Anda di halaman 1dari 48

PSIKOLOGI INDUSTRI DAN ORGANISASI

2021-A

“STRES KERJA”
KELOMPOK 6

ANGGRINA DEISYA
DHIMAS AL FARIZI
WULAN ADJI YOUWANDA HAZARI 21010664060
21010664058 21010664059
DEFINISI
Stres diartikan sebagai suatu tekanan serta ketegangan atau gangguan
tidak menyenangkan yang berasal dari luar diri seseorang. Stres tidak
selamanya bersifat negatif, stres juga bisa bersifat positif apabila
terdapat peluang yang menawarkan perolehan potensial.

Hodgkinson & Ford (2010) mengategorikan stres menjadi dua jenis, yaitu
eustress dan distress. Eustress adalah hasil dari respon terhadap stres
yang bersifat positif, sehat dan bersifat membangun (konstruktif).
Sementara itu, distress merupakan hasil dari respon terhadap stres yang
bersifat negatif, tidak sehat dan bersifat merusak (destruktif).
DEFINISI
Stres sebagai akibat ketidakseimbangan antara tuntutan dan sumber daya
yang dimiliki individu, semakin tinggi kesenjangan terjadi semakin tinggi
juga stress yang dialami individu, dan akan mengancam.
Stres merupakan reaksi negatif dari orang-orang yang mengalami tekanan
berlebih yang dibebankan kepada mereka akibat tuntutan, hambatan, atau
peluang yang terlampau banyak, (Robbins dan Coulter, 2010:16).
DEFINISI
Stres adalah hasil dari terjadinya transaksi antara individu dengan
penyebab stres yang melibatkan proses pengevaluasian (Dewe,
O’Driscoll & Cooper, 2012).

Selain itu, sumber stres merupakan kejadian atau situasi yang melebihi
kemamampuan pikiran atau tubuh saat berhadapan dengan sumber
stres tersebut. Ketika situasi tersebut memberikan rangsangan, maka
individu akan melakukan appraisal (penilaian) dan coping
(penanggulangan). Oleh karena itu, stres bisa berlanjut ke tahap yang
lebih parah atau sedikit demi sedikit semakin berkurang. Hal tersebut
ditentukan bagaimana usaha seseorang berurusan dengan sumber
stres.
DEFINISI
Stres kerja adalah suatu kondisi ketegangan yang menciptakan adanya

ketidakseimbangan fisik dan psikis, yang mempengaruhi emosi, proses

berpikir, dan kondisi seorang karyawan. Stres pada pekerjaan (Job stress)

adalah pengalaman stress yang berhubungan dengan pekerjaan (King,

2010: 277).
DEFINISI
Dalam konteks pendekatan bottom-up, kualitas dari kehidupan kerja
(stres kerja dan tingkat kepuasan terhadap karir dan pekerjaan) kualitas
dari kehidupan di luar pekerjaan (tingkat kepuasan seseorang
terhadap kesehatan, keluarga dan leisure) serta perasaan
keberhargaan diri merupakan mekanisme dimana pekerjaan
berhubungan erat dengan tingkat kepuasan hidup seseorang (Erdogan et
al., 2012)

Menurut Erdogan et al.(2012) jika faktor kepuasan hidup bisa menjadi


prediktor yang lebih kuat terhadap kinerja dibandingkan dengan
faktor kepuasan kerja.
DEFINISI

Dari pendapat-pendapat diatas dapat disimpulkan bahwa stres kerja


merupakan reaksi psikologis dan fisik terhadap kondisi-kondisi internal
atau suatu perubahan di lingkungannya yang dirasakan mengganggu dan
berdampak pada hasil kerja individu. (Izzati & Mulyana, 2019)
DIMENSI STRES KERJA
Menurut Theorell (2001; Deniz dkk, 2015; Izzati & Mulyana,2019 ) stress
kerja terbagi menjadi tiga dimensi meliputi:

1.) Dukungan Sosial


Dukungan sosial yang dimaksud adalah dukungan dalam bentuk bantuan
tenaga, motivasi, dan pengertian dari rekan kerja. Tingkat dukungan sosial
yang diterima oleh setiap pekerja berpengaruh terhadap potensi
kemunculan stres kerja. Ketika lingkungan kerja memberikan dukungan
yang positif dengan bekerja sama dalam bekerja dan juga pemberian
perhatian dan pengertian maka dapat meningkatkan motivasi kerja
seseorang. Karena kewajiban yang dimiliki segera terselesaikan dengan
produktivitas yang tinggi, maka secara otomatis stres kerja akan
terhindarkan.
Begitupun Sebaliknya, jika dukungan sosial yang diberikan hanya
sedikit ataupun bisa negatif seperti ada konflik dan
kesalahpahaman, tidak ada kerjasama, tidak ada rasa saling
pengertian dan saling perhatian maka akan menurunkan
produktivitas kerja. Kewajibannya tidak bisa cepat terselesaikan
sehingga terus menumpuk dan menjadi tekanan yang berujung
pada stress kerja
DIMENSI STRES KERJA
2.) Kontrol

Ketika bekerja pengontrolan menjadi hal yang penting untuk memanajemen


mental, tenaga, dan waktu. Dalam suatu instansi atau organisasi terdapat banyak
sekali tugas, hambatan, dan tuntutan yang harus bisa dikontrol. Agar karyawan
dapat memenuhi semua kewajibannya, mereka harus mengontrol dirinya sendiri

Kontrol terhadap mental berkaitan dengan regulasi emosi yang baik dalam menangani
masalah-masalah yang berkaitan dengan pekerjaan maupun di luar pekerjaan.
Terkadang ada beberapa pekerja yang mengaitkan masalah di luar pekerjaan
dimasukkan ke dalam pekerjaan mereka, sehingga memunculkan masalah yang tidak
perlu. Jika emosi sudah tidak bisa dikontrol maka orang akan sulit untuk berpikir secara
optimal seperti biasanya dalam pemecahan masalah dan mencari cara menyelesaikan
kewajiban
Kontrol terhadap tenaga berkaitan dengan bagaimana cara
mengatur kondisi fisik dalam bekerja. Mencari sebuah cara
yang efektif supaya dapat mengurangi beban tenaga yang
dikeluarkan untuk melakukannya. Menghindari suatu kegiatan
yang tidak perlu, karena dapat menguras tenaga yang sia-sia
Kontrol terhadap waktu berkaitan dengan bagaimana cara mengatur
waktu yang baik dan benar. Setiap kewajiban dalam pekerjaan memiliki
target serta timeline yang mengatur jalannya suatu pekerjaan. Ada
waktunya untuk bekerja, dan ada waktu untuk beristirahat. Agar target
dapat tercapai sesuai timeline, harus benar-benar memanfaatkan waktu
yang ada. Tentunya apabila terlambat ataupun lebih cepat, keduanya
memiliki konsekuensi masing-masing. Namun keterlambatan berpotensi
dalam memunculkan stress kerja pada karyawan
DIMENSI STRES KERJA
3.) Beban Kerja

Beban kerja berkaitan dengan kewajiban yang harus mereka selesaikan, dan
waktu yang menjadi penentunya. Kewajiban atau tanggungan setiap pekerja
berbeda-beda. Menyesuaikan dengan jabatan, kemampuan, dan pemanfaatan
waktu. Ketiganya berperan dalam menentukan seberapa berat beban kerja
yang ditanggung oleh setiap pekerja. Setiap jabatan memiliki tugasnya
masing-masing dalam sebuah instansi, tentunya pembagian tersebut
disesuaikan dengan kemampuannya. Tuntutan yang diberikan harus dapat
segera diselesaikan oleh karyawan sesuai dengan waktu yang telah
dijadwalkan, jika terlambat atau tidak diselesaikan maka akan terjadi
penumpukan tuntutan sehingga dapat memunculkan beragam masalah
nantinya, termasuk stress kerja
Faktor-faktor yang mempengaruhi stres kerja
(stresor)

Stresor merupakan suatu hal, konteks, tuntutan atau tekanan yang dapat
menimbulkan reaksi stres, sehingga menyebabkan seseorang mengalami
peningkatan ketegangan (Truxillo, Bauer, & Erdogan, 2021). Perlu diketahui bahwa
stresor memiliki sifat yang kumulatif, artinya adalah semakin banyak stresor yang
dimiliki oleh seseorang dan dalam jangka waktu yang lebih lama, maka semakin
besar juga kemungkinan terwujudnya hasil negatif stres tersebut.
Faktor-faktor yang mempengaruhi stres kerja yang berkaitan dengan tempat kerja
antara lain:
1. Role demands (tuntutan peran)
Saat bekerja, seseorang pasti memiliki peran yang harus dilakukan dan dari
peran tersebut, terdapat tuntutan yang terkadang bisa menjadi sumber
stresor seseorang (Truxillo, Bauer, & Erdogan, 2021). Sebagai contoh yaitu
role ambiguity (ambiguitas peran) yang berarti kurangnya informasi atau
kejelasan terhadap peran yang dimiliki oleh seseorang. Lalu ada juga, role
conflict yaitu adanya kontradiksi tuntutan terhadap peran yang dimiliki oleh
seseorang di tempat kerjanya.
2. Kondisi tempat kerja
. Menurut Soewondo (1993), kondisi suatu tempat dimana seorang karyawan
(pekerja) menjalankan aktivitas pekerjaannya yang terasa tidak nyaman menjadi
salah satu sumber stresor seseorang (Izzati & Mulyana, 2019). Contohnya seperti
ruangan kerja yang terlalu sempit atau bahkan berisik, suhu yang terlalu dingin
atau panas, penerangan yang kurang, fasilitas yang tidak lengkap dan rusak.

3. Job demands, yang merujuk pada segala bentuk pekerjaan yang berkaitan
dengan upaya kognitif, emosional dan atau fisik (Chmiel, Fraccaroli, & Sverke,
2017) seperti batas dan tekanan waktu kerja, beban kerja, kekompleksitasan
pekerjaan, pekerjaan yang menumpuk, pekerjaan baru yang belum dikenal, karir
dan status kepegawaian yang tidak jelas, tidak adanya reward yang didapatkan,
dan hal lainnya yang selaras, dinilai mampu menjadi sumber stresor.
4. Hubungan interpersonal
Hubungan interpersonal yang tidak baik seperti atasan yang banyak menuntut
tanpa kerja sama yang baik, kurang apresiasi terhadap hasil kerja dari atasan,
keputusan atau kebijakan yang tidak pasti, dan merasa tidak cocok dengan
rekan kerja menjadi faktor yang mampu menimbulkan reaksi stres dalam
bekerja. Adapula bentuk stresor yang berasal dari hubungan interpersonal
yang dinilai cukup berat dan serius, yaitu adanya hubungan yang melibatkan
kekerasan dan bullying. Faktanya, riset menunjukkan lingkungan kerja yang
terdapat penganiayaan, bullying, dan penyerangan mampu memicu
meningkatnya tekanan dan perilaku buruk lainnya dalam pekerjaan (Yang
dkk., 2014a; Truxillo, Bauer, & Erdogan, 2021)
5. Evaluation apprehension
Hal ini merujuk pada ketakutan atau kekhawatiran seseorang akan penilaian
orang lain terhadap dirinya. Dalam pekerjaan, situasi dimana seseorang
harus menampilkan diri dan kemampuannya di hadapan orang yang memiliki
peran penting tentu menjadi hal yang membanggakan, namun juga bisa
menjadi situasi yang mampu membuat seseorang merasa tertekan.
Berdasarkan riset, penilaian atau evaluasi yang dilakukan orang lain dapat
memicu dan memotivasi seseorang untuk berusaha lebih keras (Kerr &
Tindale, 2004; Truxillo, Bauer, & Erdogan, 2021).
Selain dari tempat kerja, sumber stresor juga berasal dari aspek lain yaitu dari diri
seorang individu, antara lain yaitu:
1. Perubahan struktur kehidupan
Perubahan negatif maupun positif yang terjadi dapat menjadi sumber
stresor dalam kehidupan seseorang (Truxillo, Bauer, & Erdogan, 2021).
Konsep stresor bersifat kulmulatif ini diaplikasikan pada sebuah riset yang
dilakukan oleh Holmes dan Rahe (1967) dan diketahui bahwa dalam kurun
satu tahun lebih banyak mengalami perubahan negatif yaitu berkaitan
dengan masalah kesehatan tubuh.

Menurut Tosi dkk. (1990; Wijono, 2015), terdapat tiga dimensi struktur
kehidupan yang menyebabkan stres (Izzati & Mulyana, 2019), yaitu
● Dimensi budaya sosial: berkaitan kegiatan yang dilakukan bersama
keluarga, reiligius, keturunan, struktur pekerjaan, dan faktor sosial
lainnya.
● Perubahan status hubungan dengan orang lain, seperti peran seseorang
sebagai seorang suami atau istri, rekan kerja, orang tua, dan warga
negara.
● Aspek individu yaitu berupa karateristik individu karena kecenderungan
yang tidak tahan terhadap tekanan, tuntutan, ancaman, dan kecemasan.

2. Kepribadian tipe A dan B


Karakteristik individu, salah satunya adalah tipe kepribadian, dapat
mempengaruhi coping mechanism seseorang; mereka dapat berinteraksi
dengan tuntutan pekerjaannya, dan memperburuk atau justru mengurangi
efek yang ditimbulkan (Chmiel, Fraccaroli, & Sverke, 2017). Menurut
Friedman dan Rosenman (1974; Wijono, 2015), kepribadian dikelompokkan ke
dalam tipe A dan tipe B. Kedua tipe kepribadian tersebut dinilai akan
memiliki cara yang berbeda dalam mengatasi perubahan yang terjadi di
lingkungannya.
3. Work-life conflict (konflik pekerjaan-hidup)
Hal ini merujuk pada suatu keadaan ketika tuntutan pekerjaan dan bagian
bukan pekerjaan (kehidupan di luar bekerja) saling mempengaruhi satu sama
lain secara negatif (Truxillo, Bauer, & Erdogan, 2021). Jika seorang individu
tidak mampu membagi waktu yang dimilikinya untuk bekerja dan melakukan
hal-hal di luar pekerjaannya, maka yang terjadi adalah keduanya tidak akan
berjalan seimbang dan pada akhirnya menjadi sumber stresor.
4. Kecenderungan individu bersifat fleksibel dan kaku, dimana individu yang
fleksibel lebih mampu beradaptasi terhadap tuntutan atau tekanan, karena
lebih baik dalam melakukan kerja sama dengan orang lain dibandingkan
dengan orang yang kaku (Kahn et al., 1964; Wijono, 2015). Saat menghadapi
stres kerja, individu dengan sifat yang kaku memiliki kecenderungan untuk
merespon dengan cara antara lain yaitu
● menyangkal dan menolak tekanan, atau bahkan tidak bereaksi dan tidak
mempedulikannya
● memberikan penolakan pada orang lain yang memberi tekanan
● semakin bergantung pada atasannya (orang lain) apabila terdapat
tuntutan dan konflik yang diterimanya
● cenderung merespon dengan keras, bekerja melebihi orang lain, dan
terus mencoba menyempurnakan tugasnya
5. Kemampuan individu
Individu dengan kemampuan yang tinggi cenderung lebih memiliki
kemampuan yang baik dalam mengendalikan situasi atau peristiwa yang
menimbulkan stres daripada individu yang kemampuan rendah dalam
menghadapi stres (Beer dan Newman, 1978; Wijono, 2015). Terdapat tiga
alasan yang mendasari hal tersebut, antara lain:
● dengan kemampuannya, memungkinkan untuk menyelesaikan tugas
secara kuantitatif dan kualitatif
● cenderung mengetahui batas akhir atau batas maksimal dari
kemampuannya sehingga mampu menilai keberhasilannya dalam
menghadapi situasi yang mampu menyebabkan stres
● memiliki pengendalian diri yang lebih terhadap kondisi, situasi, atau
peristiwa yang mampu menimbulkan reaksi stres
Kesimpulan:
Faktor-faktor yang dapat mempengaruhi stres kerja tidak hanya berasal dari
aspek pekerjaan yang dilakukan seorang individu, melainkan juga berasal dari
kondisi lingkungan sosial dan kondisi pribadi individu tersebut. Sifat stresor yang
kumulatif membuat setiap individu memiliki respon dan kemampuan yang
berbeda dalam mengatasi tekanan atau tuntutan yang ada. Hal ini juga didasarkan
pula pada kemampuan pengendalian diri dan resistensi dalam individu. Oleh
karena itu, untuk mengetahui apa saja yang dapat mempengaruhi stres kerja pada
diri suatu individu perlu dilihat dan diselidiki dari berbagai aspek.
DAMPAK STRES KERJA
Sebagaimana diketahui bahwa stres kerja timbul karena tuntutan
lingkungan dan tanggapan setiap individu dalam menghadapinya
dapat berbeda. Masalah stres kerja dalam organisasi perusahaan
merupakan gejala yang penting diamati sejak timbulnya tuntutan
untuk efisien dalam pekerjaan (Marliani, 2015; Izzati & Mulyana,
2019). Stres kerja memiliki akibat, baik fisik maupun mental
terhadap dinamika perilaku seseorang tergantung bagaimana ia
menghadapi atau merespons kondisi yang menimbulkan stres itu
sendiri. Akibat stres ini bermacam-macam. Ada akibat positif,
yang dapat memotivasi seseorang, merangsang kreativitas,
mendorong untuk tekun bekerja, atau bahkan dapat memberikan
inspirasi untuk hidup lebibaik lagi. Namun banyak pula yang
berakibat negatif, yang merusak dan berbahaya (Triatna, 2015;
Izzati & Mulyana, 2019)
DAMPAK STRES KERJA

stres dapat menimbulkan dampak atau konsekuensi dalam


aspek psikologi, jasmaniah, perilaku dan lingkungan
(Muhammad Surya, 1994; Triatna, 2015; Izzati & Mulyana,
2019).
1) Aspek psikologis (kecenderungan gampang marah,
frustasi, cemas, agresif, gugup, panik, kebosanan, apatis,
depresi, tidak bergairah, hilang percaya diri).
2) Aspek jasmaniah (perubahan hormonal, tekanan darah
tinggi, denyut jantung meningkat, sulit bernafas, gangguan
pencernaan, gangguan saraf)
3) Aspek perilaku (kurang mampu membuat
keputusan, mudah lupa, sensitive, pasif, kurang
bertanggung jawab).
4) Aspek lingkungan (suasana rumah tangga yang
kurang harmonis, lingkungan pekerjaan yang kurang
produktif, masyarakat yang tidak tentram)
Seseorang yang mengalami tingkat stress yang tinggi
telah diimplikasikan sebagai faktor penyebab dalam
penyakit jantung, stroke, kanker, gangguan pernapasan,
pengeroposan tulang, gangguan lambung, susah tidur
(insomnia), gangguan psikologis (depresi, bunuh diri),
penyakit psikosomatis, gangguan pada kulit,
penyakit-penyakit kronis, dan rasa nyeri. (Kaswan, 2017;
Izzati & Mulyana, 2019)
DAMPAK STRES KERJA

Pendapat lain menurut Cox (1978; Gibson et al., 1993; Triatna, 2015;
Izzati & Mulyana, 2019), secara umum akibat atau dampak dari
stres ada beberapa kategori, meliputi:
1) Akibat Subjektif: kecemasan, agresif, acuh tak acuh, kebosanan,
depresi, kelelahan, frustasi, kehilangan kesabaran, rendah diri,
gugup, dan perasaan terpencil.
2) Akibat Dalam Bentuk Perilaku: kecanduan alkohol, ledakan
emosi, makan atau minum berlebihan, bertindak mengikuti kata
hati yang kadang-kadang irasional dan tertawa gugup.
3) Akibat Kognitif: ketidakmampuan mengambil
keputusan yang sehat, mulut kering, banyak keringat,
sebentar-sebentar panas dingin.
4) Akibat Keorganisasian: ketidakhadiran,
produktivitas rendah, mengasingkan diri,
menurunnya komitmen dan loyalitas pada organisasi
kerja.
Alat Ukur Stres Kerja
● Job Demand-Control model
Skema Job Demand-Control ini
diperkenalkan oleh Karasek tahun
1979, lalu dikembangkan lebih lanjut
dan diuji oleh Karasek dan Theorell di
tahun 1990. Model DC ini mengacu
pada dua tradisi penelitian, yaitu stres
kerja dan mendesain ulang pekerjaan
(Chmiel, Fraccaroli, & Sverke, 2017).
Menurut Karasek dan Theorell (1990; ) terdapat empat tipe kerja:
1. Passive Job, yaitu ketika job demands maupun job control berada pada taraf
yang rendah. Hal ini ditandai dengan tuntutan kerja yang rendah, yaitu ketika
karyawan tidak memiliki beban kerja yang berat, memiliki tenggat waktu
penyelesaian yang longgar, dan karyawan tidak memiliki kebebasan dalam
cara mengatur pekerjaanya, serta tidak memiliki wewenang untuk
memutuskan sesuatu yang berkaitan dengan pekerjaannya. Tuntutan kerja
yang rendah dalam situasi kerja ini berarti stressor yang dihadapi lebih
sedikit (Karasek & Theorell, 1990; )
2. High Strain Job merupakan prediksi utama reaksi yang paling merugikan dari
adanya psychological strain (kelelahan, gangguan kecemasan, depresi, dan
penyakit fisik) adalah ketika psychological demands dari pekerjaan tinggi,
dan job control dari pekerjaan rendah. Tipe ini ditandai dengan beban kerja
yang banyak, memiliki tenggat waktu dalam penyelesaian, dan tuntutan
kerja yang harus cepat dalam menyelesaikannya. Tuntutan-tuntutan
tersebut dapat memicu adanya konflik antarpribadi dalam pekerjaan.
3. Low Strain Job dideskripsikan sebagai situasi kerja yang sarat dengan
relaksasi. Situasi kerja pada tipe ini adalah tidak tergesa-gesa dalam bekerja,
hampir terlalu baik untuk jadi kenyataan. Pekerja dalam grup ini dapat
diprediksi memiliki tingkat sisa psychological strain dan resiko penyakit yang
lebih rendah dibandingkan kebanyakan pekerja lainnya. Tipe kerja ini
ditandai ketika job demands rendah, dan job control-nya tinggi. Tuntutan
kerja dalam tipe kerja ini termasuk dalam kategori yang rendah, yaitu ketika
karyawan tidak memiliki beban kerja yang berat, dan tenggat waktu
penyelesaian yang longgar.
4. Active Job, yaitu ketika job demands dan job control sama-sama berada
dalam kategori tinggi. Tipe kerja ini ditandai dengan beberapa situasi kerja
yang menantang, tipe dari kerja professional, di mana membutuhkan level
kinerja yang maksimal, tetapi tanpa psychological strain yang negatif.
Situasi-situasi menantang tersebut ketika tuntutan pekerjaan dirasa intens,
dan melibatkan pekerja dalam aktifitas-aktifitas di mana mereka memiliki
kontrol yang tinggi terhadap pekerjaannya, kebebasan tersebut biasanya
berkaitan dengan penggunaan semua keterampilan yang mereka miliki.
● Skala Holmes & Rahe
Skala ini menetapkan nilai poin
(skor) yang berbeda untuk setiap
peristiwa kehidupan yang berbeda
dari yang paling umum, seperti
berlibur, hingga pada peristiwa yang
lebih kompleks yaitu kematian
(Truxillo, Bauer, & Erdogan, 2021).
Terdapat istilah “Life Change Units”
dalam skala ini.
Kesimpulan:

Terdapat beberapa alat ukur stres kerja yang bisa digunakan dalam riset atau
penelitian yaitu berupa skala yang hanya memiliki satu dimensi (stres) seperti
milik Holmes dan Rahe, terdapat model yang memiliki beberapa dimensi yaitu
Job Demand-Control model. Setiap alat ukur memiliki kelebihan dan kekurangan,
yang dapat disesuaikan dengan kebutuhan riset.
RIVIEW JURNAL
1. Judul artikel :

IMPACT OF JOB STRESS ON EMPLOYEES' PRODUCTIVITY AND COMMITMENT

2. Penulis:

Ehijiele Ekienabor

3. Nama Jurnal :

International Journal for Research in Business, Management and Accounting

4. Tahun Halaman :

Vol. 2, Issue 5, May 2016, halaman 124 – 133


RIVIEW JURNAL
5. Tujuan Penelitian :

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menyelidiki dampak stres kerja pada
produktivitas dan komitmen karyawan di antara staf akademik Universitas
Nigeria.

6. Hipotesis :

H01: Stres kerja tidak berdampak pada komitmen karyawan.

H02: Stres kerja berpengaruh terhadap produktivitas karyawan.


RIVIEW JURNAL
7. Metode Pengambilan Sampel :

Data untuk penelitian ini mengacu pada survei yang dilakukan di Igbinedion
University, Okada. Dari seratus lima puluh kuesioner yang dibagikan kepada 40
staf akademik laki-laki dan 20 perempuan. Pemilihan dilakukan secara acak
untuk staf akademik laki-laki dan perempuan.

Dalam menganalisis data untuk penelitian ini, analisis chi-square hitung SPSS
akan digunakan untuk menganalisis data. Chi-square akan digunakan untuk
menilai, sehingga memungkinkan peneliti untuk menunjukkan hubungan antara
berbagai variabel yang diuji dalam penelitian. Juga untuk digunakan dalam
persentase sederhana. Ini akan memungkinkan peneliti untuk mengetahui
kepentingan relatif dari berbagai item yang digunakan untuk analisis (Osuala,
2011).
RIVIEW JURNAL
8. Hasil dan Bahasan :

hipotesis 1 : menunjukkan bahwa 90% responden berpendapat bahwa stres kerja


berdampak pada komitmen karyawan. Sisanya 10% responden berpendapat
bahwa stres kerja tidak berdampak pada komitmen seorang karyawan. Akibatnya,
baik chi-kuadrat yang dihitung dan ditabulasikan secara komparatif
mengungkapkan bahwa chi-kuadrat yang dihitung lebih tinggi daripada chikuadrat
yang ditabulasi. Oleh karena itu, aturan pengambilan keputusannya adalah
menolak hipotesis nol dan menerima hipotesis alternatif yang menyatakan bahwa
ada pengaruh stres kerja terhadap komitmen karyawan.
RIVIEW JURNAL

Hipotesis 2 : Menunjukkan bahwa 72,5% responden berpendapat bahwa stres


kerja berdampak pada produktivitas karyawan. Sisanya 27,5% responden
berpendapat bahwa stres kerja tidak berdampak pada produktivitas karyawan.
Jadi, baik chi-kuadrat yang dihitung dan ditabulasikan secara komparatif,
mengungkapkan bahwa chi-kuadrat yang dihitung lebih tinggi daripada
chi-kuadrat yang ditabulasi. Oleh karena itu, aturan pengambilan keputusannya
adalah menolak hipotesis nol dan menerima hipotesis alternatif yang menyatakan
bahwa: ada pengaruh stres kerja terhadap produktivitas kerja karyawan
RIVIEW JURNAL
Summary :

Temuan utama dari penelitian ini adalah bahwa stres kerja berdampak pada
produktivitas karyawan. Hal ini sebagian besar disebabkan oleh lingkungan kerja
karena karyawan menunjukkan bahwa mereka tidak terlalu senang dengan
lingkungan kerja mereka. Selain itu, penelitian menemukan bahwa ada dampak
stres kerja terhadap komitmen karyawan. Hal ini dikarenakan karyawan merasa
tidak diperhatikan oleh organisasi.
RIVIEW JURNAL
9. Kesimpulan :
Berdasarkan temuan empiris disimpulkan bahwa stres kerja merupakan
tantangan nyata bagi karyawan yang bekerja di universitas yang berbeda di
Nigeria. Untuk tujuan ini, penelitian ini dilakukan untuk memantau pengaruh stres
kerja terhadap produktivitas dan komitmen karyawan. Variabel-variabel tersebut
ditarik melalui literatur yang menyebabkan stres kerja yang mempengaruhi
produktivitas dan komitmen karyawan serta kepuasan karyawan. Variabel
penyebab stres kerja adalah kurangnya penghargaan finansial, jam kerja yang
tidak fleksibel, masalah pribadi, kontrol yang rendah terhadap lingkungan kerja
dan sistem manajemen. Hasil penelitian menunjukkan bahwa ada pengaruh stres
kerja terhadap komitmen karyawan sehingga menyebabkan penurunan kinerja
karyawan.
RIVIEW JURNAL
10. Rekomendasi :
Menyimpulkan dari penemuan-penemuan yang dilakukan selama penelitian ini,
peneliti dengan ini merekomendasikan sebagai berikut.
1. Pekerjaan yang terlalu tertekan menurunkan produktivitas karyawan dan
mungkin menjadi kontributor utama kurangnya komitmen karyawan. Strategi yang
tepat harus dibuat mengenai jam kerja, hubungan interpersonal dan pengawasan
untuk mengurangi stres dan untuk mengelola kinerja karyawan dengan lebih baik.

2. Manajer dan supervisor harus memberikan perhatian yang tepat kepada


karyawan dan menciptakan lingkungan yang ramah yang dapat mendorong
mereka untuk bertanggung jawab dan produktif. Sangat penting bahwa lingkungan
kerja terus dipantau untuk faktor-faktor yang berhubungan dengan stres.
Selanjutnya, tidak hanya penting untuk memantau faktor-faktor tersebut, tetapi
untuk menciptakan lingkungan yang sehat di mana karyawan bekerja dengan cara
yang efisien dan harus ada sistem penghargaan yang tepat yang akan memotivasi
karyawan untuk melakukan pekerjaan dengan cara yang efisien..
gambar 1:
https://images.app.goo.gl/6Ssv9EuP65jGqppH6

gambar 2:
https://images.app.goo.gl/DnDYwY5fpdAfvgVK7
Chmiel, Fraccaroli, & Sverke. (2017). An introduction to work and organizational
psychology. John Wiley & Sons, Ltd

Dewe & Cooper. (2012). Wellbeing and works towards a balanced agenda. Palgrave
Macmillan
Jex & Britt. (2014). Organizatinal psychology : A scientist-practitioner approach. John
Wiley & Sons, Inc

Truxillo, Bauer, & Erdogan. (2016). Psychology and work : Perspectives on industrial and
organizational psychology. Routledge.

Truxillo, Bauer, & Erdogan. (2021). Psychology and work : An introduction to industrial and
organizational psychology. Routledge

Izzati & Mulyana. (2019). Psikologi industri & organisasi. Penerbit Bintang Surabaya.

Anda mungkin juga menyukai