerjaan. Aspek dedikasi menjadi aspek dengan nilai rata-rata terbesar
berdasarkan respon, yaitu 5.22 (rentang 1-7), yang dirasakan oleh karyawan. Ini
mengindikasikan bahwa karyawan memiliki rasa yang kebermaknaan, antusias, inspiratif,
kebanggaan, dan merasa tertantang untuk menyelesaikan pekerjaan, meskipun sedang bekerja
dari rumah. Hal ini sejalan dengan yang diungkapkan Timms dan kawan-kawan (2015; Wood,
Oh, Park, & Kim, 2020) bahwa individu yang merasa engaged atau terikat dengan pekerjaannya
memiliki dedikasi yang tinggi dan nilai-nilai yang dalam terhadap pekerjaannya.

SIMPULAN

Penelitian ini menunjukkan bahwa terdapat hubungan negatif antara stres kerja dan work
engagement karyawan yang bekerja dari rumah. Semakin tinggi stres kerja maka work
engagement akan menurun, begitu sebaliknya, semakin rendah stres kerja semakin tinggi work
engagement. Pandemi COVID-19 menyebabkan orang-orang bekerja dari rumah, namun hal
tersebut tidak membuat hubungan stres kerja dan work engagement karyawan menjadi berbeda
seperti yang ditemukan pada penelitian sebelum pandemi, dimana hubungan kedua variabel
juga didapati negatif. Pada berbagai situasi, nyatanya peningkatan stres kerja akan diikuti oleh
penurunan work engagement. Dari penelitian ini juga ditemukan hasil bahwa sebanyak 127
orang karyawan (49.4%) berada pada kategori sedang untuk variabel stres kerja dan sebanyak
93 orang karyawan (36.2%) berada pada kategori sedang untuk variabel work engagament.

DAFTAR PUSTAKA

Asih, G. Y., Widhiastuti, H., & Dewi, R. (2018). Stress Kerja. Semarang: Universitas Semarang
Press.
Bungin, B. (2005). Metode penelitian kuantitatif (2nd ed.). Jakarta: Kencana.
Crouter, A. C., Perry-Jenkins, M., Huston, T. L., & Crawford, D. W. (1989). The influence of
work-induced psychological states on behavior at home. Basic and Applied Social
Psychology, 10(3), 273-292.
Peneliti dan judul |halaman

Duli, N. (2019). Metode penelitian kuantitatif: Beberapa konsep dasar untuk penulisan skripsi
& analisis data dengan spss. Sleman: Deepublish Publisher.
Kaswan. (2017). Psikologi Industri dan Organisasi. Bandung: Alfabeta.
Khofiana, F. H. (2018). Stres Kerja dan Keterikatan Kerja pada Anggota Direktorat Sabhara.
Universitas Islam Indonesia Yogayakarta.
Kusumastuti, A., Khoiron, A. M., & Achmadi, T. A. (2020). Metode penelitian kuantitatif.
Sleman: Deepublish Publisher.
Maharani, L., & Mustika, M. (2016). Hubungan self awareness dengan kedisiplinan peserta
didik kelas viii di smp wiyatama bandar lampung (Penelitian korelasional bidang bk
pribadi). KONSELI: Jurnal Bimbingan dan Konseling (E-Journal), 3(1), 57-72.
Munandar, A. S. (2012). Psikologi industri dan organisasi. Jakarta: UI Press.
Nugraha, M. B. C. (2018). Hubungan antara dukungan pasangan dan work engagement pada
karyawan pt. Pusri palembang. Skripsi. Yogyakarta: Universitas Islam Indonesia.
Padula, R. S., Chiavegatoa, L. D., Cabrala, C. M., Almeida, T., Ortizb, T., & Carregaroc, R. L.
(2012). Is occupational stress associated with work engagement. Work Journal, 41, 2963-
2965.
Paramarta, W. A., & Darmayanti, N. P. K. (2020). Employee engagement dan stress kerja
pengaruhnya terhadap kepuasan kerja dan turnover intention di aman villas nusa dua-bali.
Jurnal Widya Manajemen, 2(1), 60-79.
Rahayu, S. M. (2019). Hubungan antara job demands dengan work engagement penyidik polisi
di polda ntt. Skripsi. Yogyakarta: Universitas Sanata Dharma.
Rice, M. E., & Harris, G. T. (2005). Comparing effect sizes in follow-up studies: ROC area,
cohen’s d, and r. Law and Human Behavior, 29(5), 615-620. doi: 10.1007/s10979-005-
6832-7.
Robbins, Stephen P. dan Timothy A. Judge. (2008). Perilaku Organisasi. Jakarta: Salemba
Empat
Rothmann, S. (2008). Job Satisfaction, Occupational Stress, Burnout and Work Engagement as
Components of Work-Related Wellbeing. SA Journal of Industrial Psychology, 34(3), 11-
16.
Salsabilla, B. P. (2019). Hubungan Antara Beban Kerja Dengan Stres Kerja Pada Karyawan
Di Bidang Perdagangan Berjangka Komoditi Kota Semarang. Fakultas Psikologi
Universitas Semarang.
Schaufeli, W. B., Salanova, M. (2008). Enhancing work engagement through the management
of human resources in Näswall K, Hellgren J, Sverke M. The individual in the changing
working life, 380-402.
Schaufeli, W. B. (2012). Work engagement. What do we know and where do we go? Romanian
Journal of Applied Psychology, 4(1), 3-10.
(Nama Jurnal), Vol.(nomor), No.(nomor), (tahun)

Setiawan, N. (2005). Diklat metodologi penelitian sosial: Teknik sampling. Bogor: Universitas
Padjajaran.
Surat Edaran Menteri Ketenagakerjaan Republik Indonesia Nomor M/2/HM.01/III/2020.
(2020). Tentang Panduan Tindak Lanjut terkait Pencegahan Penyebaran Corona Virus
Disease 2019 (COVID-19) di Lingkungan Kementerian Ketenagakerjaan. Jakarta: Menteri
Ketenagakerjaan Indonesia.
Vandiya, V., Etikariena, A. (2018). Stres Kerja dan Keterikatan Kerja pada Karyawan Swasta:
Peran Mediasi Kesejahteraan di Tempat Kerja. Jurnal Psikogenesis, 6(1), 19-32.
Wood, J., Oh, J., Park, J., & Kim, W. (2020). The relationship between work engagement and
work-life balance in organizations: A review of the empirical research. Human Resource
Development Review, 19(3), 240-262.

Anda mungkin juga menyukai