2021-A
“STRES KERJA”
KELOMPOK 6
ANGGRINA DEISYA
DHIMAS AL FARIZI
WULAN ADJI YOUWANDA HAZARI 21010664060
21010664058 21010664059
DEFINISI
Stres diartikan sebagai suatu tekanan serta ketegangan atau gangguan
tidak menyenangkan yang berasal dari luar diri seseorang. Stres tidak
selamanya bersifat negatif, stres juga bisa bersifat positif apabila
terdapat peluang yang menawarkan perolehan potensial.
Hodgkinson & Ford (2010) mengategorikan stres menjadi dua jenis, yaitu
eustress dan distress. Eustress adalah hasil dari respon terhadap stres
yang bersifat positif, sehat dan bersifat membangun (konstruktif).
Sementara itu, distress merupakan hasil dari respon terhadap stres yang
bersifat negatif, tidak sehat dan bersifat merusak (destruktif).
DEFINISI
Stres sebagai akibat ketidakseimbangan antara tuntutan dan sumber daya
yang dimiliki individu, semakin tinggi kesenjangan terjadi semakin tinggi
juga stress yang dialami individu, dan akan mengancam.
Stres merupakan reaksi negatif dari orang-orang yang mengalami tekanan
berlebih yang dibebankan kepada mereka akibat tuntutan, hambatan, atau
peluang yang terlampau banyak, (Robbins dan Coulter, 2010:16).
DEFINISI
Stres adalah hasil dari terjadinya transaksi antara individu dengan
penyebab stres yang melibatkan proses pengevaluasian (Dewe,
O’Driscoll & Cooper, 2012).
Selain itu, sumber stres merupakan kejadian atau situasi yang melebihi
kemamampuan pikiran atau tubuh saat berhadapan dengan sumber
stres tersebut. Ketika situasi tersebut memberikan rangsangan, maka
individu akan melakukan appraisal (penilaian) dan coping
(penanggulangan). Oleh karena itu, stres bisa berlanjut ke tahap yang
lebih parah atau sedikit demi sedikit semakin berkurang. Hal tersebut
ditentukan bagaimana usaha seseorang berurusan dengan sumber
stres.
DEFINISI
Stres kerja adalah suatu kondisi ketegangan yang menciptakan adanya
berpikir, dan kondisi seorang karyawan. Stres pada pekerjaan (Job stress)
2010: 277).
DEFINISI
Dalam konteks pendekatan bottom-up, kualitas dari kehidupan kerja
(stres kerja dan tingkat kepuasan terhadap karir dan pekerjaan) kualitas
dari kehidupan di luar pekerjaan (tingkat kepuasan seseorang
terhadap kesehatan, keluarga dan leisure) serta perasaan
keberhargaan diri merupakan mekanisme dimana pekerjaan
berhubungan erat dengan tingkat kepuasan hidup seseorang (Erdogan et
al., 2012)
Kontrol terhadap mental berkaitan dengan regulasi emosi yang baik dalam menangani
masalah-masalah yang berkaitan dengan pekerjaan maupun di luar pekerjaan.
Terkadang ada beberapa pekerja yang mengaitkan masalah di luar pekerjaan
dimasukkan ke dalam pekerjaan mereka, sehingga memunculkan masalah yang tidak
perlu. Jika emosi sudah tidak bisa dikontrol maka orang akan sulit untuk berpikir secara
optimal seperti biasanya dalam pemecahan masalah dan mencari cara menyelesaikan
kewajiban
Kontrol terhadap tenaga berkaitan dengan bagaimana cara
mengatur kondisi fisik dalam bekerja. Mencari sebuah cara
yang efektif supaya dapat mengurangi beban tenaga yang
dikeluarkan untuk melakukannya. Menghindari suatu kegiatan
yang tidak perlu, karena dapat menguras tenaga yang sia-sia
Kontrol terhadap waktu berkaitan dengan bagaimana cara mengatur
waktu yang baik dan benar. Setiap kewajiban dalam pekerjaan memiliki
target serta timeline yang mengatur jalannya suatu pekerjaan. Ada
waktunya untuk bekerja, dan ada waktu untuk beristirahat. Agar target
dapat tercapai sesuai timeline, harus benar-benar memanfaatkan waktu
yang ada. Tentunya apabila terlambat ataupun lebih cepat, keduanya
memiliki konsekuensi masing-masing. Namun keterlambatan berpotensi
dalam memunculkan stress kerja pada karyawan
DIMENSI STRES KERJA
3.) Beban Kerja
Beban kerja berkaitan dengan kewajiban yang harus mereka selesaikan, dan
waktu yang menjadi penentunya. Kewajiban atau tanggungan setiap pekerja
berbeda-beda. Menyesuaikan dengan jabatan, kemampuan, dan pemanfaatan
waktu. Ketiganya berperan dalam menentukan seberapa berat beban kerja
yang ditanggung oleh setiap pekerja. Setiap jabatan memiliki tugasnya
masing-masing dalam sebuah instansi, tentunya pembagian tersebut
disesuaikan dengan kemampuannya. Tuntutan yang diberikan harus dapat
segera diselesaikan oleh karyawan sesuai dengan waktu yang telah
dijadwalkan, jika terlambat atau tidak diselesaikan maka akan terjadi
penumpukan tuntutan sehingga dapat memunculkan beragam masalah
nantinya, termasuk stress kerja
Faktor-faktor yang mempengaruhi stres kerja
(stresor)
Stresor merupakan suatu hal, konteks, tuntutan atau tekanan yang dapat
menimbulkan reaksi stres, sehingga menyebabkan seseorang mengalami
peningkatan ketegangan (Truxillo, Bauer, & Erdogan, 2021). Perlu diketahui bahwa
stresor memiliki sifat yang kumulatif, artinya adalah semakin banyak stresor yang
dimiliki oleh seseorang dan dalam jangka waktu yang lebih lama, maka semakin
besar juga kemungkinan terwujudnya hasil negatif stres tersebut.
Faktor-faktor yang mempengaruhi stres kerja yang berkaitan dengan tempat kerja
antara lain:
1. Role demands (tuntutan peran)
Saat bekerja, seseorang pasti memiliki peran yang harus dilakukan dan dari
peran tersebut, terdapat tuntutan yang terkadang bisa menjadi sumber
stresor seseorang (Truxillo, Bauer, & Erdogan, 2021). Sebagai contoh yaitu
role ambiguity (ambiguitas peran) yang berarti kurangnya informasi atau
kejelasan terhadap peran yang dimiliki oleh seseorang. Lalu ada juga, role
conflict yaitu adanya kontradiksi tuntutan terhadap peran yang dimiliki oleh
seseorang di tempat kerjanya.
2. Kondisi tempat kerja
. Menurut Soewondo (1993), kondisi suatu tempat dimana seorang karyawan
(pekerja) menjalankan aktivitas pekerjaannya yang terasa tidak nyaman menjadi
salah satu sumber stresor seseorang (Izzati & Mulyana, 2019). Contohnya seperti
ruangan kerja yang terlalu sempit atau bahkan berisik, suhu yang terlalu dingin
atau panas, penerangan yang kurang, fasilitas yang tidak lengkap dan rusak.
3. Job demands, yang merujuk pada segala bentuk pekerjaan yang berkaitan
dengan upaya kognitif, emosional dan atau fisik (Chmiel, Fraccaroli, & Sverke,
2017) seperti batas dan tekanan waktu kerja, beban kerja, kekompleksitasan
pekerjaan, pekerjaan yang menumpuk, pekerjaan baru yang belum dikenal, karir
dan status kepegawaian yang tidak jelas, tidak adanya reward yang didapatkan,
dan hal lainnya yang selaras, dinilai mampu menjadi sumber stresor.
4. Hubungan interpersonal
Hubungan interpersonal yang tidak baik seperti atasan yang banyak menuntut
tanpa kerja sama yang baik, kurang apresiasi terhadap hasil kerja dari atasan,
keputusan atau kebijakan yang tidak pasti, dan merasa tidak cocok dengan
rekan kerja menjadi faktor yang mampu menimbulkan reaksi stres dalam
bekerja. Adapula bentuk stresor yang berasal dari hubungan interpersonal
yang dinilai cukup berat dan serius, yaitu adanya hubungan yang melibatkan
kekerasan dan bullying. Faktanya, riset menunjukkan lingkungan kerja yang
terdapat penganiayaan, bullying, dan penyerangan mampu memicu
meningkatnya tekanan dan perilaku buruk lainnya dalam pekerjaan (Yang
dkk., 2014a; Truxillo, Bauer, & Erdogan, 2021)
5. Evaluation apprehension
Hal ini merujuk pada ketakutan atau kekhawatiran seseorang akan penilaian
orang lain terhadap dirinya. Dalam pekerjaan, situasi dimana seseorang
harus menampilkan diri dan kemampuannya di hadapan orang yang memiliki
peran penting tentu menjadi hal yang membanggakan, namun juga bisa
menjadi situasi yang mampu membuat seseorang merasa tertekan.
Berdasarkan riset, penilaian atau evaluasi yang dilakukan orang lain dapat
memicu dan memotivasi seseorang untuk berusaha lebih keras (Kerr &
Tindale, 2004; Truxillo, Bauer, & Erdogan, 2021).
Selain dari tempat kerja, sumber stresor juga berasal dari aspek lain yaitu dari diri
seorang individu, antara lain yaitu:
1. Perubahan struktur kehidupan
Perubahan negatif maupun positif yang terjadi dapat menjadi sumber
stresor dalam kehidupan seseorang (Truxillo, Bauer, & Erdogan, 2021).
Konsep stresor bersifat kulmulatif ini diaplikasikan pada sebuah riset yang
dilakukan oleh Holmes dan Rahe (1967) dan diketahui bahwa dalam kurun
satu tahun lebih banyak mengalami perubahan negatif yaitu berkaitan
dengan masalah kesehatan tubuh.
Menurut Tosi dkk. (1990; Wijono, 2015), terdapat tiga dimensi struktur
kehidupan yang menyebabkan stres (Izzati & Mulyana, 2019), yaitu
● Dimensi budaya sosial: berkaitan kegiatan yang dilakukan bersama
keluarga, reiligius, keturunan, struktur pekerjaan, dan faktor sosial
lainnya.
● Perubahan status hubungan dengan orang lain, seperti peran seseorang
sebagai seorang suami atau istri, rekan kerja, orang tua, dan warga
negara.
● Aspek individu yaitu berupa karateristik individu karena kecenderungan
yang tidak tahan terhadap tekanan, tuntutan, ancaman, dan kecemasan.
Pendapat lain menurut Cox (1978; Gibson et al., 1993; Triatna, 2015;
Izzati & Mulyana, 2019), secara umum akibat atau dampak dari
stres ada beberapa kategori, meliputi:
1) Akibat Subjektif: kecemasan, agresif, acuh tak acuh, kebosanan,
depresi, kelelahan, frustasi, kehilangan kesabaran, rendah diri,
gugup, dan perasaan terpencil.
2) Akibat Dalam Bentuk Perilaku: kecanduan alkohol, ledakan
emosi, makan atau minum berlebihan, bertindak mengikuti kata
hati yang kadang-kadang irasional dan tertawa gugup.
3) Akibat Kognitif: ketidakmampuan mengambil
keputusan yang sehat, mulut kering, banyak keringat,
sebentar-sebentar panas dingin.
4) Akibat Keorganisasian: ketidakhadiran,
produktivitas rendah, mengasingkan diri,
menurunnya komitmen dan loyalitas pada organisasi
kerja.
Alat Ukur Stres Kerja
● Job Demand-Control model
Skema Job Demand-Control ini
diperkenalkan oleh Karasek tahun
1979, lalu dikembangkan lebih lanjut
dan diuji oleh Karasek dan Theorell di
tahun 1990. Model DC ini mengacu
pada dua tradisi penelitian, yaitu stres
kerja dan mendesain ulang pekerjaan
(Chmiel, Fraccaroli, & Sverke, 2017).
Menurut Karasek dan Theorell (1990; ) terdapat empat tipe kerja:
1. Passive Job, yaitu ketika job demands maupun job control berada pada taraf
yang rendah. Hal ini ditandai dengan tuntutan kerja yang rendah, yaitu ketika
karyawan tidak memiliki beban kerja yang berat, memiliki tenggat waktu
penyelesaian yang longgar, dan karyawan tidak memiliki kebebasan dalam
cara mengatur pekerjaanya, serta tidak memiliki wewenang untuk
memutuskan sesuatu yang berkaitan dengan pekerjaannya. Tuntutan kerja
yang rendah dalam situasi kerja ini berarti stressor yang dihadapi lebih
sedikit (Karasek & Theorell, 1990; )
2. High Strain Job merupakan prediksi utama reaksi yang paling merugikan dari
adanya psychological strain (kelelahan, gangguan kecemasan, depresi, dan
penyakit fisik) adalah ketika psychological demands dari pekerjaan tinggi,
dan job control dari pekerjaan rendah. Tipe ini ditandai dengan beban kerja
yang banyak, memiliki tenggat waktu dalam penyelesaian, dan tuntutan
kerja yang harus cepat dalam menyelesaikannya. Tuntutan-tuntutan
tersebut dapat memicu adanya konflik antarpribadi dalam pekerjaan.
3. Low Strain Job dideskripsikan sebagai situasi kerja yang sarat dengan
relaksasi. Situasi kerja pada tipe ini adalah tidak tergesa-gesa dalam bekerja,
hampir terlalu baik untuk jadi kenyataan. Pekerja dalam grup ini dapat
diprediksi memiliki tingkat sisa psychological strain dan resiko penyakit yang
lebih rendah dibandingkan kebanyakan pekerja lainnya. Tipe kerja ini
ditandai ketika job demands rendah, dan job control-nya tinggi. Tuntutan
kerja dalam tipe kerja ini termasuk dalam kategori yang rendah, yaitu ketika
karyawan tidak memiliki beban kerja yang berat, dan tenggat waktu
penyelesaian yang longgar.
4. Active Job, yaitu ketika job demands dan job control sama-sama berada
dalam kategori tinggi. Tipe kerja ini ditandai dengan beberapa situasi kerja
yang menantang, tipe dari kerja professional, di mana membutuhkan level
kinerja yang maksimal, tetapi tanpa psychological strain yang negatif.
Situasi-situasi menantang tersebut ketika tuntutan pekerjaan dirasa intens,
dan melibatkan pekerja dalam aktifitas-aktifitas di mana mereka memiliki
kontrol yang tinggi terhadap pekerjaannya, kebebasan tersebut biasanya
berkaitan dengan penggunaan semua keterampilan yang mereka miliki.
● Skala Holmes & Rahe
Skala ini menetapkan nilai poin
(skor) yang berbeda untuk setiap
peristiwa kehidupan yang berbeda
dari yang paling umum, seperti
berlibur, hingga pada peristiwa yang
lebih kompleks yaitu kematian
(Truxillo, Bauer, & Erdogan, 2021).
Terdapat istilah “Life Change Units”
dalam skala ini.
Kesimpulan:
Terdapat beberapa alat ukur stres kerja yang bisa digunakan dalam riset atau
penelitian yaitu berupa skala yang hanya memiliki satu dimensi (stres) seperti
milik Holmes dan Rahe, terdapat model yang memiliki beberapa dimensi yaitu
Job Demand-Control model. Setiap alat ukur memiliki kelebihan dan kekurangan,
yang dapat disesuaikan dengan kebutuhan riset.
RIVIEW JURNAL
1. Judul artikel :
2. Penulis:
Ehijiele Ekienabor
3. Nama Jurnal :
4. Tahun Halaman :
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menyelidiki dampak stres kerja pada
produktivitas dan komitmen karyawan di antara staf akademik Universitas
Nigeria.
6. Hipotesis :
Data untuk penelitian ini mengacu pada survei yang dilakukan di Igbinedion
University, Okada. Dari seratus lima puluh kuesioner yang dibagikan kepada 40
staf akademik laki-laki dan 20 perempuan. Pemilihan dilakukan secara acak
untuk staf akademik laki-laki dan perempuan.
Dalam menganalisis data untuk penelitian ini, analisis chi-square hitung SPSS
akan digunakan untuk menganalisis data. Chi-square akan digunakan untuk
menilai, sehingga memungkinkan peneliti untuk menunjukkan hubungan antara
berbagai variabel yang diuji dalam penelitian. Juga untuk digunakan dalam
persentase sederhana. Ini akan memungkinkan peneliti untuk mengetahui
kepentingan relatif dari berbagai item yang digunakan untuk analisis (Osuala,
2011).
RIVIEW JURNAL
8. Hasil dan Bahasan :
Temuan utama dari penelitian ini adalah bahwa stres kerja berdampak pada
produktivitas karyawan. Hal ini sebagian besar disebabkan oleh lingkungan kerja
karena karyawan menunjukkan bahwa mereka tidak terlalu senang dengan
lingkungan kerja mereka. Selain itu, penelitian menemukan bahwa ada dampak
stres kerja terhadap komitmen karyawan. Hal ini dikarenakan karyawan merasa
tidak diperhatikan oleh organisasi.
RIVIEW JURNAL
9. Kesimpulan :
Berdasarkan temuan empiris disimpulkan bahwa stres kerja merupakan
tantangan nyata bagi karyawan yang bekerja di universitas yang berbeda di
Nigeria. Untuk tujuan ini, penelitian ini dilakukan untuk memantau pengaruh stres
kerja terhadap produktivitas dan komitmen karyawan. Variabel-variabel tersebut
ditarik melalui literatur yang menyebabkan stres kerja yang mempengaruhi
produktivitas dan komitmen karyawan serta kepuasan karyawan. Variabel
penyebab stres kerja adalah kurangnya penghargaan finansial, jam kerja yang
tidak fleksibel, masalah pribadi, kontrol yang rendah terhadap lingkungan kerja
dan sistem manajemen. Hasil penelitian menunjukkan bahwa ada pengaruh stres
kerja terhadap komitmen karyawan sehingga menyebabkan penurunan kinerja
karyawan.
RIVIEW JURNAL
10. Rekomendasi :
Menyimpulkan dari penemuan-penemuan yang dilakukan selama penelitian ini,
peneliti dengan ini merekomendasikan sebagai berikut.
1. Pekerjaan yang terlalu tertekan menurunkan produktivitas karyawan dan
mungkin menjadi kontributor utama kurangnya komitmen karyawan. Strategi yang
tepat harus dibuat mengenai jam kerja, hubungan interpersonal dan pengawasan
untuk mengurangi stres dan untuk mengelola kinerja karyawan dengan lebih baik.
gambar 2:
https://images.app.goo.gl/DnDYwY5fpdAfvgVK7
Chmiel, Fraccaroli, & Sverke. (2017). An introduction to work and organizational
psychology. John Wiley & Sons, Ltd
Dewe & Cooper. (2012). Wellbeing and works towards a balanced agenda. Palgrave
Macmillan
Jex & Britt. (2014). Organizatinal psychology : A scientist-practitioner approach. John
Wiley & Sons, Inc
Truxillo, Bauer, & Erdogan. (2016). Psychology and work : Perspectives on industrial and
organizational psychology. Routledge.
Truxillo, Bauer, & Erdogan. (2021). Psychology and work : An introduction to industrial and
organizational psychology. Routledge
Izzati & Mulyana. (2019). Psikologi industri & organisasi. Penerbit Bintang Surabaya.