Anda di halaman 1dari 46

ANALISIS MANAJEMEN STRES

Manajemen kepegawaian dan sumber daya manusia sangat penting


bagi perusahaan dalam mengelola, mengatur dan memanfaatkan pegawai atau
karyawan sehingga dapat berfungsi secara produktif untuk tercapainya tujuan
perusahaan. Sumber daya manusia di perusahaan perlu dikelola secara
profesional agar terwujud keseimbangan antara kebutuhan pegawai dengan
tuntutan dan kemampuan organisasi perusahaan. Keseimbangan tersebut
merupakan kunci utama perusahaan agar dapat berkembang secara produktif
dan wajar.
Persaingan dan tuntutan profesionalitas kerja yang semakin tinggi
menimbulkan banyaknya tekanan-tekanan yang harus dihadapi karyawan
dalam lingkungan kerja. Selain tekanan yang berasal dari lingkungan kerja,
lingkungan perekonomian di Indonesia yang belum stabil akibat badai krisis
yang berkepanjangan juga potensial menimbulkan tekanan. Tekanan yang
timbul dan berkepanjangan terus-menerus berpotensi menimbulkan
kecemasan. The American Institute of Stres (2018) menemukan bahwa
stres di tempat kerja disebabkan 46% beban kerja, 28% isu hubungan antar
karyawan, 20% kehidupan pribadi, dan 6% jaminan kerja. Penelitian terkait
stres kerja telah banyak dilakukan, Alkubaisi (2015) dalam Budiasa (2021:4)
menyatakan stres kerja menuntut usaha ekstra pada kinerja individu yang
kadang tidak sebanding dengan kemampuan mereka sehingga hal ini
menyebabkan stres kerja dan tingkat tekanan dengan intensitas tergantung
pada kemampuan tiap individu.
Stres kerja di kalangan pekerja layak untuk mendapatkan perhatian
khusus. Fenomena diatas dapat disimpulkan bahwa SDM merupakan salah
satu faktor utama penentu keberhasilan suatu perusahaan. Namun, tingginya
beban kerja yang diberikan oleh perusahaan mengakibatkan beberapa
karyawan merasa kesulitan dalam menyelesaikan segala bentuk tugas dan
kewajibannya. Isu hubungan antar karyawan merupakan salah satu masalah
yang harus ditangani secara komprehensif, dengan cara mengkoordinasikan
antara fungsi-fungsi dalam satu kesatuan. Masalah yang berkaitan dengan
fungsi sumber daya manusia merupakan satu hal yang dianggap penting
dalam perusahaan. Salah satu permasalahan di organisasi adalah stres kerja.
Tuntutan beban kerja yang semakin kompleks disertai relationship
yang tidak harmonis di tempat kerja merupakan sumber utama timbulnya
stres pada pekerja. Stres kerja terjadi pada hampir semua karyawan, baik
karyawan pimpinan maupun karyawan non pimpinan. Kondisi kerja yang
lingkungannya tidak baik sangat potensial untuk menimbulkan stres bagi
karyawannya. Dari fenomena tersebut kami akan mengkaji konsep dasar
pengelolaan stres melalui pendekatan yang berorientasi pada proses untuk
pengurangan stres dan faktor yang berpengaruh secara internal maupun
eksternal.
A. Definisi Stres
Dampak yang merugikan dari adanya gangguan kecemasan
yang sering dialami oleh masyarakat dan angkatan kerja pada
khususnya disebut stres. Stres yang dialami penyebabnya tidak hanya
dari dalam perusahaan, karena masalah rumah tangga yang terbawa
ke pekerjaan dan masalah pekerjaan yang terbawa ke rumah dapat
juga menjadi penyebab stres kerja. Gibson (2004) dalam Zakaria
(2021:80) mengemukakan bahwa stres kerja digambarkan dalam
beberapa titik pandang, yaitu stres sebagai stimulus, stres sebagai
respon dan stres sebagai stimulus respon. Stres sebagai stimulus
merupakan pendekatan yang menitikberatkan pada lingkungan. Stres
sebagai stimulus memandang stres sebagai suatu kekuatan yang
menekan individu untuk memberikan tanggapan terhadap pemicu
stres. Pendekatan ini memandang stres sebagai konsekuensi dari
interaksi antara stimulus lingkungan dengan respon individu.
Tewal dkk (2021:138) menyatakan bahwa Stres as an adaptive
response, mediated by individual differences, that is a consequence of
any action, situation, or event that places special demands on a person
(Gibson,et.al, 2012:195). (Stres sebagai suatu tanggapan penyesuaian,
yang dimediasi oleh perbedaan-perbedaan individual, yang
merupakan suatu konsekuensi dari setiap tindakan, situasi, atau
bahkan peristiwa yang menetapkan permintaan khusus kepada
seseorang). Definisi yang sama dikemukakan oleh Ivancevich et,al
(2005:281) bahwa, stres as an adaptive response, moderated by
individual differences, that is a consequence of any action, situation,
or event that places special demands on a a person. (Stres sebagai
suatu tanggapan penyesuaian, yang dimediasi oleh perbedaan-
perbedaan individual, yang merupakan suatu konsekuensi dari setiap
tindakan, situasi, atau bahkan peristiwa yang menetapkan permintaan
khusus kepada seseorang). Job stres as “a condition arising from the
interaction of people and their jobs and characterized by changes
within people that force them to deviate from their normal
functioning” (Luthans, 2011:279). (Stres kerja sebagai suatu kondisi
yang muncul dari interaksi antara manusia dan pekerjaannya dan
dicirikan oleh perubahan manusia yang memaksa mereka untuk
menyimpang dari fungsi normal mereka).
Asih (2018:1) memperkuat pernyataan tersebut bahwa stres
sebagai akibat ketidakseimbangan antara tuntutan dan sumber daya
yang dimiliki individu, semakin tinggi kesenjangan terjadi semakin
tinggi juga stres yang dialami individu, dan akan mengancam. Stres
merupakan reaksi negatif dari orang-orang yang mengalami tekanan
berlebih yang dibebankan kepada mereka akibat tuntutan, hambatan,
atau peluang yang terlampau banyak, (Robbins dan Coulter, 2010:16).
Handoko (2001:200) mengungkapkan stres adalah suatu kondisi
ketegangan yang mempengaruhi emosi, proses berpikir dan kondisi
seseorang. Stres yang terlalu berlebihan dapat mengancam
kemampuan seseorang untuk menghadapi lingkungan. Stres
didasarkan pada asumsi bahwa yang disimpulkan dari gejala-gejala
dan tanda – tanda faal, perilaku, psikologikal dan somatik, adalah
hasil dari tidak/kurang adanya kecocokan antara orang (dalam arti
kepribadiannya, bakatnya, dan kecakapannya) dan lingkungannya,
yang mengakibatkan ketidakmampuannya untuk menghadapi
berbagai tuntutan terhadap dirinya secara efektif, (Fincham & Rhodes
dalam Munandar, 2001: 374). Stres kerja juga bisa diartikan sebagai
sumber atau stresor kerja yang menyebabkan reaksi individu berupa
reaksi fisiologis, psikologis, dan perilaku. Lingkungan pekerjaan
berpotensi sebagai stresor kerja. Stresor kerja merupakan segala
kondisi pekerjaan yang dipersepsikan karyawan sebagai suatu
tuntutan dan dapat menimbulkan stres kerja (Waluyo, 2009: 161).
Zaenal dkk (2014: 724) dalam Asih (2018:1) berpendapat stres
sebagai suatu istilah payung yang merangkumi tekanan, beban,
konflik, keletihan, ketegangan, panik, perasaan gemuruh, anxiety,
kemurungan dan hilang daya. Stres kerja adalah suatu kondisi
ketegangan yang menciptakan adanya ketidakseimbangan fisik dan
psikis, yang mempengaruhi emosi, proses berpikir, dan kondisi
seorang karyawan. Stres pada pekerjaan (Job stres) adalah
pengalaman stres yang berhubungan dengan pekerjaan (King, 2010:
277).
Stres kerja adalah perasaan tertekan yang dialami karyawan
dalam menghadapi pekerjaan (Mangkunegara, 2013: 155) dalam Asih
(2018:1). Pendapat ini didukung oleh Beehr dan Newman (dalam
Luthans, 2006: 441) dalam Asih (2018:1) yang mendefinisikan
mengenai stres kerja sebagai kondisi yang muncul dari interaksi
manusia dengan pekerjaannya serta dikarakteristikkan oleh manusia
sebagai perubahan manusia yang memaksa mereka untuk
menyimpang dari fungsi normal mereka. Bisa dikatakan bahwa stres
kerja adalah umpan balik atas atas diri karyawan secara fisiologis
maupun psikologis terhadap keinginan atau permintaan organisasi.
Stres kerja merupakan faktor-faktor yang dapat memberi tekanan
terhadap produktivitas dan lingkungan kerja serta dapat mengganggu
individu.
Stres menjadi perhatian dan sorotan global saat ini karena
dianggap sebagai akibat dari berbagai permasalahan sumber daya
manusia di dalam organisasi. Stres dapat mempengaruhi kinerja
karyawan dan menjadi masalah terbesar dalam dunia global saat ini
(An et al., 2020 dalam Budiasa, 2021:3). Stres merupakan bagian dari
kehidupan manusia, semua orang dipastikan pernah mengalami stres
dan semua pekerjaan dapat menyebabkan stres walau tentunya dengan
volume, intensitas dan tingkat yang berbeda-beda. Stres kerja adalah
stres yang berkaitan dengan pekerjaan, WHO mendefinisikan stres
kerja sebagai tanggapan orang-orang pada saat tuntutan dan tekanan
kerja tidak sesuai dengan pengetahuan dan kemampuan mereka dalam
mengatasinya (Ekawarna, 2018:142).
Dari beberapa pernyataan di atas dapat disimpulkan Stres adalah
reaksi yang tidak diinginkan orang terhadap tekanan berat atau jenis
tuntutan lainnya yang disebabkan oleh lingkungan kerja, dukungan
manajemen, beban kerja, dll. Stres adalah perubahan-perubahan
dalam kehidupan seseorang atau situasi yang mengancam yang
disebutkan di atas. Penyebab stres antar individu tidak dapat di
samakan karena adanya perbedaan persepsi. Dimana setiap individu
memiliki perbedaan makna dalam setiap situasi tertentu.

B. Coping Stres
Coping adalah suatu proses dimana individu mencoba untuk
mengelola jarak yang ada antara tuntutan-tuntutan (baik itu tuntutan
yang berasal dari individu maupun tuntutan yang berasal dari
lingkungan) dengan sumber-sumber daya yang digunakan dalam
menghadapi stresful (Lazarus & Folkman dalam Smet, 1994: 143
dalam Asih, dkk 2018: 58). Menurut Rasmun (2004:29) dalam Asih,
dkk (2018: 58) coping adalah proses yang dilalui oleh individu dalam
menyelesaikan situasi stresfull, coping tersebut adalah merupakan
respon individu terhadap situasi yang mengancam dirinya baikfisk
maupun psikologis. Ahli lain yang mengemukakan tentang coping
adalah Matheny dkk (dalam Safaria, 2012: 97) dalam Asih, dkk
(2018: 58) yang mendefinisikan coping sebagai segala usaha, sehat
maupun tidak sehat, positif maupun negatif, usaha kesadaran atau
ketidaksadaran, untuk mencegah, menghilangkan, atau melemahkan
stresor, atau untuk memberikan ketahanan terhadap dampak stres.
Coping pada dasarnya adalah salah satu jenis pemecahan masalah.
Prosesnya melibatkan pengelolaan situasi yang berlebihan,
meningkatkan usaha untuk menyelesaikan permasalahan-
permasalahan kehidupan, dan mencari cara untuk mengalahkan stres
atau menguranginya.
Coping yang dilakukan individu pun tidak selalu langsung
mengatasi masalah (problem focused), tetapi bisa pula hanya
mengurangi emosi negatif yang muncul (emotion focused). Untuk
upaya semacam ini, Lazarus menyetarakannya dengan reaksi yang
bersifat emosional (distres, negative emotional response). Setelah
melakukan reaksi-reaksi tersebut, individu bersangkutan kemudian
melakukan evaluasi kembali, untuk melihat apakah upaya yang telah
dilakukan tersebut dinilai berhasil atau belum. Langkah ini membuat
individu membuat penilaian kembali (secondary appraisal), apakah
emosi yang tidak menyenangkan tersebut telah berkurang, dan apakah
masalah yang dihadapi telah teratasi atau belum.

Berdasarkan uraian tersebut, dapat diambil kesimpulan bahwa


coping stres adalah suatu usaha yang dilakukan oleh individu dalam
mengelola tuntutan-tuntutan baik tuntutan internal maupun eksternal
untuk memberikan ketahanan terhadap dampak stres yang berupa
dampak fisiologis, emosional, kognitif, interpersonal, dan
organisasional.
Keberhasilan suatu upaya yang telah dilakukan untuk mengatasi
tekanan bukan berarti terhentinya perilaku coping, karena stresor
mungkin saja tetap ada atau kembali ada. Pada umumnya, perilaku
coping yang dinilai berhasil akan kembali dilakukanjika individu
mengalami tekanan yang sama atau serupa. Sebaliknya, kegagalan
individu dari suatu perilaku coping tertentu kemudian menjadi
‘possibly stres event’, untuk dinilai kembali oleh individu
bersangkutan apakah kegagalan itu kemudian menjadi ancaman
tersendiri bagi dirinya.
Upaya coping bukan hanya dipengaruhi oleh beberapa hal yang
bersifat internal, tetapi juga oleh sumber daya eksternal. Sumber daya
eksternal yang meliputi dukungan sosial, stresor kehidupan yang lain,
dan stresor yang berwujud misalnya kemampuan keuangan dan
ketersediaan waktu. Mereka yang memiliki sumber daya lebih baik,
misalnya pendidikan yang lebih tinggi, keadaan keuangan yang lebih
baik, disertai banyak sahabat ternyata dapat meningkatkan
kemampuan coping sehingga memiliki daya tahan yang lebih tinggi
terhadap stres.
Suatu keberhasilan dalam upaya coping dapat melepaskan
seseorang dari bahaya, menghilangkan perasaan tidak nyaman,
memberikan perasaan bahagia, bangga, dan lega. Apa yang dilakukan
pada suatu coping tergantung pada situasi yang dihadapi, tujuan, dan
keyakinan seseorang, dan hasil yang segera dapat dirasakan. Suatu
coping harus bersifat fleksibel dan sesuai dengan kebutuhan agar
berhasil. Oleh karena itu, coping bukanlah sekadar seperangkat
strategi yang siap dipakai, tetapi merupakan pola yang berubah-ubah
dan bersifat responsif terhadap apa yang terjadi.
Dalam Zakaria (2021:91) Coping berasal dari kata cope yang
dapat diartikan menghadang, melawan ataupun mengatasi (Muta’adin,
2002). Perilaku coping merupakan suatu tingkah laku dimana individu
melakukan interaksi dengan lingkungan sekitarnya dengan tujuan
menyelesaikan tugas atau masalah (Chaplin, 2006). Taylor (2012)
mendefinisikan coping sebagai pikiran dan perilaku yang digunakan
untuk mengelola tuntutan internal dan eksternal dari situasi yang
menekan. Coping merupakan usaha-usaha baik kognitif maupun
perilaku yang bertujuan untuk mengelola tuntutan lingkungan dan
internal, serta mengelola konflik-konflik yang mempengaruhi
individu melampaui kapasitas individu (Folkman, 1984). Strategi
Coping merupakan suatu proses individu berusaha untuk menangani
dan menguasai situasi stres yang menekan akibat masalah yang
sedang dihadapinya, dengan cara melakukan perubahan kognitif
maupun perilaku guna memperoleh rasa aman dalam dirinya
(Mu’tadin, 2002).
Sedangkan (Lazarus & Folkman dalam Smet, 1994: 143) dalam
Asih (2021:58) menyatakan Coping adalah suatu proses dimana
individu mencoba untuk mengelola jarak yang ada antara tuntutan-
tuntutan (baik itu tuntutan yang berasal dari individu maupun tuntutan
yang berasal dari lingkungan) dengan sumber-sumber daya yang
digunakan dalam menghadapi stresful. Menurut Rasmun (2004:29)
coping adalah proses yang dilalui oleh individu dalam menyelesaikan
situasi stresfull, coping tersebut adalah merupakan respon individu
terhadap situasi yang mengancam dirinya baikfisk maupun psikologis.
Ahli lain yang mengemukakan tentang coping adalah Matheny dkk
(dalam Safaria, 2012: 97) yang mendefinisikan coping sebagai segala
usaha, sehat maupun tidak sehat, positif maupun negatif, usaha
kesadaran atau ketidaksadaran, untuk mencegah, menghilangkan, atau
melemahkan stresor, atau untuk memberikan ketahanan terhadap
dampak stres. Coping pada dasarnya adalah salah satu jenis
pemecahan masalah. Prosesnya melibatkan pengelolaan situasi yang
berlebihan, meningkatkan usaha untuk menyelesaikan permasalahan-
permasalahan kehidupan, dan mencari cara untuk mengalahkan stres
atau menguranginya
Dari beberapa pengertian coping yang telah dikemukakan di
atas dapat disimpulkan bahwa coping merupakan: (1) respon perilaku
dan fikiran terhadap stres; (2) penggunaan sumber yang ada pada diri
individu atau lingkungan sekitarnya; (3) pelaksanaannya dilakukan
secara sadar oleh individu; dan (4) bertujuan untuk mengurangi atau
mengatur konflik-konflik yang timbul dari diri pribadi dan di luar
dirinya (internal or external conflict), sehingga dapat meningkatkan
kehidupan yang lebih baik. Perilaku coping dapat juga dikatakan
sebagai transaksi yang dilakukan individu untuk mengatasi berbagai
tuntutan (internal dan eksternal) sebagai sesuatu yang membebani dan
mengganggu kelangsungan hidupnya. Strategi coping bertujuan untuk
mengatasi situasi dan tuntutan yang dirasa menekan, menantang,
membebani dan melebihi sumberdaya (resources) yang dimiliki.
Coping di harapkan bisa mengelola tuntutan-tuntutan baik tuntutan
internal maupun eksternal untuk memberikan ketahanan terhadap
dampak stres yang berupa dampak fisiologis, emosional, kognitif,
interpersonal, dan organisasional.

1. Jenis-jenis Strategi Coping


Jenis-jenis Strategi Coping dalam buku Asih (2018:59) sebagai
berikut:
a. Emotion Focused Coping
Menurut Taylor (dalam Smet, 1994: 145) emotional focused
coping digunakan untuk mengatur respon emosional terhadap
stres. Pengaturan ini melalui perilaku individu, seperti
penggunakan alkohol, peniadaan fakta-fakta yang tidak
menyenangkan, melalui strategi kognitif. Bila individu tidak
mampu mengubah kondisi yang stresfull, individu akan
cenderung untuk mengatur emosinya.
Lazarus (dalam Santrock, 2003:566) mendefinisikan
emotion focused coping sebagai strategi penanganan stres dimana
individu memberikan respon terhadap situasi stres dengan cara
emosional, terutama dengan menggunakan penilaian defensif.
Emotion focused coping merujuk pada berbagai upaya untuk
mengurangi berbagai reaksi emosional negatif terhadap stres.
Contohnya dengan mengalihkan perhatian dari masalah,
melakukan relaksasi, atau mencari rasa nyaman dari orang lain
(Lazarus & Folkman dalam Davison, dkk 2006 : 275).
Pada coping yang berfokus pada emosi, orang berusaha
segera mengurangi dampak stresor atau menari diri dari
situasi.Coping yang berfokus pada emosi tidak menghilangkan
stresor ata tidak juga membantu individu dalam mengembangkan
cara yang lebih baik untuk mengatur stresor (Lazarus dan
Folkman, dalam Nevid, dkk., 2005: 144).
b. Problem Focused Coping
Taylor (dalam Smet, 1994:145) menyatakan problem focused
coping digunakan untuk mengurangi stresor, individu akan
mengatasi dengan mempelajari cara-cara atau keterampilan-
keterampilan yang baru. Individu akan cenderung menggunakan
strategi ini, bila dirinya yakin akan dapat mengubah situasi.
Metode atau fungsi masalah ini lebih sering digunakan oleh para
dewasa. Pada coping yang berfokus pada masalah, orang menilai
stresor yang dihadapi dan melakukan sesuatu untuk mengubah
stresor atau memodifikasi reaksi individu untuk meringankan
efek dari stresor tersebut (Lazarus dan Folkman, dalam Nevid,
dkk., 2005: 144-145).
Lazarus (dalam Santrock, 2003:566) mendefinisikan problem
focused coping sebagai strategi kognitif untuk penanganan stres
atau coping yang digunakan oleh individu yang menghadapi
masalahnya dan berusaha menyelesaikannya. Problem focused
coping mencakup bertindak secara langsung untuk mengatasi
masalahatau mencari informasi yang relevan dengan solusi
(Lazarus & Folkman dalam Davison, dkk 2006 : 275).
Menurut Lazarus (Siswanto 2007 : 60) dalam Asih (2018:60)
coping dibagi menjadi dua jenis,yaitu :
1. Tindakan langsung (direct action) Coping jenis ini adalah
setiap usaha tingkah laku yang dijalankan oleh individu untuk
mengatasi kesakitan atau luka, ancaman atau tantangan dengan
cara mengubah hubungan yang bermasalah dengan lingkungan.
Ada empat macam coping jenis tindakan langsung:
a. Mempersiapkan diri untuk menghadapi luka
b. Agresi
c. Penghindaran (avoidance)
d. Apati
2. Peredaan atau peringanan (palliation)
Jenis coping ini mengacu pada mengurangi atau menghilangkan
dan menoleransi tekanan-tekanan ketubuhan atau fisik, motorik
atau gambaran afeksi dari tekanan emosi yang dibangkitkan oleh
lingkungan yang bermasalah. Atau bisa diartikan bahwa bila
individu menggunakan jenis coping ini, posisinya dengan
masalah relative tidak berubah, yang berubah adalah diri
individu, yaitu dengan cara merubah persepsi atau reaksi
emosinya. Ada dua macam coping jenis peredaran (palliation):
a. Diarahkan pada gejala (symptom directed modes)
b. Cara intra psikis (Intrapsychicmodes).
Dari beberapa teori yang disampaikan oleh beberapa ahli,
strategi coping yang dilakukan individu dapat berupa coping yang
berpusat pada masalah (problem focused form of coping
mechanism/direct action) dan coping yang berpusat pada emosi
(emotion focused of coping/palliatif form).
2. Mekanisme coping
Mekanisme coping yang berpusat pada masalah adalah:
a. Konfrontasi adalah usaha-usaha untuk mengubah keadaan atau
menyelesaikan masalah secara agresif dengan menggambarkan
tingkat kemarahan serta pengambilan resiko.
b. Isolasi yaitu ndividu berusaha menarik diri dari lingkungan atau
tidak mau tahu dengan masalah yang dihadapi.
c. Kompromi yaitu mengubah keadaan secara hati-hati, meminta
bantuan kepada keluarga dekat dan teman sebaya atau bekerja
sama dengan mereka.
a. Mekanisme coping yang berpusat pada emosi adalah sebagai
berikut:
b. Denial yaitu menolak masalah dengan mengatakan hal
tersebut tidak terjadi pada dirinya.
c. Rasionalisasi yaitu menggunakan alasan yang dapat diterima
oleh akal dan diterima oleh orang lain untuk menutupi
ketidakmampuan dirinya. Dengan rasionalisasi kita tidak
hanya dapat membenarkan apa yang kita lakukan, tetapi juga
merasa sudah selayaknya berbuat demikian secara adil.
d. Kompensasi yaitu menunjukkan tingkah laku untuk menutupi
ketidakmampuan dengan menonjolkan sifat yang baik, karena
frustasi dalam suatu bidang maka dicari kepuasan secara
berlebihan dalam bidang lain. Kompensasi timbul karena
adanya perasaan kurang mampu.
e. Represi yaitu dengan melupakan masa-masa yang tidak
menyenangkan dari ingatannya dan hanya mengingat waktu-
waktu yang menyenangkan.
f. Sublimasi yaitu mengekspresikan atau menyalurkan perasaan,
bakat atau kemampuan dengan sikap positif.
g. Identifikasi yaitu meniru cara berfikir, ide dan tingkah laku
orang lain.
h. Regresi yaitu sikap seseorang yang kembali ke masa lalu atau
bersikap seperti anak kecil.
i. Proyeksi yaitu menyalahkan orang lain atas kesulitannya
sendiri atau melampiaskan kesalahannya kepada orang lain.

C. Beban Kerja
Organisasi profit maupun non-profit memiliki tujuan sesuai
keahlian yang dimiliki dan sudah disusun secara pasti dan bersifat riil.
Keahlian suatu organisasi tercermin dari keahlian tiap anggotanya.
Oleh sebab itu, tiap anggota harus mampu mencapai sasaran serta
tujuan yang telah dibuat lewat tujuan yang telah disusun dengan jelas.
Namun setiap anggota akan merasa tertekan oleh organisasi yang
tidak realistis, dan apabila kondisi sebaliknya dari kondisi itu terjadi
akan merangsang timbulnya stres. Contohnya beban kerja yang terlalu
banyak serta menumpuk nantinya akan bisa menimbulkan stres.
Penting dalam mengatur serta mengendalikan program kerja yang
baik dan efisien untuk menggunakan metode dan cara pengerjaan
suatu tugas kerja. Apabila dilakukan penataan tugas kerja dari yang
mudah ke yang lebih susah maka beban kerja yang menumpuk bisa
diselesaikan sedikit demi sedikit. Hal itu akan membantu untuk
mengatasi masalah ini sehingga mayoritas dari pegawai/karyawan
tidak lagi merasa enggan untuk melaksanakan pekerjaan maupun
tugas dan tanggung jawab kerja yang menumpuk (Q.Badu & Djafri,
2017 dalam Hartini dkk, 2021:56).
Stres dalam hidup mendorong kita untuk menyesuaikan atau
mengubah beberapa aspek perilaku yang akan dilakukan. Ketika tidak
berhasil melakukan penyesuaian atau perubahan ini, kita sering
menemukan diri kita mengalami sejumlah efek samping atau tanda
dan gejala yang tidak menyenangkan. Salah satu factor utama yang
mempengaruhi stres kerja adalah beban kerja dimana pembagian
tugas yang berlebihan, tekanan dan sikap pimpinan terhadap target
kerja yang kurang adil dan tidak wajar. French dan Caplan
(Hastutiningsih, 2019) dalam Budiasa (2021:5) membedakan beban
kerja menjadi dua, kuantitatif yang mengacu pada banyaknya
pekerjaan yang harus dilakukan dan kualitatif yang mengacu pada
tingkat kesulitan suatu pekerjaan.
Beban kerja dan stres kerja telah lama menjadi bahan penelitian
para ahli. Hasil penelitian Shabbir dan Naqvi (2017) menjelaskan
bahwa beban kerja dan kompleksitas kerja memiliki dampak positif
dan signifikan terhadap stres kerja, sementara stres kerja memiliki
dampak negatif pada kinerja. Sementara Alkubaisi (2015)
menyatakan bahwa beban kerja berdampak positif dan signifikan
terhadap stres kerja karyawan sektor perbankan di Qatar. Hasil
senada juga ditemukan dalam penelitian yang dilakukan oleh
Hatmawan (2015), Angwen (2017) dan Zulmaidarleni et al. (2019)
menyatakan bahwa beban kerja memiliki pengaruh positif dan
signifikan terhadap stres kerja. Namun penelitian dengan hasil yang
berbeda ditemukan oleh Putri dan Rahyuda (2019) di UKM Kota
Denpasar yang mendapati beban kerja memiliki pengaruh negatif dan
signifikan terhadap stres kerja. Hasil penelitian tidak signifikan antara
beban kerja dan stres kerja ditemukan dalam penelitian Lestari dan
Ratnasari (2018) dan Susiarty et al. (2019).
Dampak lain yang ditimbulkan beban kerja selain stres kerja
adalah berpengaruh terhadap kinerja karyawan. Penelitian Priyanto
(2018) menyatakan bahwa beban kerja berpengaruh terhadap kinerja
Pendamping Program Keluarga Harapan Kota Manado. Penelitian
lain dengan hasil serupa juga dilakukan Harini et al. (2018),
Tjahjaningsih et al. (2019), Siswanto et al. (2019) dan Susiarty et al.
(2019) hasil penelitian menyatakan antara beban kerja memiliki
pengaruh signifikan dan positif terhadap kinerja. Hasil berbeda
diperoleh Gozali (2016) dan Akob (2016) yang menyatakan beban
kerja berlebih memiliki pengaruh negatif dan signifikan terhadap
kinerja. Penelitian Putri dan Rahyuda (2019) dan Hastutiningsih
(2019) juga menyatakan bahwa beban kerja memiliki pengaruh
negatif terhadap kinerja. Hasil kontradiktif diperoleh dalam penelitian
Chandra dan Adriansyah (2017) dan Johari et al. (2018) menyatakan
bahwa beban kerja tidak berpengaruh terhadap kinerja. Hasil-hasil
penelitian tersebut menunjukkan adanya hasil yang tidak konsisten
antara pengaruh beban kerja terhadap kinerja.
Beban kerja dan stres kerja merupakan faktor yang berasal dari
dalam individu yang mampu membentuk dan berpengaruh terhadap
kinerja karyawan. Selain dari faktor internal, faktor dari eksternal
individu juga merupakan faktor penentu dari kinerja karyawan,
seperti fasilitas kerja atau iklim organisasi.

D. Sumber Stres
Salah satu permasalahan dalam mengkaji pemicu stres pada
tingkat organisasi mengidentifikasi sumber-sumber mana yang paling
berarti. Stres lainnya adalah budaya organisasi. Para top manajemen
yang telah membangun karakter dari organisasi secara luas akan
menjadikannya sebagai budaya organisasi. Sumber stres bagi banyak
karyawan bisa terjalin apabila sikap politik pada level atas
organisasinya yang tidak baik. Kualitas pengembangan karier
seseorang dalam organisasi akan berpengaruh terhadap minimnya
aspek dari lingkungan untuk peluang berkarier (Tewal et al., 2017
dalam Hartini dkk, 2021:63).
Griffin dan Moorhead (Susiarty et al., 2019 dalam Budiasa,
2019:23) menyatakan ada empat penyebab stres di tempat kerja
sebagai berikut.
1. Lingkungan Fisik
Stres ini mengacu kepada kondisi fisik dalam lingkungan
karyawan. Penyebab stres pada lingkungan fisik antara lain cahaya,
suara, suhu dan udara.
2. Individu
Stres ini bersumber dari peran yang dimainkan dan tugas-tugas
yang harus diselesaikan sehubungan dengan posisi atau pekerjaan.
Termasuk didalam sumber stres dari sumber individu antara lain
konflik peran, ambiguitas peran, beban kerja berlebih, tidak adanya
kontrol, tanggung jawab dan kondisi kerja.
3. Kelompok
Dipengaruhi sifat hubungan antar kelompok dalam organisasi,
misalnya ketidakpercayaan terhadap rekan kerja, hubungan yang
tidak baik dengan rekan kerja, atasan atau bawahan.
4. Organisasi
Stres ini bersumber dari keinginan-keinginan organisasi
sehubungan dengan usaha mencapai tujuan organisasi. Stres yang
bersumber dari organisasi berupa struktur organisasi yang tidak
bagus, iklim organisasi, teknologi, masalah politik dan tidak
adanya kebijakan khusus.
Asih (2018:18) menyatakan Penyebab stres “off-the-job” antara lain:
a. Kekuatan finansial
b. Masalah-masalah yang bersangkitan dengan anak
c. Masalah-masalah fisik
d. Masalah-masalah perkawinan (seperti perceraian)
e. Perubahan-perubahan yang terjadi di tempat tinggal
f. Masalah-masalah pribadi lainnya, seperti kematian sanak saudara.
Cooper (dalam Asih (2018:18) faktor yang memengaruhi stres
kerja diantaranya :
a. Stresor kondisi pekerjaan
Seperti beban kerja berlebihan secara kuantitatif dan kualitatif,
keputusan yang dibuat oleh seseorang, bahaya fisik, jadwal
bekerja.
b. Stresor stres peran
Ketidakjelasan peran, adanya bias dalam membedakan gender
dan stereotype peran gender; pelecehan seksual
c. Stresor faktor interpersonal
Meliputi hasil kerja dan dukungan sosial yang buruk, persaingan
politik, kecemburuan sosial, kemarahan, dan kurangnya perhatian
manajemen terhadap karyawan.
d. Stresor perkembangan karir
Seperti promosi jabatan yang lebih rendah dari kemampuannya,
promosi jabatan yang lebih tinggi dari pada kemampuannya,
keamanan pekerjaannya, ambisi yang berlebihan sehingga
mengakibatkan frustrasi.
e. Stresor struktur organisasi
Meliputi struktur yang kaku dan tidak bersahabat, pertempuran
politik, pengawasan dan pelatihan yang tidak seimbang,
ketidakterlibatan dalam membuat keputusan.
f. Stresor tampilan rumah pekerjaan
Seperti mencampurkan masalah pekerjaan dengan masalah
pribadi, kurangnya dukungan dari pasangan hidup, konflik
pernikahan, stres karena memiliki dua pekerjaan.
Hurrell, dkk (dalam Munandar, 2014: 381) mengungkapkan
bahwa faktor pembuat stres dalam lingkungan kerja adalah sebagai
berikut:
a. Faktor-faktor intrinsik dalam pekerjaan, diantaranya:
1) Tuntutan fisik (bising, paparan, getaran, hygiene)
2) Tuntutan tugas (sift kerja, beban kerja berlebih ataukah
sedikit) atau workload
b. Peran individu dalam organisasi, meliputi:
1) Konflik peran:
a) Pertentangan antara tugas-tugas yang di lakukan dengan
tanggung jawab yang di miliki
b) Tugas-tugas yang harus di lakukan yang menurut
padangannya bukan merupakan bagian dari pekerjaannya.
c) Tuntutan-tuntutan yang bertentangan dari atasan, rekan,
bawahan, atau orang lain yang dinilai penting bagi
seseorang.
d) Pertentangan dengan nilai-nilai keyakinan pribadinya
sewaktu melaksanakan tugasnya.
2) Ketidakjelasan peran, meliputi:
a) Ketidakjelasan dari sasaran-sasaran
b) Kesamaran tentang tanggung jawab
c) Ketidakjelasan tentang prosedur kerja
d) Kesamaran tentang apa yang diharapkan
e) Ketidakpastian tentang unjuk-kerja pekerjaan
3) Pengembangan karier, meliputi faktor:
a) Peluang untuk menggunakan jabatan sepenuhnya
b) Peluang untuk menggunakan ketrampilan yang baru
c) Penyuluhan karier untuk memudahkan
keputusankeputusan menyangkut karier. Adapun hal-hal
yang termasuk di dalamnya adalah job insecurity, over
dan under promotion.
c. Hubungan dalam pekerjaan Hubungan yang baik dengan
kelompok kerja dianggap sebagai faktor utama dalam menjaga
kesehatan organisasi.
d. Struktur dalam organisasi Sejauh mana tenaga kerja dapat
terlibat atau berperan serta pada support.
e. Tuntutan dari luar pekerjaan Meliputi isu-isu tentang keluarga,
krisis kehidupan, kesulitan keuangan, keyakinan pribadi,
konflik, tuntutan perusahaan, ini semuanya adalah faktor
diluar pekerjaan yang menjadi sumber stres.
f. Ciri-ciri individu.
Beberapa hasil studi menemukan bahwa penyebab stres di
tempat kerja terjadi akibatkan dari ketidakseimbangan antara
karakteristik kepribadian karyawan dengan karakteristik aspek
pekerjaan yang terjadi pada kondisi kerja. Sejalan dengan
meningkatnya stres kinerja cenderung naik karena stres membantu
karyawan untuk mengarahkan segala sumber daya dalam memenuhi
kebutuhan kerja, stres adalah suatu rangsangan sehat yang mendorong
para karyawan untuk menanggapi tantangan pekerjaan. Akhirnya stres
mencapai titik stabil yang kira-kira sesuai dengan kemampuan
prestasi karyawan. Selanjutnya, bila stres menjadi terlalu besar,
kinerja akan mulai menurun karena stres mengganggu pelaksanaan
pekerjaan. Karyawan kehilangan kemampuan untuk
mengendalikannya. Akibat yang paling ekstrem adalah kinerja
menjadi nol, karyawan, menjadi tidak kuat lagi bekerja, putus asa,
keluar atau menolak bekerja untuk menghindari stres.

E. Lingkungan Kerja
Sedarmayanti (2011: 21) mendefinisikan lingkungan kerja
merupakan keseluruhan alat perkakas dan bahan yang dihadapi,
lingkungan sekitarnya dimana seseorang bekerja, metode kerjanya serta
pengaturan kerjanya baik sebagai perseorangan maupun sebagai
kelompok. Lingkungan kerja adalah sesuatu yang ada disekitar para
pekerja dan yang mempengaruhi dirinya dalam menjalankan tugas-
tugas yang dibebankan (Nitisemito dalam Erawati et al., 2019).
Lingkungan kerja merupakan salah satu pertimbangan karyawan dalam
bekerja, karyawan akan mampu melaksanakan pekerjaannya dengan
baik apabila ditunjang oleh kondisi lingkungan baik.
Stres yang terlalu berlebihan dapat mengancam kemampuan
seseorang untuk menghadapi lingkungan. Mengulas keterkaitan antara
lingkungan kerja dengan stres kerja, terdapat beberapa perbedaan
kajian empiris yang dilakukan oleh para ahli sebelumnya, bahwa
lingkungan kerja memiliki pengaruh yang kontradiktif dengan stres
kerja seperti dikemukakan Kristanti (2017). Dapat diartikan bahwa
lingkungan yang baik akan dapat menurunkan stres kerja dari
karyawan. Sejalan dengan itu penelitian lain dari Putra dan Rahyuda
(2015), Angwen (2017), Bahri et al. (2018), Zulmaidarleni et al.
(2019), Susiarty et al. (2019), Putri dan Rahyuda (2019) menyatakan
bahwa lingkungan kerja mempunyai pengaruh negatif dan signifikan
terhadap stres kerja. Hasil berbeda diperoleh dari• penelitian Hatmawan
(2015) dengan hasil lingkungan kerja tidak berpengaruh signifikan
terhadap stres kerja pegawai PT. PLN (Persero) Area Madiun Rayon
Magetan, faktor lingkungan kerja bukan merupakan dasar
pertimbangan bagi karyawan dalam melaksanakan tugas tapi karyawan
lebih mempertimbangkan konflik dan beban kerja dalam menjalankan
tugasnya.
Lingkungan kerja merupakan salah satu pertimbangan karyawan
dalam bekerja, karyawan akan mampu melaksanakan kegiatannya
dengan baik untuk mencapai suatu hasil optimal, apabila ditunjang oleh
suatu kondisi lingkungan kerja yang sehat, aman dan nyaman. Sutrisno
(2019: 118) menguraikan lingkungan kerja adalah keseluruhan sarana
dan prasarana kerja yang ada disekitar karyawan yang sedang
melakukan pekerjaan, memiliki pengaruh terhadap pelaksanaan
pekerjaan. Sedangkan Sedarmayanti (2011: 21) mendefinisikan
lingkungan kerja sebagai keseluruhan alat perkakas dan bahan yang
dihadapi, lingkungan sekitarnya dimana seseorang bekerja, metode
kerjanya, serta pengaturan kerjanya baik sebagai perorangan atau
kelompok. Nitisemito (Al-Omari dan Okasheh, 2017) menyatakan
lingkungan kerja adalah semua yang ada disekitar pekerja yang dapat
mempengaruhi hasil pekerjaan tersebut. Mangkunegara (2015: 17)
menyebutkan lingkungan kerja antara lain uraian jabatan yang jelas,
target kerja yang menantang, pola komunikasi kerja yang efektif, iklim
kerja dan fasilitas kerja yang relatif memadai. Lingkungan pekerjaan
berpotensi sebagai stresor kerja. Stresor kerja merupakan segala kondisi
pekerjaan yang dipersepsikan karyawan sebagai suatu tuntutan dan
dapat menimbulkan stres kerja (Waluyo, 2009: 161).
Lingkungan kerja dapat dikelompokan menjadi dua yakni
lingkungan internal dan lingkungan eksternal (Marwansyah, 2019: 11).
Lingkungan internal merupakan faktor atau kondisi yang berada di
dalam organisasi yang mempengaruhi organisasi tersebut. Sedangkan
lingkungan eksternal merupakan kekuatan diluar organisasi, yang
berperan dalam mendorong keberhasilan suatu organisasi dalam upaya
mencapai tujuannya (Hatmawan, 2015).
Sedangkan Sedarmayanti (2011: 21) dalam Budiasa (2021:41)
menyatakan lingkungan kerja terbagi menjadi dua, sebagai berikut.
1. Lingkungan Kerja Fisik
Lingkungan kerja fisik adalah semua keadaan berbentuk fisik yang
terdapat disekitar tempat kerja yang dapat mempengaruhi pegawai
baik secara langsung maupun tidak langsung. Lingkungan kerja
fisik dapat dibagi menjadi dua kategori.
a. Lingkungan kerja langsung berhubungan dengan pegawai
seperti pusat kerja, kursi, meja, dan sebagainya.
b. Lingkungan perantara atau lingkungan umum dapat juga
disebut lingkungan kerja yang mempengaruhi kondisi
pegawai misalnya temperatur, kelembaban, sirkulasi udara,
pencahayaan, kebisingan, getaran mekanik, bau tidak sedap,
warna dan lain-lain.
2. Lingkungan Kerja Non Fisik
Semua keadaan berkaitan dengan hubungan kerja, baik hubungan
dengan atasan, maupun hubungan dengan sesama rekan kerja
ataupun hubungan dengan bawahan. Perusahaan hendaknya dapat
mewujudkan suatu kondisi yang mendukung kerja sama antar
karyawan, atasan dan bawahan. Kondisi lingkungan kerja non fisik
sebagai berikut.
a. Faktor lingkungan sosial
Lingkungan sosial sangat berpengaruh terhadap kinerja
karyawan salah satunya latar belakang keluarga, yaitu antara
status keluarga, jumlah keluarga, tingkat kesejahteraan dan
lain-lain.
b. Faktor status sosial Semakin tinggi jabatan seorang pekerja
dalam organisasi maka semakin tinggi kewenangan dan
keleluasaan dalam mengambil keputusan.
c. Faktor hubungan kerja dalam perusahaan
Hubungan kerja dalam perusahaan adalah hubungan kerja
antara karyawan dengan karyawan dan antara karyawan
dengan atasan.
d. Faktor sistem informasi
Hubungan kerja akan dapat berjalan dengan baik apabila
ada komunikasi yang baik diantara anggota dalam
perusahaan. Dengan komunikasi yang baik di lingkungan
organisasi maka anggota organisasi akan berinteraksi, saling
memahami, saling mengerti satu sama lain menghilangkan
perselisihan salah paham
Berdasarkan pernyataan di atas lingkungan kerja kerja merupakan
segala sesuatu yang ada disekitar pegawai pada saat bekerja, baik
berbentuk fisik atau non fisik, langsung atau tidak langsung, yang dapat
mempengaruhi diri dan pekerjaan karyawan saat bekerja. Lingkungan
kerja yang nyaman dapat meningkatkan kepuasan dan loyalitas kerja
karyawan melebihi gaji dan tunjangan. Namun, lingkungan kerja yang
tidak nyaman dapat menyebabkan konflik antar pegawai, dan tuntutan
instansi yang menimbulkan masalah yaitu kurangnya gaji untuk
menutupi kebutuhan pegawai.

F. Indikator Stres
Tingginya tuntutan pekerjaan yang harus di selesaikan dalam
kurun waktu tertentu yang tidak di seimbangkan dengan reward yang
diberikan untuk pegawai dapat menimbulkan stres. Pada umumnya
stres kerja lebih banyak merugikan karyawan maupun perusahaan
atau organisasi. Pada diri karyawan, konsekuensi tersebut dapat
berupa menurunnya gairah kerja, kecemasan yang tinggi, frustasi dan
sebagainya. Konsekuensi pada karyawan ini tidak hanya berhubungan
aktivitas kerja saja, akan tetapi dapat meluas ke aktivitas lain di luar
pekerjaan.
Stres akan membawa konsekuensi terhadap organisasi, meliputi
penurunan dalam kinerja, penarikan diri, dan perubahan sikap yang
negative. Penurunan kinerja karywan akan berdampak buruk pada
kualitas dan penurunan produktivitas. Disini kami akan mengkaji hal
apa saja menjadi indikator stres. (Wibowo, 2019: 192 dalam Budiasa
(2021:26)) menjadikan indikator dalam penilaian stres kerja sebagai
berikut.
1. Tuntutan tugas (Task Demands)
Merupakan faktor yang dikaitkan pada pekerjaan seseorang
seperti kondisi kerja, tata kerja dan letak fisik.
2. Tuntutan peran (Role Demands)
Berhubungan dengan tekanan yang diberikan pada seorang
karyawan sebagai suatu fungsi dari peran tertentu yang
dimainkan dalam suatu organisasi. Tuntutan peran ini dapat
menimbulkan terjadinya role ambiguity, role conflict.
3. Tuntutan antar pribadi (Interpersonal Demands)
Merupakan tekanan yang diciptakan oleh rekan kerja dalam satu
organisasi.

4. Struktur Organisasi
Gambaran instansi yang diwarnai dengan struktur organisasi yang
tidak jelas, kurangnya kejelasan mengenai jabatan, peran,
wewenang, dan tanggung jawab.
5. Kepemimpinan Organisasi
Memberikan gaya manajemen pada organisasi. Beberapa pihak
didalamnya dapat membuat iklim organisasi yang mengakibatkan
suatu ketegangan, ketakutan dan kecemasan
Sedangkan Gibson et al. (Erawati et al., 2019) menyatakan stres
kerja dapat diukur menggunakan indikator sebagai berikut.
1. Tekanan Individu
Terdiri dari konflik peran (role conflict), ambiguitas peran (role
ambiguity), beban kerja yang berat, beban tanggung jawab, tidak
adanya kemajuan karir, minimnya desain pekerjaan.
2. Tekanan Kelompok
Adanya hubungan kurang baik antara seorang individu dengan
rekan kerja
3. Tekanan Lingkungan Fisik
Tekanan tersebut biasanya berhubungan dengan keadaan
lingkungan fisik yang dapat menimbulkan tekanan pada individu,
misalnya lampu penerangan yang suram, kegaduhan, temperatur
yang panas, polusi udara.
4. Tekanan Keorganisasian Menyangkut sampai sejauh mana
pengetahuan orang, pendapat dan gagasannya dimasukkan dalam
proses pengambilan keputusan.

Indikator stres kerja menurut Robbins dan Judge (Erawati et al.,


2019).
1. Indikator psikologis, meliputi perasaan resah dan gelisah,
kecemasan dan ketegangan, mudah marah, kebosanan, hilangnya
konsentrasi, hilangnya kreativitas, tidak komunikatif, banyak
melamum dan lelah mental
2. Indikator fisiologis, meliputi meningkatnya detak jantung dan
tekanan darah , fisik mudah lelah, sakit kepala, sering berkeringat,
gangguan pernafasan dan gangguan tidur.
3. Indikator perilaku, meliputi menunda atau menghindari pekerjaan,
perilaku sabotase, perilaku makan yang tidak normal, menurunya
hubungan dengan rekan kerja dan meningkatnya perilaku negatif.
Beberapa sudut pandang yang berkaitan dengan indikator stres
kerja dapat di simpulkan sebagai implikasi dari suatu proses
pencapaian hasil yang di pengaruhi oleh beberpa faktor internal dan
eksternal. Dalam lingkungan kerja indikator stres di pengaruhi oleh
kondisi pekerjaan, hubungan interpersonal antara atasan dan
bawahan, kesempatan pengembangan karir, kejelasan pembagian
wewenang atau beban kerja dari masing-masing karyawan. Apabila
kondisi lingkungan kerja dan beban kerja tidak seimbang maka
mengakibatkan ketimpangan tanggungjawab antara atasan dan
bawahan sehingga karyawan akan mengalami kecemasan yang
berlebih atau biasa kita sebut dengan stres.

G. Dampak Stres pada Karyawan


Semua orang dan pada semua pekerjaan berkesempatan untuk
mengalami stres, stres tidak selalu memiliki dampak negatif yang
disebabkan sesuatu yang tidak baik namun stres juga mempunyai sisi
yang positif, pada tingkatan tertentu justru dapat meningkatkan
kinerja seseorang. Stres dapat meningkatkan emosi, mengurangi
kemampuan berpikir rasional, dan mengganggu pengambilan
keputusan. Menyadari bagaimana stres memengaruhi seseorang dan
bagaimana sistem merespons stres dan belajar mengenali gejala stres
dapat sangat membantu dalam mengendalikan stres. Stres dalam
hidup mendorong kita untuk menyesuaikan atau mengubah beberapa
aspek perilaku yang akan dilakukan. Ketika tidak berhasil melakukan
penyesuaian atau perubahan ini, kita sering menemukan diri kita
mengalami sejumlah efek samping atau tanda dan gejala yang tidak
menyenangkan. Tanda-tanda dan gejala-gejala ini semua merupakan
indikasi dari tingkat stres yang tidak sehat.
Disini kami akan mengkaji menganai good stres/ eustres" (stres
yang baik) dan "bad stres/ distres" (stres yang negatif atau buruk). kita
tahu bahwa stres itu tidak baik bagi kesehatan, apalagi jika terlalu
banyak. tapi ternyata, terlalu sedikit juga bukanlah sesuatu yang ideal.
riset mengatakan bahwa sedikit mengalami stres baik bagi kesehatan
anda dan tidak selalu buruk. hal ini disebut dengan "good stress/
eustres" atau "stres yang baik/ positif". Berney dan Selye (Dewi,
2012:107) dalam Asih dkk (2018:4) menyatakan Eustres (good stres)
Merupakan stres yang menimbulkan stimulus dan kegairahan,
sehingga memiliki efek yang bermanfaat bagi individu yang
mengalaminya. Contohnya Seperti: tantangan yang muncul dari
tanggung jawab yang meningkat, tekanan waktu, dan tugas erkualitas
tinggi. Sedangkan Quick dan Quick (dalam Waluyo, 2009: 161)
dalam Asih dkk (2018: 6) memperkuat Eustres, sebagai respon positif
yang bersifat sehat, positif, dan konstruktif (bersifat membangun).
Hal tersebut termasuk kesejahteraan individu dan juga organisasi
yang diasosiasikan dengan pertumbuhan, fleksibilitas, kemampuan
adaptasi, dan tingkat performance yang tinggi.
Stres kerja yang memiliki dampak positif yang menguntungkan
diharapkan akan memacu karyawan untuk dapat menyelesaikan
pekerjaan dengan sebaik-baiknya. Stres kerja karyawan yang
berdampak positif terhadap organisasi, antara lain :
1. Memiliki motivasi kerja yang tinggi. Stres kerja yang dialami
karyawan menjadi motivator, penggerak dan pemicu kinerja di masa
selanjutnya.
2. Rangsangan untuk bekerja keras, dan timbulnya inspirasi
untuk meningkatkan kehidupan yang lebih baik dan memiliki tujuan
karir yang lebih panjang,
3. Memiliki kebutuhan berprestasi yang lebih kuat sehingga
lebih mudah untuk menyimpulkan target atau tugas sebagai tantangan
(challenge), bukan sebagai tekanan.
Dalam hal ini stres bukan sesuatu yang selalu merusak, buruk
atau dihindari. Eustres tidak merusak atau buruk, tetapi merupakan
sesuatu yang perlu dicari, bukannya dihindari. Stres tidak dapat
dielakkan, kuncinya adalah bagaimana kita menangani stres.
Contohnya, banyak professional memandang tekanan sebagai beban
kerja yang berat dan tenggat waktu yang mepet sebagai tantangan
positif yang menaikkan mutu pekerjaan mereka. Stres bisa positif bisa
negatif. Para peneliti berpendapat bahwa stres tantangan, atau stres
yang menyertai tantangan di lingkungan kerja, beroperasi berbeda
dari stres hambatan, atau stres yang menghalangi dalam mencapai
tujuan. Terkadang memang dalam satu organisasi sengaja diciptakan
adanya suatu tantangan, yang tujuannya membuat karyawan lebih
termotivasi untuk segera menyelesaikan pekerjaannya. Dengan cara
memberikan waktu yang terbatas.
Meskipun setiap orang mengalami stres secara berbeda, beberapa
gejala umum termasuk kesulitan tidur; kenaikan berat badan atau
penurunan berat badan, sakit perut, sifat lekas marah, penggilingan
gigi, serangan panik, sakit kepala, kesulitan berkonsentrasi, tangan
atau kaki berkeringat, maag, tidur berlebihan, isolasi sosial, kelelahan,
mual, merasa kewalahan, dan perilaku obsesif atau kompulsif (The
American Institute of Stres, 2018 dalam Yuan, dkk (2020:187)).
Dalam hal ini Quick dan Quick (dalam Waluyo, 2009: 161)
dalam Asih dkk (2018: 6) menyatakan Distres, yaitu hasil dari respon
terhadap stres yang bersifat tidak sehat, negative, dan destruktif
(bersifat merusak). Hal tersebut termasuk konsekuensi individu dan
juga organisasi seperti penyakit kardiovaskular dan tingkat
ketidakhadiran (absenteeism) yang tinggi, yang diasosiasikan dengan
keadaan sakit, penurunan, dan kematian.

H. Gejala Stres Pada Karyawan


Beberapa dampak negatif yang ditimbulkan oleh stres kerja dapat
berupa menurunnya tingkat produktivitas karyawan yang selanjutnya
bisa berdampak pada kurang efektifnya organisasi, masalah kepuasan
kerja karyawan, dan meningkatnya ketidakhadiran (Tewal dkk,
2017:145).
Everly dan Girdano (dalam Munandar, 2014: 378) dalam Asih
dkk (2018:10), mengatakan gejala-gejala stres akan mempunyai
dampak pada suasana hati (mood), otot kerangka (musculoskeletal)
dan organorgan dalam badan (vesceral). Gejala - gejala distres yaitu:
a. Ciri-ciri suasana hati (mood)
1) Menjadi overexcited
2) Cemas
3) Merasa tidak pasti
4) Sulit tidur pada malam hari (somnabulisme)
5) Menjadi mudah bingung dan lupa
6) Menjadi sangat tidak-enak (uncomfortable) dan gelisah
(ill at ease), menjadi gugup (nervouse).
b. Ciri-ciri otot kerangka (musculoskeletal)
1) Jari-jari dan tangan gemetar
2) Tidak dapat duduk diam atau berdiri di tempat
3) Mengembangkan tic (gerakan tidak sengaja)
4) Kepala mulai sakit
5) Merasa otot menjadi tegang atau kaku
6) Menganggap jika berbicara
7) Leher menjadi kaku
c. Ciri-ciri organ-organ dalam badan (vesceral)
1) Perut terganggu
2) Merasa jantung berdebar
3) Banyak berkeringat
4) Tangan berkeringat
5) Merasa kepala ringan atau akan pingsan
6) Mengalami kedinginan (cold chills)
7) Wajah menjadi “panas”
8) Mulut menjadi kering
9) Mendengar bunyi berdering dalam kuping
10) Mengalami rasa akan tenggelam dalam perut (sinking
filling).
Gejala stres menurut (Maramis & Maramis, 2009: 85) adalah
sebagai berikut:
a. Merasa gelisah dan tidak dapat bersantai
b. Mudah marah seperti akan meledak bila ada sesuatu yang
berjalan tidak sesuai dengan kemauan.
c. Ada waktu-waktu dengan perasaan sangat lelah atau lelah
yang berkepanjangan
d. Sukar konsentrasi
e. Kehilangan minat terhadap rekreasi yang sebelumnya dapat
dinikmati dan sudah biasa dilakukan.
f. Menjadi khawatir mengenai hal-hal yang sebenarnya tidak
dapat diselesaikan dengan perasaan khawatir saja.
g. Bekerja berlebihan, meski tidak seluruhnya efektif.
h. Makin lama makin banyak pekerjaan yang dibawa pulang ke
rumah
i. Makin banyak merokok atau makin banyak minum minuman
keras dibandingkan dengan sebelumnya.
j. Berulang kali merasa kehilangan perspektif atau merasa masa
depan suram mengenai apa yang sebenarnya penting dalam
pekerjaan dan keluarga atau mungkin juga dalam hidup.
Terdapat 9 gejala stres menurut Lukaningsih dan Bandiyah
(2011: 71-75):
a. Nyeri otot
Serangan stres bisa berupa rasa sakit dan nyeri di otot leher.
Stres akan mempengaruhi system musculoskeletal yang
menimbulkan ketegangan, kontraksi otot, dan kejang pada
otot. Bila mengalami gejala stres yang berkaitan dengan otot,
cobalah ambil nafas dalam-dalam sebanyak 5-10 kali dan
focus pada relaksasi daerah yang tegang pada tubuh. Untuk
ketegangan di leher, coba memutar lembut leher atau meminta
orang terdekat untuk mengusuk bahu dengan cepat.
b. Mata berkedut
Kondisi temporer yang sering terjadi akan sangat mengganggu
dan mengkhawatirkan, dan ini bisa dipicu oleh stres dengan
kondisi yang dikenal sebagai “blefarospasme”. Cara mengatasi
mata berkedut, dengan menutup mata dan membayangkan
tempat yang paling membahagiakan. Selain itu istirahatkan
mata dari pandangan terfokus, lakukan peregangan setiap 20
menit dengan melihat ke luar jendela pada lanskap yang lebih
luas.
c. Gigit kuku
Kuku atau bagian lain di jari terlihat buruk akibat sering
digigit merupakan ciri-ciri mereka yang suka gugup.
Kebiasaan menggigit kuku merupakan pengalihan yang sering
dilakukan perempuan untuk menyalurkan stres dengan
mengganggu diri sendiri dengan apa yang dikenal sebagai
kepuasan oral. Untuk bisa menghentikan kebiasaan ini, dengan
menyalurkannya pada benda lain seperti bola kecil yang bisa
diketuk-ketuk atau diputar-putar untuk membantu
mengeluarkan stres.
d. Rongga
Mengulur waktu untuk perawatan gigi merupakan cara cepat
membuat gigi berlubang, namun stres bisa juga menjadi
penyebabnya. Ada kebiasaan untuk menggerutukan gigi pada
siang atau malam hari, sebagai kebiasaan perempuan untuk
menelan rasa stres mereka. Perilaku ini tentu saja menjadi
rentan terhadap kesehatan gigi dan cenderung merusak gigi.
Pengalihan kecemasannya pada pena dan kertas. Sisihkan
waktu untuk menuliskan masalah serta melihatnya kembali
secara objektif dalam warna hitam dan putih, dan kemudian
menuliskan beberapa solusinya.
e. Ruam
Kulit bisa menjadi barometer terbaik terhadap tingkat stres.
Stres dapat menyebabkan ruam, biasanya berupa bintik-bintik
erah atau gatal-gatal di perut, punggung, lengan, dan
wajah.Bila merasa tingkat stres meningkat, letakkan tangan
tepat di atas pusar. Setiap kali menarik nafas, ikuti gerakan
tarikan nafas, lakukan nafas panjang dalam-dalam 5-10 kali
secara berkala sepanjang hari.
f. Mual
Stres bias mengganggu perut, dan mual dapat merupakan
produk sampingan dari rasa khawatir. Untuk mengatasinya,
biarkan air hangat melindas jari-jari, hal ini akan memberikan
rasa nyaman.
g. Kantuk
Hormone stres menyebabkan tubuh melonjak dengan adrenalin
dan kemudian menyebabkan kantuk. Stres juga akan merusak
kualitas tidur, sehingga ketika bangun akan merasa lelah dan
mudah marah. Cara mengatasi dengan tidur lebih awal, atau
tidur siang 30 menit, serta jangan merasa bersalah
melakukannya. Ada produktivitas besar dalam istirahat, sebab
akan dapat memulihkan kondisi dan focus individu
h. Lupa
Stres kronis secara harfiah dapat mengecilkan ukuran
hippocampus, yang bertanggungjawab untuk kolom memori di
kepala. Tetapi ukuran itu akan kembali normal setelah stres
berkurang. Supaya otak tetap berfungsi optimal, pergilah
jalan-jalan, berlari menaiki tangga atau menari sejenak sambil
mendengarkan lagu favorit. Latihan seperti ini membuat otak
tajam dan bahkan bisa membantu menghadapi saat-saat stres
di masa depan.
i. Kebingungan
Stres menyebabkan gangguan konsentrasi dan menurunnya
focus. Hormone stres yang menjadi penyebabnya. Untuk
mengembalikan fokus, dengan cara berjalan-jalan di udara
terbuka. Sinar matahari bisa membantu melepaskan serotonin
tubuh untuk meningkatkan suasana hati dan vitamin D
membantu meningkatkan kekebalan tubuh.
Stres telah disebut sebagai silent killer karena dapat
menyebabkan penyakit jantung, tekanan darah tinggi, nyeri dada,
detak jantung yang tidak teratur, menyebabkan kenaikan berat badan,
dan meningkatkan kemungkinan terjadinya pembekuan darah
(Chilnick, 2008 dalam Yuan, dkk (2020:187)), kerontokan rambut
dan menyebabkan kerusakan pada arteri dan organ (McEwen dan
Seeman, 2003 dalam Yuan, dkk (2020:187)), penyebab masalah
infertilitas pada wanita sedangkan pada pria dapat mengurangi jumlah
sperma dan menyebabkan disfungsi ereksi (Bouchez, 2018),
memperburuk jerawat dan lebih dari prevalensi kulit berminyak
(Warner dan April, 2002), dan untuk waktu yang lama dapat
mengecilkan, merusak dan membunuh sel-sel otak (Wallenstein,
2003). McGonigal (2016) dalam Yuan, dkk (2020:187)., Hidayati dan
Harsono (2021) dalam Yuan, dkk (2020:187) mengemukakan bahwa
stres dapat ditinjau secara negatif ketika individu tidak mampu
mengatasi situasi yang tidak menyenangkan. Disamping itu, stres
dapat ditinjau secara positif ketika individu diberikan tekanan atau
tantangan berupa target tertentu sehingga individu tersebut akan
mempersiapkan dirinya dengan lebih baik. Stres ketika digunakan
pada waktu yang tepat akan meningkatkan kesadaran dan
meningkatkan kinerja fisik dalam waktu singkat (Van Duyne, 2003
dalam Yuan, dkk (2020:187)).
Berdasarkan beberapa gejala stres kerja di atas maka dapat
disimpulkan bahwa gejala stres kerja meliputi gejala fisik, gejala
psikis, dan gejala perilaku. Pengaruh yang tidak selalu tampak, tetapi
serius adalah pengaruh masalah fisik seperti penyakit jantung yang
akan berdampak terhadap perusahaan. Sebenarnya tidak semua
penyakit jantung dapat dihubungakan secara langsung dengan stres
kerja, kondisi lingkungan, faktor genetik, serta sejarah medis
seseorang tampaknya bias member kontribusi. Tingkat stres yang
tinggi akan disertai dengan kemarahan, kecemasan, depresi, gelisah,
cepat marah, tegang, dan bosan. Dampak stres yang paling kuat akan
muncul tidakan seperti agresi, sabotase, agresi antar pribadi, dan
permusuhan. Penyakit fisik akibat stres mempunyai pengaruh yang
drastis terhadap individu. Pengaruhnya tidak selalu tampak, tetapi
serius, seperti adanya penyakit jantung, yang bisa berdampak pada
organisasi. Serangan jatung dan psikologis bisa dipicu oleh adanya
stres dan konflik, meskipun tiap orang akan memberikan reaksi yang
berbeda, namun pengaruh negatif terhadap kinerja, sama besarnya
dengan masalah psikologis, atau bahkan lebih buruk.

I. Tingkatan Stres
Karyawan yang mengalami distres secara mental dan fisik
dikarenakan jam kerja yang panjang akan mengalami beban kerja
yang berlebihan. Beban kerja berlebihan akan menghasilkan masalah
kesehatan seperti terluka karena pekerjaa, kecelakaan kerja, dan
penyakit kardiovaskular, dan masalah mental seperti depresi dan
kecemasan. Dalam hubungannya dengan tempat kerja, stres dapat
timbul pada beberapa tingkat, berjajar dari ketidakmampuan bekerja
dengan baik dalam peranan tertentu karena kesalahpahaman atasan
atau bawahan. Atau bahkan dari sebab tidak adanya ketrampilan
(khususnya ketrampilan manajemen) hingga sekedar tidak menyukai
seseorang dengan siapa harus bekerja secara dekat. Robbins dan
Judge (2019) dalam Yuan, dkk (2020:183) menyatakan tingkatan stres
terdiri dari tingkatan sebagai berikut:
1. Tingkat stres very low dimana individu cenderung untuk tetap
mempertahankan tingkat tampilan kerjanya
2. Tingkat stres medium dimana stres pada kondisi ini berfungsi
sebagai tantangan sehingga individu cenderung termotivasi
untuk meningkatkan tampilan kerjanya.
3. Tingkat stres high akan menguras energi individu dan mulai
adanya upaya untuk mengurangi stres.
Robbins dan Judge (2019: 434) dalam Budiasa (2021:25)
menyatakan dampak stres dilihat pada tiga kategori.
1. Physiological Akibat stres pada fisik yang mudah dikenali,
misalnya sejumlah penyakit yang disinyalir disebabkan oleh stres
yang berkepanjangan.
2. Psychological Dampak stres dari aspek psikis dapat dikenali secara
langsung seperti ketidakpuasan kerja, depresi, keletihan, murung
dan kurang semangat yang pada akhirnya akan menurunkan kinerja.
3. Behavior Dampak stres dapat dikenali dari perilaku seseorang
seperti kinerja rendah, tingkat kecelakaan kerja, kesalahan dalam
pengambilan keputusan, tingkat absensi yang tinggi dan agresif di
tempat kerja.
Sejalan dengan penjelasan di atas, Chandra Patel (Ekawarna,
2018: 204), menyebutkan bahwa dampak dari stres kerja dilihat dari
empat aspek yakni: mental, emosional, fisik dan perilaku. Dari sisi
yang berbeda, Swagerina (Hastutiningsih, 2019 dalam Budiasa,
2021:25) mendefinisikan dampak stres menjadi dua jenis sebagai
berikut.
1. Constructive Stres
Berpengaruh positif terhadap individu dan organisasi, hal ini
ditunjukkan dengan meningkatnya usaha, merangsang kreativitas
dan meningkatnya semangat kerja.
2. Destructive Stres
Berpengaruh negatif terhadap individu atau organisasi, yang
ditunjukkan oleh penurunan kinerja, penurunan terhadap
kemampuan fisik dan mental seseorang bahkan dapat berpotensi
terhadap ketidakpuasan akan sesuatu.
Dari dua jenis stres di atas digambarkan bahwa Constructive
Stres berdampak langsung terhadap kinerja individu, karena merupakan
suatu rangsangan yang mendorong karyawan untuk menanggapi
tantangan pekerjaan. Jika tantangan kerja tidak ada maka stres juga
tidak ada yang membuat kinerja menurun, sehingga stres kerja dapat
mencapai titik stabil yang sesuai dengan kemampuan karyawan.
Sebaliknya jika stres kerja terlalu besar sehingga mengakibatkan
individu mengalami Destructive Stres, stres yang dapat mengganggu
pekerjaan, individu akan kehilangan kemampuan untuk
mengendalikannya. Hal ini berdampak kepada penurunan kinerja,
keputusasaan, karyawan tidak kuat bekerja bahkan ada upaya
penolakan atau keluar dari pekerjaan
Stres kerja yang dialami oleh karyawan dapat menimbulkan
dampak positif dan bahkan dampak negatif bagi karyawan yang
bersangkutan dan bagi organisasi. Semua itu tergantung pada kondisi
psikologis dan sosial seorang karyawan, sehingga reaksi terhadap setiap
kondisi stres sangat berbeda. Stres di lingkungan kerja memang tidak
dapat dihindari, namun stres kerja dapat dikurangi atau dikelola
sehingga tidak menganggu pekerjaan. Stres kerja apabila dikelola
dengan baik dapat menjadi pendorong dan meningkatkan intensitas
kerja, sedangkan apabila tidak dikelola dengan baik stres kerja akan
menimbulkan permasalahan yang berdampak negatif bagi individu dan
organisasi.

J. Manajemen Stres
Stres ditempat kerja atau disebuah organisasi bukanlah suatu hal
yang baru. Untuk mempertahankan pengendalian dirinya di area
lingkungan kerja seorang karyawan harus memiliki manajemen stres
kerja yang efisien sehingga masalah-masalah yang timbul bisa
diterima bagaikan tantangan dan bukan sebagai ancaman. Hasil riset
menemukan bahwa komunikasi interpersonal serta kecerdasan
emosional mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap manajemen
stres. Di dalam manajemen stres, jika komunikasi interpersonal dalam
organisasi dapat dijalin secara efisien maka ketegangan yang
dirasakan oleh para karyawan akibat dari kondisikondisi yang
memengaruhi dirinya dapat diminimalisir, baik yang didapat dari
dalam atau dari area luar . Dengan adanya komunikasi interpersonal
yang dibuat dengan efisien, stres bukan hanya dapat dikendalikan
namun mampu juga dipandang sebagai sebuah tantangan.
Manajemen stres kerja memiliki peran dalam membantu individu
mengatasi stres yang dialami. Dari kata manajemen mengandung
pengertian mengarahkan, mengatur, mengorganisasikan, mengelola
atau mengatasi. Dalam konteks manajemen, stres kerja dapat
ditafsirkan sebagai upaya untuk menurunkan stres kerja individu
dengan mengatasi suber-sumber penyebabnya.
Manajemen stres berarti berusaha secara efektif untuk mengatasi
gangguan atau kekacauan mental dan emosional yang muncul karena
tanggapan (respons). Adapun tujuan dari manajemen stres adalah
mencegah timbulnya stres dari karyawan, menampung akibat
fisiologikal dari stres, untuk memperbaiki kualitas hidup karyawan
agar menjadi lebih baik, serta untuk mencegah berkembangnya stres
jangka pendek menjadi stres jangka panjang atau stres yang kronis.
(Marliani, 2015: 281 dalam Asih, 2018:69).
Sampai saat ini berbagai program manajemen stres telah
diperkenalkan oleh para pakar kesehatan kerja dan industry. Akan
tetapi, masih banyak program yang memiliki kelemahan karena
cakupan program tidak memuat aspek perbaikan kondisi kerja. Selain
itu informasi-informasi mencakup mekanisme perubahan dalam tubuh
yang diharapkan terjadi setelah diaplikasikannya program atau
dampak dari stres kerja secara biologi akan member acuan untuk
dapat mengukur dampak stres kerja melalui pengukuran secara
objektif serta bermanfaat untuk dapat melakukan penanganan secara
dini. Ketika individu berhadapan dengan tekanan, maka ada beberapa
pilihan yang dapat dipilih yaitu: menyerah (keluar dari pekerjaan),
bertahan dalam kondisi yang penuh dengan tekanan, serta bangkit
atau bertumbuh. Oleh karena itu individu atau karyawan perlu
melakukan manajemen stres.
Pemahaman prinsip dasar, menjadi bagian penting agar seseorang
mampu merancang solusi terhadap masalah yang muncul terutama
yang berkait dengan penyebab stres di tempat kerja. Berdasarkan Gale
Encyclopaedia of Medicine (2008), Linden (2012), Elkin (2013),
Hales, dan Hales (2016), Chen (2019), Lehrer dan Woolfolk, et al.
(2021) dapat disimpulkan bahwa manajemen stres adalah seperangkat
teknik dan program yang dimaksudkan untuk membantu orang
mengatasi stres secara lebih efektif dalam hidup mereka dengan
menganalisis pemicu stres tertentu dan mengambil tindakan positif
untuk meminimalkan efeknya.
Berdasarkan Mack, (2017), The American Psychological
Association (2018), Davis (2019), Gobin (2019), Seaward (2019),
Shores (2021) dapat dinyatakan bahwa manajemen stres untuk setiap
individu pada prinsipnya dapat dilakukan dengan cara sebagai berikut:
1. Pahami stres yang terjadi pada diri setiap individu terkait dengan
bagaimana setiap individu mengalami stres yang jelas akan berbeda
untuk semua individu. Dengan memahami seperti apa stres bagi
setiap individu maka akan lebih siap dan melakukan berbagai
tindakan antisipasi manajemen stres saat dibutuhkan.
2. Identifikasi sumber stres setiap individu terkait dengan apa yang
menyebabkan setiap individu mengalami stres baik itu factor
pekerjaan, keluarga, perubahan, atau berbagai pemicu stres
potensial lainnya.
3. Belajar mengenali sinyal stres dimana setiap individu akan
memproses stres secara berbeda sehingga penting untuk menyadari
gejala stres individu seperti sakit kepala, sakit perut atau berbagai
kombinasi dari berbagai gejala stres sebagaimana diuraikan
sebelumnya.
4. Kenali strategi stres setiap individu terkait dengan apa yang
dilakukan untuk menenangkan diri.
5. Terapkan strategi manajemen stres yang sehat seperti berlatih
meditasi atau buat mengobrol dengan rekan kerja atau rekan sosial
lainnya.
6. Melakukan perawatan diri sebagai prioritas dengan meluangkan
waktu untuk diri sendiri, menempatkan kesejahteraan diri sendiri di
atas orang lain seperti tidur yang cukup, makanan, waktu istirahat
yang cukup, dan olahraga yang cukup.
7. Mintalah dukungan saat dibutuhkan jika merasa kewalahan dengan
menghubungi teman, anggota keluarga yang dapat diajak bicara
atau berbicara dengan profesional kesehatan guna mengurangi stres
dan membantu dalam mempelajari strategi manjemen stres yang
lebih sehat.
Perusahaan atau organisasi dapat melakukan manajemen stres
menurut Wright, Perry, et al (2021), Greenberg (2020), Nagoski dan
Nagoski (2020), Olpin dan Hesson (2020), White (2018), Yen dan
Harvard Business Review (2014) dalam bentuk sebagai berikut:
1. Promosikan cuti, istirahat dan istirahat
2. Dorong latihan danmeditasi, baik di dalam maupun di luar jam
kerja
3. Memastikan beban kerja sesuai dengan kemampuan dan sumber
daya pekerja
4. Memberikan stimulasi dan kesempatan kepada pekerja untuk
menggunakan keterampilan
5. Tingkatkan semangat kerja dengan menciptakan peluang untuk
interaksi sosial
6. Menetapkan dengan jelas peran dan tanggung jawab pekerja
7. Mendorong partisipasi dalam pengambilan keputusan yang
mempengaruhi peran individu
8. Mendorong komunikasi terbuka
9. Menetapkan kebijakan tidak ada toleransi untuk diskriminasi di
tempat kerja
10. Libatkan konsultan eksternal untuk menyarankan pendekatan baru
untuk setiap masalah yang ada
11. Buat kebijakan yang ramah keluarga untuk mendorong
keseimbangan kehidupan kerja
12. Memberikan pelatihan untuk manajemen stres di tempat kerja.
Stres tingkat tinggi atau stres ringan yang berkepanjangan akan
membuat menurunnya kinerja karyawan. Stres ringan mungkin akan
memberikan keuntungan bagi organisasi, tetapi dari sudut pandang
individu hal tersebut bukan merupakan hal yang diinginkan.
Manajemen stres memiliki dua fungsi penting, yaitu mengurangi
stres yang terlalu mengancam atau menekan dan menjaga stres pada
taraf yang dapat meningkatkan kinerja. Berdasarkan kedua fungsi
tersebut, Arismunandar (2021:72) mengemukakan berbagai teknik
pengelolaan stres. Luthans (1989) membagi strategi pengelolaan stres
menjadi dua, yaitu strategi organisasi dan strategi individual.
Penelitian mengenai strategi pengelolaan stres di kalangan pendidik
masih sangat terbatas. Ada beberapa penelitian yang telah dilakukan
menunjukkan kecenderungan penggunaan strategi individual dalam
mengatasi stres.
Penelitian yang dilakukan oleh Okebukola and Jegede (1992)
dalam Arismunandar (2021:72) mengungkapkan lima strategi yang
paling sering digunakan oleh guru, yaitu: (1) berpikir positif, (2)
melakukan upaya-upaya improvisasi, (3) selalu ceria, (4) berbagi ide
dan peralatan laboratorium di antara guru, dan (5) bersikap santai.
Allison (1997) meneliti pengelolaan stres di kalangan kepala sekolah
dan menemukan sepuluh strategi pengelolaan yang paling sering
digunakan, yaitu: (1) menerapkan keterampilan hubungan manusia
yang baik dengan staf, (2) senantiasa bersifat humoris, (3) mendekati
masalah dengan obyektif dan optimis, (4) tidur secara teratur, (5)
menetapkan tujuan secara realistis, (6) mendelegasikan tanggung
jawab, (7) membicarakan masalah yang dihadapi dengan anggota
keluarga dan kerabat terdekat, (8) melakukan kegiatan hobi seperti
memancing, kamping, bermain tenis, dan sebagainya, (9) melakukan
kegiatan-kegiatan santai seperti menonton, menghadiri konser musik,
makan di luar rumah, dan sebagainya, dan (10) bekerja keras
termasuk di sore hari dan di akhir pekan. Temuan yang hampir serupa
menunjukkan strategi yang umum digunakan oleh guru seperti
menghindari masalah, meminta bantuan orang lain, dan melakukan
aktivitas yang menyenangkan (Antoniou, Ploumpi, dan Ntalla, 2013
dalam Arismunandar (2021:72)).
Penelitian-penelitian tersebut belum mengkategorisasikan strategi
pengelolaan stres berdasarkan fokus: perasaan dan masalah. Karena
itu, kajian Gaziel (1993) dalam Arismunandar (2021:72) yang
mengelompokkan strategi manajemen stres ke dalam empat kelompok
perlu dikembangkan dalam penelitian-penelitian manajemen stres
guru dan kepala sekolah. Keempat strategi tersebut adalah sebagai
berikut, yaitu: (1) strategi perilaku aktif (active behavioral strategies),
(2) strategi kognitif aktif (active cognitive strategies), (3) strategi
perilaku tidak-aktif (inactive behavioral strategies), dan strategi
kognitif tidak-aktif (inactive cognitive strategies).
Dalam bukunya Zakaria (2021: 116) menyatakan bahwa strategi
yang perlu dilakukan dalam manajemen stres adalah pertama, perlu
dilakukan penilaian terhadap situasi sumber- sumber stres,
mengembangkan - alternatif tindakan, mengambil tindakan yang
dipandang paling tepat, mengambil tindakan yang lebih positif,
memanfaatkan umpan k dan sebagainya. Strategi kedua, dilakukan
dengan mengendalikan berbagai reaksi baik jasmaniah, emosional,
maupun bentuk-bentuk mekanisme pertahanan diri. Dalam
membentuk mekanisme pertahanan diri dapat dilakukan dengan
berbagai cara. Misalnya menangis, menceritakan masalah kepada
orang lain, humor (melucu), istirahat dan sebagainya. Sedangkan
dalam menghadapi reaksi emosional, adalah dengan mengendalikan
emosi secara sadar, dan mendapatkan dukungan sosial dari
lingkungan. Strategi ketiga, dilakukan dengan memperkuat diri
sendiri, yaitu dengan lebih memahami diri, memahami orang lain,
mengembangkan ketrampilan pribadi, berolahraga secara teratur,
beribadah, pola- pola kerja yang teratur dan disiplin, mengembangkan
tujuan dan nilai-nilai yang lebih realistik.
Manajemen stres lebih daripada sekedar mengatasinya, yakni
belajar menanggulanginya secara adaptif dan efektif. Hampir sama
pentingnya untuk mengetahui apa yang tidak boleh dilakukan dan apa
yang harus dicoba. Sebagian para pengidap stres di tempat kerja
akibat persaingan, sering melampiaskan dengan cara bekerja lebih
keras yang berlebihan. Ini bukanlah cara efektif yang bahkan tidak
menghasilkan apa-apa untuk memecahkan sebab dari stres, justru
akan menambah masalah lebih jauh. Sebelum masuk ke cara-cara
yang lebih spesifik untuk mengatasi stresor tertentu, harus
diperhitungkan beberapa pedoman umum untuk memacu perubahan
dan penaggulangan. Pemahaman prinsip dasar, menjadi bagian
penting agar seseorang mampu merancang solusi terhadap masalah
yang muncul terutama yang berkait dengan penyebab stres dalam
hubungannya di tempat kerja.
Stres adalah reaksi yang tidak diinginkan orang terhadap tekanan
berat atau jenis tuntutan lainnya. Banyak literatur yang menunjukkan
penyebab stres, seperti lingkungan kerja, dukungan manajemen,
beban kerja, dll. Stres adalah perubahan-perubahan dalam kehidupan
seseorang atau situasi yang mengancam yang disebutkan di atas. Kita
mungkin akan menghadapi sejumlah situasi/peristiwa yang akan
mengakibatkan stres. Kemudian tidak semua orang merespons
terhadap stresor dengan cara yang sama karena perbedaan persepsi
(perbedaan makna yang diberikan pada situasi/peristiwa oleh seorang
individu). Apa yang mungkin membuat stres untuk seseorang belum
tentu merupakan penyebab stres untuk orang yang lain.
Banyaknya karyawan yang mengalami stres di tempat kerja akan
mempengaruhi hubungan karyawan dengan karyawan yang lain.
Mereka mungkin menjadi tertutup, kurang bergairah atau agresif. Saat
hubungan karyawan di dalam perusahaan mengalami gangguan, maka
efektifitas kerja karyawan secara keseluruhan akan terganggu.
Permasalahan tersebut harus diselesaikan pleh perusahaan karena bisa
menyebabkan kekhawatiran yang terkait dengan penyelesaian tugas
dan pekerjaan, atau hilangnya motivasi.
Kondisi-kondisi yang membuat seorang karyawan merasa bekerja
di bawah tekanan ini akan menyebabkan timbulnya permasalahan
baru dalam perusahaan. Sebab, Karyawan yang bekerja dengan rasa
tidak senang terhadap pekerjaannya akan menghasilkan pekerjaan
yang kurang baik. Oleh sebab itu, maka sewajarnya pihak manajemen
perusahaan, mempelajari berbagai kondisi yang dapat menjadi pemicu
terjadinya stres kerja atau disebut juga dengan stresor

K. Strategi Manajemen Stres


Stres ringan mungkin akan memberikan keuntungan bagi
organisasi, tetapi dari sudut pandang individu hal tersebut bukan
merupakan hal yang diinginkan. Maka manajemen mungkin akan
berpikir untuk memberikan tugas yang menyertakan stres ringan bagi
karyawan untuk memberikan dorongan bagi karyawan, namun
sebaliknya itu akan dirasakan sebagai tekanan oleh si pekerja.
Manajemen stres kerja didalam penanganannya terdapat dua
pendekatan yaitu dengan pendekatan individual dan pendekatan
organisasional. Teknik dari dua pendekatan tersebut yang bisa
dilakukan oleh karyawan maupun perusahaan yang terlebih dahulu
mengetahui penyebab stres kerja pada karyawan. Maka diperlukan
pendekatan yang tepat dalam mengelola stres, ada dua pendekatan
yaitu pendekatan individu dan pendekatan organisasi.
1. Pendekatan Individual
Pendekatan individu penting dilakukan karena stres dapat
mempengaruhi kehidupan, kesehatan, produktivitas, dan penghasilan.
Seorang karyawan dapat berusaha sendiri untuk mcngurangi level
stresnya. Strategi yang bersifat individual yang cukup efektif yaitu
pengelolaan waktu, latihan fisik, latihan relaksasi, dan dukungan
sosial. Dengan pengelolaan waktu yang baik maka seorang karyawan
dapat menyelesaikan tugas dengan baik, tanpa adanya tuntutan kerja
yang tergesa-gesa. Dengan latihan fisik dapat meningkatkan kondisi
tubuh agar lebih prima sehingga mampu menghadapi tuntutan tugas
yang berat. Selain itu untuk mengurangi sires yang dihadapi pekerja
pcrlu dilakukan kegiatankegiatan santai. Dan sebagai stratcgi terakhir
untuk mengurangi stres adalah dengan mengumpulkan sahabat,
kolega, keluarga yang akan dapat memberikan dukungan dan saran-
saran bagi dirinya.
2. Pendekatan Organisasional
Beberapa penyebab stres adalah tuntutan dari tugas dan peran serta
struktur organisasi yang semuanya dikendalikan oleh manajemen,
sehingga faktorfaktor itu dapat diubah. Oleh karena itu strategi-
strategi yang mungkin digunakan oleh manajemen untuk mengurangi
stres karyawannya adalah melalui seleksi dan penempatan, penetapan
tujuan, redesain pekerjaan, pengambilan keputusan partisipatif,
komunikasi organisasional, dan program kesejahteraan. Melalui
strategi tersebut akan menyebabkan karyawan memperoleh pekerjaan
yang sesuai dengan kemampuannya dan mereka bekerja untuk tujuan
yang mereka inginkan serta adanya hubungan interpersonal yang
sehat serta perawatan terhadap kondisi fisik dan mental.
Secara umum strategi manajemen stres kerja dapat
dikelompokkan menjadi beberapa bagian Widhiastuti dkk (2020:18):
1. Pendekatan individu
Karyawan dapat melakukan tanggung jawab pribadi untuk
menurunkan tingkat stres. Hal yang bisa dilakukan yaitu: manajemen
waktu, meningkatkan latihan fisik, relaksasi, dan memperluas jaringan
dukungan sosial. Selain itu, bisa melakukan teknik penenangan
melalui aktivitas fisik. Tujuannya menggunakan sampai habis stres
oleh ketakutan dan ancaman serta mengubah sistem hormon ke dalam
sikap mempertahankan. Manfaat kedua yaitu menurunkan reaktivitas
individu terhadap stres di masa mendatang dengan melakukan
relaksasi. Kenaikan detak jantung dan pernapasan memompa darah
dan oksigen untuk mengaktifkan otot-otot dan merangsang pusat-
pusat kendali di otak. Menggunakan sampai habis produk-produk dari
stres dengan melakukan aktivitas fisik akan membersihkan badan dari
kekuatan destruktif daripada hanya dengan duduk diam. Aktifitas fisik
yang bias dilakukan semisal lari, berenang, menari, bersepeda, atau
olahraga lainnya selama kurang lebih satu jam.
2. Pendekatan kesehatan holistic (Holistic wellness approach)
Suatu pengurangan stres dengan mendorong individu berusaha untuk
seimbang secara harmonis dan produktif antara fisik, mental, dan
perilaku social yang dibawa oleh penerimaan tanggung jawab
personal untuk mengembangkan dan mengikuti program peningkatan
kesehatan. Hasil penelitian menunjukkan adanya partisipasi karyawan
dalam program kesehatan holistic secara positif diasosiasikan dengan
kepuasan kerja dan secara negative dengan ketidakhadiran tersebut
(Kreitner dan Kinichi, 2015).
Lima dimensi pendekatan kesehatan holistic sebagai berikut:
a. Tanggung jawab pribadi. Memilih tanggung jawab pribadi seperti
mengurangi atau bahkan menghentikan kebiasaan buruk seperti
berhenti merokok, hindari konsumsi alkohol, makan lebih sedikit,
serta memilih perilaku gaya hidup di bawah kontrol diri sendiri.
b. Kesadaran nutrisi. Meningkatkan konsumsi makanan yang
banyak mengandung serat, vitamin dan gizi, serta mengurangi
makanan yang tinggi gula dan lemak.
c. Relaksasi dan pengurangan stres. Gunakan teknikteknik untuk
rileks dan kurangi gejala-gejala stres
d. Fitness fisik. Berolahraga secara rutin untuk menjaga kekuatan ,
fleksibilitas, kelenturan dan menjaga berat badan biar tetap
seimbang. Fitness merupakan cara yang efektif untuk mengurangi
biaya kesehatan, ketidakhadiran, perputaran pegawai, serta
kecelakaan kerja. Program fitness juga secara positif
berhubungan dengan kinerja dan kepuasan kerja.
e. Sensitivitas lingkungan. Peduli terhadap lingkungan sekitar bisa
untuk mengidentifikasi pemicu stres yang menyebabkan stres
pada diri sendiri. Terutama strategi kontrol sangat bermanfaat
untuk menghilangkan pemicu stres kerja.
3. Pendekatan Organisasional
Strategi yang bisa dilakukan yaitu peningkatan seleksi karyawan,
penempatan pekerjaan, pelatihan, penetapan tujuan yang realistis,
merancang kembali pekerjaan untuk memberikan karyawan tanggung
jawab yang lebih, pekerjaan yang lebih bermakna, lebih mandiri,
meningkatkan umpan balik. Meningkatkan keterlibatan karyawan
dalam pengambilan keputusan, melakukan pemberdayaan karyawan
akan menurunkan ketegangan psikologis. Meningkatkan komunikasi
organisasi secara formal dengan para karyawan dapat menurunkan
ketidakpastian peranan dan konflik peranan. Komunikasi yang efektif
sebagai sarana untuk membentuk persepsi karyawan, Cuti panjang
karyawan, dan Program Kesehatan (wellness program) mendukung
program yang menitikberatkan pada kondisi total fisik dan mental dari
karyawan. Hal yang dilakukan yaitu: membantu orang-orang berhenti
merokok, menghentikan pemakaian alkohol, kehilangan berat badan,
makan dengan baik, dan mengembangkan program latihan secara
teratur dengan menitikberatkan pada kondisi fisik dan mental
karyawan.
4. Program Bantuan Karyawan (employee assistance program – EAP).
Program bantuan karyawan, terdiri atas susunan program yang
ditujukan untuk menolong para karyawan dalam menghadapi
masalah-masalah personal, seperti penyalahgunaan substansi, masalah
yang berhubungan dengan kesehatan, keluarga dan masalah-masalah
perkawinan,serta masalah lain yang secara negative memengaruhi
kinerja karyawan. EAP biasanya disediakan oleh para pengusaha atau
berkombinasi dengan serikat-serikat. Para karyawan menggunakan
layanan-layanan ini sebagai bagian dari paket asuransi mereka.
Kemungkinan lainnya, EAP rujukan hanya menyediakan nomor
telepon bagi para manajer yang bisa didistribusikan kepada para
karyawan yang membutuhkan pertolongan, setelah itu karyawan
membayar sendiri layanan tersebut (Kreitner dan Kinichi, 2015).
5. Program Klinis Program ini penanggulanggannya didasarkan atas
pendekatan medis tradisional, yang mencakup:
a. Diagnosis, Orang yang memiliki masalah meminta bantuan. Oang
atau petugas pada unit kesehatan karyawan mencoba
mendiagnosis masalah
b. Pengobatan (treatment). Disediakan penyuluhan atau terapi
dorongan. Apabila karyawan dalam perusahaan tidak dapat
menolong,, maka karyawan tersebut dianjurkan berkonsultasi
kepada ahli (psikolog) di perusahaan.
c. Penyaringan (screening), pemeriksaan individu secara berkala
dalam pekerjaan yang penuh dengan ketegangan diadakan untuk
mendeteksi indikasi permasalahan yang dihadapi karyawan
secara lebih awal.
d. Pencegahan (prevention), pendidikan dan bujukan dilakukan
untuk meyakinkan karyawan yang memiliki pekerjaan beresiko
tinggi bahwa sesuatu harus dilakukan untuk menolong karyawan
dalam menanggulangi stres kerja.
Strategi Manajemen Stres menurut Jeremy Stranks (2005) dalam
Ekawarna (2018:349). untuk menangani stres di tempat kerja maka
terdapat beberapa strategi yang dapat dipertimbangkan, yaitu: (1)
mengenali bukti stres, (2) pencegahan terhadap stres, (3) pengelolaan
terhadap stres, dan (4) rehabilitasi. Berikut penjelasannya lebih lanjut.
1. Mengenali Bukti Stres
Ada banyak bukti atau manifestasi dari sebuah organisasi yang berada
di bawah tekanan. Hal ini termasuk adanya ketidakhadiran, rentan
terhadap penyakit, ketepatan waktu yang buruk, alkoholisme,
hubungan yang buruk antara manajer dan karyawan, adanya bullying
dan pelecehan, pergantian staf yang tinggi, komunikasi yang buruk,
dan lain-lain.
2. Pencegahan Stres
Salah satu titik awal dalam mengidentifikasi dan kemudian mencegah
stres pada karyawan adalah melalui audit stres pribadi. Audit stres
pribadi (atau kuesioner pelaporan diri) adalah sarana penting untuk
mengidentifikasi penyebab umum stres, memantau tingkat stres, dan
mengidentifikasi langkah-langkah yang diperlukan pada tingkat
organisasi untuk meringankan masalah. Seperti halnya bentuk sistem
pemantauan, umpan balik dan tindakan manajemen berikut audit ini
penting. Hal ini dapat berupa informasi, instruksi dan pelatihan untuk
manajemen dan karyawan, kursus manajemen stres, pengembangan
dan promosi kebijakan mengenai stres di tempat kerja, yang
dihasilkan sebagai subkebijakan dalam Kebijakan Kesehatan dan
Keselamatan Kerja, dan mendorong karyawan untuk melaporkan dan
mendiskusikan unsur-unsur stres dari pekerjaan mereka dengan
manajer mereka. Hal yang terpenting adalah organisasi harus
mengenali adanya stres di tempat kerja, dan fakta bahwa stres adalah
ciri umum dari banyaknya aktivitas dan tugas di tempat kerja.
3. Pengelolaan Stres
Pengelolaan stres penekanannya ditempatkan pada pendidikan dan
pelatihan. Setiap orang memiliki respons stres pribadi mereka sendiri,
seperti insomnia, kehilangan nafsu makan atau nafsu makan
meningkat, sakit punggung bagian bawah, sakit kepala, dan kelelahan
umum. Dalam hal ini, karyawan memerlukan saran untuk
mengidentifikasi respons stres pribadi mereka sendiri, dan tindakan
yang diperlukan untuk mengatasinya.
Untuk mengelola stres di dunia kerja maka dibutuhkan beberapa
strategi berikut.
1. Kesehatan dan Kesejahteraan Karyawan
Berbagai strategi tersedia untuk memastikan kesehatan dan
kesejahteraan karyawan yang baik. Ini mencakup berbagai bentuk
surveilans kesehatan, kegiatan promosi kesehatan, penyuluhan
mengenai isu-isu terkait kesehatan dan penyediaan ketentuan
kesejahteraan berkualitas baik, yaitu sanitasi, mencuci, fasilitas
mandi, fasilitas makan, dan lain-lain.
2. Gaya Manajemen Gaya suatu manajemen sering dianggap tidak
peduli, bermusuhan, tidak komunikatif, dan tertutup. Filosofi
kepedulian sangat penting, bersamaan dengan sistem komunikasi dan
keterbukaan yang baik terhadap semua masalah yang memengaruhi
staf.
3. Manajemen Perubahan
Sebagian besar organisasi melewati periode perubahan dari waktu ke
waktu. Manajemen harus menyadari bahwa perubahan yang akan
datang dalam bentuk apa pun, adalah salah satu penyebab stres paling
signifikan di tempat kerja. Hal ini umumnya terkait dengan
ketidakpastian pekerjaan, ketidakamanan, ancaman redundansi,
kebutuhan untuk memperoleh keterampilan dan teknik baru, dan
mungkin pada tahap akhir dalam kehidupan terjadi relokasi dan
hilangnya prospek promosi. Untuk menghilangkan efek perubahan
yang berpotensi menimbulkan stres, tingkat komunikasi yang tinggi
harus dijaga, dan setiap perubahan tersebut harus dikelola dengan baik
pada tahap demi tahap.
4. Aktivitas Spesialis
5. Kegiatan spesialis seperti yang melibatkan seleksi dan pelatihan staf,
harus mempertimbangkan potensi stres dalam aktivitas kerja tertentu.
Orang harus dilatih untuk mengenali elemen stres dalam pekerjaan
mereka, dan strategi yang ada untuk mengatasi stresor ini. Selain itu,
desain pekerjaan dan organisasi kerja harus didasarkan pada prinsip
ergonomi.
Selain manajemen stres dalam dunia kerja, terdapat pula strategi
menangani stres secara umum, berikut penjelasannya. McNamara
(2001) dalam Ekawarna (2018:351) memiliki beberapa pandangan
untuk mengendalikan stres secara umum, berikut penjabarannya.
a. Luangkan waktu untuk berhenti dan mulailah berpikir. Saat tekanan
meningkat, Anda memerlukan ruang bernapas untuk meletakkan
segala sesuatu dalam perspektif yang sesuai dan merencanakan
langkah selanjutnya. Istirahat sedikit mungkin jika Anda bisa.
Pikirkan aspek utama kehidupan Anda seperti keluarga, sekolah,
teman, dan waktu luang Anda.
b. Tuliskan apa saja yang membuat Anda stres, karena stres membuat
Anda sulit dalam mengingat berbagai hal dan berkonsentrasi. Coba
gunakan buku harian dan buat daftar.
c. Luangkan waktu untuk merencanakan. Stres membuat perencanaan
dan keputusan sulit misalnya ketika akan ujian maka gunakan jadwal
dan perencanaan, untuk memutuskan apa yang akan Anda pelajari
setiap malam atau setiap minggu.
d. Istirahat. Stres membuat Anda lelah. Beri diri Anda istirahat yang
tepat, untuk makan dan minum, olahraga, dan istirahat di akhir pekan.
e. Jagalah diri Anda sendiri. Stres membuat Anda lebih sulit untuk
mengatasi penyakit, dan membuat Anda lebih rentan terhadap
kesehatan yang buruk. Belajarlah untuk berhenti sebelum Anda benar-
benar lelah, misalnya dengan relaksasi.
f. Stres membuat Anda merasa tertekan. Sabar, tenang, dan pikirkanlah
hal yang penting dalam hidup Anda.
g. Stres dapat membuat Anda menghindari kesulitan atau menunda
berurusan dengan seseorang sehingga tidak terselesaikan. Cobalah
untuk tidak terusmenerus menunda, dan cobalah menghadapi dan
memecahkannya.
h. Kelola waktu Anda. Waktu sangat berharga dan dia tidak pernah
berjalan mundur. Untuk itu, belajarlah lebih banyak tentang
manajemen waktu.
i. Pikirkan apa yang penting bagi Anda dalam jangka panjang. Pilih
solusi untuk masalah yang akan sangat membantu dalam jangka
panjang.
j. Buatlah mudah tentang apa pun pada diri Anda sendiri. Semua jenis
stres bisa bertambah, jadi pilihlah masalah mana yang kecil dan besar
sehingga Anda dapat efektif dalam menyelesaikannya.
Dari beberapa paparan di atas dapat diatas dapat disimpulkan
Pengelolaan Stres yang baik dilakukan perusahaan akan memberikan
dampak positif terhadap karyawan. Pengelolaan stres ini tergantung
bagaimana perusahaan dalam menangani stres yang dialami oleh
karyawan. Dalam pelaksanaannya program manajemen stres,
manajemen perlu melakukan pendekatan interpersonal terlebih dahulu
untuk mengklasifikasikan level stres yang di alami karyawan sehingga
Pengelolaan Stres yang baik dilakukan perusahaan akan memberikan
dampak positif terhadap karyawan. Pengelolaan stres ini tergantung
bagaimana perusahaan dalam menangani stres yang dialami oleh
karyawan.
Efek yang muncul memang cenderung lebih menyerang ke
gangguan secara fisik, seperti pusing dan sakit kepala. Itu karena
tuntutan pekerjaan yang tinggi dan harus segera selesai, beban
pekerjaan yang tinggi juga menyita pikiran dan tenaga mereka. Ada
banyak cara untuk meminimalisir atau mengurangi munculnya stres
ini, dari penelitian ini didapatkan beberapa cara untuk sedikit
mengurangi efek tersebut. Beberapa diantaranya adalah dengan
olahraga, sholat, main dengan teman-teman, bahkan menyalurkan
hobi mereka masing-masing.
Salah satu metode yang paling direkomendasikan untuk
menghilangkan stres di tepat kerja adalah menyesuaikan kondisi di
tempat kerja sesuai dengan kemampuan fisik atau psikologis pekerja.
Pekerja diberi kesempatan untuk berpartisipasi dalam merancang
situasi kerja mereka yang dapat meningkatkan efek pada pekerjaan.
Teknologi, konten pekerjaan dan organisasi kerja, dibentuk
sedemikian rupa sehingga pekerja tidak terkena tekanan mental atau
fisik. Pembatasan kerja atau kontrol berlebihan pada individu juga
perlu dihindari. Keberagaman dalam pekerjaan, interaksi sosial dan
kerjasama dalam pekerjaan sangat penting dikembangkan.
Kondisi lain untuk mengurangi stres di tempat kerja adalah
dengan mengubah beban kerja. Beberapa dari perusahaan mungkin
sulit untuk mengubah beban kerja karena load pekerjaan yang sangat
banyak. Namun kita dapat menyesuaikan dengan manajemen waktu
yang baik. Memperbaiki komunikasi antara pekerja tampaknya
merupakan teknik yang sederhana, tetapi sangat efektif untuk
membantu mengurangi tingkat stres. Selain itu, kita dapat mencoba
membuat pekerja merasa menjadi bagian penting dari organisasi,
dengan melibatkan pekerja dalam pengambilan keputusan sederhana.
Untuk membuat semua pekerja berbaur bersama adalah hal yang
sangat memotivasi dan membantu menghindari stres di tempat kerja.
Ketika anggota staf saling memahami dan saling berbagi umpan balik,
stres akan berkurang. Terakhir, mengubah kondisi fisik di tempat
kerja juga dapat membantu meminimalkan tingkat stres.
Tidak ada yang lebih menenangkan daripada menghabiskan
waktu berkualitas dengan orang lain yang membuat kita merasa aman
dan dipahami. Faktanya, interaksi tatap muka memicu serangkaian
hormon yang melawan respons "fight-or-flight" sebagai upaya
pertahanan tubuh. Hal ini merupakan pereda stres alami (sebagai
bonus tambahan, ini juga membantu mencegah depresi dan
kecemasan). Jadi, pastikan untuk selalu terhubung secara teratur dan
secara langsung dengan keluarga dan teman. Tentu saja, tidak selalu
realistis untuk memiliki teman dekat untuk bersandar ketika kita
merasa terbebani oleh stres, tetapi dengan membangun dan
memelihara jaringan dengan teman, kita dapat meningkatkan
ketahanan dari penyebab stres dalam hidup.
Stresor organisasi meliputi budaya dan struktur organisasi,
teknologi, dan perubahan sangat berpengaruh terhadap sejumlah
pekerja. Lingkungan yang memiliki ketegangan tinggi (high-
pressure), penggunaan teknologi informasi, kualitas udara, dan
ventilasi juga merupakan sumber stres organisasi. Stresor
ekstraorganisasi merupakan faktor penyebab yang bersumber dari luar
organisasi. Kehidupan keluarga, status sosial ekonomi, dan kondisi
lingkungan fisik (bising, panas, sesak, dan polusi udara) merupakan
sumber stres dari luar organisasi. Orang akan mengalami stres tinggi
jika status sosial ekonominya rendah, yang direpresentasikan dengan
kombinasi antara: (a) status ekonomi yang diukur dengan pendapatan,
(b) status sosial yang dinilai dengan tingkat pendidikan, dan (c) status
pekerjaan yang dinilai dengan jabatan.
Berbagai stresor yang telah disebutkan sebelumnya masuk dalam
peta kognisi pekerja, dan di sanalah terjadi persepsi atau penilaian
situasi. Ada dua macam penilaian, yaitu penilaian primer dan
penilaian sekunder. Pada penilaian primer, dilakukan kategorisasi
situasi, apakah stresor tersebut tidak relevan, positif, atau penuh stres
sehingga dianggap berbahaya, mengancam, atau sebagai tantangan.
Penilaian sekunder yang dilakukan adalah mencari upaya atau
memilih respons, yang perlu dilakukan untuk mengurangi stres.
Setelah penilaian dilakukan, proses selanjutnya adalah melakukan
strategi coping. Menurut Heinz W. Krohne Faktor (1986) dalam
Ekawarna, strategi mengacu pada berbagai tingkatan perilaku. Hal itu
merupakan konstruksi-konstruksi teoritis berupa tindakan tunggal,
konkret (yaitu dapat diamati), dan dihubungkan hanya atas dasar
asumsi teoretis mengenai suatu strategi yang spesifik. Ditinjau dari
istilah strategi, tindakan-tindakan tersebut berfungsi sebagai indikator
empiris.
Pada umumnya, kombinasi dari tiga pendekatan dalam
menghadapi stresor dan stres yang biasa digunakan yaitu: (a) strategi
mengatasi (control strategy), yaitu strategi coping yang dilakukan
dengan menggunakan perilaku dan kognisi secara langsung, yang
ditujukan untuk mengantisipasi atau memecahkan masalah, (b)
strategi menghindar (escape strategy), yaitu strategi coping dengan
menggunakan perilaku menghindar dari situasi stres, dan (c) strategi
manajemen simptom (symptom management strategy), yaitu strategi
coping yang difokuskan untuk mengurangi gejala stres, misalnya
dengan menggunakan metode relaksasi, meditasi, atau latihan
mengelola stres jabatan.
Untuk mengatasi stres yang di alami karyawan, pimpinan
perusahaan dituntut untuk lebih konsentrasi dalam menyelesaikan
berbagai masalah. Strategi coping sering dipengaruhi oleh latar
belakang budaya, pengalaman dalam menghadapi masalah, faktor
lingkungan, kepribadian, konsep diri, faktor sosial dan lainlain sangat
berpengaruh pada kemampuan individu dalam menyelesaikan
masalahnya.

L. Model Coping
Sejalan dengan definisi coping sebagai suatu proses, konsep ketiga dari
coping menjadi sangat penting, yang disebut coping strategy. Menurut Heinz
W. Krohne (1986), strategi mengacu pada berbagai tingkatan perilaku. Hal
itu merupakan konstruksi-konstruksi teoritis berupa tindakan tunggal, konkret
(yaitu dapat diamati), dan dihubungkan hanya atas dasar asumsi teoretis
mengenai suatu strategi yang spesifik. Ditinjau dari istilah strategi, tindakan-
tindakan tersebut berfungsi sebagai indikator empiris.
1. Model Lazarus Folkman
Menurut Lazarus & Folkman (1988), strategi coping terdiri
dari: (1) coping terfokus masalah, dan (2) coping terfokus emosi
(emotion-focused coping). Dalam coping terfokus masalah, individu
melakukan suatu tindakan yang diarahkan kepada pemecahan
masalah atau dengan mengubah situasi. Individu akan cenderung
menggunakan perilaku ini, apabila dirinya menilai situasi yang
dihadapinya masih dapat dikontrol, dan ia yakin dapat mengubah
situasi.
Cara tindakan dalam coping terfokus masalah meliputi tiga
cara: (1) planful problem solving, yaitu bereaksi dengan melakukan
usaha-usaha tertentu yang bertujuan untuk mengubah keadaan, diikuti
pendekatan analitis dalam menyelesaikan masalah. Contohnya, saya
mencoba untuk memulai suatu strategi tentang apa yang harus
dilakukan, atau saya berpikir keras mengenai langkah-langkah apa
yang harus diambil. (2) Confrontative coping, yaitu reaksi untuk
mengubah keadaan yang menggambarkan tingkat risiko yang harus
diambil. Contohnya, melakukan sesuatu walau tidak yakin akan
berhasil, tetapi setidaknya telah berbuat sesuatu, atau berusaha
menghubungi orang yang bertanggung jawab agar mengubah
keputusannya. (3) Seeking social support, yaitu bereaksi dengan
mencari dukungan dari pihak luar, baik berupa informasi, bantuan
nyata, maupun dukungan emosional. Contohnya: menerima simpati
dan pengertian dari orang lain, atau membicarakan masalah tersebut
pada seseorang yang dapat membantu secara konkret.
Kemudian pada coping terfokus emosi, individu melakukan
berbagai usaha yang bertujuan untuk memodifikasi fungsi emosi,
tanpa melakukan usaha mengubah stresor secara langsung. Dalam
strategi ini terdapat lima cara sebagai berikut.
a. Self controlling, yaitu bereaksi dengan melakukan regulasi, baik
dalam perasaan maupun tindakan. Contohnya: saya mencoba
untuk menyimpan perasaan saya untuk diri sendiri, atau tidak
merusak hal-hal yang mendukung saya dan membiarkan beberapa
alternatif kesempatan tetap terbuka.
b. Distancing, yaitu tidak melibatkan diri dalam permasalahan.
Contohnya: percaya pada nasib, terkadang saya mengalami
kesialan, atau berbuat biasa seolah tidak terjadi apa-apa.
c. Escape avoidance, yaitu menghindar atau melarikan diri dari
masalah yang dihadapi. Contohnya, tidur lebih lama dari biasanya
atau menghindar dari orang lain.
d. Accepting responsibility, yaitu bereaksi dengan menumbuhkan
kesadaran akan peran diri dalam permasalahan yang dihadapi, dan
berusaha mendudukkan segala sesuatu sebagaimana mestinya.
Contohnya, saya berjanji pada diri sendiri bahwa segala
sesuatunya akan berbeda di masa yang akan datang, atau
mengkritik diri sendiri.
e. Positive reappraisal, yaitu bereaksi dengan menciptakan makna
positif dalam diri, yang bertujuan untuk mengembangkan diri
termasuk melibatkan halhal yang religius. Contohnya, saya
mencari pertolongan Tuhan atau saya berdoa lebih sering dari
biasanya.
2. Model Matheny
Strategi coping selanjutnya telah dikembangkan oleh Matheny
et. al (1986) seperti dikutip Phillip L. Rice (1999), yaitu terdiri dari
combative coping strategies dan preventive coping strategies”.
Combative coping strategies adalah suatu reaksi perlawanan terhadap
beberapa stresor. Tujuannya adalah menghilangkan atau
menghentikan sumber stres. Cara yang dilakukan antara lain: (1)
memantau stresor dan gejalanya, (2) menyusun sumber daya, (3)
menyerang stresor misalnya dengan memecahkan masalah, perilaku
asertif, atau tegas, (4) toleran terhadap stresor misalnya melakukan
restrukturisasi kognitif, melakukan penolakan (denial), memfokuskan
kepada sensasi (sensation focusing), (5) menurunkan ketegangan
misalnya dengan relaksasi, melemaskan otot dan urat saraf, serta
meditasi.
Kemudian mengenai preventive coping strategies adalah
mencoba secara aktif untuk mencegah munculnya stresor. Tindakan
yang dilakukan misalnya: (1) menghindari stresor melalui
penyesuaian hidup, (2) menyesuaikan tingkat tuntutan, (3) mengubah
pola perilaku terhadap kemunculan stres, (4) mengembangkan sumber
coping dengan cara meningkatkan kemampuan fisik; meningkatkan
kemampuan psikologis misalnya meningkatkan rasa percaya diri;
keyakinan untuk mampu mengendalikan diri dan self esteem;
meningkatkan kemampuan kognitif misalnya keyakinan fungsional,
keterampilan mengelola waktu, dan kemampuan akademik; serta
kemampuan sosial misalnya dukungan sosial, keterampilan
bersahabat, dan kemampuan finansial.
3. Model George & Jones
Menurut George & Jones (2002), selain secara individual,
organisasi dapat juga membantu pekerja melakukan strategi coping
secara efektif dengan situasi yang stresful. Menurutnya, strategi
coping yang dapat dilakukan secara individual yang berfokus masalah
meliputi: (1) manajemen waktu, yang merupakan suatu strategi untuk
membantu pekerja yang mengalami masalah kelebihan beban kerja,
(overload) dan mengalami konflik antara pekerjaan dengan kehidupan
pribadinya, (2) mendapat pertolongan dari mentor, yaitu bantuan
berupa saran dan bimbingan jika individu mengalami konflik peran,
peran ambigu, beban berlebih, dan menghadapi tantangan, (3)
negoisasi peran, yaitu proses ketika pekerja mencoba merubah peran
terutama untuk mengurangi bertambah parahnya konflik peran, peran
ambigu, kelebihan beban, atau kekurangan beban.
Kemudian strategi coping yang berfokus emosi meliputi: (1)
latihan, yaitu kegiatan olahraga antara lain dengan joging, aerobik,
renang, tenis, dan jalan kaki. Latihan reguler dapat mengurangi stres,
meningkatkan fungsi kardiovaskuler, dan menjaga kesehatan, (2)
meditasi, yaitu proses mental untuk melatih pikiran dan perasaan,
agar terpusat pada satu objek yang diinginkan dengan melupakan
yang lainnya, (3) dukungan sosial, yaitu dukungan dari sahabat,
relasi, bawahan (coworker), dan orang lain yang mampu diajak
mendiskusikan masalah, memberi saran, dan lain-lain, (4) konseling
klinis, yaitu meminta bantuan tenaga ahli seperti psikolog dan
psikiater, untuk belajar bagaimana cara terbaik melakukan coping
terhadap stresor.
Strategi coping untuk organisasi yang berasal dari problem-
focused meliputi: (1) redesain dan rotasi kerja, yaitu menata kembali
pekerjaan misalnya dengan menambah otonomi untuk mengatasi
terjadinya konflik peran, atau memberikan umpan balik untuk
membantu mengurangi peran ambigu, (2) mengurangi ketidakpastian,
yaitu dengan memberi peluang partisipasi dalam pengambilan
keputusan dan komunikasi dalam organisasi, (3) keselamatan kerja,
yaitu meningkatkan kualitas lingkungan kerja sehingga tercipta
kondisi kerja yang aman dan selamat, (4) company day care, yaitu
menyediakan fasilitas kesehatan untuk anak-anak pekerja, (5) skedul
kerja yang fleksibel dan pembagian kerja, yaitu mengelola skedul dan
sharing kerja jika pekerja mengalami keadaan darurat. (6)
telecommuting, yaitu mengatur kapan pekerja perlu hadir ke kantor,
misalnya 3 hari di rumah dan 2 hari di kantor.
Organisasi dapat membantu pekerja melakukan coping
terhadap kondisi stresful yang berfokus pada emosi, yang meliputi:
(1) on-site exercise facilities, yaitu fasilitas latihan atau kelas di mana
pekerja dapat menggunakannya, sebelum bekerja, sesudah bekerja,
atau sebelum makan siang, (2) dukungan organisasi, (3) program
asistensi pekerja, yaitu menyediakan program asistensi untuk
konseling.
4. Model Arnold & Feldman
Strategi coping selanjutnya dikemukakan oleh Hug J. Arnold
& Daniel C. Feldman (1986) yang mengemukakan dua set strategi
coping (1) berfokus pada pekerjaan. Karyawan dapat menurunkan
stres secara langsung, dengan merubah kebiasaan kerja mereka atau
merubah lingkungan kerjanya, (2) berfokus pada emosi. Strategi ini
secara langsung tidak merubah lingkungan kerja, tetapi dapat
membantu karyawan dalam melakukan penyesuaian terhadap stres
secara mudah.
Strategi coping yang berfokus pada pekerjaan meliputi: (1)
klarifikasi peran, yaitu meminta kejelasan dari atasan tentang peran
yang diberikan dengan peran yang diharapkan, (2) manajemen waktu,
yaitu mengatur waktu sehingga aktivitas yang tidak penting dapat
dikurangi, (3) pendelegasian, yaitu mendelegasikan tugas dan
tanggung jawab kepada orang lain, misalnya pada bawahan, (4)
mencari berbagai informasi dan bantuan langsung, yaitu dilakukan
oleh karyawan baru untuk mengurangi kecemasan, (5) strategi kerja
sama, yaitu melakukan kerja sama dengan orang lain dalam situasi
yang sama. (6) datang dari pekerjaan, yaitu menyadari bahwa stresor
datang dari pekerjaan karena adanya kesenjangan, antara tuntutan
pekerjaan dengan kemampuan yang dimiliki.
Strategi coping yang berfokus emosi menurut Hug J. Arnold
& Daniel C. Feldman meliputi: (1) reduce perfectionism, yaitu
menyadari bahwa atasan, pekerjaan, dan lingkungan pekerjaan tidak
selamanya sempurna yang juga memiliki kekurangan, (2) increased
social support, yaitu meningkatkan dukungan dari sahabat dan kolega
untuk meningkatkan kepercayaan diri atau harga diri, (3) increased
tolerance of ambiguity, yaitu lebih toleran jika menghadapi peran
yang ambigu, (4) relaxation techniques, yaitu teknik untuk
menurunkan ketegangan otot, jantung, dan tekanan darah, (5) health
maintenance, yaitu memelihara kesehatan melalui program diet, tidur
yang cukup, dan jalan kaki yang ternyata dapat menurunkan tingkat
stres.
5. Model Kreitner & Kinicki
Strategi coping selanjutnya dikemukakan Robert Kreitner &
Angelo Kinicki (2008). Menurut mereka, strategi coping dicirikan
dengan kognisi dan perilaku tertentu, yang digunakan untuk
menyesuaikan dengan suatu situasi. Tiga pendekatan dalam
menghadapi stresor dan stres, yaitu (1) strategi kendali, (2) strategi
menghindar, dan (3) strategi manajemen simtom. Strategi kendali
yaitu strategi coping yang dilakukan dengan menggunakan perilaku
dan kognisi secara langsung, yang ditujukan untuk mengantisipasi
atau memecahkan masalah.
Strategi menghindar yaitu strategi coping dengan
menggunakan perilaku menghindar dari situasi stres, dan strategi
simtom manajemen, yaitu strategi coping yang difokuskan untuk
mengurangi gejala stres, misalnya dengan menggunakan metode
relaksasi, meditasi, medis, atau latihan mengelola simtom stres
jabatan.
Berdasarkan pembahasan di atas dapat disimpulkan bahwa stres kerja
merupakan suatu kondisi ketegangan yang mempengaruhi emosi, proses
berfikir dan kondisi seseorang dimana ia terpaksa memberikan tanggapan
melebihi kemampuan penyesuaian dirinya terhadap suatu tuntutan eksternal
(lingkungan) di sekitarnya. Stres yang terlalu besar dapat mengancam
kemampuan seseorang untuk menghadapi lingkungannya. Sebagai hasilnya,
pada diri para karyawan berkembang berbagai macam gejala stres yang dapat
mengganggu pelaksanaan kerja mereka.
Penyebab stres yang bersumber dari sebuah organisasi dan akan
berpengaruh pula terhadap organisasi tersebut pada dasarnya memang banyak
sekali. Misalnya yang terjadi pada pengurangan jumlah pegawai, hal itu
adalah salah satu penyebab dari stres yang bukan hanya bagi pegawai yang
kehilangan pekerjaan, bahkan bagi para pekerja yang tetap masih berada
dalam organisasi tersebut. Selanjutnya para pekerja yang masih tetap tinggal
akan merasa tidak aman dan tidak nyaman dilingkungan kerjanya,
peningkatan beban kerja baru dan lebih banyak lagi, serta kehilangan rekan
kerjanya. Kebijakan dari sebuah organisasi yang berpotensi juga
memunculkan stres seperti merger, privasi dan bentukbentuk lainnya.
Selain dipengaruhi oleh faktor-faktor yang bersumber dari luar
organisasi, stres kerja juga banyak dipengaruhi oleh faktor-faktor yang
berasal dari dalam organisasi. Oleh karenanya perlu disadari dan dipahami
keberadaannya. Pemahaman akan sumber-sumber stres yang disertai dengan
pemahaman terhadap cara-cara mengatasinya stres, adalah penting sekali bagi
karyawan dan siapa saja yang terlibat dalam organisasi demi kelangsungan
organisasi yang sehat dan efektif. Melalui manajemen stres kerja seorang
individu atau karyawan dapat belajar menanggulangi stres secara adaptif dan
efektif. Dengan manajemen stres, banyak cara yang dilakukan individu untuk
mengatasi atau meminimalisir terjadinya tingkat stres yang lebih tinggi
sehingga dapat menurunkan motivasi dan kinerja seseorang dalam bekerja.
Stres dalam pekerjaan dapat dicegah timbulnya dan dapat dihadapi
tanpa memperoleh dampaknya yang negatif. Manajemen stres lebih daripada
sekedar mengatasinya, yakni belajar menanggulanginya secara adaplif dan
efektif. Hampir sama pentingnya untuk mengetahui apa yang tidak boleh
dilakukan dan apa yang harus dicoba. Sebagian para pengidap stres di tempat
kerja akibat persaingan, sering melampiaskan dengan cara bekerja lebih keras
yang berlebihan. Ini bukanlah cara efektif yang bahkan tidak menghasilkan
apa-apa untuk memecahkan sebab dari stres, justru akan menambah masalah
lebih jauh. Sebelum masuk ke cara-cara yang lebih spesifik untuk mengatasi
stresor tertentu, harus diperhitungkan beberapa pedoman umum untuk
memacu perubahan dan penaggulangan. Pemahaman prinsip dasar, menjadi
bagian penting agar seseorang mampu merancang solusi terhadap masalah
yang muncul terutama yang berkait dengan penyebab stres di tempat kerja.
Strategi dalam menghadapi stres perlu dilakukan untuk meminimalisir
terjadinya stres. Strategi pertama, perlu dilakukan penilaian terhadap situasi
sumber-sumber stres, mengembangkan alternatif tindakan, mengambil
tindakan yang dipandang paling tepat, mengambil tindakan yang lebih
positif. Strategi kedua, dilakukan dengan mengendalikan berbagai reaksi baik
jasmaniah, emosional, maupun bentuk-bentuk mekanisme pertahanan diri.
Dalam membentuk mekanisme pertahanan diri dapat dilakukan dengan
berbagai cara. Misalnya menangis, menceritakan masalah kepada orang lain,
humor (melucu), istirahat dan sebagainya. Sedangkan dalam menghadapi
reaksi emosional, adalah dengan mengendalikan emosi secara sadar, dan
mcndapatkan dukungan sosial dari lingkungan. Strategi ketiga, dilakukan
dengan memperkuat diri sendiri, yaitu dengan lebih memahami diri,
memahami orang lain, mengembangkan ketrampilan pribadi, berolahraga
secara teratur, beribadah, pola-pola kerja yang teralur dan disiplin,
mengembangkan tujuan dan nilai-nilai yang lebih realistik.
Saat ini semakin banyak organisasi di sektor publik dan swasta yang
mengakui bahwa biaya untuk mengatasi stres sangat tinggi. Oleh karena itu,
kesadaran untuk menyediakan program manajemen stres bagi karyawan,
sebagai upaya untuk mengatasi masalah stres semakin meningkat.
Manajemen stres sangat bermanfaat karena dapat mempelajari berbagai
tingkat stres keseluruhan sehingga dapat diatasi. Dengan demikian,
kesehatan, hubungan dengan lingkungan sekitar, maupun kualitas hidup
dapat menjadi lebih baik.
Manajemen stres meliputi tiga pendekatan yang sering disebut dengan
Triple A, yaitu kesadaran (awareness), analisis (analysis), dan tindakan
(action). Pengelolaan stres kerja yang juga dapat dilakukan oleh manajemen
adalah merumuskan suatu kebijakan untuk membantu para karyawan
menghadapi berbagai kendala yang berhubungan dengan stres kerja. Upaya
individual dapat dilakukan dalam mengatasi dan mengurangi stres kerja
dengan cara beralih kehiburan (Karaoke, Game dan Futsal), refreshing
sejenak dengan keluar ruangan menghirup udara segar, kadang bincang –
bincang dengan dengan orang lain (bukan teman kantor) seperti istri atau
pacar, satpam, penjual yang berjualan disekitar kantor, dan menghabiskan
rokok lebih banyak dari biasanya. Upaya yang dapat di lakukan perusahaan
dalam mengatasi dan mengurangi stres adalah penawaran cuti, pemberian
tunjangan transportasi, tunjangan kakan, Bonus uang (THR atau Akhir
tahun), memberikan program BPJS Ketenagakerjaan dan BPJS Kesehatan,
evaluasi tiap 1 bulan sekali tiap –tiap divisi disertai dengan sharing
permasalahan yang dihadapi, menyediakan fasilitas kerja yang memadai,
menyediakan tempat rileks karyawan, pelaksanaan berbagai kegiatan yang
bersifat informal dan insidental yang merujuk pada tujuan peningkatan upaya
relaksasi bagi wartawan, seperti happy hours, afternoon tea, outbond
activities, tamasya keluarga, memberikan liburan, dan mengadakan event
santunan anak yatim dan pengajian.
DAFTAR PUSTAKA
Arismunandar, Nurhikmah. H & Wahed, Andi. 2021 Manajemen
Stres Kerja Guru. 2021. Badan Penerbit UNM.
Asih, Gusti Yuli., Widhiastuti, Prof. Dr. Hardani., Dewi,
Rusmalia. 2018. Stress Kerja. Semarang: Semarang
University Press.
Budiasa, I Komang. 2021. Beban Kerja dan Kinerja Sumber Daya
Manusia. Banyumas Jawa Tengah: CV. Pena Persada.
Ekawarna. 2018. Manajemen Konflik dan Stres. Jakarta: PT.
Bumi Aksara.
Hartini dkk. 2021. Perilaku Organisasi. Bandung: Widina
Bhakti.
Tewal, Bernhard., Adolfina and Pandowo, Merinda Ch. H. dan
Tawas, Hendra N. 2017. Perilaku Organisasi. Bandung:
CV. Patra Media Grafindo Bandung.
Widhiastuti, MM, Psikolog, Prof. Dr. Dra. Hardani., Asih, S.Psi,
M.Si , Gusti Yuli., Kurniawan , S.Psi, M.Psi, Psikolog,
Yudi. 2020. Mengelola Stres Pada Pekerjaan Yang
Beresiko Tinggi. Semarang: Semarang University Press.
Zakaria, Rialmi. 2021. Analisis Manajemen Konflik dan Stres.
Widina Bhakti Persada Bandung.

Anda mungkin juga menyukai