B. Coping Stres
Coping adalah suatu proses dimana individu mencoba untuk
mengelola jarak yang ada antara tuntutan-tuntutan (baik itu tuntutan
yang berasal dari individu maupun tuntutan yang berasal dari
lingkungan) dengan sumber-sumber daya yang digunakan dalam
menghadapi stresful (Lazarus & Folkman dalam Smet, 1994: 143
dalam Asih, dkk 2018: 58). Menurut Rasmun (2004:29) dalam Asih,
dkk (2018: 58) coping adalah proses yang dilalui oleh individu dalam
menyelesaikan situasi stresfull, coping tersebut adalah merupakan
respon individu terhadap situasi yang mengancam dirinya baikfisk
maupun psikologis. Ahli lain yang mengemukakan tentang coping
adalah Matheny dkk (dalam Safaria, 2012: 97) dalam Asih, dkk
(2018: 58) yang mendefinisikan coping sebagai segala usaha, sehat
maupun tidak sehat, positif maupun negatif, usaha kesadaran atau
ketidaksadaran, untuk mencegah, menghilangkan, atau melemahkan
stresor, atau untuk memberikan ketahanan terhadap dampak stres.
Coping pada dasarnya adalah salah satu jenis pemecahan masalah.
Prosesnya melibatkan pengelolaan situasi yang berlebihan,
meningkatkan usaha untuk menyelesaikan permasalahan-
permasalahan kehidupan, dan mencari cara untuk mengalahkan stres
atau menguranginya.
Coping yang dilakukan individu pun tidak selalu langsung
mengatasi masalah (problem focused), tetapi bisa pula hanya
mengurangi emosi negatif yang muncul (emotion focused). Untuk
upaya semacam ini, Lazarus menyetarakannya dengan reaksi yang
bersifat emosional (distres, negative emotional response). Setelah
melakukan reaksi-reaksi tersebut, individu bersangkutan kemudian
melakukan evaluasi kembali, untuk melihat apakah upaya yang telah
dilakukan tersebut dinilai berhasil atau belum. Langkah ini membuat
individu membuat penilaian kembali (secondary appraisal), apakah
emosi yang tidak menyenangkan tersebut telah berkurang, dan apakah
masalah yang dihadapi telah teratasi atau belum.
C. Beban Kerja
Organisasi profit maupun non-profit memiliki tujuan sesuai
keahlian yang dimiliki dan sudah disusun secara pasti dan bersifat riil.
Keahlian suatu organisasi tercermin dari keahlian tiap anggotanya.
Oleh sebab itu, tiap anggota harus mampu mencapai sasaran serta
tujuan yang telah dibuat lewat tujuan yang telah disusun dengan jelas.
Namun setiap anggota akan merasa tertekan oleh organisasi yang
tidak realistis, dan apabila kondisi sebaliknya dari kondisi itu terjadi
akan merangsang timbulnya stres. Contohnya beban kerja yang terlalu
banyak serta menumpuk nantinya akan bisa menimbulkan stres.
Penting dalam mengatur serta mengendalikan program kerja yang
baik dan efisien untuk menggunakan metode dan cara pengerjaan
suatu tugas kerja. Apabila dilakukan penataan tugas kerja dari yang
mudah ke yang lebih susah maka beban kerja yang menumpuk bisa
diselesaikan sedikit demi sedikit. Hal itu akan membantu untuk
mengatasi masalah ini sehingga mayoritas dari pegawai/karyawan
tidak lagi merasa enggan untuk melaksanakan pekerjaan maupun
tugas dan tanggung jawab kerja yang menumpuk (Q.Badu & Djafri,
2017 dalam Hartini dkk, 2021:56).
Stres dalam hidup mendorong kita untuk menyesuaikan atau
mengubah beberapa aspek perilaku yang akan dilakukan. Ketika tidak
berhasil melakukan penyesuaian atau perubahan ini, kita sering
menemukan diri kita mengalami sejumlah efek samping atau tanda
dan gejala yang tidak menyenangkan. Salah satu factor utama yang
mempengaruhi stres kerja adalah beban kerja dimana pembagian
tugas yang berlebihan, tekanan dan sikap pimpinan terhadap target
kerja yang kurang adil dan tidak wajar. French dan Caplan
(Hastutiningsih, 2019) dalam Budiasa (2021:5) membedakan beban
kerja menjadi dua, kuantitatif yang mengacu pada banyaknya
pekerjaan yang harus dilakukan dan kualitatif yang mengacu pada
tingkat kesulitan suatu pekerjaan.
Beban kerja dan stres kerja telah lama menjadi bahan penelitian
para ahli. Hasil penelitian Shabbir dan Naqvi (2017) menjelaskan
bahwa beban kerja dan kompleksitas kerja memiliki dampak positif
dan signifikan terhadap stres kerja, sementara stres kerja memiliki
dampak negatif pada kinerja. Sementara Alkubaisi (2015)
menyatakan bahwa beban kerja berdampak positif dan signifikan
terhadap stres kerja karyawan sektor perbankan di Qatar. Hasil
senada juga ditemukan dalam penelitian yang dilakukan oleh
Hatmawan (2015), Angwen (2017) dan Zulmaidarleni et al. (2019)
menyatakan bahwa beban kerja memiliki pengaruh positif dan
signifikan terhadap stres kerja. Namun penelitian dengan hasil yang
berbeda ditemukan oleh Putri dan Rahyuda (2019) di UKM Kota
Denpasar yang mendapati beban kerja memiliki pengaruh negatif dan
signifikan terhadap stres kerja. Hasil penelitian tidak signifikan antara
beban kerja dan stres kerja ditemukan dalam penelitian Lestari dan
Ratnasari (2018) dan Susiarty et al. (2019).
Dampak lain yang ditimbulkan beban kerja selain stres kerja
adalah berpengaruh terhadap kinerja karyawan. Penelitian Priyanto
(2018) menyatakan bahwa beban kerja berpengaruh terhadap kinerja
Pendamping Program Keluarga Harapan Kota Manado. Penelitian
lain dengan hasil serupa juga dilakukan Harini et al. (2018),
Tjahjaningsih et al. (2019), Siswanto et al. (2019) dan Susiarty et al.
(2019) hasil penelitian menyatakan antara beban kerja memiliki
pengaruh signifikan dan positif terhadap kinerja. Hasil berbeda
diperoleh Gozali (2016) dan Akob (2016) yang menyatakan beban
kerja berlebih memiliki pengaruh negatif dan signifikan terhadap
kinerja. Penelitian Putri dan Rahyuda (2019) dan Hastutiningsih
(2019) juga menyatakan bahwa beban kerja memiliki pengaruh
negatif terhadap kinerja. Hasil kontradiktif diperoleh dalam penelitian
Chandra dan Adriansyah (2017) dan Johari et al. (2018) menyatakan
bahwa beban kerja tidak berpengaruh terhadap kinerja. Hasil-hasil
penelitian tersebut menunjukkan adanya hasil yang tidak konsisten
antara pengaruh beban kerja terhadap kinerja.
Beban kerja dan stres kerja merupakan faktor yang berasal dari
dalam individu yang mampu membentuk dan berpengaruh terhadap
kinerja karyawan. Selain dari faktor internal, faktor dari eksternal
individu juga merupakan faktor penentu dari kinerja karyawan,
seperti fasilitas kerja atau iklim organisasi.
D. Sumber Stres
Salah satu permasalahan dalam mengkaji pemicu stres pada
tingkat organisasi mengidentifikasi sumber-sumber mana yang paling
berarti. Stres lainnya adalah budaya organisasi. Para top manajemen
yang telah membangun karakter dari organisasi secara luas akan
menjadikannya sebagai budaya organisasi. Sumber stres bagi banyak
karyawan bisa terjalin apabila sikap politik pada level atas
organisasinya yang tidak baik. Kualitas pengembangan karier
seseorang dalam organisasi akan berpengaruh terhadap minimnya
aspek dari lingkungan untuk peluang berkarier (Tewal et al., 2017
dalam Hartini dkk, 2021:63).
Griffin dan Moorhead (Susiarty et al., 2019 dalam Budiasa,
2019:23) menyatakan ada empat penyebab stres di tempat kerja
sebagai berikut.
1. Lingkungan Fisik
Stres ini mengacu kepada kondisi fisik dalam lingkungan
karyawan. Penyebab stres pada lingkungan fisik antara lain cahaya,
suara, suhu dan udara.
2. Individu
Stres ini bersumber dari peran yang dimainkan dan tugas-tugas
yang harus diselesaikan sehubungan dengan posisi atau pekerjaan.
Termasuk didalam sumber stres dari sumber individu antara lain
konflik peran, ambiguitas peran, beban kerja berlebih, tidak adanya
kontrol, tanggung jawab dan kondisi kerja.
3. Kelompok
Dipengaruhi sifat hubungan antar kelompok dalam organisasi,
misalnya ketidakpercayaan terhadap rekan kerja, hubungan yang
tidak baik dengan rekan kerja, atasan atau bawahan.
4. Organisasi
Stres ini bersumber dari keinginan-keinginan organisasi
sehubungan dengan usaha mencapai tujuan organisasi. Stres yang
bersumber dari organisasi berupa struktur organisasi yang tidak
bagus, iklim organisasi, teknologi, masalah politik dan tidak
adanya kebijakan khusus.
Asih (2018:18) menyatakan Penyebab stres “off-the-job” antara lain:
a. Kekuatan finansial
b. Masalah-masalah yang bersangkitan dengan anak
c. Masalah-masalah fisik
d. Masalah-masalah perkawinan (seperti perceraian)
e. Perubahan-perubahan yang terjadi di tempat tinggal
f. Masalah-masalah pribadi lainnya, seperti kematian sanak saudara.
Cooper (dalam Asih (2018:18) faktor yang memengaruhi stres
kerja diantaranya :
a. Stresor kondisi pekerjaan
Seperti beban kerja berlebihan secara kuantitatif dan kualitatif,
keputusan yang dibuat oleh seseorang, bahaya fisik, jadwal
bekerja.
b. Stresor stres peran
Ketidakjelasan peran, adanya bias dalam membedakan gender
dan stereotype peran gender; pelecehan seksual
c. Stresor faktor interpersonal
Meliputi hasil kerja dan dukungan sosial yang buruk, persaingan
politik, kecemburuan sosial, kemarahan, dan kurangnya perhatian
manajemen terhadap karyawan.
d. Stresor perkembangan karir
Seperti promosi jabatan yang lebih rendah dari kemampuannya,
promosi jabatan yang lebih tinggi dari pada kemampuannya,
keamanan pekerjaannya, ambisi yang berlebihan sehingga
mengakibatkan frustrasi.
e. Stresor struktur organisasi
Meliputi struktur yang kaku dan tidak bersahabat, pertempuran
politik, pengawasan dan pelatihan yang tidak seimbang,
ketidakterlibatan dalam membuat keputusan.
f. Stresor tampilan rumah pekerjaan
Seperti mencampurkan masalah pekerjaan dengan masalah
pribadi, kurangnya dukungan dari pasangan hidup, konflik
pernikahan, stres karena memiliki dua pekerjaan.
Hurrell, dkk (dalam Munandar, 2014: 381) mengungkapkan
bahwa faktor pembuat stres dalam lingkungan kerja adalah sebagai
berikut:
a. Faktor-faktor intrinsik dalam pekerjaan, diantaranya:
1) Tuntutan fisik (bising, paparan, getaran, hygiene)
2) Tuntutan tugas (sift kerja, beban kerja berlebih ataukah
sedikit) atau workload
b. Peran individu dalam organisasi, meliputi:
1) Konflik peran:
a) Pertentangan antara tugas-tugas yang di lakukan dengan
tanggung jawab yang di miliki
b) Tugas-tugas yang harus di lakukan yang menurut
padangannya bukan merupakan bagian dari pekerjaannya.
c) Tuntutan-tuntutan yang bertentangan dari atasan, rekan,
bawahan, atau orang lain yang dinilai penting bagi
seseorang.
d) Pertentangan dengan nilai-nilai keyakinan pribadinya
sewaktu melaksanakan tugasnya.
2) Ketidakjelasan peran, meliputi:
a) Ketidakjelasan dari sasaran-sasaran
b) Kesamaran tentang tanggung jawab
c) Ketidakjelasan tentang prosedur kerja
d) Kesamaran tentang apa yang diharapkan
e) Ketidakpastian tentang unjuk-kerja pekerjaan
3) Pengembangan karier, meliputi faktor:
a) Peluang untuk menggunakan jabatan sepenuhnya
b) Peluang untuk menggunakan ketrampilan yang baru
c) Penyuluhan karier untuk memudahkan
keputusankeputusan menyangkut karier. Adapun hal-hal
yang termasuk di dalamnya adalah job insecurity, over
dan under promotion.
c. Hubungan dalam pekerjaan Hubungan yang baik dengan
kelompok kerja dianggap sebagai faktor utama dalam menjaga
kesehatan organisasi.
d. Struktur dalam organisasi Sejauh mana tenaga kerja dapat
terlibat atau berperan serta pada support.
e. Tuntutan dari luar pekerjaan Meliputi isu-isu tentang keluarga,
krisis kehidupan, kesulitan keuangan, keyakinan pribadi,
konflik, tuntutan perusahaan, ini semuanya adalah faktor
diluar pekerjaan yang menjadi sumber stres.
f. Ciri-ciri individu.
Beberapa hasil studi menemukan bahwa penyebab stres di
tempat kerja terjadi akibatkan dari ketidakseimbangan antara
karakteristik kepribadian karyawan dengan karakteristik aspek
pekerjaan yang terjadi pada kondisi kerja. Sejalan dengan
meningkatnya stres kinerja cenderung naik karena stres membantu
karyawan untuk mengarahkan segala sumber daya dalam memenuhi
kebutuhan kerja, stres adalah suatu rangsangan sehat yang mendorong
para karyawan untuk menanggapi tantangan pekerjaan. Akhirnya stres
mencapai titik stabil yang kira-kira sesuai dengan kemampuan
prestasi karyawan. Selanjutnya, bila stres menjadi terlalu besar,
kinerja akan mulai menurun karena stres mengganggu pelaksanaan
pekerjaan. Karyawan kehilangan kemampuan untuk
mengendalikannya. Akibat yang paling ekstrem adalah kinerja
menjadi nol, karyawan, menjadi tidak kuat lagi bekerja, putus asa,
keluar atau menolak bekerja untuk menghindari stres.
E. Lingkungan Kerja
Sedarmayanti (2011: 21) mendefinisikan lingkungan kerja
merupakan keseluruhan alat perkakas dan bahan yang dihadapi,
lingkungan sekitarnya dimana seseorang bekerja, metode kerjanya serta
pengaturan kerjanya baik sebagai perseorangan maupun sebagai
kelompok. Lingkungan kerja adalah sesuatu yang ada disekitar para
pekerja dan yang mempengaruhi dirinya dalam menjalankan tugas-
tugas yang dibebankan (Nitisemito dalam Erawati et al., 2019).
Lingkungan kerja merupakan salah satu pertimbangan karyawan dalam
bekerja, karyawan akan mampu melaksanakan pekerjaannya dengan
baik apabila ditunjang oleh kondisi lingkungan baik.
Stres yang terlalu berlebihan dapat mengancam kemampuan
seseorang untuk menghadapi lingkungan. Mengulas keterkaitan antara
lingkungan kerja dengan stres kerja, terdapat beberapa perbedaan
kajian empiris yang dilakukan oleh para ahli sebelumnya, bahwa
lingkungan kerja memiliki pengaruh yang kontradiktif dengan stres
kerja seperti dikemukakan Kristanti (2017). Dapat diartikan bahwa
lingkungan yang baik akan dapat menurunkan stres kerja dari
karyawan. Sejalan dengan itu penelitian lain dari Putra dan Rahyuda
(2015), Angwen (2017), Bahri et al. (2018), Zulmaidarleni et al.
(2019), Susiarty et al. (2019), Putri dan Rahyuda (2019) menyatakan
bahwa lingkungan kerja mempunyai pengaruh negatif dan signifikan
terhadap stres kerja. Hasil berbeda diperoleh dari• penelitian Hatmawan
(2015) dengan hasil lingkungan kerja tidak berpengaruh signifikan
terhadap stres kerja pegawai PT. PLN (Persero) Area Madiun Rayon
Magetan, faktor lingkungan kerja bukan merupakan dasar
pertimbangan bagi karyawan dalam melaksanakan tugas tapi karyawan
lebih mempertimbangkan konflik dan beban kerja dalam menjalankan
tugasnya.
Lingkungan kerja merupakan salah satu pertimbangan karyawan
dalam bekerja, karyawan akan mampu melaksanakan kegiatannya
dengan baik untuk mencapai suatu hasil optimal, apabila ditunjang oleh
suatu kondisi lingkungan kerja yang sehat, aman dan nyaman. Sutrisno
(2019: 118) menguraikan lingkungan kerja adalah keseluruhan sarana
dan prasarana kerja yang ada disekitar karyawan yang sedang
melakukan pekerjaan, memiliki pengaruh terhadap pelaksanaan
pekerjaan. Sedangkan Sedarmayanti (2011: 21) mendefinisikan
lingkungan kerja sebagai keseluruhan alat perkakas dan bahan yang
dihadapi, lingkungan sekitarnya dimana seseorang bekerja, metode
kerjanya, serta pengaturan kerjanya baik sebagai perorangan atau
kelompok. Nitisemito (Al-Omari dan Okasheh, 2017) menyatakan
lingkungan kerja adalah semua yang ada disekitar pekerja yang dapat
mempengaruhi hasil pekerjaan tersebut. Mangkunegara (2015: 17)
menyebutkan lingkungan kerja antara lain uraian jabatan yang jelas,
target kerja yang menantang, pola komunikasi kerja yang efektif, iklim
kerja dan fasilitas kerja yang relatif memadai. Lingkungan pekerjaan
berpotensi sebagai stresor kerja. Stresor kerja merupakan segala kondisi
pekerjaan yang dipersepsikan karyawan sebagai suatu tuntutan dan
dapat menimbulkan stres kerja (Waluyo, 2009: 161).
Lingkungan kerja dapat dikelompokan menjadi dua yakni
lingkungan internal dan lingkungan eksternal (Marwansyah, 2019: 11).
Lingkungan internal merupakan faktor atau kondisi yang berada di
dalam organisasi yang mempengaruhi organisasi tersebut. Sedangkan
lingkungan eksternal merupakan kekuatan diluar organisasi, yang
berperan dalam mendorong keberhasilan suatu organisasi dalam upaya
mencapai tujuannya (Hatmawan, 2015).
Sedangkan Sedarmayanti (2011: 21) dalam Budiasa (2021:41)
menyatakan lingkungan kerja terbagi menjadi dua, sebagai berikut.
1. Lingkungan Kerja Fisik
Lingkungan kerja fisik adalah semua keadaan berbentuk fisik yang
terdapat disekitar tempat kerja yang dapat mempengaruhi pegawai
baik secara langsung maupun tidak langsung. Lingkungan kerja
fisik dapat dibagi menjadi dua kategori.
a. Lingkungan kerja langsung berhubungan dengan pegawai
seperti pusat kerja, kursi, meja, dan sebagainya.
b. Lingkungan perantara atau lingkungan umum dapat juga
disebut lingkungan kerja yang mempengaruhi kondisi
pegawai misalnya temperatur, kelembaban, sirkulasi udara,
pencahayaan, kebisingan, getaran mekanik, bau tidak sedap,
warna dan lain-lain.
2. Lingkungan Kerja Non Fisik
Semua keadaan berkaitan dengan hubungan kerja, baik hubungan
dengan atasan, maupun hubungan dengan sesama rekan kerja
ataupun hubungan dengan bawahan. Perusahaan hendaknya dapat
mewujudkan suatu kondisi yang mendukung kerja sama antar
karyawan, atasan dan bawahan. Kondisi lingkungan kerja non fisik
sebagai berikut.
a. Faktor lingkungan sosial
Lingkungan sosial sangat berpengaruh terhadap kinerja
karyawan salah satunya latar belakang keluarga, yaitu antara
status keluarga, jumlah keluarga, tingkat kesejahteraan dan
lain-lain.
b. Faktor status sosial Semakin tinggi jabatan seorang pekerja
dalam organisasi maka semakin tinggi kewenangan dan
keleluasaan dalam mengambil keputusan.
c. Faktor hubungan kerja dalam perusahaan
Hubungan kerja dalam perusahaan adalah hubungan kerja
antara karyawan dengan karyawan dan antara karyawan
dengan atasan.
d. Faktor sistem informasi
Hubungan kerja akan dapat berjalan dengan baik apabila
ada komunikasi yang baik diantara anggota dalam
perusahaan. Dengan komunikasi yang baik di lingkungan
organisasi maka anggota organisasi akan berinteraksi, saling
memahami, saling mengerti satu sama lain menghilangkan
perselisihan salah paham
Berdasarkan pernyataan di atas lingkungan kerja kerja merupakan
segala sesuatu yang ada disekitar pegawai pada saat bekerja, baik
berbentuk fisik atau non fisik, langsung atau tidak langsung, yang dapat
mempengaruhi diri dan pekerjaan karyawan saat bekerja. Lingkungan
kerja yang nyaman dapat meningkatkan kepuasan dan loyalitas kerja
karyawan melebihi gaji dan tunjangan. Namun, lingkungan kerja yang
tidak nyaman dapat menyebabkan konflik antar pegawai, dan tuntutan
instansi yang menimbulkan masalah yaitu kurangnya gaji untuk
menutupi kebutuhan pegawai.
F. Indikator Stres
Tingginya tuntutan pekerjaan yang harus di selesaikan dalam
kurun waktu tertentu yang tidak di seimbangkan dengan reward yang
diberikan untuk pegawai dapat menimbulkan stres. Pada umumnya
stres kerja lebih banyak merugikan karyawan maupun perusahaan
atau organisasi. Pada diri karyawan, konsekuensi tersebut dapat
berupa menurunnya gairah kerja, kecemasan yang tinggi, frustasi dan
sebagainya. Konsekuensi pada karyawan ini tidak hanya berhubungan
aktivitas kerja saja, akan tetapi dapat meluas ke aktivitas lain di luar
pekerjaan.
Stres akan membawa konsekuensi terhadap organisasi, meliputi
penurunan dalam kinerja, penarikan diri, dan perubahan sikap yang
negative. Penurunan kinerja karywan akan berdampak buruk pada
kualitas dan penurunan produktivitas. Disini kami akan mengkaji hal
apa saja menjadi indikator stres. (Wibowo, 2019: 192 dalam Budiasa
(2021:26)) menjadikan indikator dalam penilaian stres kerja sebagai
berikut.
1. Tuntutan tugas (Task Demands)
Merupakan faktor yang dikaitkan pada pekerjaan seseorang
seperti kondisi kerja, tata kerja dan letak fisik.
2. Tuntutan peran (Role Demands)
Berhubungan dengan tekanan yang diberikan pada seorang
karyawan sebagai suatu fungsi dari peran tertentu yang
dimainkan dalam suatu organisasi. Tuntutan peran ini dapat
menimbulkan terjadinya role ambiguity, role conflict.
3. Tuntutan antar pribadi (Interpersonal Demands)
Merupakan tekanan yang diciptakan oleh rekan kerja dalam satu
organisasi.
4. Struktur Organisasi
Gambaran instansi yang diwarnai dengan struktur organisasi yang
tidak jelas, kurangnya kejelasan mengenai jabatan, peran,
wewenang, dan tanggung jawab.
5. Kepemimpinan Organisasi
Memberikan gaya manajemen pada organisasi. Beberapa pihak
didalamnya dapat membuat iklim organisasi yang mengakibatkan
suatu ketegangan, ketakutan dan kecemasan
Sedangkan Gibson et al. (Erawati et al., 2019) menyatakan stres
kerja dapat diukur menggunakan indikator sebagai berikut.
1. Tekanan Individu
Terdiri dari konflik peran (role conflict), ambiguitas peran (role
ambiguity), beban kerja yang berat, beban tanggung jawab, tidak
adanya kemajuan karir, minimnya desain pekerjaan.
2. Tekanan Kelompok
Adanya hubungan kurang baik antara seorang individu dengan
rekan kerja
3. Tekanan Lingkungan Fisik
Tekanan tersebut biasanya berhubungan dengan keadaan
lingkungan fisik yang dapat menimbulkan tekanan pada individu,
misalnya lampu penerangan yang suram, kegaduhan, temperatur
yang panas, polusi udara.
4. Tekanan Keorganisasian Menyangkut sampai sejauh mana
pengetahuan orang, pendapat dan gagasannya dimasukkan dalam
proses pengambilan keputusan.
I. Tingkatan Stres
Karyawan yang mengalami distres secara mental dan fisik
dikarenakan jam kerja yang panjang akan mengalami beban kerja
yang berlebihan. Beban kerja berlebihan akan menghasilkan masalah
kesehatan seperti terluka karena pekerjaa, kecelakaan kerja, dan
penyakit kardiovaskular, dan masalah mental seperti depresi dan
kecemasan. Dalam hubungannya dengan tempat kerja, stres dapat
timbul pada beberapa tingkat, berjajar dari ketidakmampuan bekerja
dengan baik dalam peranan tertentu karena kesalahpahaman atasan
atau bawahan. Atau bahkan dari sebab tidak adanya ketrampilan
(khususnya ketrampilan manajemen) hingga sekedar tidak menyukai
seseorang dengan siapa harus bekerja secara dekat. Robbins dan
Judge (2019) dalam Yuan, dkk (2020:183) menyatakan tingkatan stres
terdiri dari tingkatan sebagai berikut:
1. Tingkat stres very low dimana individu cenderung untuk tetap
mempertahankan tingkat tampilan kerjanya
2. Tingkat stres medium dimana stres pada kondisi ini berfungsi
sebagai tantangan sehingga individu cenderung termotivasi
untuk meningkatkan tampilan kerjanya.
3. Tingkat stres high akan menguras energi individu dan mulai
adanya upaya untuk mengurangi stres.
Robbins dan Judge (2019: 434) dalam Budiasa (2021:25)
menyatakan dampak stres dilihat pada tiga kategori.
1. Physiological Akibat stres pada fisik yang mudah dikenali,
misalnya sejumlah penyakit yang disinyalir disebabkan oleh stres
yang berkepanjangan.
2. Psychological Dampak stres dari aspek psikis dapat dikenali secara
langsung seperti ketidakpuasan kerja, depresi, keletihan, murung
dan kurang semangat yang pada akhirnya akan menurunkan kinerja.
3. Behavior Dampak stres dapat dikenali dari perilaku seseorang
seperti kinerja rendah, tingkat kecelakaan kerja, kesalahan dalam
pengambilan keputusan, tingkat absensi yang tinggi dan agresif di
tempat kerja.
Sejalan dengan penjelasan di atas, Chandra Patel (Ekawarna,
2018: 204), menyebutkan bahwa dampak dari stres kerja dilihat dari
empat aspek yakni: mental, emosional, fisik dan perilaku. Dari sisi
yang berbeda, Swagerina (Hastutiningsih, 2019 dalam Budiasa,
2021:25) mendefinisikan dampak stres menjadi dua jenis sebagai
berikut.
1. Constructive Stres
Berpengaruh positif terhadap individu dan organisasi, hal ini
ditunjukkan dengan meningkatnya usaha, merangsang kreativitas
dan meningkatnya semangat kerja.
2. Destructive Stres
Berpengaruh negatif terhadap individu atau organisasi, yang
ditunjukkan oleh penurunan kinerja, penurunan terhadap
kemampuan fisik dan mental seseorang bahkan dapat berpotensi
terhadap ketidakpuasan akan sesuatu.
Dari dua jenis stres di atas digambarkan bahwa Constructive
Stres berdampak langsung terhadap kinerja individu, karena merupakan
suatu rangsangan yang mendorong karyawan untuk menanggapi
tantangan pekerjaan. Jika tantangan kerja tidak ada maka stres juga
tidak ada yang membuat kinerja menurun, sehingga stres kerja dapat
mencapai titik stabil yang sesuai dengan kemampuan karyawan.
Sebaliknya jika stres kerja terlalu besar sehingga mengakibatkan
individu mengalami Destructive Stres, stres yang dapat mengganggu
pekerjaan, individu akan kehilangan kemampuan untuk
mengendalikannya. Hal ini berdampak kepada penurunan kinerja,
keputusasaan, karyawan tidak kuat bekerja bahkan ada upaya
penolakan atau keluar dari pekerjaan
Stres kerja yang dialami oleh karyawan dapat menimbulkan
dampak positif dan bahkan dampak negatif bagi karyawan yang
bersangkutan dan bagi organisasi. Semua itu tergantung pada kondisi
psikologis dan sosial seorang karyawan, sehingga reaksi terhadap setiap
kondisi stres sangat berbeda. Stres di lingkungan kerja memang tidak
dapat dihindari, namun stres kerja dapat dikurangi atau dikelola
sehingga tidak menganggu pekerjaan. Stres kerja apabila dikelola
dengan baik dapat menjadi pendorong dan meningkatkan intensitas
kerja, sedangkan apabila tidak dikelola dengan baik stres kerja akan
menimbulkan permasalahan yang berdampak negatif bagi individu dan
organisasi.
J. Manajemen Stres
Stres ditempat kerja atau disebuah organisasi bukanlah suatu hal
yang baru. Untuk mempertahankan pengendalian dirinya di area
lingkungan kerja seorang karyawan harus memiliki manajemen stres
kerja yang efisien sehingga masalah-masalah yang timbul bisa
diterima bagaikan tantangan dan bukan sebagai ancaman. Hasil riset
menemukan bahwa komunikasi interpersonal serta kecerdasan
emosional mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap manajemen
stres. Di dalam manajemen stres, jika komunikasi interpersonal dalam
organisasi dapat dijalin secara efisien maka ketegangan yang
dirasakan oleh para karyawan akibat dari kondisikondisi yang
memengaruhi dirinya dapat diminimalisir, baik yang didapat dari
dalam atau dari area luar . Dengan adanya komunikasi interpersonal
yang dibuat dengan efisien, stres bukan hanya dapat dikendalikan
namun mampu juga dipandang sebagai sebuah tantangan.
Manajemen stres kerja memiliki peran dalam membantu individu
mengatasi stres yang dialami. Dari kata manajemen mengandung
pengertian mengarahkan, mengatur, mengorganisasikan, mengelola
atau mengatasi. Dalam konteks manajemen, stres kerja dapat
ditafsirkan sebagai upaya untuk menurunkan stres kerja individu
dengan mengatasi suber-sumber penyebabnya.
Manajemen stres berarti berusaha secara efektif untuk mengatasi
gangguan atau kekacauan mental dan emosional yang muncul karena
tanggapan (respons). Adapun tujuan dari manajemen stres adalah
mencegah timbulnya stres dari karyawan, menampung akibat
fisiologikal dari stres, untuk memperbaiki kualitas hidup karyawan
agar menjadi lebih baik, serta untuk mencegah berkembangnya stres
jangka pendek menjadi stres jangka panjang atau stres yang kronis.
(Marliani, 2015: 281 dalam Asih, 2018:69).
Sampai saat ini berbagai program manajemen stres telah
diperkenalkan oleh para pakar kesehatan kerja dan industry. Akan
tetapi, masih banyak program yang memiliki kelemahan karena
cakupan program tidak memuat aspek perbaikan kondisi kerja. Selain
itu informasi-informasi mencakup mekanisme perubahan dalam tubuh
yang diharapkan terjadi setelah diaplikasikannya program atau
dampak dari stres kerja secara biologi akan member acuan untuk
dapat mengukur dampak stres kerja melalui pengukuran secara
objektif serta bermanfaat untuk dapat melakukan penanganan secara
dini. Ketika individu berhadapan dengan tekanan, maka ada beberapa
pilihan yang dapat dipilih yaitu: menyerah (keluar dari pekerjaan),
bertahan dalam kondisi yang penuh dengan tekanan, serta bangkit
atau bertumbuh. Oleh karena itu individu atau karyawan perlu
melakukan manajemen stres.
Pemahaman prinsip dasar, menjadi bagian penting agar seseorang
mampu merancang solusi terhadap masalah yang muncul terutama
yang berkait dengan penyebab stres di tempat kerja. Berdasarkan Gale
Encyclopaedia of Medicine (2008), Linden (2012), Elkin (2013),
Hales, dan Hales (2016), Chen (2019), Lehrer dan Woolfolk, et al.
(2021) dapat disimpulkan bahwa manajemen stres adalah seperangkat
teknik dan program yang dimaksudkan untuk membantu orang
mengatasi stres secara lebih efektif dalam hidup mereka dengan
menganalisis pemicu stres tertentu dan mengambil tindakan positif
untuk meminimalkan efeknya.
Berdasarkan Mack, (2017), The American Psychological
Association (2018), Davis (2019), Gobin (2019), Seaward (2019),
Shores (2021) dapat dinyatakan bahwa manajemen stres untuk setiap
individu pada prinsipnya dapat dilakukan dengan cara sebagai berikut:
1. Pahami stres yang terjadi pada diri setiap individu terkait dengan
bagaimana setiap individu mengalami stres yang jelas akan berbeda
untuk semua individu. Dengan memahami seperti apa stres bagi
setiap individu maka akan lebih siap dan melakukan berbagai
tindakan antisipasi manajemen stres saat dibutuhkan.
2. Identifikasi sumber stres setiap individu terkait dengan apa yang
menyebabkan setiap individu mengalami stres baik itu factor
pekerjaan, keluarga, perubahan, atau berbagai pemicu stres
potensial lainnya.
3. Belajar mengenali sinyal stres dimana setiap individu akan
memproses stres secara berbeda sehingga penting untuk menyadari
gejala stres individu seperti sakit kepala, sakit perut atau berbagai
kombinasi dari berbagai gejala stres sebagaimana diuraikan
sebelumnya.
4. Kenali strategi stres setiap individu terkait dengan apa yang
dilakukan untuk menenangkan diri.
5. Terapkan strategi manajemen stres yang sehat seperti berlatih
meditasi atau buat mengobrol dengan rekan kerja atau rekan sosial
lainnya.
6. Melakukan perawatan diri sebagai prioritas dengan meluangkan
waktu untuk diri sendiri, menempatkan kesejahteraan diri sendiri di
atas orang lain seperti tidur yang cukup, makanan, waktu istirahat
yang cukup, dan olahraga yang cukup.
7. Mintalah dukungan saat dibutuhkan jika merasa kewalahan dengan
menghubungi teman, anggota keluarga yang dapat diajak bicara
atau berbicara dengan profesional kesehatan guna mengurangi stres
dan membantu dalam mempelajari strategi manjemen stres yang
lebih sehat.
Perusahaan atau organisasi dapat melakukan manajemen stres
menurut Wright, Perry, et al (2021), Greenberg (2020), Nagoski dan
Nagoski (2020), Olpin dan Hesson (2020), White (2018), Yen dan
Harvard Business Review (2014) dalam bentuk sebagai berikut:
1. Promosikan cuti, istirahat dan istirahat
2. Dorong latihan danmeditasi, baik di dalam maupun di luar jam
kerja
3. Memastikan beban kerja sesuai dengan kemampuan dan sumber
daya pekerja
4. Memberikan stimulasi dan kesempatan kepada pekerja untuk
menggunakan keterampilan
5. Tingkatkan semangat kerja dengan menciptakan peluang untuk
interaksi sosial
6. Menetapkan dengan jelas peran dan tanggung jawab pekerja
7. Mendorong partisipasi dalam pengambilan keputusan yang
mempengaruhi peran individu
8. Mendorong komunikasi terbuka
9. Menetapkan kebijakan tidak ada toleransi untuk diskriminasi di
tempat kerja
10. Libatkan konsultan eksternal untuk menyarankan pendekatan baru
untuk setiap masalah yang ada
11. Buat kebijakan yang ramah keluarga untuk mendorong
keseimbangan kehidupan kerja
12. Memberikan pelatihan untuk manajemen stres di tempat kerja.
Stres tingkat tinggi atau stres ringan yang berkepanjangan akan
membuat menurunnya kinerja karyawan. Stres ringan mungkin akan
memberikan keuntungan bagi organisasi, tetapi dari sudut pandang
individu hal tersebut bukan merupakan hal yang diinginkan.
Manajemen stres memiliki dua fungsi penting, yaitu mengurangi
stres yang terlalu mengancam atau menekan dan menjaga stres pada
taraf yang dapat meningkatkan kinerja. Berdasarkan kedua fungsi
tersebut, Arismunandar (2021:72) mengemukakan berbagai teknik
pengelolaan stres. Luthans (1989) membagi strategi pengelolaan stres
menjadi dua, yaitu strategi organisasi dan strategi individual.
Penelitian mengenai strategi pengelolaan stres di kalangan pendidik
masih sangat terbatas. Ada beberapa penelitian yang telah dilakukan
menunjukkan kecenderungan penggunaan strategi individual dalam
mengatasi stres.
Penelitian yang dilakukan oleh Okebukola and Jegede (1992)
dalam Arismunandar (2021:72) mengungkapkan lima strategi yang
paling sering digunakan oleh guru, yaitu: (1) berpikir positif, (2)
melakukan upaya-upaya improvisasi, (3) selalu ceria, (4) berbagi ide
dan peralatan laboratorium di antara guru, dan (5) bersikap santai.
Allison (1997) meneliti pengelolaan stres di kalangan kepala sekolah
dan menemukan sepuluh strategi pengelolaan yang paling sering
digunakan, yaitu: (1) menerapkan keterampilan hubungan manusia
yang baik dengan staf, (2) senantiasa bersifat humoris, (3) mendekati
masalah dengan obyektif dan optimis, (4) tidur secara teratur, (5)
menetapkan tujuan secara realistis, (6) mendelegasikan tanggung
jawab, (7) membicarakan masalah yang dihadapi dengan anggota
keluarga dan kerabat terdekat, (8) melakukan kegiatan hobi seperti
memancing, kamping, bermain tenis, dan sebagainya, (9) melakukan
kegiatan-kegiatan santai seperti menonton, menghadiri konser musik,
makan di luar rumah, dan sebagainya, dan (10) bekerja keras
termasuk di sore hari dan di akhir pekan. Temuan yang hampir serupa
menunjukkan strategi yang umum digunakan oleh guru seperti
menghindari masalah, meminta bantuan orang lain, dan melakukan
aktivitas yang menyenangkan (Antoniou, Ploumpi, dan Ntalla, 2013
dalam Arismunandar (2021:72)).
Penelitian-penelitian tersebut belum mengkategorisasikan strategi
pengelolaan stres berdasarkan fokus: perasaan dan masalah. Karena
itu, kajian Gaziel (1993) dalam Arismunandar (2021:72) yang
mengelompokkan strategi manajemen stres ke dalam empat kelompok
perlu dikembangkan dalam penelitian-penelitian manajemen stres
guru dan kepala sekolah. Keempat strategi tersebut adalah sebagai
berikut, yaitu: (1) strategi perilaku aktif (active behavioral strategies),
(2) strategi kognitif aktif (active cognitive strategies), (3) strategi
perilaku tidak-aktif (inactive behavioral strategies), dan strategi
kognitif tidak-aktif (inactive cognitive strategies).
Dalam bukunya Zakaria (2021: 116) menyatakan bahwa strategi
yang perlu dilakukan dalam manajemen stres adalah pertama, perlu
dilakukan penilaian terhadap situasi sumber- sumber stres,
mengembangkan - alternatif tindakan, mengambil tindakan yang
dipandang paling tepat, mengambil tindakan yang lebih positif,
memanfaatkan umpan k dan sebagainya. Strategi kedua, dilakukan
dengan mengendalikan berbagai reaksi baik jasmaniah, emosional,
maupun bentuk-bentuk mekanisme pertahanan diri. Dalam
membentuk mekanisme pertahanan diri dapat dilakukan dengan
berbagai cara. Misalnya menangis, menceritakan masalah kepada
orang lain, humor (melucu), istirahat dan sebagainya. Sedangkan
dalam menghadapi reaksi emosional, adalah dengan mengendalikan
emosi secara sadar, dan mendapatkan dukungan sosial dari
lingkungan. Strategi ketiga, dilakukan dengan memperkuat diri
sendiri, yaitu dengan lebih memahami diri, memahami orang lain,
mengembangkan ketrampilan pribadi, berolahraga secara teratur,
beribadah, pola- pola kerja yang teratur dan disiplin, mengembangkan
tujuan dan nilai-nilai yang lebih realistik.
Manajemen stres lebih daripada sekedar mengatasinya, yakni
belajar menanggulanginya secara adaptif dan efektif. Hampir sama
pentingnya untuk mengetahui apa yang tidak boleh dilakukan dan apa
yang harus dicoba. Sebagian para pengidap stres di tempat kerja
akibat persaingan, sering melampiaskan dengan cara bekerja lebih
keras yang berlebihan. Ini bukanlah cara efektif yang bahkan tidak
menghasilkan apa-apa untuk memecahkan sebab dari stres, justru
akan menambah masalah lebih jauh. Sebelum masuk ke cara-cara
yang lebih spesifik untuk mengatasi stresor tertentu, harus
diperhitungkan beberapa pedoman umum untuk memacu perubahan
dan penaggulangan. Pemahaman prinsip dasar, menjadi bagian
penting agar seseorang mampu merancang solusi terhadap masalah
yang muncul terutama yang berkait dengan penyebab stres dalam
hubungannya di tempat kerja.
Stres adalah reaksi yang tidak diinginkan orang terhadap tekanan
berat atau jenis tuntutan lainnya. Banyak literatur yang menunjukkan
penyebab stres, seperti lingkungan kerja, dukungan manajemen,
beban kerja, dll. Stres adalah perubahan-perubahan dalam kehidupan
seseorang atau situasi yang mengancam yang disebutkan di atas. Kita
mungkin akan menghadapi sejumlah situasi/peristiwa yang akan
mengakibatkan stres. Kemudian tidak semua orang merespons
terhadap stresor dengan cara yang sama karena perbedaan persepsi
(perbedaan makna yang diberikan pada situasi/peristiwa oleh seorang
individu). Apa yang mungkin membuat stres untuk seseorang belum
tentu merupakan penyebab stres untuk orang yang lain.
Banyaknya karyawan yang mengalami stres di tempat kerja akan
mempengaruhi hubungan karyawan dengan karyawan yang lain.
Mereka mungkin menjadi tertutup, kurang bergairah atau agresif. Saat
hubungan karyawan di dalam perusahaan mengalami gangguan, maka
efektifitas kerja karyawan secara keseluruhan akan terganggu.
Permasalahan tersebut harus diselesaikan pleh perusahaan karena bisa
menyebabkan kekhawatiran yang terkait dengan penyelesaian tugas
dan pekerjaan, atau hilangnya motivasi.
Kondisi-kondisi yang membuat seorang karyawan merasa bekerja
di bawah tekanan ini akan menyebabkan timbulnya permasalahan
baru dalam perusahaan. Sebab, Karyawan yang bekerja dengan rasa
tidak senang terhadap pekerjaannya akan menghasilkan pekerjaan
yang kurang baik. Oleh sebab itu, maka sewajarnya pihak manajemen
perusahaan, mempelajari berbagai kondisi yang dapat menjadi pemicu
terjadinya stres kerja atau disebut juga dengan stresor
L. Model Coping
Sejalan dengan definisi coping sebagai suatu proses, konsep ketiga dari
coping menjadi sangat penting, yang disebut coping strategy. Menurut Heinz
W. Krohne (1986), strategi mengacu pada berbagai tingkatan perilaku. Hal
itu merupakan konstruksi-konstruksi teoritis berupa tindakan tunggal, konkret
(yaitu dapat diamati), dan dihubungkan hanya atas dasar asumsi teoretis
mengenai suatu strategi yang spesifik. Ditinjau dari istilah strategi, tindakan-
tindakan tersebut berfungsi sebagai indikator empiris.
1. Model Lazarus Folkman
Menurut Lazarus & Folkman (1988), strategi coping terdiri
dari: (1) coping terfokus masalah, dan (2) coping terfokus emosi
(emotion-focused coping). Dalam coping terfokus masalah, individu
melakukan suatu tindakan yang diarahkan kepada pemecahan
masalah atau dengan mengubah situasi. Individu akan cenderung
menggunakan perilaku ini, apabila dirinya menilai situasi yang
dihadapinya masih dapat dikontrol, dan ia yakin dapat mengubah
situasi.
Cara tindakan dalam coping terfokus masalah meliputi tiga
cara: (1) planful problem solving, yaitu bereaksi dengan melakukan
usaha-usaha tertentu yang bertujuan untuk mengubah keadaan, diikuti
pendekatan analitis dalam menyelesaikan masalah. Contohnya, saya
mencoba untuk memulai suatu strategi tentang apa yang harus
dilakukan, atau saya berpikir keras mengenai langkah-langkah apa
yang harus diambil. (2) Confrontative coping, yaitu reaksi untuk
mengubah keadaan yang menggambarkan tingkat risiko yang harus
diambil. Contohnya, melakukan sesuatu walau tidak yakin akan
berhasil, tetapi setidaknya telah berbuat sesuatu, atau berusaha
menghubungi orang yang bertanggung jawab agar mengubah
keputusannya. (3) Seeking social support, yaitu bereaksi dengan
mencari dukungan dari pihak luar, baik berupa informasi, bantuan
nyata, maupun dukungan emosional. Contohnya: menerima simpati
dan pengertian dari orang lain, atau membicarakan masalah tersebut
pada seseorang yang dapat membantu secara konkret.
Kemudian pada coping terfokus emosi, individu melakukan
berbagai usaha yang bertujuan untuk memodifikasi fungsi emosi,
tanpa melakukan usaha mengubah stresor secara langsung. Dalam
strategi ini terdapat lima cara sebagai berikut.
a. Self controlling, yaitu bereaksi dengan melakukan regulasi, baik
dalam perasaan maupun tindakan. Contohnya: saya mencoba
untuk menyimpan perasaan saya untuk diri sendiri, atau tidak
merusak hal-hal yang mendukung saya dan membiarkan beberapa
alternatif kesempatan tetap terbuka.
b. Distancing, yaitu tidak melibatkan diri dalam permasalahan.
Contohnya: percaya pada nasib, terkadang saya mengalami
kesialan, atau berbuat biasa seolah tidak terjadi apa-apa.
c. Escape avoidance, yaitu menghindar atau melarikan diri dari
masalah yang dihadapi. Contohnya, tidur lebih lama dari biasanya
atau menghindar dari orang lain.
d. Accepting responsibility, yaitu bereaksi dengan menumbuhkan
kesadaran akan peran diri dalam permasalahan yang dihadapi, dan
berusaha mendudukkan segala sesuatu sebagaimana mestinya.
Contohnya, saya berjanji pada diri sendiri bahwa segala
sesuatunya akan berbeda di masa yang akan datang, atau
mengkritik diri sendiri.
e. Positive reappraisal, yaitu bereaksi dengan menciptakan makna
positif dalam diri, yang bertujuan untuk mengembangkan diri
termasuk melibatkan halhal yang religius. Contohnya, saya
mencari pertolongan Tuhan atau saya berdoa lebih sering dari
biasanya.
2. Model Matheny
Strategi coping selanjutnya telah dikembangkan oleh Matheny
et. al (1986) seperti dikutip Phillip L. Rice (1999), yaitu terdiri dari
combative coping strategies dan preventive coping strategies”.
Combative coping strategies adalah suatu reaksi perlawanan terhadap
beberapa stresor. Tujuannya adalah menghilangkan atau
menghentikan sumber stres. Cara yang dilakukan antara lain: (1)
memantau stresor dan gejalanya, (2) menyusun sumber daya, (3)
menyerang stresor misalnya dengan memecahkan masalah, perilaku
asertif, atau tegas, (4) toleran terhadap stresor misalnya melakukan
restrukturisasi kognitif, melakukan penolakan (denial), memfokuskan
kepada sensasi (sensation focusing), (5) menurunkan ketegangan
misalnya dengan relaksasi, melemaskan otot dan urat saraf, serta
meditasi.
Kemudian mengenai preventive coping strategies adalah
mencoba secara aktif untuk mencegah munculnya stresor. Tindakan
yang dilakukan misalnya: (1) menghindari stresor melalui
penyesuaian hidup, (2) menyesuaikan tingkat tuntutan, (3) mengubah
pola perilaku terhadap kemunculan stres, (4) mengembangkan sumber
coping dengan cara meningkatkan kemampuan fisik; meningkatkan
kemampuan psikologis misalnya meningkatkan rasa percaya diri;
keyakinan untuk mampu mengendalikan diri dan self esteem;
meningkatkan kemampuan kognitif misalnya keyakinan fungsional,
keterampilan mengelola waktu, dan kemampuan akademik; serta
kemampuan sosial misalnya dukungan sosial, keterampilan
bersahabat, dan kemampuan finansial.
3. Model George & Jones
Menurut George & Jones (2002), selain secara individual,
organisasi dapat juga membantu pekerja melakukan strategi coping
secara efektif dengan situasi yang stresful. Menurutnya, strategi
coping yang dapat dilakukan secara individual yang berfokus masalah
meliputi: (1) manajemen waktu, yang merupakan suatu strategi untuk
membantu pekerja yang mengalami masalah kelebihan beban kerja,
(overload) dan mengalami konflik antara pekerjaan dengan kehidupan
pribadinya, (2) mendapat pertolongan dari mentor, yaitu bantuan
berupa saran dan bimbingan jika individu mengalami konflik peran,
peran ambigu, beban berlebih, dan menghadapi tantangan, (3)
negoisasi peran, yaitu proses ketika pekerja mencoba merubah peran
terutama untuk mengurangi bertambah parahnya konflik peran, peran
ambigu, kelebihan beban, atau kekurangan beban.
Kemudian strategi coping yang berfokus emosi meliputi: (1)
latihan, yaitu kegiatan olahraga antara lain dengan joging, aerobik,
renang, tenis, dan jalan kaki. Latihan reguler dapat mengurangi stres,
meningkatkan fungsi kardiovaskuler, dan menjaga kesehatan, (2)
meditasi, yaitu proses mental untuk melatih pikiran dan perasaan,
agar terpusat pada satu objek yang diinginkan dengan melupakan
yang lainnya, (3) dukungan sosial, yaitu dukungan dari sahabat,
relasi, bawahan (coworker), dan orang lain yang mampu diajak
mendiskusikan masalah, memberi saran, dan lain-lain, (4) konseling
klinis, yaitu meminta bantuan tenaga ahli seperti psikolog dan
psikiater, untuk belajar bagaimana cara terbaik melakukan coping
terhadap stresor.
Strategi coping untuk organisasi yang berasal dari problem-
focused meliputi: (1) redesain dan rotasi kerja, yaitu menata kembali
pekerjaan misalnya dengan menambah otonomi untuk mengatasi
terjadinya konflik peran, atau memberikan umpan balik untuk
membantu mengurangi peran ambigu, (2) mengurangi ketidakpastian,
yaitu dengan memberi peluang partisipasi dalam pengambilan
keputusan dan komunikasi dalam organisasi, (3) keselamatan kerja,
yaitu meningkatkan kualitas lingkungan kerja sehingga tercipta
kondisi kerja yang aman dan selamat, (4) company day care, yaitu
menyediakan fasilitas kesehatan untuk anak-anak pekerja, (5) skedul
kerja yang fleksibel dan pembagian kerja, yaitu mengelola skedul dan
sharing kerja jika pekerja mengalami keadaan darurat. (6)
telecommuting, yaitu mengatur kapan pekerja perlu hadir ke kantor,
misalnya 3 hari di rumah dan 2 hari di kantor.
Organisasi dapat membantu pekerja melakukan coping
terhadap kondisi stresful yang berfokus pada emosi, yang meliputi:
(1) on-site exercise facilities, yaitu fasilitas latihan atau kelas di mana
pekerja dapat menggunakannya, sebelum bekerja, sesudah bekerja,
atau sebelum makan siang, (2) dukungan organisasi, (3) program
asistensi pekerja, yaitu menyediakan program asistensi untuk
konseling.
4. Model Arnold & Feldman
Strategi coping selanjutnya dikemukakan oleh Hug J. Arnold
& Daniel C. Feldman (1986) yang mengemukakan dua set strategi
coping (1) berfokus pada pekerjaan. Karyawan dapat menurunkan
stres secara langsung, dengan merubah kebiasaan kerja mereka atau
merubah lingkungan kerjanya, (2) berfokus pada emosi. Strategi ini
secara langsung tidak merubah lingkungan kerja, tetapi dapat
membantu karyawan dalam melakukan penyesuaian terhadap stres
secara mudah.
Strategi coping yang berfokus pada pekerjaan meliputi: (1)
klarifikasi peran, yaitu meminta kejelasan dari atasan tentang peran
yang diberikan dengan peran yang diharapkan, (2) manajemen waktu,
yaitu mengatur waktu sehingga aktivitas yang tidak penting dapat
dikurangi, (3) pendelegasian, yaitu mendelegasikan tugas dan
tanggung jawab kepada orang lain, misalnya pada bawahan, (4)
mencari berbagai informasi dan bantuan langsung, yaitu dilakukan
oleh karyawan baru untuk mengurangi kecemasan, (5) strategi kerja
sama, yaitu melakukan kerja sama dengan orang lain dalam situasi
yang sama. (6) datang dari pekerjaan, yaitu menyadari bahwa stresor
datang dari pekerjaan karena adanya kesenjangan, antara tuntutan
pekerjaan dengan kemampuan yang dimiliki.
Strategi coping yang berfokus emosi menurut Hug J. Arnold
& Daniel C. Feldman meliputi: (1) reduce perfectionism, yaitu
menyadari bahwa atasan, pekerjaan, dan lingkungan pekerjaan tidak
selamanya sempurna yang juga memiliki kekurangan, (2) increased
social support, yaitu meningkatkan dukungan dari sahabat dan kolega
untuk meningkatkan kepercayaan diri atau harga diri, (3) increased
tolerance of ambiguity, yaitu lebih toleran jika menghadapi peran
yang ambigu, (4) relaxation techniques, yaitu teknik untuk
menurunkan ketegangan otot, jantung, dan tekanan darah, (5) health
maintenance, yaitu memelihara kesehatan melalui program diet, tidur
yang cukup, dan jalan kaki yang ternyata dapat menurunkan tingkat
stres.
5. Model Kreitner & Kinicki
Strategi coping selanjutnya dikemukakan Robert Kreitner &
Angelo Kinicki (2008). Menurut mereka, strategi coping dicirikan
dengan kognisi dan perilaku tertentu, yang digunakan untuk
menyesuaikan dengan suatu situasi. Tiga pendekatan dalam
menghadapi stresor dan stres, yaitu (1) strategi kendali, (2) strategi
menghindar, dan (3) strategi manajemen simtom. Strategi kendali
yaitu strategi coping yang dilakukan dengan menggunakan perilaku
dan kognisi secara langsung, yang ditujukan untuk mengantisipasi
atau memecahkan masalah.
Strategi menghindar yaitu strategi coping dengan
menggunakan perilaku menghindar dari situasi stres, dan strategi
simtom manajemen, yaitu strategi coping yang difokuskan untuk
mengurangi gejala stres, misalnya dengan menggunakan metode
relaksasi, meditasi, medis, atau latihan mengelola simtom stres
jabatan.
Berdasarkan pembahasan di atas dapat disimpulkan bahwa stres kerja
merupakan suatu kondisi ketegangan yang mempengaruhi emosi, proses
berfikir dan kondisi seseorang dimana ia terpaksa memberikan tanggapan
melebihi kemampuan penyesuaian dirinya terhadap suatu tuntutan eksternal
(lingkungan) di sekitarnya. Stres yang terlalu besar dapat mengancam
kemampuan seseorang untuk menghadapi lingkungannya. Sebagai hasilnya,
pada diri para karyawan berkembang berbagai macam gejala stres yang dapat
mengganggu pelaksanaan kerja mereka.
Penyebab stres yang bersumber dari sebuah organisasi dan akan
berpengaruh pula terhadap organisasi tersebut pada dasarnya memang banyak
sekali. Misalnya yang terjadi pada pengurangan jumlah pegawai, hal itu
adalah salah satu penyebab dari stres yang bukan hanya bagi pegawai yang
kehilangan pekerjaan, bahkan bagi para pekerja yang tetap masih berada
dalam organisasi tersebut. Selanjutnya para pekerja yang masih tetap tinggal
akan merasa tidak aman dan tidak nyaman dilingkungan kerjanya,
peningkatan beban kerja baru dan lebih banyak lagi, serta kehilangan rekan
kerjanya. Kebijakan dari sebuah organisasi yang berpotensi juga
memunculkan stres seperti merger, privasi dan bentukbentuk lainnya.
Selain dipengaruhi oleh faktor-faktor yang bersumber dari luar
organisasi, stres kerja juga banyak dipengaruhi oleh faktor-faktor yang
berasal dari dalam organisasi. Oleh karenanya perlu disadari dan dipahami
keberadaannya. Pemahaman akan sumber-sumber stres yang disertai dengan
pemahaman terhadap cara-cara mengatasinya stres, adalah penting sekali bagi
karyawan dan siapa saja yang terlibat dalam organisasi demi kelangsungan
organisasi yang sehat dan efektif. Melalui manajemen stres kerja seorang
individu atau karyawan dapat belajar menanggulangi stres secara adaptif dan
efektif. Dengan manajemen stres, banyak cara yang dilakukan individu untuk
mengatasi atau meminimalisir terjadinya tingkat stres yang lebih tinggi
sehingga dapat menurunkan motivasi dan kinerja seseorang dalam bekerja.
Stres dalam pekerjaan dapat dicegah timbulnya dan dapat dihadapi
tanpa memperoleh dampaknya yang negatif. Manajemen stres lebih daripada
sekedar mengatasinya, yakni belajar menanggulanginya secara adaplif dan
efektif. Hampir sama pentingnya untuk mengetahui apa yang tidak boleh
dilakukan dan apa yang harus dicoba. Sebagian para pengidap stres di tempat
kerja akibat persaingan, sering melampiaskan dengan cara bekerja lebih keras
yang berlebihan. Ini bukanlah cara efektif yang bahkan tidak menghasilkan
apa-apa untuk memecahkan sebab dari stres, justru akan menambah masalah
lebih jauh. Sebelum masuk ke cara-cara yang lebih spesifik untuk mengatasi
stresor tertentu, harus diperhitungkan beberapa pedoman umum untuk
memacu perubahan dan penaggulangan. Pemahaman prinsip dasar, menjadi
bagian penting agar seseorang mampu merancang solusi terhadap masalah
yang muncul terutama yang berkait dengan penyebab stres di tempat kerja.
Strategi dalam menghadapi stres perlu dilakukan untuk meminimalisir
terjadinya stres. Strategi pertama, perlu dilakukan penilaian terhadap situasi
sumber-sumber stres, mengembangkan alternatif tindakan, mengambil
tindakan yang dipandang paling tepat, mengambil tindakan yang lebih
positif. Strategi kedua, dilakukan dengan mengendalikan berbagai reaksi baik
jasmaniah, emosional, maupun bentuk-bentuk mekanisme pertahanan diri.
Dalam membentuk mekanisme pertahanan diri dapat dilakukan dengan
berbagai cara. Misalnya menangis, menceritakan masalah kepada orang lain,
humor (melucu), istirahat dan sebagainya. Sedangkan dalam menghadapi
reaksi emosional, adalah dengan mengendalikan emosi secara sadar, dan
mcndapatkan dukungan sosial dari lingkungan. Strategi ketiga, dilakukan
dengan memperkuat diri sendiri, yaitu dengan lebih memahami diri,
memahami orang lain, mengembangkan ketrampilan pribadi, berolahraga
secara teratur, beribadah, pola-pola kerja yang teralur dan disiplin,
mengembangkan tujuan dan nilai-nilai yang lebih realistik.
Saat ini semakin banyak organisasi di sektor publik dan swasta yang
mengakui bahwa biaya untuk mengatasi stres sangat tinggi. Oleh karena itu,
kesadaran untuk menyediakan program manajemen stres bagi karyawan,
sebagai upaya untuk mengatasi masalah stres semakin meningkat.
Manajemen stres sangat bermanfaat karena dapat mempelajari berbagai
tingkat stres keseluruhan sehingga dapat diatasi. Dengan demikian,
kesehatan, hubungan dengan lingkungan sekitar, maupun kualitas hidup
dapat menjadi lebih baik.
Manajemen stres meliputi tiga pendekatan yang sering disebut dengan
Triple A, yaitu kesadaran (awareness), analisis (analysis), dan tindakan
(action). Pengelolaan stres kerja yang juga dapat dilakukan oleh manajemen
adalah merumuskan suatu kebijakan untuk membantu para karyawan
menghadapi berbagai kendala yang berhubungan dengan stres kerja. Upaya
individual dapat dilakukan dalam mengatasi dan mengurangi stres kerja
dengan cara beralih kehiburan (Karaoke, Game dan Futsal), refreshing
sejenak dengan keluar ruangan menghirup udara segar, kadang bincang –
bincang dengan dengan orang lain (bukan teman kantor) seperti istri atau
pacar, satpam, penjual yang berjualan disekitar kantor, dan menghabiskan
rokok lebih banyak dari biasanya. Upaya yang dapat di lakukan perusahaan
dalam mengatasi dan mengurangi stres adalah penawaran cuti, pemberian
tunjangan transportasi, tunjangan kakan, Bonus uang (THR atau Akhir
tahun), memberikan program BPJS Ketenagakerjaan dan BPJS Kesehatan,
evaluasi tiap 1 bulan sekali tiap –tiap divisi disertai dengan sharing
permasalahan yang dihadapi, menyediakan fasilitas kerja yang memadai,
menyediakan tempat rileks karyawan, pelaksanaan berbagai kegiatan yang
bersifat informal dan insidental yang merujuk pada tujuan peningkatan upaya
relaksasi bagi wartawan, seperti happy hours, afternoon tea, outbond
activities, tamasya keluarga, memberikan liburan, dan mengadakan event
santunan anak yatim dan pengajian.
DAFTAR PUSTAKA
Arismunandar, Nurhikmah. H & Wahed, Andi. 2021 Manajemen
Stres Kerja Guru. 2021. Badan Penerbit UNM.
Asih, Gusti Yuli., Widhiastuti, Prof. Dr. Hardani., Dewi,
Rusmalia. 2018. Stress Kerja. Semarang: Semarang
University Press.
Budiasa, I Komang. 2021. Beban Kerja dan Kinerja Sumber Daya
Manusia. Banyumas Jawa Tengah: CV. Pena Persada.
Ekawarna. 2018. Manajemen Konflik dan Stres. Jakarta: PT.
Bumi Aksara.
Hartini dkk. 2021. Perilaku Organisasi. Bandung: Widina
Bhakti.
Tewal, Bernhard., Adolfina and Pandowo, Merinda Ch. H. dan
Tawas, Hendra N. 2017. Perilaku Organisasi. Bandung:
CV. Patra Media Grafindo Bandung.
Widhiastuti, MM, Psikolog, Prof. Dr. Dra. Hardani., Asih, S.Psi,
M.Si , Gusti Yuli., Kurniawan , S.Psi, M.Psi, Psikolog,
Yudi. 2020. Mengelola Stres Pada Pekerjaan Yang
Beresiko Tinggi. Semarang: Semarang University Press.
Zakaria, Rialmi. 2021. Analisis Manajemen Konflik dan Stres.
Widina Bhakti Persada Bandung.